Anda di halaman 1dari 15

TORSIO TESTIS

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus yang terpeluntir yang
mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididimis.
Torsio testis merupakan suatu keadaan yang termasuk gawat darurat dan butuh segera dilakukan
tindakan bedah. Kondisi ini, jika tidak segera ditangani dengan cepat dalam 4 hingga 6 jam
setelah onset nyeri maka dapat menyebabkan infark dari testis yang selanjutnya akan diikuti oleh
atrofi testis (Sjamsuhidajat, 2004).
Torsio testis juga merupakan kegawat daruratan urologi yang paling sering terjadi pada laki-
laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 400 orang dibawah usia 25 tahun dan paling
banyak diderita oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun). Janin yang masih berada di dalam
uterus atau bayi baru lahir tidak jarang menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga
mengakibatkan kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral. Torsio testis harus selalu
dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan nyeri akut pada skrotum dan kondisi tersebut juga
harus dibedakan dari keluhan-keluhan nyeri pada testis lainnya agar tidak terjadi kesalahan
diagnosis yang dapat berujung pada kesalahan terapi (Cuckow, 2000).
Penyebab dari akut skrotum biasanya dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik yang menyeluruh serta pemeriksaan diagnostik yang tepat. Sekitar 2/3 pasien
yang dicurigai menderita torsio testis dengan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup
untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Keterlambatan dan kegagalan dalam dignosis dan terapi
akan menyebabkan proses torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan
kematian testis dan jaringan disekitarnya (Cuckow, 2000).
Penatalaksanaan torsio testis menjadi tindakan darurat yang harus segera dilakukan karena
angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong akan menurun seiring dengan
bertambahnya lama waktu terjadinya torsio. Adapun penyebab tersering hilangnya testis setelah
mengalami torsio adalah keterlambatan dalam mencari pengobatan (58%), kesalahan dalam
diagnosis awal (29%), dan keterlambatan terapi (13%) (Cuckow, 2000).

A. Anatomi Testis
Testis merupakan sepasang struktur berbentuk oval dg berat 10-14 gr dg panjang
4 cm ukuran dari anterior ke posterior 3 cm dan lebar 2,5cm dan memiliki bagian2 yakni
extremitas superior, extremitas inferior, facies lateralis, facies medialis, margo anterior
(convex), margo posterior (datar).
Testis berada didalam skrotum bersama epididimis yaitu kantung ekstraabdomen
tepat dibawah penis. Testis kiri terletak lebih rendah drpd yang kanan. Dinding pada rongga
yang memisahkan testis dengan epididimis disebut tunika vaginalis. Tunika vaginalis
dibentuk dari peritoneum intraabdomen yang bermigrasi ke dalam skrotum primitive selama
perkembangan genetalia interna pria, setelah migrasi ke dalam skrotum, saluran tempat
turunnya testis (prosesus vaginalis) akan menutup.
Setelah pubertas, selain sebagai organ reproduksi (menghasilkan spermatozoa) jg
sebagai kelenjar endokrin yg menghasilkan hormon androgen yang berguna untuk
mempertahankan tanda2 kelamin sekunder.

Lapisan Pembungkus Testis (Orchis)


Testis terletak di dalam cavum scrota yg ditutupi oleh scrotum. Dimana lapisan nya dari
luar ke dalam yakni :
a. Cutis
b. Tunica dartos
c. Fascia Spermatica Externa
d. M. Cremasterica
e. Fascia Cremasterica
f. Fascia Spermatica Interna
g. Tunica Vaginalis Propia
h. Tunica Albuginea

Vaskularisasi Testis (Orchis)


-- A. testicularis dextra ei sinistra cabang dr aorta abdominalis
- V. testicularis dextra yg akan bermuara ke V. Cava Inferior
- V. testicularis sinistra yg akan bermuara ke v. renalis sinistra lalu bermuara ke Vena Cava
Inferior

Innervasi Testis (Orchis)


Testis dipersarafi oleh serabut saraf dari plexus nervacus tertucularis. Plexus ini dibentuk
oleh nervus thoracalis VI-XII.

Testis terdiri dari 3 sel yaitu :


a. Sel Leydig yang berfungsi untuk menghasilkan hormon testoseron untuk menumbuhkan
ciri2 kelamin sejuder laki2. Sel ini juga sebagai Endocrin
b. Sel Sertoli yang berfungsi untuk memberi makan sperma yang dirangsang oleh FSH
yang dihasilkan oleh Adenehypophysis. Sel ini Sebagai sebagai Eksocrin
c. Sel Spermatozoid yang berfungsi untuk menghasilkan sperma yang berada pada dinding
Tubulus Seminiferus Contortus. Sel ini sebagai Eksocrin

3 sel ini dibagi 2 bagian yaitu Sel Leydig Sebagai Endocrin sedangkan Sel Sertoli dan Sel
Spermatozoid sebagai Eksocrin. Testis menghasilkan hormon testosterone yg berfungsi utk
memacu perkembangan system reproduksi steroid pria dan ciri seksual sekunder pria

B. Etiologi Torsio Testis


Adanya kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio
jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang
berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat
berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi,
atau trauma yang mengenai skrotum (Purnomo, 2003).
Faktor predisposisi lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis (sering
dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal, riwayat
kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang (Ringdahl
& Teague, 2006).
Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika
seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri
berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan berputar searah dengan jarum
jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan
iskemia testis (Wilson & Hillegas, 2006).

C. Manifestasi Klinis Torsio Testis


Nyeri akut pada daerah testis disebabkan oleh torsio testis, epididimitis/orchitis
akut atau trauma pada testis. Nyeri ini seringkali dirasakan hingga ke daerah abdomen
sehingga dikacaukan dengan nyeri karena kelainan organ intraabdominal. Sedangkan nyeri
tumpul disekitar testis dapat disebabkan karena varikokel (Purnomo, 2003).
Pada torsio testis, pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya
mendadak dan diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu disebut akut skrotum. Nyeri
dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah sehingga jika tidak diwaspadai
sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Gejala lain yang juga dapat muncul adalah mual
dan muntah, kadang-kadang disertai demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada
torsio testis ialah rasa panas dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan
dengan orchio-epididymitis (Wilson & Hillegas, 2006).
D. Patofisiologi Torsio Testis

ETIOLOGI

Trauma Testis Tumor Latihan yang Perubahan keadaan


testis berlebihan extreme

Spasme otot kremaster Testis berotasi bebas

Aliran darah terhenti

Iskemia testis

Nekrosis

Nyeri menjalar Demam


ke abdomen

Stimulasi mual-
muntah dari otak

E. Penegakkan diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan torsio testis dengan penyebab akut
scrotum lainnya. Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan tampak bengkak dan
hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotumsisi kontralateral. Testis yang
mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada palpasi. Jika pasien datang pada keadaan
dini, dapat dilihat adanya testis yangterletak transversal atau horisontal. Seluruh testis
akan bengkak dan nyeri sertatampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis
kontralateral, oleh karenaadanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam
scotum disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut
merupakan pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga
tidak berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign) (Ringdahl & Teague, 2006).
Pemeriksaan fisik yang paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks
cremaster. Dalam satu literatur disebutkan bahwa pemeriksaan inimemiliki sensitivitas
99% pada torsio testis(Ringdahl & Teague, 2006).

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk membedakan torsio testis dengan
keadaan akut scrotum yang lain adalah dengan menggunakan stetoskop Doppler,
ultrasonografi Doppler, dansintigrafi testis, yang kesemuanya bertujuan untuk menilai
aliran darah ke testis. Stetoskop Doppler dan ultrasonografi konvensional tidak terlalu
bermanfaat dalam menilai aliran darah ke testis. Penilaian aliran darah testis secara nuklir
dapat membantu, tetapi membutuhkan waktu yang lama sehingga kasus bisa terlambat
ditangani. Ultrasonografi Doppler berwarna merupakan pemeriksaan noninvasif yang
keakuratannya kurang lebih sebanding dengan pemeriksaan nuclear scanning.
Ultrasonografi Doppler berwarna dapat menilai aliran darah, dan dapat membedakan
aliran darah intratestikular dan aliran darah dinding scrotum. Alat ini juga dapat
digunakan untuk memeriksa kondisi patologis lain pada scrotum (Purnomo, 2003).
Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin, dan
pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya inflamasi kecuali pada torsio yang sudah
lama dan mengalami keradangan steril (Purnomo, 2003).
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio
testismasih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis yang nyata
(Minevich, 2007; Ringdahl & Teague, 2006).
Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat
membedakanproses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum (Rupp, 2006).
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urin dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa infeksi traktus
urinarius pada pasien dengan nyeri akut pada skrotum. Pyuria dengan atau tanpa
bakteri mengindikasikan adanya suatu proses infeksi dan mungkin mengarah kepada
epididimitis. Selain itu perlu jugadilakukan pemeriksaan darah dan sediment urin
(Purnomo, 2003).
b. Pemeriksaan Radiologis
Color Doppler Ultrasonography (Saladdin, 2009).
1) Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat aliran darah pada arteri testikularis.
2) Merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis dengan sensitivitas 82-
90% dan spesifitas 100%.
3) Pemeriksaan ini menyediakan informasi mengenai jaringan di sekitar testis yang
echotexture\Ultrasonografi dapat menemukan abnormalitas yang terjadi pada
skrotum seperti hematom, torsio appendiks dan hidrokel.
4) Pada torsio testis, akan timbul keadaan echotexture selama 24-48 jam dan
adanya perubahan yang semakin heterogen menandakan proses nekrosis sudah
mulai terjadi.
Nuclear Scintigraphy (Saladdin, 2009):
1) Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan dilakukan untuk melihat
aliran darah testis.
2) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran darah
yang meragukan dengan memakai ultrasonografi.
3) Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100% dalam menentukan daerah iskemia
akibat infeksi.
4) Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis negatif palsu
5) Adanya daerah yang mengandung sedikit proton pada salah satu skrotum
merupakan tanda patognomonik terjadinya torsio.
3. Dianosis Banding
Torsio testis harus selalu dibedakan dengan kondisi-kondisi lain sebagai penyebab
dari akut scrotum, antara lain (Minevich, 2007; Ringdahl & Teague, 2006) :
a. Epididimitis akut
Penyakit ini secara umum sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri scrotum akut
biasanya disertai dengan kenaikan suhu, keluarnya nanah dari uretra, adanya riwayat
coitus suspectus (dugaan melakukan senggama dengan selain isterinya), atau pernah
menjalani kateterisasi uretra sebelumnya. Pada pemeriksaan, epididimitis dan torsio
testis, dapat dibedakan dengan Prehn’s sign, yaitu jika testis yang terkena dinaikkan,
pada epididmis akut terkadang nyeri akan berkurang (Prehn’s sign positif),
sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada (Prehn’s sign negative). Pasien
epididimitis akut biasanya berumur lebih dari 20 tahun dan pada pemeriksaan
sedimen urin didapatkan adanya leukosituria dan bakteriuria
b. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis
dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam
rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan
reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena: belum
sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran cairan peritoneum
ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans) atau belum sempurnanya sistem limfatik
di daerah skrotum dalam melakukan reabsorbsi cairan hidrokel.
Pada orang dewasa, hidrokel dapat terjadi secara idiopatik (primer) dan sekunder.
Penyebab sekunder terjadi karena didapatkan kelainan pada testis atau epididimis
yang menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan di kantong
hidrokel. Kelainan pada testis itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma pada
testis/epididimis.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada
pemeriksaan fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi
kistus dan pada pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
Pada hidrokel yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang
sulit melakukan pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan
ultrasonografi.

c. Hernia incarserata
Pada anamnesis didapatkan riwayat benjolan yang dapat keluar masuk ke dalam
scrotum yang muncul bersamaan dengan keaadaan peningkatan tekanan
intraabdominal seperti batuk atau mengejan. Benjolan dapat hilang bila berbaring.
Ukuran benjolan dapat bervariasi dari kecil sampai besar, Bila hernia sudah
mengalami inkarserta maka gejala yang timbul dapat berupa mual, nyeri kolik
abdomen, konstipasi, keerahan pada skrotum, dan bila di auskultasi dapat didengat
bunyi bising usus di daerah skrotum.

d. Tumor testis
Pembesaran testis yang tidak nyeri, biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan sering
disertai dengan limfadenopati abdomen

F. Terapi
1. Non operatif
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus dapat
mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2003).
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan
memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya ke
medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral terlebih dahulu, kemudian jika
tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi
menandakan bahwa detorsi telah berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk
memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat
menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap
dilaksanakan (Purnomo, 2003).
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di unit gawat
darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri, tindakan ini sulit dilakukan
tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali
menjadi torsio tak lama setelah pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke
arah mana testis mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan
tindakan detorsi manual akan memperburuk derajat torsio (Govindarajan, 2011).

2. Operatif
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk
mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya iskemia,
oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan
pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak
dapat dipertahankan (Purnomo, 2003).
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah
yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang mengalami
torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis (Purnomo, 2003).
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala upaya untuk
mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan tergantung dari lamanya iskemia,
oleh karena itu, waktu sangat penting. Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan
pencitraan, laboratorium, atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak
dapat dipertahankan (Govindarajan, 2011).
Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Govindarajan, 2011):
a. Untuk memastikan diagnosis torsio testis
b. Melakukan detorsi testis yang torsio
c. Memeriksa apakah testis masih viable
d. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis masih viable
e. Memfiksasi testis kontralateral
Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain disebabkan
oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio sudah berlangsung lama
(>24-48 jam). Sebagian ahli masih mempertahankan pendapatnya untuk tetap
melakukan eksplorasi dengan alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan
untuk membuktikan diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin),
dan untuk melakukan orkidopeksi pada testis kontralateral. Saat pembedahan,
dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral. Hal ini dilakukan
karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio di lain waktu
(Govindarajan, 2011).
Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika
dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi
dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3 tempat
untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan pada testis yang
sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi) dan
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah
mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas
dikemudian hari (Purnomo, 2003).

G. Prognosis
Bila dilakukan penangan sebelum 6 jam hasilnya baik, 8 jam memungkinkan pulih
kembali, 12 jam meragukan, 24 jam dilakukan orkidektomi. Viabilitas testis sangat
berkurang bila dioperasi setelah 6 jam.

H. Komplikasi
Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat daruratan
dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas terlihat setelah 2 jam
dari torsi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara onset gejala yang timbul dan waktu
pembedahan atau detorsi manual akan menurunkan angka pertolongan terhadap testis hingga
55-85%. Putusnya suplai darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
atrofi testis. Atrofi testikular dapat terjadi dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia. Insiden
terjadinya atrofi testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi klinis
dari TT adalah kesuburan yang menurun dan hilangnya testikular apabila torsi tersebut tidak
diperbaiki dengan cukup cepat. Tingkat yang lebih ekstrim dari torsi testis mempengaruhi
tingkat iskemia testikular dan kemungkinan penyelamatan (Greenberg, 2005).
Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian ini
bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Analisis air mani abnormal dan apoptosis testikular
kontralateral juga merupakan sekuele yang diketahui mengikuti ketegangan testis. Oleh
karena itu, resiko subfertilitas harus dibicarakan dengan pasien. Testis yang telah mengalami
nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang terbentuknya
antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari.
Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu hilangnya testis, infeksi,
infertilitas sekunder, deformitas kosmetik (Graham, 2009).
Daftar Pustaka:

1. Cuckow, PM. 2001. Torsion of Testis. BJU International (2000). The Hospital for Sick
Children ; Bristol, United Kingdom
2. Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas &
Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249
3. Greenberg, Michael. 2005. Testicular Torsion page 329. Greenberg’s Text Atlas of
Emergency Medicine. Lippicott Williams – Willkins : Philadelphia
4. Leape.L.L . 1990. Testicular Torsion. In : Ashcraft.K.W (ed), Pediatric Urology,;
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
5. Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric
urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm
6. Purnomo, Basuki P. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 2003. 8,145-148.
7. Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2006. Testicular Torsion. American Family
Physician. University of Missouri–Columbia School of Medicine: Columbia, Missouri
15;74(10):1739-1743.
8. Rupp.T.J. 2006. Testicular Torsion, Department of Emergency Medicine, Thomas
Jefferson University, akses di http://www.emedicine.com/med/topic2560.htm
9. Scott, Roy, Deane, R.Fletcher. Urology Ilustrated. London and New York : Churchill
Livingstone. 1975. 324-325.
10. Sjamsuhidajat R, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran – EGC. 2004. 799.
11. Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-
Laki dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai