Anda di halaman 1dari 64

REFERAT

“FRAKTUR DAN DISLOKASI”

Disusun Oleh :
NISA UTAMI IKA PERMATASARI
1102012197

Pembimbing :
dr. Ricky Hutapea, Sp. OT

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


PERIODE 16 OKTOBER – 17 DESEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO
JAKARTA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2
1. ANATOMI TULANG ......................................................... 2
2. HISTOLOGI TULANG ....................................................... 4
3. FISIOLOGI TULANG ........................................................ 7
4. FRAKTUR ........................................................................... 20
5. DISLOKASI ........................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61

ii

iii

BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur orthopedi merupakan masalah kesehatan akut sehari- hari yang sering
kita jumpai. Terapi awal yang salah pada fraktur dapat meningkatkan morbiditas
jangka panjang yang signifikan dan, berpotensi meningkatkan mortilitas.1 Menurut
World Health Organization, kasus fraktur terjadi di dunia kurang lebih 13 juta orang
pada tahun 2008, dengan angka prevalensi sebesar 2,7%. Sementara pada tahun 2009
terdapat kurang lebih 18 juta orang mengalami fraktur dengan angka prevalensi 4,2%.
Tahun 2010 meningkat menjadi 21 juta orang dengan angkat prevalensi sebesar 3,5%.
Terjadinya fraktur tersebut termasuk di dalamnya insiden kecelakaan, cedera
olahraga, bencana kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya.
Fraktur adalah pecah atau rusaknya kontinuitas struktur dari tulang. Hal ini
dapat saja hanya sekedar retak, remahan atau pecahan dari cortex; seringkali
pecahnya komplit dan pecahan tulang tergusur. Fraktur dapat disebabkan karena
adanya cedera, penekanan dan dapat juga terjadi secara patologis.2
Fraktur juga dapat terjadi dengan dislokasi. Dislokasi terjadi saat tulang
tergelincir dari sendi, khasnya terjadi karena sendi mengalami penekanan tidak stabil
tiba- tiba. Dislokasi berarti tulang tidak lagi berada di tempat yang semestinya, hal ini
termasuk kegawatdaruratan yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan
pada ligamen, nervus, dan pembuluh darah.3

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI TULANG
Tulang diklasifikasikan menurut
bentuknya: tulang panjang, tulang pipih,
tulang pendek, atau ireguler. Struktur
dari tulang panjang menjadi suatu acuan
untuk menjelaskan stuktur tulang.4
Struktur tulang dilihat secara
makroskopis, terdiri dari kortikal atau
tulang kompakta dan tulang spongiosa
(Spongy and Trabecular Bone).
Metabolisme dari tulang kompakta
ditandai dengan rendahnya laju
Gambar 1. Bentuk Tulang
pergantian tulang dan tingginya Young’s modulus
(derajat kekakuan material padat). Hal ini berlaku sebaliknya untuk tulang
spongiosa yang lebih elastis dan mempunyai laju pergantian sel yang tinggi
untuk remodelling berdasakan tekanan yang melewati tulang. Struktur dari
tulang kompakta terdiri dari kelompok osteon atau Haversian systems, yaitu
osteon, kanal pembuluh darah dan lamelae interstisial. Sedangkan struktur dari
tulang spongiosa menopang jaringan secara longgar sehingga meningkatkan
porositas tulang dalam osteoporosis.5
Struktur tulang dari tulang panjang terdiri dari diafisis, atau batang dari
tulang, umumnya terdiri dari tulang kompakta, namun mengandung tulang
spongiosa juga. Ujung dari tulang panjang kebanyakan terdiri dari tulang
spongiosa dengan lapisan luar tulang kompakta. Diantara sendi, ujung dari
tulang panjang dilapisi oleh kartilago hyaline/ articular cartilago.4
Pada saat formasi dan pertumbuhan tulang, tulang terbentuk dari pusat
osifikasi. Pusat osifikasi primer terletak di diafisis. Epifisis adalah bagian dari
tulang panjang yang berkembang dari pusat osifikasi yang bukan di diafisis.
Setiap tulang lengan bawah, lengan atas, paha, dan tungkai mempunyai satu
atau lebih epifisis pada setiap ujung tulang. Setiap tulang dari tangan dan kaki

2

mempunyai satu epifisis, yang terletak pada proximal atau distal ujung dari
tulang.4
Plate epifisis atau growth plate, memisahkan epifisis dari diafisis.
Pemanjangan dari tulang panjang terjadi pada plate epifisis. Oleh karena itu,
pemanjangan dari tulang lengan atas, lengan bawah, paha, dan tungkai terjadi
pada kedua ujung diafisis, dimana pemanjangan dari tulang tangan dan kaki
terjadi pada satu ujung diafisis. Saat tulang berhenti memanjang, plate epifisis
terosifikasi dan dikenal dengan nama garis epifisis.4

Gambar 2. Struktur Tulang Panjang

Sebagai tambahan pada ruang kecil diantara tulang spongiosa dan


tulang kompakta, diafisis dari tulang panjang dapat mempunyai ruang internal
besar yang dikenal dengan nama kavitas medularis. Kavitas dari tulang

3

spongiosa dan kavitas medularis ini diisi oleh sumsum atau marrow. Red
marrow adalah tempat formasi sel darah, dan yellow marrow, kebanyakan
adalah jaringan adiposa.
Pada fetus, ruangan di dalam tulang terisi oleh red marrow. Perubahan
red marrow menjadi yellow marrow terjadi beberapa saat sebelum lahir dan
berlanjut sampai masa dewasa.4
Periosteum adalah membran jaringan ikat yang melapisi bagian luar
tulang. Lapisan luar fibrosa atau periosteum adalah jaringan ikat padat iregular
yang mengandung pembuluh darah dan nervus. Tendon dan ligamen
terhubung dengan tulang melalui ikatan jaringan ikatnya dengan periosteum.
Beberapa serat kolagen dari tendon dan ligamen memasuki periosteum ke
dalam bagian luar tulang, dikenal dengan nama perforating fibers, atau
Sharpey fibers, dan mereka memperkuat ikatan tendon dan ligamen dengan
tulang. Bagian dalam dari tulang atau endosteum adalah lapisan tunggal yang
terdiri dari sel tulang, termasuk osteoblast, osteoclast, dan osteochondral
progenitor cells.4
Tulang pipih terdiri dari interior framework dari tulang spongiosa
yang dihimpit oleh dua lapisan tulang kompakta. Tulang pendek dan tulang
ireguler mempunyai komposisi mirip dengan epifisis tulang panjang, yaitu
permukaan tulang kompakta yang mengelilingi pusat tulang spongiosa dengan
celah yang biasanya diisi sumsum. Tulang pendek dan tulang ireguler tidak
memanjang karena tidak memiliki diafisis. Walaupun begitu, beberapa bagian
dari tulang ini, seperti processus mempunyai plate pertumbuhan epifisis dan
maka dari itu mempunyai sedikit epifisis. Beberapa tulang pipih dan ireguler
dari tulang tengkorak mempunyai ruang yang terisi udara yang dikenal dengan
nama sinus, yang dilapisi oleh membran mukosa.4

2. HISTOLOGI TULANG
2.1. Matrix Tulang
Secara beratnya, matrix tulang yang matur berisi 35% material organik
dan 65% material inorganik. Material organik umumnya terdiri dari kolagen
dan proteoglycan. Material inorganik umumnya terdiri dari kristam kalsium
fosfat yang dikenal dengan nama hydroxyapatite.4

4

Kolagen mengisi 90% dari komponen organik, umumnya kolagen tipe
I yang memberikan kekuatan tarikan. Proteoglycan terdiri dari komplex
glycosaminoglycan dan protein, bertanggung jawab dalam memberikan
kekuatan tekanan dan inhibisi mineralisasi. Matrix protein termasuk
didalamnya protein non-kolagen yang berfungsi dalam mineralisasi dan
formasi tulang. Terdapat 3 macam protein utama dalam matrix tulang, yaitu
osteocalcin, osteonectin dan osteopontin.6
Osteocalcin merupakan komponen protein non-kolagen terbanyak,
diproduksi oleh osteoblast matur dan berfungsi dalam mineralisasi dan formasi
tulang, osteocalcin juga berperan langsung dalam regulasi densitas tulang
melalui partisipasi nya dalam menarik sinyal osteoclast. Hal ini distimulasi
oleh 1,25 dihydroxyvitamin D3 dan diinhibisi oleh PTH. Osteocalcin juga
dapat menjadi marker dalam menilai pergantian tulang, dapat diukur dalam
urin dan serum.6
Sedangkan osteonectin yang disekresi oleh trombosit dan osteoblast
diyakini mempunyai fungsi dalam regulasi kalsium atau mengatur mineral
dalam matrix. Osteopontin berfungsi sebagai cell-binding protein. Selain
komponen- komponen diatas, matrix juga mengandung komponen organik
seperti sitokin dan growth factor walaupun hanya sedikit, berperan dalam
diferensiasi sel, aktifasi, pertumbuhan, dan pergantian.6
Komponen inorganik pada matrix termasuk Kalsium Hydroxyapatite
yang memberikan kekuatan kompresi dan Osteokalsium fosfat.6
Kolagen dan mineral bertanggungjawab dalam karakteristik utama
tulang. Jika semua mineral dihilangkan dari tulang panjang, kolagen menjadi
bahan utama dan tulang pun menjadi terlalu flexibel. Sebaliknya, jika kolagen
dihilangkan, mineral menjadi bahan utama dan tulang pun menjadi rapuh.4
2.2. Sel Tulang
Sel tulang dikategorikan menjadi osteoblast, osteosit, dan osteoclast.
Setiap sel mempunyai fungsi dan asal yang berbeda- beda. Osteoblast adalah
sel pembentuk tulang, memiliki retikulum endoplasma yang luas dan ribosom
yang banyak. Osteoblast berasal dari osteochondral progenitor cells, stem cells
yang berada di lapisan dalam perikondrium dan dalam lapisan jaringan ikat
yang menutupi tulang (periosteum dan endosteum), osteochondral progenitor
cells dapat menjadi osteoblast maupun chondroblast.4
5

Osteoblast memproduksi kolagen dan proteoglikan yang dikemas
menjadi vesikel oleh Golgi apparatus dan dilepaskan dari sel dengan
eksositosis. Osteoblast juga melepaskan vesikel matrix, kantung terikat
membran yang terbentuk saat membran plasma menguncup, atau terlempar
keluar, dan menggentas. Vesikel matrix mengkonsentrasikan kalsium dan
fosfat dan membentuk kristal seperti jarum bernama hydroxyapatite. Saat
kristal ini dilepaskan dari vesikel matrix, mereka bertindak sebagai template,
atau “benih”, yang menstimulasi formasi template, atau “benih”, yang
menstimulasi formasi hydroxyapatite lebih lanjur dan mineralisasi dari
matrix.4
Osifikasi, atau osteogenesis, adalah formasi tulang oleh osteoblast.
Osifikasi terjadi dengan pertumbuhan aposisional pada permukaan tulang
ataupun tulang rawan yang ada sebelumnya. Prosesus sel yang memanjang
dari osteoblast menghubungkan prosesus sel osteoblast yang lain melalui gap
junction. Matrix tulang yang diproduksi oleh osteoblast menutupi permukaan
tulang sebelumnya dan mengelilingi badan sel dan processus dari osteoblast.
Hasil akhirnya adalah lapisan baru dari tulang.4
Osteoblast yang sudah dikelilingi matrix tulang, disebut osteosit.
Osteosit menjadi relatif tidak aktif, dibanding dengan kebanyakan osteoblast,
namun masih mungkin untuk memproduksi komponen yang dibutuhkan untuk
mempertahankan matrix tulang.4
Celah yang diisi oleh badan sel osteosit disebut lakuna, dan celah yang
diisi oleh prosesus dari osteosit disebut kanalikuli. Dalam arti, sel dan
prosesnya membentuk "cetakan" di mana matriks terbentuk. Tulang berbeda
dari tulang rawan karena prosesus dari sel tulang bersentuhan satu sama lain
melalui kanalikuli. Alih-alih menyebar melalui matriks mineral, nutrisi dan
gas dapat melewati sejumlah kecil cairan yang mengelilingi sel-sel di
kanalikuli dan lakuna atau berpindah dari satu sel ke sel melalui gap junction
yang menghubungkan prosesus sel.4
Osteoclast adalah sel penghancur tulang yang melakukan, atau
pemecahan, dari tulang yang melakukan mobilisasi krusial ion kalsium dan
fosfat dalam berbagai proses metabolik. Sel ini besar dan berinti banyak,
mereka berasal dari garis monosit/ makrofag red bone marrow. Prekursor ini

6

menempel pada matrix tulang dimana kontak langsung dengan osteoblast
dibutuhkan untuk dilakukannya maturasi menjadi osteoclast fungsional.4
Osteoclast matur membawa reabsorpsi tulang melalui beberapa proses.
Pertama, osteoclast harus mengakses matrix tulang. Teori saat ini
menerangkan bahwa lining osteoblast pada jaringan ikat di sekeliling tulang
mengatur pergerakan osteoclast ke area remodelling. Saat osteoclast sudah
menyentuh permukaan tulang, mereka membuat
struktur ikatan melalui interaksi dengan cell-surface
protein yang dinamakan integrin. Setelah itu,
struktur bernama podosome berkembang dan
membentuk kompartemen tertutup dibawah
osteoclast. Membran sel dari osteoclast lalu
Gambar 3. berdiferensiasi menjadi bentuk yang sangat terlipat
Struktur
Osteoclast dinamakan ruffled border.4
Ruffled border adalah area spesifik khusus
reabsorpsi dari membran. Vesikel asam menyatu
dengan membran dari ruffled border, sementara pompa H+ yang ditenagai
ATP, dan protein-digesting enzyme dimasukan ke dalam membran dari ruffled
border. Sekresi dari H+ membuat lingkungan yang asam dalam kompartemen
tertutup tersebut, yang menyebabkan dekalsifikasi dari matrix tulang. Protein-
digesting enzyme disekresi ke dalam kompartemen tertutup tersebut dan
mencerna protein organik dari matrix tulang. Setelah dihancurkannya matrix,
degradasi produk dibuang dengan mekanisme trancytosis, dimana produk
masuk ke dalam osteoclast dan berpindah ke sitoplasma di sisi lain. Disitu,
degradasi produk disekresi ke ruang ekstraseluler, masuk ke dalam aliran
darah, dan digunakan di tempat lain dalam tubuh.4

3. FISIOLOGI TULANG
3.1.Perkembangan Tulang
Saat perkembangan janin, pembentukan tulang terjadi dengan 2 cara,
yaitu osifikasi intramembranosa dan osifikasi endokondral. Osifikasi
intramembranosa terjadi dalam membran jaringan ikat dan osifikasi
endokondral terjadi dalam kartilago. Keduanya sama- sama mengawali
pembentukan tulang dengan woven bone, yang lalu akan di remodelling.
7

Setelah remodelling, tulang yang terbentuk baik secara intramembranosa
ataupun endokondral tidak akan bisa dibedakan.4
Osifikasi intramembranosa bermula pada minggu ke-8 perkembangan
embrio dan selesai saat umur 2 tahun. Banyak tulang tengkorak,
beberapa bagian mandibula, dan diafisis dari klavikula terbentuk dengan
osifikasi intramembranosa.4
Lokasi pada membran tempat osifikasi dimulai disebut pusat osifikasi.
Pusat osifikasi meluas untuk membentuk tulang dengan secara bertahap
mengeraskan membran.4
Tahap- tahap osifikasi intramembranosa adalah sebagai berikut:4
1) Osifikasi intramembranosa bermula saat beberapa sel mesenkim pada
membran menjadi sel osteokondral progenitor, yang akan menjadi
osteoblast. Osteoblast memproduksi matrix tulang yang mengelilingi
serat kolagen dari membran jaringan ikat, dan osteoblast menjadi
ostecyte. Hasil dari proses ini, banyak trabekula kecil dari woven
bone yang berkembang.
2) Tambahan osteoblast berkumpul pada permukaan trabekula dan
membentuk lebih banyak tulang, sehingga menyebabkan trabekula
menjadi lebih besar dan panjang. Tulang spongiosa membentuk
seiring trabekula bergabung bersama, menghasilkan jaringan
trabekula yang saling berhubungan, dipisahkan oleh celah.
3) Sel di dalam celah dari tulang spongiosa berguna untuk membentuk
red bone marrow, dan sel yang mengelilingi tulang berkembang
untuk membentuk periosteum. Osteoblast dari periosteum meletakkan
matrix tulang untuk membentuk permukaan luar dari tulang
kompakta.
Demikian, hasil akhir dari formasi tulang intramembranosa adalah
tulang dengan permukaan luar tulang kompakta dan tulang spongiosa di
tengahnya. Remodelling merubah woven bone menjadi lamellar bone
dan berkontribusi dalam pembentukan akhir dari tulang.4
Formasi dari kartilago dimulai kira- kira pada akhir minggu ke-4 dari
perkembangan embrio. Osifikasi endokondral dari beberapa kartilago
dimulai saat kurang lebih 8 minggu dari perkembangan embrio, namun
proses ini tidak terjadi pada kartilago lain sampai akhir dari umur 18
8

sampai 20 tahun. Tulang dari dasar tengkorak, bagian dari mandibula,
epifisis dari klavikula, dan sistem skeletal yang lain berkembang melalui
osifikasi endokondral.4
Tahap- tahap dalam osifikasi endokondral adalah sebagai berikut:4
1) Osifikasi endokondral dimulai saat sel mesenkim agregasi di daerah
yang akan terjadi formasi tulang. Sel mesenkim menjadi sel
ostekondral progenitor yang nantinya akan menjadi kondroblast.
Kondroblast memproduksi model kartilago hyalin. Jika kondroblast
sudah dikelilingi matrix kartilago, mereka menjadi kondrosit. Model
kartilago dikelilingi perikondrium, kecuali di tempat dimana sendi
akan terbentuk dan menghubungkan tulang dengan tulang yang lain.
Perikondirum adalah jaringan kontinu yang akan menjadi kapsul
sendi.
2) Saat pembuluh darah menginvasi perikondrium yang mengelilingi
model kartilago, sel osteokondral progenitor di dalam perikondrium
menjadi osteoblast. Perikondrium menjadi periosteum saat osteoblast
mulai memproduksi tulang. Osteoblast memproduksi tulang
kompakta pada permukaan dari model kartilago, membentuk bone
collar. Model kartilago membesar dari hasil pertumbuhan interstisial
dan apositional dari kartilago. Kondrosit di tengah model kartilago
mengabsorpsi matrix kartilago dan hipertofi, atau membesar.
Kondrosit juga melepaskan vesikel matrix, yang akan mengawali
pembentukan dari kristal hydroxyapatite dalam matrix kartilago. Pada
saat ini, kartilago disebut dengan calcified cartilage. Kondrosit pada
area yang mengeras ini pada akhirnya akan mati, menghasilkan
lakuna yang besar dalam dinding tipis dari matrix yang sudah
mengeras.
3) Pembuluh darah tumbuh ke dalam lakuna yang membesar dari
kartilago yang mengeras. Osteoblast dan osteoclast migrasi ke dalam
area kartilago yang mengeras dari periosteum dengan cara seperti
jaringan ikat mengelilingi bagian luar dari pembuluh darah.
Osteoblast memproduksi tulang pada permukaan kartilago yang
mengeras, membentuk trabekula tulang, yang merubah calcified

9

cartilage dari diafisis menjadi tulang spongiosa. Area dari
pembentukan tulang ini dinamakan pusat osifikasi primer.
4) Pada proses perkembangan tulang, model kartilago terus tumbuh,
lebih banyak lagi perikondrium yang menjadi periosteum, dan bone
collar menebal dan meluas sepanjang diafisis. Kartilago tambahan
dalam diafisis dan epifisis mengeras. Remodelling merubah woven
bone menjadi lamellar bone dan mengkontribusi pada bentuk hasil
akhir dari tulang. Osteoclast menghancurkan tulang dari pusat diafisis
untuk membentuk kavitas medula, dan sel di dalam kavitas medula
akan membentuk red bone marrow.
5) Pada tulang panjang, diafisis dari pusat osifikasi primer, dan tempat
osifikasi lain, yang disebut pusat osifikasi sekunder, muncul di
epifisis. Hal yang terjadi di pusat osifikasi sekunder sama dengan
pusat osifikasi primer, kecuali celah di epifisis nya tidak membesar
untuk membentuk kavitas medula seperti di diafisis. Pusat osifikasi
primer muncul saat awal perkembangan janin, dimana pusat osifikasi
sekunder muncul di proximal epifisis femur, humerus, dan tibia
sekitar 1 bulan sebelum bayi lahir.
6) Penggantian kartilago oleh tulang berlanjut pada model kartilago
sampai semua sudah terganti oleh tulang kecuali di plate epifisis dan
permukaan kartilago. Saat semua tulang sudah berhenti tumbuh, plat
epifisis menjadi “luka” yang disebut garis epifisis.
7) Pada tulang yang matur, spongy dan tulang kompakta telah
berkembang sepenuhnya, dan plate epifisis telah menjadi garis
epifisis. Satu- satunya kartilago yang ada adalah kartilago artikular
pada ujung tulang. Semua perikondrium yang mengelilingi model
kartilago sudah menjadi periosteum.
3.2.Remodelling Tulang
Remodelling tulang adalah proses pergantian tulang yang lama dengan
yang baru. Pada proses ini, osteoclast menghilangkan tulang yang lama
dan osteoblast menaruh tulang yang baru. Remodelling tulang
mengganti woven bone menjadi lamellar bone dan terlibat dalam
beberapa fungsi penting, termasuk pertumbuhan tulang, perubahan

10

dalam bentuk tulang, penyesuaian tulang terhadap stres, repair tulang,
dan regulasi ion kalsium dalam tubuh.4
Remodelling tulang melibatkan BMU atau basic multicellular unit,
tempat perkumpulan sementara dari osteoclast dan osteoblast yang
berjalan melewati permukaan tulang, menghapus matrix tulang yang
lama dan menggantinya dengan yang baru.4
Pada tulang kompakta, osteoclast dari BMU memecah matrix tulang,
membentuk sebuah terowongan. Lamellae interstisial adalah sisa osteon
yang tidak terhapus saat BMU membentuk terowongan tersebut.
Pembuluh darah tumbuh ke dalam terowongan, dan osteoblast dari BMU
masuk ke dalam dan menaruh lapisan tulang pada dinding terowongan,
membentuk lamella yang konsentrik. Lamella yang konsentrik pun
dibentuk lebih banyak, mengisi terowongan dari luar ke dalam, sampai
osteon terbentuk, dengan pusat dari terowongan menjadi kanal berisi
pembuluh darah. Pada tulang spongiosa, BMU menghapuskan matrix
tulang dari permukaan trabekula, membentuk kavitas, yang nantinya
BMU akan isi dengan matrix tulang yang baru.4
Jumlah stres yang diaplikasikan pada tulang dapat memodifikasi
kekuatan tulang melalui remodelling, pembentukan tulang tambahan,
perubahan dalam penyelarasan trabekuler untuk memperkuat lipatan,
atau perubahan lainnya. Tekanan mekanis yang diterapkan pada tulang
meningkatkan aktivitas osteoblast dalam jaringan tulang, dan
penghilangan tegangan mekanik menurunkan aktivitas osteoblast.4
Dalam kondisi stres yang berkurang, seperti ketika seseorang terbaring
di tempat tidur atau lumpuh, aktivitas osteoclast berlanjut pada tingkat
yang hampir normal namun aktivitas osteoblas menurun, sehingga
mengurangi kepadatan tulang. Selain itu, tekanan pada tulang
menyebabkan perubahan listrik yang meningkatkan aktivitas osteoblas;
Karena itu, menerapkan bobot (tekanan) pada tulang yang patah bisa
mempercepat proses penyembuhan. Pulsasi lemah arus listrik terkadang
diaplikasikan pada tulang yang patah untuk mempercepat
4
penyembuhan.

11

3.3.Repair Tulang
Perbaikan tulang yang alamiah terjadi dengan pembentukan calus. Hal
ini terjadi saat tidak adanya fixasi yang rigid.
Perbaikan tulang dengan calus terjadi dalam 5 tahap:2
1) Destruksi jaringan dan pembentukan hematom
Pada tahap ini pembuluh darah terobek dan hematoma terbentuk di
sekitar ataupun di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur
kehilangan suplai darah, mati sebanyak 1 ataupun 2 mm.
2) Inflamasi dan proliferasi sel
Dalam 8 jam setelah fraktur, reaksi inflamasi akut terjadi dan sel
inflamasi bermigrasi, proliferasi dan diferensiasi dari sel mesenkim
dimulai dari periosteum, kanal medula yang terkena dan otot di
sekitarnya. Sejumlah besar mediator inflamasi (sitokin dan berbagai
macam growth factor) terlibat dalam hal ini. Hematoma yang
menggumpal perlahan di absorpsi dan kapiler baru tumbuh ke dalam
area tersebut.
3) Formasi calus
Sel stem yang berdiferensiasi menyediakan populasi sel
chondrogenic dan osteogenic yang akan membentuk tulang dan,
pada beberapa kasus, kartilago. Populasi sel ini mulai terdapat
osteoclast (kemungkinan dari pembuluh darah baru), yang mulai
menyapu tulang yang mati. Masa seluler tebal, dengan pulau tulang
dan kartilago imatur, membentuk kalus pada permukaan periosteum
dan endosteum. Seiring dengan woven bone yang menjadi padat
karena mineralisasi, pergerakan pada area fraktur mulai berkurang
secara progresif dan pada saat 4 minggu setelah cedera fraktur sudah
mulai menyatu.
4) Konsolidasi
Dengan melanjutnya aktifitas osteoclast dan osteoblast, woven bone
berubah menjadi lamellar bone. Sistem ini sekarang sudah kokoh
untuk membiarkan osteoclast menggali debris pada garis fraktur,
dan menutupnya. Osteoblast mengisi sisa celah diantara fragmen
dengan tulang baru. Hal ini merupakan proses yang lama dan dapat

12

terjadi sampai beberapa bulan sampai tulang benar- benar kuat
untuk mengangkat beban normal.
5) Remodelling
Fraktur sudah terjembatani oleh tulang yang padat. Setelah beberapa
bulan, atau tahun, pernyambungan yang mentah ini akan dibentuk
kembali oleh proses berkelanjutan dari resorpsi dan formasi tulang.
Lamellae yang lebih tebal akan terbentuk di tempat dengan stres
yang tinggi, penopang yang tidak diinginkan dibuang dan kavitas
medula dibentuk kembali. Pada akhirnya, dan khususnya pada anak-
anak, tulang kembali seperti hampir pada awalnya
Studi klinis dan experimen telah membuktikan bahwa callus adalah
respon dari gerakan pada letak fraktur. Fraktur terbentuk untuk
menstabilkan fragmen secepat mungkin dalam rangka penyambungan
tulang. Jika letak fraktur benar- benar imobile seperti pada fraktur
impaksi di tulang spongiosa atau fraktur yang di imobilisasi dengan
metal plate, tidak terjadi stimulus pembentukan callus. Yang terjadi
adalah, formasi tulang baru dari osteoblast diantara fragmen. Jarak
diantara permukaan fraktur dimasuki kapiler baru dan sel
osteoprogenitor tumbuh dari dalam pada kedua ujung, tulang yang baru
ditaruh pada permukaan yang terkena. Dimana retak sangat sempit
(kurang dari 200 mikrometer), osteogenesis memproduksi lamellar
bone; celah yang lebih besar akan diisi dulu oleh woven bone, yang
nantinya akan berubah menjadi lamellar bone. Pada minggu ke-3 sampai
ke-4, fraktur akan cukup padat untuk membiarkan penetrasi dan
penyatuan dari area oleh bone remodelling unit (osteoclastic ‘cutting
cones’ diikuti dengan osteoblast). Dimana permukaan fraktur yang
terekspos sangat dekat dan terpegang secara kokoh dari awal, penyatuan
internal mungkin akan terjadi tanpa stadium intermediate (contact
healing).2
Penyembuhan fraktur dengan cara ini berarti tidak adanya callus dan ada
waktu panjang dimana tulang benar- benar tergantung pada metal
implant untuk integritasnya. Implan mengalihkan stres dari tulang, yang
dapat menjadikannya osteoporotik dan tidak sembuh sempurna sampai
metal dilepas.2
13

Proses dari penyembuhan fraktur sedikit berbeda pada tulang kortikal
dari batang tulang panjang dengan tulang spongiosa dari metafisis tulang
panjang atau badan dari tulang pendek. Penyembuhan pada fraktur
tulang kortikal (tulang diafis) (tulang tubular) bermula saat fraktur pada
batang tulang panjang, pembuluh darah kecil mengarah melewati
kanalikui dari sistem Haversian terputus. Setelah beberapa saat terjadi
perdarahan internal, pembekuan terjadi pada pembuluh darah kecil ini
dan meluas beberapa jarak dari letak fraktur untuk mengintakan
anastomosis pembuluh darah dalam tulang. Oleh karena itu, osteosit
dalam lakuna untuk beberapa milimeter dari letak fraktur kehilangan
suplai darah dan mati; maka dari itu selalu terdapat ring avaskular,
tulang mati pada setiap permukaan fraktur tidak lama setelah terjadinya
cedera. Segmen tulang mati ini pada akhirnya akan digantikan oleh
tulang hidup melewati proses yang stimultan dari resorpsi dan deposisi
tulang.7
Sel repair dari penyembuhan fraktur adalah sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus external, dan
endosteum untuk membentuk kalus internal. Saat periosteum terputus
dengan buruk, penyembuhan harus melewati fase diferensiasi dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi yang terdapat di jaringan sekitar
periosteum.7
Pada akhir minggu- minggu pertama, kalus fraktur berisi masa
berenvelope yang tebal dari jaringan osteogenik. Pada masa ini kalus
tidak mengandung tulang dan maka dari itu akan terlihat radioulsen pada
pemeriksaan radiografi. Fraktur kalus awalnya soft dan hampir
berkonsistensi seperti cairan, akan menjadi lebih tegas seperti lem
dengan hasil fraktur akan menjadi lebih menempel dan lebih tidak
mobile. Secara histologis, tahap maturasi kalus ini ditandai dengan
formasi tulang baru pada kalus osteogenik, awalnya pada tempat yang
jauh dari fraktur dimana periosteum masih mendapatkan suplai darah
yang baik dan pergerakan minimal. Sel osteogenik berdiferensiasi
menjadi osteoblast, dan woven bone primer akan terbentuk. Untuk letak
yang dekat dengan fraktur dimana suplai darah kurang baik dan

14

pergerakan masih banyak, sel osteogenik berdiferensiasi menjadi
kondroblast dan maka dari itu kartilago lah yang terbentuk.7
Saat kalus fraktur sudah menjadi tegas sehingga pergerekan tidak lagi
terjadi pada tempat fraktur, fraktur dapat dikatakan menyatu secara
klinis atau sering disebut clinical union. Pada tahap ini kekuatan tulang
belum kembali seutuhnya. Pemeriksaan radiografi akan memperlihatkan
bukti adanya tulang dalam kalus namun garis fraktur masih terlihat.
Secara histologis, beragam jumlah dari woven bone primer, begitu juga
dengan kartilago sedang mengalami osifikasi endokondral.7
Seiring waktu berjalan, kalus sementara diganti secara bertahap dengan
lamellar bone yang matur dan sisa kalus secara bertahap diserap.
Beberapa bulan setelah fraktur, saat semua tulang imatur dan kartilago
dari kalus temporer sudah diganti dengan lamelar bone yang matur,
fraktur dapat dikatakan sudah terkonsolidasi atau sering disebut
radiographic union.7
Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal dengan internal fixasi artinya
tempat fraktur terbebas dari stres dan tulang pun tidak akan tahu kalau
telah terjadi fraktur. Dalam hal ini tidak terjadi stimulus untuk produksi
kalus external dari periosteum maupun kalus internal dari endosteum
dan artinya penyembuhan fraktur terjadi langsung diantara kortex suatu
fragmen dan kortex fragmen lainnya. Hal ini dinamakan oleh ahli bedah
fraktur AO/ ASIF sebagai primary bone healing, berlainan dengan
penyambuhan yang melibatkan kalus atau dinamakan secondary
healing.7
Pada area dengan kontak yang jelas (dibawah kompresi) osteoklastik
“cutter heads” melewati tempat fraktur mikroskopik dan diikuti dengan
jembatan baru osteon. Bahkan saat ada celah kecil, penyembuhan terjadi
langsung dengan formasi dari osteon yang baru yang akan menjadi
berorientasi melewati remodelling Haversian ke axis tulang. Selama alat
metal, seperti plate rigid, masih terpasang maka tulang akan terbebas
dari stres karena stres dialihkan ke alat ini. Maka dari itu tulang pada
bagian yang terpasang alat cenderung menjadi osteoporosis karena
disuse. Untuk alasan ini, saat fraktur sudah menyatu, plate dan screw
harus dilepas. Pada beberapa bulan, tulang yang sembuh harus
15

dilindungi dari stres yang berlebihan sampai mendapatkan fungsi
normalnya kembali.7
Penyembuhan pada tulang spongiosa (tulang metafisis dan kuboid)
berbeda dengan penyembuhan pada tulang kompakta karena tulang ini
terdiri dari lattice seperti spons dari trabekula halus yang saling
berhubungan dan ortex yang mengelilingi relatif tipis. Penyembuhan
dari fraktur pada tulang spongiosa terjadi dari formasi kalus internal dari
endosteum, walaupun formasi kalus external juga berperan pada anak-
anak. Karena kayanya suplai darah untuk trabekula yang tipis pada
tulang spongiosa, nekrosis pada fraktur hanya terjadi sedikit dan
penyatuan pun terjadi lebih cepat. Sel repair osteogenik dari endosteum
yang menyelimuti trabekula berproliferasi untuk membentuk woven
bone primer dalam hematoma internal dari fraktur. Akhirnya celah
terbuka pun terisi dan cepat menyebar ke tempat fraktur dimana terdapat
kontak yang baik.7
Maka dari itu penyembuhan fraktur awal pada tulang spongiosa terjadi
pada tempat dimana kontak langsung terjadi antara permukaan fraktur
dibantu oleh kalus endosteum; namun setelah penyatuan terjadi pada
titik kontak, fraktur sudah menyatu secara klinis dan penyatuan akan
menyebar ke sepanjang lebar tulang. Kemudia, woven bone diganti
dengan lamellar bone seiring fraktur terkonsolidasi; akhirnya pola
trabekular dibuat kembali oleh remodelling “internal” dari tulang.7
Penyembuhan fraktur pada kartilago artikular sangatlah terbatas dalam
kemampuannya untuk menyembuhkan atau regenerasi. Fraktur pada
kartilago artikular sembuh dengan luka jaringan fibrosa atau gagal untuk
sembuh. Jika berhasil, luka tipis yang ada akan menyebabkan arthritis
degeneratif. Jika terdapat celah, jaringan fibrosa yang datang untuk
mengisinya tidak akan mampu menopang dan robekan dari fungsi sendi
dan masalah perubahan degeneratif yang lebih luas akan muncul.7
Waktu yang dibutuhkan dalam penyembuhan fraktur yang tidak
mempunyai komplikasi dapat diestimasikan dengan memperhatikan
faktor penting sebagai berikut:7

16

1) Usia Pasien
Pada sat lahir, penyembuhan fraktur sangatlah cepat, lalu menjadi
semakin melambat per tahun nya dalam masa kanak- kanak. Pada
dewasa sampai usia tua, waktu penyembuhan fraktur relatif konstan.
Contoh lama penyembuhan fraktur pada batang femur; pada saat lahir
union akan terjadi dalam 3 minggu, usia 8 tahun akan terjadi dalam 2
bulan, usia 12 tahun akan terjadi 3 bulan; dan dari usia 20-an sampai
usia tua akan terjadi union kira- kira 5 bulan.
2) Letak dan konfigurasi dari fraktur
Fraktur dari tulang yang dikelilingi otot sembuh lebih cepat dibanding
fraktur pada porsi tulang yang letaknya subkutan atau diantara sendi.
Fraktur pada tulang spongiosa sembuh lebih cepat dibanding tulang
kompakta. Fraktur oblique panjang dan spiral dari batang femur
walaupun permukaannya lebar akan sembuh lebih cepat dibanding
fraktur transverse.
3) Displacement pada awal fraktur
Fraktur yang undisplaced, dengan periosteal sleeve yang intak akan
sembuh dua kali lebih cepat dibanding fraktur displaced. Semakin
besar displacement awal, semakin luas robeknya periosteal sleeve dan
berarti semakin lama penyembuhan fraktur akan terjadi.
4) Suplai darah untuk fragmen fraktur
Jika kedua fragmen fraktur mempunyai suplai darah yang baik dan
yang berarti tetap hidup, fraktur akan sembuh jika tidak ada
komplikasi. Namun jika satu fragmen telah kehilangan suplai darah
yang berarti telah mati, fragmen yang hidup harus menyatu dengan
fragmen yang mati, union akan terjadi lambat dan imobilisasi yang
kokoh dari fraktur dibutuhkan. Jika kedua fragmen avaskular, union
tidak akan terjadi sampai adanya revaskularisasi walaupun diberikan
imobilisasi yang kokoh.
Pemeriksaan pada penyembuhan fraktur perlu dapat dilakukan dengan
cara meminta pasien untuk melakukan gaya menekuk, memutar dan
menekan pada fraktur untuk menentukan adanya atau tidak adanya
pergerakan. Jika sudah tidak ada pergerakan, fraktur dapat dikatakan
sudah mencapai clinical union.7
17

Pada masa clinical union, permeriksaan radiografi akan memperlihatkan
bukti adanya tulang pada kalus, namun garis fraktur masih terlihat. Pada
masa ini, imobilisasi sudah tidak diperlukan namun penyembuhan tulang
belum mencapai kekuatan normal; maka dari itu masih dibutuhkan
proteksi dari stres sampai konsolidasi terjadi yang akan ditandai dengan
gambaran kalus yang sudah terosifikasi sempurna yang menjembatani
fraktur dan lenyapnya garis fraktur.7
Penyembuhan dari fraktur dapat terjadi abnormal dalam 3 cara dibawah
ini:7
a) Fraktur dapat sembuh dalam waktu yang diharapkan namun posisi
tidak memuaskan degan adanya deformitas sisa dari tulang (mal-
union)
b) Fraktur dapat sembuh pada akhirnya namun memakan waktu lebih
lama dengan yang sudah diharapkan (delayed union)
c) Fraktur dapat gagal sepenuhnya untuk sembuh oleh tulang dengan
bentuk yang dihasilkan adalah fibrous union atau false joint
(pseudoarthritis).
3.4.Homeostasis Kalsium
Tulang memainkan peranan penting dalam mengatur kadar kalsium
darah. Fungsi kalsium adalah sebagai potensial membran dan untuk
kontraksi otot. Tulang merupakan tempat penyimpanan terbesar dari
kasium. Homeostasis kalsium diatur oleh 2 hotmon yaitu Parathyroid
(PTH) dan Kalsitonin. PTH merupakan regulator utama kadar kalsium
darah. Saat kadar kalsium darah rendah akan terjadi stimulasi sekresi
PTH, lalu PTH akan menstimulasi osteoblast untuk melepaskan enzim
yang menghancurkan lapisan matrix yang belum termineralisasi pada
tulang dan menjadikannya matrix yang sudah termineralisasi untuk
osteoclast.4
Jumlah osteoclast diatur oleh interaksi osteoblast dan stem sel red bone
marrow monosit atau makrofag; mereka lah yang mempunyai reseptor
untuk PTH. PTH menduduki reseptor ini dan osteoblast akan
memproduksi RANKL (receptor activator of nuclear factor kappaB
ligand). RANKL diexpresikan pada permukaan osteoblast dan
bercampur dengan RANK (receptor activator of nuclear factor kappaB)
18

yang ada di permukaan sel stem prekursor osteoclast. Produksi
osteoclast dihambat oleh OPG (osteoprotegerin) yang disekresi oleh
osteoblast dan sel lain. OPG menghambat produksi osteoclast dengan
cara menempel pada RANK dan mencegah RANKL menempel pada
reseptornya di stem sel prekursor osteoclast. Meningkatnya PTH akan
menyebabkan turunnya sekresi OPG dan meningkatnya RANKL
sehingga aktifitas osteoclast pun meningkat.4
PTH juga mengatur kadar kalsium darah dengan meningkatkan uptake
kalsium dalam usus. PTH yang meningkat akan mengaktifasi vitamin D
di ginjal menjadi kalsitriol; berguna untuk absorpsi kalsium pada usus.
PTH juga meningkatkan reabsorpsi kalsium dalam urin di ginjal yang
akan menurunkan banyaknya kalsium yang hilang dalam urin. 4
Dan sebaliknya, naiknya kadar kalsium dalam darah akan
mengakibatkan sekresi PTH yang menurun, turunnya aktifitas osteoclast,
menurunnya pelepasan kalsium dari tulang, dan pada akhirnya turunnya
kadar kalsium dalam darah.4
Kalsitonin disekresikan dari kelenjar tiroid saat kadar kalsium darah
tinggi, menurunkan aktifitas osteoclast dengan menempel pada reseptor
di osteoclast.4

Gambar 4. Homeostasis Kalsium

19

4. FRAKTUR
4.1.Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural dari tulang. Hal ini
dapat saja hanya berupa retakan atau serpihan dari kortex, namun lebih
sering putusnya kontinuitas ini komplit dan fragmen tulang berpindah.2
4.2.Etiologi
Fraktur dapat terjadi karena 3 hal: (1) cedera; (2) stres yang berulang;
atau (3) patologis. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh gaya yang tiba-
tiba dan berlebihan, yang dapat terjadi secara langsung (direct force)
ataupun tidak langsung (indirect force). Dengan direct force tulang
putus pada titik impaksi; jaringan lunak pun ikut rusak. Dengan indirect
force tulang putus dengan jarak dari tempat impaksi; kerusakan jaringan
pada area fraktur tidak dapat dihindari.2
Walaupun kebanyakan fraktur terjadi karena kombinasi gaya (twisting,
bending, compressing atau tension), pola x-ray dapat memberitahu
mekanisme yang paling dominan:2
• Twisting menyebabkan fraktur spiral
• Bending menghasilkan fraktur dengan fragmen triangular
‘butterfly’
• Compression menyebabkan fraktur obliq yang pendek
• Tension cenderung menyebabkan tulang putus secara transverse;
pada beberapa situasi hal ini dapet mengalvusi fragmen kecil dari
tulang di tempat insersi ligamen atau tendon

Gambar 5. Mekanisme Cedera

20

Fraktur karena stress berulang terjadi pada tulang normal yang menjadi
subjek tumpuan berat berulang, seperti pada atlet, penari, atau anggota
militer yang menjalani program berat. Beban ini menciptakan perubahan
bentuk yang memicu proses normal remodeling, kombinasi dari resorpsi
tulang dan pembentukan tulang baru menurut hukum Wolff. Ketika
pajanan terjadap stress dan perubahan bentuk terjadi berulang dan dalam
jangka panjang, resorpsi terjadi lebih cepat dari pergantian tulang,
mengakibatkan daerah tersebut rentan terjadi fraktur. Masalah yang
sama terjadi pada individu dengan pengobatan yang mengganggu
keseimbangan normal resorpsi dan pergantian tulang; stress fracture
meningkat pada penyakit inflamasi kronik dan pasien dengan
pengobatan steroid atau methotrexate.2
Fraktur patologis dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah
lemah karena perubahan strukturnya (seperti pada osteoporosis,
osteogenesis imperfekta, atau Paget’s disease) atau melalui lesi litik
(contoh: kista tulang, atau metastasis).2
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat
dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
4.3.Klasifikasi
Pembagian fraktur menjadi tergantung pada:7
1) Site
- Diafisis
- Metafisis
- Epifisis
- Intra-articular
2) Extent
- Komplit
21

- Inkomplit
o crack, atau hairline fracture
o buckle fracture
o greenstick fracture
3) Configuration
Jika hanya mempunyai 1 garis fraktur:
- Transverse
- Oblique
- Spiral
Jika mempunyai lebih dari 1 garis fraktur, dan dengan demikan
lebih dari 2 fragmen:
- Comminuted
4) Hubungan antara fragmen fraktur
- Displaced
- Undisplaced
o Shifted
o Angulated
o Rotated
o Distracted
o Overriding
o Impacted
5) Hubungan fraktur dengan dunia luar
- Closed
Dikatakan fraktur tertutup jika kulit masih intak.
Terdapat klasifikasi Tscherne untuk fraktur tertutup yaitu:2
o Grade 0 : fraktur sederhana dengan sedikit atau
tidak ada sama sekali cedera jaringan
lunak
o Grade 1 : fraktur dengan abrasi superfisial atau
memar pada kulit dan jaringan subkutan
o Grade 2 : fraktur yang lebih berat dengan
kontusio dan pembengkakan pada
jaringan lunak dalam
o Grade 3 : cedera berat dengan tanda kerusakan
22

jaringan lunak yang jelas dan ancaman
terjadi sindroma kompartemen
- Open
Dikatakan fraktur terbuka jika ada kontak dengan dunia luar,
dapat karena fragmen fraktur telah melewati kulit dari dalam
ataupun karena benda tajam yang telah menembus kulit ke
dalam fraktur tulang. Fraktur terbuka membawa risiko serius
untuk sampai menjadi infeksi.
Terdapat klasifikasi Gustilo-Anderson untuk fraktur terbuka
yaitu:2
o Tipe I : luka biasanya kecil, penusukan tulang
bersih. Terdapat sedikit kerusakan
jaringan lunak tanpa penekanan dan
fraktur tidak comminuted.
o Tipe II : luka biasanya lebih dari 1cm, namun
tidak ada flap kulit. Tidak banyak
jaringan lunak yang rusak dan
penekanan atau comminution dari
fraktur sedang.
o Tipe III : terdapat laserasi besar, kerusaan pada
kulit dan jaringan lunak yang mendasar
luas dan, pada contoh berat, terdapat
gangguan vaskular. Cedera diakibatkan
oleh high-energy transfer ke tulang dan
jaringan lunak. Kontaminasi terlihat
jelas.
§ IIIa : tulang fraktur dapat cukup ditutup
dengan jaringan lunak walaupun ada laserasi
§ IIIb : terdapat stripping periosteal yang luas
dan menutupi fraktur tidak mungkin tanpa
menggunakan flap lokal ataupun yang jauh
§ IIIc : terdapat cedera arteri yang perlu
diperbaiki dan banyaknya kerusakan jaringan
lunak
23

6) Komplikasi
- Complicated
Komplikasi dari fraktur dapat secara lokal ataupun sistemik
dan dapat berkaitan dari cidera aslinya ataupun
pengobatannya.
- Uncomplicated
4.4.Diagnosis
Dari riwayat pasien, gejala yang paling sering adalah nyeri yang
terlokalisir yang memberat dengan pergerakan, dan menurunnya fungsi
dari bagian yang terkena. Pasien juga mungkin mendengan tulang yang
patah atau bisa merasakan keujung tulangnya memberikan suara
(krepitus).7
Pada pemeriksaan fisik, dengan inspeksi dapat terlihat expresi wajah
pasien yang kesakitan dan bagaimana cara dia melindungi bagian yang
terkena. Inspeksi lokal dapat memperlihatkan adanya bengkak,
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan), atau gerakan abnormal.
Bengkak, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tapi yang
penting adalah untuk menentukan apakah kulit intak atau tidak; jika kulit
tidak intak maka luka berhubungan dengan dunia luar dan dikatakan
fraktur terbuka. Perhatikan juga postur dari ekstremitas bagian distal dan
warna kulitnya (hal ini untuk menjadi petunjuk dari kerusakan pembuluh
darah dan nervus).2
Diskolorasi pada kulit karena extravasasi subkutan dari darah (ekimosis)
biasanya muncul setelah beberapa hari.7
Tanda lokal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:2
- Perhatikan bagian yang paling jelas cedera
- Test untuk kerusakan artery dan nervus
- Cek apakah ada cedera yang berkaitan disekitarnya
- Cek apakah ada cedera yang berkaitan di bagian yang jauh
dari tempat fraktur
Saat palpasi, dapat ditemukan adanya nyeri yang tajam dan terlokalisisr
pada tempat fraktur dan peningkatan nyeri serta spasme otot saat
penggerakan dari bagian yang cedera. Krepitus juga dapat terjadi.7
Pemeriksaan untuk mencari krepitus tidak wajib dilakukan, karena selain
24

memberikan rasa sakit kepada pasien juga tidak begitu bermakna saat
ada x-ray sebagai opsi lain.2,7
Pada pemeriksaan radiologi, sebaiknya pasien diberi bidai yang akan
tampil radiolusen demi kenyamanannya.7
Pemeriksaan x-ray adalah wajib; terdapat aturan yang dinamakan rule of
two pada pemeriksaan x-ray:
1) Two views
Fraktur atau dislokasi dapat tidak terlihat dalam satu foto saja,
jadi diperlukan 2 foto yaitu anteroposterior dan lateral.2 Untuk
beberapa fraktur, terutama pada tulang kecil dan vertebra, foto
oblique kadang- kadang diperlukan.7
2) Two joints
Sendi pada atas dan bawah fraktur harus dimasukan.2
3) Two limbs
Foto pada bagian yang tidak terkena fraktur juga diperlukan
untuk perbandingan. 2
4) Two injuries
Gaya yang kuat sering mengakibatkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Maka dari itu, fraktur dari calcaneum atau femur penting
juga untuk dilakukan foto pelvis dan spine.2
5) Two occasions
Beberapa fraktur tidak langsung terdeteksi setelah cedera pada
radiografi, tapi foto 1- 2 minggu setelah kejadian mungkin akan
memperlihatkan lesi. Contohnya adalah fraktur undisplaced dan
fraktur impaksi.2
Untuk fraktur di spine dan pelvis yang sulit divisualisasi oleh
radiografi konvensional dapat dilakukan CT Scan.7
MRI dapat menjadi satu- satunya cara untuk menunjukan apakah
fraktur vertebra mengancam akan mengkompresi medula spinalis.2
Radioisotope scanning berguna dalam mendiagnosa fraktur stres atau
fraktur undisplaced.2
4.5.Terapi
Tujuan khusus dari terapi fraktur adalah:7
1) Untuk meringankan nyeri

25

Tulang pada umumnya insensitif, nyeri yang ada umumnya
berasal dari cidera jaringan lunak yang terkena seperti
periosteum dan endosteum. Nyeri muncul oleh gerakan dari
fragmen fraktur, berkaitan dengan spasme otot dan bengkak yang
progresif di ruangan tertutup. Maka dari itu, nyeri dari fraktur
bisa diringankan dengan imobilisasi area fraktur dan
menghindari bidai ataupun gips yang terlalu ketat. Pada awal
terjadinya fraktur, analgesik mungkin dibutuhkan.
2) Untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang pas dari fragmen
fraktur
Fraktur dapat undisplaced, ataupun displaced sehingga mungkin
tidak semua perlu dilakukan reduksi. Reduksi dari fraktur
berguna untuk mendapatkan posisi yang pas yang diindikasikan
hanya saat sekiranya reduksi dapat membantu dalam
mendapatkan fungsi yang baik, untuk mencegah penyakit sendi
degeneratif selanjutnya atau untuk mendapatkan penampakan
klinis yang baik, tapi tidak perlu untuk sampai mendapatkan
penampakan radiologis yang sempurna.
3) Untuk mendorong terjadinya union dari tulang
Pada kebanyakan fraktur, union akan terjadi dengan sendirinya.
Namun pada beberapa fraktur, seperti yang terdapat robekan
berat dari periosteum dan jaringan lunak sekitarnya atau adanya
nekrosis avaskular di satu atau kedua fragmen, union harus
dibantu dengan penggunaan alat/ bone graft.
4) Untuk mengembalikan fungsi optimal tidak hanya dari
tungkai/lengan atau tulang belakang yang terkena namun juga
untuk pasien secara keseluruhan.
Saat periode imobilisasi selama proses penyumbuhan fraktur,
disuse atrophy dari otot di sekitarnya harus dicegah dengan
active static exercise dari otot yang mengontrol imobilisasi
sendinya dan active dynamic exercise dari semua otot pada
tungkai ataupun lengannya.
Setelah imobilisasi selesai, active exercise harus dilanjutkan
secara lebih intensif.
26

Terapi pada fraktur meliputi manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan splintage untuk menahannya sampai menyatu;
sementara itu pergerakan sendi dan fungsi harus dijaga. Penyembuhan fraktur
didorong oleh loading fisiologis dari tulang, jadi aktifitas otot dan
weightbearing dini harus didorong. Tujuan ini diliputi oleh 3 aturan, yaitu:
1. Reduce
2. Hold
3. Exercise
Terdapat beberapa situasi dimana reduksi tidak dibutuhkan seperti saat
terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali displacement, saat displacement
tidak bermakna pada awalnya (contohnya pada fraktur clavicula), saat
reduction tidak memungkinkan untuk berhasil (contohnya kompresi pada
fraktur vertebra). Reduction harus selalu bertujuan mendapatkan posisi yang
pas dan alignment yang normal dari fragmen tulang. Semakin besar area
permukaan kontak diantara fragmen maka semakin memungkinkan untuk
pentembuhan terjadi. Celah diantara ujung fragmen adaah penyebab yang
umum dari delayed union atau non-union. Fraktur yang melibatkan permukaan
artikular harus direduksi sampai mendekati sempurna karena iregulitas sekecil
apapun akan menyebabkan distribusi beban yang abnormal diantara
permukaan dan mempredisposisikan perubahan degenaratif di kartilago
artikular.2
Terdapat 2 cara untuk melakukan reduksi, yaitu closed dan open. Pada
closed reduction, diperlukan anestesi yang memadai dan relaxasi otot lalu
dilakukan three-fold manoeuvre: (1) bagian distal dari tungkai/ lengan ditarik
pada garis tulang; (2) seiring fragmen terlepas, mereka akan tereposisi kembali
(dengan membalikan arah awal dari gaya jika bisa diberikan); (3) alignment
dibenarkna pada setiap bidang. Hal ini paling efektif saat periosteum dan otot
pada satu sisi dari fraktur masih intak; jaringan lunak yang mengikatnya
mencegah over-reduction dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. 2

27

Gambar 6. Closed Reduction
Beberapa fraktur sulit untuk direduksi dengan manipulasi karena tarikan
otot yang kuat dan mungkin memerlukan traksi yang diperpanjang. Traksi
kulit atau skeletal untuk beberapa hari akan membuat ketegangan jaringan
lunak berkurang dan allignment yang lebih baik bisa didapat; hal ini
membantu untuk fraktur batang femur dan tibia dan bahan fraktur
supracondylar humerus pada anak- anak.2
Pada umumnya, closed reduction dipakai untuk minimally displaced
fractures, untuk fraktur pada anak dan fraktur yang stabil setelah reduksi dan
dapat dilakukan dalam bentuk splint atau cast. Fraktur yang tidak stabil juga
dapat direduksi menggunakan metode closed reduction sebelumnya saat akan
dilakukan internal atau external fixasi. Hal ini menghindari manipulasi
langsung dari letak fraktur dengan open reduction, yang merusak suplai darah
lokal dan dapat menyebabkan waktu penyembuhan yang lama; makin banyak
ahli bedah yang beralih ke manoeuvres reduksi yang menghindari pajanan
pada letak fraktur, bahkan saat tujuannya untuk dilakukan internal atau
external fixasi.2

28

Operasi untuk reduksi fraktur dengan pengawasan langsung
diindikasikan jika: (1) saat closed reduction gagal, baik karena kesulitan
mengontrol fragmen atau karena jaringan lunak yang ada diantaranya; (2) saat
terdapat fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat atau (3)
untuk traksi (avulsi) fraktur dimana fragmen dibersamakan. Sebagai aturan,
bagaimanapun, open reduction hanyalah tahap pertama dari fixasi internal.2
Hold reduction atau sering digunakan kata imobilisasi bertujuan untuk
mencegah displacement. Beberapa halangan gerak dibutuhkan untuk
penyembuhan jaringan lunak dan untuk memungkinkan gerakan bebas pada
bagian yang tidak terkena. Beberapa metode hold reduction adalah sebagai
berikut:2
a) Continuous traction
Traksi dilakukan pada tungkai di bagian distal fraktur, supaya
melakukan suatu tarikan yang terus-menerus pada poros panjang tulang
itu. Cara ini sangat berguna untuk fraktur batang yang bersifat oblik atau
spiral yang mudah bergeser oleh kontraksi otot. Traksi tidak dapat
menahan fraktur tetap diam; traksi dapat menarik tulang panjang secara
lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat kadang-
kadang sukar dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat
menggerakkan sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan berhati-hati menyisipkan pen traksi.
Masalahnya adalah kecepatan: bukan karena fraktur menyatu secara
perlahan-lahan tetapi karena traksi tungkai bawah akan menahan pasien
tetap di rumah sakit. Maka dari itu, segera setelah fraktur menempel
traksi harus digantikan dengan bracing, jika metode ini dapat
dilaksanakan. Macam-macam traksi :
§ Traksi dengan gaya berat
Cara ini hanya berlaku pada lengan. Karena pemakaian wrist sling,
berat dari lengam memberikan traksi yang terus menerus ke
humerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama pada fraktur
transverse, plaster U-slab dapat dibalutkan atau, lebih baik lagi,
removable plastic sleeve dari axilla sampai sedikit diatas siku
ditahan dengan Velcro.

29

§ Traksi kulit
Dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Strapping
Holland atau Elastoplast ditaruh pada kulit yang sudah dicukur dan
ditahan dengan plaster. Malleolus dilindungi oleh Gamgee tissue,
dan tali atau pengerat digunakan untuk traksi.
§ Traksi skeletal
Stiff wire atau pin dimasukan – biasanya dibelakang tuberkel tibia
untuk cedera panggul, paha dan lutut, atau melewati calcaneus untuk
fraktur tibia – dan tali diikatkan ke tempat tersebut untuk
mengaplikasikan traksi.

Baik traksi dilakukan oleh kulit atau skeletal, fraktur direduksi dan
ditahan dengan 3 cara berikut; fixed traction, balanced traction, dan
combined traction.

Gambar 7. Metode Traksi


Komplikasi traksi :
o Hambatan sirkulasi
o Cedera pada nervus
o Infeksi pada tempat masuknya pin
b) Cast splintage

30

Plaster of Paris masih banyak digunakan sebagai splint, terutama untuk
fraktur tungkai bagian distal dan kebanyakan fraktur anak- anak. Dia
cukup aman, selama praktisi memperhatikan bahaya ketatnya casting
dan tekanan pada luka dicegah. Walau begitu, sendi yang terkena
plaster tidak dapat bergerak dan mudah kaku. Saat bengkak dan
hematom terselesaikan, lekatan dapat terbentuk dan menyambungkan
serat otot dengan serat lainnya dan tulang; pada fraktur artikular,
plaster menutupi permukaan yang ireguler terus menerus (closed
reduction jarang sempurna) dan tidak mempunyai kesempatan untuk
bergerak menghambat penyembuhan defek kartilago.2
Kekakuan dapat dikurangi dengan: (1) delayed splintage – dengan
menggunakann traksi sampai gerak didapat lalu baru memberikan
plaster; atau (2) memulai dengan cast konvensional tetapi, setelah
beberapa minggu, saat tungkai dapat dihandle tanpa ketidaknyamanan
yang berarti, mengganti cast dengan bracing fungsional yang
memberikan kesempatan untuk pergerakan sendi.2
Komplikasi dari cast splintage sendiri adalah: (1) cast yang kencang –
contohnya saat timbul pembengkakan saat cast sudah terpasang; (2)
sakit karena tekanan cast splintage itu sendiri; (3) abrasi atau laserasi
kulit – dalam komplikasi ini plaster harus dilepas; (4) cast yang
longgar – seperti ketika proses bengkak sudah mereda saat terpasang
cast.2

31

Gambar 8. Cast Splintage
c) Functional bracing
Functional bracing dapat menggunakan plaster of Paris ataupun
material thermoplastic yang lebih ringan, penggunaan functional
bracing dapat menjegah kekakuan sendi sementari masih dapat
membiarkan splintage dan loading dari fraktur. Segmen dari cast
diberikan hanya pada batang tulang, membiarkan sendi bebas; segmen
dari cast dihubungkan oleh metal atau hinge plastik yang membiarkan
gerak dalam satu bidang. Functional bracing tidak begitu kokoh, maka
biasanya hanya dipakai saat fraktur sudah mulai menyatu, contohnya 3-
6 minggu setelah traksi atau pemakaian plaster konvensional.2

Gambar 9. Functional Bracing

32

d) Internal fixation
Pada fixasi internal, fragmen tulang dapat diperbaiki dengan screw,
metal plate yang ditopang screw, long intramedullary rod atau nail
(dengan atau tanpa locking screw), circumferential band atau
kombinasi dari semua ini. Jika dipasang dengan benar, fixasi internal
dapat menopang fraktur dengan aman sehingga gerak dapat dimulai
sejak itu; dengan gerak yang dapat dimulai dini, kekaukan dan edema
dapat dicegah. Walaupun begitu, perlu diingat bahwa fraktur belum
menyatu namun gerak dapat dilakukan karena adanya jembatan metal
dan dalam hal ini unprotected weighbearing masih belum aman
dilakukan. 2
Risiko dari fixasi internal yang paling besar adalah sepsis. Resiko
infeksi bergantung pada: (1) pasien – jaringan yang terkena, luka kotor
dan pasien yang tidak fit tidaklah aman dilakukan fixasi internal; (2)
ahli bedah; (3) fasilitas. 2
Indikasi dari internal fixasi yang paling utama adalah: 2
1. Fraktur yang tidak dapat direduksi selain dengan operasi
2. Fraktur yang tidak stabil dan cenderung dapat redisplace setelah
dilakukannya reduksi (contohnya fraktur pada tengah batang dari
lengan atas dan fraktur displaced pergelangan kaki). Juga termasuk
fraktur yang mungkin ditarik oleh gerakan otot (seperti fraktur
transverse dari patella atau olecranon).
3. Fraktur yang menyatu secara butuk dan lambat, terutama fraktur
dari leher femur
4. Fraktur patologis dimana penyakit tulang menghambat
penyembuhan
5. Fraktur multiple dimana fixasi dini (baik dengan fixasi internal
ataupun external) menurunkan resiko komplikasi dan late
multisystem organ failure
6. Fraktur pada pasien dengan kesulitan perawatan seperti pasien
dengan paraplegia, cedera yang banyak dan lansia
Tipe dari fixasi internal:2
• Intergragmentary screws

33

• Wires (transfixing, cerclage dan tension-band)
• Plates and screws
• Intramedullary nails

Gambar 10. Fixasi Internal


Komplikasi dari fixasi internal:2
1) Infeksi
2) Non-union
3) Implant failure
4) Refracture
e) External fixation
Fraktur dapat ditopang dengan transfixing screw atau tensioned wires
yang melewati tulang keatas dan kebawah dari fraktur dan terpasang ke
external frame.2
Indikasi fixasi external:
1. Fraktur yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak
yang buruk (termasuk fraktur terbuka) atau yang
terkontaminasi, dimana fixasi internal berisiko dan akses
berulang dibutuhkan untuk inspeksi luka, dressing atau bedah
plastik.
2. Fraktur disekitar sendi yang butuh internal fixasi namun
jaringan lunaknya terlalu bengkak untuk operasi yang aman;

34

disini, bentangan fixasi external memberikan stabilitas sampai
kondisi jaringan lunak membaik.
3. Pasien dengan cedera multiple, terutama jika ada fraktur femur
bilateral, fraktur pelvis dengan perdarahan hebat, dan dengan
tungkai dan cedera yang berhubungan dengan dada atau kepala.
4. Fraktur yang tidak menyambung, yang bisa dipotong atau
dikompresi; terkadang ini dikombinasikan dengan pemanjangan
tulang untuk mengganti segmen yang dipotong.
5. Fraktur yang terinfeksi, dimana fixasi internal tidak
memungkinkan.
Komplikasi fixasi internal:
1. Kerusakan pada struktur jaringan lunak
2. Overdistraction
3. Pin-track infection

EXERCISE
Terapi pada Fraktur Terbuka
Semua fraktur terbuka, tak peduli sebebrapa ringannya harus dianggap
terkontaminasi, penting untuk mencegah terjadinya infeksi. 4 hal yang dapat
dilakukan :
35

1. Pembalutan luka dengan segera
2. Profilaksis antibiotika
3. Debridement Luka secara dini
4. Stabilisasi fraktur
Penangan dini
Luka harus tetap ditutup hngga pasien tiba di kamar bedah. Antibiotic
diberikan secepat mungkin, tak peduli seberapa kecil laserasi itu, dan
dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya pemberian
kombinasi benzilpenisilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan
mencukupi; kalau luka amat terkontaminasi dapat menambahkan gentamisin
atau metronidazol dan melanjutkan terapi selama 4 atau 5 hari. Pemberian
profilaksis tetanus juga penting, toksoid diberikan pada mereka yang
sebeblumnya sudah diimunisasi, kalau belum beri antiserum manusia.
Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan
mati, memberikan persediaan darah yang baik diseluruh bagian itu. Dalam
anastesi umum, pakaian pasien dilepas, sementara itu asisten mempertahankan
traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap diam.
Pembalut yang sebelumnya digunakan pada luka diganti dengan bantalan yang
steril dan kulit disekelilingnya di bersihkan dan di cukur. Kemudian bantalan
itu diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam
fisiologis, irigasi akhir dapat disertai obat antibiotic misalnya basitracin.
Hanya sedikit kulit yang dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak
mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk
memperoleh daerah terbuka yang memadai, setelah diperbesar pembalut dan
benda asing lain dapat dilepas.
Penutupan luka
Luka tipe I yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut dalam beberapa
jam setelah cedera, setelah debridemen, dapat dijahit ( asalkan ini dapat
dilakukan tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit. Luka yang lain
harus dibiarkan terbuka hingga bahaya tegangan dan infeksi telah terlewati.
Luka itu dibalut sekadarnya dengan kassa steril dan diperiksa setelah 5 hari.
Kalau bersih luka itu dijahit atau dilakukan pencangkokan kulit (penutupan
primer tertunda).
36

Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi kemungkinan infeksi. Untuk
luka tipe I atau tipe II yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh
menggunakan gips yang dibelah secara luas atau untuk femur digunakan traksi
pada bebat. Tetapi pada luka yang lebih berat, fraktur perlu difiksasi secara
lebih ketat. Metode yang paling aman adalah fiksasi eksterna. Pemasangan
pen intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia. Sebaiknya
janganmelakukan pelebaran luka (remaining) karena dapat meningkatkan
risiko infeksi. Plat dan sekrup dapat digunakan untuk fraktur metafisis atau
artikular dengan syarat ahli bedah itu berpengalaman dalam menggunakannya
dan keadaan ideal.
Perawatan sesudahnya
Tungkai ditinggikan diatas tempat tidur dan sirkulasi diperhatikan.Syok
mungkin masih membutuhkan terapi. Kemperapi dilanjutkan, dilakukan kultur
dan jka perlu diberikan penggantian antibitotik.
Jika luka dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.Penjahitan primer tertunda
sering aman atau jika terdapat banyak kehilangan kulit, dilakukan
pencangkokan kulit.Jika toksemia atau septicemia terus terjadi meskipun telah
diberikan kemoterapi, luka tersebut di drainase.
4.6.Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat
terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau
minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan
katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis
vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal
• Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
37

- Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union.

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi.
- Jaringan lunak
1. Lepuh
Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema.Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah
yang menonjol.
- Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu.Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma
dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau thrombus.
- Pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme.Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.

38

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya.Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis.
- Saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson).Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus.
• Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
− Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur. Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan
Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16
minggu).
− Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone
grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang

39

berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi
lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai,
distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).
− Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas.Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
− Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non
union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
− Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi
lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.Pencegahannya berupa
memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada
sendi.Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.

5. DISLOKASI
5.1 Definisi
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Atau dislokasi adalah suatu
keadaan keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan
suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di
dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi
ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh
komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi)

40

5.2 Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh:

1. Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi.

• Cedera olahraga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan
hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola
paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena
secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
• Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin

2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga

• Kongenital
Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha.
Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara
klinik tungkai yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan
pantat bagian kiri serta kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat
bilateral (dua sisi). Adanya kecurigaan yang paling kecil pun terhadap
kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang cermat dan si
anak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini memberikan hasil yang
sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan bidai selama beberapa
bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh
sulit dan diperlukan pembedahan.
• Patologis
Terjadinya ‘tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital
penghubung tulang.
5.3 Klasifikasi

Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.

41

2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi,
misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh
kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik : merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah,
susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena
trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf,
dan system vaskular.Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi:
1. Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri
akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
2. Dislokasi Kronik
3. Dislokasi Berulang : Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.

Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan
oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
kontraksi otot dan tarikan.
5.4 Diagnosa

a. Anamnesis
Perlu ditanyakan tentang :
• Rasa nyeri
• Adanya riwayat trauma
• Mekanisme trauma
• Ada rasa sendi yang keluar
• Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi
pada dislokasi rekurrens
b. Pemeriksaan klinis
a. Deformitas
• Hilangnya penonjolan tulang yang normal
• Pemendekan

42

• Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
b. Bengkak
c. Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai
fraktur.Pemeriksaan diagnostik dengan cara pemeriksaan sinar –X
(pemeriksaan X-Rays).

5.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat menyertai dislokasi antara lain :

1. Komplikasi Dini :
• Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut.
• Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
• Fraktur disloksi

2. Komplikasi lanjut :
• Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan
kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.
Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi
• Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul
terlepas dari bagian depan leher glenoid
• Kelemahan otot
5.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut :


o Lakukan reposisi segera.
o Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi,
misalnya : dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok),
sislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi loca; dan
obat penenang misalnya valium.
o Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anestesi umum.
43

o Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan
anastesi jika dislokasi berat.
o Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi.
o Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan
dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah
reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4x sehari yang berguna untuk
mengembalikan kisaran sendi
o Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
penyembuhan

5.7 Macam Dislokasi


I. Dislokasi Sendi Siku

Jatuh pada tangan dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah


posterior. Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan dalam sling atau
gips selama tiga minggu untuk memberikan kesembuhan pada sumpai sendi.

Gambar 10. Dislokasi radius

II. Dislokasi Regio Bahu (Shoulder Dislocation)


Pada regio bahu terdapat beberapa sendi yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, yaitu sendi sternoklavikular, sendi akromioklavikular, dan sendi
glenohumoral. Hubungan skapulothorakal bukan merupakan sendi melainkan suatu
hubungan muskuler antara dinding thoraks dan skapula. Melalui keempat hubungan
ini yang terdiri atas tiga persendian dan satu hubungan muskular ini terjadi gerakan ke
segala arah di gelang bahu. Dislokasi regio bahu (sendi glenohumoral) merupakan 50
% kasus dari semua dislokasi. 80 % dari dislokasi regio bahu ini adalah tipe dislokasi
bahu anterior. Stabilitas sendi bahu tergantung dari otot - otot dan kapsul tendon yang
44

mengitari sendi bahu. Sedangkan hubungan antara kepala humerus dengan cekungan
glenoid terlalu dangkal. Oleh karena itu pada sendi glenohumoral sering terjadi
dislokasi, baik akibat trauma maupun pada saat serangan epilepsi. Melihat lokasi
kaput humeri terhadap glenoidalis, dislokasi paling sering ke arah anterior dan lebih
jarang ke arah posterior. Pada waktu terjadinya dislokasi yang pertama mengalami
kerusakan atau avulasi dari fibrocarltilage antara kapsul sendi dengan glenoidalis di
bagian anterior dan inferior. Dengan adanya robekan tadi, maka sendi bahu akan
mudah mengalami dislokasi ulang bila mengalami cedera lagi. Hal ini disebut sebagai
recurrent dislokasi.
Tanda-tanda korban yang mengalami dislokasi sendi bahu yaitu:
• Sendi bahu tidak dapat digerakakkan
• Korban mengendong tangan yang sakit dengan yang lain
• Korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan
• Kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya

III. Dislokasi Acromioclavicularis


Kekuatan sendi akromioklavikular disebabkan oleh simpai sendi dan
ligament korakoklavikular. Dislokasi sendi akromioklavikular tanpa disertai
rupturnya ligament korakoklavikuar, biasanya tidak menyebabkan dislokasi
fragmen distal ke cranial dan dapat diterapi secara konservatif dengan mitela
yang disertai latihan dan gerakan otot bahu. Bila tidak berhasil atau adanya
robekan ligament korakoklavikula kadang dilakukan operasi reposisi terbuka
dan pemasangan fiksasi interna.

IV. Dislokasi Sternoclavicular


Dislokasi sternoklavikular ini jarang terjadi dan bisa terjadi akibat
trauma langsung klavikula kearah dorsal yang menyebabkan dislokasi
posterior atau retrosternal. Atau bisa terjadi akibat tumbukan pada bagian
depan bahu sehingga bagian medial dari klavikula tertarik kearah depan dan
menyebabkan lepasnya sendi sternoklavikular kearah anterior. Pengobatan
konserfatif dengan reposisi dan imobilisasi bisa berhasil dan bila gagal perlu
dilakukan operasi. Yang terpenting ialah latihan otot supaya tidak terjadi
hipotrofik pada otot bahu.

45

V. Dislokasi bahu anterior
Sering terjadi pada usia dewasa muda, kecelakaan lalu lintas ataupun
cedera olah raga. Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan
gerakan rotasi ekstern (puntiran keluar) dan ekstensi sendi bahu. Posisi lengan
atas dalam posisi abduksi. Kaput humerus didorong ke depan dan
menimbulkan avulsi simpai sendi bagian bawah dan kartilago beserta
periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. Lesi ini disebut bankart lesion.
Karena terjadi robekan kapsul, kepala humerus akan keluar dari cekungan
glenoid ke arah depan dan medial, kebanyakan tertahan di bawah coracoideus.
Mekanisme lain terjadinya disloksi adalah trauma langsung. Pederita jatuh,
pundak bagian belakang terbentur lantai atau tanah. Gaya akan mendorong
permukaan belakang humerus bagian proksimal ke depan.

Gambar 11. Dislokasi bahu anterior


Klinis
Pasien merasakan sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan
lengannya, dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain. Pundak
terasa sakit sekali, bentuk pundak asimetris, posisi badan pendeita miring ke
arah sisi yang sakit, bentuk deltoid pada sisi yang cedera tampak mendatar, hal
ini disebabkan kepala humerus sudah keluar dari cekungan glenoid ke depan.
Pada palpasi daerah subacromius jelas teraba cekungan.

Pemeriksaan penunjang
Dengan pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP sudah
dapat terdiagnosis adanya dislokasi sendi bahu.

46

Gambar 12. X – ray foto dislokasi bahu anterior
Penatalaksanaan
Keadaan ini memerlukan reposisi segera. Ada beberapa indikasi untuk
melakukan reposisi, yaitu : tidak adanya fraktur, tidak adanya defisit neurologi
oleh karena itu sebelum melakukan reposisi sebaiknya dilakukan beberapa
pemeriksaaan
1. Nervus axillary : 8% terjadi kelumpuhan
- innervasi m. Deltoideus : tidak di tes
- Sensoris: dibawah m. Deltoideus
2. Nervus Radialis: extensi tangan
3. Artery brachialis: denyut nadi radialis

Gambar 13. Pre reduction examination

Terdapat 3 cara untuk mereposisi dislokasi bahu anterior, yaitu :


1. Cara Stimson
Cara ini mudah dan tidak memerlukan anestesia. Penderita tidur
tengkurang di atas meja, lengan yang cedera dibiarkan tergelantung ke
bawah. Lengan diberi beban seberat 5 – 7 ½ kg. Pada saat otot bahu dalam
keadaan relaksasi, diharapkan terjadi reposisi akibat berat lengan yang

47

tergantung di samping tempat tidur tersebut. Hal ini dilakukan selama 20 –
25 menit.

Gambar 14. Cara Stimson


2. Cara Hippocrates
Bila cara stimson gagal maka dilakukan cara hippocrates. Penderita tidur
terlentang di atas meja, lengan penderita pada sisi yang sakit ditarik ke
distal, posisi lengan sedikit abduksi. Sementara itu kaki penolong
ditekankan ke aksila untuk mengungkit kaput humerus ke arah lateral dan
posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi
dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.

Gambar 15. Cara Hippocrates


3. Cara Kocher
Penderita ditidurkan di atas meja. Penolong melakukan gerakan yang
dapat dibagi dalam 4 tahap.
• Tahap pertama, dalam posisi siku fleksi penolong menarik lengan atas
ke arah distal
• Tahap kedua, dilakukan gerakan eksorotasi dari sendi bahu
• Tahap ketiga, melakukan gerakan adduksi dan fleksi pada sendi bahu
• Tahap ke empat, melakukan gerakan endorotasi sendi bahu.

48

Setelah tereposisi sendi bahu difiksasi dengan dada, dengan verband dan
lengan bawah digantung dengan sling. Immobilisasi cukup 3 minggu. Cara
ini paling sering dilakukan di klinik.

Gambar 16. Cara Kocher


Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi bahu anterior, yaitu :
§ Cedera plexus brachialis dan n. Axillaris yang menyebabkan
kumpulnya m. deltoid sehingga bahu tidak dapat diangkat abduksi
§ Robeknya muskulus tendineus cuff (cuff rotator)
§ Patah tulang humerus
§ Rekurrens dislokasi bahu anterior
Hal ini disebabkan terjadinya celah robekan fibrocartilago di daerah bannkart
yang menetap. Trauma yang ringan saja seperti mengenakan baju atau menutup
jendela akan terjadi posisi abduksi dan eksternal rotasi yang akan mengakibatkan
dislokasi kembali. Kalau terjadi lebih dari 3 x, dianjurkan untuk dilakukan
operasi. Metode operasi yang dipakai yaitu, Bristow, Bannkart, dan Putti plat.
Tujuan dari operasi ini untuk melakukan rekonstruksi struktur bagian anterior
sendi.

VI. Dislokasi bahu posterior


Dislokasi ini jarang terjadi, mekanisme biasanya penderita jatuh dimana posisi
lengan atas dalamkedudukan adduksi atau internal rotasi.

49

Gambar 17. Dislokasi bahu posterior
Klinis
Sangat sakit di daerah bahu. Posisi lengan dalam kedudukan adduksi
dan internal rotasi. Terdapat penonjolan kaput di daerah posterior.
Pemeriksaan Radiologi
Proyeksi AP kadang sulit dilihat, Kalau perlu dilakukan proyeksi
aksial.
Penatalaksanaan
Keadaan ini memerlukan reposisi tertutup segera alam narkosis umum
dengan melakukan rotasi ekstern pada bahu dan kaput humerus didorong ke
0
depan. Setelah reposisi, dipasang gips spika bahu dalam posisi abduksi 30
selama 3 minggu.

VII. Dislokasi bahu inferior (Luxatio Erecta)


Kaput humerus terperangkap dibawah kavitas glenoidale sehingga
terkunci dalam posisi abduksi. Karena robekan kapsul sendi lebih kecil
dibanding kepala humerus, maka sangat susah kepala humerus ditarik keluar,
hal ini disebut sebagai “efek lubang kancing (Button hole effect)”

Gambar 18. Dislokasi bahu inferior

50

Penatalaksanaan
Lakukan traksi berlawanan dengan arah dislokasi. Awalnya lakukan
tarikan ke arah dislokasi, yaitu ke arah atas, lanjutkan tarikan semakin lama
semakin ke bawah (counter abduksi), dan akhirnya arahkan lengan ke sisi
penderita.

Gambar 19. Counter abduksi

VIII. Dislokasi Regio Panggul (Hip Dislocation)


Dislokasi panggul lebih jarang dijumpai daripada dislokasi bahu atau
siku. Mekanisme terjadinya dislokasi yaitu saat kaput yangterletak di belakang
asetabulum, kemudian segera berpindah ke dorsum illium. Biasanya juga
mengalami cedera serius misalnya trauma benturan depan mobil akibat
tabrakan mobil frontal. Penderita mungkin mengalami syok berat dan tidak
dapat berdiri. Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang sesuai dengan
paha difleksikan, dan dirotasikan ke interna. Tungkai pada sisi yang cedera
lebih pendek daripada sisi yang normal. Lututnya bersandar pada paha yang
berlawanan dan trokantor mayor dan pantat menonjol secara abnormal.

Dislokasi hip joint adalah suatu kejadian/peristiwa menyakitkan di


mana komponen peluru/bola/caput humeri tulang paha keluar dari
tempatnya/acetabulum. Sehingga penderita mengalami rasa nyeri, karena
caput humeri bergerak/bekerja bukan pada tempatnya lagi.

Pemeriksaan fisik
Seperti halnya korban trauma besar, penilaian jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi sangat penting primer.Selama survei sekunder, pemeriksaan dari
korset panggul dan pinggul adalah wajib. Pemeriksaan harus terdiri dari
inspeksi, palpasi, aktif/ pasif rentang gerak, dan pemeriksaan neurovaskular.

51

- Inspeksi: Dalam prakteknya, ini penampilan dapat diubah dengan adanya
dislokasi atau fraktur-kelainan tulang lainnya
• Posterior: hip adalah tertekuk, terputar ke dalam, dan adduksi.
• Anterior: hip tertekuk minimal, terputar ke luar dan abduksi
- Palpasi: Meraba panggul dan ekstremitas bawah untuk cacat tulang-
langkah kotor atau off. Dalam sebuah dislokasi hip anterior, kadang-
kadang pada femoralis teraba hematoma. Hal ini menunjukkan cedera
vaskular.
- Range of motion: Pasien dengan dislokasi hip memiliki jangkauan sangat
terbatas gerak. Mengevaluasi apa pasien dapat dilakukan dengan nyaman.
Jangan paksa melakukan berbagai gerakan pada pasien yang tidak bisa
mentolerir manipulasi normal,. Rentang nyeri gerak hampir tidak termasuk
dislokasi hip.

Pemeriksaan Neurovaskular: Tanda-tanda cedera nervus ischiadicus


meliputi:
• Hilangnya sensasi di kaki belakang dan kaki
• Kehilangan dorsiflexion (cabang peroneal) atau fleksi plantar
(cabang tibial)
• Kehilangan refleks tendon dalam (DTRs) di pergelangan kaki

Tanda-tanda cedera saraf femoralis adalah sebagai berikut:


• Hilangnya sensasi atas paha
• Kelemahan dari paha depan
• Kehilangan DTRs di lutut

Tanda-tanda cedera vaskuler meliputi:


• Hematoma
• Loss of pulses
• Muka pucat

52

Gambar 20 . Dislokasi panggul

Tanda-tanda klinis terjadinya dislokasi panggul:


• Kaki pendek dibandingkan dengan kaki yang tidak mengalami
dislokasi
• Kaput femur dapat diraba pada panggul
• Setiap usaha menggerakkan pinggul akan mendatangkan rasa nyeri

Pengobatan Hip Dislokasi


Pengobatan untuk dislokasi hip termasuk:
• Penurunan dislokasi hip:
o Penataan kembali tulang
• Bedah untuk patah tulang panggul
• Istirahat
• Terapi fisik untuk hip dislokasi
• Nonsteroidal anti-inflammatory obat untuk sakit
o Ibuprofen ( MotrinAdvil )
o Naproxen ( Anaprox, Naprosyn, Aleve )
o Ketoprofen ( Orudis )
• Anti nyeri narkotika
• Hip dislokasi uji klinis
Dislokasi panggul ada 3 macam, yaitu dislokasi panggul posterior,
dislokasi panggul anterior, dan dislokasi panggul central.
a. Dislokasi panggul posterior
Dislokasi posterior hip joint biasa disebabkan oleh trauma. Ini terjadi pada
axis longitudinal pada femur saat femur dala keadaan fleksi 900 dan sedikit adduksi.
Pemeriksaan pada penderita dislokasi posterior hip joint akan menunjukkan tanda
yang abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan sedikit

53

fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena kaput
femur terkunci pada bagian posterior asetabulum. Salah satu bagian pemeriksaan
adalah memeriksa kemampuan sensorik dan motorik ekstremitas bawah dari bagian
bawah hingga ke panggul yang mengalami dislokasi, karena kurangnya kepekaan
saraf pada panggul merupakan suatu komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus
dislokasi hip joint. Dislokasi panggul posterior biasa disebabkan oleh trauma. Ini
terjadi pada axis longitudinal pada femur saat femur dalam keadaan fleksi 90o dan
sedikit adduksi.
Gejala klinis
Pemeriksaan pada penderita dislokasi panggul posterior akan menunjukkan
tanda yang abnormal. Paha (pada bagian yang mengalami dislokasi) diposisikan
sedikit fleksi, internal rotasi dan adduksi. Ini merupakan posisi menyilang karena
kaput femur terkunci pada bagian posterior asetabulum.

Gambar 21. Dislokasi panggul posterior

Mekanisme trauma pada dislokasi posterior karena kaput femur dipaksa keluar
ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur
dimana sendi panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya tejadi
karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan
menabrak dengan keras yang berada di bagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat
juga terjadi sewaktu mengendarai motor.50% persen dislokasi disertai fraktur pada
pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.
Klasifikasi menurut Thompson Epstein (1973) yang penting untuk rencana
pengobatan:
• Tipe I: dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang kecil.

54

• Tipe II: dislokasi dengan fragmen tulang yang besar pada bagian posterior
asetabulum.
• Tipe III: dislokasi dengan fraktur bibir asetabulum yang komunitif.
• TipeIV: dislokasi dengan fraktur dasar asetabulum.
• Tipe V: dislokasi dengan fraktur kaput femur.

Pada kasus yang jelas, diagnosis mudah dilakukan: kaki pendek, adduksi,
rotasi internal dan sedikit fleksi. Tetapi kalau salah satu tulang panjang mengalami
fraktur, biasanya femur, cedera panggul dengan mudah dapat terlewat.Pedoman yang
terbaik adalah memotret pelvis dengan sinar X pada tiap kasus cedera yang berat, dan
pada fraktur femur, pemeriksaan sinar X harus mencakup panggul.Tungkai bawah
harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda cedera saraf ischiadikus.Pada
foto anteroposterior kaput femoris terlihat di luar mangkuknya dan di atas
asetabulum.Segmen atap asetabular atau kaput femoris mungkin telah patah dan
bergeser; foto oblik berguna untuk menunjukkan ukuran fragmen itu. Kalau fraktur
ditemukan, fragmen tulang yang lain (yang mungkin perlu dibuang) harus dicurigai.
CT scan adalah cara terbaik untuk menunjukkan fraktur asetabulum atau setiap
fragmen tulang.Keadaan dislokasi panggul merupakan tindakan darurat karena
reposisi yang dilaksanakan segera mungkin dapat mencegah nekrosis avaskuler kaput
femur.Makin lambat reposisi dilaksanakan makin tinggi kejadian nekrosis
avaskuler.Reposisi tertutup dilakukan dengan pembiusan umum menurut beberapa
cara : metode Bigelow, metode Stimson, dan metode Allis. Metode Allis merupakan
metode yang lebih mudah.
Pemeriksaan
Salah satu bagian pemeriksaan adalah memeriksa kemampuan sensorik dan
motorik extremitas bawah dari bagian bawah hingga ke panggul yang mengalami
dislokasi, karena kurangnya kepekaan saraf pada panggul merupakan suatu
komplikasi masalah yang tidak lazim pada kasus dislokasi panggul. Pemeriksaan
penunjang dengan pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP.

55

Gambar 22 . X – ray foto dislokasi panggul posterior

Penatalaksanaan
Terapi untuk mengembalikan keadaan ini ada dua cara :
1. Metode Allis : penderita dalam posisi terlentang di lantai, pembantu menahan
panggul dan menekannya. Ahli bedah melakukan fleksi pada lutut sebesar 900
dan tungkai diadduksi ringan dan rotasi medial. Lengan bawah ditempatkan
dibawah lutut dan dilakukan traksi vertikal dan kaput femur diangkat dari bagian
posterior asetabulum. Panggul dan lutut diekstensikan secara hati-hati. Syarat
terpenting dalam melakukan reposisi adalah sesegera mungkin dan dilakukan
dengan pembiusan umum disertai relaksasi yang cukup. Pada tipe II setelah
reposisi maka fragmen yang besar difiksasi dengan screw secara operasi. Pada
tipe III biasanya dilakukan reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang
terjebak dalam asetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan V
juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen yang lepas
tidak tereposisi maka harus direposisi dengan operasi.Pasca reposisi dilakukan
traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak menginjakkan kaki dengan jalan
mempergunakan tongkat selama 3 bulan.
2. The Bigelow Maneuver : Tempatkan penderita di lantai (telentang). Amati
(dislokasi) secara cermat dan suruh seorang asisten mendorongnya ke
anterosuperior pada SIAS. Fleksikan lutut penderita dan panggulnya, dan
rotasikan tungkainya pada posisi netral. Tarik tungkainya ke atas secara terus-
menerus dengan lembut. Saat masih dilakukan traksi (penarikan) sesuai arah
femur, rendahkan tungkainya ke lantai. Reduksi biasanya jelas dirasakan tetapi

56

perlu didukung dengan sinar-X. Jika metode tersebut gagal mereduksi dislokasi,
minta asisten meneruskan penekanan secara kuat pada SIAS. Dengan lutut
sebagian difleksikan, tarik tungkai sesuai dengan deformitas. Fleksikan panggul
perlahan hingga 90o dan rotasikan secara lembut ke internal dan eksternal untuk
melepaskan kaput dari struktur-struktur yang menahannya. Kembalikan kaput
pada tempatnya dengan rotasi interna dan eksterna lebih lanjut, atau rotasi
eksterna dan ekstensi. Bila masih terpengaruh anestesi, periksa lutut, apakah
terdapat ruptur ligamentum cruciatum posterior.

Gambar 23. Bigeleu manuver

Segera setelah penderita dianestesi, tempatkan ia dengan wajah menghadap ke


meja, sehingga paha yang cedera terkatung ke bawah dengan lututnya pada 90o
dan kakinya bersandar pada lutut anda. Suruh seorang asisten memegang paha
yang normal secara horizontal, agar pelvis tidak menjadi miring.Tekan terus
menerus ke arah bawah pada lutut yang difleksikan hingga otot-ototnya
berelaksas dan kaput femoris dapat masuk ke asetabulum.Jika perlu goyangkan
lututnya.Jika metode ini gagal, rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi panggul posterior, yaitu
• Lesi n. Ischiadicus
• Nekrosis avaskuler terjadi 1 -2 tahun pasca trauma
• Artrosis degeneratif

Komplikasi dapat berupa komplikasi dini yaitu kerusakan nervus skiatik,


kerusakan pada kaput femur, kerusakan pada pembuluh darah, dan fraktur diafisis
femur. Komplikasi lanjut dapat berupa nekrosis avaskuler, miositis osifikans,
osteoartritis.

57

b. Dislokasi panggul anterior
Pada cedera ini pederita biasanya terjatuh dari suatu tempat tinggi dan
menggeserkan kaput femur di depan asetabulum. Pemeriksaan dislokasi anterior,
kaki dibaringkan eksorotasi dan seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi
tidak dalam posisi menyilang. Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif
ketika dalam keadaan dislokasi. Kaput femur jelas berada di depan triangle femur.
Gejala klinis dan Pemeriksaan
Pemeriksaan dislokasi panggul anterior, kaki dibaringkan eksorotasi dan
seringkali agak fleksi. Dalam posisi adduksi tapi tidak dalam posisi menyilang.
Penderita tidak dapat bergerak fleksi secara aktif ketika dalam keadaan dislokasi.
Kaput femur jelas berada di depan triangle femur.
Penatalaksanaan
Terapi dilakukan dengan membaringkan penderita di lantai, dan lakukan
anestasi seperti pada penanganan dislokasi panggul posterior. Dengan melakukan
pengamatan secara cermat, suruh seorang asisten menarik pelvisnya dengan kuat
sepanjang manuver pada SIAS. Pegang tungkai penderita dan bengkokkan panggul
dan lutut sampai 90o. Rotasikan tungkainya ke posisi netral. Hal ini akan mengubah
dislokasi panggul anterior menjadi posterior. Tarik tungkai penderita terus menerus ke
atas agar dapat mengangkat kaput femur ke dalam asetabulum. (3,7,8)
Jika panggul tidak dapat direduksi, turukan tungkainya ke lantai ketika sedang
mempertahankan reduksi. Jika panggul masih tidak dapat direduksi, maka gunakan
traksi sesuai dengan arah deformitas (fleksi dan adduksi). Saat mempertahankan
traksi, angkat tungkainya pada posisi vertikal agar dapat membawa kaput femur pada
tepi anterior asetabulum. Sekarang, dengan masih mempertahankan traksi, rotasikan
tungkai ke internal dan turunkan pahanya menjadi posisi yang diekstensikan. Jika
panggul masih tidak dapat direduksikan, suruh seorang asisten terus memegang pelvis
dengan kuat. Suruh asisten kedua berdiri di depannya dan menarik dengan kuat sesuai
dengan arah femur. Abduksikan panggul yang normal dan letakkan tumit anda tanpa
sepatu pada tempat kaput femur yang anda pikirkan. Kemudian tekan ke arah
posterolateral hingga kaput masuk ke dalam socket dengan bunyi debam. Jika gagal,
rujuk untuk dilakukan reduksi terbuka. Setelah dilakukan reduksi diperlukan
perawatan lebih lanjut, pertahankan penderita di tempat tidur hingga ia dapat
mengontrol panggulnya kembali. Kemudian biarkan ia berdiri dan menahan beban

58

berat. Amati kaput femur terhadap nekrosis aseptik, sama seperti dislokasi panggul
posterior.

c. Dislokasi panggul central / obturator


Dislokasi obturator ini sangat jarang ditemukan. Dislokasi obturator
disebabkan karena gerakan abduksi yang berlebih (hiper-abduksi) dari panggul yang
normal yang disebabkan karena trokantor mayor bergerak berlawanan dengan pelvis
untuk mengungkit kaput femur keluar dari asetabulum.

Gejala Klinis dan pemeriksaan


Panggul akan sangat terlihat dalam posisi abduksidan tidak dapat dibawa ke
posisi normal tanpa penyesuaian dari pelvis. Kelainan saraf sangat jarang terlihat pada
kasus seperti ini.
Penatalaksanaan
Terapi pada dislokasi obturator, yang terjadi akibat sobeknya capsul inferior,
adalah sangat memungkinkan untuk mengubah dislokasi ini menjadi dislokasi
panggul anterior maupun posterior, dan kemudian dapat direduksi dengan cara yang
tepat. Bagaimanapun juga traksi abduksi pada tungkai dengan traksi yang berlawanan
dengan pelvis sangat diperlukan. Berikan tekanan kuat, lalu letakkan pada sisi medial
kaput femur dengan melakukan sedikit gerakan internal dan eksternal rotasi.
Adduksikan ke posisi normal. Selama kaput femur yang mengalami dislokasi tidak
bergerak ke arah yang dapat mengganggu suplay darah, penderita dapat mulai
berjalan dengan tongkat ketiak tanpa beban pada tungkainya setelah beristirahat di
tempat tidur selama beberapa hari. Penderita harus berjalan dengan tongkat ketiak
selama 6 minggu dan melakukan pemeriksaan dengan sinar-X dengan interval 2
sampai 3 bulan untuk tahun pertama dan 6 bulan untuk tahun kedua. Kemungkinan
terjadi avascular necrosis sangat kecil karena arah dislokasi ini.

IX. Dislokasi Sendi Lutut


Dislokasi pada sendi lutut biasanya terjadi pada trauma yang berat
,yang langsung mengenai sendi lutut. Subluksasio dapat terjadi secara
sekunder pada penyakit degeneratif ataupun pada penyakit infeksi yang sudah
berlangsung cukup lama. Tulang tibia dapat menjadi dislokasi ke ventral ,
dorsal ataupun ke setiap sisi . Dapat juga terjadi rotasi yang abnormal pada
59

femur.Mekanisme terjadinya dislokasi pada sendi lutut biasanya melalui
hiperekstensi dan torsi pada sendi lutut.Dislokasi akut pada sendi lutut sering
disertai dengan kerusakan pada pembuluh darah ataupun persarafan pada
popliteal space.Gambaran klinis dijumpai adanya trauma pada daerah lutut
disertai pembengkakan, nyeri dan hamartrosis serta deformitas.

Gambar 24. Dislokasi patella


Pengobatan, tindakan reposisi dengan pembiusan harus dilakukan sesegera
mungkin dan dilakukan aspirasi hemartrosis dan setelahnya dipasang bidai gips posisi
10o-l5o selama 1 minggu kemudian dipasang gips sirkuler d iatas lutut selama 7-8
minggu, bila ternyata lutut tetap tak stabil (varus ataupun valgus) maka harus
dilakukan operasi untuk erbaikan pada ligamen.

60

DAFTAR PUSTAKA

1. Buckley Richard. General Principles of Fracture Care. Medscape. 2015 Jan 25.
Available from https://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview
2. Solomon Louis, Warwick David, Nayagam Selvadurai. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London: Hodder Arnold; 2010.
3. Dock Elly. Dislocations. Healthline. 2017 September 14. Available from
https://www.healthline.com/health/dislocation#overview1
4. Vanputte Cinnamon, Regan Jennifer, Russo Andrew. Seeley’s Anatomy and
Physiology. 10th ed. New York: McGraw Hill; 2014.
5. Patel Anay. Types of Bone. Ortho Bullets. 2017. Available from
https://www.orthobullets.com/basic-science/9001/types-of-bone
6. Jones Tracy. Bone Matrix. Ortho Bullets. 2017. Available from
https://www.orthobullets.com/basic-science/9003/bone-matrix
7. Salter Robert B. Textbook of the Disorders and Injuries of the Musculosceletal
System. 3rd ed. Pennsylvania: Lippincott William and Wilkins; 1999.
8. Duckworth T and Bluncell C M. Orthopaedics and Fractures. 4th ed. Oxford:
Wiley-Blackwell; 2010.

61

Anda mungkin juga menyukai