G1 P0000
Ab 000
RUANG BRAWIJAYA
RSUD KEPANJEN
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
RUANG BRAWIJAYA
RSUD KEPANJEN
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
LEMBAR PENGESAHAN
: 201610461011033
Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners Departemen
Keperawatan Maternitas
Malang,
2017
(Triyana Setyowati)
Mengetahui,
Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik
seperti
batuk-batuk,
bersin,
merupakan gejala yang sering menyertai suatu inversio uteri. Syok atau
gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi,
oleh karena itu sangat bijaksana bila syok yang terjadi setelah persalinan tidak
disertai dengan perdarahan yang berarti untuk memperkirakan suatu inversio
uteri. Syok dapat disebabkan karena nyeri hebat, akibat ligamentum yang
terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan serta tarikan pada peritoneum
atau akibat syok kardiovaskuler (Cuningham, et.al. 2006)
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula
terjadi perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila
plasenta lepas atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada
kontraksi uterus. Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang
telah ada sebelumnya,bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90%
kematian terjadi dalam dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.
Pada pemeriksaan palpasi, didapatkan cekungan pada bagian fundus
uteri, bahkan kadang-kadang fundus uteri tidak dijumpai dimana seharusnya
fundus uteri dijumpai pada pemeriksaan tersebut. Pada pemeriksaan dalam
teraba tumor lunak di dalam atau di luar serviks atau di dalam rongga vagina,
pada keadaan yang berat (komplit) tampak tumor berwarna merah keabuan
yang kadang-kadang plasenta masih melekat dengan ostium tuba dan
endometrium berwarna merah muda dan kasar serta berdarah.
Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang
terlahir, pada mioma uteri yang terlahir, fundus uteri masih dapat diraba dan
berada pada tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada
kehamilan dan persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada
kasus inversio uteri yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi
jaringan inversio oleh cincin serviks
Mengingat kasus ini jarang didapatkan dan kadang-kadang tanpa
gejala yang khas maka perlu ketajaman pemeriksaan dengan cara:
1.
2.
3.
4.
E. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb
A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan :
1.
2.
3.
4.
segera dengan jarum intravena besar (18) dan penggantian cairan. Penggantian
cairan yang hilang diberikan dengan larutan kristaloid selama 15-30 menit.
Volume dari resusitasi awal dihitung sebanyak tiga kali dari perkiraan darah yang
hilang. Dipertimbangkan untuk memasang akses intravena tambahan, kesiapan
anestesia, persiapan kamar operasi, dan asisten bedah. Lakukan pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit dan faktor pembekuan, golongan darah. Lakukan
transfusi darah. Monitor tanda vital ibu sesering mungkin oleh satu individu.
Pasang kateter menetap untuk menilai pengeluaran urin. Pemberian antibiotika
bermanfaat untuk mencegah timbulnya sepsis paskapersalinan.
Oksitosin sebaiknya ditunda dan dicoba resposisi uterus secara manual
melalui vagina. Kebanyakan penulis merekomendasikan usaha reposisi secara
manual sebelum plasenta dilepaskan dan sebelum tindakan reposisi secara operatif
dilakukan. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi intrauterin, pasien beresiko
untuk mengalami kehilangan darah dan syok. Plasenta biasanya akan mudah
dilepaskan setelah reposisi (Cuningham, et.al. 2006).
A. Reposisi manual cara Johnson
Pada kebanyakan kasus plasenta telah lepas, jika plasenta belum lepas atau
sudah lepas tetapi belum dilahirkan maka plasenta dilepaskan setelah reposisi
berhasil atau dilakukan bersama-sama. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi
maka dapat terjadi perdarahan hebat. Reposisi manual yang tervaforit adalah
dengan metode Johnson (1949). Teknik dari metode Johnson yaitu memasukkan
seluruh tangan ke dalam jalan lahir, sehingga ibu jari dan jari-jari yang lain pada
cervical utero junction dan fundus uteri dalam telapak tangan. Uterus diangkat ke
luar dari rongga pelvis dan dipertahankan di dalam rongga abdomen setinggi
umbilikus. Tindakan ini membuat peregangan dan tarikan pada ligamentum
rotundum akan memperlebar cincin servik, selanjutnya akan menarik fundus uteri
ke arah luar melewati cekungan. Bila spasme miometrium dan kontriksi cincin
menghambat reposisi dapat diberikan anestesi seperti halothane atau tokolitik .
MgSO4 dapat diberikan intravena 1 g permenit selama 4 menit. Bila tidak efektif
dapat diberikan terbutaline 0,125-0,25 mg intravena, ritrodrine 0,150 mg
intravena.
Bahkan
nitroglycerin
dapat
digunakan
untuk
secara
efektif
kemudian ditarik ke atas secara bertahap sampai fundus uteri kembali pada
posisinya semula.
Selain tarikan ke atas maka dorongan dari luar ( pervaginam ) oleh asisten
akan mempermudah pelaksanaan prosedeur tersebut.
E. Reposisi operatif cara Haultin
Pada reposisi dengan cara Haultin, dilakukan insisi longitudinal sepanjang
dinding posterior uterus dan melalui cincin kontriksi. Jari kemudian dimasukkan
melalui insisi ke titik di bawah fundus uteri yang terbalik dan diberikan tekanan
pada fundus atau tekanan secara simultan dari tangan asisten. Bila reposisi telah
komplit, luka insisi dijahit dengan jahitan terputus dengan chromic.
F. Reposisi operatif cara Spinelli
Tindakan operatif menurut Spinelli dilakukan pervaginam yaitu dengan
cara dinding anterior vagina dibuat tegang berlawanan dengan arah tarikan dari
retraktor dan dilakukan insisi transversal tepat di atas portio anterior. Kemudian
plika kandung kemih dipisahkan dari serviks dan segmen bawah rahim. Insisi
mediana dibuat melalui serviks pada jam 12, secara komplit membagi cincin
konstriksi. Insisi dilakukan pada linea mediana sampai fundus uteri. Uterus
dibalik dengan cara telunjuk mengait ke dalam insisi pada permukaan
endometrium yang terbuka dan membuat tekanan yang berlawanan dengan ibu
jari pada bagian peritoneal.
G.
Kerugian dari teknik ini adalah mempunyai resiko yang besar untuk
terjadinya perlengketan pelvis. Pada kehamilan selanjutnya dapat terjadi ruprura
uteri yang tersembunyi (Wiknjosastro, et.al. 2008).
H. Subtotal vaginal histerektomi
Dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus dengan benang
zeyde no.1 untuk hemostasis. Kemudian dilakukan sayatan melingkar pada korpus
uterus distal dari jahitan sedikit demi sedikit sehingga tidak mengenai organ
adneksa yang terperangkap di kantung inversio. Perdarahan yang terjadi dirawat.
Keadaan pangkal tuba ovarium, ligamentum rotundum dan jaringan lain
dievaluasi. Dengan bantuan sonde transuretra diidentifikasi vesika urinaria.
Selanjutnya dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus tahap II
kurang lebih 2 cm di luar introitus vagina. Setelah itu dilakukan pemotongan
melingkar lagi terhadap korpus uterus di bagian distal jahitan tahap II. Langkah
selanjutnya kedua ligamen rotundum diklem, dipotong dan dijahit dengan chromic
catgut no.2. Jika diyakini tidak ada perdarahan, tunggul uterus dimasukkan ke
dalam vagina. Operasi selesai (Wiknjosastro, et.al. 2008).
G. Pengkajian
Fokus pengkajian keperawatan yaitu :
1. Sirkulasi
Hipertensi, Edema patologis (tanda hipertensi karena
kehamilan (HKK), penyakit sebelumnya.
2. Intregitas Ego
Adanya ansietas sedang.
3. Makanan/cairan
Ketidakadekuatan
atau
penambahan
berat
badan
berlebihan.
4. Nyeri/Katidaknyamanan
Kontraksi intermiten sampai regular yang jaraknya kurang
dari 10 menit selama paling sedikit 30 detik dalam 30-60
menit.
5. Keamanan
Infeksi mungkin ada (misalnya infeksi saluran kemih (ISK)
dan atau infeksi vagina)
6. Seksualitas : Tulang servikal dilatasi, Perdarahan mungkin
terlihat,
Membran
mungkin
ruptur
(KPD),
Perdarahan
terhadap
sfingomielin
(L/S)
mendeteksi
H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik, biologis,
kimia, psikologis), kontraksi otot dan efek obat-obatan.
Baskett TF. Acute uterine inversion: a review of 40 cases. J Obstet Gynaecol Can
2002; 24: 953-956
Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Abnormalities of the third stage of
labor. In: Williams obstetrics. 21st ed, New York: Appleton & Lange, 2006;
642-3
Decherney AH, Pernoll ML. Postpartum hemorrhage & the abnormal puerperium.
In: Current obstetrics & gynecologic diagnosis & treatment. 11th edition,
Connecticut: Appleton & Lange, 2005; 581-582
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2008: 880-2
Tala M. R. Inversio uteri. Workshop vaginal surgery.2008. Jakarta: Subbagian
Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri & Ginekologi
FKUI/RSUPN-CM
Wiknjosastro H, Saifuddin B. A, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan. Edisi
pertama, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008; 1956
Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5
th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.
Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Intervention Classification (NIC), 6
th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier
Inc.
NANDA. 2015-2017, Nursing Diagnosis: Definitions and
Classification, Philadelphia, USA