Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. .

G1 P0000

Ab 000

PARTUS dengan INVERSIO UTERI

RUANG BRAWIJAYA
RSUD KEPANJEN

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

LAPORAN PENDAHULUAN PARTUS INVERSIO UTERI

RUANG BRAWIJAYA
RSUD KEPANJEN

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan di ruang Brawijaya RSUD Kanjuruhan Kepanjen


yang disusun oleh:
Nama : Triyana Setyowati
NIM

: 201610461011033

Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners Departemen
Keperawatan Maternitas

Malang,

2017

Mahasiswa (Ners Muda)

(Triyana Setyowati)

Mengetahui,
Pembimbing Akademik

Pembimbing Klinik

PARTUS INVERSIO UTERI


A. Definisi
Inversio Uteri adalah suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus
uteri ) memasuki kavum uteri sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol
ke dalam kavum uteri, bahkan ke dalam vagina atau keluar vagina dengan
dinding endometriumnya sebelah luar.5 Inversio Uteri adalah suatu keadaan
dimana badan rahim berbalik, menonjol melalui serviks (leher rahim) ke
dalam atau ke luar vagina (Prawirohardjo, 2008).
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab terjadinya inversio uteri belum dapat diketahui sepenuhnya
dengan pasti dan dianggap ada kaitannya dengan abnormalitas dari
miometrium. Inversio uteri sebagian dapat terjadi spontan dan lebih sering
terjadi karena prosedur tindakan persalinan dan kondisi ini tidak selalu dapat
dicegah (Tala, et.al. 2008)
Berdasarkan etiologinya inversio uteri dibagi menjadi dua, yaitu
inversio uteri nonobstetri dan inversio uteri puerperalis. Pada inversio uteri
nonobstetri biasanya diakibatkan oleh perlengketan mioma uteri submukosa
yang terlahir, polip endometrium dan sarkoma uteri. yang menarik fundus
uteri ke arah bawah yang dikombinasikan dengan kontraksi miometrium yang
terus menerus mencoba mengeluarkan mioma seperti benda asing
(Wiknjosastro, et al. 2008).
Faktor-faktor predisposisi terjadinya inversio uteri pada yang berasal
dari kavum uteri antara lain; 1. Keluarnya tumor dari kavum uteri yang
mendadak, 2. Dinding uterus yang tipis, 3. Dilatasi dari serviks uteri, 4.
Ukuran tumor, 5. Ketebalan tangkai dari tumor, 6. Lokasi tempat perlekatan
tumor (Cuningham, et.al. 2006).
Menurut (Decherney, et.al.2005) ada beberapa faktor penyebab yang
mendukung untuk terjadinya suatu inversio uteri yaitu:
Faktor predisposisi
1. Abnormalitas uterus
a. Plasenta adhesiva
b. Tali pusat pendek

c. Anomali kongenital (uterus bikornus)


d. Kelemahan dinding uterus
e. Implantasi plasenta pada fundus uteri (75% dari inversio spontan)
f. Riwayat inversio uteri sebelumnya
2. Kondisi fungsional uterus
a. Relaksasi miometrium
b. Gangguan mekanisme kontraksi uterus
c. Pemberian MgSO4
d. Atonia uteri
B.

Faktor pencetus, antara lain:


1. Pengeluran plasenta secara manual
2. Peningkatan tekanan intrabdominal,

seperti

mengejan dan lain-lain.


3. Kesalahan penanganan pada kala uri, yaitu:
a.Penekanan fundus uteri yang kurang tepat
b.Prasat Crede
c.Penarikan tali pusat yang kuat
d.Penggunaan oksitosin yang kurang bijaksana
4. Partus presipitatus
5. Gemelli

C. Pathway Inversio Uteri

batuk-batuk,

bersin,

D. Tanda dan Gejala


Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas,
sehingga dignosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini. Syok

merupakan gejala yang sering menyertai suatu inversio uteri. Syok atau
gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi,
oleh karena itu sangat bijaksana bila syok yang terjadi setelah persalinan tidak
disertai dengan perdarahan yang berarti untuk memperkirakan suatu inversio
uteri. Syok dapat disebabkan karena nyeri hebat, akibat ligamentum yang
terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan serta tarikan pada peritoneum
atau akibat syok kardiovaskuler (Cuningham, et.al. 2006)
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula
terjadi perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila
plasenta lepas atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada
kontraksi uterus. Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang
telah ada sebelumnya,bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90%
kematian terjadi dalam dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.
Pada pemeriksaan palpasi, didapatkan cekungan pada bagian fundus
uteri, bahkan kadang-kadang fundus uteri tidak dijumpai dimana seharusnya
fundus uteri dijumpai pada pemeriksaan tersebut. Pada pemeriksaan dalam
teraba tumor lunak di dalam atau di luar serviks atau di dalam rongga vagina,
pada keadaan yang berat (komplit) tampak tumor berwarna merah keabuan
yang kadang-kadang plasenta masih melekat dengan ostium tuba dan
endometrium berwarna merah muda dan kasar serta berdarah.
Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang
terlahir, pada mioma uteri yang terlahir, fundus uteri masih dapat diraba dan
berada pada tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada
kehamilan dan persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada
kasus inversio uteri yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi
jaringan inversio oleh cincin serviks
Mengingat kasus ini jarang didapatkan dan kadang-kadang tanpa
gejala yang khas maka perlu ketajaman pemeriksaan dengan cara:
1.
2.
3.
4.

Meningkatkan derajat kecurigaan yang tinggi


Palpasi abdomen segera setelah persalinan
Periksa dalam
Menyingkirkan kemungkinan adanya ruptur uteri

E. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb
A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan :
1.
2.
3.
4.

Nyeri yang hebat


Syok / tanda-tanda syok, dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai
Perdarahan
Nekrosis / gangren / strangulasi

B. Pada pemeriksaan dalam didapatkan :


1. Bila inversio uteri ringan didapatkan fundus uteri cekung ke dalam
2. Bila komplit, di atas simfisis uterus tidak teraba lagi, sementara di
dalam vagina teraba tumor lunak
3. Kavum uteri tidak ada ( terbalik ) (Basket, 2002).
F. Penatalaksanaan
Mengingat bahaya syok dan kematian maka pencegahan lebih diutamakan pada
persalinan serta menangani kasus secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
A. Pencegahan
1. Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio
uteri, terutama pada wanita dengan predisposisinya.
2. Jangan dilakukan tarikan pada tali pusat dan penekanan secara Crede
sebelum ada kontraksi.
3. Penatalaksaan aktif kala III dapat menurunkan insiden inversio uteri.
4. Tarikan pada tali pusat dilakukan bila benar-benar plasenta sudah lepas.
B. Pengobatan
1. Perbaikan keadaan umum dan atasi komplikasi
2. Reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal
dilanjutkan metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis
biasanya dilakukan reposisi dengan metode operatif.
a. Manual : cara Jones, Johnson, OSullivan
b. Operatif:
- Transabdominal : cara Huntington, Haulstain
- Transvaginal

: cara Spinelli, Kustner, Subtotal histerektomi

Keberhasilan penatalaksanaan dari inversio uteri tergantung dari deteksi


penyakit yang lebih cepat. Semakin lama uterus terbalik maka semakin sulit untuk
mengembalikannnya. Terapi terhadap hipovolemia dan syok sebaiknya diberikan

segera dengan jarum intravena besar (18) dan penggantian cairan. Penggantian
cairan yang hilang diberikan dengan larutan kristaloid selama 15-30 menit.
Volume dari resusitasi awal dihitung sebanyak tiga kali dari perkiraan darah yang
hilang. Dipertimbangkan untuk memasang akses intravena tambahan, kesiapan
anestesia, persiapan kamar operasi, dan asisten bedah. Lakukan pemeriksaan
hemoglobin dan hematokrit dan faktor pembekuan, golongan darah. Lakukan
transfusi darah. Monitor tanda vital ibu sesering mungkin oleh satu individu.
Pasang kateter menetap untuk menilai pengeluaran urin. Pemberian antibiotika
bermanfaat untuk mencegah timbulnya sepsis paskapersalinan.
Oksitosin sebaiknya ditunda dan dicoba resposisi uterus secara manual
melalui vagina. Kebanyakan penulis merekomendasikan usaha reposisi secara
manual sebelum plasenta dilepaskan dan sebelum tindakan reposisi secara operatif
dilakukan. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi intrauterin, pasien beresiko
untuk mengalami kehilangan darah dan syok. Plasenta biasanya akan mudah
dilepaskan setelah reposisi (Cuningham, et.al. 2006).
A. Reposisi manual cara Johnson
Pada kebanyakan kasus plasenta telah lepas, jika plasenta belum lepas atau
sudah lepas tetapi belum dilahirkan maka plasenta dilepaskan setelah reposisi
berhasil atau dilakukan bersama-sama. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi
maka dapat terjadi perdarahan hebat. Reposisi manual yang tervaforit adalah
dengan metode Johnson (1949). Teknik dari metode Johnson yaitu memasukkan
seluruh tangan ke dalam jalan lahir, sehingga ibu jari dan jari-jari yang lain pada
cervical utero junction dan fundus uteri dalam telapak tangan. Uterus diangkat ke
luar dari rongga pelvis dan dipertahankan di dalam rongga abdomen setinggi
umbilikus. Tindakan ini membuat peregangan dan tarikan pada ligamentum
rotundum akan memperlebar cincin servik, selanjutnya akan menarik fundus uteri
ke arah luar melewati cekungan. Bila spasme miometrium dan kontriksi cincin
menghambat reposisi dapat diberikan anestesi seperti halothane atau tokolitik .
MgSO4 dapat diberikan intravena 1 g permenit selama 4 menit. Bila tidak efektif
dapat diberikan terbutaline 0,125-0,25 mg intravena, ritrodrine 0,150 mg
intravena.

Bahkan

nitroglycerin

dapat

digunakan

untuk

secara

efektif

merelaksasikan cincin konstriksi menggantikan kebutuhan akan anestesia


umum.Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan maka posisi tersebut
dipertahankan selama 3 5 menit hingga fundus uteri berangsur angsur bergeser
dari telapak tangan. Setelah uterus direposisi, tangan operator tetap didalam
kavum uteri hingga timbul kontraksi uterus yang keras dan hingga diberikan
oksitosin intravena. Beberapa penulis menganjurkan pemberian oksitosin atau
ergot alkaloid dan pemasangan tampon uterovaginal diteruskan sampai 24 jam.
Pada keadaan dimana kontraksi uterus tetap lemah dapat ditambahkan dengan
injeksi Prostin 15M (15[s]-15 methyl prostaglandin) intravenous ( Tala, et.al.
2008).
B. Reposisi manual cara Jones
Jari tangan yang terbungkus handscoen ditempatkan pada bagian tengah dari
fundus uteri yang terbalik, sementara itu diberikan tekanan ke atas secara lambat.
Sementara itu serviks ditarik dengan arah yang berlawanan dengan ring forceps.9
C. Reposisi manual cara OSullivan
OSullivan pertama kali menggunakan tekan hidrostatis untuk mereposisi
inversio uteri pueperalis (1945). Dua liter cairan garam fisiologis ditempat pada
tiang infus dan lebih kurang dua meter dari permukaan lantai. Dua buah tube
karet ditempatkan pada fornik posterior vagina. Sementara itu cairan dibiarkan
mengalir cepat, dan tangan operator menutup introitus untuk mencegah keluar
cairan. Dinding vagina mulai teregang dan fundus uteri mulai terangkat. Setelah
inversio terkoreksi, cairan dalam vagina dikeluarkan secara lambat. Kemudian
pasien diberi 0,5 mg ergonovine intravena. Lalu diberikan infus 1000 cc dekstrose
5% dengan oksitosin 20 unit. Reposisi dari uterus biasanya didapatkan dalam 5-10
menit.
D. Reposisi operatif cara Huntington
Pada tindakan reposisi operatif perabdominam sebaiknya dicoba dahulu
dengan cara Huntington. Pendekatan Huntington yaitu setelah tindakan laparatomi
dilanjutkan dengan menarik fundus uteri secara bertahap dengan bantuan forsep
Allis. Forsep Allis dipasang + 2 cm di bawah cincin

pada kedua sisinya,

kemudian ditarik ke atas secara bertahap sampai fundus uteri kembali pada
posisinya semula.

Selain tarikan ke atas maka dorongan dari luar ( pervaginam ) oleh asisten
akan mempermudah pelaksanaan prosedeur tersebut.
E. Reposisi operatif cara Haultin
Pada reposisi dengan cara Haultin, dilakukan insisi longitudinal sepanjang
dinding posterior uterus dan melalui cincin kontriksi. Jari kemudian dimasukkan
melalui insisi ke titik di bawah fundus uteri yang terbalik dan diberikan tekanan
pada fundus atau tekanan secara simultan dari tangan asisten. Bila reposisi telah
komplit, luka insisi dijahit dengan jahitan terputus dengan chromic.
F. Reposisi operatif cara Spinelli
Tindakan operatif menurut Spinelli dilakukan pervaginam yaitu dengan
cara dinding anterior vagina dibuat tegang berlawanan dengan arah tarikan dari
retraktor dan dilakukan insisi transversal tepat di atas portio anterior. Kemudian
plika kandung kemih dipisahkan dari serviks dan segmen bawah rahim. Insisi
mediana dibuat melalui serviks pada jam 12, secara komplit membagi cincin
konstriksi. Insisi dilakukan pada linea mediana sampai fundus uteri. Uterus
dibalik dengan cara telunjuk mengait ke dalam insisi pada permukaan
endometrium yang terbuka dan membuat tekanan yang berlawanan dengan ibu
jari pada bagian peritoneal.
G.

Reposisi operatif cara Kustner


Tindakan operatif menurut Kustner dilakukan pada inversio uteri kronis.

Dengan cara membuka dinding posterior kavum douglas. Dilakukan kolpotomi


transversa transvaginal dengan insisi sedalam ketebalan serviks pada jam 6
sampai dinding posterior uterus. Kemudian dengan menggunakan ibu jari uterus
direversi sepanjang sisi insisi. Setelah uterus direversi, insisi dinding posterior
uterus dan servik diperbaiki, demikian juga dengan insisi transversa dan
kolpotomi pada vagina. Luka ditutup dengan jahitan terputus dan uterus
ditempatkan kembali ke dalam kavum pelvis.
Bila inversio uteri sudah terjadi gangren atau inversio uteri terjadi pada
wanita yang usianya sudah mendekati akhir masa reproduksi dapat dilakukan
histerektomi pervaginam.

Kerugian dari teknik ini adalah mempunyai resiko yang besar untuk
terjadinya perlengketan pelvis. Pada kehamilan selanjutnya dapat terjadi ruprura
uteri yang tersembunyi (Wiknjosastro, et.al. 2008).
H. Subtotal vaginal histerektomi
Dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus dengan benang
zeyde no.1 untuk hemostasis. Kemudian dilakukan sayatan melingkar pada korpus
uterus distal dari jahitan sedikit demi sedikit sehingga tidak mengenai organ
adneksa yang terperangkap di kantung inversio. Perdarahan yang terjadi dirawat.
Keadaan pangkal tuba ovarium, ligamentum rotundum dan jaringan lain
dievaluasi. Dengan bantuan sonde transuretra diidentifikasi vesika urinaria.
Selanjutnya dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus tahap II
kurang lebih 2 cm di luar introitus vagina. Setelah itu dilakukan pemotongan
melingkar lagi terhadap korpus uterus di bagian distal jahitan tahap II. Langkah
selanjutnya kedua ligamen rotundum diklem, dipotong dan dijahit dengan chromic
catgut no.2. Jika diyakini tidak ada perdarahan, tunggul uterus dimasukkan ke
dalam vagina. Operasi selesai (Wiknjosastro, et.al. 2008).

G. Pengkajian
Fokus pengkajian keperawatan yaitu :
1. Sirkulasi
Hipertensi, Edema patologis (tanda hipertensi karena
kehamilan (HKK), penyakit sebelumnya.
2. Intregitas Ego
Adanya ansietas sedang.
3. Makanan/cairan
Ketidakadekuatan
atau
penambahan

berat

badan

berlebihan.
4. Nyeri/Katidaknyamanan
Kontraksi intermiten sampai regular yang jaraknya kurang
dari 10 menit selama paling sedikit 30 detik dalam 30-60
menit.
5. Keamanan
Infeksi mungkin ada (misalnya infeksi saluran kemih (ISK)
dan atau infeksi vagina)
6. Seksualitas : Tulang servikal dilatasi, Perdarahan mungkin
terlihat,

Membran

mungkin

ruptur

(KPD),

Perdarahan

trimester ketiga, Riwayat aborsi, persalinan prematur,


riwayat biopsi konus, Uterus mungkin distensi berlebihan,
karena hidramnion, makrosomia atau getasi multiple.
7. Pemeriksaan diagnostik
Ultrasonografi : Pengkajian getasi (dengan berat badan
janin 500 sampai 2500 gram)
Tes nitrazin : menentukan KPD
Jumlah sel darah putih : Jika mengalami peningkatan, maka
itu menandakan adanya infeksi amniosentesis yaitu radio
lesitin

terhadap

sfingomielin

(L/S)

mendeteksi

fofatidigliserol (PG) untuk maturitas paru janin, atau infeksi


amniotik
Pemantauan elektronik : memfalidasi aktifitas uterus/status
janin.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik, biologis,
kimia, psikologis), kontraksi otot dan efek obat-obatan.

2. Ansietas, ketakutan berhubungan dengan krisis situasional,


ancaman yng dirasakan atau aktual pada diri dan janin.
3. Kekurangan
volume
cairan
berhubungan
dengan
kehilangan cairan aktif
4. Resiko infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Baskett TF. Acute uterine inversion: a review of 40 cases. J Obstet Gynaecol Can
2002; 24: 953-956
Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Abnormalities of the third stage of
labor. In: Williams obstetrics. 21st ed, New York: Appleton & Lange, 2006;
642-3
Decherney AH, Pernoll ML. Postpartum hemorrhage & the abnormal puerperium.
In: Current obstetrics & gynecologic diagnosis & treatment. 11th edition,
Connecticut: Appleton & Lange, 2005; 581-582
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2008: 880-2
Tala M. R. Inversio uteri. Workshop vaginal surgery.2008. Jakarta: Subbagian
Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri & Ginekologi
FKUI/RSUPN-CM
Wiknjosastro H, Saifuddin B. A, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan. Edisi
pertama, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008; 1956
Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5
th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.
Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Intervention Classification (NIC), 6
th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier
Inc.
NANDA. 2015-2017, Nursing Diagnosis: Definitions and
Classification, Philadelphia, USA

Anda mungkin juga menyukai