TINJAUAN KASUS
I. Retensio Plasenta
a) Pengertian
Perdarahan post partum karena retensio plasenta adalah kondisi dimana plasenta
tertahan dalam rahim dan belum keluar selama 30 menit setelah bersalin disebabkan
uterus tidak berkontraksi dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui
keadaan tipe perdarahan mana yang terjadi dan faktor risikonya terkait. Resiko
meninggal akibat perdarahan post partum tidak hanya tergantung pada jumlah
kehilangan darah, tetapi juga status kesehatan wanita. Sosial ekonomi,gaya hidup,
malnutrisi sebagai hal yang tak terhindarkan dan tidak dapat diubah serta kecepatan
dan ketepatan penanganan mempengaruhi keberhasilan penanganan dari pasien
dengan haemorarghia post partum. Oleh karena itu penting sekali melakukan upaya
untuk mencegah retensio plasenta pada persalinan melalui deteksi dini komplikasi
kehamilan, persalinan dan penatalaksanaan manajemen aktif kala III dengan tepat dan
benar. (Agustin Dwi,2021)
Keterlambatan uri untuk dilahirkan dalam waktu lebih dari 30 menit di namakan
retensio plasenta (perlengkatan plasenta). Retensio plasenta merupakan satu penyebab
haemorarghia post partum. Retensio plasenta terjadi dikarenakan plasenta memang
belum lepas dari dinding uterus dan sudah lepas sebagian sehingga tampak
perdarahan yang keluar dari vagina sebagai tanda plasenta harus segera dilahirkan
secara manual. Plasenta yang belum terlepas atau hanya sebagian karena kontraksi
yang tidak adekuat. Jika perlekatan plasenta terlalu kuat dan penempelannya sampai
dengan myometrium atau dinding abdomen dinamakan plasenta akreta dan perkreta.
Kondisi seperti ini tidak dianjurkan untuk dilakukan manual plasenta (F.A.
Permatasari, S. Handayani, 2017).
Retensio plasenta dapat mengakibatkan perdarahan postpartum (HPP) pada ibu
bersalin. Perdarahan postpartum sendiri merupakan perdarahan pervaginam 500 ml
atau lebih sesudah bayi lahir (Henny,Jurnal Kebidanan 2020)
b) Etiologi
Berdasarkan penyebabnya retensio plasenta dapat dibagi menjadi secara
fungsional dan patologi anatomi. Secara fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu
disebabkan karena his yang kurang kuat atau plasenta yang sukar terlepas dari
tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya (plasenta membranasea, plasenta
anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas
karena penyebab di atas disebut plasenta adhesive. Secara patologi anatomi dapat
dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta. Sebab-sebab
plasenta belum lahir bisa oleh karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau
plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Apabila plasenta belum lahir sama
sekali, tidak terjadi perdarahan; jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
c) Faktor Risiko
Faktor risiko kejadian perlengketan plasenta terdiri dari faktor maternal (usia,
paritas, anemia, jarak kehamilan kurang dari 2 tahun, pendidikan), sosial ekonomi,
faktor uterus (rahim yang besar) dan Riwayat komplikasi persalinan yang lalu. Hasil
penelitian Riyanto (2015) menunjukkan bahwa usia, paritas dan anemia berpengaruh
terhadap kejadian retensio plasenta. Usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
berisiko terjadi perlengkatan plasenta karena alat reproduksi usia muda
perkembangan belum sempurna dan usia tua sudah mengalami penurunan pada
desidua yang mengganggu perlekatan plasenta pada rahim. Selain itu hamil pada usia
tua menyebabkan kontraksi uterus kurang adekuat dan endometrium mengalami
kemunduran dalam pemenuhan nutrisi untuk janin sehingga plasenta memperluas
pertumbuhan dan daerah implantasi dan vili khorialis menembus sampai dengan
myometrium. Ibu yang melahirkan lebih dari 2 kali meningkatkan risiko perlengkatan
plasenta karena jaringan fibrosa menggantikan serat otot dalam rahim, penurunan
kontraktilitas, kompresi pembuluh darah lebih sulit dan terjadilah perlengkatan pada
daerah implantasi.
e) Kuretase
Seringkali pelepasan sebagian plasenta dapat dilakukan dengan manual plasenta
dan kuretase digunakan untuk mengeluarkan sebanyak mungkin jaringan yang tersisa.
Kuretase mungkin diperlukan jika perdarahan berlanjut atau pengeluaran manual
tidak lengkap. (Prawirohardjo S, 2014).
Prosedur Kuretase oleh Dokter Spesialis Obgyn
1. Baringkan pasien dalam posisi litotomi
2. Bersihkan vulva dan vagina dengan betadine
3. Kateterisasi
4. Memasang speculum sims, jepit portio dengan tenaculum gigi satu pada arah
jam 11
5. Lakukan sonda seke dalam cavum uteri (10cm), kesan uterus anteflexi
6. Dilakukan pengeluaran sisa jaringan ke dalam cavum uteri dengan abortus
tang.
7. Lanjutkan kuretase dengan tang tumpul lalu tang tajam
8. Kontrol perdarahan, perdarahan (+) sedikit
1. IVFDRL 28 tpm
2. Amoxicilin 500 mg 3x1
3. Asammefenamat 500 mg 3x1
4. Drips oxytocin 1 ampuldalam 500cc RL/D5 28 tpm
5. Cek HB 6 jam post transfusi,
6. Transfusi 1 bag PRC
Penyebab utama inversio uteri belum sepenuhnya diketahui dengan baik dan
dianggap memiliki hubungan dengan kelainan dari miometrium. Sebagian besar
kondisi ini terjadi secara mendadak dan lebih sering karena prosedur tindakan
persalinan. Kondisi ini tidak selalu dapat dicegah.
Inversio uteri dapat terbagi dua menurut penyebabnya, yaitu inversio uteri
nonobstetri dan inversio uteri purperalis. Inversio uteri nonobstetri biasanya
diakibatkan oleh perlengketan mioma uteri submukosa yang terlahir, polip
endometrium, dan sarkoma uteri. Pada kondisi tersebut, fundus uteri tertarik ke arah
bawah disertai dengan kontraksi miometrium secara terus-menerus yang mencoba
untuk mengeluarkan mioma karena dianggap sebagai benda asing. Namun, inversio
uteri karena penyebab nonobstetri lebih jarang terjadi. Sementara inversio uteri
purperalis terjadi secara spontan dan lebih sering karena tindakan persalinan.
(Mehra,2013)
c) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara jangan terlalu mendorong rahim atau
melakukan perasat crede berulangulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat
serta melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam. (Jurnal Dunia Kesmas Volume
3. Nomor 4. 2014)
d) Tata Laksana
Reposisi Manual (https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Inversio_uteri)
Tatalaksana pertama adalah dengan mengatasi keadaan umum penderita sehingga tidak
terjadi syok, bahkan kematian. Diagnosis yang cepat dapat meminimalisir risiko, karena
semakin lama uterus terbalik maka semakin sulit dalam pengembaliannya. Terapi terhadap
perdarahan dan syok sebaiknya diberikan segera penggantian cairan tubuh menggunakan
jarum infus ukuran besar dengan berkolaborasi dengan dokter SPOG. Dipertimbangkan
untuk memasang akses intravena tambahan, kesiapan anestesia, persiapan kamar operasi,
dan asisten bedah. Pengamatan tanda vital penderita dilakukan sesering mungkin, serta
dilakukan pemasangan kateter untuk menilai urin penderita.
Masalah utama penerapan manuver Johnson adalah karena kasus inversio uteri akut
sangat jarang, sulit bagi penolong persalinan untuk mendapatkan kompetensi dalam
melakukan prosedur ini. Oleh karena itu, perlu diadakan pelatihan simulasi.