PNEUMOTHORAKS DI RUANG 23 i
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
2017
A. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (Bowman, 2010).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura.
Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan
penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan
maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik
secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik
dan non iatrogenic (Sudoyo, 2006).
B. Klasifikasi
Sudoyo, (2006) dan Bowman, (2010) menyebutkan penyebab pneumotoraks
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe
ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya,
misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker
paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya
pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan
cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan
ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru.
Menurut Alsagaff, & Mukty (2009) berdasarkan jenis fistulanya, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka
pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound) (Sudoyo, 2010).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff &
Mukty, 2009)
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru
(> 50% volume paru).
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (4).
E. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah
(Sudoyo, 2006), (Alsagaff & Mukty, 2009), (Schiffman, 2011) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal,
pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada
sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya
pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut :
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain
serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila
penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan
pengisian yang kurang.
F. Pemeriksaan fisik
Menurut Bowman, (2010) dan Alsagaff & Mukty, (2009) pada pemeriksaan fisik
torak didapatkan
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rntgen
Menurut Maleuka & Ghazali (2007) gambaran radiologis yang tampak
pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara lain
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang
luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan
sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila
ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra
pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah
kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu
daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang
mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak
cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan
sampai ke daerah dada depan dan belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada
prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan
O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-
24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah
menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut (Alsagaff
& Mukty, 2009)
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga
pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap
di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infuse set yang berada di dalam botol
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem
penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea
mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat
pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga
pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa
kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung
pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah
permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah
keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan
agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka
sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan
cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan
dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (Sudoyo, 2006).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5.
Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel
(Alsagaff & Mukty, 2009).
I. Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
(Alsagaff & Mukty, 2009).
I. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas (Alsagaff & Mukty, 2009).
J. Pengkajian
DEMOGRAFI
Biodata pasien yang meliputi :
1. Identitas pasien, meliputi: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Status perkawinan,
Pendidikan, Pekerjaan, Tanggal Masuk, No. Medikal Record, Diagnosa medis
2. Penanggung jawab, melipui: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan,
Hubungan dengan pasien.
RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama semakin berat.
Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri
pada gerakan pernapasan. Melakukan pengkajian apakah da riwayat trauma yang
mengenai rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru, ledakan yang
menyebabkan tekanan dalam paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya
menyebabkan trauma tumpul didada atau tusukan benda tajam langsung menembus
pleura.
2. Riwayat Penyakit Dahulu.
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru dimana sering
terjadi pada pneumothoraks spontan.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
mungkin menyebabkan pneumothoraks seperti kanker paru, asma, TB paru, dan lain-
lain.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar x dada: Menyatakan akumulasi udara/ cairan pada area pleural; dapat menunjukan
penyimpangan struktur mediastinal (jantung)
2. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup)
AGD : variable tergantung pada derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang
meningkat. PaO2 mungkin normal/ menurun; saturasi oksigen biasanya menurun.
3. Torasentesis: menyatakan darah/ cairan serosanguinosa (hemotorak).
4. HB : mungkin menurun menunjukkan kehilangan darah
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan denagan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura.
2. Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan pemasangan WSD.
3. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan pada informasi.
4. Resiko infeksi dengan faktor resiko pemajanan luka WSD
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, A.H.J E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, Bambang. A., Idrus. K, Marcellus, Sima, d., & Setiati, S.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May
27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551