PERITONITIS DI RUANG 17
RS SYAIFUL ANWAR MALANG
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
B. ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
o Tukak thypoid
o Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya
adalah clostridium wechii.
D. PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau
perforasi tumor, peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material
masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal
dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul
edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen
menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-
sel yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah
hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan
cairan di dalam usus besar.
E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada peritonitis ialah inflamasi tidak lokal dan
seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum. Sepsis adalah
penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari
septikemia atau hipovolemik. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi
usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus (Brunner &
Suddarth, 2002 : 1104).
Menurut Corwin (2000 : 528) komplikasi yang terjadi pada peritonitis
ialah sepsis dan kegagalan multiorgan.
Dua komplikasi pasca operatif paling umum adalah eviserasi luka dan
pembentukan abses. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase
serosanguinosa menunjukan adanya dehisens luka (Brunner & Suddarth, 2002 :
1104).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ L) dengan adanya
shift to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien
dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis
dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
PT, PTT dan INR
Test fungsi hati jika diindikasikan
Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
Diagnostic Peritoneal Lavage. Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 500 sel/L dengan dominan PMN
merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL,
LDH cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat,
didapatkan multipel organisme. (7)
2. Radiologis
Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus)
adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada
penderita dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara
bebas sering ditemukan pada perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang
ditemukan pada perforasi kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawag diafragma (seringkali
pada sebelah kanan) yang merupakan indikasi adanya perforasi organ.
USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di
daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita
merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas
abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites),
tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area
sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan
USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa
meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk
dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu
diagnosis dan terapi pada peritonitis. (7)
CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak
lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada
kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika
memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena.
CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area
inflamasi dan kelainan patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%.
Abses peritoneal dan pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain
dengan panduan CT Scan.
H. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Konservatif
Indikasi terapi konservatif, antara lain:
a Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
b Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
c Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua
dan komorbid
d Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
e Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum.
Terapi suportif harus diberikan termasuk pemberian nutrisi parenteral pada
penderita dengan sepsis abdomen di ICU.
Terapi konservatif meliputi:
1. Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah
cairan ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas
sistemik atau pada penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk,
CVP (central venous pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus
diperhatikan, pengukuran berat badan serial diperlukan untuk memonitoring
kebutuhan cairan. Cairan yang dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus
diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi hipovolemia mengembalikan tekanan
darah dan urin output yang memuaskan.
2. Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas
juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
3. Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor
dengan pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
4. Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia
aspirasi
Nutrisi Parenteral
Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti
muntah.
Definitif / Pembedahan
Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan
pasien untuk tindakan bedah antara lain :
o Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
o Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
o Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
o Pemberian terapi cairan melalui I.V
o Pemberian antibiotic
Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
o Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari
pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
o Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning, kain kassa,
lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan
jaringan yang nekrosis
o Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
o Irigasi kontinyu pasca operasi
Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi terutama pada
peritonitis generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutama pada penderita dengan SP yang parah yang
dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami perburukan atau jatuh ke dalam
keadaan sepsis.
Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan perforasi ulkus
duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi kolon, tetapi lebih sering
dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada penderita dengan syok dan ileus
Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik dalam hal ini perlu
diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian antibiotik dilanjutkan 10
14 hari post operasi, tergantung pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding,
diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.
1. ALASAN PADA PERITONITIS HARUS DILAKUKAN TINDAKAN
PEMBEDAHAN
Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1)
kontrol infeksi ya ng terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki
fungsi organ, dan (4) mengontrol proses inflamasi.
Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut
peritonitis. Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:
1. Pre Operasi
Resusitasi cairan
Oksigenasi
NGT, DC
Antibiotik
Pengendalian suhu tubuh
2. Pro Operasi
Kontrol sumber infeksi
Pencucian rongga peritoneum
Debridement radikal
Irigasi kontinyu
Ettapen lavase/stage abdominal repair
3. Pasca Operasi
Balance cairan
Perhitungan nutrisi
Monitor vital Sign
Pemeriksaan laboratorium
Antibiotika
I. MASALAH KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien post operasi
akibat peritonitis menurut Doengoes (2000 : 516) adalah sebagai berikut :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular,
ketidakseimbangan perseptual / kognitif, peningkatan eskpansi paru, energi,
obstruksi trakeobronkial.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan secara oral, hilangnya cairan tubuh secara tidak normal seperti
melalui kateter, selang, jalur normal seperti muntah.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan
integritas otot.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, disfungsi usus, abnormalitas metabolik, peningkatan kebutuhan
metabolik dan pembedahan.
e. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
efek-efek yang ditimbulkan oleh medikasi, akumulasi drein, perubahan status
metabolis.
f. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran vena, arteri,
hipervolemik.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interprestasi informasi,
tidak mengenal sumber informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Musrifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan
Dasar Manusia. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.EGC :
Jakarta.
Doenges, E., Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.EGC : Jakarta.