dengan EPLIEPSI
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
2016
Disusun oleh :
Triyana Setyowati
201610461011033
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan di ruang empu tantular RSUD Kanjuruhan
Kepanjen yang disusun oleh:
NIM : 201610461011033
Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners Departemen
Keperawatan Anak
Malang, 2017
(Triyana Setyowati)
Mengetahui,
( ) ( )
EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan
ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, et al. 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap
bertahan sejak abad ke-19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik
lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan
sangat cepat (ginsberg, 2005).
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan
penyakit serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya
muatan listrik lokal pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala
berupa kejang berulang.
B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
+
karena adanya influx Na ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
D. Pathway (terlampir)
E. Tanda dan Gejala
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-
bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau
atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil (Detre, 2004).
F. Diagnosis
a. Elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan
diagnosis epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai
kelainan EEG berupa aktivitas epilepsi pada rekaman EEG, dan hanya
50% pasien dengan epilepsi memiliki aktivitas epileptiform pada rekaman
EEG pertamanya11. EEG sangat berperan dalam menegakkan diagnosis
epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi,
serta dalam menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-
kasus kejang fokal15-17. Prosedur standar yang digunakan pada
pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur (sleep deprivation),
pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan
tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur
standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan ambulatory EEG,
yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak selama kejang
berlangsung (Detre, 2004).
b. MRI.
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-
kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan
sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat
digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan
perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor
otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta
abnormalitas lainnya18. Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan,
pemeriksaan dengan MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. MRI
tidak dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum karena jenis
epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan struktural.
Demikian juga halnya dengan BETCS, karena BETCS tidak disebabkan
oleh gangguan pada otak18 (Detre, 2004).
c. CT Scan.
Walaupun CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada
kebanyakan kasus epilepsi, CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang
yang cukup penting karena dapat menunjukkan kelainan pada otak seperti
atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh
darah otak19 (Rallam, 2004).
G. Penatalaksanaan
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang
didalam seseorang
Anti konvulson
Sedatif
Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
o fenitoin (difenilhidantoin)
o karbamazepin
o fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
( Elizabeth, 2002 : 174 )
a. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
b. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh
seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas,
mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah kejang
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter (Smeltzer, 2001).
H. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah sakit
adalah terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, stimulus yang menyebabkan
respons kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan
psikologis dari klien. Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan
predisposisi dari serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah
mengalami trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah
meminta pertolongan setelah mengalami keluhan. Penting juga
ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti pemakaian obat-
obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan
yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan
penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menulai respons emosi klien terhadap kondisi pasca kejang dan setelah
mengalami kejang klien sering mengalami perubahan konsep diri yang
maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan
serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang
akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda
yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter, kontraksi
otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi),
peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi
dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan
keadaan dan atau penanganan peka rangsang, perasaan tidak ada
harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam berhubungan.Ditandai
dengan pelebaran rentang respon emosional.
d. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan
tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi
yang mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.
e. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan
muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.Ditandai dengan
kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan,
pusing dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral,
adanya aura (rangsangan audiovisiual,auditorius, area
halusinogenik). Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang
umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana).
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal
paroksismal selama fase iktal.Ditandai dengan sikap atau tingkah
laku yang hati-hati, distraksi, perubahan tonus otot.
h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan
cepat dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase postiktal apnea.
i. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi.Ditandai
dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran,
kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga,
penggunaan obat maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal
pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan.
B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) : Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persarafan. Fungsi serebral, Status mental: observasi
penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi
ekspresi wajah, aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut
biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan
perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena
anoreksia dan adanya kejang
B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.
I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
menurut (Batticaca, 2012) adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang
(Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi
dan
cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma sosial
yang berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya aktifitas
kejang, status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder respons
pasca kejang (postikal).
7. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (epilepsi)
8. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
9. Resiko infeksi dengan faktor resiko penyakit kronis (epilepsi)
J. Klasifikasi Epilepsi
Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-
tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi
ini terutama sekali dijumpai pada anak.
K. Rencana Keperawatan
Ginsberg, L., 2005. Lecture Notes Neurologi. 8th ed. Indonesia: Penerbit
Erlangga:72-75
Smeltzer. 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 3. EGC,
Jakarta.
.
Pathway
Trauma lahir, cedera
Faktor kepala, demam,
gangguan metabolik,
tumor otak
Kerusakan
Parsial Umum
sederha komple
G3 peredaran Aktifitas
kesadaran
Pen metabolism
Reflek
Resti
Akumulasi
Permeabilita Keb O2
s kapiler hipertermi
mucus a
asfiksi
Ketidakefektifa
Lidah melemah, n bersihan
dan menutup jalan napas
saluran trakea Kerusakan neuron
Ketidakefekt
otak
ifan perfusi
Hambatan jaringan
komunikasi Resiko
ketidakefektifan