Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

dengan EPLIEPSI

RUANG EMPU TANTULAR

RSUD KANJURUHAN - KEPANJEN

STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun oleh :

Triyana Setyowati

201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI


RUANG EMPU TANTULAR

RSUD KANJURUHAN - KEPANJEN

STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun oleh :

Triyana Setyowati

201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan di ruang empu tantular RSUD Kanjuruhan
Kepanjen yang disusun oleh:

Nama : Triyana Setyowati

NIM : 201610461011033

Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners Departemen
Keperawatan Anak

Malang, 2017

Mahasiswa (Ners Muda)

(Triyana Setyowati)

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
EPILEPSI

A. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat
reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan
ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf
otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, et al. 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap
bertahan sejak abad ke-19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik
lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan
sangat cepat (ginsberg, 2005).
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan
penyakit serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya
muatan listrik lokal pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala
berupa kejang berulang.

B. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:

a. Trauma lahir, asphyxia neonatorum


b. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
e. Tumor otak
f. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan
otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut: Apabila pada saat lahir telah
terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus
akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik terjadi pada
saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12
bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama
yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko
40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya
bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan
ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang
dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- Idiopatik
18 th) Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda Trauma
(18- 35 th) Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut Tumor otak
(> 35) Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
(Ginsberg, 2005)
C. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar
melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian
tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas
listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan
dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi

+
karena adanya influx Na ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya

banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari


sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian
juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan
cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

D. Pathway (terlampir)
E. Tanda dan Gejala
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-
bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit
kepala dan sebagainya)
5. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala
sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau
atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normal
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode
epileptikus tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat
berbicara secara tiba- tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
11. Gigi geliginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air
kecil (Detre, 2004).

F. Diagnosis
a. Elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan
diagnosis epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai
kelainan EEG berupa aktivitas epilepsi pada rekaman EEG, dan hanya
50% pasien dengan epilepsi memiliki aktivitas epileptiform pada rekaman
EEG pertamanya11. EEG sangat berperan dalam menegakkan diagnosis
epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi,
serta dalam menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-
kasus kejang fokal15-17. Prosedur standar yang digunakan pada
pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur (sleep deprivation),
pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan
tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur
standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan ambulatory EEG,
yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak selama kejang
berlangsung (Detre, 2004).
b. MRI.
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-
kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan
sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI dapat
digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan
perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor
otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma kavernosa) serta
abnormalitas lainnya18. Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan,
pemeriksaan dengan MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. MRI
tidak dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum karena jenis
epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan struktural.
Demikian juga halnya dengan BETCS, karena BETCS tidak disebabkan
oleh gangguan pada otak18 (Detre, 2004).
c. CT Scan.
Walaupun CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada
kebanyakan kasus epilepsi, CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang
yang cukup penting karena dapat menunjukkan kelainan pada otak seperti
atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan kelainan pada pembuluh
darah otak19 (Rallam, 2004).

G. Penatalaksanaan
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang
didalam seseorang
Anti konvulson
Sedatif
Barbirorat
Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi
o fenitoin (difenilhidantoin)
o karbamazepin
o fenobarbital dan asam valproik
Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai, yakni:
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
( Elizabeth, 2002 : 174 )
a. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
b. Menaggulangi kejang epilepsi
1. Selama kejang
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita
tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh
seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas,
mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.

2. Setelah kejang
Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi.
Yakinkan bahwa jalan napas paten.
Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba
setelah kejang
Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting
untuk pemberian pengobatan oleh dokter (Smeltzer, 2001).

H. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Anamnesa
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dibawa ke rumah sakit
adalah terjadinya kejang berulang dan penurunan tingkat kesadaran.
2. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang : Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai serangan, stimulus yang menyebabkan
respons kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan
psikologis dari klien. Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan
predisposisi dari serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah
mengalami trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah
meminta pertolongan setelah mengalami keluhan. Penting juga
ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya seperti pemakaian obat-
obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan
yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf, dan
penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menulai respons emosi klien terhadap kondisi pasca kejang dan setelah
mengalami kejang klien sering mengalami perubahan konsep diri yang
maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan
serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang
akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda
yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter, kontraksi
otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi),
peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi
dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala yaitu stressor eksternal atau internal yang berhubungan
keadaan dan atau penanganan peka rangsang, perasaan tidak ada
harapan dan tidak berdaya, perubahan dalam berhubungan.Ditandai
dengan pelebaran rentang respon emosional.
d. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan iktal : peningkatan
tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter, postiktal : otot relaksasi
yang mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.
e. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan
muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang.Ditandai dengan
kerusakan jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
f. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan,
pusing dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral,
adanya aura (rangsangan audiovisiual,auditorius, area
halusinogenik). Ditandai dengan kelemahan otot, paralisis, kejang
umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial (sederhana).
g. Nyeri dan kenyamanan
Gejalanya yaitu sakit kepala, nyeri otot, nyeri abnormal
paroksismal selama fase iktal.Ditandai dengan sikap atau tingkah
laku yang hati-hati, distraksi, perubahan tonus otot.
h. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan
cepat dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase postiktal apnea.
i. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi.Ditandai
dengan trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran,
kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
k. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga,
penggunaan obat maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
6. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal
pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas dan
peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan.
B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
B3 (Brain)
Peningkatan B3 (Brain) : Tingkat kesadaran klien dan respons
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi
sistem persarafan. Fungsi serebral, Status mental: observasi
penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya bicara dan observasi
ekspresi wajah, aktifitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut
biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan
perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena
anoreksia dan adanya kejang
B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
menurut (Batticaca, 2012) adalah:
1. Nyeri akut b.d nyeri kepala sekunder respons pascakejang
(Postikal).
2. Resiko cedera b.d kejang berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi
dan
cara penanganan saat kejang serta penurunan tingkat kesadaran.
3. Kecemasan b.d kejang berulang, penyakit yang diderita.
4. Koping individu tidak efektif b.d depresi akibat epilepsi, stigma sosial
yang berkaitan dengan epilepsi, penyakit yang kronis.
5. Kurang pengetahuan b.d baru pertama didiagnosa, seringnya aktifitas
kejang, status perkembangan dan usia.
6. Defisit perawatan diri b.d kebingungan, malas bangun sekunder respons
pasca kejang (postikal).
7. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (epilepsi)
8. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular
9. Resiko infeksi dengan faktor resiko penyakit kronis (epilepsi)
J. Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi


dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang

a) Klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi


Berdasarkan penyebab

1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada


anak dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak
b) Klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal
Dengan gejala motorik:
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian
tubuh saja
Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam
sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti
atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera
dan bangkitan yang disertai vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
Visual: terlihat cahaya
Auditoris: terdengar sesuatu
Olfaktoris: terhidu sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih
kecil atau lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan
kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti
pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.

Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran


menurun sejak permulaan kesadaran.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme

c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum


(tonik-klonik, tonik, klonik).
2. Epilepsi kejang umum
a. Lena Atau Kejang absant (Petit mal)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,
muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama menit dan biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot
leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.
Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot
ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang,
kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat
mengetul atau mengedang.
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom.
Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas.
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Grand Mal
Kejang mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Kejang tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-
tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Epilepsi
ini terutama sekali dijumpai pada anak.
K. Rencana Keperawatan

N DIAGNOSA NOC NIC


O
1. Hipertermia b.d setelah dilakukan tindakan PERAWATAN DEMAM
penyakit keperawatan 1x8jam 1. Pantau suhu dan TTV
(epilepsi) termoregulasi pasien baik 2. Monitor warna kulit dan suhu
3. Beri obat/cairan IV
dengan indikator:
4. Berikan O2 yang sesuai
No Indikator S 5. Tingkatkan sirkulasi udara
1. denyut nadi 5 6. Lembabkan bibir & mukosa
radial hidung yang kering
2. tingkat 5
pernapasan
3. hipertermia 5
4. berkeringat saat 5
panas
2. Hambatan setelah dilakukan tindakan TERAPI LATIHAN
mobilitas fisik b.d keperawatan 1x8jam 1. Tentukan batasan pergerakan
gangguan toleransi aktifitas pasien sendi & efeknya terhadap
neuromuskular baik dengan indikator: fungsi sendi
No Indikator S 2. Kolaborasi dengan ahli terapi
1. berpartisipasi 5 fisik sendi dalam
dalam aktifitas mengembangkan &
2. TTV normal 5 menerapkan program
3. kelemahan 5 latihan
4. Status respirasi 5 3. Pakaikan baju yang tidak
dbn menghambat pergerakan
pasien
4. Lindungi pasien dari trauma
selama latihan
5. Dukung pasien untuk latihan
ROM aktif/pasif
6. Dukung pasien untuk duduk
ditempat tidur, disamping
tempat tidur (menjuntai)/
dikursi sesuai toleransi
pasien
7. Instruksikan pasien atau
keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif dan aktif
3. Resiko infeksi setelah dilakukan tindakan KONROL INFEKSI
dengan faktor keperawatan 1x8jam kontrol 1. Bersihkan lingkungan
resiko penyakit resiko: proses infeksi pasien pasien dengan baik
kronis baik dengan indikator: 2. Pertahankan teknik isolasi
No Indikator S yang sesuai
1. berpartisipasi 5 3. Cuci tangan sebelum &
dalam aktifitas sesudah kegiatan
2. TTV normal 5 perawatan pasien
3. kelemahan 5 4. Tingkatkan intake nutrisi
4. Status respirasi 5 yang tepat
dbn 5. Dorong untuk beristirahat
6. Berikan terapi antibiotic
yang sesuai

(Nurjanah & Tumanggor, 2013 & Nanda 2015-2017)


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, et.al. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica


Aesculpalus, FKUI, Jakarta

Batticaca,B.F.2008.Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Metabolisme. Jakarta : Salemba Medika

Elizabeth J. Corwin. 2002. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Detre J. 2004. Aplications in epilepsy. fMRI: Epilepsia ;(45):26-31

Ginsberg, L., 2005. Lecture Notes Neurologi. 8th ed. Indonesia: Penerbit
Erlangga:72-75

Rallam DK . 2004. Investigating epilepsy: CT and MRI in epilepsy. Journal of


Neuroscience. Nepal .no.004. Vol.67-72.

Smeltzer. 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 3. EGC,
Jakarta.

Tarwoto. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan,


Jakarta : CV. Sagung Seto

Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5


th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.

Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Intervention Classification (NIC), 6


th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.

NANDA. 2015-2017, Nursing Diagnosis: Definitions and


Classification, Philadelphia, USA

.
Pathway
Trauma lahir, cedera
Faktor kepala, demam,
gangguan metabolik,
tumor otak

Kerusakan

stabilisasi Ketidak seimbangan


membran sinaps neurotransmiter
sinapsmembra
depolarisasi GABA zat
Invlux Na ke Asetilkolin (zat
eksitatif) )
Na dlm intra sel G3 polarisasi
(hypo/hiper polarisasi) Kerusakan
berfikir
Ketidk seimbangan ion
G3
Ketidak sambungan presesi
Isola sensori
G3b depolarisasi (ke KEJANG si
listrikan saraf) sosi

Parsial Umum

sederha komple

abse miokloni Tonik atoni


klonik k

G3 peredaran Aktifitas
kesadaran

Pen metabolism
Reflek
Resti

Akumulasi
Permeabilita Keb O2
s kapiler hipertermi
mucus a
asfiksi
Ketidakefektifa
Lidah melemah, n bersihan
dan menutup jalan napas
saluran trakea Kerusakan neuron
Ketidakefekt
otak
ifan perfusi
Hambatan jaringan
komunikasi Resiko
ketidakefektifan

Tarwoto, 2007; Detre, 2004; Elizabeth, 2002

Anda mungkin juga menyukai