Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA APLASTIK DI RUANG 7A

RS SYAIFUL ANWAR MALANG

Disusun oleh :

Triyana Setyowati

201610461011033

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

2017
ANEMIA APLASTIK

1. DEFINISI
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan
namun berpotensi mengancam jiwa (Widjanarko, 2007).
Definisi yang lain menyebutkan juga bahwa Anemia aplastik didefinisikan sebagai
pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang,dan diklasifikasikan menjadi
jenis primer dan sekunder (Hoffbrand, 2005)
Ada pula yang mendukung Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoesis
yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum
tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
sistem keganasan hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang
(Aghe, 2009).

2. PREVALENSI
Ditemukan lebih dari 70 % anak-anak menderita anemia aplastik. Tidak ada
perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan, namun beberapa penelitian
nampak insiden pada laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penyakit ini termasuk
penyakit yang jarang dijumpai dinegara barat dengan insiden 1-3/ 1 juta/tahun. Namun
dinegara timur seperti Thailand, negara asia lainnya seperti indonesia, Taiwan dan Cina
insidennya lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 diBangkok didapatkan 3.7/1 juta/tahun.
( Aghe,2009 )

3. ETIOLOGI
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik, yaitu
penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam mencari penyebab ini
karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan dan karena belum adanya model binatang
percobaan yang tepat. Penyebab anemia aplastik dapat dibedakan atas penyebab primer dan
sekunder (Bakta, 2006).
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1. Faktor kongenital
Anemia aplastik yang diturunkan : sindroma fanconi yang biasanya disertai kelainan
bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
(Aghe, 2009)
Anemia Fanconi, adalah kelainan autosomal resesif yang di tandai oleh defek pada DNA
repair dan memiliki predisposisi ke arah leukimia dan tumor padat (Wijanarko, 2007).
Diskeratosis kongenita, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara
klasik muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia
mukosa. Diskeratosis kongenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC
(yang menyandi komponen RNA telomerase) dan pada akhirnya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal (Wijanarko, 2007).
Sindrom Shwachman-Diamond, adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan
disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum tulang. Seperti
pada anemia Fanconi, penyakit ini memiliki resiko myelodisplasia atau leukimia pada usia
yang sangat muda (Wijanarko, 2007).
Trombositopenia amegakryositik, adalah kelainan yang ditandai dengan trombositopenia
berat dan tidak adanya megakryosit pada saat lahir ( Wijanarko, 2007).
Aplasia sel darah merah murni/pure red cell anemia (PRCA), yaitu anemia yang timbul
karena kegagalan murni sistem eritroid tanpa kelainan sistem mieloid atau megakaryosit
(Bakta, 2006).

2. Faktor didapat
sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik sebagian lanilla dihubungkan dengan:
bahan kimia:
1. Hidrokarbon siklik: benzena & trinitrotoluena
2. Insektisida: chlorade atau DDT
3. Arsen anorganik (Bakta,2006)

obat-obatan :
Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas utamanya;
efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Berbeda dengan
hal tersebut, reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia
aplastik tanpa hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan
suatu penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara kuantitatif
menilai pengaruh obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik,
beberapa psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas. (Aghe, 2009)
Tidak semua hubungan selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat
digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum (antibiotic untuk
demam atau gejala infeksi virus) atau memprovokasi gejala pertama dari penyakit
sebelumnya (petechiae akibat NSAID yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada
konteks penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada
beberapa orang terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab
utama, namun dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000
pengobatan dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko
selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun
pengenalan chloramphenicol dicurigai menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian
pemakaiannya tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum tulang).
Perkiraan resiko biasanya lebih rendah ketika penelitian berdasarkan populasi ( Harisson,
2008).
Akibat kehamilan
Pada kehamilan kadang-kadang ditemikan pansitopenia yang disertai aplasia
sumsum tulang yang berlangsungnya bersifat sementara. Mungkin ini disebabkan oleh
estrogen dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat dalam darah atau tidak
adanya perangsang hematopoiesis. Anemia ini sembuh setelah terminasi kehamilan dan
dapat kambuh lagi pada kehamilan berikutnya (Wijanarko, 2007).
infeksi :
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia
aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan
kejadian. Pasien biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2
bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif (non-
A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang tidak
terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis
seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini. Anemia
aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus Eipsten-Barr telah
ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien, beberapanya tanpa disertai riwayat
penyakit sebelumnya. Parvovirus B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia
hemolitik dan beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan
kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi
pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali setelah
infeksi berakhir (Harrison, 2008).

Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem
sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan
mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel
hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula
pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Aghe,2009).
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya
paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai
terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan
penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima
radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum
tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk
sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan
2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi
yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang
pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia
aplastik. (Solander, 2006)
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan
menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat (lihat tabel). Resiko morbiditas dan mortalitas
lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang.
Angka kematian setelah 2 tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia
aplastik berat atau sangat berat sekitar 80%, infeksi jamur dan sepsis bakterial adalah
penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan
sebagian besar tidak membutuhkan terapi (Widjanarko, 2007).
Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi
(solander,2006)

B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel).


Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia
aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl
(Wijanarko, 2007)
PATOGENESIS
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia
aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologi
penyakit ini yaitu :
1. kerusakan sel hematopoitik
2. kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. proses imunologik yang menekan hematopoisis(Aghe, 2009)
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang
paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.
Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan
DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki
resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous
leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari
protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2.
Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan
kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia
aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan
oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat
menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya
belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat
proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap
stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada
sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan
kematian sel terprogram (apoptosis).

5. MANIFESTASI KLINIS
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan. Hitung jenis
darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatig, dispneadan jantung
berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa.
Neutropenia meningkatkan kerentana terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh
sakit kepala dan demam (Widjanarko,2007).
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan
anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi
sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat
sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir
atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik
yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi
kadang-kadang juga dikeluhkan (Solander,2006).
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel). Pada tabel terlihat bahwa
pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
(Widjanarko, 2007)
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5
terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan
ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya
bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak
ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis (Widjanarko, 2007).
Keluhan Pasien Anemia Apalastik & Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan % Jenis Pemeriksaan %
Fisik
Pendarahan 83 Pucat 100
Lemah badan 80 Pendarahan 63
Pusing 69 Kulit 34
Jantung berdebar 36 Gusi 26
Demam 33 Retina 20
Nafsu makan 29 Hidung 7
berkurang 26 Saluran cerna 6
Pucat 23 Vagina 3
Sesak nafas 19 Demam 16
Penglihatan kabur 13 Hepatomegali 7
Telinga berdengung Splenomegali 0

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboraturium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis(Widjanarko, 2007).
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan trombosit kurang dari
20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm 3
menandakan anemia aplastik sangat berat.(Solander, 2006)
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan
merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.(Aghe,2009)
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional.Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe
serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke
eritrosit yang bersirkulasi (Solander,2006).

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah
yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-
sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan
kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada
beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan
hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah(Solander,2006).
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi
dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual
hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk
mengklarifikasi diagnosis (Aghe,2009).
c. Laju enap darah
Laju enap darah selalu meningkat. Ditemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai
laju enap darah lebi dari 100 mm dalam jam pertama(Widjanarko, 2007).
d. Faal Hemostasis
waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia.
Faal hemostasis lainnya normal (Widjanarko, 2007).
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa
anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum
tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal.
Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas
yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak(Solander, 2006).
Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan caara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena
dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berseluler(Widjanarko, 2007).
Radionuclide Bone Marrow Imaging
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik
dengan koloidradioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang
atau iodium cloride yang akan terikat pada transferrin(Widjanarko, 2007).

7. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel

Penyebab Pansitopenia
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia
tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik
dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah
yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Het),
prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik
serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada
anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi
abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya
mikromegakariosit unilobuler)(Solander, 2006).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya
sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi (Aghe, 2009).
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel
limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang (Solander, 2006).
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang
yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik(Harrison, 2008).

8. TERAPI
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
Menejemen awal Anemia Aplastik:
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.

Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas


pasien, orang tua dan saudara kandung pasien(Solander,2006)

Pengobatan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan
metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. (Aghe,2009)

Pengobatan Suportif

Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular (Widjanarko,2007).
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor.
Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara
kandung) (Solander,2006).

a. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3.
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis(Solander, 2006).
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi
ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan
proliferasi preurosir limfosit sitotoksik(Bakta,2007).

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG,


siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia
aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%
(Solander,2006).
b. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik
berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi,
transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya
sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk
transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang
berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin
meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan
sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun
terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia
muda(Aghe,2009).
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang
dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien yang menerima
transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek
daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama
sekali(Solander,2006).

DAFTAR PUSTAKA
1. Widjanarko A. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
2. Aghe NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw Hill, 2009:617-25.
3. Salonder H. Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
4. Harrison EC, The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in URL:
HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
5.Bakta IM. Buku Panduan Hematologi Ringkas. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI,2006

Anda mungkin juga menyukai