Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

dengan KEJANG DEMAM (FEBRIS CONVULSI)


RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN - KEPANJEN

STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun oleh :

Triyana Setyowati

201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM (FEBRIS CONVULSI)

RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN - KEPANJEN


STASE KEPERAWATAN ANAK

Disusun oleh :

Triyana Setyowati

201610461011033

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan di ruang empu tantular RSUD Kanjuruhan
Kepanjen yang disusun oleh:

Nama : Triyana Setyowati

NIM : 201610461011033

Telah diperiksa dan disahkan sebagai salah satu tugas profesi Ners Departemen
Keperawatan Anak

Malang, 2017

Mahasiswa (Ners Muda)

(Triyana Setyowati)

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
EPILEPSI

A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Budiman, 2006). Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling
sering dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 5
tahun.
Menurut Candra (2009), kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada
saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat.
Kejang terjadi apabila demam disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan
atas, roseola atau infeksi telinga. Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang
demam terjadi sebagai gejala dari penyakit meningitis atau masalah serius lainnya.
Selain demam yang tinggi, kejang juga bisa terjadi akibat penyakit radang selaput
otak, tumor, trauma atau benjolan di kepala serta gangguan elektrolit dalam tubuh.
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam dimana anak akan terlihat
aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak
tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan
tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal
kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit. Kejang sendiri terjadi
akibat adanya kontraksi otot yang berlebihan dalam waktu tertentu tanpa bisa
dikendalikan. Timbulnya kejang yang disertai demam ini diistilahkan sebagai
kejang demam (convalsio febrillis) atau stuip/step (Selamihardja, 2008).
Kejang demam anak perlu diwaspadai, karena kejang yang lama (lebih dari
15 menit) dapat menyebabkan kecacatan otak bahkan kematian. Dalam 24 jam
pertama walaupun belum bisa dipastikan terjadi kejang, bila anak mengalami
demam, hal yang terpenting dilakukan adalah menurunkan suhu tubuh (Candra,
2009).
B. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu

tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8o. Jenis infeksi yang bersumber di luar
susunan saraf pusat yang menimbulkan demam yang dapat menyebabkan kejang
demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi
saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut,
bronchitis, dan infeksi saluran kemih ( Soetomenggolo,2000).

C. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.

D. Patofisiologi
Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis dan
bronchitis dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh dengan cepat,
toksik yang dihasilkan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen dan
limfogen. Pada keadaan ini tubuh mengalami inflamasi sistemik. Dan hipotalamus
akan merespon dengan menaikkan pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh
dalam bahaya secara sistemik. Disaat tubuh mengalami peningkatan suhu 1C
secara fisiologi tubuh akan menaikkan metabolisme basal 10%-15% dan
kebutuhan oksigen sebesar 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran
sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun
ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).

E. Pathway (terlampir)

F. Tanda dan Gejala


kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang
demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung
beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam
ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).

G. Klasifikasi Demam Kejang


Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam
penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004). Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3
bagian yaitu: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang
demam berulang (Baumann, 2001).
Berikut penjelasannya menurut Soetomenggolo (2010) mengenai klasifikasi
kejang demam :
o Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit,
fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam).
o Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks.
o Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari
satu kali

H. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis
ke arah kejang demam, seperti: (Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010).
Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam
diluar susunan saraf pusat
Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik,
menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang
pertama disertai suhu dibawah 39 C.
Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah
usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam
keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal,
riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam
akomlpeks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
(Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010).
Suhu tubuh mencapai 39C.
Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
tergantung pada jenis kejang.
Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun
laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi
berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa
gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta,
relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai
nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering
menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo,
2000).

I. Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila
muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau
perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan
dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah
pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal
(Soetomenggolo, 2000).
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung
lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga
pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan
dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan
laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo,
2000).
3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga.
Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak
yang menetap (cacat).
Adapun 3 upaya yang dapat dilakukan:
- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.
- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi kejang.

a. Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih
cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5C atau lebih.
Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).
b. Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16
mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis
kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik
dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping
hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya epilepsi di
kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa
panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut :
1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping
2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak
3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini
diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya.
4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari.
5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar
dapat ditangani lebih lanjut

J. Pengkajian
1. Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak
meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat.
2. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan
gerakan kejang si anak
3. Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka
diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya
bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.
4. Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu
berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui
kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
5. Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran
seperti epilepsi mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan
kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara
tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
6. Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang
terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun.
Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada
umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
7. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu
yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit
kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya.
Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur,
kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?
8. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada
penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA,
Morbili dan lain-lain.
9. Riwayat penyakit dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah
penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang
terjadi untuk pertama kali ?
10. Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan
lain-lain.
11. Riwayat kehamilan dan persalinan.
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami
infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per
vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama
hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan
tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain.
Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau
menetek, dan kejang-kejang.
12. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta
umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya
setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang
dapat menimbulkan kejang.
13. Riwayat perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan
kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan
koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu
benda, dan lain-lain.
Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh.
Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
14. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita
kejang demam mempunyai faktor turunan)
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya?
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare
atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya
kejang demam.
15. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji
siapakah yanh mengasuh anak?
Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya?
16. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
17. Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang
kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan
tindakan medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan
kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang
sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
18. Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana
kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan
anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
19. Pola eliminasi
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
Bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan
apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
20. Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya?
Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
Aktivitas apa yang disukai?
21. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur?
Berangkat tidur jam berapa?
Bangun tidur jam berapa?
Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
B. DATA OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan
darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan
didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali
normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi
2. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk
kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-
ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau
belum?
2.Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut.
Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang,
kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan
rasa sakit pada pasien.
3. Muka/ wajah
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis
tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi
sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada
gangguan nervus cranial ?
4. Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan
ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
5. Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya
infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga,
keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
6. Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan
napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?
7. Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan
lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada
caries gigi?
8. Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi
faring, cairan eksudat
9. Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah
pembesaran vena jugulans ?
10. Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi intercostale? Pada
auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
11. Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah
bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
12. Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus?
Adakah pembesaran lien dan hepar
13. Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit?
14. Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
15. Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-
tanda infeksi ?

K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan DHF :
1. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi, kurang sumber
pengetahuan
2. Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan faktor resiko
neoplasma otak
3. Hipertermia b.d dehidrasi, peningkatan laju metabolisme
4. Risiko cedera dengan faktor resiko disfungsi biokimia, gangguan
orientasi efektif
5. Ansietas b.d stressor, ancaman kematian

L. Rencana Keperawatan
N DIAGNOSA NOC NIC
O
1. Hipertermia b.d setelah dilakukan tindakan PERAWATAN DEMAM
peningkatan laju keperawatan 1x8jam 1. Pantau suhu dan TTV
metabolisme termoregulasi pasien baik 2. Monitor warna kulit dan suhu
3. Beri obat/cairan IV
dengan indikator:
4. Berikan O2 yang sesuai
No Indikator S 5. Tingkatkan sirkulasi udara
1. denyut nadi 5
Lembabkan bibir & mukosa
radial
hidung yang kering
2. tingkat 5
pernapasan
3. hipertermia 5
4. berkeringat saat 5
panas
2. Risiko cedera setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN KEJANG
dengan faktor keperawatan 1x8jam 1. Pertahankan jalan napas
resiko disfungsi keparahan cedera fisik bisa 2. Balikan badan klien kesatu
integrasi sensori terkontrol dengan indikator sisi
3. Pandu gerakan kien untuk
No Indikator S
1. fraktur tulang 5 mencegah terjadinya cedera
4. Longgarkan pakaian
tengkorak
5. Pasang IV line dengan benar
2. fraktur tulang 5
6. Berikan O2 dengan benar
punggung 7. Monitor TTV dan status
3. fraktur muka 5 neurologis
4. cedera kepala 5 8. Berikan obat-obatan dengan
terbuka benar
5. cedera kepala 5 9. Berikan obat-obatan anti
tertutup kejang
10. Catat lama kejang
3. Resiko setelah dilakukan tindakan MONITOR NEUROLOGI
Ketidakefektifan keperawatan 1x8jam perfusi 1. Monitor tingkat kesadaran
perfusi jaringan jaringan serebral px baik 2. Monitor reflek batuk dan
otak dengan dengan indikator: muntah
3. Monitor reflek kornea
faktor resiko No Indikator S
4. Monitor kekuatan
neoplasma otak 1. tekanan 5
pegangan
intrakranial
5. Tingkatkan pemantauan
2. TD sistolik dan 5
neurologis yang sesuai
diastolik
6. Hindari kegiatan yang bisa
3. sakit kepala 5
meningkatkan tekanan
4. muntah 5
5. gelisah 5 intracranial
7. Pantau reaksi pasien
terkait sakit kepala
(Nurjanah & Tumanggor, 2013 & Nanda 2015-2017)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman. 2006. Faktor Risiko Kejang Demam Berulang. Jakarta: EGC

Candra. 2009. Kejang Demam.Available: http://www.scribd.com/doc/15689407,


29 Desember 2011

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto B., Turana Y. 2009. Panduan Praktis
Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Penerbit Buku
Kedokteran.EGC. Jakarta

Ginsberg, L., 2005. Lecture Notes Neurologi. 8th ed. Indonesia: Penerbit
Erlangga:72-75

Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5


th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.

Nurjanah, I. & Tumanggor,R.D.2013. Nursing Intervention Classification (NIC), 6


th edition. Edisi Bahasa Indonesia. Mosby an imprint of Elsevier Inc.

NANDA. 2015-2017, Nursing Diagnosis: Definitions and


Classification, Philadelphia, USA
Soetomenggolo TS.2000. Kejang Demam. Dalam. Buku Ajar Neurologi Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: BP IDAI; .h.244-51

.
Gambaran kejang pada anak
Hipertermi
a

Risiko cedera

Kurang pengetahuan

Ansietas

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

Anda mungkin juga menyukai