Anda di halaman 1dari 15

AKALASIA

MAKALAH

oleh
Kelompok 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014
AKALASIA

MAKALAH
disusun sebagai pemenuhan tugas Mata Kuliah Keperawatan Klinik III-B
dengan dosen pengampu: Ns. Nur Widayati, MN

oleh
Helda Puspitasari 122310101018
Ria Novitasari 122310101022
Retno Puji Astuti 122310101027
LinaNur Khumairoh 122310101029
Reny Dwi Nurmasari 122310101032
Myta Kirana Dewi 122310101056
Fakhrun Nisa Fiddaroini 122310101064
Nilla Sahuleka 122310101070

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014
AKALASIA

A. Definisi
Akalasia adalah gangguan motilitas yang jarang dimana obstruksi relatif pada
sambungan gastroesofagus menjadi lebih jelek karena tidak adanya gelombang
peristaltik paa esofagus. Akalasia merupakan hilangnya peristalsis esofagus dan
kegagalan relaksasi sfingter esofagus bawah. Kegagalan relaksasi serat-serat otot
polos saluran cerna pada persimpangan bagian yang satu dengan yang lainnya
khususnya kegagalan sfingter esofagogaster untuk mengendur pada waktu
menelan akibat degenerasi sel-sel ganglion pada organ tersebut (kamus saku
kedokteran Dorland, 2007).
Akalasia adalah kelainan motorik dari otot polos esofagus, dimana terjadi
gangguan peristaltik otot esofagus yang menyeluruh disertai gangguan otot
lingkar esofagus bagian bawah, gagal untuk relaksasi secara sempurna, sehingga
mengakibatkan gangguan pengosongan esofagus. Menurut Behrman (1999),
akalasia adalah gangguan motilitas yang jarang dimana obstruksi relatif pada
sambungan gastroesofagus menjadi lebih jelek karena tidak adanya gelombang
peristaltik pada esofagus. Sedangkan menurut Yasmin Asih, dkk (1998) akalasia
adalah penghentian atau tidak adanya kerja peristaltik pada 2/3 bawah esofagus
dan kegagalan sfingter kardiak untuk berelaksasi pada saat menelan. Akalasia
merupakan keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik korpus
esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (SEB) yang
hipertonik sehingga tidak dapat berelaksasi secara sempurna pada saat menelan
makanan. Secara histopatologis, kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglua
pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi statis makanan dan
selanjutnya akan menimbulkan pelebaran esofagus (Fuad, 2006: 322).
B. Klasifikasi
Akalasia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Akalasia primer
Akalasia primer belum diketahui secara pasti penyebabnya. Dugaan
sementara penyakit ini disebabkan oleh virus neurotropik yang
mengakibatkan lesi pada nekleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
msenerikus pada esofagus. Degenerasi pleksus auerbach dapat menyebabkan
hilangnya kontrol neurologisyang mengakibatkan gelombang peristaltik
primer tdak mencapai sfingter esofagus bagian bawah untuk merangsang
relaksasi. Faktor yang paling berperan adalah faktor keturunan.
2. Akalasia sekunder
Akalasia sekunder dapa disebaban oleh: 1) infeksi, misal penyakit chagas; 2)
karsinoma lambung yang menginvasi esofagus melalui radiasi, toksin, atau
obat-obat tertentu; 3) tumor intraluminer seperti tumor kardia atau
pendoronganekstra luminar sepeti pseudokista pankreas; dan 4) obat anti
kolinergik atau pasca vagotomi.

C. Epidemiologi
Penyakit ini relatif jarang dijumpai daripada penyakit lainnya. Sebagian besar
kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang
hampir sama, lebih sering terjadi pada orang dewasa meskipun dapat terjadi pada
masa anak-anak atau bayi. Dari data divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun
(1984-1988). Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap
tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28 populasi di 26
negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian
standar 239 dan yang terendah dengan angka kematian standar 0. Angka ini
diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder. Kelainan
akalasia tidak diturunkan dan biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun hingga
menimbulkan gejala.
D. Etiologi
Umumnya, penyebab akalasia sampai sekarang belum diketahui. Berdasarkan
teori, penyebab akalasia antara lain sebagai berikut.
1. Teori genetik
1-2 % penderita akalasia dapat menurunkan penyakitnya.
2. Teori infeksi
Akalasia dapat disebabkan oleh bakteri (misal, tuberculosisi dan sipilis), virus
(misal, herpes dan varicella zoster), dan zat toxic (misal, gas kombat).
3. Teori autoimun
Akalasia dapat disebabkan oleh respons inflamasi dalam pleksus mienterikus
esophagus yang didominasi oleh limfosit T yang berperan dalam penyakit
autoimun.
4. Teori degenerative
Akalasia dapat berhubungan dengan proses penuaan dengan status neurologis
atau penyakit psikis seperti Parkinson atau depresi.

E. Patofisiologi
Banyak faktor yang bisa menyebabkan terserang penyakit akalasia yaitu
diantaranya genetik, faktor usia, autoimun, dan infeksi virus yang menyebabkan
degenerasi syaraf yang menimbulkan terjadinya kerusakan kerja syaraf neksus
mientrikus pada dua per tiga bagian bawah esophagus. Terjadinya kerusakan saraf
tersebut menyebabkan kerja otot di bagaian bawah esophagus menurun dan terjadi
aperistaltik sehingga tekanan di esophagus meningkat . Hal tersebut menyebabkan
sfingter bawah esophagus tidak dapat berelaksasi sehingga terjadi kesulitan
menelan dan makanan tertahan di esophagus.
Selain itu, menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter
esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk
relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan antara
kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB
manusia adalah 3-5cm sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20
mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua kali lipat atau kurang
lebih 50 mmHg.Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan
sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan
mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi
tekanan residual, makanan dapat masuk kedalam lambung;
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian kearah motilitas,
secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara manometrik pada
keadaan normal dan akalasia (Bakry, 2006).

F. Manifestasi Klinis
Akalasia sering kali ditemukan pada orang dewasa muda, namun ada juga
yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Gejala yang sering
ditemukan pada pasien akalasia yaitu:
1. Disfagia
Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat
terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.
Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan
lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi
Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Regurgitasi
sering terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan.
Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan
rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah substernal.
5. Pasien mepunyai sensasi makanan menyumbat pada bagian bawah
esophagus.
6. Muntah, secara spontan aau sengaja untuk menghilangkan ketidak nyamanan.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik sangat membantu dalam penegakan diagnosis
pada suatu penyakit, ini harus dikorelasikan dengan temuan klinis dan
riwayat penyakitnya. Pada foto polos toraks pasien akalisia tidak
menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari
gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah
posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium dengan
pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal
esophagus dengan gambaran peristaltic yang abnormal serta gambaran
penyempitan dibagian distal esophagus atau esophagogastric junction yang
menyerupai seperti bird-beak like appearance.
Rontgenogramothorax bias menunjukkan pelebaran mediastinum akibat
esophagus yang berdilatasi mengandung batas udara-cairan. Tanda aspirasi
paru menahun bias terlihat. Evaluasi cinefluoroscopic esophagus akan
menunjukkan tiga stadium:
a. Stadium 1 atau akalasia ringan, memperlihatkan tidak ada atau sedikit
dilatasi dengan retensi minimum materi kontrak proksimal terhadap
sphincter esophagus bawah. Kontraksi giat esophagus dapat terlihat
dalam stadium ini dan mungkin sulit dibedakan dari spasme esophagus
difus.
b. Stadium 2, memperlihatkan lebih banyak dilatasi dengan kontraksi
nonperistaltik yang lemah dan sambungan esophagogaster meruncing,
yang menggambarkan sphincter tidak relaksasi atau tertutup rapat.
c. Stadium 3, memperlihatkan esophagus sangat besar dengan retensi
makanan dan sering penampilan seperti sigmoideum
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua
pasien akalasia oleh karena beberapa alas an yaitu untuk menentukan adanaya
esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari
obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada
pemeriksaan inin, tampak pelebaran lumen esophagus dengan bagian distal
yang menyempit, terdapat sisa-sisa mekanan dan cairan dibagian proksimal
dari daerah penyempitan, mukosa esophagus berwarna pucat, edema dan
kadang-kadang terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan.
Sfingter esophagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit tekanan
pada esofagoskop dan dapat masuk ke lambung dengan mudah.
3. Pemeriksaan manometrik
Gunanya untuk memulai fungsi motorik esophagus dengana melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esophagus, pemeriksaan ini
untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara kuantitatif dan kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan
manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah
fungsi motorik badan esophagus dan sfingter esophagus bawah. Pada bahan
esophagus dinilai tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya.
Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan
esophagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltic sepanjang esophagus
sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esophagus bagian bawah
normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.
4. Menelan barium atau esofagogastroduodenoskopi (EGD) manometer
Pemeriksaan radiologis barium biasa dikombinasikan dengan pemeriksaan
diagnostic lambung dan deudenum(rangkaian pemeriksaan rdiologis
gasyrointestinal bagian atas menggunakan barium sulfat) menggunakan
barium sulfat dalam cairan atau suspens kiri yang ditelan. Mekanisme
menelan dpat terlihat secara langsung dengan pemeriksaan fluoroskopi atau
perekaman gambaran radiografik. Bila dicurigai terdapat kelainan esophagus
ahli radiologi dapat meletakkan penderita dalam berbagai posisi.
5. Pemeriksaan Motilitas
Berfungsi memeriksa bagian motrik esophagus dengan menggunakan
kateter peka tekanan atau balon mini mg diletakkan dalam lambung dan
kemudian naikkan kembali. Tekanan kemudian ditransmisi ke transduser
yang diletakkan diluar tubuh penderita, pengukuran perubahan tekanan
esopahus dan lambung sanagat menambah pengertian aktivitas esophagus
pada keadaan sehat atau sakit saat istirahat dan selama menelan.

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Obat antagonis kalsium, nifedipin 10-20 mg peroral dapat menurunkan
tekanan SEB pasien dengan akalasia ringan sampai sedang. Hasil pengobatan
ini didapatkan perbaikan gejala klinis pasien sampai dengan 18 bulan bila
dibandingkan dengan placebo. Pemakaian preparat nifedipin sublingual, 15-
30 menit sebelum makan memberikan hasil yang baik.
b. Amilnitrit dapat digunakan pada waktu pemeriksaan esofagogram yang akan
berakibat relaksasi pada daerah kardia
c. Isosorbit dinitrat dapat menurunkan tekanan sfingter esophagus bagian bawah
dan meningkatkan pengosongan esophagus
2. Injeksi botulinum toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esophagus bawah
yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmitter
eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi
dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding
esophagus dengan sudut kemiringan 45 derajat, dimana jarum dimasukkan
sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction.
Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat diatas batas proksimal
dari sfingter esophagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke
dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang
dibagi dalam 20-25 unit/MI untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari
sfingter esophagus bawah.
3. Dilatasi SEB
Dengan cara sederhana menggunakan businasi hurst yang terbuat dari
bahan karet yang berisi air raksa dalam ukuran F (French) mempunyai 4 jenis
ukuran. Prinsip kerjanya berdasarkan gaya berat yang dipakai dari ukuran
terkecil sampai terbesar secara periodic. Keberhasilan businasi ini hanya pada
50% tanpa kambuh, 30 % sedang dan terjadi kambuh sedangkan 15% gagal.
Dengan menggunakan dilatasi pneumatic, dilatasi ini dapat dilakukan dengan
cara memasukkan tabung yang berisi air raksa yang disebut bougie atau lazim
disebut dengan kantong pneumatic yang diletakkan di daerah sfingter
esophagus bagian bawah, kemudian ditiup dengan kuat. Pasien harus
dipuasakan dulu selama 12 jam dan dilakukan pemasangan dengan panduan
fluoroskopi. Posisi balon harus berada di atas hiatus diafragmatika dan
setengah lagi dalam gaster. Balon dikembangkan secara maksimal dan
secepat mungkin agar peregangan SEB seoptimal mungkin, selama 60 detik
setelah itu dikempiskan. Untuk satu kali pengobatan, pengembangan balon
tidak melebihi dua kali. Tanda-tanda pengobatan berhasil apabila pasien
merasa nyeri bila balon ditiup dan segera menghilang jika balon
dikempiskan. Bila nyeri menetap kemungkinan terjadi perforasi.
4. Miotomy heller
Pembelahan serabut-serabut otot perbatasan esophagus-lambung.
Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (misalnya miotomi) dari
sfingter esophagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang
diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di
rumah sakit selama 24-48 jam dan kembali beraktifitas sehari-hari setelah
kira-kira 2 minggu. Secara efektif terapi pembedahan ini berhasil mengurangi
gejala sekitar 85-95 % dari pasien, dan insiden refluks post operatif adalah
antara 10% dan 15 %. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan
rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi
ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esophagus.
Piloroplasti (pelebaran pintu keluar lambung) sering dilakukan bersamaan
agar dapat mengosongkan isi lambung dengan cepat dan mencegah refluk ke
dalam esophagus.

I. Komplikasi
Akalasia dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi penyakit bila tidak
ditangani dengan benar dan cepat. Beberapa penyakit yang mampu ditimbulkan
sebagai efek samping akalasia ialah :
1. Obstruksi Saluran Pernapasan
Kegagalan saluran pernapasan memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akibat
terjadinya sumbatan jalan napas bagian atas. Biasanya menimbulkan gagal
napas.
2. Bronkhitis
Peradangan pada saluran bronkhial atau bronki. Peradangan tersebut bisa
terjadi karena virus, bakteri, ataupun bisa juga karena merokok.
3. Pneumonia Aspirasi
Infeksi paru-paru akibat terhirupnya bahan-bahan kedalam saluran jalan
napas.
4. Abses Paru
Kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel
mati, ataupun cairan akibat infeksi bakteri.
5. Divertikullum Meckel
Suatu kelainan yang sudah dibawa sejak lahir dan merupakan sebuah kantong
yang menonjol pada dinding usus halus.
6. Perforasi esofagus
7. Small cell carcinoma
8. Sudden death.
J. Prognosis
Akalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan
motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin sedikit gangguan
motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal
setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil yang sangat baik. Pembedahan
memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian
besar pasien dan seharusnya lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation
apabila ada ahli bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya
digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan
laparascopic Heller myotomy (Lansia). Follow-up secara periodik dengan
menggunakan esofagoskopi diperlukan untuk melihat perkembangan tejadinya
kanker esofagus.
K. Pathway

Faktor Usia

Degenerasi Syaraf

Kerusakan kerja syaraf neksus


mientrikus pada 2/3 bag.
Bawah esofagus

Kerja otot menurun

Aperistaltik

Tekanan esofagus atas Makanan masuk


meningkat ke sal.
pernapasan

Sfringter esophagus
bawah gagal relaksasi Respon batuk dan
bersin
Gangguan rasa
L. Sulit menelan
nyaman : nyeri Resiko bersihan
jalan napas tidak
Akalasia efektif

Makanan tertahan di
esofagus

Absorpsi nutrient
Aliran balik makanan
menurun
keluar

Nutrisi kurang dari


muntah
kebutuhan
Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan tekanan esofagus
meningkat
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan penghentian atau tidak
adanya kerja peristaltik dan sfingter esofagus bawah tidak dapat berelaksasi;
3. Resiko bersihan jalan tidak efektif berhubungan dengan sfingter esofagus
bawah tidak dapat berelaksasi.
DAFTAR PUSTAKA

Patel, Pradip R. 2006. RadiologiEd 2. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Priyanto, dkk. 2008. Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.

Nelson. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2.Jakarta: EGC.

Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai