Laring mendapat perdarahan dari cabang a. tiroidea superior dan inferior sebagai a.
laringues superior dan inferior. (4)
2. PROSES MENELAN
Esofagus berfungsi membawa makanan cairan, secret dari faring keg aster melalui
suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran
dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu: (12)
a. Fase oral dimana makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak
pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding
posterior faring terangkat.
b. Fase pharyngeal dimana terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring
bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. stilofaringeus, m. salfingofaring, m.
thyroid dan m. paltofaring, aditus laring tertutup oleg epiglottis dan sfingter
lairng.
c. Fase esophageal diman fase menlan (involuntary) perpindahan bolus makanan
ke distal oleh karena relaksasi m. krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus
bawah terbuka dan tertutup kembali saar makan sudah terlewat
3. ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada penyakit
Chagas, penyebabnya telah diketahui. (7) Secara histologik, ditemukan kelainan
berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari
beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan
degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.1,2(6),3,4(8),5
a. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar 1% sampai 2% dari populasi penderita akalasia. (1)
b. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria, pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zoster, polio dan
measles), zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus
uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat
mendukung faktor infeksi neurotropic sebagai etiologi. (6) Pertama, lokasi
spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-satunya bagian saluran
pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang
memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak perubahan patologi yang
terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut.
Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan
varicella zoster pada pasien akalasia. (3)
c. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberap sumber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berperan dalam pneyakit autoimun. Kedua, prevalensi
tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan
autoantibodi dari pleksus mienterikus. (5)
d. Teori Degenaratif
Studi epidemiologi dari AS, menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penunaan dengan status neurologi atau penyakit pkisis, seperti
penyakit Parkinson dan depresi. (8)
4. DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan radiologik
Biasanya dilakukan pemeriksaan esofagogram yang dikombinasikan
dengan pemeriksaan fluoroskopi dan radiografi dengan mengunakan kontras.
Gambaran radiologik memperlihatkan gelombang peristaltik yang
normal hanya terlihat pada daerah sepertiga proksimal esofagus tampak dilatasi
pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang
abnormal atau hilang sama sekali serta gambaran penyempitan di bagian distal
esofagus menyerupai ekor tikus (mouse tail appearance). (9)
b. Pemeriksaan esofagoskopi
Tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal daerah
penyempitan. Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang
terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan. (10)
Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan melakukan sedikit
tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke lambung dengan
mudah. (11)
c. Pemeriksaan manometrik
Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk menilai fungsi motorik
esofagus dengan melakukan pemerisaan tekanan di dalam lumen dan sfingter
esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara
kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa
untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. (11)
Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan
sfingter esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan
aktivitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah
tekanan istirihat dan mekanisem relaksasinya. (11)
Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirihat badan
esofagus meningkat, tidak terdapat gerak peristaltik sepanjang esofagus sebagai
reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau
meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan. (10)
BAB 3
KESIMPULAN
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan
pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah
disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, penurunan berat badan dan rasa
penuh pada substernal.
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak
dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi
Heller). Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala
pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik dilakukan daripada pneumatic
dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-221
2. Brown Scott: Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co
Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
3. Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal.
9-676
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In: Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
5. Soepardi, A. Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia. Dalam: Buku Ajar llmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta. Hal: 2-240
6. Siegel, G. Leighton. 1998. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,
Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta.
EGC. Hal. 4-462
7. Nelson. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. EGC. Jakarta. Hal. 1298
8. D., Emslie, Smith, et all. 1988. Textbook of Physiology, 11th edition. Churchill
Livingstone, English Language Book Society. London. Pg. 52-239
9. Skinner DB, Belley RHR. Management of Esophageal Disease. WB Saunders
Co, 1998.p.453-84.
10. Skinner DB. Management of Esophageal Disease. WB Saunders Co,
1998.p.798-801.
11. Skinner DB, Belley RHR. Management of Esophageal Disease. WB Saunders
Co, 1998.p.499-532.
12. Soepardi, A. Efiaty, Iskandar, Nurbaiti. 2001. Akalasia. Dalam: Buku Ajar llmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher. Fakultas Kedokteran UI.
Jakarta. Hal: 2-240