Anda di halaman 1dari 44

Nama : Enita Juliandini

Kelas : PSIK 4 A

Mata Kuliah : Kep.Anak 1

Dosen Pembimbing : Murbiah S.Kep Ns M.Kep


Patofisiologi Peradangan pada Sistem Digestive

A. Esophagus
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga yang terbentang dari hipofaring
hingga kardia lambung fungsinya adalah untuk menghantarkan bahan yang dimakan.
Sfingter mengatur makanan yang bertahan dalam esofagus. Sfingter esofagus bagian
atas dibentuk oleh otot krikofaringeus, secara normal berada dalam keadaan kontraksi
kecuali pada saat menelan. Sfingter esofagus bagian bawah bertindak sebagai sawar
terhadap refluksisi lambung. Dinding esofagus terdiri atas lapisan mukosa, submukosa,
muskularis dan serosa. Kadar keasaman (pH) esofagus adalah agak basa dan kurang
dapat menoleransi kandungan asam lambung.
Deglutinasi atau menelan merupakan suatu aksi fisiologis kompleks ketika makanan
atau cairan berjalan dari mulut ke lambung dan terjadi dalam tiga fase. Yang pertama
disebut fase oral, yaitu bolus didorong ke belakang oleh gerakan volunter lidah. Pada
fase faringeal, bolus bergerak melewati epiglotis ke faring bagian bawah berlanjut ke
esofagus. Pada fase esofagus akhir gelombang peristaltik primer yang dimulai dari
faring terus berjalan sepanjang esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus
bagian distal. Adanya bolus merelaksasi otot sfingter distal ini sejenak sehingga
memungkinkan bolus masuk ke dalam lambung.
Gejala adanya gangguan esofagus adalah disfagia, kesadaran subyektif adanya
gangguan transpor bahan yang dimakan, pirosis atau nyeri ulu hati, odinofagia, nyeri
akibat menelan dan regurgitasi yaitu aliran balik isi lambung ke dalam rongga mulut
yang tidak membutuhkan usaha.
Beberapa tindakan diagnostik yang bermanfaat untuk mendektesi penyakit esofagus
adalah pemeriksaan esofagoskopi dengan biopsi dan sitologi, pemeriksaan motilitas
dan pemeriksaan reluks asam.
Akalasia/kardiospasme merupakan gangguan hipomotilitas yang jarang terjadi dan
dicirikan dengan peristaltik yang lemah dan tidak teratur dalam korpus esofagus. Gejala
dan tandanya berupa menigkatnya tekanan sfingter esofagus bagian bawah dan
kegagalan sfingter esofagus bagian bawah untuk berelaksasi pada saat menelan.
Akalasia primer dianggap sebagai hasil degenerasi pleksus. Auerbach (pleksus saraf
intrinsik yang mengatur peristaltik esofagus). Akalasia sekunder berkaitan dengan
jumlah gangguan yang terjadi, termasuk neuropati diabetik dan kanker esofagus.
Pengobatan mencakup dilatasi pneumatik pada sfingter esofagus bagian bawah atau
esofagomiotomi.
Spasme esofagus difus dicirikan dengan kontraksi esofagus yang tidak
terkoordinasi, nonpropulsif (peristaltik tersier) yang timbul bila menelan. Penyebabnya
tidak diketahui dan lebih sering terjadi pada pasien berusia tua. Penyakit ini biasanya
asimtomatik namun sebagian gejala yang terjadi adalah disfagia dan odinofagia
sementara (nyeri ketika menelan). Spasme esofagus difus dapat dikacaukan dengan
angina pektoris karena nitroglierin seringkali dapat memulihkan nyeri.
Skleroderma adalah atrofi otot polos bagian bawah esofagus. Diagnosis dapat
diduga melalui pemeriksaan radiografik dengan barium, tetapi baru dipastikan dari hasil
pemeriksaan manometrik.Tanda khas penyakit ini adalah peristaltik yang lemah pada
setengah sampai duapertiga distal esofagus, serta berkurangnya tekanan sfingter
esofagus bagian distal. Refluks gastroesofageal dan esofagitis sering terjadi pada
skleroderma karena adanya inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah.
Inflamasi mukosa esofagus, esofagitis dapat bersifat akut (infeksi, minum minuman
panas) atau kronik (refluks asam dari lambung). Bentuk infeksius lazim terjadi pada
penderita imunodefisiensi seperti AIDS.
Bentuk esofagitis berat yang akut terjadi setelah menelan basa atau asam kuat yang
ditemukan pada cairan pembersih. Gejala yang timbul adalah odinofagia berat, demam,
keracunan dan kemungkinan perforasi esofagus. Perforasi dapat menyebabkan infeksi
mediastinum dan mungkin kematian. Dalam pengobatan kedaruratan paada penderita
cedera kaustik, sebaiknya muntah tidak diinduksi karena dapat kembali mencederai
esofagus dan orofaring.
Esofagitis refluks kronik merupakan bentuk esofagitis yang paling sering ditemukan
secara klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfingter esofagus bagian bawah yang
bekerja dengan kurang baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam
esofagus yang berlangsung dalam waktu lama. Penyebab lazim adalah gangguan
motilitas esofagus dan hernia hiatus direk (sliding). Sekuele yang terjadi akibat refluks
adalah esofagus Barrett (pencetus karsinoma), ulserasi, perdarahan, pembentukan
jaringan perut, dan striktur (menyebabkan terjadinya obstruksi).
Mekanisme yang secara normal mencegah terjadinya refluks gastroesofageal adalah
:
1. kontraksi normal sfingter esofagus bagian bawah yang menyebabkan
daerahtekanan tinggi (paling penting)
2. sudut lancip gastroesofageal yang menyebabkan efek seperti katup penutup
dan (3) tekanan yang terbentuk melalui liigamen frenikoesofageal
menyebabkan efek katup pinchcock.

Hernia hiatus didefinisikan sebagai herniasi bagian lambung ke dalam dada melalui
hiatus esofagus diafragma. Bentuk yang paling sering adalah hernia hiatus direk
(sliding) dengan perbatasan lambung-esofagus yang tergeser ke dalam rongga toraks
dan merusak kompetensi sfingter esofagus bagian bawah. Refluks esofagitis adalah
penyulit hernia hiatus direk (sliding) yang paling sering. Bentuk lainnya adalah hernia
hiatus paraesofageal (rolling) dengan bagian fundus lambung yang menggulung
melawati hiatus dan perbatasan gastro-esofagus tetap berada di bawah diafragma,
penyulit utama hernia para-esofageal adalah strangulasi.
Tumor jinak esofagus jarang dijumpai namun kanker esofagus sering dijumpai.
Laki-laki paling sering terserang penyakit ini. Faktor predisposisi adalah banyak
merokok, banyak minum alkohol dan esofagus Barrett (metaplasia dan displasia
mukosa dari reflluks gastroesofageal kronik). Pemeriksaan radiologik dengan barium,
pemeriksaan sitologi dan biopsi dengan esofagoskopi merupakan tindakan-tindakan
utama yang dilakukan dalam menentukan dianosis.

B. Lambung
Lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum pilorikum/pilorus.Sfingter kardia
atau sfingter esofagus bawah mengalirkan makanan ke dalam lambung dan mencegah
refluksisi lambung ke dalam esofagus. Sfingter pilorus terminal berelaksasi dan
berkontraksi untuk mengalirkan makanan ke duodenum dan mencegah terjadinya aliran
balik isi usus ke dalam jantung
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa (lapisan luar) merupakan
bagian dari peritonium viseralis. Tunika muskularis tersusun atas tiga lapisan
longitudinal di sebelah luar, lapisan sirkular di tengah dan lapisan oblik di sebelah
kanan. Lapisan ssubmukosa tersusunatas jaringan areolaris longgar yang
menghubungkan lapisan muskularis dan mukosa. Lapisan bagian dalam yaitu lapisan
mukosa tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal disebut rugae yang memungkinkan
terjadinya penegangan isi lambung.
Lambung mendapat suplai saraf ekstrinsik dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan melalui saraf vagus yang
mencabangkan ramus pastrika, pilorika dan selaka. Persarafan simpatis disuplai melalui
nervus splanchricus mayor dan ganglia selaka. Jaringan saraf intrinsik lambung (yang
melanjut ke seluruh saluran gastrointestinal) dibentuk oleh pleksus saraf Auerbach
(mienterikus) dan Meissner yang memudahkan komunikasi dan kordinasi motilitas dan
sekresi gastrointestinal. Misalnya refleks gastrokolik (gelombang peristaltik dalam
kolom yang disebabkan oleh masuknya makanan atau minuman panas ke dalam
lambung kosong) berdasarkan pada persarafan intrinsik saluran gastrointestinal.
Fungsi motorik lambung adalah penyimpanan, pencampuran dan pengosongan
makanan semi cair yang tercerna sebagian dicampur dengan sekret lambung. Substansi
ini disebut sebagaii kimus. Kelenjar kardia yang berada dekat orifisium kardia lambung
menyekresi mukus. Kelenjar gasstrik yang terletak di fundus dan korpus lambung
memiliki tiga tipe sel, sel parietal menyekresi HCl dan faktor intrinsik (penting untuk
absorpsi vitamin B12 di dalam usus halus), sel chief menyekresi pepsinogen yang
teraktivasi menjadi pepsin dalam lingkungan pH asam, dan sel mukus (leher) yang
menyekresi mukus. Sel G yang terletak di daerah pilorus lambung menyekresi hormon
gastrin.
Sekresi lambung terbagi menjadi tiga fase. Yang pertama adalah fase sefalik yaitu
ketika kelenjar lambung terangsang oleh penglihatan, bau, pikiran, atau rasa makanan
dan merupakan 10% dari sekresi asam lambung. Yang kedua adalah fase hormonal atau
gastrik merupakan 67% dari sekresi asam lambung. Apabila makanan memasuki
lambung, pH basa dan peregangan lambung merangsang saraf vagus secara kimiawi
maupun mekanis. Impuls vagus merangsang sel parietal dan sel G untuk melepaskan
gastrin, menyebabkan sekresi HCl dan sekresi pepsinogen. Yang terakhir adalah fase
intestinal yang dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum dan sangat
dipengaruhi oleh hormon.
Mual dan muntah adalah gejala penyerta yang lazim pada gangguan gastrointestinal
dan terjadi dalam tiga stadium. Yang pertama adalah mual yaitu perasaan yang sangat
tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium. Fase berikutnya adalah retching
yaitu usaha untuk muntah secara involunter. Stadium terakhir adalah muntah yaitu
refleks yang menyebabkan ekspulsi isi lambung melalui mulut.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung. Dua
tipe yang tersering adalah superfisial akut dan atrofik kronik. Gastritis akut adalah
penyakit jinak yang sering terjadi disebabkan oleh beragam faktor mencakup infeksi H.
Pylori dan iritan lokal seperti kafein, alkohol atau aspirin. Gastritis atrofik kronik
dicirikan dengan atrofi progresif epitel kelenjar, hilangnya sel chief dan parietal dan
hipokhlorhidria atau akhlorhidria. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa
mempunyai permukaan yang rata. Gastritis kronis tipe A dianggap sebagai penyakit
autoimun yang tidak lazim berkaitan dengan hilangnya faktor intrinsik dan anemia
pernisiosa. Gastritis kronis tipe B tidak berkaitan dengan anemia permisiosa dan
biasanya disebabkan oleh infeksi H. Pylori. Ulkus peptikum adalah putusnya
kontinuitas mukosa lambung yang meluassampai di bawah epitel. Ulkus kronis
(berbeda dengan ulkus akut) memiliki jaringan parut di dasarnya.
Getah lambung assam murni mampu mencerna semua jaringan hidup. Mukus
lambung (mengandung prostaglandin) dan sawar epitel melindungi supaya lambung
tidak tercerna. Sawar mukosa lambung juga mencegah difusi balik H+ dari lumen ke
darah. Bila permeabilitas sawar epitel mengalami gangguan terjadi aliran balik HCl
yang mengakibatkan cedera pada jaringan yang mendasari. Mukosa menjadi edema dan
protein plasma dapat hilang. Mukosaa kapiler dapat rusak, menyebabkan terjadinya
hemoragia interstisial dan perdarahan. Destruksi sawar mukosa lambung dianggap
sebagai faktor utama dalam patogenesis ulkus peptikum.
Ulkus peptikum atau duodenum dapat didiagnosis melalui pemeriksaan secara
langsung menggunakan endoskopi. Pemeriksaan sitologi dari bilasan lambung penting
dilakukan untuk membedakan karsinoma lambung dari ulkus peptikum. Infeksi
H.pylori dianggap sebagai penyebab sejumlah besar ulkus peptikum. Metode yang
digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori adalah dengan uji napas urea dan
pemeriksaan serologi.
Nyeri epigastrik inttermiten kronis (biasanya terjadi 2 sampai 3 jam setelah makan
atau di malam hari) adalah gambaran klinis utama pada ulkus peptikum. Makanan atau
antasid biasanya dapat memulihkan kondisi ini, yang membentuk pola nyeri sembuh
setelah makan. Pola ini merupakan kriteria terpenting dalam menegakkan diagnosis
ulkus ini.
Sindrom Zollinger-Ellison adalah penyebab ulkus peptikum yang jarang dijumpai,
disebabkan oleh neoplasma penyekresi gastrin, yang menyebabkan terjadinya
hiperasiditas lambung yang ekstrim. Ulkus peptikum yang terkait dengan sindrom ini
seringkali bersifat multipel dan refrakter terhadap pengobatan. Pengobatan ideal adalah
eksisi bedah neoplasma tersebut.
Pengobatan medis ulkus peptikum terdiri atas tindakan untuk menghambat atau
membufer sekresi asam untuk mempermudah penyembuhan. Semua obat ini dapat
diberikan yaitu antasid, penghambat H2 (mis ranitidin) atau penghambat pompa asam
lambung (mis Omeprasol) dan terapi antimikroba untuk mengatasi infeksi H.pylori
Penyulit ulkus peptikum adalah intraktabilitas (paling sering), perdarahan, perforasi,
dan obstruksi. Ulkus pada dinding duodenum posterior lebih sering mengalami
perdarahan (akibat erosi arteri gastroduodenalis atau pankreatikoduodenalis) sedangkan
ulkus pada dinding anterior lebih sering mengalami perforasi.
Pengobatan pembedahan ulkus peptikum biasanya mencakup beberapa tipe
vagotomi danm gastrektomi parsial. Antrektomi adalah pemotongan seluruh antrum
lambung sehingga menghilangkan fase gastrik atau hormonal dari sekresi lambung.
Prosedur gastroduodenostomi atau Billroth I) melibaatkan gastrektomi parsial dengan
anastomosis sisa jejunum (gastrojejunostomi atau Billroth II). Sekuele pascaoperatif
adalah sindrom dumping terutama dengan pembedahan Billroth II)
Erosi lambung atau duodenum yang terjadi sebagai sekuele dari stress fisiologis
yang lama disebut sebagai ulkus stres dan terbagi menjadi dua kelompok. Ulkus
Chusing berkaitan dengan cedera otak yang serius dan dicirikan dengan hiperasiditas
bermakna. Erosi lambung berkaitan dengan syok, sepsis, luka bakar dan obat, tidak
ditandai dengan hipersekresi asam lambung. Ulkus stres yang berkaitan denggan cedera
luka bakar disebut ulkus Curling. Faktor etiologi utama dalam terjadinya ulkus stres
diduga akibat iskemia mukosa lambung.
Faktor genetik, geografik dan lingkungan serta adanya gastritis atrofik atau anemia
permiosa merupakan faktor predisposisi terjadinya karsinoma lambung, yang memiliki
tiga bentuk umum karsiinoma ulseratif, karsinoma polipoid, dan karsinoma infiltratif
III.

C. Usus halus
Usus halus merupakan usus berbentuk tabung yang kompleks, berlipat-lipat
membentang dari pilorus hingga katup ileosekal dan dibagi menjadi duodenum,
jejunum, dan illeum. Dua fungsi utamanya adalah pencernaan dan absorpsi zat gizi dan
air yang terdapat dalam makanan yang masuk dalam tubuh. Villi dan mikrovilli
merupakan tonjolan-tonjolan mukosa seperti jari-jari yang terdapat di seluruh usus
halus, srtktur ini meningkatkan permukaan absorpsi usus sebesar 1000x lipat. Setiap
villus terdiri atas saluran limfe sentral yang disebut sebagai lakteal dan dikelilingi oleh
kapiler darah. Makanan yang telah dimakan akan masuk ke dalam lakteal dan kapiler
vilus.
Enzim terletak pada brush border dan menyelesaikan proses pencernaan saat proses
absorpsi berlangsung. Di sekeliling villus terdapat beberapa sumur kecil yang disebut
sebagai kripte Lieberkuhn. Kripta ini merupakan kelenjar-kelenjar usus yang
menghasilkan sekret mengandung enzim pencernaan. Pergerakan segmental usus halus
mencampur zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepalobiliar, dan sekresi usus
sedangkan pergerrakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung
laindengan kecepatan yang sesuai untuk terjadinya absorpsi yang optimal dan asupan isi
lambung secara kontinu.
Absorpsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein
(gula sederhana, asam lemak, dan asam amino) melalui dinding usus ke sirkulasi darah
dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga diabsorpsi air, elektrolit
dan vitamin. Absorpsi berbagai zat berlangsung melalui mekanisme transpor aktif dan
pasif. Absorpsi gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai
pertengahan jejunum. Besi dan kalsium sebagian besar diabsorpsi di dalam duodenum
dan jejunum. Absorpsi kalsium memerlukann vitamin D. Vitamin larut lemak (A, D,E,
K) diabsorpsi dalam duodenum dan memerlukan garam-garam empedu. Sebagian besar
vitamin yang larut air diabsorpsi dalam usus halus bagian atas. Absorpsi vitamin B12
berlangsung dalam ileum terminalis melalui mekanisme transpor khusus yang
membutuhkan faktor intrinsik lambung.
Sebagian besar asam empeedu yang dikeluarkan oleh kandung empeduke dalam
dudodenum untuk membantu pencernaan lemak, akan direabsorpsi dalam ileum
terminalis dan masuk kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik
garam empedu dan sangat penting dalam mempertahankann cadangan empedu untuk
pencernaan lemak. Malabsorpsi adalah terganggunya absorpsi satu atau banyak zat gizi
dalam mukosa usus. Sprue nontropis (penyakit Seliak), sprue tropis, defesiensi laktase,
malabsorpsi pascagastrektomi, dan enteritis regional adalah penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan terjadinya malabsorpsi.
Sprue nontropis (Seliak) adalah suatu sindrom malabsorpsi yang dicirikan dengan
adanya atrofi villi usus halus disebabkan oleh sensitivitas terhadap gluten yang terdapat
dalam roti (gandum hitam /rye, oat, barley, dan gandum) bir dan banyak makanan yang
mengalami proses tertentu. Manifestasi klasiknya adalah diare (fesses yang banyak dan
pucat), flatulensi, penurunan berat badan dan kelelahan. Bayi maupun orang dewasa
dapat terkena penyakit ini dan ciri khasnya memiliki predisposisi familial. Penghentian
diet mengandung gluten pada umumnya akan memulihkan atau mengurangi gejala.
Sprue tropis lazim terjadi di daerah Karibia dan kemungkinan disebabkan oleh infeksi
akibat merespons pengobatan antibiotik.
Defisiensi laktaase adalah suatu gangguan malabsorpsi yang berkaitan dengan
intoleransi terhadap susu dan produk susu (mengandung laktosa) karena defisiensi
enzim dan laktase brush border, hal ini terutama lazim terjadi pada produk
AfrikaAmerika. Gejala khas pada defisiensi laktase adalah kram perut, kembung dan
diare setelah minum susu. Ketika laktosa yang tidak terhidrolisis memasuki kolon,
maka akan menimbulkan suatu asfek osmotik yang menyebabkan masuknya air ke
dalam kolon. Bakteri dalam kolon akan memfermentasi laktosa dan menghasilkan asam
lemak dan asam laktat yang bersiftat iritatif terhadap kolon sehingga menyebabkan
peningkatan motilitas usus dan terjadi diare.
Malabsorpsi pascagastrektomi lazim terjadi setelah gastrektomi total atau prosedur
Billroth II. Ciri khas keadaan ini adalah steatore, penurunan berat badan dan anemia
makrositik. Penyebabnya adalah (1) pencampuran makanan dengan enzim yang
berlangsung kurang sempurna akibat pengosongan lambung yang terlalu cepat (2)
berkurangnya sekresi eksokrin pankreas yang menyebabkan terjadinya maldigesti
akibat adanya pintas duodenum (3) stasis isi usus pada lengkung eferen yang
mengaakibatkan proliferasi bakteri yang berlebihan, yang dapat memakai habis vitamin
B12 serta menyebabkan terjadinya dekonjugasi garam-garam empedu (4) hilangnya
fungsi lambung sebagai penampung yang mengakibatkan waktu transit makanan di usus
berjalan lebih cepat dan menyebabkan diare.
Penyakit Crohn yang disebut juga enteritis regional merupakan suatu penyakit
peradangan granulomatosa kronis pada saluran cerna yang sering berulang dan dicirikan
dengan adanya lesi ‘ melompat’ yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-
daerah usus yang normal. Gejala yang sering ditemukan adalah diare intermiten ringan
dan nyeri kolik abdomen. Penyulit yang terjadi adalah obstruksi usu, fistula perianal,
abses dan fistula antara lengkung usus, hingga kandung kemih atau hingga dinding
abdomen eksternal. Manifestasi di luar gastrointestinal adalah gangrenosum pioderma,
uvetis dan artritis.
Penyakit atau reseksi ileum feminalis dapat menyebabkan terjadinya defisiensi
garam empedu dan mempengaruhi pencernaan lemak, demikian juga dengan terjadinya
anemia makrositik akibat gangguan absorpsi vitamin B12
Apendisitis adalah peradangan apendiks (sisa apeks sekum yang tidak memiliki
fungsi) yang mengenai semua lapisan dinding organ. Apendisitis adalah penyakit bedah
yang paling sering ditemukan dan lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.
Gejala yang paling awal aadalah nyeri paraumbilikalis yang terletak pada kuadran
kanan bawah abdomen.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, biasanya disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ abdomen, perforaasi apendiks atau saluran cerna atau luka tembus
abdomen. Obstruksi usus adalah suatu gangguan aliran normal isi usus sepanjang
saluran usus.
Terdapat 2 jenis obstruksi usus (1) obstruksi non-mekanis (ileus paralitik atau
adinamik) yaitu hambatan peristaltik usus dan (2) obstruksi mekanis yang disebabkan
oleh obstruksi intramural atau tekanan eksterna usus, obstruksi mekanis selanjutnya
digolongkan sebagai obstruksi mekanis simpleks (hanya terdapat satu tempat obstruksi)
dan obstruksi lengkung-tertutup (sedikitnya terdapat 2 tempat obstruksi). Obstruksi
usus dapat bersifat akut maupun kronis sebagian atau total dan paling sering mengenai
usus halus.
Obstruksi usus non-mekanis atau fungsional (ileus paralitik) disebabkan oleh
sentuuhan pada visera abdomen dan hambatan peristaltik akibat pembedahan, terutama
pembedahan abdomen ileus paralitik juga berkaitan dengan berbagai cedera traumatik
(mis fraktur iga atau vertebrata). Penyebab obstruksi usus mekanis yang paling sering
adala perlekatan akibat pembedahan (pita fibrosa jaringan parut). Penyebab lain adalah
intususepsi (invaginasi salah satu bagian usus ke dalam bagian berikutnya), volvulus
(terpelintirnya usus, biasanya mengenai kolon sigmoid) dan inkarserasi atau strangulasi
lengkung usus dalam hernia ingunalis atau femoralis.
Perubahan patofisiologik yang terjadi dalam obstruksi usus adalah sebagai berikut
1. Penimbunan gas dan cairan dalam lumen yang letaknya proksimal dari letak
obstruksi
2. Peregangan abdomen
3. Tekanan dalam lumen yang dipertahankan sehingga menyebabkan
terjadinyaiskemia dinding usus
4. Hilangnya cairan dalam rongga peritoneum
5. Lepasnya bakteri dan toksin dari usus nekrotik ke dalam peritoneum dan
sirkulasisistemik
6. Peritonitis dan septikemia.

Hilangnya air dan elektrolit dari ECF ke dalam usus (ruang ketiga) yang
menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Pengobatan obstruksi usus adalah koreksi
ketidakseimbangan cairan dan eleektrolit, pemulihan peregangan dan muntah dengan
intubasi nasogastrik dan dekompresi, pengendalian peritonitis dan syok (bila ada) dan
mengangkat obstruksi (pembedahan) untuk memulihkan kesinambungan usus yang
normal. Banyak terdapat kasus ileus adinamik yang disembuhkan hanya dengan
melakukann dekompresi tuba.

D. Usus besar (kolon)


Usus besar atau kolon berbentuk saluran maskular berongga yang membentang dari
sekum hingga kanalis ani dan dibagi menjadi sekum, kolon (asendens, transversum,
desendems dan sigmoid) dan rektum. Katup ileosekal mengontrol masuknya kimus ke
dalam kolon, sedangkan otot sfingter eksternus dan internus mengontrol ke luarnya
feses dari kanalis ani
Usus besar secara klinis dibagi menjadi baagian kanan dan kiri berdasarkan pada
aliran darah. Arteria mesenterika superior mendarahi sekum, kolon asendens dan dua
pertiga proksimal kolon transversum (separuh kanan). Arteria mesenterika inferior
mendarahi sepertiga distal kolon transversum yang turun dan kolon sigmoid serta
bagian proksimal rektum (separuh kiri).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang terpenting adalah absorpsi aair dan
elektrolit. Absorpsi ini sudah hampir selesaai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid
merupakan reservoir untuk massa feses yang terdehidrasi sampai terjadinya defekasi.
Kapasitas absorpsi kolon adalah sekitar 1500 sampai 2000 ml. Bila jumlah ini
dilampaui akibat pengiriman air yang berlebihan dari ileum akan terjadi diare.
Sejumlah kecil pencernaan dalam usus besar terutama disebabkan oleh bakteri dan
bukan oleh kerja enzim. Bakteri dalam usus besar menyintesis vitamin K dan beberapa
vitamin B. Selain itu juga terjadi fermentasi bakteri beberapa karbohidrat dalam kolon.
Sekitar 1000 ml flatus kebanyakan dari udara yang tertelan di keluarkan setiap hari.
Ciri khas gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan meremas yang
tidak progresif ini menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik sehingga memberikan
waktu untuk terjadinya absorpsi. Peristalsis mendorong feses ke dalam rektum dan
menyebabkan peregangan dinding rektum dan aktivitas refleks defekasi.
Keadaan patologi usus besar cenderung dihubungkan dengan gejala eliminasi,
konstipasi, diare, perubahan ukuran atau warna tinja dan darah dalam tinja merupakan
gejala dan tanda penting yang berkaitan dengan kolon dan rektum.
Divertikulosis merupakan keadaan kolon yang dicirikan dengan herniasi mukosa
melalui muskularis untuk membentuk kantung berbentuk cakram. Herniasi sering
terjadi pada titik terlemah tempat masuknya pembuluh darah melemahkan dinding
kolon. Kolon sigmoid merupakan tempat tersering divertikula. Bila satu atau lebih
sakulus meradang keadaan ini disebut divertikulitis. Patogenesis divertikulosis diyakini
berkaitan dengan makan makanan rendah serat, gangguan motilitas dan peningkatan
tekanan intraluminal yang menyebabkan terjadinya herniasi mukosa. Tekanan yang
lebih besar dapat terbentuk pada orang yang makan makanan rendah serat karena kolon
mempunyai lumen yang lebih sempit dibandingkan dengan kolon yang terisi feses bila
makan makanan kaya serat. Penyulit divertikulitis adalah peradangan, pembentukan
abses, perdarahan, obstruksi usus, perforasi dan peritonitis.
Kolitis ulserativa merupakan penyakit peradangan kolon nonspesifik yang biasa
terjadi setelah eksaserbasi dan remisi lama. Lesi peradangan mengenaii mukosa dan
submukosa, akhirnya menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Proses penyakit biasanya
dimulai di daerah rektosigmoid dan dapat menyebar ke proksimal mengenai seluruh
kolon (tidak ada lesi melompat seperti penyakit Crohn). Gejala dan tanda kardinal
adalah nyeri kolik abdomen dan berdarah, serta diare terisi mukus. Komplikasi yang
berpotensi fatal adalah megakolon toksik, perdarahan dan karsinoma kolon. Manifestasi
di luar gastrointestinal (artritis, mengenai mata dan kulit) serupa dengan manifestasi
pada penyakit Crohn. Lesi penyakit Crohn mengenai kolon pada sekitar 35% kasus.
Polip kolon sering terjadi dan menempati posisi intermediat antara neoplasma jinak
dan ganas. Polip paling sering terjadi di kolon sigmoid dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Polip tumbuh dari permukaan mukosa dan meluas ke luar.
Adenoma pedunkulata (polip adenomatosa atau adenoma polipoid) adalah struktur
seperti bola yang menempel pada membran mukosa dengan tangkai tipis. Polip
adenomatosa multipel atau berdiameter lebih dari 1 cm dianggap merupakan risiko
kanker yang tinggi. Polip juvenilis paling sering terjadi pada anak, mempunyai tangkai
yang sangat panjang, dan dianggap berasal dari peradangan. Adenoma vilosa adalah
neoplasma (massa berbentuk kembang kol) sesil (dasar lebar tanpa tangkai), biasanya
soliter dan besar (>5 cm) dan kesempatan menjadi ganas adalah lebih dari 25%.
Poliposis familial merupaakan suatu penyakit genetik dominan autosomal yang
dicirikan dengan adanya ratusan polip pedunkulata dan sesil di seluruh kolon,
kemungkinan terjadinya kanker kolon adalah 100% pada usia 40 tahun.
Kanker kolon dan rektum merupakan penyebab ketiga kematian akibat kanker pada
laki-laki dan perempuan, sekitar 60% terjadi di daerah rektosigmoid kolon, sehingga
kanker ini dapat dipalpasi saat pemeriksaan sigmoidoskopi. Sekitar 25% kanker kolon
terletak di sekum dan kolon asendens serta dapat didektesi melalui pemeriksaan
kolonoskopi. Secara histologis hampir semua kanker kolon adalah adenokarsinoma.
Secara struktur kanker kolon berbentuk polipoid (lebih sering di sekum) atau berbentuk
anular (seperti cincin) (lebih sering di daerah rektosigmoid).
Gejala dan tanda kanker kolon dan rektum bervariasi berdasarkan letaknya dan
umumnya dibagi menjadi kanker kolon kiri (desendens, sigmoid dan rektum) dan kanan
(sekum, asenddens, transversum kanan).
Gejala dan tanda kanker kolon kiri adalah
1. Perubahan yang nyata pada kebiasaan usus (konstipasi atau diare, tinja
berbentukpensil atai pita, tenesmus)
2. Darah makroskopis pada tinja
3. Nyeri (rektal, punggung, kuadran kiri bawah)
4. Anemia dan penurunan berat badan
5. Massa yang dapat diraba dan terdeteksi dengan pemeriksaan digital
atauendoskopik.

Gejala dan tanda kanker kolon kanan adalah

1. Darah samar pada tinja


2. Nyeri alih ke umbilikus atau punggung
3. Anemia dan pemuruunan berat badan
4. Massa abdomen yang dapat diraba di kuadran kanan bawah. Perubahan
kebiasaanusus bukan karena tinja yang cair. Kanker kolon kanan umumnya
terdiagnosis lebih lambat dibandingkan dengan kanker kolon kiri dan akibatnya
mempunyai prognosis lebih buruk.
Hemoroid atau wasir adalah vena varikosa pada kanalis ani dan dibagi menjadi dua
golongan yaitu interna dan eksterna. Hemoroid interna adalah varises vena
hemoroidalis superior dan media, terletak di atas sfingter rektum interna. Hemoroid
eksterna adalah varises vena hemoroidalis inferior, terletak di luar sfingter ani.
Penyebab langsung hemoroid adalah gangguan aliran balik vena dari vena
hemoroidalis yang ddisebabkan oleh kehamilan, konstipasi atau diare atau keduanya,
kanker rektum dan sirosis hepatis. Penyulit hemoroid adalah perdarahan, trombosis dan
strangulasi.
Hemoroid eksterna akut tampak sebagai pembengkakan bundar dan kebiruan pada
pinggir anus yang sebenarnya merupakan sebuah hematoma. Hemoroid eksterna kronis
atau anal skin tag biasanya adalah sekuele hematoma akut. Hemoroid eksterna sering
menyebabkan pruritus.
Hemoroid interna digolongkan menjadi derajat satu (pembengkakan globular yang
dirasakan dalam kanalis ani), derajat dua (prolapss melalui kanalis ani selama defekasi
tetapi mengecil kembali atau dapat didorong secara manual ke dalam kanalis ani) dan
derajat tiga (prolaps permanen melalui kanalis ani). Bila hemoroid terjadi pada pasien
berusia pertengahan atau tua maka kemungkinan kanker rektum harus disingkirkan.
Fisura ani (fisura in ano) merupakan retaknya lapisan anus disebabkan oleh regangan
akibat lewatnya tinja yang keras.
Abses anorektal adalah infeksi lokal dengan pengumpulan pus di daerah anorektal.
Fistula in ano merupakan saluran granulomatosa kronis yang secara langsung mulai
dari kanalis ani ke kulit di luar anus atau dari abses ke kanalis ani atau daerah
perirektal. Fistula anorektal terdapat pada 50% penderita penyakit Crohn.

E. Hati
Hati merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh (sekitar 3 pon/1,3 kg) dan
dibagi menjadi lobus kanan dan lobus kiri, hati ditahan ditempatnya oleh serangkaian
ligamen kompleks (yang terpenting adalah ligamentum falsiformis) yang
menghubungkan permukaan anteriornya terhadap diafragma dan dinding abdomen
anterior.
Permukaan hati dibagi secara mikroskopis menjadi satuan fungsional yang disebut
lobulus yaitu sederetan sel hati heksagonal yang disebut hepatosit tersusun di sekitar
vena sentralis yang mendrainase lobulus. Di antara lamina sel hepatik terdapat
kapilerkapiler yang disebut sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria
hepatika. Sinusoid dilapisi oleh sel Kuffer, yaitu sel fagosit yang berfungsi membuang
bakteri dan partikel asing dari darah. Empedu yang terbentuk dalam hepatosit
diekskresikan ke dalam kanalikuli, yang bergabung membentuk duktus biliaris yang
lebih besar sampai mencapai duktus koledukus.
Selain menjadi organ parenkim terbesar, hati merupakan organ yang memiliki
fungsi paling banyak dan paling kompleks. Hati memiliki tugas yang sangat besar
dalam mempertahankan homeostasis fungsi metabolik tubuh, mencakup metabolisme
karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin, sintesis protein serum, mencakup faktor
pembekuan, pembentukan yrea, pembentukan dan ekskresi empedu, inaktivasi hormon
steroid dan detoksifikasi sejumlah zat endogen dan eksogen. Hati juga bekerja sebagai
gudang darah yang mengalir baik kembali saat terjadi gagal jantung ventrikel
Kandung empedu berperan dalam pemekatan dan penyimpanan empedu. Empedu
dilepaskan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang bergabung dalam duktus
hepatikus menjadi duktus koledukus. Duktus koledukus bergabung dengan duktus
pankreatikus membentuk ampulla Vateri sebelum bermuara ke dalam duodenum.
Ampula Vateri dikelilingi oleh serat-serat otot sirkular yang disebut sebagai sfingter
Oddi.
Pankreas dibagi menjadi tiga segmen: kaput, korpus dan kauda. Dua jenis sel yang
terdapat dalam pankreas adalah: sel eksokrin dan endokrin. Sel eksokrin menghasilkan
komponen getah pankreas. Sel endokrin menyekresi insulin dan glukagon, yang
berperan penting dalam metabolisme karbohidrat.
Hati mempunyai dua aliran darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatis dan dari aorta melalui arteria hepatika. Darah dari vena porta dan arteria
hepatika bercampur dan mengalir melalui hati dan akhirnya terkumpul dalam vena
hepatika dekstra dan sinistra yang bermuara ke dalam vena kava. Sekitar sepertiga
curah jantung melalui hati setiap menit. Pada kasus obstruksi terhadap aliran darah
melalui hati, darah porta harus dipintas di sekitar hati ke sirkulasi vena sistemik.
Beberapa titik anastomosis portakava terhadap darah pintas di sekitar hati pada sirosis
yang bermakna klinis (1) vena esofageal (2) vena paraumbilikalis dan (3) vena
hemoroidalis superior.
Hipertensi porta dapat didefinisikan sebagai peningkatan terus-menerus tekanan
vena porta di atas kadar normal 6 sampai 12 cm air dan sering terjadi akibat resistensi
aliran darah melalui hati. Splenomegali serta varises esofageal dan gaster merupakan
efek utama hipertensi porta. Salah satu fungsi terpenting hati adalah pembentukan dan
ekskresi empedu, sekitar 500 sampai 1000 ml/hari. Empedu di bawa ke kandung
empedu dan dilepaskan ke dalam usus halus sesuai dengan kebutuhan. Empedu terdiri
dari kolesterol, fosfolipid, garam empedu, pigmen empedu (terutama bilirubin
terkonjugasi), air dan elektrolit. Garam empedu berperan penting dalam digesti dan
absorpsi lemak dalam usus kecil. Setelah diolah oleh bakteri dalam usus halus, sebagian
besar garam empedu direabsorpsi dalam ileum, mengalami sirkulasi ulang ke hepar,
dikonjugasi kembali dan disekresi ulang. Pigmen empedu terbentuk dari penghancuran
eritrosit oleh sel-sel pada sistem monosit-makrofag. Meskipun bilirubin tidak berperan
aktif secara fisiologis, tetapi merupakan indikator penting pada penyakit hati dan
empedu karena mewarnai jaringan.
Penumpukan pigmen empedu pada kulit atau sklera menyebabkan perubahan warna
menjadi kuning yang disebut ikterus atau jaundice. Bilirubin adalah suatu pigmen
empedu yang merupakan produk akhir degradasi eritrosit tua oleh monosit-makrofag.
Bilirubin serum total normal adalah sekitar 1 mg/dl secara kasar separuhnya tak
terkonjugasi dan sseparuh lainnya terkonjugasi. Bila bilirubin serum melebihi 3 mg/dl
dapat terlihat icterus
Rangkuman langkah metabolisme bilirubin memungkinkan pemahaman mekanisme
patofisiologi yang menyebabkan ikterus. Metabolisme bilirubin normal terjadi dalam
beberapa langkah berikut ini :
1. Heme (dari hemoglobin) diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi (terutama
dalam limpa). Penyakit hemolitik menyebabkan produksi bilirubin berlebihan
yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus
hemolitik seperti anemia sel sabit atau kemikterus pada bayi seperti pada
eritroblastosis fetalis
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang dibawa ke hepar berkaitan dengan albumin
(karenalarut lemak tetapi tidak larut air). Pengikatan kompetitif oleh obat
dapat menyebabkan icterus
3. Ambilan protein karier (Y dan Z) hepatik bilirubin tak terkonjugasi setelah
disosiasi dan albumin, ambilan bilirubin tak terkonjugasi terganggu oleh
beberapa obat
4. Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat (dikatalisis oleh glukuronik
transferase) untuk menghasilkan bilirubin glukuronida, yang menjadi larut
dalam air dan dapat diekskresi, gangguan konjugasi dapat terjadi bila terdapat
defisiensi enzim glukuronil transferase seperti pada ikterus neonatal transien,
sindrom Gilbert atau sindrom Crigler-Najar tipe I dan II. Fototerapi dapat
mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bentuk terkonjugasi larut-air
yang dapat diekskresi pada pengobatan ikterus neonatal trasien
5. Ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam kanalikulus empedu,
penyakithepatoselular seperti hepatitis, sirosis atau kolestasisintrahepatik
dapat mengganggu ekskresi yang terutama menyebabkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi, urine gelap dan tinja berwarna seperti dempul
6. Pasaase bilirubin terkonjugasi ke bawah cabang biliaris, kolestasis
ekstrahepatik (ikterus obstruktif), metastasis hati, batu empedu, atau struktur
duktus biliaris ekstrahepatik dan kanker kaput pankreas dapat menyebabkan
icterus
7. Reduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus
8. Sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen
9. Ekskresi urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi dalam ginjal.

Hepatitis virus telah dibagi menjadi enam kategori mulai dari Hepatitis A sampai G.
Hepatitis F (kemungkinan agen penyebab ketujuh) ada dalam tata nama namun
keberadaannya sebagai virus hepatitis masih diperdebatkan. Hepatitis G tidak dianggap
patogenik.
Infeksi HAV umumnya adalah penyakit swasima yang tidak menyebabkan hepatitis
kronis atau keadaan karier dan hanya menyebabkan hepatitis fulminan. HAV ditularkan
terutama melalui rute fekaioral dan paliing sering terjadi di lingkungan institusional (mis
penjara, agen perawatan bayi) dan bersifat endemik di negara bersanitasi buruk atau
higiene substandar. Penanda serologi infeksi akut yang dapat dipercaya adalah IgM anti-
HAV, IgG anti-HAV menunjukkan adanya imunitas. Vaksin HAV kini telah tersedia.
HBV adalah virus DNA berselubung ganda dengan lapisan permukaan (HbsAg),
regia prainti (HbeAg) dan inti bagian dalam (HbcAg). HBV adalah infeksi yang lebih
serius dengan keadaan karier dan dapat menyebabkan hepatitis kronis yang berakhir
menjadi sirosis atau karsinoma hepatoselular. Infeksi HBV terutama ditularkan melalui
rute parenteral dan kontak fisik dekat (terutama kontak seksual). Kelompok berisiko
tinggi adalah pemakai obat IV, laki-laki homoseksual, bayi dari ibu terinfeksi dan
pekerja perawatan kesehatan (terutama mereka yang sering kontak dengan darah).
Penanda serologi infeksi akut yang terpercaya adalah DNA HbsAg, HbeAg atau HBV.
Keadaan karier ditunjukkan dengan adanya HbsAg serum lebih dari 6 bulan setelah
infeksi awal. Infeksi HBV kronis ditunjukkan dengan adanya DNA HbsAg, HbeAg dan
HBV biasanya dengan anti HBc. Imuntas diindikasikan melalui IgG anti HBs (setelah
sembuh dan infeksi atau vaksinasi). Kini telah tersedia vaksin HBV.
Cara penularan infeksi HCV sama dengan cara penularan HBV dan dahulu
merupakan penyebab sebagian besar infeksi melalui tranfusi darah tetapi sekarang tidak
lagi menjadi masalah utama karena semua darah menjalani pemeriksaan sebelum
transfusi. Hepatitis kronis terjadi pada 80% orang yang terinfeksi HVC, 50% di
antaranya berkembang menjadi sirosis. Infeksi HCV juga merupakan faktor predisposisi
kuat untuk terjadinya karsinoma hepatoselular. RNA HCV terdapat pada infeksi akut
dan infeksi kronis. Peningkatan episodik serum trasaminase terjadi bersamaan dengan
infeksi kronis. Keadaan karier dapat dijumpai dan terdapat pada 1sampai 6%
penyumbang darah sukarela.
Infeksi HDV tidak terjadi secarra tersendiri tetapi selalu terjadi bersama dengan
infeksi HBV sebagai koinfeksi atau superinfeksi. Cara penularannya serupa dengan
HBV. Infeksi HBV dan HDV yang terjadi secara bersamaan meningkatkan risiko
terjadinya hepatitis fulminan yang fatal atau infeksi kronik. RNA HDV menunjukkan
adanya infeksi akut atau IgM anti-HDV (pajanan yang terakhir kali).
Infeksi HEV jarang terjadi di Amerika Serikat tetapi sering terjadi di Asia, India dan
Afrika Sub-Sahara. Penularan terutama terjadi melalui rute fekal-oral dan melalui air
yang terkontaminasi. Ciri khas infeksi HEV adalah penyebab 20% angka mortalitas di
antara perempuan hamil.
Sirosis adalah penyakit haati kronis yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati
normal (fibrosis dan nodul sel hati menggantikan parenkim normal) dan hilangnya
fungsi. Istilah sirosis sinonim dengan penyakit atau kegagaalan hati stadium akhir,
penyakit ini bersifat reversibel dan tidak dapat disembuhkan kecuali dengan
transplantasi hati. Sirosis merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia
Barat.
Penyebab sirosis yang terpenting adalah alkoholisme kronis (sirosis Laennec),
hepatitis virus (sirosis postnekrotik, terutama dengan infeksi HCV atau HBV) dan
penyakit biliar (sirosis biliar). Tanpa melihat penyebab, manifestasi klinis sirosis pada
stadium akhir kebaanyakan sama dan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu kegagalan
hepatoselular dan hipertensi porta.
Manifestasi kegagalan hepatoselular pada sirosis adalah semua hal yang berkaitan
dengan kegagalan sel hati yang tersisa untuk melakukan fungsi normalnya yang
mencakup
1. Ikterus (akibat menurunnya kemampuan sel hati untuk mengonjugasi dan
mengekskresi bilirubin
2. Ganggguan endokrin seperti angioma spider, eritema palmaris, gnekomastia,
alopesia pektoralis, dan atrofi testis ( akibat kegagalan sel hati untuk
menginaktivasi estrogen)
3. Gangguan hematologi seperti trombositopenia, leukopenia, anemia (akibat
hipersplenisme) dan kecenderungan perdarahan (akibat menurunnya produksi
faktor pembekuan
4. Edema perifer yang terkait dengan hipoalbuminemia
5. Fetor hepatikum (bau manis saat bernapas akibat kegagalan hati memetabolisme
metionin)
6. Gangguan metabolisme seperti hipokalemia, hiponatremia, hipoalbuminemia
dan hiperamonemia serta
7. Ensepalopati hepatikum atau koma hepatikum (suatu sindrom neuropsikiatri
yang berhubungan dengan kadar NH3, serum yang tinggi) sering merupakan
keadaan terminal.
Manifestasi hipertensi portal pada sirosis disebabkan oleh meningkatnya resistensi
terhadap aliran melalui hati yang sangat fibrotik yang menyebabkan hipertensi porta dan
kembalinya darah ke vena cava melalui jalur kolateral (anastomosis portakava).
Manifestasi ini mencakup (1) asites atau penimbunan cairan dalam rongga
peritoneum (2) varises esofagus yang dapat menyebabkan perdarahan fatal (3)
splenomegali yang disebabkan oleh kongesti pasif kronis (4) kaput medusa (vena
berdilatasi di sekitar umbilikus) yang disebabkan oleh aliran kolateral melalui vena
superfisial dinding abdomen dan (5) hemoroid yang disebabkan oleh aliran kolateral
melalui vena rektal yang berhubungan dengan vena mesenterika dan vena porta
Perdarahan GI merupakan faktor pencetus utama penyebab ensefalopati hepatis.
NH3 dihasilkan oleh kerja bakteri usus pada protein darah, yang memintas hati karena
adanya pirau atau gagal dimetabolisme menjadi urea sehingga dapat diekskresi dalam
urine karena kegagalan sel hati. Neomisim atau laktulosa merupakan obat yang
menurunkan absorpsi NH3 untuk mencegah terjadinya ensefalopati hepatis
Asites merupakan manifestasi kardinal (utama) sirosis dan beberapa bentuk
penyakit hati lain. Beberapa faktor yang terlibat dalam patogeneesis asites pada sirosis
hati (1) hipertensi porta (2) hipoalbuminemia (3) peningkatan produksi dan aliran limfe
hati (4) retensi natrium dan (5) gangguan ekskresi air. Mekanisme utama untuk
menginduksi hipertensi porta adalah resistensi terhadap aliran darah melalui hati
Dua jenis penyakit yang paling sering terjadi pada cabang biliaris adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan peradangan kronis yang disebabkannya
(kolelitiasis). Batu empedu secara esensial mempresipitasi salah satu komponen empedu,
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid.

F. Pankreas
Pankreatitis akut dicirikan dengan nyeri epigastrium berat kontinu yang menjalar ke
punggung akibat peradangan dan nekrosis enzimatik pankreas. Dapat terjadi syok
dengan derajat yang bervariasi, takikardia, leukositosis dan demam. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan adanya peningkatan kadar amilase serum. Dua penyebab utama
pankreatitis akut adalah alkoholisme dan penyakit saluran empedu. Sebagian besar ahli
setuju bahwa mekanisme patogenik yang umum adalah autodigesti yaitu aktivasi enzim
digesti pankreatik dalam pankreas itu sendiri yang menyebabkan digesti jaringan
pankreatik. Komplikasi pankreatitis akut mencakup abses pankreas (pengumpulan
produk nekrotik dan sekretorik cair dalam kantung omentum minus).
Destruksi progresif dan penggantian pankreas dengan jaringan fibrosis menandakan
pankreatitis kronik. Gejala dan tanda mencakup episode nyeri akut berulang (sering
dicetuskan oleh ingesti alkohol), steatorea, malabsorpsi, berat badan menurun dan
diabetes mellitus. Kanker pankreas adalah pnyebab utama kematian kelima akibat
kanker di Amerika Serikat. Kanker primer pada hati dan kandung empedu jarang
terjadi di Amerika Serikat, tetapi metastasis sering terjadi pada hati.

Asuhan Keperawatan Anak Dengan Sakit Diare

1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
Pengkajian keperawatan merupakan dasar pemikiran dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap, dan sistematis
sesuai dengan fakta atau kondisi yang ada pada klien sangat penting untuk merumuskan
suatu diagnosa keperawatan dan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
respon individu ( Olfah & Ghofur, 2016 ).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung
aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi
respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan. Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada kasus diare menurut
Nuraarif & Kusuma (2015) dan PPNI (2017) sebagai berikut:
a. Gangguan pertukaran gas
b. Diare
c. Hipovolemi
d. Gangguan integritas kulit
e. Defisit nutrisi
f. Risiko syok
g. Ansietas

3. Intervensi Keperawatan
Menurut PPNI (2018) Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan PPNI (2019). Adapun intervensi yang
sesuai dengan penyakit diare adalah sebagai berikut :
a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolar-kapiler.
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pertukaran gas
pasien meningkat dengan kriteria hasil :
a) Pola nafas membaik
b) Warna kulit membaik
c) Sianosis membaik
d) Takikardia membaik
2) Intervensi
Obsevasi
a) Monitor frekuensi,irama,dan kedalaman upaya nafas
b) Monitor pola nafas
c) Monitor saturasi oksigen
d) Monitor nilai analisa gas darah

Terapeutik

a) Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


b) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Kolaborasi

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian obat


b. Diare b.d fisiologis ( proses infeksi )
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan eliminasi fekal
pasien membaik dengan kriteria hasil :
a) Konsistensi feses meningkat
b) Frekuensi defekasi/bab meningkat
c) Peristaltik usus meningkat
d) Kontrol pengeluaran feses meningkat
e) Nyeri abdomen menurun
2) Intervensi
Observasi
a) Identifiksi penyebab diare
b) Identifikasi riwayat pemberian makan
c) Identifikasi gejala invaginasi
d) Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
e) Monitor jumlah pengeluaran diare

Terapeutik

a) Berikan asupan cairan oral (oralit)


b) Pasang jalur intravena
c) Berikan cairan intravena
d) Ambil sample darah untuk pemeriksaan darah lengkap
e) Ambil sample feses untuk kultur, jik perlu.

Edukasi

a) Anjurkan manghindari makanan pembentuk gas, pedas, dan mengandung


laktosa
b) Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap Kolaborasi
c) Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
d) Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
c. Hipovolemi b.d kehilangan cairan aktif
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan status cairan
pasien membaik dengan kriteria hasil :
a) Turgor kulit membaik
b) Frekuensi nadi membaik
c) Tekanan darah membaik
d) Membrane mukosa membaik
e) Intake cairan membaik
f) Output urine meningkat
2) Intervensi
Obsevasi
a) Periksa tanda dan gejala hypovolemia ( missal frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urin
menurun,haus,lemah).
b) Monitor intake dan output cairan

Terapeutik

a) Hitung kebutuhan cairan


b) Berikan asupan cairan oral

Edukasi

a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral


b) Anjurkan menghidari posisi mendadak

Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan isotonis (Nacl.RL)
b) Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20 ml/kg bb untuk anak.
d. Gangguan integritas kulit b.d ekskresi/BAB sering
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan integritas kulit
dan jaringan meningkat dengan
kriteria hasil :
a) Kerusakan lapisan kulit menurun
b) Nyeri menurun
c) Kemerahan menurun
d) Tekstur membaik
2) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit

Terapeutik

a) Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring


b) Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
c) Gunakan petroleum berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering

Edukasi

a) Anjurkan menggunakan pelembab


b) Anjurkan minum air yang cukup
c) Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
d) Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat topical
e. Defisit nutrisi b.d penurunan intake makanan
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan status nutrisi
pasien membaik dengan kriteria hasil :
a) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
b) Diare menurun
c) Frekuensi makan membaik
d) Nafsu makan membaik
e) Bising usus membaik
3) Intervensi
Observasi
a) Identifikasi status nutrisi
b) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c) Identifikasi makanan yang disukai
d) Identifikasi keburuhan kalori dan nutrisi
e) Monitor asupan makanan
f) Monitor berat badan
g) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

a) Berikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai


b) Berikan makanan tinggi kalori dan protein

Edukasi

a) Anjurkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
a) Kolaborasi dengn ahli gizi untuk menetukan jumlh kalori dan jenis nutsisi
yang dibutuhkan jika perlu.
b) Kolaborasi pemberian obat antimetik jika perlu.
f. Risiko Syok
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tingkat syok
pasien menurun dengan kriteria hasil :
a) Kekuatan nadi meningkat
b) Output urine meningkat
c) Frekuensi nafas membaik
d) Tingkat kesadaran meningkat
e) Tekanan darah sistolik,diastolic membaik
2) Intervensi
Observasi
a) Monitor status kardiopulmonal
b) Monitor frekuensi nafas
c) Monitor status oksigenasi
d) Monitor status cairan
e) Monitor tingkat kesdaran dan respon pupil
f) Monitor jumlah,warna,dan berat jenis urine

Terapeutik

a) Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen


b) >94%
c) Pasang jalur IV, jika perlu

Edukasi

a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


b) Jelaskan penyebab/factor risiko syok
c) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian IV, jika perlu


g. Ansietas b.d perubahan status kesehatan
1) Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tingkat ansietas
pasien menurun dengan kriteria hasil :
a) Perilaku gelisah menurun
b) Perilaku tegang menurun
c) Frekuensi pernapasan menurun
d) Pucat menurun
e) Kontak mata membaik
2) Intervensi
Obsevasi
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
b) Monitor tanda-tanda ansietas

Terapeutik

a) Ciptakan suasana terapeutik untuk mengurangi kecemasan


b) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
c) Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
d) Gunakan nada suara lemah lembut dengan irama lambat

Edukasi

a) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan


b) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian obat antiansietas jika perlu

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah di
tetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksaan tindakan, serta menilai data
yang baru. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keperawatan antara lain:
1. Kemampuan intelektual, teknikal, dan interpersonal.
2. Kemampuan menilai data baru.
3. Kreativitas dan inovasi dalam membuat modifikasi rencana tindakan.
4. Penyesuaian selama berinteraksi dengan klien.
5. Kemampuan mengambil keputusan dalam memodifikasi pelaksanaan.
6. Kemampuan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan serta efektivitas tindakan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai
atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur keberhasilan dari rencana
dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan
klien. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu
berkaitan dengan tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan
fungsi dan tanda gejala yang spesifik ( Olfah & Ghofur, 2016).

Asuhan Keperawatan Anak dengan Sakit Thypoid Fever


1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Semua data
dikumpulkan secara sistematis guna menentukkan status kesehatan klien saat ini.
Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis,
fisikologis, sosial, maupun sepiritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk
mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. pengkajian dilakukan saat
klien masuk instansi layanan kesehatan. Data yang diperoleh sangat berguna untuk
menentukan tahap selanjutnya dalam proses keperawatan. Kegiatan yang utama dalam
tahap pengkajian adalah penggumpulan data, pengelompokkan data, dan analisa data
untuk merumuskan diagnosa keperawatan. Metode utama yang dapat digunakan dalam
pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik
(Asmadi, 2008).
a. Pengumpulan data
1) Identitas
Nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, No. Medrec, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, ruangan dan diagnosa medis.
2) Biodata orang tua
Nama ayah, ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, agama, alamat,
hubungan dengan anak (kandung atau adopsi).
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan masa lalu
Keluhan utama yang biasa terjadi pada anak dengan demam thypoid, yaitu
terjadinya demam atau peningkatan suhu tubuh terjadi pada hari ke-3 munggu
pertama, suhu berangsur-angsur naik setiap hari pada agi hari dan meningkat
pada sore hari dan malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-
pecah, ujg ldah kotor dan tepinya kemerahan, pada minggu kedua anak terus
dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangusrangsur turun dan
normal kembal.
2) Riwayat kesehatan sekarang
a) Riwayat penyakit yang pernah diderita yang berkaitan dengan penyakit
sekarang atau pernah kontak dengan penyakit demam thypoid sebelumnya.
b) Riwayat pemberian imunisasi: kelengkapan anak terhadap penyakit
imunisasi yang diberikan pada usia 0-14 bulan.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga kemungkinan didapati salah satu angota keluarga
yang pernah menderita demam thypoid yang dapat menularkan atau sebagai
carier melalui feses atau urin dan makanan yang terkontaminasi oleh tangan
penderita sehingga secara tiak lasung keluarga dapat terinfeksi.
4) Riwayat imunisasi
Kelengkapan anak terhadap penyakit imunisasi yang diberikan pada usia 0-14
bulan dengan macam-macam imunisasi yaitu: hepatitis, BCG, BPT 1, 2. 3,
polio dan campak.
c. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Dilihat apakah pada penderita demam thypoid terjadinya muntah, diare,
demam, tidak nafsu makan, lidak yang khas (lidah putih kotor pada
pertengahan lidah dan ujung yanng hiperemisis) dan suhu tubuh yang
meningkat.
2) Palpasi
Diraba apakah kulit teraba halus dan lembab, pada bagian abdomen kembung
dan terasa tegang, nyeri perut pada bagian kanan atas.
3) Auskultasi
Frekunsi usu dapat melemah atau meningkat.
4) Perkusi
Kadang ditemukan adanya distensi abdomen.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaa darah perifer lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leiksitosis atau kadar leukosit normal.
Eukstosis dapat terjadi walupun tanpa dsertai infeksi sekunder.
2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus.
3) Pemeriksaan uji widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri
salmonella typhi. Uji wial dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita demam thypoid. Akibat adanya infeksi oleh salmonella
typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin).
4) Kultur
Kultur darah: hasil bisa positif pada minggu I.
Kultur urin: hasil bisa menujukka positif pada akhir minggu kedua. Kultur
feses: hasil bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga.
5) Anti salmonella typhi Igm
Pemerksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut salmonella
typhi, karena antibodi IgM muncul pada hari ke-3 an ke-4 terjadinya demam.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat profesional
yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien, baik aktual
maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data hasil
pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan harus jelas, singkat dan lugas terkait
masalah kesehatan klien berikut penyebabnya yang dapat diatasi melalui tindakan
keperawatan. Diagnosa keperawatan berfungsi untuk mengidentifikasi, memfokuskan,
dan memecahkan masalah klien secara spesifik. Komponen-komponen dalam
pernyataan diagnosis keperawatan meliputi masalah (problem), penyebab (etiology),
dan data (sign and symptom) (Asmadi, 2008).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada anak dengan demam thypoid
menurut Suriadi (2010) adalah sebagai berikut:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
b. Peruahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berubungan dengan tidak ada nafsu
makan, mual dan kembung.
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan,
dan peningkatan sushu tubuh.
d. Perubaan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.
e. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.

3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan adalah proses keperawatan yang penuh pertimbangan, sistemmatis,
mencakup pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah. Dalam perencanaan
perawat merujuk pada data pengkajian klien dan pernyataan diagnosis sebagai petunjuk
dalam merumuskan tujuan klien dan merencanakan intervensi keperawatan yang
diperlukan untuk mencegah, mengurangi, atau menghilangkan masalah kesehatan klien.
intervensi keperawatan adalah setiap tindakan berdasarkan penilaian klinis dan
pengetahuan yang perawat lakukan untuk meningkatkan hasil pada klien ( Kozier, Erb,
Bermain, & Snyder, 2010).
Tiga komponen umum yang harus ada dalam sebuah rencana asuhan keperawatan
adalah sebagai berikut. Diagnosa keperawatan atau masalah yang diprioritaskan,
kriteria hasil yaitu apa hasil yang diharapkan dan kapan ingun mengetahui hasil yang
diharapkan tersebut, intervensi yaitu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
atau kriteria hasil.
Adapun intervensi yang dilaukan setiap diagnsa keperawatan pada anak dengan
demam thypoid menurut Suriadi (2010) adalah sebagai berikut:
a. Diagnosa I : hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : Mempertahankan suhu dalam batas normal.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermi.
2) Observasi suhu, nadi tekanan darah dan pernafasan.
3) Berikan kompres air biasa.
4) Beri minum yang cukup.
5) Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.
6) Pemberia obat antipireksia.
7) Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat.
b. Diagnosa I : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
Tujuan : Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.
Kriteria hasil : Kebutuhan nutrisi pada klien dapat terpenuhi.
Intervensi:
1) Menilai status nutrisi anak.
2) Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak.
3) Rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera anak meningkat.
4) Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi untuk
meningkatkan kualitas intake nutrisi.
5) Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik
porsi kecil tapi sering.
6) Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan teknik
porsi kecil tetapi sering.
7) Mempertahankan kebersihan mulut anak
8) Menjelakan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyebuhan.
9) Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui perentral jika pemberian
makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak.
c. Dagnosa III: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya
intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan: Kebutuhan cairan klien dapat terpenuhi
Kriteria hasil: Mencegah kurangnya volume cairan.
Intervensi:
1) Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) palling sedikit setiap empat jam.
2) Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor kulit tidak elastis
ubun ubun cair produksi urin minimal, memberan mukosa kering bibir pecah-
pecah.
3) Mengobservasi dan mencatat intake dan output dan mempertahankan intake
dan output yang adekuat.
4) Monitor dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan skala yang sama
5) Monitor kehilangan ciran yang tidak terlihat (insensible waer loss/ iwl) dengan
memberikan kompres dingin atau dengan terapi sponge.
6) Memberikan antibiotik sesuai program
d. Diagnosa IV: Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran.
Tujuan: Mempertahankan fungsi persepsi sensori
Kriteria hasil: Klien tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran yang
lebih lanjut.
Intervensi:
1) Kaji status neorologis
2) Istirahatkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil
3) Hindai aktivitas berlebihan 4) Pantau tanda-tanda vital.
e. Diagnosa V: Kurang pengetahuan diri berhubungan dengan istirahat total.
Tujuan: Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Kriteria hasil: Klien dapat melakukan aktivitas sesui dengan kondisi fisik dan
tingkat kembang anak.
Intervensi:
1) Mengkaji aktivitas yang dapat dulakukan anak sesuai dengan tugas
perkembangan anak.
2) Menjelaskan kepada anak dan keluarga aktivitas yang dapat dan tidak dapat
dilakukan hingga demam berangsur angsur turun
3) Membantu memenuhi kebutuhan dasar anak.
4. Penatalaksanaan Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumetasikan tindakan
yang merupakan tindakkan perawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan
intervensi. Perawat melakukan tindakan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respon klien terhadap tindakan tersebut ( Kozier, Erb, Bermain, &
Snyder, 2010).
Tujuan dari implementasi adalah:
a) Membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b) Mencakup peningkatan kesehatan.
c) Mencakup pencegahan penyakit.
d) Mencakup pemulihan kesehatan.
e) Memfasilitasi koping klien.

Adapun prinsip-prinsip implementasi pada tiap-tiap diagnosa adalah sebagai


berikut:

a) Mencegah terjadinya peningkatan suhu tubuh.


b) Mempertahankan status nutrisi.
c) Mempertahankan suatu dehidrasi anak.
d) Mempertahankan fungsi persepsi sensori.
e) Membantu kebutuhan perawatan diri anak.

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Asmadi (2008). Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandinggan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan
lainnya. Tujuan dari evaluasi dilakukan adalah untuk melihat dan menilai kemampuan
klien dalam mencapai tujuan, menentukkan apakah tujuan keperawatan telah tercapai
atau belum, mengkaji penyebab bila tujuan asuhan keperawata belum tercapai. Evaluasi
dibagi mencadi 2 jenis yaitu:
a. Evaluasi Formatif (proses)
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan untuk menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yaitu subjektif (data berupa keluhan
klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisa data (pembandingan data dengan
teori), dan perencanaan.
b. Evaluasi Sumatif (akhir)
Evalasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses
keperawatan dilakukan, sesuai dengan waktu yang telah diteteapkan dalam tujuan
untuk dapat menilai bahwa tujuan itu tercapai.

Masalah sebagian tercapai atau belum tercapai dapat dibuktikan dari hasil prilaku
klien. Ada tiga hasil evaluasi yang terkait dengan pencapain tujuan yaitu :

a. Tujuan tercapai
Masalah tercapai apabila klien menunjukkan perubahan sesuai dengan waktu atau
tanggal yang telah ditentukkan sesuai dengan pernyataan tujuan.
b. Tujuan tercapai sebagian
Masalah tercapai sebagian apabila klien menunjukkan perubahan pada sebagian
kriteria yang sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan.
c. Tujuan tidak tercapai
Masalah tidak tercapau apabila klien hanya meunjukkan sedikit perubahan dan
tidak ada kemajuan sama sekali yang diharapkan atau tidak sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan.

Adapun evaluasi pada anak dengan demam thypoid adalah sebagai berikut:

a. Suhu dalam batas normal.


b. Status nutrisi adekuat.
c. Defisit cairan dalam batas normal.
d. Perubahan persepsi sensori tidak terjadi.
e. Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
Dampak Hypoid Fever dan Diare Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Manusia (Dalam Konteks Keluarga)

1. Kebutuhan Nutrisi
Anak penderita demam thypoid dan diare biasanya mengalami gangguan pada
nutrisi karena adanya rasa mual, muntah, dan tidak nafsu makan sehingga
menyebabkan menurunnya berat badan.
2. Kebutuhan eliminasi
Kebutuhan eleminasi pada penderita demam thypoid mengalami gangguan
dalam pola eleminasi defekasi. Pada minggu pertama biasanya akan terjadi
diare, sedangkan pada minggu kedua akan terjadi konstipasi.
3. Kebutuhan istirahat dan tidur
Kebutuhan istirahat dan tidur pada minggu pertama, penderita demam thypoid
dan diare cenderung mengalami susah untuk tidur terutama pada malam hari
berhubungan dengan adanya peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada sore hari
dan malam hari.
4. Kebutuhan aktifitas
Kebutuhan aktifitas penderita demam thypoid dan diare akan terganggu
dikarenakan pada anak dengan deman thypoid dan diare akut harus mengalami
istirahat total.
5. Kebutuhan hygine
Kebutuhan hygine pada anak dengan demam thypoid dan diare umumnya
mengalami kelemahan dan harus istirahat total maka dalam hal ini kebutuhan
personal hygine memerlukan bantuan.

Anda mungkin juga menyukai