Anda di halaman 1dari 36

Nama : Enita Juliandini

Kelas : PSIK 4 A

Mata Kuliah : Kep.Anak 1

Dosen Pembimbing : Murbiah S.Kep Ns M.K

Patofisiologi Peradangan pada Sistem Digestive

Esophagus
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga yang terbentang dari hipofaring
hingga kardia lambung fungsinya adalah untuk menghantarkan bahan yang dimakan. Sfingter
mengatur makanan yang bertahan dalam esofagus. Sfingter esofagus bagian atas dibentuk
oleh otot krikofaringeus, secara normal berada dalam keadaan kontraksi kecuali pada saat
menelan. Sfingter esofagus bagian bawah bertindak sebagai sawar terhadap refluksisi
lambung. Dinding esofagus terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa.
Kadar keasaman (pH) esofagus adalah agak basa dan kurang dapat menoleransi kandungan
asam lambung.
Deglutinasi atau menelan merupakan suatu aksi fisiologis kompleks ketika makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung dan terjadi dalam tiga fase. Yang pertama disebut fase
oral, yaitu bolus didorong ke belakang oleh gerakan volunter lidah. Pada fase faringeal, bolus
bergerak melewati epiglotis ke faring bagian bawah berlanjut ke esofagus. Pada fase
esofagus akhir gelombang peristaltik primer yang dimulai dari faring terus berjalan
sepanjang esofagus, mendorong bolus menuju sfingter esofagus bagian distal. Adanya bolus
merelaksasi otot sfingter distal ini sejenak sehingga memungkinkan bolus masuk ke dalam
lambung.
Gejala adanya gangguan esofagus adalah disfagia, kesadaran subyektif adanya gangguan
transpor bahan yang dimakan, pirosis atau nyeri ulu hati, odinofagia, nyeri akibat menelan
dan regurgitasi yaitu aliran balik isi lambung ke dalam rongga mulut yang tidak
membutuhkan usaha.
Beberapa tindakan diagnostik yang bermanfaat untuk mendektesi penyakit esofagus
adalah pemeriksaan esofagoskopi dengan biopsi dan sitologi, pemeriksaan motilitas dan
pemeriksaan reluks asam.
Akalasia/kardiospasme merupakan gangguan hipomotilitas yang jarang terjadi dan
dicirikan dengan peristaltik yang lemah dan tidak teratur dalam korpus esofagus. Gejala dan
tandanya berupa menigkatnya tekanan sfingter esofagus bagian bawah dan kegagalan sfingter
esofagus bagian bawah untuk berelaksasi pada saat menelan. Akalasia primer dianggap
sebagai hasil degenerasi pleksus. Auerbach (pleksus saraf intrinsik yang mengatur peristaltik
esofagus). Akalasia sekunder berkaitan dengan jumlah gangguan yang terjadi, termasuk
neuropati diabetik dan kanker esofagus. Pengobatan mencakup dilatasi pneumatik pada
sfingter esofagus bagian bawah atau esofagomiotomi.
Spasme esofagus difus dicirikan dengan kontraksi esofagus yang tidak terkoordinasi,
nonpropulsif (peristaltik tersier) yang timbul bila menelan. Penyebabnya tidak diketahui dan
lebih sering terjadi pada pasien berusia tua. Penyakit ini biasanya asimtomatik namun
sebagian gejala yang terjadi adalah disfagia dan odinofagia sementara (nyeri ketika menelan).
Spasme esofagus difus dapat dikacaukan dengan angina pektoris karena nitroglierin
seringkali dapat memulihkan nyeri.
Skleroderma adalah atrofi otot polos bagian bawah esofagus. Diagnosis dapat diduga
melalui pemeriksaan radiografik dengan barium, tetapi baru dipastikan dari hasil
pemeriksaan manometrik.Tanda khas penyakit ini adalah peristaltik yang lemah pada
setengah sampai duapertiga distal esofagus, serta berkurangnya tekanan sfingter esofagus
bagian distal. Refluks gastroesofageal dan esofagitis sering terjadi pada skleroderma karena
adanya inkompetensi sfingter esofagus bagian bawah.
Inflamasi mukosa esofagus, esofagitis dapat bersifat akut (infeksi, minum minuman
panas) atau kronik (refluks asam dari lambung). Bentuk infeksius lazim terjadi pada
penderita imunodefisiensi seperti AIDS.
Bentuk esofagitis berat yang akut terjadi setelah menelan basa atau asam kuat yang
ditemukan pada cairan pembersih. Gejala yang timbul adalah odinofagia berat, demam,
keracunan dan kemungkinan perforasi esofagus. Perforasi dapat menyebabkan infeksi
mediastinum dan mungkin kematian. Dalam pengobatan kedaruratan paada penderita cedera
kaustik, sebaiknya muntah tidak diinduksi karena dapat kembali mencederai esofagus dan
orofaring.
Esofagitis refluks kronik merupakan bentuk esofagitis yang paling sering ditemukan
secara klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfingter esofagus bagian bawah yang bekerja
dengan kurang baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam esofagus yang
berlangsung dalam waktu lama. Penyebab lazim adalah gangguan motilitas esofagus dan
hernia hiatus direk (sliding). Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah esofagus Barrett
(pencetus karsinoma), ulserasi, perdarahan, pembentukan jaringan perut, dan striktur
(menyebabkan terjadinya obstruksi).
Mekanisme yang secara normal mencegah terjadinya refluks gastroesofageal adalah :
kontraksi normal sfingter esofagus bagian bawah yang menyebabkan daerahtekanan
tinggi (paling penting)
sudut lancip gastroesofageal yang menyebabkan efek seperti katup penutup dan (3)
tekanan yang terbentuk melalui liigamen frenikoesofageal menyebabkan efek katup
pinchcock.
Hernia hiatus didefinisikan sebagai herniasi bagian lambung ke dalam dada melalui
hiatus esofagus diafragma. Bentuk yang paling sering adalah hernia hiatus direk (sliding)
dengan perbatasan lambung-esofagus yang tergeser ke dalam rongga toraks dan merusak
kompetensi sfingter esofagus bagian bawah. Refluks esofagitis adalah penyulit hernia hiatus
direk (sliding) yang paling sering. Bentuk lainnya adalah hernia hiatus paraesofageal
(rolling) dengan bagian fundus lambung yang menggulung melawati hiatus dan perbatasan
gastro-esofagus tetap berada di bawah diafragma, penyulit utama hernia para-esofageal
adalah strangulasi.

Tumor jinak esofagus jarang dijumpai namun kanker esofagus sering dijumpai. Laki-laki
paling sering terserang penyakit ini. Faktor predisposisi adalah banyak merokok, banyak
minum alkohol dan esofagus Barrett (metaplasia dan displasia mukosa dari reflluks
gastroesofageal kronik). Pemeriksaan radiologik dengan barium, pemeriksaan sitologi dan
biopsi dengan esofagoskopi merupakan tindakan-tindakan utama yang dilakukan dalam
menentukan dianosis.

Lambung
Lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum pilorikum/pilorus.Sfingter kardia atau
sfingter esofagus bawah mengalirkan makanan ke dalam lambung dan mencegah refluksisi
lambung ke dalam esofagus. Sfingter pilorus terminal berelaksasi dan berkontraksi untuk
mengalirkan makanan ke duodenum dan mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam
jantung
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa (lapisan luar) merupakan bagian
dari peritonium viseralis. Tunika muskularis tersusun atas tiga lapisan longitudinal di sebelah
luar, lapisan sirkular di tengah dan lapisan oblik di sebelah kanan. Lapisan ssubmukosa
tersusunatas jaringan areolaris longgar yang menghubungkan lapisan muskularis dan
mukosa. Lapisan bagian dalam yaitu lapisan mukosa tersusun atas lipatan-lipatan
longitudinal disebut rugae yang memungkinkan terjadinya penegangan isi lambung.
Lambung mendapat suplai saraf ekstrinsik dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan melalui saraf vagus yang
mencabangkan ramus pastrika, pilorika dan selaka. Persarafan simpatis disuplai melalui
nervus splanchricus mayor dan ganglia selaka. Jaringan saraf intrinsik lambung (yang
melanjut ke seluruh saluran gastrointestinal) dibentuk oleh pleksus saraf Auerbach
(mienterikus) dan Meissner yang memudahkan komunikasi dan kordinasi motilitas dan
sekresi gastrointestinal. Misalnya refleks gastrokolik (gelombang peristaltik dalam kolom
yang disebabkan oleh masuknya makanan atau minuman panas ke dalam lambung kosong)
berdasarkan pada persarafan intrinsik saluran gastrointestinal.
Fungsi motorik lambung adalah penyimpanan, pencampuran dan pengosongan makanan
semi cair yang tercerna sebagian dicampur dengan sekret lambung. Substansi ini disebut
sebagaii kimus. Kelenjar kardia yang berada dekat orifisium kardia lambung menyekresi
mukus. Kelenjar gasstrik yang terletak di fundus dan korpus lambung memiliki tiga tipe sel,
sel parietal menyekresi HCl dan faktor intrinsik (penting untuk absorpsi vitamin B12 di
dalam usus halus), sel chief menyekresi pepsinogen yang teraktivasi menjadi pepsin dalam
lingkungan pH asam, dan sel mukus (leher) yang menyekresi mukus. Sel G yang terletak di
daerah pilorus lambung menyekresi hormon gastrin.
Sekresi lambung terbagi menjadi tiga fase. Yang pertama adalah fase sefalik yaitu ketika
kelenjar lambung terangsang oleh penglihatan, bau, pikiran, atau rasa makanan dan
merupakan 10% dari sekresi asam lambung. Yang kedua adalah fase hormonal atau gastrik
merupakan 67% dari sekresi asam lambung. Apabila makanan memasuki lambung, pH basa
dan peregangan lambung merangsang saraf vagus secara kimiawi maupun mekanis. Impuls
vagus merangsang sel parietal dan sel G untuk melepaskan gastrin, menyebabkan sekresi
HCl dan sekresi pepsinogen. Yang terakhir adalah fase intestinal yang dimulai oleh gerakan
kimus dari lambung ke duodenum dan sangat dipengaruhi oleh hormon.
Mual dan muntah adalah gejala penyerta yang lazim pada gangguan gastrointestinal dan
terjadi dalam tiga stadium. Yang pertama adalah mual yaitu perasaan yang sangat tidak enak
di belakang tenggorokan dan epigastrium. Fase berikutnya adalah retching yaitu usaha untuk
muntah secara involunter. Stadium terakhir adalah muntah yaitu refleks yang menyebabkan
ekspulsi isi lambung melalui mulut.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung. Dua tipe
yang tersering adalah superfisial akut dan atrofik kronik. Gastritis akut adalah penyakit jinak
yang sering terjadi disebabkan oleh beragam faktor mencakup infeksi H. Pylori dan iritan
lokal seperti kafein, alkohol atau aspirin. Gastritis atrofik kronik dicirikan dengan atrofi
progresif epitel kelenjar, hilangnya sel chief dan parietal dan hipokhlorhidria atau
akhlorhidria. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang rata.
Gastritis kronis tipe A dianggap sebagai penyakit autoimun yang tidak lazim berkaitan
dengan hilangnya faktor intrinsik dan anemia pernisiosa. Gastritis kronis tipe B tidak
berkaitan dengan anemia permisiosa dan biasanya disebabkan oleh infeksi H. Pylori. Ulkus
peptikum adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluassampai di bawah epitel.
Ulkus kronis (berbeda dengan ulkus akut) memiliki jaringan parut di dasarnya.
Getah lambung assam murni mampu mencerna semua jaringan hidup. Mukus lambung
(mengandung prostaglandin) dan sawar epitel melindungi supaya lambung tidak tercerna.
Sawar mukosa lambung juga mencegah difusi balik H+ dari lumen ke darah. Bila
permeabilitas sawar epitel mengalami gangguan terjadi aliran balik HCl yang mengakibatkan
cedera pada jaringan yang mendasari. Mukosa menjadi edema dan protein plasma dapat
hilang. Mukosaa kapiler dapat rusak, menyebabkan terjadinya hemoragia interstisial dan
perdarahan. Destruksi sawar mukosa lambung dianggap sebagai faktor utama dalam
patogenesis ulkus peptikum.
Ulkus peptikum atau duodenum dapat didiagnosis melalui pemeriksaan secara langsung
menggunakan endoskopi. Pemeriksaan sitologi dari bilasan lambung penting dilakukan
untuk membedakan karsinoma lambung dari ulkus peptikum. Infeksi H.pylori dianggap
sebagai penyebab sejumlah besar ulkus peptikum. Metode yang digunakan untuk mendeteksi
adanya infeksi H.pylori adalah dengan uji napas urea dan pemeriksaan serologi.
Nyeri epigastrik inttermiten kronis (biasanya terjadi 2 sampai 3 jam setelah makan atau di
malam hari) adalah gambaran klinis utama pada ulkus peptikum. Makanan atau antasid
biasanya dapat memulihkan kondisi ini, yang membentuk pola nyeri sembuh setelah makan.
Pola ini merupakan kriteria terpenting dalam menegakkan diagnosis ulkus ini.
Sindrom Zollinger-Ellison adalah penyebab ulkus peptikum yang jarang dijumpai,
disebabkan oleh neoplasma penyekresi gastrin, yang menyebabkan terjadinya hiperasiditas
lambung yang ekstrim. Ulkus peptikum yang terkait dengan sindrom ini seringkali bersifat
multipel dan refrakter terhadap pengobatan. Pengobatan ideal adalah eksisi bedah neoplasma
tersebut.
Pengobatan medis ulkus peptikum terdiri atas tindakan untuk menghambat atau
membufer sekresi asam untuk mempermudah penyembuhan. Semua obat ini dapat diberikan
yaitu antasid, penghambat H2 (mis ranitidin) atau penghambat pompa asam lambung (mis
Omeprasol) dan terapi antimikroba untuk mengatasi infeksi H.pylori Penyulit ulkus peptikum
adalah intraktabilitas (paling sering), perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Ulkus pada
dinding duodenum posterior lebih sering mengalami perdarahan (akibat erosi arteri
gastroduodenalis atau pankreatikoduodenalis) sedangkan ulkus pada dinding anterior lebih
sering mengalami perforasi.
Pengobatan pembedahan ulkus peptikum biasanya mencakup beberapa tipe vagotomi
danm gastrektomi parsial. Antrektomi adalah pemotongan seluruh antrum lambung sehingga
menghilangkan fase gastrik atau hormonal dari sekresi lambung. Prosedur
gastroduodenostomi atau Billroth I) melibaatkan gastrektomi parsial dengan anastomosis sisa
jejunum (gastrojejunostomi atau Billroth II). Sekuele pascaoperatif adalah sindrom dumping
terutama dengan pembedahan Billroth II)
Erosi lambung atau duodenum yang terjadi sebagai sekuele dari stress fisiologis yang
lama disebut sebagai ulkus stres dan terbagi menjadi dua kelompok. Ulkus Chusing berkaitan
dengan cedera otak yang serius dan dicirikan dengan hiperasiditas bermakna. Erosi lambung
berkaitan dengan syok, sepsis, luka bakar dan obat, tidak ditandai dengan hipersekresi asam
lambung. Ulkus stres yang berkaitan denggan cedera luka bakar disebut ulkus Curling.
Faktor etiologi utama dalam terjadinya ulkus stres diduga akibat iskemia mukosa lambung.
Faktor genetik, geografik dan lingkungan serta adanya gastritis atrofik atau anemia
permiosa merupakan faktor predisposisi terjadinya karsinoma lambung, yang memiliki tiga
bentuk umum karsiinoma ulseratif, karsinoma polipoid, dan karsinoma infiltratif III.

Usus halus
Usus halus merupakan usus berbentuk tabung yang kompleks, berlipat-lipat membentang
dari pilorus hingga katup ileosekal dan dibagi menjadi duodenum, jejunum, dan illeum. Dua
fungsi utamanya adalah pencernaan dan absorpsi zat gizi dan air yang terdapat dalam
makanan yang masuk dalam tubuh. Villi dan mikrovilli merupakan tonjolan-tonjolan mukosa
seperti jari-jari yang terdapat di seluruh usus halus, srtktur ini meningkatkan permukaan
absorpsi usus sebesar 1000x lipat. Setiap villus terdiri atas saluran limfe sentral yang disebut
sebagai lakteal dan dikelilingi oleh kapiler darah. Makanan yang telah dimakan akan masuk
ke dalam lakteal dan kapiler vilus.
Enzim terletak pada brush border dan menyelesaikan proses pencernaan saat proses
absorpsi berlangsung. Di sekeliling villus terdapat beberapa sumur kecil yang disebut sebagai
kripte Lieberkuhn. Kripta ini merupakan kelenjar-kelenjar usus yang menghasilkan sekret
mengandung enzim pencernaan. Pergerakan segmental usus halus mencampur zat yang
dimakan dengan sekret pankreas, hepalobiliar, dan sekresi usus sedangkan pergerrakan
peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung laindengan kecepatan yang sesuai
untuk terjadinya absorpsi yang optimal dan asupan isi lambung secara kontinu.
Absorpsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (gula
sederhana, asam lemak, dan asam amino) melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe
untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu juga diabsorpsi air, elektrolit dan vitamin.
Absorpsi berbagai zat berlangsung melalui mekanisme transpor aktif dan pasif. Absorpsi
gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada saat kimus mencapai pertengahan jejunum.
Besi dan kalsium sebagian besar diabsorpsi di dalam duodenum dan jejunum. Absorpsi
kalsium memerlukann vitamin D. Vitamin larut lemak (A, D,E, K) diabsorpsi dalam
duodenum dan memerlukan garam-garam empedu. Sebagian besar vitamin yang larut air
diabsorpsi dalam usus halus bagian atas. Absorpsi vitamin B12 berlangsung dalam ileum
terminalis melalui mekanisme transpor khusus yang membutuhkan faktor intrinsik lambung.
Sebagian besar asam empeedu yang dikeluarkan oleh kandung empeduke dalam
dudodenum untuk membantu pencernaan lemak, akan direabsorpsi dalam ileum terminalis
dan masuk kembali ke hati. Siklus ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik garam empedu
dan sangat penting dalam mempertahankann cadangan empedu untuk pencernaan lemak.
Malabsorpsi adalah terganggunya absorpsi satu atau banyak zat gizi dalam mukosa usus.
Sprue nontropis (penyakit Seliak), sprue tropis, defesiensi laktase, malabsorpsi
pascagastrektomi, dan enteritis regional adalah penyakit-penyakit yang berkaitan dengan
terjadinya malabsorpsi.
Sprue nontropis (Seliak) adalah suatu sindrom malabsorpsi yang dicirikan dengan adanya
atrofi villi usus halus disebabkan oleh sensitivitas terhadap gluten yang terdapat dalam roti
(gandum hitam /rye, oat, barley, dan gandum) bir dan banyak makanan yang mengalami
proses tertentu. Manifestasi klasiknya adalah diare (fesses yang banyak dan pucat),
flatulensi, penurunan berat badan dan kelelahan. Bayi maupun orang dewasa dapat terkena
penyakit ini dan ciri khasnya memiliki predisposisi familial. Penghentian diet mengandung
gluten pada umumnya akan memulihkan atau mengurangi gejala. Sprue tropis lazim terjadi
di daerah Karibia dan kemungkinan disebabkan oleh infeksi akibat merespons pengobatan
antibiotik.
Defisiensi laktaase adalah suatu gangguan malabsorpsi yang berkaitan dengan intoleransi
terhadap susu dan produk susu (mengandung laktosa) karena defisiensi enzim dan laktase
brush border, hal ini terutama lazim terjadi pada produk AfrikaAmerika. Gejala khas pada
defisiensi laktase adalah kram perut, kembung dan diare setelah minum susu. Ketika laktosa
yang tidak terhidrolisis memasuki kolon, maka akan menimbulkan suatu asfek osmotik yang
menyebabkan masuknya air ke dalam kolon. Bakteri dalam kolon akan memfermentasi
laktosa dan menghasilkan asam lemak dan asam laktat yang bersiftat iritatif terhadap kolon
sehingga menyebabkan peningkatan motilitas usus dan terjadi diare.
Malabsorpsi pascagastrektomi lazim terjadi setelah gastrektomi total atau prosedur
Billroth II. Ciri khas keadaan ini adalah steatore, penurunan berat badan dan anemia
makrositik. Penyebabnya adalah (1) pencampuran makanan dengan enzim yang berlangsung
kurang sempurna akibat pengosongan lambung yang terlalu cepat (2) berkurangnya sekresi
eksokrin pankreas yang menyebabkan terjadinya maldigesti akibat adanya pintas duodenum
(3) stasis isi usus pada lengkung eferen yang mengaakibatkan proliferasi bakteri yang
berlebihan, yang dapat memakai habis vitamin B12 serta menyebabkan terjadinya
dekonjugasi garam-garam empedu (4) hilangnya fungsi lambung sebagai penampung yang
mengakibatkan waktu transit makanan di usus berjalan lebih cepat dan menyebabkan diare.
Penyakit Crohn yang disebut juga enteritis regional merupakan suatu penyakit
peradangan granulomatosa kronis pada saluran cerna yang sering berulang dan dicirikan
dengan adanya lesi ‘ melompat’ yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh daerah-daerah
usus yang normal. Gejala yang sering ditemukan adalah diare intermiten ringan dan nyeri
kolik abdomen. Penyulit yang terjadi adalah obstruksi usu, fistula perianal, abses dan fistula
antara lengkung usus, hingga kandung kemih atau hingga dinding abdomen eksternal.
Manifestasi di luar gastrointestinal adalah gangrenosum pioderma, uvetis dan artritis.
Penyakit atau reseksi ileum feminalis dapat menyebabkan terjadinya defisiensi garam
empedu dan mempengaruhi pencernaan lemak, demikian juga dengan terjadinya anemia
makrositik akibat gangguan absorpsi vitamin B12
Apendisitis adalah peradangan apendiks (sisa apeks sekum yang tidak memiliki fungsi)
yang mengenai semua lapisan dinding organ. Apendisitis adalah penyakit bedah yang paling
sering ditemukan dan lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Gejala yang paling
awal aadalah nyeri paraumbilikalis yang terletak pada kuadran kanan bawah abdomen.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi
dari organ abdomen, perforaasi apendiks atau saluran cerna atau luka tembus abdomen.
Obstruksi usus adalah suatu gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.
Terdapat 2 jenis obstruksi usus (1) obstruksi non-mekanis (ileus paralitik atau adinamik)
yaitu hambatan peristaltik usus dan (2) obstruksi mekanis yang disebabkan oleh obstruksi
intramural atau tekanan eksterna usus, obstruksi mekanis selanjutnya digolongkan sebagai
obstruksi mekanis simpleks (hanya terdapat satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung-
tertutup (sedikitnya terdapat 2 tempat obstruksi). Obstruksi usus dapat bersifat akut maupun
kronis sebagian atau total dan paling sering mengenai usus halus.
Obstruksi usus non-mekanis atau fungsional (ileus paralitik) disebabkan oleh sentuuhan
pada visera abdomen dan hambatan peristaltik akibat pembedahan, terutama pembedahan
abdomen ileus paralitik juga berkaitan dengan berbagai cedera traumatik (mis fraktur iga atau
vertebrata). Penyebab obstruksi usus mekanis yang paling sering adala perlekatan akibat
pembedahan (pita fibrosa jaringan parut). Penyebab lain adalah intususepsi (invaginasi salah
satu bagian usus ke dalam bagian berikutnya), volvulus (terpelintirnya usus, biasanya
mengenai kolon sigmoid) dan inkarserasi atau strangulasi lengkung usus dalam hernia
ingunalis atau femoralis.
Perubahan patofisiologik yang terjadi dalam obstruksi usus adalah sebagai berikut
Penimbunan gas dan cairan dalam lumen yang letaknya proksimal dari letak obstruksi
Peregangan abdomen
Tekanan dalam lumen yang dipertahankan sehingga menyebabkan terjadinyaiskemia
dinding usus
Hilangnya cairan dalam rongga peritoneum
Lepasnya bakteri dan toksin dari usus nekrotik ke dalam peritoneum dan
sirkulasisistemik
Peritonitis dan septikemia.
Hilangnya air dan elektrolit dari ECF ke dalam usus (ruang ketiga) yang menyebabkan
terjadinya syok hipovolemik. Pengobatan obstruksi usus adalah koreksi ketidakseimbangan
cairan dan eleektrolit, pemulihan peregangan dan muntah dengan intubasi nasogastrik dan
dekompresi, pengendalian peritonitis dan syok (bila ada) dan mengangkat obstruksi
(pembedahan) untuk memulihkan kesinambungan usus yang normal. Banyak terdapat kasus
ileus adinamik yang disembuhkan hanya dengan melakukann dekompresi tuba.

Usus besar (kolon)


Usus besar atau kolon berbentuk saluran maskular berongga yang membentang dari
sekum hingga kanalis ani dan dibagi menjadi sekum, kolon (asendens, transversum,
desendems dan sigmoid) dan rektum. Katup ileosekal mengontrol masuknya kimus ke dalam
kolon, sedangkan otot sfingter eksternus dan internus mengontrol ke luarnya feses dari
kanalis ani
Usus besar secara klinis dibagi menjadi baagian kanan dan kiri berdasarkan pada aliran
darah. Arteria mesenterika superior mendarahi sekum, kolon asendens dan dua pertiga
proksimal kolon transversum (separuh kanan). Arteria mesenterika inferior mendarahi
sepertiga distal kolon transversum yang turun dan kolon sigmoid serta bagian proksimal
rektum (separuh kiri).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang terpenting adalah absorpsi aair dan elektrolit.
Absorpsi ini sudah hampir selesaai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid merupakan reservoir
untuk massa feses yang terdehidrasi sampai terjadinya defekasi. Kapasitas absorpsi kolon
adalah sekitar 1500 sampai 2000 ml. Bila jumlah ini dilampaui akibat pengiriman air yang
berlebihan dari ileum akan terjadi diare.
Sejumlah kecil pencernaan dalam usus besar terutama disebabkan oleh bakteri dan bukan
oleh kerja enzim. Bakteri dalam usus besar menyintesis vitamin K dan beberapa vitamin B.
Selain itu juga terjadi fermentasi bakteri beberapa karbohidrat dalam kolon. Sekitar 1000 ml
flatus kebanyakan dari udara yang tertelan di keluarkan setiap hari.
Ciri khas gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan meremas yang tidak
progresif ini menyebabkan isi usus bergerak bolak-balik sehingga memberikan waktu untuk
terjadinya absorpsi. Peristalsis mendorong feses ke dalam rektum dan menyebabkan
peregangan dinding rektum dan aktivitas refleks defekasi.
Keadaan patologi usus besar cenderung dihubungkan dengan gejala eliminasi, konstipasi,
diare, perubahan ukuran atau warna tinja dan darah dalam tinja merupakan gejala dan tanda
penting yang berkaitan dengan kolon dan rektum.
Divertikulosis merupakan keadaan kolon yang dicirikan dengan herniasi mukosa melalui
muskularis untuk membentuk kantung berbentuk cakram. Herniasi sering terjadi pada titik
terlemah tempat masuknya pembuluh darah melemahkan dinding kolon. Kolon sigmoid
merupakan tempat tersering divertikula. Bila satu atau lebih sakulus meradang keadaan ini
disebut divertikulitis. Patogenesis divertikulosis diyakini berkaitan dengan makan makanan
rendah serat, gangguan motilitas dan peningkatan tekanan intraluminal yang menyebabkan
terjadinya herniasi mukosa. Tekanan yang lebih besar dapat terbentuk pada orang yang
makan makanan rendah serat karena kolon mempunyai lumen yang lebih sempit
dibandingkan dengan kolon yang terisi feses bila makan makanan kaya serat. Penyulit
divertikulitis adalah peradangan, pembentukan abses, perdarahan, obstruksi usus, perforasi
dan peritonitis.
Kolitis ulserativa merupakan penyakit peradangan kolon nonspesifik yang biasa terjadi
setelah eksaserbasi dan remisi lama. Lesi peradangan mengenaii mukosa dan submukosa,
akhirnya menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Proses penyakit biasanya dimulai di daerah
rektosigmoid dan dapat menyebar ke proksimal mengenai seluruh kolon (tidak ada lesi
melompat seperti penyakit Crohn). Gejala dan tanda kardinal adalah nyeri kolik abdomen
dan berdarah, serta diare terisi mukus. Komplikasi yang berpotensi fatal adalah megakolon
toksik, perdarahan dan karsinoma kolon. Manifestasi di luar gastrointestinal (artritis,
mengenai mata dan kulit) serupa dengan manifestasi pada penyakit Crohn. Lesi penyakit
Crohn mengenai kolon pada sekitar 35% kasus.
Polip kolon sering terjadi dan menempati posisi intermediat antara neoplasma jinak dan
ganas. Polip paling sering terjadi di kolon sigmoid dan meningkat seiring bertambahnya usia.
Polip tumbuh dari permukaan mukosa dan meluas ke luar.
Adenoma pedunkulata (polip adenomatosa atau adenoma polipoid) adalah struktur seperti
bola yang menempel pada membran mukosa dengan tangkai tipis. Polip adenomatosa
multipel atau berdiameter lebih dari 1 cm dianggap merupakan risiko kanker yang tinggi.
Polip juvenilis paling sering terjadi pada anak, mempunyai tangkai yang sangat panjang, dan
dianggap berasal dari peradangan. Adenoma vilosa adalah neoplasma (massa berbentuk
kembang kol) sesil (dasar lebar tanpa tangkai), biasanya soliter dan besar (>5 cm) dan
kesempatan menjadi ganas adalah lebih dari 25%. Poliposis familial merupaakan suatu
penyakit genetik dominan autosomal yang dicirikan dengan adanya ratusan polip
pedunkulata dan sesil di seluruh kolon, kemungkinan terjadinya kanker kolon adalah 100%
pada usia 40 tahun.
Kanker kolon dan rektum merupakan penyebab ketiga kematian akibat kanker pada laki-
laki dan perempuan, sekitar 60% terjadi di daerah rektosigmoid kolon, sehingga kanker ini
dapat dipalpasi saat pemeriksaan sigmoidoskopi. Sekitar 25% kanker kolon terletak di sekum
dan kolon asendens serta dapat didektesi melalui pemeriksaan kolonoskopi. Secara histologis
hampir semua kanker kolon adalah adenokarsinoma. Secara struktur kanker kolon berbentuk
polipoid (lebih sering di sekum) atau berbentuk anular (seperti cincin) (lebih sering di daerah
rektosigmoid).
Gejala dan tanda kanker kolon dan rektum bervariasi berdasarkan letaknya dan umumnya
dibagi menjadi kanker kolon kiri (desendens, sigmoid dan rektum) dan kanan (sekum,
asenddens, transversum kanan).
Gejala dan tanda kanker kolon kiri adalah
Perubahan yang nyata pada kebiasaan usus (konstipasi atau diare, tinja berbentukpensil
atai pita, tenesmus)
Darah makroskopis pada tinja
Nyeri (rektal, punggung, kuadran kiri bawah)
Anemia dan penurunan berat badan
Massa yang dapat diraba dan terdeteksi dengan pemeriksaan digital atauendoskopik.
Gejala dan tanda kanker kolon kanan adalah

Darah samar pada tinja


Nyeri alih ke umbilikus atau punggung
Anemia dan pemuruunan berat badan
Massa abdomen yang dapat diraba di kuadran kanan bawah. Perubahan kebiasaanusus
bukan karena tinja yang cair. Kanker kolon kanan umumnya terdiagnosis lebih lambat
dibandingkan dengan kanker kolon kiri dan akibatnya mempunyai prognosis lebih buruk.
Hemoroid atau wasir adalah vena varikosa pada kanalis ani dan dibagi menjadi dua
golongan yaitu interna dan eksterna. Hemoroid interna adalah varises vena hemoroidalis
superior dan media, terletak di atas sfingter rektum interna. Hemoroid eksterna adalah
varises vena hemoroidalis inferior, terletak di luar sfingter ani. Penyebab langsung hemoroid
adalah gangguan aliran balik vena dari vena hemoroidalis yang ddisebabkan oleh kehamilan,
konstipasi atau diare atau keduanya, kanker rektum dan sirosis hepatis. Penyulit hemoroid
adalah perdarahan, trombosis dan strangulasi.
Hemoroid eksterna akut tampak sebagai pembengkakan bundar dan kebiruan pada
pinggir anus yang sebenarnya merupakan sebuah hematoma. Hemoroid eksterna kronis atau
anal skin tag biasanya adalah sekuele hematoma akut. Hemoroid eksterna sering
menyebabkan pruritus.
Hemoroid interna digolongkan menjadi derajat satu (pembengkakan globular yang
dirasakan dalam kanalis ani), derajat dua (prolapss melalui kanalis ani selama defekasi tetapi
mengecil kembali atau dapat didorong secara manual ke dalam kanalis ani) dan derajat tiga
(prolaps permanen melalui kanalis ani). Bila hemoroid terjadi pada pasien berusia
pertengahan atau tua maka kemungkinan kanker rektum harus disingkirkan. Fisura ani
(fisura in ano) merupakan retaknya lapisan anus disebabkan oleh regangan akibat lewatnya
tinja yang keras.
Abses anorektal adalah infeksi lokal dengan pengumpulan pus di daerah anorektal.
Fistula in ano merupakan saluran granulomatosa kronis yang secara langsung mulai dari
kanalis ani ke kulit di luar anus atau dari abses ke kanalis ani atau daerah perirektal. Fistula
anorektal terdapat pada 50% penderita penyakit Crohn.

Hati
Hati merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh (sekitar 3 pon/1,3 kg) dan dibagi
menjadi lobus kanan dan lobus kiri, hati ditahan ditempatnya oleh serangkaian ligamen
kompleks (yang terpenting adalah ligamentum falsiformis) yang menghubungkan permukaan
anteriornya terhadap diafragma dan dinding abdomen anterior.
Permukaan hati dibagi secara mikroskopis menjadi satuan fungsional yang disebut
lobulus yaitu sederetan sel hati heksagonal yang disebut hepatosit tersusun di sekitar vena
sentralis yang mendrainase lobulus. Di antara lamina sel hepatik terdapat kapilerkapiler yang
disebut sinusoid, yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Sinusoid dilapisi
oleh sel Kuffer, yaitu sel fagosit yang berfungsi membuang bakteri dan partikel asing dari
darah. Empedu yang terbentuk dalam hepatosit diekskresikan ke dalam kanalikuli, yang
bergabung membentuk duktus biliaris yang lebih besar sampai mencapai duktus koledukus.
Selain menjadi organ parenkim terbesar, hati merupakan organ yang memiliki fungsi
paling banyak dan paling kompleks. Hati memiliki tugas yang sangat besar dalam
mempertahankan homeostasis fungsi metabolik tubuh, mencakup metabolisme karbohidrat,
lemak, protein, dan vitamin, sintesis protein serum, mencakup faktor pembekuan,
pembentukan yrea, pembentukan dan ekskresi empedu, inaktivasi hormon steroid dan
detoksifikasi sejumlah zat endogen dan eksogen. Hati juga bekerja sebagai gudang darah
yang mengalir baik kembali saat terjadi gagal jantung ventrikel
Kandung empedu berperan dalam pemekatan dan penyimpanan empedu. Empedu
dilepaskan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang bergabung dalam duktus
hepatikus menjadi duktus koledukus. Duktus koledukus bergabung dengan duktus
pankreatikus membentuk ampulla Vateri sebelum bermuara ke dalam duodenum. Ampula
Vateri dikelilingi oleh serat-serat otot sirkular yang disebut sebagai sfingter Oddi.
Pankreas dibagi menjadi tiga segmen: kaput, korpus dan kauda. Dua jenis sel yang
terdapat dalam pankreas adalah: sel eksokrin dan endokrin. Sel eksokrin menghasilkan
komponen getah pankreas. Sel endokrin menyekresi insulin dan glukagon, yang berperan
penting dalam metabolisme karbohidrat.
Hati mempunyai dua aliran darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatis
dan dari aorta melalui arteria hepatika. Darah dari vena porta dan arteria hepatika bercampur
dan mengalir melalui hati dan akhirnya terkumpul dalam vena hepatika dekstra dan sinistra
yang bermuara ke dalam vena kava. Sekitar sepertiga curah jantung melalui hati setiap menit.
Pada kasus obstruksi terhadap aliran darah melalui hati, darah porta harus dipintas di sekitar
hati ke sirkulasi vena sistemik. Beberapa titik anastomosis portakava terhadap darah pintas di
sekitar hati pada sirosis yang bermakna klinis (1) vena esofageal (2) vena paraumbilikalis
dan (3) vena hemoroidalis superior.
Hipertensi porta dapat didefinisikan sebagai peningkatan terus-menerus tekanan vena
porta di atas kadar normal 6 sampai 12 cm air dan sering terjadi akibat resistensi aliran darah
melalui hati. Splenomegali serta varises esofageal dan gaster merupakan efek utama
hipertensi porta. Salah satu fungsi terpenting hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu,
sekitar 500 sampai 1000 ml/hari. Empedu di bawa ke kandung empedu dan dilepaskan ke
dalam usus halus sesuai dengan kebutuhan. Empedu terdiri dari kolesterol, fosfolipid, garam
empedu, pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi), air dan elektrolit. Garam empedu
berperan penting dalam digesti dan absorpsi lemak dalam usus kecil. Setelah diolah oleh
bakteri dalam usus halus, sebagian besar garam empedu direabsorpsi dalam ileum,
mengalami sirkulasi ulang ke hepar, dikonjugasi kembali dan disekresi ulang. Pigmen
empedu terbentuk dari penghancuran eritrosit oleh sel-sel pada sistem monosit-makrofag.
Meskipun bilirubin tidak berperan aktif secara fisiologis, tetapi merupakan indikator penting
pada penyakit hati dan empedu karena mewarnai jaringan.
Penumpukan pigmen empedu pada kulit atau sklera menyebabkan perubahan warna
menjadi kuning yang disebut ikterus atau jaundice. Bilirubin adalah suatu pigmen empedu
yang merupakan produk akhir degradasi eritrosit tua oleh monosit-makrofag. Bilirubin serum
total normal adalah sekitar 1 mg/dl secara kasar separuhnya tak terkonjugasi dan sseparuh
lainnya terkonjugasi. Bila bilirubin serum melebihi 3 mg/dl dapat terlihat icterus
Rangkuman langkah metabolisme bilirubin memungkinkan pemahaman mekanisme
patofisiologi yang menyebabkan ikterus. Metabolisme bilirubin normal terjadi dalam
beberapa langkah berikut ini :
Heme (dari hemoglobin) diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi (terutama dalam
limpa). Penyakit hemolitik menyebabkan produksi bilirubin berlebihan yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus hemolitik seperti anemia
sel sabit atau kemikterus pada bayi seperti pada eritroblastosis fetalis
Bilirubin tak terkonjugasi yang dibawa ke hepar berkaitan dengan albumin (karenalarut
lemak tetapi tidak larut air). Pengikatan kompetitif oleh obat dapat menyebabkan icterus
Ambilan protein karier (Y dan Z) hepatik bilirubin tak terkonjugasi setelah disosiasi dan
albumin, ambilan bilirubin tak terkonjugasi terganggu oleh beberapa obat
Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat (dikatalisis oleh glukuronik transferase)
untuk menghasilkan bilirubin glukuronida, yang menjadi larut dalam air dan dapat
diekskresi, gangguan konjugasi dapat terjadi bila terdapat defisiensi enzim glukuronil
transferase seperti pada ikterus neonatal transien, sindrom Gilbert atau sindrom Crigler-
Najar tipe I dan II. Fototerapi dapat mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bentuk
terkonjugasi larut-air yang dapat diekskresi pada pengobatan ikterus neonatal trasien
Ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam kanalikulus empedu, penyakithepatoselular
seperti hepatitis, sirosis atau kolestasisintrahepatik dapat mengganggu ekskresi yang
terutama menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi, urine gelap dan tinja berwarna
seperti dempul
Pasaase bilirubin terkonjugasi ke bawah cabang biliaris, kolestasis ekstrahepatik (ikterus
obstruktif), metastasis hati, batu empedu, atau struktur duktus biliaris ekstrahepatik dan
kanker kaput pankreas dapat menyebabkan icterus
Reduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus
Sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen
Ekskresi urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi dalam ginjal.

Hepatitis virus telah dibagi menjadi enam kategori mulai dari Hepatitis A sampai G.
Hepatitis F (kemungkinan agen penyebab ketujuh) ada dalam tata nama namun
keberadaannya sebagai virus hepatitis masih diperdebatkan. Hepatitis G tidak dianggap
patogenik.
Infeksi HAV umumnya adalah penyakit swasima yang tidak menyebabkan hepatitis
kronis atau keadaan karier dan hanya menyebabkan hepatitis fulminan. HAV ditularkan
terutama melalui rute fekaioral dan paliing sering terjadi di lingkungan institusional (mis
penjara, agen perawatan bayi) dan bersifat endemik di negara bersanitasi buruk atau higiene
substandar. Penanda serologi infeksi akut yang dapat dipercaya adalah IgM anti-HAV, IgG
anti-HAV menunjukkan adanya imunitas. Vaksin HAV kini telah tersedia.
HBV adalah virus DNA berselubung ganda dengan lapisan permukaan (HbsAg), regia
prainti (HbeAg) dan inti bagian dalam (HbcAg). HBV adalah infeksi yang lebih serius dengan
keadaan karier dan dapat menyebabkan hepatitis kronis yang berakhir menjadi sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Infeksi HBV terutama ditularkan melalui rute parenteral dan kontak
fisik dekat (terutama kontak seksual). Kelompok berisiko tinggi adalah pemakai obat IV, laki-
laki homoseksual, bayi dari ibu terinfeksi dan pekerja perawatan kesehatan (terutama mereka
yang sering kontak dengan darah). Penanda serologi infeksi akut yang terpercaya adalah DNA
HbsAg, HbeAg atau HBV. Keadaan karier ditunjukkan dengan adanya HbsAg serum lebih
dari 6 bulan setelah infeksi awal. Infeksi HBV kronis ditunjukkan dengan adanya DNA
HbsAg, HbeAg dan HBV biasanya dengan anti HBc. Imuntas diindikasikan melalui IgG anti
HBs (setelah sembuh dan infeksi atau vaksinasi). Kini telah tersedia vaksin HBV.
Cara penularan infeksi HCV sama dengan cara penularan HBV dan dahulu merupakan
penyebab sebagian besar infeksi melalui tranfusi darah tetapi sekarang tidak lagi menjadi
masalah utama karena semua darah menjalani pemeriksaan sebelum transfusi. Hepatitis kronis
terjadi pada 80% orang yang terinfeksi HVC, 50% di antaranya berkembang menjadi sirosis.
Infeksi HCV juga merupakan faktor predisposisi kuat untuk terjadinya karsinoma
hepatoselular. RNA HCV terdapat pada infeksi akut dan infeksi kronis. Peningkatan episodik
serum trasaminase terjadi bersamaan dengan infeksi kronis. Keadaan karier dapat dijumpai
dan terdapat pada 1sampai 6% penyumbang darah sukarela.
Infeksi HDV tidak terjadi secarra tersendiri tetapi selalu terjadi bersama dengan infeksi
HBV sebagai koinfeksi atau superinfeksi. Cara penularannya serupa dengan HBV. Infeksi
HBV dan HDV yang terjadi secara bersamaan meningkatkan risiko terjadinya hepatitis
fulminan yang fatal atau infeksi kronik. RNA HDV menunjukkan adanya infeksi akut atau
IgM anti-HDV (pajanan yang terakhir kali).
Infeksi HEV jarang terjadi di Amerika Serikat tetapi sering terjadi di Asia, India dan
Afrika Sub-Sahara. Penularan terutama terjadi melalui rute fekal-oral dan melalui air yang
terkontaminasi. Ciri khas infeksi HEV adalah penyebab 20% angka mortalitas di antara
perempuan hamil.
Sirosis adalah penyakit haati kronis yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati normal
(fibrosis dan nodul sel hati menggantikan parenkim normal) dan hilangnya fungsi. Istilah
sirosis sinonim dengan penyakit atau kegagaalan hati stadium akhir, penyakit ini bersifat
reversibel dan tidak dapat disembuhkan kecuali dengan transplantasi hati. Sirosis merupakan
salah satu penyebab utama kematian di dunia Barat.
Penyebab sirosis yang terpenting adalah alkoholisme kronis (sirosis Laennec), hepatitis
virus (sirosis postnekrotik, terutama dengan infeksi HCV atau HBV) dan penyakit biliar
(sirosis biliar). Tanpa melihat penyebab, manifestasi klinis sirosis pada stadium akhir
kebaanyakan sama dan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu kegagalan hepatoselular dan
hipertensi porta.
Manifestasi kegagalan hepatoselular pada sirosis adalah semua hal yang berkaitan dengan
kegagalan sel hati yang tersisa untuk melakukan fungsi normalnya yang mencakup
Ikterus (akibat menurunnya kemampuan sel hati untuk mengonjugasi dan mengekskresi
bilirubin
Ganggguan endokrin seperti angioma spider, eritema palmaris, gnekomastia, alopesia
pektoralis, dan atrofi testis ( akibat kegagalan sel hati untuk menginaktivasi estrogen)
Gangguan hematologi seperti trombositopenia, leukopenia, anemia (akibat
hipersplenisme) dan kecenderungan perdarahan (akibat menurunnya produksi faktor
pembekuan
Edema perifer yang terkait dengan hipoalbuminemia
Fetor hepatikum (bau manis saat bernapas akibat kegagalan hati memetabolisme
metionin)
Gangguan metabolisme seperti hipokalemia, hiponatremia, hipoalbuminemia dan
hiperamonemia serta
Ensepalopati hepatikum atau koma hepatikum (suatu sindrom neuropsikiatri yang
berhubungan dengan kadar NH3, serum yang tinggi) sering merupakan keadaan terminal.
Manifestasi hipertensi portal pada sirosis disebabkan oleh meningkatnya resistensi
terhadap aliran melalui hati yang sangat fibrotik yang menyebabkan hipertensi porta dan
kembalinya darah ke vena cava melalui jalur kolateral (anastomosis portakava).
Manifestasi ini mencakup (1) asites atau penimbunan cairan dalam rongga peritoneum (2)
varises esofagus yang dapat menyebabkan perdarahan fatal (3) splenomegali yang disebabkan
oleh kongesti pasif kronis (4) kaput medusa (vena berdilatasi di sekitar umbilikus) yang
disebabkan oleh aliran kolateral melalui vena superfisial dinding abdomen dan (5) hemoroid
yang disebabkan oleh aliran kolateral melalui vena rektal yang berhubungan dengan vena
mesenterika dan vena porta
Perdarahan GI merupakan faktor pencetus utama penyebab ensefalopati hepatis. NH3
dihasilkan oleh kerja bakteri usus pada protein darah, yang memintas hati karena adanya pirau
atau gagal dimetabolisme menjadi urea sehingga dapat diekskresi dalam urine karena
kegagalan sel hati. Neomisim atau laktulosa merupakan obat yang menurunkan absorpsi NH3
untuk mencegah terjadinya ensefalopati hepatis
Asites merupakan manifestasi kardinal (utama) sirosis dan beberapa bentuk penyakit hati
lain. Beberapa faktor yang terlibat dalam patogeneesis asites pada sirosis hati (1) hipertensi
porta (2) hipoalbuminemia (3) peningkatan produksi dan aliran limfe hati (4) retensi natrium
dan (5) gangguan ekskresi air. Mekanisme utama untuk menginduksi hipertensi porta adalah
resistensi terhadap aliran darah melalui hati
Dua jenis penyakit yang paling sering terjadi pada cabang biliaris adalah pembentukan
batu (kolelitiasis) dan peradangan kronis yang disebabkannya (kolelitiasis). Batu empedu
secara esensial mempresipitasi salah satu komponen empedu, kolesterol, bilirubin, garam
empedu, kalsium, protein, asam lemak dan fosfolipid.

Pankreas
Pankreatitis akut dicirikan dengan nyeri epigastrium berat kontinu yang menjalar ke
punggung akibat peradangan dan nekrosis enzimatik pankreas. Dapat terjadi syok dengan
derajat yang bervariasi, takikardia, leukositosis dan demam. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan adanya peningkatan kadar amilase serum. Dua penyebab utama pankreatitis akut
adalah alkoholisme dan penyakit saluran empedu. Sebagian besar ahli setuju bahwa
mekanisme patogenik yang umum adalah autodigesti yaitu aktivasi enzim digesti pankreatik
dalam pankreas itu sendiri yang menyebabkan digesti jaringan pankreatik. Komplikasi
pankreatitis akut mencakup abses pankreas (pengumpulan produk nekrotik dan sekretorik
cair dalam kantung omentum minus).
Destruksi progresif dan penggantian pankreas dengan jaringan fibrosis menandakan
pankreatitis kronik. Gejala dan tanda mencakup episode nyeri akut berulang (sering
dicetuskan oleh ingesti alkohol), steatorea, malabsorpsi, berat badan menurun dan diabetes
mellitus. Kanker pankreas adalah pnyebab utama kematian kelima akibat kanker di Amerika
Serikat. Kanker primer pada hati dan kandung empedu jarang terjadi di Amerika Serikat,
tetapi metastasis sering terjadi pada hati.
Asuhan Keperawatan Anak Dengan Sakit Diare

Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
Pengkajian keperawatan merupakan dasar pemikiran dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap, dan sistematis sesuai
dengan fakta atau kondisi yang ada pada klien sangat penting untuk merumuskan suatu
diagnosa keperawatan dan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respon
individu ( Olfah & Ghofur, 2016 ).
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung aktual maupun
potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada kasus diare menurut Nuraarif & Kusuma (2015) dan
PPNI (2017) sebagai berikut:
Gangguan pertukaran gas
Diare
Hipovolemi
Gangguan integritas kulit
Defisit nutrisi
Risiko syok
Ansietas
Intervensi Keperawatan
Menurut PPNI (2018) Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan
oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan PPNI (2019). Adapun intervensi yang sesuai dengan penyakit
diare adalah sebagai berikut :
Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pertukaran gas pasien
meningkat dengan kriteria hasil :
Pola nafas membaik
Warna kulit membaik
Sianosis membaik
Takikardia membaik
Intervensi
Obsevasi
Monitor frekuensi,irama,dan kedalaman upaya nafas
Monitor pola nafas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai analisa gas darah
Terapeutik

Dokumentasikan hasil pemantauan


Edukasi

Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Kolaborasi
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat


Diare b.d fisiologis ( proses infeksi )
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan eliminasi fekal pasien
membaik dengan kriteria hasil :
Konsistensi feses meningkat
Frekuensi defekasi/bab meningkat
Peristaltik usus meningkat
Kontrol pengeluaran feses meningkat
Nyeri abdomen menurun
Intervensi
Observasi
Identifiksi penyebab diare
Identifikasi riwayat pemberian makan
Identifikasi gejala invaginasi
Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
Monitor jumlah pengeluaran diare
Terapeutik

Berikan asupan cairan oral (oralit)


Pasang jalur intravena
Berikan cairan intravena
Ambil sample darah untuk pemeriksaan darah lengkap
Ambil sample feses untuk kultur, jik perlu.
Edukasi

Anjurkan manghindari makanan pembentuk gas, pedas, dan mengandung laktosa


Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
Hipovolemi b.d kehilangan cairan aktif
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan status cairan pasien
membaik dengan kriteria hasil :
Turgor kulit membaik
Frekuensi nadi membaik
Tekanan darah membaik
Membrane mukosa membaik
Intake cairan membaik
Output urine meningkat
Intervensi
Obsevasi
Periksa tanda dan gejala hypovolemia ( missal frekuensi nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,
membrane mukosa kering, volume urin menurun,haus,lemah).
Monitor intake dan output cairan
Terapeutik

Hitung kebutuhan cairan


Berikan asupan cairan oral
Edukasi

Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral


Anjurkan menghidari posisi mendadak
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian cairan isotonis (Nacl.RL)


Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 20 ml/kg bb untuk anak.
Gangguan integritas kulit b.d ekskresi/BAB sering
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan integritas kulit dan
jaringan meningkat dengan
kriteria hasil :
Kerusakan lapisan kulit menurun
Nyeri menurun
Kemerahan menurun
Tekstur membaik
Intervensi
Observasi
Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik

Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring


Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
Gunakan petroleum berbahan petroleum atau minyak pada kulit kering
Edukasi

Anjurkan menggunakan pelembab


Anjurkan minum air yang cukup
Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat topical


Defisit nutrisi b.d penurunan intake makanan
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan status nutrisi pasien
membaik dengan kriteria hasil :
Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
Diare menurun
Frekuensi makan membaik
Nafsu makan membaik
Bising usus membaik
Intervensi
Observasi
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Identifikasi makanan yang disukai
Identifikasi keburuhan kalori dan nutrisi
Monitor asupan makanan
Monitor berat badan
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik

Berikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai


Berikan makanan tinggi kalori dan protein
Edukasi
Anjurkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi

Kolaborasi dengn ahli gizi untuk menetukan jumlh kalori dan jenis nutsisi yang
dibutuhkan jika perlu.
Kolaborasi pemberian obat antimetik jika perlu.
Risiko Syok
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tingkat syok pasien
menurun dengan kriteria hasil :
Kekuatan nadi meningkat
Output urine meningkat
Frekuensi nafas membaik
Tingkat kesadaran meningkat
Tekanan darah sistolik,diastolic membaik
Intervensi
Observasi
Monitor status kardiopulmonal
Monitor frekuensi nafas
Monitor status oksigenasi
Monitor status cairan
Monitor tingkat kesdaran dan respon pupil
Monitor jumlah,warna,dan berat jenis urine
Terapeutik

Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen


>94%
Pasang jalur IV, jika perlu
Edukasi

Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


Jelaskan penyebab/factor risiko syok
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
Ansietas b.d perubahan status kesehatan
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan tingkat ansietas pasien
menurun dengan kriteria hasil :
Perilaku gelisah menurun
Perilaku tegang menurun
Frekuensi pernapasan menurun
Pucat menurun
Kontak mata membaik
Intervensi
Obsevasi
Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
Monitor tanda-tanda ansietas
Terapeutik

Ciptakan suasana terapeutik untuk mengurangi kecemasan


Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
Gunakan nada suara lemah lembut dengan irama lambat
Edukasi

Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan


Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian obat antiansietas jika perlu

Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah di
tetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksaan tindakan, serta menilai data yang
baru. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keperawatan antara lain:
Kemampuan intelektual, teknikal, dan interpersonal.
Kemampuan menilai data baru.
Kreativitas dan inovasi dalam membuat modifikasi rencana tindakan.
Penyesuaian selama berinteraksi dengan klien.
Kemampuan mengambil keputusan dalam memodifikasi pelaksanaan.
Kemampuan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan serta efektivitas tindakan.

Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang
berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu
pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan
tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah
tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan tujuan yaitu
pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi dan tanda gejala yang
spesifik ( Olfah & Ghofur, 2016).

Asuhan Keperawatan Anak dengan Sakit Thypoid Fever

Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Semua data dikumpulkan
secara sistematis guna menentukkan status kesehatan klien saat ini. Pengkajian harus
dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, fisikologis, sosial, maupun
sepiritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data
dasar klien. pengkajian dilakukan saat klien masuk instansi layanan kesehatan. Data yang
diperoleh sangat berguna untuk menentukan tahap selanjutnya dalam proses keperawatan.
Kegiatan yang utama dalam tahap pengkajian adalah penggumpulan data, pengelompokkan
data, dan analisa data untuk merumuskan diagnosa keperawatan. Metode utama yang dapat
digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik
serta diagnostik (Asmadi, 2008).
Pengumpulan data
Identitas
Nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, No. Medrec, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, ruangan dan diagnosa medis.
Biodata orang tua
Nama ayah, ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, agama, alamat,
hubungan dengan anak (kandung atau adopsi).
Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan masa lalu
Keluhan utama yang biasa terjadi pada anak dengan demam thypoid, yaitu terjadinya
demam atau peningkatan suhu tubuh terjadi pada hari ke-3 munggu pertama, suhu
berangsur-angsur naik setiap hari pada agi hari dan meningkat pada sore hari dan
malam hari, nafsu makan menurun, bibir kering dan pecah-pecah, ujg ldah kotor dan
tepinya kemerahan, pada minggu kedua anak terus dalam keadaan demam, pada
minggu ketiga suhu berangusrangsur turun dan normal kembal.
Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit yang pernah diderita yang berkaitan dengan penyakit sekarang atau
pernah kontak dengan penyakit demam thypoid sebelumnya.
Riwayat pemberian imunisasi: kelengkapan anak terhadap penyakit imunisasi yang
diberikan pada usia 0-14 bulan.
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga kemungkinan didapati salah satu angota keluarga yang
pernah menderita demam thypoid yang dapat menularkan atau sebagai carier melalui
feses atau urin dan makanan yang terkontaminasi oleh tangan penderita sehingga
secara tiak lasung keluarga dapat terinfeksi.
Riwayat imunisasi
Kelengkapan anak terhadap penyakit imunisasi yang diberikan pada usia 0-14 bulan
dengan macam-macam imunisasi yaitu: hepatitis, BCG, BPT 1, 2. 3, polio dan
campak.
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Dilihat apakah pada penderita demam thypoid terjadinya muntah, diare, demam,
tidak nafsu makan, lidak yang khas (lidah putih kotor pada pertengahan lidah dan
ujung yanng hiperemisis) dan suhu tubuh yang meningkat.
Palpasi
Diraba apakah kulit teraba halus dan lembab, pada bagian abdomen kembung dan
terasa tegang, nyeri perut pada bagian kanan atas.
Auskultasi
Frekunsi usu dapat melemah atau meningkat.
Perkusi
Kadang ditemukan adanya distensi abdomen.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaa darah perifer lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leiksitosis atau kadar leukosit normal.
Eukstosis dapat terjadi walupun tanpa dsertai infeksi sekunder.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.
Pemeriksaan uji widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri salmonella
typhi. Uji wial dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita demam thypoid. Akibat adanya infeksi oleh salmonella typhi maka
penderita membuat antibodi (aglutinin).
Kultur
Kultur darah: hasil bisa positif pada minggu I.
Kultur urin: hasil bisa menujukka positif pada akhir minggu kedua. Kultur feses:
hasil bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga.
Anti salmonella typhi Igm
Pemerksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut salmonella
typhi, karena antibodi IgM muncul pada hari ke-3 an ke-4 terjadinya demam.

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat profesional yang
memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien, baik aktual maupun
potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data hasil pengkajian.
Pernyataan diagnosis keperawatan harus jelas, singkat dan lugas terkait masalah kesehatan
klien berikut penyebabnya yang dapat diatasi melalui tindakan keperawatan. Diagnosa
keperawatan berfungsi untuk mengidentifikasi, memfokuskan, dan memecahkan masalah
klien secara spesifik. Komponen-komponen dalam pernyataan diagnosis keperawatan
meliputi masalah (problem), penyebab (etiology), dan data (sign and symptom) (Asmadi,
2008).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada anak dengan demam thypoid menurut
Suriadi (2010) adalah sebagai berikut:
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Peruahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berubungan dengan tidak ada nafsu makan,
mual dan kembung.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan
peningkatan sushu tubuh.
Perubaan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total.

Perencanaan keperawatan
Perencanaan adalah proses keperawatan yang penuh pertimbangan, sistemmatis,
mencakup pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah. Dalam perencanaan perawat
merujuk pada data pengkajian klien dan pernyataan diagnosis sebagai petunjuk dalam
merumuskan tujuan klien dan merencanakan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk
mencegah, mengurangi, atau menghilangkan masalah kesehatan klien. intervensi
keperawatan adalah setiap tindakan berdasarkan penilaian klinis dan pengetahuan yang
perawat lakukan untuk meningkatkan hasil pada klien ( Kozier, Erb, Bermain, & Snyder,
2010).
Tiga komponen umum yang harus ada dalam sebuah rencana asuhan keperawatan adalah
sebagai berikut. Diagnosa keperawatan atau masalah yang diprioritaskan, kriteria hasil yaitu
apa hasil yang diharapkan dan kapan ingun mengetahui hasil yang diharapkan tersebut,
intervensi yaitu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan atau kriteria hasil.
Adapun intervensi yang dilaukan setiap diagnsa keperawatan pada anak dengan demam
thypoid menurut Suriadi (2010) adalah sebagai berikut:
Diagnosa I : hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : Mempertahankan suhu dalam batas normal.
Kriteria hasil : Klien menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermi.
Observasi suhu, nadi tekanan darah dan pernafasan.
Berikan kompres air biasa.
Beri minum yang cukup.
Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.
Pemberia obat antipireksia.
Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat.
Diagnosa I : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
ada nafsu makan, mual dan kembung.
Tujuan : Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.
Kriteria hasil : Kebutuhan nutrisi pada klien dapat terpenuhi.
Intervensi:
Menilai status nutrisi anak.
Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak.
Rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera anak meningkat.
Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi untuk
meningkatkan kualitas intake nutrisi.
Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil
tapi sering.
Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan teknik porsi kecil
tetapi sering.
Mempertahankan kebersihan mulut anak
Menjelakan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyebuhan.
Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui perentral jika pemberian makanan melalui
oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak.
Dagnosa III: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan: Kebutuhan cairan klien dapat terpenuhi
Kriteria hasil: Mencegah kurangnya volume cairan.
Intervensi:
Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) palling sedikit setiap empat jam.
Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor kulit tidak elastis ubun
ubun cair produksi urin minimal, memberan mukosa kering bibir pecah-pecah.
Mengobservasi dan mencatat intake dan output dan mempertahankan intake dan output
yang adekuat.
Monitor dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan skala yang sama
Monitor kehilangan ciran yang tidak terlihat (insensible waer loss/ iwl) dengan
memberikan kompres dingin atau dengan terapi sponge.
Memberikan antibiotik sesuai program
Diagnosa IV: Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Tujuan: Mempertahankan fungsi persepsi sensori
Kriteria hasil: Klien tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran yang lebih
lanjut.
Intervensi:
Kaji status neorologis
Istirahatkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil
Hindai aktivitas berlebihan 4) Pantau tanda-tanda vital.
Diagnosa V: Kurang pengetahuan diri berhubungan dengan istirahat total.
Tujuan: Kebutuhan perawatan diri terpenuhi
Kriteria hasil: Klien dapat melakukan aktivitas sesui dengan kondisi fisik dan tingkat
kembang anak.
Intervensi:
Mengkaji aktivitas yang dapat dulakukan anak sesuai dengan tugas perkembangan anak.
Menjelaskan kepada anak dan keluarga aktivitas yang dapat dan tidak dapat dilakukan
hingga demam berangsur angsur turun
Membantu memenuhi kebutuhan dasar anak.
Penatalaksanaan Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan intervensi keperawatan.
Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumetasikan tindakan yang merupakan
tindakkan perawatan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan intervensi. Perawat
melakukan tindakan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan dan kemudian
mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan respon klien
terhadap tindakan tersebut ( Kozier, Erb, Bermain, & Snyder, 2010).
Tujuan dari implementasi adalah:
Membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Mencakup peningkatan kesehatan.
Mencakup pencegahan penyakit.
Mencakup pemulihan kesehatan.
Memfasilitasi koping klien.
Adapun prinsip-prinsip implementasi pada tiap-tiap diagnosa adalah sebagai berikut:

Mencegah terjadinya peningkatan suhu tubuh.


Mempertahankan status nutrisi.
Mempertahankan suatu dehidrasi anak.
Mempertahankan fungsi persepsi sensori.
Membantu kebutuhan perawatan diri anak.

Evaluasi Keperawatan
Menurut Asmadi (2008). Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandinggan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dari evaluasi
dilakukan adalah untuk melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan,
menentukkan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum, mengkaji penyebab bila
tujuan asuhan keperawata belum tercapai. Evaluasi dibagi mencadi 2 jenis yaitu:
Evaluasi Formatif (proses)
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan untuk menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal
dengan istilah SOAP, yaitu subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data hasil
pemeriksaan), analisa data (pembandingan data dengan teori), dan perencanaan.
Evaluasi Sumatif (akhir)
Evalasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses
keperawatan dilakukan, sesuai dengan waktu yang telah diteteapkan dalam tujuan untuk
dapat menilai bahwa tujuan itu tercapai.
Masalah sebagian tercapai atau belum tercapai dapat dibuktikan dari hasil prilaku klien.
Ada tiga hasil evaluasi yang terkait dengan pencapain tujuan yaitu :

Tujuan tercapai
Masalah tercapai apabila klien menunjukkan perubahan sesuai dengan waktu atau
tanggal yang telah ditentukkan sesuai dengan pernyataan tujuan.
Tujuan tercapai sebagian
Masalah tercapai sebagian apabila klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria
yang sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan.
Tujuan tidak tercapai
Masalah tidak tercapau apabila klien hanya meunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada
kemajuan sama sekali yang diharapkan atau tidak sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Adapun evaluasi pada anak dengan demam thypoid adalah sebagai berikut:

Suhu dalam batas normal.


Status nutrisi adekuat.
Defisit cairan dalam batas normal.
Perubahan persepsi sensori tidak terjadi.
Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
Dampak Hypoid Fever dan Diare Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Manusia (Dalam Konteks Keluarga)

Kebutuhan Nutrisi
Anak penderita demam thypoid dan diare biasanya mengalami gangguan pada nutrisi
karena adanya rasa mual, muntah, dan tidak nafsu makan sehingga menyebabkan
menurunnya berat badan.
Kebutuhan eliminasi
Kebutuhan eleminasi pada penderita demam thypoid mengalami gangguan dalam
pola eleminasi defekasi. Pada minggu pertama biasanya akan terjadi diare, sedangkan
pada minggu kedua akan terjadi konstipasi.
Kebutuhan istirahat dan tidur
Kebutuhan istirahat dan tidur pada minggu pertama, penderita demam thypoid dan
diare cenderung mengalami susah untuk tidur terutama pada malam hari berhubungan
dengan adanya peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada sore hari dan malam hari.
Kebutuhan aktifitas
Kebutuhan aktifitas penderita demam thypoid dan diare akan terganggu dikarenakan
pada anak dengan deman thypoid dan diare akut harus mengalami istirahat total.
Kebutuhan hygine
Kebutuhan hygine pada anak dengan demam thypoid dan diare umumnya mengalami kelemahan
dan harus istirahat total maka dalam hal ini kebutuhan personal hygine memerlukan bantuan.

Anda mungkin juga menyukai