Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

AKALASIA ESOPHAGUS

DISUSUN OLEH : Moh. Rezza Rizaldi

PEMBIMBING :
dr. Ratna Wilian

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PROGRAM INTERNSHIP


BAGIAN JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
RSM SITI KHODIJAH GURAH
KEDIRI
2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
"AKALASIA ESOPHAGUS"

Disusun oleh:
Moh. Rezza Rizaldi
G4A016047

Telah dipresentasikan pada tanggal


03 Agustus 2022

Pembimbing,

dr. Ratna Willian

2
Laporan Kasus
Bab I
Pendahuluan
Penyakit Akalasia merupakan penyakit yang relatif jarang dijumpai. Penyakit ini dapat
terjadi pada semua umur, namun puncak insidensi penyakit akalasia ini terjadi pada umur 60-70
tahun. Tetapi sebagian besar kasus akalasia terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan
jenis kelamin yang hampir sama. Sejak tahun 1995- 2008 telah di indentifikasi sebanyak 463
kasus menyerang pada laki-laki sebanyak 59,6%. Pada tahun 2007, insiden akalasia adalah 1.63/
100.00 dan prevalensi itu bertambah menjadi 10.82/100 (Sadowski, 2010).
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula diduga
penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang
ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer
melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan
dengan cara kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang. Namun,
Penyebab dari achalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab
akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang
diwariskan (genetik), sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus
(penyakit autoimun), dan proses penuaan (proses degeneratif). (Bakry, 2009)
Walaupun penyakit ini jarang terjadi, komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini
mengancam nyawa seperti pneumonia aspirasi, obstruksi saluran pernapasan,, perforasi esofagus,
kanker esofagus, sampai sudden death. Sehingga penting untuk mengetahui penegakan diagnosis
Akalasia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi
dan pemeriksaan manometrik. Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi
peristaltik esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi yang diberikan pada akalasia antara
lain adalah medikasi oral sampai pada pembedahan (esofagomiotomi). Evaluasi keberhasilan
terapi idealnya dengan menggunakan manometer yang merupakan goal standar penyakit
akalasia. (Nogreanu, 2010, Woodfield, 2000)

3
Bab II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis, dan Dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berasal dari bahasa Yunani, a berarti tidak,
chalasis berarti mengendur, sehingga arti seutuhnya adalah “tidak bisa mengendur” dan
merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara
esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat
kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini
menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita
akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh
substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. (Sjamsuhidajat, 2005, Bakry, 2006)

B. Anatomi Fisiologi normal Esofagus


Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan hipofaring dengan
lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang
paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea
kira-kira setinggi vertebra servikal VI. Dari batas tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian
yaitu, pars cervical, pars thoracal dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di
orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI (Moore, 2005).
Esofagus memiliki penyempitan pada tiga tempat:
a. Penyempitan cervical, pada permulaan bagiannya pada pharyngoesophageal junction,
kira-kira 15 cm dari gigi seri, disebabkan oleh otot cricopharyngeus, dikenal secara klinis
sebagai sphincter esophageal superior.
b. Penyempitan thoracal atau penyempitan bronkoaortik. Penyempitan pada daerah ini
terletak pada daerah yang bersilangan dengan arcus aorta, 22,5cm dari gigi seri, dan pada
daerah yang bersilangan dengan bronkus primer sinistra, 27,5 cm dari gigi seri.
c. Penyempitan diafragmatika, pada bagian yang melewati hiatus esofagus pada diafragma,
40 cm dari gigi seri.

4
Perhatian pada tiga penyempitan ini diperlukan dalam menilai pasien yang memiliki
keluhan kesulitan menelan (Moore, 2005).
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a. Mukosa yang merupakan epitel skuamosa,
b. Submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat
dari dinding esofagus,
c. Lapisan otot yang terdiri dari otot sirkuler di bagian dalam dan otot longitudinal bagian
luar. Otot longitudinal bagian luar pada 1/3 bagian atas dari esofagus merupakan otot
skelet, 1/3 bagian bawahnya merupakan otot polos, dan 1/3 bagian tengah terdiri dari otot
skelet dan otot polos.
Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan trunkus
tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus dan cabang dari a.
bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus menerima darah dari a.
phrenicus inferior, dan bagian yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a. gastrica
sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid
inferior, v. azygos, dan v. gastrica.
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara
otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus. Esofagus mempunyai 3 bagian
fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas),
suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan
tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama
esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan
dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang
ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu
cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter
atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk
kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi
pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan
esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter
berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang

5
disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam
lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan
membuka dan makanan masuk ke dalam lambung. (Moore, 2005).

C. Anatomi esofagus pada achalasia (patologis)


Dasar penyebab achalasia adalah kegagalan koordinasi relaksasi esofagus bagian
distal disertai peristalsis esofagus yang tidak efektif berdilatasi. Kelainan diketahui terletak
pada persarafan simpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam plexus Auerbach yang juga
disebut plexus Mienterikus. Segmen esofagus di atas sphingter esofagogaster yang
panjangnya berkisar antara 2 – 8 cm menyempit dan tidak mampu berelaksasi. Esofagus
bagian proksimal dari penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan perpanjangan sehingga
akhirnya menjadi megaesofagus. (Sjamsuhidajat, 2005).

D. Patofisiologi
Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional yaitu sfingter
esofagus bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah refluks makanan dari
korpus esofagus ke tenggorokan. Bagian kedua yang terbesar adalah korpus esofagus yang
berupa tabung muskularis dengan panjang 20 cm, sedangkan bagian yang terakhir adalah
esofagus bagian bawah (SEB) yang mencegah makanan dan asam lambung dari gaster ke
korpus esofagus. (Bakry. 2009)
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter
perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti
nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal peptide (VIP). (Bakry. 2009)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter esofagus
bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna.
Beberapa penulis menyebutkan adanya hubungan antara kenaikan SEB dengan
sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan
tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat
sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.

6
Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam
keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat
masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di
esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan
residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung. (Bakry. 2009)
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan dilatasi ⅔
bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltik
sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan melewati SEB. Dengan
berkembangnya penelitian ke arah motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas
esofagus secara manometrik pada keadaan normal dan akalasia. (Bakry, 2009)
Mekanisme lain terjadinya akalasia dapat juga karena penurunan neuron NCNA
intramural serta pengurangan reaktivitas neuron ini terhadap asetilkolin yang dilepaskan di
praganglion. Akibat dari kelainan ini pasien dengan akalasia memiliki tekanan istirahat yang
sangat meningkat pada sfingter esofagus bagian bawah, relaksassi reseptif meuncul
terlambat, dan yang paling penting, terlalu lemah sehingga lama fase refleks tekanan dalam
sfingter jauh lebih tinggi daripada di lambung. Selain itu, penjalaran gelombang peristaltik
terhenti. Jadi gejala akalasia berupa disfagia (kesulitan menelan), regurgitasi makanan
(bukan muntah), nyeri retrosternal dan penurunan berat badan. Komplikasi akalasia yang
berbahaya adalah esofagitis dan pneumonia, disebabkan oleh aspirasi isi esofagus
(mengandung bakteri). (Siberbagl, 2006)

7
Bagan 1. Patofisiologi akalasia.

E. Etiologi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada penyakit Chagas,
penyebabnya telah diketahui. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel
ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan
bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah
kemungkinan penyebab dari akalasia.
1. Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah mendukung bahwa
akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik. Kemungkinan ini berkisar antara
1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia, tuberculosis
dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat toksik (gas
kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi saluran
pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropflc
sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu-

8
satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa
yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak perubahan patologi yang
terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga,
pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella zoster pada
pasien akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber. Pertama, respon
inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh limfosit T yang diketahui
berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang
diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus
akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.
4. Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan proses
penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit Parkinson dan
depresi.

F. Tanda dan Gejala Klinis


Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis,
gambaran radiologis, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara
tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung
sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih mudah ditelan daripada makan
makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi
terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan
pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Pada
stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat
menyerupai serangan angina pectoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya.

9
5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat
komplikasi dari retensi makanan. Pemeriksaan Radiologik Pada foto polos toraks tidak
menampakkan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian atas dari gaster, dapat
juga menunjukkan gambaran air fluid level pada sebelah posterior mediastinum.
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada
daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta
gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang
menyerupai bird-beak like appearance. (Woodfield. 2000)

G. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis akalasia selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
paripurna perlu dilakukan juga pemeriksaan penunjang yang meliputi radiologis
(esofagogram), endoskopi saluran cerna atas (SCBA), dan manometri. (Woodfield. 2000)

a. Radiologi
Foto polos pada radiologi akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas
mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas
cairan dan udara. Keadaan ini akan didapatkan pada stadium lanjut. Pemeriksaan
fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi esophagus. Radiologis dengan bubur barium
pada akalasia berat akan terlihat adanya dilatasi esophagus akibat penumpukan barium di
bagian proksimal dan terlihat penyempitan di bagian distal membentuk paruh burung.
Selain itu didapatkan pula pemanjangan waktu transit makanan ke dalam gaster akibat
gangguan pengosongan esophagus. (Woodfield. 2000)

10
Gambar 1. Akalasia primer (kiri), tampak lumen distal esophagus mengalami
penyempitan dan akalasia sekunder (kanan), tampak lumen distal dan proksimal
esophagus mengalami penyempitan.
b. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
Pemeriksaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas adalah untuk melihat mukosa
bagian dalam esophagus dan melihat adanya penyempitan lumen esophagus. Pada
kebanyakan pasien akan didapatkan mukosa normal kadang-kadang didapat hyperemia
ringan difus pada bagian distal esophagus. Juga dapat ditemukan gambaran bercak putih
pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Bila ditiupkan udara akan
menampakkan kontraksi esophagus distal. Endoskop akan terasa sulit mencapai gaster,
apabila endoskop tidak bisa mencapai gaster maka perlu dipertimbangkan adanya
keganasan atau striktur jinak. Evaluasi daerah cardia gaster juga perlu untuk
menyingkirkan akalasia sekunder akibat kanker. (Woodfield. 2000)
Pemeriksaan endoskopi perlu didahului dengan kumbah esophagus dengan
memakai kanul besar, tujuannya adalah untuk membersihkan makanan padat atau cair
yang terdapat dalam esophagus meskipun pasien sudah dipuasakan dalam waktu yang
cukup lama. (Woodfield. 2000)
c. Manometri
Pemeriksaan manometrik esophagus penting untuk konfirmasi diagnostic.
Karakteristik yang dapat ditemukan dalam manometrik esophagus antara lain:
1. Tonus sphingter esophagus bagian bawah (SEB) meningkat > 26 mmHg atau > 30
mmHg, normalnya tekanan SEB <10 mmHg dengan relaksasi normal.
2. Relaksasi sphingter tidak sempurna waktu menelan.
3. Aperistaltik esophagus, normalnya adalah 50-110 mmHg pada bagian distal.
4. Tekanan korpus esophagus pada keadaan istirahat lebih tinggi daripada tekanan
gaster, normalnya lebih rendah. (Woodfield. 2000)

H. Terapi
1. Terapi farmakologi
Terapi secara farmakologis bertujuan untuk menurunkan tekanan sphingter bawah
esofagus (LES) dengan menggunakan pelemas otot, seperti Ca Channel Blocker

11
(nifedipin 10-30mg sublingual 30-45 menit sebelum makan) atau Nitrat (isosorbide
dinitrate 5 mg sublingual 10-15 menit sebelum makan). (Eckardt.2009).

Kelebihan:
a. Digunakan untuk terapi simptomatik pada pasien akalasia tahap awal.
b. Sebagai terapi sementara bagi pasien yang masih menunggu pilihan terapi yang lebih
baik, atau yang memiliki risiko tinggi untuk dilakukan terapi yang lebih invasif.
(Eckardt.2009)
Kekurangan:
a. Durasi kerja singkat
b. Meningkatkan disphagia (sulit mengunyah dan menelan) dari pada menurunkan
tekanan sphingter esofagus
c. Menimbulkan ESO seperti edema perifer, sakit kepala, hipotensi, yang seringkali
muncul setelah pemberian Ca Channel blocker dan nitrat. (Eckardt.2009)

2. Terapi injeksi Botulinum Toxin


Botulinum toxin adalah neurotoxin yang poten untuk memblok pengeluaran
asetilkolin dari motor neuron. Botulinum toxin diinjeksikan pada area sphingter esofagus
bawah, dan menghasilkan perbaikan simptomatis pada pasien akalasia dengan
menurunkan retensi esofageal selama periode kurang lebih 6 bulan. Efek terbaik
botulinum toxin didapatkan pada pasien tua dan pasien dengan tekanan sphingter
esofagus bawah tidak melebihi 50% dari batas normal. (Eckardt.2009)
Kelebihan:
a. Teknik ini cepat memberikan hasil, tidak memerlukan pembedahan dan tidak
memerlukan rawat inap.
b. Merupakan tatalaksana pilihan bagi pasien-pasien tua yang beresiko tinggi terhadap
pembedahan
c. Dengan injeksi ini pasien yang mengalami kehilangan berat badan berlebihan masih
bisa makan dan memperbaiki status gisinya sebelum terapi permanen dengan
pembedahan. Ini bisa mengurangi komplikasi pasca pembedahan. (Eckardt.2009)
Kekurangan:

12
a. Penggunaan botulinum toxin terbatas karena efeknya yang jangka pendek.
Kemungkinan untuk kambuh adalah 50% dalam 1 tahun dan gejala akan muncul
kembali umumnya dalam 2 tahun. (Eckardt.2009)
b. Botulinum toxin dapat menyebabkan reaksi peradangan yang sering pada
gastroesophageal junction dan akhirnya terjadi fibrosis yang dapat mempengaruhi
tindakan operasi atau dilatasi. Beberapa studi menunjukkan meningkatnya angka
kejadian perforasi esophagus, yaitu sebanyak 7% pasien yang mendapatkan terapi
awal botox. Sementara pasien yang belum pernah mendapatkan terapi endoskopik
apapun sebanyak 2% mengalami perforasi esophagus. Walaupun injeksi botox secara
endoskopik mudah dilakukan, namun terapi ini sebaiknya diberikan pada pasien yang
menolak, atau yang memiliki kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
(Elakkary, 2008)

3. Dilatasi balon Pneumatic


Dilatasi balon Pneumatic dilakukan dengan menggunakan balon polyethylene,
telah digunakan untuk penatalaksanaan akalasia selama lebih dari 50 tahun dan hingga
kini masih diakui sebagai terapi non-bedah paling efektif untuk akalasia. Pasien disuruh
menelan suatu pipa dengan balon pada ujungnya. Balon ditempatkan di tengah-tengah
spinkter bawah esophagus, lalu balon dikembangkan sehingga meregangkan sphingter.
Berbagai jenis dan merk balon telah digunakan dalam klinis, namun hanya sedikit data
komparasi yang menunjukkan perbedaannya dalam keefektifan dan keamananya.
Komplikasi yang ditakutkan dari metode ini adalah terjadi perforasi yang terjadi pada
1,6% pasien dari 1065 pasien yang ditangani oleh tenaga yang berpengalaman. Hasil
studi menemukan bahwa kesuksesan terapi secara permanen terjadi pada 40%-60%
pasien setelah difollow-up selama 15 tahun, walaupun pada mayoritas pasien harus
mengulangi terapi dilatasi beberapa kali. (Eckardt.2009)
Kelebihan :
a. Keberhasilan tatalaksana ini antara 60-90%.
b. Teknik ini lebih cepat dan murah jika dibandingkan dengan pembedahan dan juga
hanya perlu rawat inap yang lebih pendek. (Eckardt.2009)
Kekurangan :

13
Dapat terjadi ruptur esophagus.

Gambar 2. Balon Pneumatic Dilation.

4. Pembedahan thoracotomy-esophagomyotomy
Tindakan ini adalah dengan cara tradisional dengan melakukan thoracotomy
untuk menjangkau esofagus, dan pleura mediastinal dibuka untuk mengekspos esofagus
bagian bawah. Esophagogastric junction diangkat ke arah thorax dan myotomy
longitudinal dilakukan kurang lebih sepanjang 6-7cm pada esofagus bagian distal terus
hingga beberapa milimeter kearah lambung. Ada berbagai opini terhadap keefektifan
tindakan esophagomyotomi sebagai terapi pilihan untuk akalasia. Hasil yang baik
didapatkan pada 84% pasien. Pada pasien yang lain terjadi gejala-gejala pasca operasi
seperti reflux esofagitis. Mengapa insidensi reflux esofagitis cukup tinggi pada beberapa
laporan tidak jelas penyebabnya. Teknik yang benar sangat penting karena ketika
dilakukan insisi lebih dari 2 cm pada lambung, terjadi insidensi reflux 100%.
(Ellis.1980).
Namun meskipun dengan follow up yang lebih lama, beberapa pasien mengalami
kekambuhan disfagia. Jadi, esofagomyotomy tidak menjamin kesembuhan permanen.
Efek samping paling penting adalah akibat dari pengurangan tekanan yang lebih besar
menyebabkan terjadinya refluks asam (gastroesophageal reflux disease atau GERD).
Untuk mencegah ini, esofagomyotomy bisa dikombinasikan dengan pembedahan anti
refluks (fundoplikasi). Jika prosedur pembedahan ini dilakukan, beberapa dokter
merekomendasikan terapi seumur hidup dengan obat oral untuk refluks asam. Dokter

14
yang lain merekomendasikan 24 jam tes asam esofagus dengan pengobatan seumur hidup
hanya jika refluks asam ditemukan. (Ellis.1980)
Kelebihan:
Esofagomyotomy mempunyai keberhasilan lebih tinggi jika dibanding teknik balon
pneumatic dilation, hal ini dikarenakan tekanan pada spinkter bawah berkurang lebih
banyak pada pembedahan. Sebanyak 80-90% pasien mempunyai hasil yang baik.
(Ellis.1980)
Kekurangan:
a. Operasi ini merupakan tindakan invasif yang dapat beresiko menimbulkan infeksi
pada luka operasi.
b. Dapat terjadi efek samping akibat dari pengurangan tekanan sphingter yang
berlebihan menyebabkan terjadinya gastroesophageal reflux disease atau GERD.
c. Insisi dada yang panjang akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh.
(Ellis.1980)

Gambar 3. Tindakan thoracotomy esofagomyotomy

15
5. Pembedahan laparoscopy myotomy
Pembedahan untuk terapi achalasia pertamakali dilakukan oleh Heller, seorang
ahli bedah berkebangsaan Jerman pada tahun 1913. Pada sejumlah dekade setelahnya,
diskusi-diskusi tentang myotomy ini berpusat pada bagaimana akses yang dilakukan,
apakah thoracotomi, atau laparotomi. Diskusi panjang ini akhirnya tidak berlanjut setelah
ditemukan teknik laparoskopi. Operasi laparoskopi esophagomyotomy pertamakali
dilakukan oleh Shimi et al. Tahun 1991 (Ramacciato, 2003).
Pembedahan metode ini memiliki sedikit komplikasi dibandingkan dengan operasi
terbuka tradisonal. Suatu laparascopic Heller myotomy dan fundoplikasi total atau parsial
adalah suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (myotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian
proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh fundoplikasi total atau parsial untuk
mencegah refluks (Ramacciato, 2003).

Gambar 4. Tujuan Hellers Myotomy adalah untuk mendapatkan pemisahan otot dengan
ketebalan penuh tanpa memotong mukosa. Myotomy harus dilakukan dengan panjang
yang cukup untuk memastikan terjadinya obliterasi sfingter esophageal inferior.

16
Gambar 5. Peletakan trokar untuk operasi laparoskopi Heller myotomy dan fundoplikasi

Fundoplikasi total atau dikenal juga dengan fundoplikasi Nissen dilakukan dengan
melipat fundus gaster sehingga melingkari seluruh esofagus (360 derajat). Sementara
fundoplikasi parsial dilakukan tidak melingkari seluruh esofagus, melainkan sebagian.
Ada 2 macam fundoplikasi parsial yang sering dilakukan, yaitu 180 derajat anterior
(fundoplikasi Dor), dan 270 derajat posterior (fundoplikasi Toupet). Pada kedua
fundoplikasi parsial ini, yang paling sering dikerjakan adalah fundoplikasi Toupet. Studi
yang dilakukan Fibbe pada 200 pasien membandingkan fundoplikasi Nissen (360 derajat)
dan fundoplikasi Toupet (270 derajat), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada
kejadian rekurensi refluks setelah operasi. Begitu juga dengan studi yang dilakukan oleh
Laws, yang menemukan bahwa tidak terdapat keuntungan lebih, pada perlakuan
fundoplikasi Nissen atau Toupet (Roberts, 2006).

1 2
17
3
Gambar 6. Fundoplikasi Nissen atau total (1), Fundoplikasi Toupet atau parsial
posterior (2), Fundoplikasi Dor atau parsial anterior (3)

Setelah operasi laparoskopi ini, pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam,
dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi
pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens
refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat
baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus (Roberts,
2006).
Dengan adanya Laparoscopic esophageal myotomy diharapkan penyembuhan
akalaksia dapat teratasi secara tuntas dan dengan waktu yang ebih cepat dan lebih
nyaman dalam pemulihan, juga rasa sakit yang lebih sedikit dibandingkan operasi terbuka
tradisional dan jaringan parut minimal.
Penatalaksanaan akalasia dengan laparoscopy mempunyai beberapa kekurangan
dan kelebihan. Kekurangannya antara lain teknik ini membutuhkan biaya besar untuk
pengadaan alat dan sumber daya. Selain itu, dokter yang menangani kasus ini harus
dilatih dalam menggunakan alat (tangan robot). Hal ini menyebabkan dokter tersebut
kehilangan sensasi taktil pada saat melakukan pembedahan. (Watson. 2008)
Ada juga kelebihan dari laparoscopy ini, yaitu gambaran tiga dimensi dapat
mencegah terjadinya perforasi esofagus. Selain itu, gerakan dari robot ini lebih akurat dan
bisa diatur sehingga dapat meminimalisir adanya suatu kesalahan dalam pembedahan.
(Watson. 2008)

18
G. Komplikasi
1. Pneumonia aspirasi : infeksi paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya bahan-bahan ke
dalam saluran pernafasan
2. Obstruksi saluran pernafasan : kegagalan sistem pernapasan dalam memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas bagian atas (dari hidung sampai
percabangan trakea). Obstruksi saluran napas atas ini sering menyebabkan gagal napas.
3. Perforasi esofagus : setiap organ pencernaan berongga bisa menjadi berlubang atau bocor,
yang menyenbabkan terlepasnya isi gastrointestinal dan menyebabkan kejutan dan
kematian jika operasi tidak dilakukan segera
4. Kanker esofagus : Merupakan pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epitel
yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar esofagus dan menimbulkan metastase
pada saluran esofagus. (Streitz JM. 1995)

F. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan akalasia dapat diobati secara efektif. Akalasia tidak
mengurangi harapan hidup kecuali jika terjadi komplikasi menjadi karsinoma esophagus.
(M. Neubrand, dkk. 2002)

19
KESIMPULAN

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme,
Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan merujuk
pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian
bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.
Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian
proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik.
Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran
radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik. Pada pemeriksaan radiologik, tampak
dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta
gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang menyerupai
seperti bird-beak like appearance.
Pengobatan akalasia kebanyakan hanya menghilangkan gejala secara sementara dan
berjangka pendek. Dengan adanya Laparoscopic esophageal myotomy diharapkan penyembuhan
akalasia dapat teratasi secara tuntas dan dengan waktu yang ebih cepat dan lebih nyaman dalam
pemulihan, juga rasa sakit yang lebih sedikit dibandingkan operasi terbuka tradisional dan
jaringan parut minimal. (Bakry. 2009)

20
21
Bab III

Status Pasien

I. Identitas Pasien
Nama : IRM
Tanggal lahir : 31 Desember 1956
Usia : 66 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Serabutan
HMRS : 01 Agustus 2022
Ruang perawatan : Madinah

II. Anamnesa
1. Keluhan Utama
lemas 5 hari SMRS.
2. Riwayat Penyakit
Pasien mengeluhkan lemas 5 hari yang lalu SMRS, lemas dirasakan terus menerus
dirasakan semakin memberat ketika sehabis muntah, pasien juga mengeluhkan mual
dan muntah sebanyak 5x disertai bercak darah warna merah cerah bercampur
makanan, selain itu pasien mengeluh nyeri perut kiri bawah, demam, buang air besar
cair warna kehitaman 5x pada hari yang sama masuk IGD. Pasien juga mengatakan
nafsu makan menurun selama 1 tahun terakhir, makan hanya sedikit-dikit tidak bisa
menelan makanan yang terlalu padat disertai penurunan berat badan, semakin hari
pasien tidak bertenaga dan sering merasakan pusing.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluar masuk Rumah Sakit dengan gejala dyspepsia, muntah serta thypoid
Akalasia esofagus setelah di lakukan endoskopi pada tahun 2019
Diabetes Melitus tidak ada
Hipertensi tidak ada
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama tidak ada

22
Hipertensi tidak ada
Diabetes melitus tidak ada
5. Riwayat Pengobatan
Antacida, sucralfate, cefixime, domperidone, lansoprazole
6. Riwayat Alergi
Tidak ada

III.Pemeriksaan Fisik IGD


a) Status Generalis
KU : sedang
Kesadaran : kompos mentis, GCS E4 M6 V5
Tanda vital
o Suhu : 36.8 oC
o Nadi : 110 kali/menit
o Respirasi : 24 kali/menit
o TD : 70/50 mmHg

b) Status lokalis
Kepala
o Normosefal
o Konjungtiva anemis +/+
o Sklera ikterik tidak ditemukan
o Bibir tampak kering, sianosis -
Leher
o Tidak ditemukan pembesaran kelenjar limfe
Thorax
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis di SIC 5 midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung normal

23
Auskultasi : S1-S2 reguler. Murmur (-), Galop (-)
o Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak tidak ditemukan,
retraksi dada tidak ditemukan penggunaan otot bantu napas tidak
ditemukan
Palpasi : vocal fremitus dalam batas normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki tidak ditemukan, wheezing
tidak ditemukan
Abdomen
o Inspeksi : jejas/masa tidak ditemukan, distensi tidak ditemukan
o Auskultasi : peristaltik usus normal, bising usus (+) normal
o Perkusi : timpani, pembesaran hepar tidak ditemukan, pembesaran
limpa tidak ditemukan
o Palpasi : pembesaran hepar tidak ditemukan, pembesaran limpa
tidak ditemukan, nyeri tekan hypogastric sinistra
Ekstremitas
o Sianotik tidak ditemukan
o Akral hangat
o Nadi teraba kuat
o CRT < 2 detik

24
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap dan elektrolit
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 5.4 (L) 11.5-16.5 g/dl

Eritrosit 1.81 3.50-5.50 10^12/L

Hematokrit 17.0 35-55 %

Trombosit 300 145 - 450 10^9/L

Leukosit 17.7 (H) 3.5-10 10^9/L

Limfosit 1.7 0.5-5 10^9/L

Granulosit 14.4 (H) 1.2-8 10^9/L

MCV 93.9 75-100 fL

MCH 29.9 25-35 Pg

MCHC 31.8 31-38 g/dL

SGOT 16 10-35 U/L

SGPT 14 9-43 U/L

BUN 52 (H) 10-39 Mg%

Creatinin 1.1 0.71-1.1 Mg%

NA+ 143.7 135-148 Mmol/L

K+ 3.30 3.50-5.50 Mmol/L

CL- 108 95-108 Mmol/L

GDS 129 75-155 Mg%

25
Pemeriksaan Esofago Gastro Duodenoscopy pada 2019 di RSUD
Didapatkan kesimpulan Akalasia Esophagus

V. Diagnosis :
hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus distal
VI. Terapi
konsultasi Sp.PD
inf Loading RL 1000cc -> jika tensi <100mmhg serta tidak ada oedema paru tambah
500cc
jika tensi >100mmhg -> 20tpm
pasang NGT -> GC tiap 8jam air dingin
bolus pantoprazole 2 amp -> drip 2 amp+D5% jadi 50cc, kecepatan 5cc/jam
antasida 3 x C1 PO
Sukralfat 3 x CI PO
Asam tranexamat 3x500mg
Transfuse PRC 1-2 kolf /hari
DC post transfuse

VII. Follow-up
01 Agustus S : Pasien merasakan lemas dan mual
2022 O : TD: 80/60, HR: 80x/menit, RR: 24x/menit, S: 36.3C
A : hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus
distal
P:
IVFD RL:D5% 1:1 20tpm
NGT -> GC tiap 8jam air dingin
Drip pantoprazole kecepatan 5cc/jam
antasida 3 x C1 PO
Sukralfat 3 x CI PO
Asam tranexamat 3x500mg IV

26
Transfuse PRC 1-2 kolf /hari tanpa premedikasi
cek DL post transfusi 4 kolf
02 Agustus S : Pasien merasakan lemas
2022 O : TD: 80/59, HR: 86x/menit, RR: 26x/menit, S: 36C NGT : stolsel (+)
A : hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus
distal
P:
IVFD RL:D5% 1:1 20tpm
NGT -> GC tiap 8jam air dingin
Drip pantoprazole kecepatan 5cc/jam
antasida 3 x C1 PO
Sukralfat 3 x CI PO
Asam tranexamat 3x500mg IV
Transfuse PRC 1-2 kolf /hari tanpa premedikasi
03 Agustus S : Pasien merasakan lemas
2022 O : TD: 80/60, HR: 84x/menit, RR: 20x/menit, S: 36C
A : hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus
distal
P:
IVFD RL:D5% 1:1 20tpm
Ceftriaxone 1x2gr IV
Sanmol forte 3x650mg PO
antasida 3 x C1 PO
Sukralfat 3 x CI PO
Asam tranexamat 3x500mg IV
Thorax foto
Diet bubur
Sonde NGT 6x150cc
04 Agustus S : Pasien merasakan lemas
2022 O : TD: 90/60, HR: 68x/menit, RR: 28x/menit, S: 36C
A : hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus

27
distal + susp TB Paru kanan + pleuropneumonia dextra
P:
IVFD RL:D5% 1:1 20tpm
Ceftriaxone 1x2gr IV
Sanmol forte 3x650mg PO
antasida 3 x C1 PO
Sukralfat 3 x CI PO
TCM
Diet bubur
Sonde NGT 6x150cc
05 Agustus S : Pasien merasakan lemas
2022 O : TD: 90/60, HR: 68x/menit, RR: 28x/menit, S: 36C
A : hematemesis melena susp stress ulcer + Anemia berat + akalasia esofagus
distal + susp TB Paru kanan + pleuropneumonia dextra + syok sepsis
P:
IVFD RL:D5% 1:1 20tpm
Drip Norepinephrine 0,05 mcg/kgbb up titrasi
Ceftriaxone 1x2gr IV
Azitromicin 1x500mg PO
Sanmol forte 3x650mg PO
antasida 3 x C1 PO, Sukralfat 3 x CI PO, TCM – , KIE keluarga prognosis buruk

28
Bab IV
Pembahasan

Pasien datang ke IGD RSWP dengan keluhan lemas sejak 5 hari SMRS. Lemas semakin
memberat ketika pasien muntah. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah darah warna merah
segar bercampur makanan, nyeri perut kiri bawah serta buang air besar cair warna hitam
sebanyak 5x. Pasien juga mengatakan nafsu makan menurun selama 1 tahun terakhir, dada terasa
panas, susah menelan serta mengalami penurunan berat badan yang massif.
Pada pasien mempunyai riwayat keluar masuk rumah sakit selama satu tahun terakhir
dengan gejala nyeri perut, muntah darah dan demam Dalam pemeriksaan fisik di IGD keadaan
umum pasien lemas tampak pucat, terlihat mulut tampak kering serta konjungtiva tampak
anemis. curiga terjadi syok karena pasien mengeluhkan demam, muntah darah dan bab cair
kehitaman. Kondisi tersebut berkaitan dengan pasien yang mempunyai riwayat gastritis menahun
kemungkinan adanya inflamasi kronik pada mukosa gaster yang menyebabkan ulkus/perforasi.
Riwayat sosial ekonomi pasien bekerja sebagai buruh bangunan, Pendidikan terakhir pasien SD,
pendapatan sehari-hari tidak menetap. Pasien mengakui makan tidak teratur sehari-hari dengan
porsi yang sedikit.
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan darah lengkap, yang menunjukan hasil
leukositosis, penurunan hemoglobin, serta sebelumnya dilakukan endoskopi di RSUP sanglah
pada 2019 ditemukan adanya penyempitan di esofagus distal dan dilatasi pada esofagus proximal
(Akalasia) yang menyebakan pasien mengalami keluhan nafsu makan menurun karena sulit
menelan serta susah untuk makan berkonsistensi padat. Penatalaksanaan awal pada pasien ini di
lakukan loading cairan untuk mengatasi syok, serta memasang NGT untuk mencegah aspirasi
dari gejala pasien. serta di lakukan bilas lambung 8 jam sekali untuk mengetahui stolsel pada
pasien. Terapi oral di berikan Antasida dan sukralfat sebagai agen penetral asam lambung serta
pelindung mukosa lamung. Asam tranexamat dierikan untuk mencegah perdarahan pasien di
karenakan hematemesis dan melena. Pada pasien di lakukan transfusi darah untuk mengkoreksi
hemoglobin pasien yang menurun.
Setelah di rawat inap kondisi pasien tampak memburuk dengan keadaan umum yang
semakin lemah tekanan tanda vital yang tidak stabil setiap hari, Prognosis pasien saat di buatnya
laporan ini semakin memburuk.

29
REFERENSI

Bakry, Fuad. 2009. Achalasia. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing. Hal : 491-492.
Eckardt, Alexander J. Current clinical approach to achalasia. World Journal of
Gastroenterology. 2009 August 28; 15(32): 3969-3975 available at
http://www.wjgnet.com/1007-9327/15/3969.pdf
Elakkary, Ehab. et al. 2008. Recent Advances in the Surgical Treatment of Achalasia and
Gastroesophageal Reflux Disease. J Clin Gastroenterol 2008;42:603–609.
Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18364581
Ellis, F Henry, Gibb, Peter. Esophagomyotomy for achalasia of the esophagus. Annals of
surgery.1980August;192(2):157161
Availableathttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1344845/pdf/
annsurg002220031.pdf

M. Neubrand, C. Sheurlen, M. Schepke, and T. Sauerbrunch.2002. Long-term Result and


Prognostic Factors in the Treatment of Achalasia with Botulinum Toxin. Germany:
Department of Internal Medicine, University of Born. Diakses dari
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12170400)
Moore, Keith L.; Dalley, Arthur F.2006. Clinically Oriented Anatomy. 5th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins
Ramacciato, Giovanni. et al. 2003. Minimally Invasive Surgical Treatment of Esophageal
Achalasia.JSLS. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3113201/pdf/jsls-7-3-219.pdf
Roberts, Kurt. et al. 2006. Controversies In The Treatment Of Gastroesophageal Reflux
And Achalasia. World Journal of Gastroenterology. Available from
http://www.wjgnet.com/1007-9327/12/3155.pdf
Sadowski, D. C. Achalasia: incidence, prevalence and survival. A population-based
study. 2010. Available at:
http://www3.interscience.wiley.com/journal/123434335/abstract
Sibernagl, Stefan. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
Streitz JM Jr, Ellis FH Jr, Gibb SP, et al ; Achalasia and squamous cell carcinoma of the
esophagus: analysis of 241 patients.

Watson, Thomas J. 2008. Surgical Therapy for Achalasia diakses dari:


http://www.google.co.id/url?

30
sa=t&source=web&cd=5&ved=0CDMQFjAE&url=http%3A%2F
%2Fmeddocs.creighton.edu%2FCME%2Fdocuments%2FEsophageal_Files
%2FFriday_Presentations
%2FWatsonSurgical_Treatment_for_Achalasia.pdf&rct=j&q=disadvantages+of+la
paroscopy+in+achalasia&ei=gdEiTMeoFoLfccHQiZIF&usg=AFQjCNHm2X2pyY
T8RNn2IPusXeH3hwcjJg pada 23 Juni 2015.

31

Anda mungkin juga menyukai