Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

TB PARU DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II DAN


GANGRENE PEDIS SINISTRA

Disusun untuk Memenuhi


Sebagian Persyaratan Kegiatan Internship
Di Puskesmas Ngadi, Kabupaten Kediri

Disusun Oleh:
dr. Moh. Rezza Rizaldi

PUSKESMAS NGADI
INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
KEMENTERIAN KESEHATAN INDONESIA
2023

HALAMAN PENGESAHAN

TB PARU DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE II DAN


GANGRENE PEDIS SINISTRA

Disusun untuk Memenuhi


Sebagian Persyaratan Kegiatan Internship
Di Puskesmas Ngadi, Kabupaten Kediri

Telah dipresentasikan dan disahkan pada tanggal 19 Januari 2023

Disusun Oleh:
dr. Moh. Rezza Rizaldi

Telah Dipresentasikan dan Disetujui pada


Tanggal 19 Januari 2023

Dokter Pembimbung:
(dr. Ratnasari Tri Sulistyowati)

KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufiq dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus
yang berjudul "Tb Paru Dengan Diabetes Mellitus Tipe II Dan Gangrene Pedis
Sinistra" untuk memenuhi tugas internship periode 23 Agustus 2022-22 Februari
2023. Dalam menjalankan tugas, penulis banyak mendapat bimbingan dari berbagai
pihak, maka dari itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar
besarnya kepada:
1. dr. Ratna Tri Sulistowati yang telah memberikan bimbingan berharga demi
penyelesaian penyusunan laporan ini,
2. Teman-teman sejawat, yang memberikan dorongan serta masukan,
3. Serta semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu.
Penulis sangat berharap laporan kasus ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Scabies. Penulis juga menyadari
sepenuhnya bahwa laporan kasus yang dibuat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami memohon maaf apabila dikemudian hari ditemukan kesalahan baik
disengaja maupun yang tidak disengaja dan penulis mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat konstruktif guna menyempurnakan laporan kasus ini.
Demikian pengantar dari penulis, semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sarana untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi semua pihak, Aamiin.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Kediri, 19 Januari 2023

dr. Moh. Rezza Rizaldi

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) 2013, melaporkan bahwa penyakit
tuberkulosis (TB) diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus pada tahun 2012 dimana 1.1
juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari
pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat
450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal
dunia. Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria
tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi.
Diperkirakan terdapat 2.9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian TB
mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan
HIV positif. Separuh dari orang HIV positif meninggal karena TB pada tahun 2012
adalah wanita (Kemenkes RI, 2014).
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan masyarakat di
Indonesia. Berdasarakan WHO Global TBC Reports 2020, kasus TBC di Indonesia
pada tahun 2019 diperkirakan sejumlah 845.000 kasus dengan insidensu 312 per
100.000 penduduk yang kemudian membawa Indonesia menjadi negara dengan
jumlah kasus terbesar kedua di dunia setelah India (Kemenkes RI, 2021).
Untuk menuju target eliminasi TBC tahun 2030, perlu adanya strategi percepatan
penemuan dan pengeboatan yang mencakup perluasan akses dan penyedian layanan
yang bermutu dan terstandar. perubahan besar dalam penegakan diagnosis dan
pengobatan TBC telah direkomendasikan oleh WHO tahun 2020 dalam buku WHO
Operational Handbook on Tuberculosis-Module 3: Rapid Diagnostic for Tuberculosis
(WHO, 2020).
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia mengikuti
perlembangan ilmu dan teknologi terkini di bidang kesehatan. Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah melakukan kajian rekomendasi yang
dikeluarkan oleh WHO tersebut dan akan menerapkannya dalam tatalaksana TBC di
Indonesia (Kemenkes RI, 2021).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. 1 Definisi
Definisi Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah
TBC) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru),
walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan
benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis,
yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan
mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus.
(PDPI, 2006).

1.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) 2013, melaporkan bahwa penyakit
tuberkulosis (TB) diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus pada tahun 2012 dimana 1.1
juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari
pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat
450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal
dunia. Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria
tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi.
Diperkirakan terdapat 2.9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian TB
mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan
HIV positif. Separuh dari orang HIV positif meninggal karena TB pada tahun 2012
adalah wanita (Kemenkes RI, 2014).
Pada tahun 2012, diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus
tuberculosis (TB) secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB nak/tahun).
Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yangmenderita TB mencapai
74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB.
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang
sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan
dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil
dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun
2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun
1990 (Kemenkes RI, 2014).

1.3 Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo
Actinomycetales.Kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis,
M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii.Dari beberapa kompleks
tersebut, M. tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering
dijumpai. (Mansjoer, 2001) Bakteri ini memiliki bentuk batang, aerob, obligat
intraselular dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µ, dan bersifat tahan
asam, oleh karena itu dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Sumber
penularannya ialah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin.
Pada saat batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada dalam droplet dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam (Prasad et al., 2012).
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut (Prasad et al., 2012).

1.4 Patogenesis
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang
menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh
melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh
membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative)
akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening
hilus atau regional yang disebut komplek primer.Pada infeksi primer ini biasanya
masih sulit ditemukan kuman dalam dahak (Silbernagl dan Lang, 2007).
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam
paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami salah satu nasib
berikut:
1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3) Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah
epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberculosis milier, meningitis TB, dll (PDPI, 2006).
1) Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis
post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat
menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,
yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib
sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (Borgdorff,
et al., 2011):
a. Direabsorbsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
b. Sarang tadi mulanya meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.
Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk
jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Selanjutnya kavitas ini dapat (Borgdorff, et al., 2011

Gambar. 1.1 Perjalanan Alamiah Infeksi TBC


Gambar 1.2 Pajanan Kuman MTB

Gambar 1.3 Patogenesis


1.5 Manifestasi Klinis
A. Anamnesis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) (Bing, 2012).
Gejala respiratorik:
1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu
2) batuk darah
3) sesak napas
4) nyeri dada
A. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
A.Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 & S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum
(Werdhani, 2014).

1.6 Klasifikasi
A. Berdasarkan tipe penderita
1) Kasus baru
paru kasus baru adalah penderita yang belum pernah minum obat anti
tuberkulosis atau sudah pernah minum obat anti tuberkulosis kurang dari
satu bulan.

2) Kasus kambuh
TB paru kasus kambuh adalah penderita yang pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan sudah dinyatakan sembuh, namun kembali lagi
dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
3) Kasus pindahan
Kasus pindahan adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan
tuberkulosis di suatu kabupaten dan pindah ke kabupaten lain. Pasien
tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4) Kasus lalai berobat
Kasus lalai berobat adalah penderita yang telah menerima pengobatan
tuberkulosis sekurang-kurangnya satu bulan dan telah berhenti berobat
selama dua minggu atau lebih, kemudian pasien datang berobat kembali
dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
5) Kasus gagal berobat
Kasus gagal berobat adalah penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir pengobatan bulan ke-5, atau penderita
dengan BTA (-) radiologik positif yang berubah menjadi BTA (+) pada akhir
pengobatan bulan ke-5.

1.7 Pemeriksaan Bakteriologik


A. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (Bing, 2012).
B. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan TCM
Cara pengambilan dahak 2 kali (Kemenkes RI, 2021):
1) Sewaktu-Sewaktu
2) Sewaktu-Pagi atau Pagi-Sewaktu
Jarak pengambilan dahak pertama ke pengambilan dahak kedua berjarak 1
jam
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium (Bing, 2012).
Dahak yang digunakan adalah dengan dahak yang berkualitas baik, yaitu
dahak dengan volume 3-5ml serta mukopurulen (Kemenkes RI, 2021).
A. lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 2 kali dengan pemeriksaan TCM
ialah (Kemenkes RI, 2021) :
1) MTB Positif Rifampicin Resisten
2) MTB Positif Rifampicin Sensitif
Sensitif INH dan Resisten INH
3) MTB Positif Rifampicin Inderterminade
Pemeriksaan Ulang TCM dan disesuaikan pengobatan berdasarkan hasil
TCM
4) MTB Negatif
5) MTB Gagal (No Result, Error, Invalid)
A. Tes Mantoux
Test mantoux adalah suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosis TB.
Tes mantoux itu dilakukan dengan menyuntikan suatu protein yang berasal
dari kuman TB sebanyak 0,1ml dengan jarum kecil di bawah lapisan atas
kulit lengan bawah kiri. Pembacaan test mantoux adalah sebagai berikut
(Prasad et al., 2012) :
1) Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72
jam.
Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi.
2) Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan catat
sebagai pengukuran tunggal.
3) Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm) serta
catat pula tanggal pembacaan dan bubuhkan nama dan tandatangan
pembaca. Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas
suntikan dapat dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal.

1.8 Pemeriksaan Radiologik


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif (Prasad et al., 2012):
A. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
B. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
C. Bayangan bercak milier.
D. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
E. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu
Fibrotik, Kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura (Kemenkes RI, 2021)
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) (Prasad et al., 2012) :
A. Lesi minimal
bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4
atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.
B. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal
1.9 Penegakan Diagnosis
Gambar 2.1 Alur Penegakan Diagnosis TBC (Kemenkes RI, 2021)

A.Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang digunakan untuk
penegakan diagnosis Tuberkulosis.
B. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC paru maupun
TBC Ekstra Paru, baik riwayat pengobatan TBC baru maupun yang memiliki
riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan pada semua golongan umur
termasuk orang dengan AIDS dan HIV (ODHA).
C. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga TBC Paru) dan
non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, seperti cairan serebrospinal,
kelenjar limfe dan jaringan).
D.Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada Fasilitas
pelayanan kesehatan yang saat ini mempunyai alat TCM.
E. Jumlah dahak yang dikumpulan adalah 2 (dua) dahak yaitu Sewaktu-Sewaktu,
Sewaktu-Pagi maupun Pagi-Sewaktu, dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak kedua. Standar kualitas dahak yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3-5ml dan mukopurulen. hasil
pemeriksaan TCM terdiri dari MTB pos Rif resisten, MTB pos Rif sensitif,
MTB pos Rif indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error, Invalid, no
result). Beberapa ketentuan terkait hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada kontak erat
dengan TBC Resisten Obat (RO) harus dilakukan pengulangan TCM
sebanyak 1 kali, da hasil pengulangan yang memberikan hasil MTB pos yang
menjadi acuan.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dengan riwayat kontak erat
dengan pasien TBC RO atau terduga TBC dengan riwayat sebelumnya
dinyatakan sebagai pasien TBC Rifampisin resisten dan selanjutnya
dilakukan pengobatan TBC RO.
3) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa riwayat
pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang TCM sebanyak 1 kali
dengan spesimen berbeda. Apabila tidak dimungkinkan untuk dilakukan
pengulangan terkaitkesulitan mendapatkan spesimen baru, pertimbangkan
kondisi klinis pasien.
A. Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin resisten akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler (LPA lini dua atau TCM XDR) dan
pmeriksaan paket standar uji kepekaan fenotipik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
akan mengirimkan spesimen dahak dari pasien tersebut ke laboratorium rujuksn
sesuai jejaring rujukan yang berlaku. Hasil pemeriksaan ini akan menentukan
panduan pengobatan TBC RO yang akan diberikan terhadap pasien.
B. Pasien dengan hasil MTB positif Rifampisin sensitif berdasarkan riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru akan dilakukan inisiasi
pengobatan dengan OAT kategori I.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat pengobatan
sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up, tidak konversi)akan
dilanjutkan pemeriksaan ujia kepekaan terhadap isoniazid (INH). inisiasi atau
melanjutkan pengobatan dengan OAT kategori I dilakukan sambil menunggu
hasil uji kepekaan menunjukan INH resisten akan diberikan panduan
pengobatan TBC monoresisten INH.
A. Pasien dengan hasil MTB Indeterminated akan dilakukan pengulangan oleh
laboratorium TCM sebanyak satu (1) kali untuk memastikan status resistensi
terhadap rifampisin. Gunakan dahak dengan kualitas baik yaitu volume 3-5ml
dan mukopurulen.
B. Pasien dengan hasil TCM gagal (Invalid, error, no result) akan dilakukan
pengulangan oleh laboratorium TCM untuk meastikan pasien positif atau negatif
TBC dan mengetahui status resistensi terhadap rifampisin. menggunakan sisa
sampel yang masih tersedia. pada kondisi volume samopel kurang dari 2mi,
gunakan dahak baru dengan kualitas baik.
C. Pasien dengan hasil MTB negatif dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks
dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien tersebut dapat didagnosis
sebagai TBC klinis sesaui pertimbangan klinisi.
D. Penegakan diagnosis TBC secara klinis harus didahului dengan pemeriksaan
bakteriologis sesaui dengan penjelasan E. 1 diatas.
E. Fasilitas pelayanan Keseahatan bersama dinas kesehatan setempat harus
mengevaluasi prporsi pasie TBC terkonfirmasi bakteriologis dibandingkan
dengan pasien TBC terkonfirmasi klinis. Proporsi antara terkonfirmasui
bakteriologis dan terdiagnosis klinis idealnya adalah 60:40.
F. Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang belum atau tidak memounyai TCM, harus
merujuk terduga TBC atau dahak dari terduga TBC tersebut ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan TCM. Merujuk dahak lebih direkomendasikan daripada
merujuk terduga TBC terkait alasan pengendalian infeksi.
G. Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota mengatur jejaring rujukan dan
menetapkan Fasilitas Kesehatan TCM menjadi pusat rujukan pemeriksaan TCM
bagi fasilitas kesehatan di sekitanya.
H. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menyiapkan sumber daya di
fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengoperasikan TCM.
I. Jika Fasilitas pelayanan kesehatan mengalami kendala mengakses layanan TCM
berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala geografis maka penegakan
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
J. Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis harus dilakukan
pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM. Dinas Kesehatan berperan mengatur
jejaring rujukan spsesimen ke Fasyankes TCM terdekat. Jumlah dahak yang
dikirmkan berjumlah 2. Pemeriksaan TCM gunanya pada kasus ini untuk
mengetahui status resistensi terhadap Rifampisin. Tindak lanjut hasil
pemeriksaan TCM pada pasie yang terdiagnosis melalui mikroskopis adalah
sebagai berikut:
1) Pasien terdiagnosis sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis dari pemeriksaan
mikroskopis.
i. Apabila hasil TCM lanjutan menunjukan MTB pos Rifampisin resisten,
pertimbangkan kriteria terduga (baru atau memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya) dan mengikuti alur sesuai poin 10.E.1) diatas.
ii. Apabila hasil TCM lanjutan menunjukan MTB Positif rifampisin
sensitif , MTB indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error,
invalid, no result) maka hasil TCM tidak mengubah diagnosis pasien
sebagai TBC terkonfirmasu bakteriologis.
1) Pasien Terdiagnosis sebagai TBC klinis dengan hasil BTA Negatif
i. Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB Positif Rifampisin
resisten, pertimbangkan kriteria terduga (baru atau memiliki riwayat
pengobatan sebelumnya) dan mengikuti alur sesaui poin 10.E.1) diatas.

ii. Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB Positif Rifampisin


sensitif, MTB Positif indeterminate, lanjutkan pengobatan, pasien
dinyakatan sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis.
iii. Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB negatif atau hasil gagal
lanjutkan pengobatan, pasien tetap sebagai TBC terdiagnosis klinis.

Gambar 2.2 Alur ILTB (Infeksi Laten TB)

1.10 Penatalaksanaan
Terkait dengan penatalaksanaan pengobatan, terjadi perubahan arah tatalaksana
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2021):
A. Obat Anti TBC (OAT) kategori I fase awal dan lanjutan dengan dosis harian.
OAT kategori I dosis harian sudah dipergunakan secara bertahap mulai tahun
2021, prioritas pemberian OAT ini adalah untuk:
1) Pasien TBC HIV.
2) Pasien TBC yang diobati di Rumah Sakit.
3) Kasus TBC dengan hasil MTB Positif Rifampisin Indeterminate dengan
riwayat pengobatan sebelumnya.
A. Pemberian OAT Kategori II tidak direkomendasikan lagi untuk pengobatan
Pasien TBC. Mulai tahun 2021 program TBC tidak menyediakan OAT
Kategori II. Akan tetapi bila stok OAT kategoru II masih tersedia di instalasi
farmasi provinsi, kabupaten/kota, dan di fasilitas layanan kesehatan maka
harus dimanfaatkan sampai habis.
B. Pasien TBC MTB Positif Rifampisin Sensitif yang berasal dari kriteria riwayat
pengobatan sebelumnya (kambuh, gagal, dan loss to follow up) diobatai
dengan OAT Kategori I dosis harian.
C. sejak tahun 2019 program TBC sudah menyediakan OAT dalam sediaan tablet
dispersible untuk pengobatan TBC Resisten Obat (RO) anak dan Terapi
Pencegahan TBC (TPT) anak kontak dengan pasien TBC RO. sediaan ini
mudah dikonsumsi oleh anak, namun pemanfaatannya maih terbatas.
D. Tahapan pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan (Kemenkes RI, 2022):
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
A. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Kemenkes RI, 2021)
1) Kategori I Dosis Harian(2HRZE/ 4HR)
A. Paduan OAT Tuberkulosis Paru yang Resisten
TB paru yang resisten obat disebabkan oleh bakteri tuberkulosis yang resisten
terhadap minimal satu regimen obat lini pertama tuberkulosis. Multidrug-
resistant TB (MDR-TB) adalah kasus TB yang resisten terhadap >1 OAT, yang
meliputi isoniazid dan rifampisin.
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) adalah tipe MDR-TB yang ditandai
dengan resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin, fluorokuinolon apa pun,
dan minimal satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikacin, kanamisin, dan

lainnya). Durasi total pengobatan dapat dilakukan dalam waktu 9–11 bulan, di
mana durasi tahap intensif adalah 4–6 bulan dan durasi tahap lanjutan adalah 5
bulan. TB paru yang resisten terhadap isoniazid (dengan atau tanpa resistensi
streptomisin) dapat diterapi dengan rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
selama 6 bulan. Terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan bila kultur sputum
tetap positif setelah 2 bulan. TB paru yang resisten terhadap rifampisin dapat
diberikan isoniazid, flurokuinolon, dan etambutol selama 12–18 bulan, yang
disertai dengan pirazinamid selama 2 bulan pertama.

Tabel. 1.1 Terapi Profilaksis TBC


(Kemenkes RI, 2021)
B. Terapi Profilaksis pada Tuberkulosis Laten
WHO menyarankan terapi profilaksis pada penderita tuberkulosis laten.
Regimen yang direkomendasikan adalah (WHO, 2014):
6H atau 9H: isoniazid tiap hari selama 6 bulan atau 9 bulan
3HP: isoniazid dengan rifapentin tiap minggu selama 3 bulan
3HR: isoniazid dengan rifampisin tiap hari selama 3 bulan
4R: rifampisin tiap hari selama 4 bulan
1HP: isoniazid dengan rifapentin tiap hari selama 1 bulan
H+B6+CPT: isoniazid, vitamin B6, dan kotrimoksazol tiap hari selama 6 bulan
khusus untuk orang dengan HIV/AIDS

C. Rekomendasi TPT untuk TBC-RO


1) Fluoroquinolon (moksifloksasin, levofloksasin) dengan atau tanpa obat lain
(etambutol, etionamid), lama 6 bulan
2) Indonesia: Lefofloksasin + etambutol
3) Rejimen disesuaikan dengan profile resistensi obat sumber penularan, pada
pasien Pre-XDR/XDR TBC
4) Dosis obat:
 Levofloksasin: 15-20 mg/kgBB/hari
 Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari
 Diminum setiap hari selama 6 bulan

Tabel 1.1 Dosis Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Kategori I
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari dosis harian selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
(Kemenkes RI, 2021)
Tabel 1.2 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT Kategori I
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Harian 3x
seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
(Kemenkes RI, 2014)

Tabel 1.3 Jenis dan Efek Samping OAT


Jenis OAT Efek samping
Isoniazid (H) Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampicin (R) Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pyrazinamide (Z) gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Ethambutol (E) Gangguan pengelihatan, buta warna, neuritis
perifer
(Kemenkes RI, 2014)

1.11 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2006):
A. Batuk darah
B. Pneumotoraks
C. Gagal napas
D. Gagal jantung
E. Efusi pleura
Setelah diketahui bahwa TB paru terutama menyerang paru-paru,
kerusakan paru-paru merupakan salah satu komplikasi yang paling sering, dan
mungkin menyebabkan kegagalan paru-paru. Komplikasi TB paru antaranya
adalah gangren paru. Selain itu ditemukan juga trombosis vaskular dan arteritis.
Apabila penyakit ini tidak diobati atau belum diobati pada waktu yang tepat dan
cara yang tepat, penyakit ini bisa menjadi sangat serius bahkan mengancam
nyawa. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh, sehingga
membuat pengobatan lebih sulit, terutama jika menyebar ke tulang, karena
kerusakan pada sendi diikuti dengan rasa sakit sangat mungkin akan dialami
kemudian. Selain itu terjadi juga pneumotoraks dan efusi pleura (Kemenkes RI,
2014, WHO, 2014).

1.12 Pencegahan
Tindakan pencegahan TBC harus dipertimbangkan dan dijalankan untuk
mengurangi laju potensi infeksi menular melalui transmisi udara dengan berbagai
cara pencegahan sebagai berikut (Kemenkes, 2014):
A. Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar dengan
orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk TB aktif
B. Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam ruangan tertutup
kecil di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang, buka
jendela dan gunakan kipas untuk meniup udara dalam ruangan ke luar.
C. Tutup mulut mengunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut
kapan saja ini merupakan langkah pencegahan TB secara efektif. Jangan lupa
untuk membuang masker secara teratur.
D. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan desinfektan
(air sabun).
E. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan
F. Hindari udara dingin. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk
secukupnya ke dalam tempat tidur.
G. Menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari Semua barang
yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak
boleh digunakan oleh orang lain.
H. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

1.13 Prognosis
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada (Borgdroff Et
Al, 2015):
A. Kepatuhan minum obat
B. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
C. Umur penderita
D. Penyakit yang menyertai
E. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. ST Romelah
Usia : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Tambak Ngadi
Tanggal periksa : 07 November 2022

3.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Batuk > 4 Minggu
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas Ngadi dengan keluhan batuk lama sejak
lebih dari 4 minggu sebelum periksa ke Puskesmas. Awalnya pasien
merasakan batuk saja yang hilang timbul sejak 2 bulan sebelum pasien masuk
rumah sakit RSUD SLG, kemudian 1 bulan yang lalu pasien masuk Rumah
Sakit RSUD SLG untuk opname karena pasien lemas dan mempunyai luka
dikaki yang sudah membusuk, setelah itu pasien disarankan oleh dokter untuk
di cek dahak akan tetapi pasien saat itu tidak melakukan cek dahak hanya
dilakukan foto rontgen. Hingga, batuk semakin lama semakin memberat.
Batuk akan bertambah berat jika pasien berada dalam posisi berbaring dan
akan berkurang jika pasien dalam posisi ½ duduk.
Selain mengeluhkan batuk lama, pasien juga mengeluhkan sesak nafas
semenjak 2 minggu sebelum masuk RS, awalnya sesak nafas tidak terlalu
menganggu tapi semakin hari sesak nafas mengganggu aktivitas pasien. Sesak
nafas dirasakan ketika batuknya terus menerus. 1 bulan sebelum masuk RS
pasien pergi ke puskesmas untuk memeriksakan diri, kemudian pukesmas
menganjurkan untuk ke RSUD SLG, lalu pasien cek foto rontgen serta
dilakukan pentalaksanaan awal, Setelah itu pasien dirujuk ke Puskesmas
Ngadi untuk melanjutkan Pengobatan. Selain itu pasien mengeluhkan
munculnya keringat dingin dan demam yang naik turun, saat malam hari
biasanya demam semakin tinggi namun membaik pada pagi dan siang hari.
Beberapa minggu terakhir nafsu makan pasien menurun, terdapat penurunan
berat badan sebesar 6 kg dalam waktu 2 bulan terakhir. Pasien saat waktu
kontrol 1 minggu yang lalu di Puskesmas diberi obat 4 macam oleh dokter
Spesialis Penyakit Dalam dari RSUD SLG, dan salah satunya ada yang
berwarna merah untuk 6 bulan, saat itu dokter hanya memberi obat untuk 1
bulan akan tetapi pasien setelah itu tidak kontrol lagi, pasien kontrol saat obat
merah sudah habis selama 2 hari. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan.
Pasien saat ini tidak sedang dalam pengobatan TB.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Pada
saat itu, pasien merupakan buruh di ladang orang. Menurut penuturan pasien,
ia kemungkinan tertular dari temannya yang pada saat itu mengalami batuk-
batuk lama. Pasien mengaku ia tidak menggunakan masker setiap saat bertemu
oleh kerabat yang mengalami batuk lama. Semenjak pasien sakit, pasien sudah
berhenti bekerja.
Pasien adalah seorang penderita penyakit diabetes yang tidak rutin kontrol
dan luka dikaki yag sudah dioperasi di RSUD, biasanya pasien memeriksakan
diri di RSUD SLG poli penyakit dalam. Selain itu pasien jika batuk tidak
pernah memeriksakan dirinya ke dokter dan hanya membeli obat di warung
sebelumnya.
1) Riwayat keluhan serupa : disangkal
2) Riwayat OAT : disangkal
3) Riwayat hipertensi : disangkal
4) Riwayat penyakit jantung : disangkal
5) Riwayat diabetes mellitus : diakui
6) Riwayat asma : disangkal
7) Riwayat alergi : disangkal
8) Riwayat magh : disangkal
9) Riwayat asam urat : disangkal
A. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Riwayat keluhan serupa : disangkal
2) Riwayat OAT : disangkal
3) Riwayat hipertensi : diakui (orang tua)
4) Riwayat penyakit jantung : disangkal
5) Riwayat diabetes mellitus : disangkal
6) Riwayat asma : disangkal
7) Riwayat alergi : disangkal
8) Riwayat magh : disangkal
9) Riwayat asam urat : disangkal
A. Riwayat Sosial Ekonomi
1) Community
Pasien tinggal bersama suami, anak, dan adik , hubungan pasien dan
keluarga baik.
2) Home
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah pasien dekat dengan
jalan raya. Rumah pasien ditempati oleh 4 orang. Rumah pasien juga jarang
terkena sinar matahari. Ventilasi di rumah pasien cukup baik. Lantai rumah
pasien menggunakan ubin. Pasien sudah memasak menggunakan kompor
gas.
3) Occupational
Pasien merupakan seorang buruh diladang. Pembiayaan rumah sakit
ditanggung BPJS Kesehatan.
4) Personal Habit
Pasien mengaku makan dan minum 2-3 kali dalam sehari. Nafsu makan
pasien awalnya baik. Namun, semenjak sakit pasien mengaku nafsu
makannya berkurang. Pasien mengatakan tidak merokok atau meminum
minuman keras.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum : Tampak Cukup
B. Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 (15)
C. BB : 43kg
D. TB : 154 cm
E. IMT : 18.1 (underweight)
F. Vital sign
Tekanan Darah : 90/60mmHg
Nadi : 85x/menit, kuat angkat, regular
RR : 20x/menit, simetris
Suhu : 36.8oC
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris, wajah facies cholerica (-)
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi merata

Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-), SI (-/-), produksi air mata (+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-),
pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir kering (+), tepi hiperemis (-), bibir sianosis (-),
lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-), sariawan (-),
dinding posterior faring hiperemis

Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)

Status Lokalis
Paru-Paru
Inspeksi : Gerak hemithorax simetris, tidak terdapat ketinggalan
gerak, retraksi -
Palpasi : Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra
Perkusi : Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi basah kasar -/-, Ronkhi basahhalus
+/+, Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (+)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC VI LPSD
Kiri bawah : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Ekskremitas
Edema : -/- // -/-
Sianosis : -/- // -/-
Ikterik : -/- // -/-
Akral : Hangat
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboraturium 07 November 2022
GDP: 216 Gr/Dl
B. Pemeriksaan TCM 23 September 2022
Tes Result : Positif
Rif Resistance : Negatif
C. Pemeriksaan Radiologi 23 September 2022
Thorax dengan kesimpulan: Tampak terdapat proses peradangan paru spesifik
dengan kecurigaan TB.
Pedis Sinistra: Selulitis Gangrenosa pada Digiti 1 Pedis Sinistra disertai
kecurigaan Osteomyelitis Phalang Distal.

3.5 DIAGNOSIS
A. TB Paru Kasus Baru
B. DM Tipe II
C. Ulkus Gangrene Pedis Sinistra

3.6 TATALAKSANA
A. Farmakologis
1) PO Obat Anti Tuberkulosis Dosis Harian (OAT) 0-0-II (Intensif)
2) PO Vit B6 1x1
3) PO Metformin 3x500mg
4) PO Glibenclamid 5mg-0-0
A.Non Farmakologis
1) Screening pada anggota keluarga yang lain untuk tindakan pencegahan
dan pengobatan lebih awal jika keluarga lain sudah tertular.
2) Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit, penularan,
pengobatan, efek samping obat dan komplikasi dari penyakit TB.
3) Edukasi keluarga agar selalu menggunakan pengaman saat kontak dengan
pasien.
4) Edukasi pasien untuk selalu memakai masker, tidak batuk dan bersin
sembarangan dan tidak membuang dahak sembarangan.
5) Edukasi pasien dan keluarga mengenai kebersihan lingkungan rumah,
pentingnya membuka ventilasi agar pencahayaan matahari dan udara
masuk, menjemur kasur secara rutin, serta menjaga kesehatan dan
kebersihan diri, serta makan makanan bergizi untuk menghindari
penularan.
6) Edukasi pasien untuk melakukan olahraga ringan, mengurangi stress,
menghindari kafein, dan makanan tinggi purin.
7) Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat yang
timbul (cek fungsi hepar, ginjal, dan pemeriksaan gula darah)
Evaluasi klinis meliputi keluhan, pemeriksaan fisik, dan perbaikan
KU.
d. Evaluasi penunjang
Sputum bakteriologis
e. Evaluasi komplikasi penyakit dan efek samping obat
Periksa fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin) jika intoleransi OAT
Periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat) bila diperlukan
(Rujuk Rumah Sakit)
Pemeriksaan visus bila terdapat keluhan
Pemeriksaan keseimbangan dan pendengaran bila muncul keluhan
1) Prognosis
Prognosis penyakit tuberkulosis pada pasien ini dipengaruhi oleh
a. Resistensi obat dapat memperburuk prognosis penyakit (Motivasi
kepatuhan minum obat OAT)
b. Respon pasien terhadap terapi
c. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
d. Umur penderita
e. Penyakit yang menyertai

3.7 PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtional : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam

3.8 FOLLOW UP
7 Oktober 2022
S O A P
Batuk batuk masih KU/Kesadaran: TB Paru Rujuk Poli
dirasakan dan Baik/CM DM II Penyakit Dalam
mual sudah GCS: 456 Gangrene Pedis untuk Kontrol
berkurang, lemas TD:100/70 Mmhg (S) penyakit DM dan
dan demam sudah Nadi: 82 x/min Mengambil obat
jauh berkurang, Suhu: 36.8C Insulin
saat ini pasien RR: 20x/m - PO. N
sesaknya sudah BB: 37 kg Acetylsistein
berkurang jauh. K/L: a/i/c/d: -/-/-/- 3x200mg
Luka kaki C/P: SIS2 Reguler - PO. OAT Fase
membaik dan tidak ves+/+, RH-/- Wh Intensif 0-0-II
nyeri -/- dosis harian
Abdo: BU (+) - PO. Vit B6 1x1
Normal, Timpani, - PO. Metformin
Sopel, 3x500mg
Ekstrim: AHKM
(+/+)

Pem. Penunjang
gdp: (-)

17 Oktober 2022
S O A P
Batuk Batuk sudah KU/Kesadaran: TB Paru - PO. N
jauh berkurang, Baik/CM DM II Acetylsistein
Nafsu makan GCS: 456 Gangrene Pedis 3x200mg
sudah mulai TD:110/70 Mmhg (S) - PO. OAT Fase
membaik, sesak Nadi: 80 x/min Intensif 0-0-II
(-), Luka membaik Suhu: 36.3C dosis harian
(+),. RR: 20x/m - PO. Vit B6 1x1
BB: 37 kg - Obat Insulin dari
K/L: a/i/c/d: -/-/-/- RS dilanjutkan
C/P: SIS2 Reguler
ves+/+, RH-/- Wh
-/-
Abdo: BU (+)
Normal, Timpani,
Sopel,
Ekstrim: AHKM
(+/+)

Pem. Penunjang
gdp: (125 gr/dl)

16 Januari 2023
S O A P
Batuk Batuk (-), KU/Kesadaran: TB Paru - PO. OAT Fase
Nafsu makan Baik/CM DM II Lanjutan 0-0-III
membaik, sesak GCS: 456 dosis harian
(-), Luka Kaki TD:100/70 Mmhg - PO. Vit B6 1x1
sudah sembuh. Nadi: 90 x/min - Obat Insulin dari
Suhu: 36.7C RS dilanjutkan
RR: 20x/m
BB: 38.1kg
K/L: a/i/c/d: -/-/-/-
C/P: SIS2 Reguler
ves+/+, RH-/- Wh
-/-
Abdo: BU (+)
Normal, Timpani,
Sopel,
Ekstrim: AHKM
(+/+)

Pem. Penunjang
gdp: (125 gr/dl)
BAB IV
PENUTUP

1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis.
2. Penegakkan diagnosis penyakit TBC didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Hal-hal yang perlu dievaluasi selama pengobatan TBC antara lain: keadaan klinis,
sputum bakterologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan.
4. Keberhasilan pengobatan TBC berdasarkan pada kepatuhan minum obat, faktor
pencetus, dan penyakit yang menyertai.
5. Komplikasi tuberkulosis seperti batuk darah, pneumotoraks, gagal napas, gagal
jantung, dan efusi pleura
6. Terjadi perubahan arah tatalaksana TBC mulai tahun 2021. Dengan menghapus
OAT Kategori II, hanya memakai OAT Kategori I dengan dosis harian.
7. Obat Anti TBC (OAT) kategori I fase awal dan lanjutan dengan dosis harian. OAT
kategori I dosis harian sudah dipergunakan secara bertahap mulai tahun 2021,
prioritas pemberian OAT ini adalah untuk: Pasien TBC HIV, Pasien TBC yang
diobati di Rumah Sakit. Kasus TBC dengan hasil MTB Positif Rifampisin
Indeterminate dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
8. Terapi Profilaksis pada Tuberkulosis Laten. WHO menyarankan terapi profilaksis
pada penderita tuberkulosis laten. Regimen yang direkomendasikan adalah: 6H
atau 9H: isoniazid tiap hari selama 6 bulan atau 9 bulan, 3HP: isoniazid dengan
rifapentin tiap minggu selama 3 bulan, 3HR: isoniazid dengan rifampisin tiap hari
selama 3 bulan, 4R: rifampisin tiap hari selama 4 bulan, 1HP: isoniazid dengan
rifapentin tiap hari selama 1 bulan, H+B6+CPT: isoniazid, vitamin B6, dan
kotrimoksazol tiap hari selama 6 bulan khusus untuk orang dengan HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2006. Pengobatan TB termutakhir. In: Buku ajar IPD.
Jakarta: Balai pnerbit FKUI

Bing, K. 2012. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru.Semarang : Medika

Borgdorff, M., Peter D., Guy M., Michael A., and Nadia A., 2015. 46th World
Conference on Lung Health of the International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease (The Union). The International Journal of Tuberculosis and
Lung Disease,19 (12)

Brennan dkk, 2008, Handbook of Anti-Tuberculosis Agents, Global Alliance for TB


DrugDevelopment, 88 (2), 85-170.

Croft, J., Norman, H., andFred, M., 2002. Tuberkulosis Klinik. Edisi 2.
Jakarta :Widya Medik

Johnson, R., Streicher, E.M., Gail E., Louw, Robin, M., Warren, Paul, D., Thomas, C.
& Victor, 2005, Drug Resistance in Mycobacterium tuberculosis, Curr.Issues
Mol. Biol, 8, 97–112.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Edisi 2. Jakarta : Kemenkes RI

Kementerian Kesehatan RI. 2021.Surat Edaran Alur Baru Diagnosis dan


Penatalaksanaan TB Paru. Edisi 1. Jakarta : Kemenkes RI

Ma, Z., Ginsberg, A.M. & Spigelman, 2007, Antimycobacterium Agents, Global
Alliance forTB Drug Development, New York, USA.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra
Grafika.

Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2018. Press Release World Day Pneumonia.
Jakarta: PDPI
Prasad, J., Behera D., Lalit K., Rohit S., Khatri G.R. et al., 2012. Relationship
between sputum smear grading and smear conversion rate and treatment
outcome in the patients of pulmonary tuberculosis undergoing DOTS- A
prospective cohort study. Indian Journal of Tuberculosis, 59 (3)

Somoskovi, A., Parsons, L.M. & Salfinger, M., 2001, The Molecular Basis of
Resistance to Isoniazid, Rifampin, and Pyrazinamide in Mycobacterium
tuberculosis, Respir. Res., 2, 164–168.

Werdhani. 2014. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi


Tuberkulosis.Jakarta:FKUI-Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva: WHO

Yoga, T., Aditama M. S., Dyah E. M., Asik S., Adi U., et al., 2014. Strategi
Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Menkes RI

Anda mungkin juga menyukai