Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya
semakin luas. Penyakit ini yang disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod- borne virus atau virus yang disebabkan oleh atropoda. Virus ini termasuk genus flavivirus dari famili flaviviridae. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti untuk daerah perkotaan dan Aedesalbopictus untuk daerah pedesaan. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh umur. Penyakit DBD dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Penyakit ini menyerang segala usia tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan terhadap penyakit yang berpotensi mematikan ini (Diana dan Suryani, 2017). Pada umumnya penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) akan mengalami fase demam selama 2-7 hari, fase pertama: 1-3 hari ini penderita akan merasakan demam yang cukup tinggi 400C, kemudian pada fase ke-dua penderita mengalami fase kritis pada hari ke 4-5, pada fase ini penderita akan mengalami turunnya demam hingga 37 0C dan penderita akan merasa dapat melakukan aktivitas kembali (merasa sembuh kembali) dan sering kali pada fase ini penderita tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat atau tidak melanjutkan minum obat seperti penurun panas sehingga dapat menyebabkan terjadi keadaan fatal, yaitu dapat terjadi penurunan trombosit secara drastis akibat pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Di fase yang ketiga ini akan terjadi pada hari ke 6-7 ini, penderita akan merasakan demam kembali, fase ini dinamakan fase pemulihan, di fase inilah trombosit akan perlahan naik kembali normal kembali (Kemenkes RI, 2019). Data WHO tahun 2015 ditandai dengan wabah demam berdarah yang besar di seluruh dunia, dengan Filipina melaporkan lebih dari 169.000 kasus dan Malaysia melebihi 111.000 kasus dugaan demam berdarah, meningkat 59,5% dan 16% dalam jumlah kasus tahun sebelumnya (WHO, 2015). Dan pada tahun 2017 jumlah penderita DBD di Indonesia yang dilaporkan sebanyak 68.407 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 493 orang (IR/Angka kesakitan sebanyak 26,12 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,72 % (Infodatin, 2018). Di Provinsi Bali tahun 2016 kasus (DBD) ditemui sebanyak 4409 kasus, dan meninggal 13 orang. Incidince Rate DBD di Provinsi Bali Tahun 2016 sebesar 105,95 per 100.000 penduduk (Infodatin, 2018). Berdasarkan profil dinas kesehatan kota Bali, kasus demam berdarah di kota Bali tahun 2016 berjumlah 4409 orang dengan CFR (Case Fatality Rate) yaitu 0,29 % (Infodatin, 2018). Tingginya kasus DBD yang terjadi, perlu disikapi secara arif untuk melakukan upaya solutif dalam memberikan penanganan secara komprehensif. Untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah berkembangnya penyakit demam berdarah dengue diperlukan pengetahuan yang baik terhadap penyakit DBD. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Asiah dkk (2014) yang menyatakan bahwa salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri, khususnya tentang penyebab, tanda dan gejala, pencegahan dan penatalaksanaan penyakit demam berdarah dengue. Rendahnya pengetahuan tentang penyakit Demam Berdarah Dengue sejalan dengan munculnya resiko terkena Demam Berdarah Dengue. Pengetahuan kepada masyarakat diperlukan karena sebagai modal awal perubahan perilaku masyarakat. Pengetahuan tentang penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi hal yang sangat penting diketahui oleh masyarakat sehingga dapat melakukan deteksi dini dan mampu mengetahui tentang penyebab, tanda dan gejala, pencegahan dan cara penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) terutama pada saat pasien berada pada fase kritis. Dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit demam berdarah (DBD) diperlukan sosialisasi atau penyuluhan mengenai penyakit demam berdarah, dimana diperlukan kolaborasi antara tenaga kesehatan dengan tenaga kesehatan yang lain seperti dokter, perawat, apoteker, dll, sehingga dapat memberikan informasi mengenai penyakit demam berdarah serta dapat mencegah kematian akibat penyakit demam berdarah (Fitriyani, 2016). Menurut American Collage of Clinical Pharmacy (ACCP) tahun 2009 Interprofessional dalam dunia kesehatan merupakan bentuk perawatan kesehatan yang melibatkan berbagai profesi kesehatan. IPE merupakan hal yang potensial sebagai media kolaborasi antar professional kesehatan dengan menanamkan pengetahuan dan skill dasar dalam masa pendidikan (Mendez et al, 2008). Untuk mensinergiskan dan mengefektifkan pelayanan kesehatan terhadap pasien, maka Interprofessional Collaboration (IPC) sebagai bentuk praktik kolaborasi dengan berbagai ilmu kesehatan sangat penting untuk dilakukan. IPC akan terlaksana dengan lebih baik apabila seluruh pelaksana IPC bisa saling memahami peran, kompetensi inti, dasar bahasa dan pola piker (Kenaszchuk, 2013). Pelaksanaan IPC pada praktik nyata terhadap pasien dipengaruhi oleh Interprofessional Education (IPE). Hal tersebut dikarenakan IPE menyiapkan mahasiswa kesehatan atau calon tenaga kesahatan untuk lebih bisa memahami peran masing-masing profesi dan meningkatkan kesiapan mereka untuk berkolaborasi dalam memberika pelayanan kesehatan (Soubra, Badr, Zahran, & Aboul-Seoud, 2017). 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang didapat berdasarkan latar belakang yaitu a. Bagaimana peran dokter dalam memberikan terapi pada kasus ini? b. Bagaimana peran apoteker dalam memberikan KIE terhadap minum obat pasien dengan memikirkan efek samping yang mungkin terjadi? c. Bagaimana peran perawat dalam memberikan konseling terapi supportif bagi pasien dan keluarga pasien?
1.3 Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui peran dokter dalam memberikan terapi pada kasus ini b. Untuk mengetahui peran apoteker dalam memberikan KIE terhadap minum obat pasien dengan memikirkan efek samping yang mungkin terjadi? c. Untuk mengetahui peran perawat dalam memberikan konseling terapi supportif bagi pasien dan keluarga pasien
1.4 Manfaat Masalah
Makalah ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi kepada dokter, apoteker, perawat serta pasien mengenai edukasi tentang penyebab, tanda dan gejala, pencegahan dan cara penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) serta untuk mencegah adanya kematian akibat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). DAPUS Diyana Oktavia Sari, Suryani. 2017. Hubungan Perilaku 3M Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Kota Bengkulu. Higiene. Vol. 3, No. 3. Hal: 132-136 Infodatin. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2019. Demam Berdarah Dengue (Dbd). Diakses pada web : http://www.depkes.go.id/development/site/depkes/pdf.php?id=1-17042500004. Diakses pada tanggal 20 Juni 2013. Kenaszchuk, C. (2013). An inventory of quantitative tools measuring interprofessional education and collaborative practice outcomes. Journal of Interprofessional Care. Diakses pada web: https://doi.org/10.3109/13561820.2012.735992. Diakses pada tanggal 23 Juni 2019 Mendez, P., 2008. The Potential Advantages and Disadvantages of Introducing Interprofessional Education into the Healthcare Curricula in Spain. Nurse Education. Diakses pada web: http://www.elsevier.com/journal/nedt. Diakses pada tanggal 20 Juni 2019. Soubra, L., Badr, S. B. Y., Zahran, E. M., & Aboul-Seoud, M. (2017). Effect of Interprofessional Education on Role Clarification and Patient Care Planning by Health Sciences Students. Health Professions Education. Diakses pada web: https://doi.org/10.1016/j.hpe.2017.12.005. Diakses pada tanggal : 20 Juni 2018 WHO. 2015. Dengue and Severe Dengue Geneve: World Helath Organization