Penyunting
Sri Rezeki Hadinegoro
Ismoedijanto Moediito
Alex Chairulfatah
Sambutan
Buku pedoman ini berisi hal hal penting yang sangat diperlukan sebagai panduan
dalam menegakkan diagnosis dan tata laksana kasus dengue. Kami sangat
mengharapkan buku pedoman ini dapat menjadi acuan dalam penanggulangan
infeksi dengue pada anak di Indonesia, sehingga dapat mencegah kematian dan
menurunkan angka kesakitan infeksi dengue di Indonesia.
Sekali Iagi, kami mengucapkan selamat dan memberikan penghargaan yang besar
kepada UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI yang telah berhasil menyusun
buku pedoman infeksi dengue ini
Pertama-tama kami ucapkan puji syukur ke hadlirat Tuhan Yang Maha Esa yang
atas perkenan-NYA para ahli dari Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit
Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia telah menyelesaikan "Pedoman Diagnosis
dan Tata Laksana Infeksi Dengue pada Anak
Buku ini menjadi sangat penting mengingat adanya beberapa masalah dalam
penegakan diagnosis dan tata laksana dengue, di antaranya a) Walaupun angka
kematian telah berhasil diturunkan di bawah 1%, namun dalam 6 tahun terakhir
belum berhasil diturunkan ke nilai yang lebih rendah lagi yaitu berkisar antara
0,80%—0,89%, b) angka kematian akibat sindrom syok dengue cukup tinggi,
terutama bila hanya kasus sindrom syok dengue dipakai sebagai pembagi, c)
adanya kasus infeksi dengue yang tidak lazim dan faktor komorbid yang
memengaruhi angka kesakitan dan kematian, d) kewaspadaan yang harus lebih
ditingkatkan dalam memprediksi terjadinya penyulit, dengan demikian terjadinya
penyulit dapat dihindarkan melalui intervensi dini, e) saat pemilihan pemeriksaan
penunjang deteksi antigen dan respons imunoserologi yang kurang tepat masih
ditemukan, sehingga dapat memberikan hasil negatif palsu. Pedoman ini juga
merupakan jawaban terhadap berbagai silang pendapat mengenai dua buku
panduan yang sedikit berbeda yang diterbitkan oleh WHO, kedua panduan
sesungguhnya semua baik dan saling melengkapi. Panduan ini merupakan
harmonisasi dari kedua buku tersebut.
iv
Buku pedoman ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa kontribusi dari para
ahli di lingkungan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak
Indonesia, yang telah memberikan sumbangan pemikiran, waktu, dan finansial
yang luar biasa besar. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas segala pengorbanan yang diberikan, semoga Tuhan Yang
Maha Esa membalas kebaikan bapak-ibu sekalian. Kepada tim penyunting Prof.
DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K) dan Prof. DR. Dr. Ismoedijanto
Moedjito, DTMH, Sp.A(K) kami ucapkan terima kasih. Semoga buku "Pedoman
Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Dengue pada Anak" ini berguna baik bagi
sejawat dokter spesialis anak, peserta program pendidikan dokter spesialis anak,
dokter umum, dokter layanan primer, para mahasiswa fakultas kedokteran dan
kesehatan Iainnya.
Untuk mencapai target tersebut, maka perlu dibuat suatu kesepakatan dalam hal
menilai definisi kasus infeksi dengue (case definition), sebagai dasar dalam
melakukan surveilans dan menilai efikasi vaksin dengue apabila telah ada di
pasaran.
Panduan WHO yang terakhir diterbitkan pada tahun 1997, telah dipergunakan
dalam acuan diagnosis dan tata laksana kasus dengue di Indonesia sampai
sekarang. Mengingat semakin banyak negara yang terlibat dalam penanggulangan
infeksi dengue, maka dinilai pedoman WHO 1997 perlu direvisi. Maka WHO
bekerja sama dengan Tropical Disease Research Centre (TDR) menerbitkan
vi
pedoman tahun 2009, yang diikuti oleh WHOSEARO tahun 2011. Berdasarkan
kedua pedoman tersebut, Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi & Penyakit Tropis
IDAI menyusun "Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Dengue pada
Anak tahun 2014" untuk dipergunakan di Indonesia. Buku pedoman ini
merupakan upaya "integrasi dan harmonisasi" dari pedoman WHO 2009 dan 2011
yang disesuaikan dengan situasi di Indonesia.
Tim Penyusun
Sri Rezeki Hadinegoro
Ismoedijanto Moedjito
Alex Chairulfatah
viii
Alex Chairulfatah
Daftar Kontributor
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RSUP. Dr. Hasan
Anggraini Alam
Sadikin, Bandung
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Djatnika Setiabudi Fakültas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RSUP. Dr. Hasan
Sadikin, Bandung
Divisi Infeksi & Penyakit Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
MM DEAH Hapsari Fakültas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RSUP. Dr. Hasan
Sadikin, Bandung
Subbagian Infeksi & Penyakit Tropis, Departemen limu Kesehatan
Hindra Irawan Satari Anak Fakültas Kedokteran Universitas Diponegoro, RSUP. Dr.
Kariadi, Semarang
Divisi Infeksi & Pediatri Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Ida Saiitri Laksono
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Ismoedijanto Moedjito Subbagian Infeksi & Pediatri Tropis, Bagian limu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, RSUP. Dr. Sardjito,
Yogyakarta
Kiki MK Samsi Subbagian Infeksi & Pediatri Tropis, Bagian limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD. Dr. Sutomo,
Mulva Rahma Karvanti Surabaya
Bagian limu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanagara, Jakarta
Parwati Setiono Basuki Divisi Infeksi & Pediatri Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki Hadinegoro
Subbagian Infeksi & Pediatri Tropis, Bagian limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD. Dr. Sutomo,
Yulia Iriani Surabaya
Divisi Infeksi & Pediatri Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN. Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Divisi Infeksi & Pediatri Tropis, Departemen limu Kesehatan Anak
Fakültas Kedokteran Universitas Sriwidjaja, RS. Dr. Moh. Hoesin,
Palembang
Glossary
A-B-C-S
A-B-C-S merupakan formulasi dari A=asidosis, B=bleeding/perdarahan,
C=calciunl, dan S=sugar/gula darah. Mengandung arti untuk dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah dalam mendeteksi asidosis, hemoglobin dan
hematokrit untuk menilai perdarahan, kadar kalsium serum untuk mendeteksi
hipokalsemi dan kadar gula darah untuk mendeteksi hipoglikemi. Keempat
keadaan ini bila tidak dilakukan koreksi akan menyebabkan kesulitan dalam
mengatasi syok.
Antropofilik
Adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani anthropos yaitu manusia dan philia
yaitu hubungan. Antrofilik berarti artropoda pengisap darah, yang mempunyai
kebutuhan untuk mengisap darah manusia dalam mempertahankan
kehidupannya dibandingkan dengan darah hewan.
Badai sitokin
Pelepasan mediator proinflamasi yang berlebihan yang terjadi pada suatu
penyakit infeksi akibat aktivasi sel T yang masif, yang berkontribusi terhadap
derajat penyakit.
Kategori endemik A
Merupakan stratifikasi tertinggi masalah infeksi dengue di Asia Tenggara, yang
dibuat oleh WHO-South East Asia Region. Katagori A menunjukkan bahwa
infeksi virus dengue sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di negara
tersebut infeksi dengue sebagai penyebab utama rawat inap dan kematian pada
anak, sering terjadi KLB, ditemukan empat serotipe virus dengue di masyarakat,
dan mulai menyebar ke daerah pedesaan/ rural area.
Komorbid
Penyakit yang secara bersamaan ditemukan pada pasien infeksi virus dengue.
Kondisi patologis atau penyakit tersebut berbeda dalam patogenesis dengan
infeksi virus dengue namun dapat memengaruhi prognosis.
vi
Profound shock
Keadaan syok tidak terkompensasi, pada kondisi ini nadi tidak teraba, tekanan
darah tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat.
Prolonged shock
Syok yang tidak berhasil diatasi walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan tiga
kali, tekanan nadi sempit, asidosis, oliguri, organ disfunction.
ATAU
Keadaan syok tidak mengalami perbaikan setelah mendapat 260 mL/kgBB
cairan intravena atau pasien masih dalam keadaan syok setelah 26 jam
pemberian cairan intravena.
Recurrent shock
Syok yang terjadi kembali setelah sebelumnya dapat diatasi.
Ruam konvalesens
Ruam khas yang terjadi pada fase konvalesens berupa petekie yang menyatu
diselingi bercak keputihan (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa
gatal.
Sitokin proinflamasi
Merupakan sitokin yang menstimulasi respons inflamasi seperti TNF-u, IL-6,
IL-8, monocyte chemoattractant protein-I, bila berlebihan seperti pada keadaan
badai sitokin dapat menimbulkan keadaan klinis yang buruk.
Stegomyia
Aedes aegypti merupakan spesies dari genus Aedes subgenus Stegomvia.
Namun pada saat ini, subgenus Stegomyia ditingkatkan menjadi genus sehingga
Aedes aegypti saat ini dikenal sebagai Stegomyia aegypti. Oleh karena istilah
Aedes aegypti telah terbiasa digunakan, maka pada buku pedoman ini nama
Aedes aegypti masih tetap dipakai.
Time offever defervescent
Waktu di sekitar penurunan suhu tubuh yaitu peralihan dari demam ke fase
afebris, bersamaan dengan awal fase kritis.
Triase
Proses seleksi secara cepat pasien tersangka infucsi virus dengue yang datang ke
RS atau poliklinik untuk menentukan pasien mana yang memerlukan
penanganan segera supaya tidak terjadi kematian, pasien mana yang memiliki
warning signs yang harus mendapatkan penanganan agar tidak terlambat, dan
kasus mana yang tidak memerlu-kan rawat inap.
Uji Torniquet
Disebut juga Uji Rumple Leede atau uji bendungan lengan atas, dilakukan
dengan cara sebagai berikut,
• Tahan tekanan manset pada posisi angka tengah tersebut selama 5 menit.
"'arning signs
Tanda peringatan yang terdiri atas beberapa gejala, tanda dan parameter
laboratorium yang muncul saat memasuki thne offever deferfescence atau fase
kritis. Merupakan petunjuk terjadinya perembesan plasma atau awal terjadinya
syok hipovolemik akibat perembesan plasma. Jika ditemukan salah satu u:arning
signs, pasien harus dirawat untuk diobservasi dengan ketat. Termasuk dalam
warning signs adalah muntah persisten, nyeri perut hebat, letargi, kaki tangan
dingin, perdarahan, perburukan klinis saat suhu reda, diuresis menurun dalam
4—6 jam, peningkatan nilai hematokrit diikuti dengan penurunan jumlah
trombosit.
viii
Singkatan
Acidosis-bleeding-calcium-blood sugar
Antibody dependent enhanchement
Acute respiratory distress syndrome
Acute tubular necrosis
Cluster ofdifferentiation (cluster ofdesignation)
Case fatality rate
Capillary refill time
Computerized tomography
Central venous pressure
CXC-chemokine ligand
Demam berdarah dengue/dengue hemorhagicfever
Demam dengue/denguefever
Dengue virus
Expanded dengue syndrome
Enzyme-linked immunosorbent assay
Fresh frozen plasma
Fresh whole blood
High care unit
Human imnaunodeficiency virus
Human leucocyte antigen
Hematokrit/packed cell volume
Interferon-gamma
Imunoglobulin G
Imunoglobulin M
Interleukin
Idiopathic/immune thrombocytopenic purpura
Japanesse encephalitis virus
Koagulasi intravaskular diseminata/dissenlinated
intravascular coagulation
Kejadian luar biasa
Daftar
sonance imaging
tube
al-I
anti-inflammatory drug
chain reaction Positive
alue
cell
time
mboplastin time
ne
acid
scription-polymerase chain reaction
ok dengue/dengue shock syndrome
mic-oxaloacetic transaminase/aspartat
e
mic-pyruvic transaminase/alanine
e
encephalitis virus
ecrosis factor-alfa
h Organization
irus
ns
Yellowfever virus
Tabel
Halaman
x
kasus dan angka kematian DBD di Indonesia, tahun
012 . 1
. 21
... 22
Gambar
Halaman
kejadian demam dengue, demam berdarah dengue, dan
syok dengue berdasarkan umur
mah Sakit Pendidikan tahun 2008—2013........... . 2
9
ari antibody-dependent enhancement (ADE) .
dan sekunder 35
yok 51
Halaman
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat — IDAI .
Sambutan Ketua UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI
Bab 1 Pendahuluan
Bab 11 Patogenesis infeksi dengue .. 7
70
Bab VII Pelaporan dan sistem rujukan ..............
Daftar
72
Bab VIII Persiapan rumah sakit menghadapi KLB
Kepustakaan ............ . 75
IX
Bab 1
Pendahuluan
Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dałam tiga dekade
terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara
yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 100. Kejadian luar biasa
penyakit telah sering dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue terutama
ditemukan di daerah tropis dan subtropis dengan sekitar 2,5 milyar penduduk
yang mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit ini. Diperkirakan setiap tahun
sekitar 50 juta usia terinfeksi virus dengue yang 500.000 di antaranya
memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah anak-
anak. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar merupakan
daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste termasuk ke dałam kategori
endemik A (endemik tinggi). Di negara tersebut penyakit dengue merupakan
alasan ułama rawat inap dan salah satu penyebab ułama kematian pada
anak.Tabel I menunjukkan jumlah kasus dan angka kematian (casefatality
rate/CFR) demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia dari tahun 2008 sampai
2012.
Tabel I. Jumlah Kasus dan Angka Kematian DBD di Indonesia, Tahun 2008-2012
Tahun Jumlah kasus Angka kematian (%)
4,000
3.om
zooo
1,000
Sumber: Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
RSUP Dr. Hasan Sadikin, RSUD Soetomo, RSUP Dr. sarjito, RSUP Dr. Karfadi, dan
RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Gambar l. Angka kejadian demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom
syok dengue berdasarkan Umur di enam Rumah Sakit Pendidikan
Tahun 2008-2013
2
Selama kurun waktu enam tahun telah dirawat 13.940 pasien yang terdiri
atas demam dengue (DD) 5.931, DBD 5.844 dan sindrom syok dengue
(SSD) 2.165 pasien. Kelompok umur terbanyak adalah 5-14 tahun yaitu
9.036 (64,8%). Angka kematian kasus infeksi dengue tertera pada Tabel
2.
Tabel 2. Angka kematian DD, DBD, dan SSD yang dirawat di enam rumah sakit
pendidikan, tahun 2008—2013
Meninggal kasus
Manifestasi klinis Jumlah Kasus
Angka kematian kasus infeksi dengue yang dirawatl sedikit lebih tinggi
dari angka nasional, mengingat kccnam rumah sakit pendidikan tersebut
merupakan rumah sakit rujukan. Apabila dilihat dari kasus SSD saja,
tampak bahwa angka kematian masih cukup tinggi yaitu 7,81 % dari
seluruh kasus SSD.Penyebab kematian selain SSD, dilaporkan pada
beberapa kasus adanya manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual
manifestation/expanded dengue syndrome) seperti ensefalopati dengue
koagulasi intra-vaskular diseminata (KID), serta beberapa kasus
dısertai komorbid seperti infeksi HIV, dan sepsis.
Data tersebut menunjukkan untuk menurunkan angka kematian lebih
lanjut diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam tata laksana kasus
SSD, manifestasi klinis yang tidak lazim, dan perlu pula
dipertimbangkan faktor komorbid.
Epidemiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya
aegipty (dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu
Aedes albopictus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan
abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk,
dan pejamu manusia; sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan.
Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain
virus dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse
encephalitis virus (JEV), yellow fever virus (YFV), West Nile virus
(WNV), dan tickborne encephalitis virus (TBEV). Masing-masing virus
tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga
memungkinkan terjadi reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom
yang dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive sense single stranded)
RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai
polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid = C, pre-membrane =
prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NSI, NS2A,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS). Selanjutnya, melalui aktivitas
berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu
polipeptida tersebut membentuk menjadi masing-masing protein. Protein
prM yang terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim furin yang
berasal dari sel pejamu diubah menjadi protein M sebelum virus tersebut
disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama dengan protein C dan E
membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural tidak ikut
membentuk struktur virus. Protein NSI merupakan satu-satunya protein
nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak
oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai
antigen NSI. Masingmasing protein mempunyai peran yang berbeda
dalam patogenisitas, replikasi virus, dan aktivasi respons imun, baik
humoral maupun selular.
4
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe Virus dengue, yaitu
DENV-I, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe
mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang berbeda. Serotipe
dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu negara atau
area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe urus
dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yzng
paling virulen.
Vektor nyamuk
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai
spesies kosmopolitan yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia
antara 45 0 lintang utara dan 35 0 lintang selatan. Nyamuk ini merupakan
nvamuk domestik yang mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit
manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu
(multiple-bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti
ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang sangat potensial
untuk menularkan Virus dengue dari satu individu ke individu Iain. Hanya
nyamuk betina yang menggigit manusia.
Peiamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami Gremia,
Virus masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul
demam sampai 5—7 hari fase demam. Nyamuk kemudian menularkan
Virus ke manusia Iain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada
individu antara Iain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu
Faktor Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan
dalam penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global
dilaporkan membuat nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk
mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia.
Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim kemarau ke
musim penghujan dilaporkan berpenganıh terhadap peningkatan kasus
penyakit dengue.
6
Bab 11
Patogenesis Infeksi Dengue
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut,
Imunopatogenesis
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yâng terjadi
secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi
dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel endotel,
dan trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai
mediator antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem komplemen,
serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut
berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan
mediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih
dari zat-zat tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya
menimbulkan berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue.
Infeksi sebelumnya
Sumber: Whitehead SS, dkk. Prospects for a dengue virus vaccine. Nat
Rev Microbiol.
Gambar 2. Model dari antibody-dependent enhancement (ADE)
Pada infeksi sekunder oleh Virus dengue serotipe yang berbeda, ternyata
sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang
sebelumnya dibandingkan dengan serotipe Virus yang baru. Fenomena ini
disebut sebagai original antigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis
terhadap Virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin
berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan
dalam memacu respons inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel
endotel vaskular.
Mekanisme Autoimun
Di antara komponen protein Virus dengue yang berperan dalam
pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NSI. Protein yang
paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis infeksi
Virus dengue yaitu protein NS l . Antibodi terhadap protein NS I dengue
menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga
menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu
respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi terhadap
protein NSI dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS l , ternyata antibodi
terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi
terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel.
Proses autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan
antara protein NS I dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat pada
sel endotel dan trombosit yang disebut sebagai molecular mimicry.
Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud, mengakibatkan
sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara keduanya akan
dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan. Akibatnya, pada
trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia
dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang
mengakibatkan perembesan plasma.
10
Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain
Sitokin merupakan suatu molekül protein dengan fungsi yang sangat
beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi.
Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat
proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis, terjadi
keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin
diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan,
akan merugikan pejamu.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat
penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD) ditandai
dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering dısebut sebagai
badai sitokin (cytokine storm atau cytokine tsıınami). Dalam melakukan
fungsinya berbagai sitokin saling berhubungan dan saling memengaruhi
satu dengan yang lainnya berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang paling
berperan menyebabkan penyakit yang berat, beberapa penelitian
menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena beberapa
alasan, antara lain variasi dalam waktu pengambilan sampel pemeriksaan,
usia, batasan derajat penyakit, dan juga faktor genetik yang berbeda. Dari
beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak dikemukakan
yaitu TNF-u, İL- IP, İL-6, İL-8, dan İFN-Y. Mediator lain yang sering
dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan derajat
penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL- 10, dan CXCL-ı ı yang
dipicu oleh IFN-Y.
Faktor Pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk
terkena infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor
genetik, dan penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan
dengan sistem imun. Anak-anak umumnya mempunyai perjalanan
penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan dewasa. Mengenai
mekanisme yang mendasarinya belum jelas, tetapi diduga anak
mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih mudah untuk mengalami
peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6—12 bulan mempunyai risiko lebih
berat, meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui
mekanisme ADE yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan
usia lebih dari satu tahun. Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat
nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. Obesitas
merupakan salah satu faktor risiko yang pernah dilaporkan. Faktor genetik
sebagai faktor risiko telah banyak diteliti,pada umumnya berhubungan
dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang menjadi faktor
risiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal terhadap infeksi virus
dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan
antara faktor genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain
di luar pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-u, IFN-Y, dan
IL-I, serta gen yang mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan
mannosa binding lectin.
12
Bab 111
Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Infeksi Virus
Dengue
Asimtomatik Simtomatik
Gambar 3. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue surnoer : World Health Organization.
Comprehensive guidelines tor prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO, Regional Office
for South-East Asia; 2011.
Sindrom Virus
Bayi, anak-anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan manifestasi
klinis berupa demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan
dengan demam akibat infeksi virus lain. Manifestasi klinis tersebut pada
umumnya ditemukan pada saat dilakukan penelitian mengenai penyebab
demam pada kelompok masyarakat tertentu (survei demam/fever
survey). Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau pada saat
penyembuhan. Gejala gangguan saluran napas dan pencernaan sering
ditemukan.
Perjalanan penyakit
Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namun dihawatirkan
apabila di kemudian hari terkena infeksi yang kedua, manifestasi klinis
yang diderita akan lebih berat berupa demam dengue, demam berdarah
dengue atau expanded dengue syndrome.
Demam dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan deve asa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4—6 hari (rentang 3—14
hari), timbul gejala berupa demam, mialgia, sakit punggung, dan gejala
konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise),
anoreksia, dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul
mendadak, tinggi (39 0 C—400 C), terus-menerus (pola demam kurva
kontinua), bifasik, biasanya berlangsung antara 2—7 hari. Pada hari ketiga
sakit pada umumnya suhu tubuh turun,namun masih di atas normal,
kemudian suhu naik tinggi kembali, pola ini disebut sebagai pola demam
bifasik. Demam disertai dengan mialgia, sakit punggung (karena gejala ini,
demam dengue pada masa lalu disebut sebagai breakbone fever), artralgia,
muntah, fotofobia (mata seperti silau walau terkena cahaya dengan
intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau
ditekan. Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare
atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok, dan depresi.
14
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau
rubeliformis, ruam ini segera berkurang sehingga sering luput dari
perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaki dan
tangan berupa ruam makulopapular dan petekie diselingi bercak bercak
putih (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal yang disebut
sebagai ruam konvalesens.Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat
ringan berupa uji tourniquet yang positif (210 petekie dalam area 2,8 x 2,8
cm) atau beberapa petekie spontan. Pada beberapa kasus demam dengue
dapat terjadi perdarahan masif.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal,
namun pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam,
namun kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan
ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit dapat normal atau
menurun (100.000—150.000/mm3 ), jarang ditemukan jumlah trombosit
kurang dari 50.000/mm . Peningkatan nilai hematokrit sampai 100/70
mungkin ditemukan akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau
karena asupan cairan yang kurang. Pemeriksaan serum biokimia pada
umumnya normal, SGOT, dan SGPT dapat meningkat.
16
orang tua. Ruam konvalesens seperti pada demam dengue, dapat
ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase
demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2—4 cm bawah arkus
kosta. Perlu diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari
ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak
berhubungan dengan derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering
ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom syok dengue/SSD Pada
DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura,
apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites. Pemeriksaan
rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura terutama di
hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat
luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura.
Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall thickening)
mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai
hematokrit @200/0 dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma
terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda
indirek kebocoran plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan
berkurangnya volume intravaskular yang akan menyebabkan syok
hipovolemi yang dikenal sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang
memperburuk prognosis.
Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam
dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah,
hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran
plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran
plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila
berat menimbulkan syok dengan
mortalitas yang 45 7o9 tinggi.
123
Hari sakit
Suhu
•Reabsorbsl
•Keleblhan
cairan
Masalah Klinis Dehidrasl
potensial Gangguan organ
Hematroklt Trombosit
Perubahan
parameter
hematologi
Viremia lgM/lgG
Demam Dehidrasi,
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan
kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma,
Perdarahan masif,
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia Oika terapi cairan intravena diberikan secara
berlebihan dan/atau dilanjutkan sampai fase konvalesens)
Edema paru akut
20
Diagnosis banding pada fase demam dan fase kritis DBD dapat dilihat
pada Tabel 5 dan 6.
Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur
neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem
kardiovaskular mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi sekuncup
(stroke volume), laju jantung (heart rate), dan vasokonstriksi perifer. Pada fase ini
tekanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung.
Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun,
walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai kemungkinan
anak jatuh ke dalam syok. Pada beberapa pasien, khususnya remaja dan dew asa
takikardia tidak terjadi.
Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa quite tachypnea
(takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi sistem
keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik namun nilai PH masih normal
dengan tekanan karbon dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan
anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, sehingga dokter yang kurang
berpengalaman mungkin tidak mengetahui bahwa pasien sudah berada dalam
keadaan kritis.
22
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan prognosis yang
baik. Bila keadaan kritis luput dari pengamatan sehingga pengobatan tidak
diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan jatuh kedalam syok
dekompensasi.
Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan sistem
kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah
menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat
atau pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang
ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis makin
jelas terlihat. Tabel 7 memperlihatkan rangkaian hemodinamik pada anak dengan
sirkülasi stabil, syok terkompensasi, dan syok dekompensasi.
Tabel 7. Hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil, syok terkompensasi, dan
syok dekompensasi
Diuresis Normal
Cenderung menurun Oliguria/anuria
Dari Tabel 7 tertera bahwa untuk pasien dalam perawatan, temuan adanya
hipotensi merupakan hal yang terlambat karena tanda hipotensi sudah
masuk ke dalam syok dekompensasi, kolaps kardiorespirasi akan segera
terjadi. Deteksi dini syok terkompensasi dan terapi yang cepat dan tepat
memberikan prognosis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan syok
dekompensasi.
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi mental
karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau
letargi. Kejang dan agitasi mungkin terjadi bergantian dengan letargi. Pada
beberapa kasus anak-anak dan dewasa muda pasien tetap memiliki status
mental yang baik walaupun sudah mengalami syok. Ketidak mampuan
bayi dan anak-anak untuk mengenali atau melakukan kontak mata dengan
orang tua, atau tidak memberi respons terhadap rangsang nyeri seperti
pada saat pengambilan darah, dapat merupakan pertanda buruk yaitu awal
terjadinya hipoperfusi korteks serebri. Orang tua mungkin menjadi orang
24
pertama yang mengenali tanda-tanda ini akan tetapi mereka mungkin tidak
dapat menggambarkannya, selain mengatakan ada sesuatu yang salah.
Oleh karena itu keterangan orang tua harus didengar dan diperhatikan.
Gagal hati akut dan gagal ginjal akut serta ensefalopati mungkin terjadi
pada syok berat. Kardiomiopati dan ensefalitis juga telah dilaporkan dalam
sejumlah laporan seri kasus dengue. Namun, sebagian besar kematian
akibat dengue terjadi akibat profound shock yang dipersulit oleh
perdarahan dan/atau pemberian cairan berlebih. Pasien dengan
perembesan plasma hebat mungkin saja tidak jatuh ke keadaan syok jika
telah dilakukan penggantian cairan sesegera namun mungkin timbul
gangguan pernapasan akibat terapi cairan intravena yang berlebih.
26
Penyebab kelebihan cairan pemberian cairan intravena terlalu awal dengan
volume yang besar menggunakan cairan hipotonik dengan volume
yang besar tidak menurunkan jumlah volume cairan infus ataupun
menghentikannya walaupun sudah masuk ke fase konvalesens tidak
menggunakan cairan jenis koloid walau sudah ada indikasi
b. Gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu hiponatrenma
dan hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering pada fase
konvalesens.
• Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infus
larutan hipotonis yang tidak adekuat.
• Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti
albumin masuk ke rongga pleura atau peritoneal.
• Hipokalemia disebabkan adanya kondisi stresdan pemberian diuretik
28
PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis, dan
hiponatremia (apabila mungkin periksa kadar amoniak darah)
d. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal syok, sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai
30
sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal
maka setelah syok diatasi dengan mengisi volume intravaskular, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan >l
mL/kgBB/jam. Oleh karena jika syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi acute kidney injury
(AKI), ditandai penurunan jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin.
e. Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi
dengue yang mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya terutama
adalah asidosis metabolik, hipokalsemia, dan kardiomiopati. Sehingga tata
laksana pada keadaan ini selain memberikan obat-obatan untuk miokarditis,
juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang
didapatkan dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien
infeksi dengue. Beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan
dapat mengalami miokarditis, sehingga jika didapat kecurigaan terhadap
miokarditis, pemberian cairan harus berhati-hati.
Bab IV
Diagnosis Laboratorium
• Isolasi virus
• Deteksi asam nukleat virus
• Deteksi antigen virus
• Deteksi serum respons imun /uji serologi serum imun
• Analisis parameter hematologi
31
Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel
nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa laboratorium
besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga tidak tersedia di
laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada enam hari
pertama demam.
32
Gambar 5. Kinetik NS-I antigen dengue dan IgM serta IgG anti dengue pada infeksi primer
dan sekunder
Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling
sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan ini
mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itü jarang dilakukan di
laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.
33
a 56789101112 2'.ao -90 Dap
Mulai demam
Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai
hematrokit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari
diagnosis klinis demam berdarah dengue.
• Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan
neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam.
Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutrofil
34
dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis
perembesan plasma. Sering kali ditemukan limfositosis relatif dengan
peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam dan saat masuk fase
konvalesens. Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD.
• Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh
penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/HL dapat ditemukan
pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang
mendadak di bawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase demam
memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopeni pada
umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering
mendahului peningkatan hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan
dengan derajat penyakit DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi
trombosit (trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan
kembali normal selama fase penyembuhan.
35
Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan dari
penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan penyakitnya.
Dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat terhadap infeksi dengue,
tidak jarang pasien demam dibawa berobat pada fase awal penyakit, bahkan
pada hari pertama demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini adalah pasien
demam berdarah dengue dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada
fase dini, namun di Sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan
untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. Oleh karena itu
diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus dicurigai, petunjuk
ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium
rutin. Tanpa diberikan petunjuk akan menyebabkan keterlambatan bahkan
kesalahan dalam menegakkan diagnosis dengan segala akibatnya. Di Sisi
lain menyebabkan pemeriksaan laboratorium berlebih dan bahkan
perawatan yang tidak diperlukan sehingga akan merugikan baik bagi pasien
maupun dalam peningkatan beban kerja rumah sakit.
37
• Demam 2—7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus
(kontinua)
• Hepatomegali
• Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu
tanda/gejala: Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan
awal atau dari data populasi menurut umur Ditemukan adanya efusi
pleura, asites
Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
• Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis
DBD.
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya syok pada penderita DBD tertera pada Boks C.
Boks C Tanda bahaya (Warning Signs)
Syok Terkompensasi
Boks D Tanda dan gejala syok terkompensasi
• Takikardia Takipnea
Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) <20
mmHg
Waktu pengisisn kapiler (capillary refill time/CRT) >2 detik
Kulit dingin
Produksi urin (urine output) menurun, < iml/kgBB/jam
Anak gelisah
Syok dekompensasi
Boks E Tanda dan gejala syok dekompensasi
Takikardia
Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
Nadi cepat dan kecil
Pernapasan Kusmaull atau hiperpne
Sianosis
Kulit lembab dan dingin
Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
Expanded dengue syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak, dengan
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi
klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
• Kelebihan cairan
• Gangguan elektrolit
• Ensefalopati
• Ensefalitis
• Perdarahan hebat
39
• Gagal ginjal akut
• Haemolytic uremic syndrome (HUS)
• Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
Infeksi ganda
Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi
diagnosis klinis, namun karena memerlukan teknologi yang canggih dan
prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang
rutin dilakukan.
40
Bab VI
Tata Laksana Infeksi Virus Dengue
Triase
Setiap rumah sakit yang merawat pasien infeksi virus dengue, harus
mempersiapkan Unit Triase sebagai tempat untuk melakukan skrining, apakah
pasien harus menjalani rawat inap atau rawat jalan. Triase dapat dilakukan juga di
Puskesmas yang mempunyai tempat perawatan, mempunyai dokter dan perawat
terlatih. Pada saat seorang pasien datang dengan dugaan menderita infeksi dengue,
maka diantar ke Unit Triase untuk menjalani pemeriksaan anamnesis dan
pemeriksaan jasmani yang teliti dan dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap,
minimal kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit.
Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari yang disertai
nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan baik spontan maupun hasil uji Tourniquette, jumlah leukosit yang
rendah (kurang dari 4.000/mm3) tanpa atau dengan jumlah trombosit yang menurun
dan apalagi bila diketahui ada kasus dengue di lingkungan tempat tinggal atau di
sekolah, maka harus dicurigai pasien tersebut menderita infeksi dengue. Di
Indonesia belum ada harga normal nilai hematokrit, namun apabila nilai hematokrit
sangat tinggi dibandingkan dengan nilai hematokrit pasien berdasar pengamatan
dari pasien-pasien terdahulu, meningkatkan kecurigaan terhadap kemungkinan
infeksi virus dengue. Apabila rendah atau biasa, nilai ini merupakan data dasar yang
sangat berguna dalam tata laksana selanjutnya.
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat bermanifestasi
sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan
syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien tersangka
infeksi virus dengue harus diteliti pasien mana yang bisa dilakukan pengobatan
rawat jalan dan pasien mana yang harus menjalani rawat inap. Pada umumnya
pasien pada saat masuk didiagnosis sebagai demam dengue dapat diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti
thalassemia, sindrom nefrotik, hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat risiko tinggi
seperti asma bronkial dan obesitas atau apabila ditemukan indikasi sosial seperti
rumah yang jauh, tidak ada orang tua atau pengasuh yang dapat diandalkan.
Demikian juga pasien demam dengue yang mengalami muntah persisten atau
menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap. Pasien dengan demam
41
berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok atau expanded dengue
syndrome dengan sendirinya harus menjalani rawat inap.
Skrining di triase adalah untuk menentukan pasien mana yang dapat diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan dan pasien rawat inap, secara rinci tertera pada Gambar
7.
42
Tersangka Infeksi Dengue
Demam 2—7 hari mendadak tinggi kontinua, nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri
retroorbital, manifestasi perdarahan (spontan/rumple leede), leukosit <4.000/mm3, dan kasus
DBD di lingkungan
Tidak Ya
Rawat Jalan;
Nasihat kepada orang tua
(Boks F)
Rawat Inap:
Apakah terdapat :
Warning signs (Boks C)? - Demam dengue
- Demam berdarah dengue
- Demam berdarah dengue dengan syok
Ya - Expanded dengue syndrome
Gambar 7. Skrining tersangka infeksi dengue di Triase
Tata Laksana Rawat Jalan Demam Dengue
Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial, diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan simtomatik berupa antipiretik
seperti parasetamol dengan dosis I (VI 5 mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap
43
4—6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa asetil salisilat,
antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-inflammatory drugs/NSAID) seperti
ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan metode fisik seperti kompres
diperbolehkan, yang dianjurkan adalah dengan cara "kompres hangat" (diseka
dengan air hangat suam kuku/tepid sponge). Anak dianjurkan cukup minum, boleh
air putih atau teh, namun lebih baik jika diberikan cairan yang mengandung
elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda kecukupan cairan adalah
diuresis setiap 4—6 jam.
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini mengingat
tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda dan gejala yang
karakteristik baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Oleh karena itu pada
pasien dengan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat masuk, baik yang
kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih
memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD fase
awal. Pasien DD, walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami
penyulit seperti dehidrasi akibat asupan yang kurang misal karena timbul muntah,
perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan kontrol setiap
hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD dengan penyulit atau DBD.
Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua dengan jelas,
sebaiknya dalam bentuk tertulis seperti tertera pada Boks F. Untuk mengantisipasi
kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau DBD yang mungkin
timbul selama rawat jalan, orang tua diminta untuk memantau kondisi anak, bila
ditemukan tanda bahaya (warning signs-Boks C) harus segera kembali ke rumah
sakit tanpa harus menunggu keesokan harinya.
Boks F Nasihat kepada orang tua untuk pasien rawat jalan
44
Nasihat di rumah
• Anak harus istirahat
• Cukup minum selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, cairan
elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air
kecil setiap 4 6 jam.
• Parasetamol 10 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 0C dengan
interval 4—6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ ibuprofen.
Berikan kompres hangat.
• Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh
petugas kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai: pola
demam, jumlah cairan yang masuk dan keluar (misalnya muntah,
buang air kecil), tanda-tanda perembesan plasma dan perdarahan,
serta pemeriksaan darah perifer lengkap.
• Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit jika ditemukan satu atau
lebih keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk,
nyeri perut hebat, muntah terus-menerus, tangan dan kaki dingin dan
lembab, letargi atau gelisah/rewel, anak tampak lemas, perdarahan
(misalnya b.a.b berwarna hitam atau muntah hitam), sesak napas,
tidak buang air kecil lebih dari 4—6 jam, atau kejang
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila
cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah
dengan syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan
demikian penggantian cairan ditujukan untuk mencegah
timbulnya syok. Masalahnya adalah kapan terjadi perembesan plasma, dan
pemeriksaan sederhana apa yang dapat dipakai sebagai indikator terjadinya
perembesan plasma. Perembesan plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun
(time of fever defervescence). Pemeriksaan nilai hematokrit merupakan indikator
yang sensitif untuk mendeteksi derajat perembesan plasma, sehingga jumlah cairan
yang diberikan harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematokrit. Perlu
45
diperhatikan bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah dengue bersifat
sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka waktu lama dapat
menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya.
Penggantian cairan
Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk paslen
DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali
bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang
intravaskular sedangkan cairan isotonis 1/4 volume yang bertahan, sisanya
terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan
permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan akan semakin
berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian
cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L)
seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam ruang
intravaskular namun memiliki efek samping seperti alergi, mengganggu
fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganggu fungsi ginjal. Jenis cairan ini
hanya diberikan pada l) perembesan plasma masif yang ditunjukkan dengan
nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah
diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau 2) pada keadaan syok yang tidak
berhasil dengan pemberian bolus cairan kristaloid yang kedua. Cairan
koloid isoonkotik kurang efektif.
Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45% atas dasar pertimbangan fungsi
fisiologis yang berbeda dengan anak yang lebih besar.
• Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi klinis
dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan
harus hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, penghitungan cairan
sebaiknya berdasarkan berat badan ideal.
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena
itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
(maintenance) ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%. Untuk
memudahkan, tabel 8 memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang harus
diberikan dosis rumatan dan apabila disertai defisit cairan 5%. Tabel 9
46
memperlihatkan kecepatan dari volume cairan yang akan diberikan. Contoh
untuk anak dengan berat badan ideal 20 kg, maka kebutuhan cairan adalah 2.500
mL/24 jam dengan kecepatan 5 mL/kgBB/jam. Apabila hematokrit meningkat
jumlah cairan harus dinaikkan dan bila menurun jumlah cairan dikurangi.
Banyak ditemukan di klinis adalah pasien yang belum menunjukkan
peningkatan hematokrit yang berarti (pada keadaan ini diagnosis yang
ditegakkan masih DD), namun dihawatirkan merupakan fase awal sakit DBD,
maka volume cairan yang diberikan cukup rumatan atau sesuai kebutuhan.
Volume cairan ditingkatkan apabila nilai hematokrit naik dan kemudian
diturunkan bertahap seiring dengan penurunan nilai hematokrit. Gambar 8
merupakan ilustrasi bagaimana volume cairan ditambah dan dikurangi seiring
dengan perubahan nilai hematokrit.
Pemberian cairan dihentikan bila keadaan umum stabil dan telah melewati fase
kritis, pada umumnya pemberian cairan dihentikan setelah 24-48 jam keadaan
umum anak stabil.
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics. 1957;19:823.
47
h rumatan
Rumatan 3
Rumatan + defisit 5 0 0 5
Rumatan + defisit 70 0 7
Rumatan + defisit 100 0 10
Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics. 1957;19:823.
Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.
48
Pemantauan
• Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala syok
(mudah dilakukan).
• Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, Ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemła, sindrom nefrotik, dan
lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi
• Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
sistem koagulasi sesuai indikasi.
• Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya
efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada
dengan posisi lateral kanan dekubitus (right lateral decubitus)
• Periksa golongan darah
• Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen, EKG, dan
lainnya.
Tata laksana sindrom syok dengue
Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi
perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase
selanjutnya fase dekompensasi. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai
dengan pengobatan yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh
lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh ke dalam fase syok
49
dekompensasi. Prinsip utama tata laksana SSD adalah pemberian cairan
yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu bila ditemukan faktor
ko-morbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam basa,
gangguan elektrolit harus diobati dengan segera.
50
Tabel 10. Pemeriksaan laboratorium A-B-C-S
Pemeriksaan
Singkatan Laboratorium Keterangan
51
Perdarahan berat dapat menimbulkan atau memperberat syok
hipovolemik.Tanpa pemberian transfusi akan menimbulkan oksigenisasi
jaringan yang tidak adekuat, menimbulkan hipoksia jaringan sehingga
dapat menyebabkan asidosis dan hal lain yang mempersulit upaya
mengatasi syok hipovolemik. Perdarahan dapat terlihat nyata seperti
hematemesis dan melena, namun dapat tersembunyi (occult/concealed
bleeding) yang pada umumnya terjadi di dalam rongga usus. Sebelum
feses yang berwarna hitam keluar untuk pertama kali, perdarahan usus
sulit diketahui. Rasa tidak enak di perut, distensi perut, penurunan
peristaltik/bising usus dapat merupakan tanda adanya perdarahan
tersembunyi di rongga usus. Indikator lain adanya perdarahan adalah
melalui pemeriksaan hematokrit berkala. Pada keadaan syok, hematokrit
diperiksa pada saat masuk, setelah resusitasi cairan, selanjutnya setiap
4—6 jam. Bila pada pemeriksaan selanjutnya hematokrit menurun atau
bila pada pemeriksaan awal hematokrit tidak tinggi namun disertai
kondisi hemodinamik yang tidak stabil, harus dicurigai adanya
perdarahan. Tranfusi dapat berupa darah segar (fresh whole blood)
dengan dosis 10 mL/kg BB ataufresh packed red cell dengan dosis 5
mL/kg BB.
• Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus kedua.
Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10—20 mL/kgBB
dalam waktu 10—20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan larutan
kristaloid isotonik. Walaupun tidak ditemukan perdarahan tetapi keadaan
klinis tidak membaik, pertimbangkan pemberian transfusi.
Ya Spk teratasi
53
Perdarahan gukosa
stop makslmal 46
jam setelah syok
teratasi
menurun
Transfusidarah
10-20rnL/kgBB
delam 10—20 mena, syok n•netsp dianp«an
transfusi darah
Urin,ml
54
Tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi
Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera,
pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi
profound shock yang mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat
berobat sudah dalam syok dekompensasi, baik yang masih dalam fase
hipotensif maupun yang sudah jatuh ke dalam profound shock, diberi
pengobatan sebagai berikut.
• Berikan oksigen 2—4 L menit
• Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari
3—5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
• Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10—20 mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 10—20 menit. Pada saat bersamaan usahakan
dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula darah, dan
kalsium.
• Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kg BB/jam
selama 1—2 jam.
• Bolus krista101d dan/atau koloid 10-20 rnLRgBB dalamwanu 10-20 menit Periksa ABCS :
hematokritanalisis gas darah,gula darah,kalsium
Ya
IVFDIO mb'kgBB,
Koreksi
segera asidosist
hipo*sema,
Tanda hipNalsemia,
turunkan pertutikannih
hematokrit
Htmenhgut
maksimal 7, 5, 3, dan
setelah
mL"kgBB
Htmenurun stop
Perderahan Klinis
Tdak Flas Perdarahan
tuak temtasi
10-20 TransfiBi darah dabrn 10—20
n•ent, syok
"Enetap perthúangkm franstJS
56
Gambar I I . Bagan tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi
Pemantauan DBD dengan syok
Setiap pasien DBD yang mengalami syok harus dilakukan pemeriksaan
berkala.
1. Tanda vital setiap 15—30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok
sudah teratasi
2. Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah sakit
terutama pada pasien syok dekompensasi atau yang mengalami syok
yang berkepanjangan
3. Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusltasi
pertama dan kedua, selanjutnya setiap 4—6 jam
4. Produksi urin harus ditampung dan diukur
5. Apabila ditemukan gangguan fungsi organatau sistim lain, seperti
ginjal, hati, gangguan pembekuan, dan jantung; periksa fungsi
ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi, dan EKG
6. Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya
edema paru akibat kelebihan cairan.Periksa keadaan respirasi (napas
cepat, napas cuping hidung, retraksi, ronki basah tidak nyaring),
peninggian tekanan vena jugularis (jugular venous pressure/JVP),
hepatomegali, asites, efusi pleura. Edema parw jika tidak diobati
akan menimbulkan asidosis, sehingga pasien dapat kembali jatuh ke
dalam syok.
57
• Pada stadium lanjut dengan tanda edema paru, furosemid I
mg/kgBB/dosis segera diberikan apabila tekanan darah stabil serta
kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah pemberian furosemid
perlu dipantau setiap 15 menit untuk menilai keberhasilan
pengobatan.
• Ukur volume diuresis melalui kateter urin
• Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid, periksa
status volume intravaskular (pemantauan CVP). Apabila volume
intravaskular baik, pemberian furosemid dapat diulang untuk kedua
kalinya dengan dosis ganda. Namun apabila masih terjadi oliguria
maka harus segera dilakukan dialisis, berarti pasien dalam keadaan
gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk.
Apabila volume intravaskular tidak adekuat maka cek A-B-C-S dan
koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
58
gangguan elektrolit, atau perdarahan intrakranial. Penyebab ensefalopati harus
dicari dan diberi pengobatan sesuai penyebab.Pada pasien ensefalopati harus
diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase, PT, APTT dan albumin untuk
memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera dilakukan
koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi kepala (CT-scan/MRI)
dlrekomendasikan untuk menyingkirkan perdarahan intrakranial.
Tata laksana
• Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi), tidak lebih
dari 800 0 kebutuhan rumatan o Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila
nilai hematokrit masih tetap tinggi o Pemberian diuretik segera pada kasus
kelebihan cairan o Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30
derajat lebih tinggi dari tubuh o Intubasi dini bila diperlukan untuk
mencegah hiperkarbia dan mempertahankan jalan napas o Steroid 0,15
mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6—8 jam, untuk mengurangi
tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan )
• Mengurangi produksi amoniak dengan memberikan laktulosa 5— IO mL
setiap 6 jam.
59
• Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena
pada umumnya Obat dimetabolisme di dalam hati.
• Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy
diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.
60
Kerusakan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan sindrom gangguan
pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome=ARDS) yang
memerlukan ventilator. Kelebihan cairan harus dihindari untuk mencegah
edema paru.
61
• Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang kurang
dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian cairan harus hati-
hati karena lebih mudah terjadi kelebihan cairan. Volume cairan resusitasi
dihitung berdasarkan kebutuhan sesuai berat badan ideal.
• Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang dan lebih rentan
terhadap gangguan hati serta keseimbangan elektrolit. Pada bayi perembesan
plasma berlangsung relatif lebih pendek dan pada umumnya memberikan
respons yang cepat terhadap resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus
dilakukan pemantauan yang lebih sering terhadap kemampuan minum dan
jumlah diuresis, bila minum sudah baik dan diuresis baik jumlah intravena
harus segera dikurangi.
• Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus dirawat untuk
dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama antara dokter spesialis
kebidanan,spesialis anak, spesialis penyakit dalam dan dokter umum sangat
diperlukan. Jumlah cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu
tidak hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil. Konseling
terhadap keluarga harus diberikan terutama bila keadaan umum memburuk.
62
• Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik. Pemberian
cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan gagal jantung
akibat kelebihan cairan.
• Status hemodinamik dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau dengan
baik.
• Pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase
pemulihan mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan
furosemid untuk mengurangi udem paru. Apabila efusi pleura hanya
sedikit dan keadaan umum anak baik, tidak perlu diberikan diuretika
karena akan direabsorbsi spontan.
Tanda-tanda penyembuhan
Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas stabil
63
Suhu badan normal
Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
Nafsu makan membaik
64
• Jumlah urin cukup
• Minimal 2—3 hari setelah syok teratasi
• Tidak tampak distres pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau asites
• Jumlah trombosit >50.000/mm Apabila masih rendah namun klinis baik, pasien
boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang memudahkan untuk
mengalami trauma selama 1—2 minggu (sampai trombosit normal). Pada
umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang menyertai (misalnya
idiopatik trombositopenia purpura=ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal
dalam waktu 3—5 hari.
69
BAB VII
Pelaporan dan Sistem Rujukan
Infeksi virus dengue termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 560
tahun 1989, apabila dijumpai kasus DBD wajib dilaporkan dalam kurun waktu
kurang dari 24 jam.
Pelaporan kasus
Dokter atau petugas kesehatan yang menemukan kasus infeksi virus dengue
diwajibkan melaporkan kepada Puskesmas setempat sesuai dengan domisili
(tempat tinggal) pasien dan membuat surat pengantar untuk disampaikan
kepada kepala desa/kelurahan melalui keluarga pasien. Laporan kasus infeksi
virus dengue dari Rumah Sakit dan Puskesmas Perawatan menggunakan
formulir KDRS dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan
tembusan kepada Puskesmas sesuai dengan domisili (tempat tinggal) pasien
yang bersangkutan. Pelaporan dilakukan 24 jam setelah diagnosis infeksi
virus dengue ditegakkan.
Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
KORS
Rumah Sakit/
Unit Pelayanan Kesehatan
• Obesitas
• Ibu hamil
• Perdarahan berat
• Perhatikan dan jaga keadaan pasien selama dalam perjalanan, dan pasien harus
didampingi oleh tenaga kesehatan.
Bab VIII
71
Persiapan Rumah Sakit Menghadapi KLB
Infeksi Virus dengue merupakan penyakit endemik di Indonesia, maka sewaktu-
waktu dapat terjadi peningkatan kejadian luar biasa (KLB Dalam menghadapi KLB
dengue Rumah Sakit, harus dibentuk tim/satuan tugas penanggulangan KLB. Setiap
tim terdiri atas koordinator pelayanan medik, tenaga profesi/spesialis, kepala
keperawatan, farmasi, radiologi, laboratorium dan Iain-Iain. Tim KLB dengue
tersebut akan bergabung satu sama Iain di bawah koordinasi wakil direktur pelayanan
medik rumah sakit.
Ruangan
Ruang rawat disesuaikan dengan manifestasi dan derajat penyakit infeksi Virus
dengue yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Maka apabila memungkinkan
penyediaan ruang rawat apabila memungkinkan dibagi menurut kebutuhan.
a. Ruang rawat sehari (RRS atau ODC = one day care): ruang ini dibuat
untuk menampung pasien rawat jalan yang memerlukan tindakan atau
observasi 24 jam (dapat dilakukan di rehydration centre). Pasien dirawat
selama 24 jam untuk menentukan apakah pasien dapat berobat jalan atau
dirawat.
b. Ruang rawat bangsal: merupakan ruang rawat bangsal pada umumnya, untuk
merawat pasien DBD tanpa syok.
c. Ruang rawat peralihan (intermediate ward = IW), diperuntukkan pasien yang
memerlukan monitor ketat, tetapi belum memerlukan tindakan intensif. Jadi
merupakan ruang peralihan antara ruang rawat intensif dengan ruang rawat
bangsal. Pasien DBD dengan syok yang belum memerlukan perawatan
intensif,dapat dirawat diruang rawat peralihan.
d. Ruang rawat intensif merupakan ruang rawat dengan sarana yang lengkap
untuk mengatasi keadaan kegawatan, misalnya pasien dengan SSD berat
dan EDS.
Tenaga tambahan meliputi,
a. Tenaga perawat dari bagian Iain
b. Tenaga dokter, diperlukan tenaga tambahan dokter jaga dan dokter poliklinik
c. Tenaga laboratorium harus siap selama 24 jam
d. Tenaga kesehatan Iain dan tenaga administrasi.
72
Petugas harus telah dilatih dengan panduan praktik klinis/PPK (clinical practice
guideline) yang telah tersedia.
Persiapan sarana dan prasarana
73
Daftar Kepustakaan
l. Buku Informasi PP-PL Kemenkes RI 2013.
2. Data Dirjen PP-PL Kemenkes RI. 2012.
3. Data rawat inap pasien demam dengue, demam berdarah dengue, dan sindrom
syok dengue tahun 2008—2013 Departemen 11mu Kesehatan Anak RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo, RSUP Dr. Hasan Sadikin, RSUD Dr. Soetomo, RSUP
Dr. Sarjito, RSUP Dr. Karyadi, dan RSUP Dr. Mohammad Hoesin.
4. Fitzmaurice L, Condra C. Rhythm disturbance. Dalam: Fuchs S and Yamamoto
L, editor. APLS the pediatric emergency medicine resource. Edisi ke-5.
Burlington: Jones & Bartlett Learning; 2012. h. 149—58.
5. Gausche-Hill M, Buitenhuys C. Shock. Dalam: Fuchs S, Yamamoto L, editor.
APLS the pediatric emergency medicine resource. Edisi ke-5. Burlington: Jones
& Bartlett Learning; 2012. h. 97—127.
6. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy.
Pediatrics. 1957;19:823.
7. Halstead SB, Mahalingam S, Marovich, MA, Ubol S, Mosser DM. Intrinsic
antibody-dependent enhancement of microbial infection in macrophages: disease
regulation by immune complexes. Lancet Infect Dis.
8. Halstead SB. Neutralization and antibody-dependent enhancement of dengue
viruses. Adv Virus Res. 2003;60:421—67.
9. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Guideline for dengue & dengue haemorrhagic
fever management. Bangkok: Bangkok Medical Publisher; 2003.
Lei HY, Huang KJ, Lin vS, Yell TM, Liu HS, Liu CC. Immunopathogenesis of
dengue hemorrhagic fever. Am J Infect Dis.
l l . Libraty DH, Endy TP, Houng HS, Green S, Kalayanarooj S, Suntayakorn s, dkk.
Differing influences of virus burden and immune activation on disease severity
in secondary dengue virus infections. J Infect Dis.
12. Libraty DH, Young PR, Pickering D, Endy TP, Kalayanarooj S, Green S, dkk.
High circulating levels of the dengue virus nonstructural protein NSI early in
dengue illness correlate with the development of dengue hemorrhagic fever. J
Infect Dis. 2002; 1 86: 1 165—8.
13. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue virus pathogenesis: an
integrated view. Clin Microbiol Rev.
74
14. Mathew A, Rothman AL. Understanding the contribution of cellular immunity
to dengue disease pathogenesis. Immunol Rev. 13.
15. Rothman AL. Immunity to dengue virus: a tale of original antigenic sin and
tropical cytokine storms. Nature Rev Immunol. 2011
16. Sierra B, Perez AB, Vogt K, Garcia G, Schmolke K, Aguirre E, dkk. Secondary
heterologous dengue infection risk: disequilibrium between immune regulation
and inflammation? Cell Immunol. 2010;262: 134-4().
17. Thomas L, Najioullah F, Verlaeten O, Martial J, Brichler S, Kaidomar S. dkk.
Relationship between nonstructural protein 1 detection and plasma virus load in
dengue patients. Am J Trop Med Hyg. 2010;83:696—9.
18. Vaughn DW, Green S, Kalayanarooj S, Innis BL, Nimmannitya S, Suntayakorn
S, dkk. Dengue viremia titer, antibody response pattern, and virus serotype
correlate with disease severity. J Infect Dis. 2000; 1 8 1
19. Wahala WM, Silva AM. The human antibody response to dengue virus
infection.Viruses. 2011
20. Whitehead SS, Blaney JE, Durbin AP, Murphy BR. Prospects for a dengue virus
vaccine. Nat Rev Microbiol. 2007;5:518—28.
21. Whitehorn J, Simmons CP. The pathogenesis of dengue. Vaccine.
75