Anda di halaman 1dari 123

Pedoman Nasional

Terapi Antiretroviral
Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
Dewasa dan Remaja

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan
2011

KATA PENGANTAR
Infeksi HIV merupakan masalah kesehatan di dunia dengan jumlah
kasus yang cukup besar. Data UNAIDS tahun 2009 menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 33,3 juta orang di dunia yang hidup dengan infeksi HIV dan
AIDS. Jumlah infeksi baru di kalangan dewasa dan anak-anak adalah 2,6 juta
orang dan kematian yang berhubungan dengan AIDS (AIDS-related deaths)
sebesar 1,8 juta.
Data sampai dengan 31 Maret 2011 yang dikumpulkan dari 207 rumah
sakit rujukan antiretroviral (ARV) dan 69 layanan satelit di Indonesia
menunjukkan bahwa jumlah kasus AIDS adalah 24.482 dan estimasi jumlah
orang terinfeksi HIV adalah lebih dari 200 ribu. Rerata kasus baru AIDS setiap
tahun di Indonesia adalah antara 20005000, yang berarti setiap tahun
pemerintah harus menyediakan layanan HIV dan terapi antiretroviral untuk
sebanyak itu. Sementara itu, jumlah orang yang tercatat positif terinfeksi HIV
pada layanan VCT meningkat 10,4% setiap tahun.
Meskipun saat sekarang, secara epidemiologis Indonesia masih berada
pada tingkat Epidemi Rendah (Low Epidemic, 0,2% pada akhir tahun 2010),
tetapi sejumlah propinsi sudah berada pada tahap Epidemi Terkonsentrasi
(concentrated epidemic) dan Epidemi General (generalized epidemic). Hal itu
menunjukkan masih diperlukan segala upaya untuk menurunkan jumlah infeksi
baru, kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas
hidup orang yang terinfeksi HIV dan atau mengalami AIDS, termasuk jumlah
yang mendapatkan terapi antiretroviral.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya pedoman nasional
tentang tatalaksana HIV dan terapi antiretroviral yang dapat digunakan sebagai
standar pelayanan di seluruh Indonesia. Adanya standar yang digunakan
secara nasional akan dapat memudahkan para klinisi untuk memberikan
layanan tatalaksana HIV dan AIDS. Selain itu, pedoman nasional dapat
digunakan dalam merencanakan program nasional, termasuk pengadaan obatobat antiretroviral dan obat infeksi oportunsitik, pelaksanaan pemberian
layanan pencegahan (prevensi), terapi dan mitigasi dampak. Pedoman
nasional juga akan sangat berguna untuk melakukan monitoring dan evaluasi
program dan kegiatan.
Beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian tentang terapi
antiretroviral yang menyebabkan perubahan berbagai pedoman di dunia.
Tahun 2010 WHO mengeluarkan pedoman baru dengan judul WHO
Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescents.
Recommendation for Public Health Approach, 2010. Sementara itu, Pedoman
Nasional Terapi Antiretroviral (Edisi 2) yang digunakan saat sekarang
dikeluarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, sehingga
perlu dilakukan tinjauan ulang dan revisi sesuai perkembangan hasil penelitian.

Buku pedoman tatalaksana ini disusun oleh Panel Ahli yang terdiri dari
para klinisi dan ahli (akademisi maupun non-akademisi) yang cukup
mempunyai wawasan luas dan pengalaman memberikan layanan rawatan HIV
dan AIDS dan pengobatan antiretroviral. Anggota panel ahli ditunjuk oleh Sub
Direktorat AIDS, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan berasal dari
berbagai institusi pendidikan, rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat di
Indonesia.
Pedoman berisi tentang tatalaksana medis infeksi HIV sampai terapi
antiretroviral beserta monitoringnya. Diharapkan pedoman dapat digunakan
oleh para klinisi dan pengambil kebijakan di berbagai tingkat fasilitas pelayanan
kesehatan.
Semoga bermanfaat.

Tim Penyusun

ii

KATA SAMBUTAN
Buku Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi Ketiga tahun 2011
merupakan pemutakhiran buku Pedoman Nasional Penggunaan Terapi
Antiretroviral yang diterbitkan pada tahun 2007.
Dengan makin berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, makin
kompleksnya masalah pengobatan ARV, serta komplikasi dan efek samping
obat pada ODHA, maka diperlukan Pedoman ARV lanjutan termasuk ARV lini
ke-2. Buku pedoman dirumuskan kembali oleh tim perumus dari seluruh lintas
program dan lintas sektor yang dipimpin oleh Kementerian Kesehatan dengan
mengadaptasi Pedoman WHO tahun 2010: Antiretroviral Therapy For Hiv
Infection In Adults And Adolescents In Resource-Limited Settings: Towards
Universal Access Recommendations For A Public Health Approach dan
mengacu pada buku Management of HIV Infection and Antiretroviral Therapy in
Adults and Adolescents, A Clinical Manual, yang dterbitkan oleh WHO SEARO
2007.
Diharapkan buku ini akan bermanfaat sebagai pedoman dalam
melaksanakan program pengobatan antiretroviral di Indonesia untuk
memberikan kontribusi pada dalam upaya mencapai Universal Access tahun
2010,

Direktur Jenderal PP dan PL

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE.

iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... I
KATA SAMBUTAN .......................................................................................................................... III
KATA SAMBUTAN .......................................................................................................................... III
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... IV
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .......................................................................................... VII
TIM PENYUSUN ............................................................................................................................... X
RINGKASAN REKOMENDASI....................................................................................................... XI
1 PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. SITUASI EPIDEMI DAN PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI INDONESIA ......................... 1
B. TUJUAN PEDOMAN TERAPI ARV............................................................................................... 3
C. SASARAN PENGGUNA PEDOMAN TERAPI ARV ......................................................................... 3
2 PAKET LAYANAN KESEHATAN HIV DAN AIDS ................................................................. 5
A. KONSELING DAN TES HIV ......................................................................................................... 6
B. DIAGNOSIS LABORATORIS INFEKSI HIV PADA ORANG DEWASA DAN REMAJA ........................... 7
C. KONSEP 3 I S UNTUK KO-INFEKSI HIV/TB ................................................................................. 9
D. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK) ............................................................ 10
E. INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) ......................................................................................... 10
F. ASPEK PENCEGAHAN DALAM PENGOBATAN (TREATMENT AS PREVENTION)............................ 10
G. POSITIVE PREVENTION ........................................................................................................... 11
H. KESIAPAN DALAM TERAPI ANTIRETROVIRAL ............................................................................. 11
3 PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA SETELAH DIAGNOSIS HIV DITEGAKKAN ...... 13
A. PENILAIAN STADIUM KLINIS .................................................................................................... 13
B. PENILAIAN IMUNOLOGI (PEMERIKSAAN JUMLAH CD4) ............................................................. 13
C. PENILAIAN VIROLOGI (PEMERIKSAAN VIRAL LOAD) ................................................................. 13
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM LAIN SEBELUM MEMULAI TERAPI .............................................. 14
E. PERSYARATAN LAIN SEBELUM MEMULAI TERAPI ARV.............................................................. 14
4 PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK) ............................................. 15
A. DESENSITISASI KOTRIMOKSASOL............................................................................................ 15
5 SAAT MEMULAI TERAPI ARV PADA ODHA DEWASA DAN REMAJA .......................... 17
A. TIDAK TERSEDIA PEMERIKSAAN CD4 ...................................................................................... 17
B. TERSEDIA PEMERIKSAAN CD4 ................................................................................................ 17
C. MEMULAI TERAPI ARV PADA KEADAAN INFEKSI OPORTUNISTIK (IO) YANG AKTIF .................. 18
D. TATALAKSANA IO SEBELUM MEMULAI TERAPI ARV ................................................................. 18
6 REJIMEN ANTIRETROVIRAL LINI PERTAMA ................................................................... 19
A. REJIMEN ARV LINI PERTAMA YANG DIANJURKAN ................................................................... 19
B. BERBAGAI PERTIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN DAN PEMILIHAN REJIMEN ART .................... 20
C. REJIMEN OBAT ARV YANG TIDAK DIANJURKAN ...................................................................... 23
D. SINDROM PEMULIHAN KEKEBALAN (IMMUNE RECONSTITUTION SYNDROME = IRIS) ................ 24
7 KEPATUHAN ........................................................................................................................... 27
8 TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA POPULASI KHUSUS.................................................. 31
A. TERAPI ARV UNTUK PEREMPUAN ........................................................................................... 31
B. TERAPI ARV UNTUK KO-INFEKSI HIV/HEPATITIS B (HBV) DAN HEPATITIS C (HCV) .............. 33
C. TERAPI ARV UNTUK KO-INFEKSI HIV/TUBERKULOSIS ............................................................ 37
D. TERAPI ARV PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK ..................................................................... 39
E. TERAPI ARV UNTUK INDIVIDU DENGAN PENGGUNAAN METADON ............................................ 39
F. TERAPI ARV PADA KEADAAN NEFROPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV (HIVASSOCIATED NEPHROPATHY = HIVAN) .................................................................................. 40
G. TERAPI ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCA PAJANAN (PPP ATAU POST EXPOSURE
PROPHYLAXIS = PEP) ............................................................................................................ 40
9 PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIS SELAMA TERAPI ARV LINI
PERTAMA ................................................................................................................................ 41
A. PASIEN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT ART........................................................................ 41
B. MONITORING PASIEN DALAM TERAPI ANTIRETROVIRAL ........................................................... 41
iv

10 TOKSISITAS DAN INTERAKSI OBAT ARV ........................................................................ 45


A. PENANGANAN TOKSISITAS ...................................................................................................... 47
B. SUBTITUSI ARV INDIVIDUAL PADA TOKSISITAS DAN INTOLERANSI ............................................ 48
C. INTERAKSI OBAT ..................................................................................................................... 48
11 KEGAGALAN TERAPI ARV DAN SAAT MENGUBAH TERAPI PADA ODHA
DEWASA ................................................................................................................................... 50
A. DEFINISI .................................................................................................................................. 50
B. ALUR PENENTUAN GAGAL TERAPI ARV .................................................................................. 53
C. REJIMEN TERAPI ANTIRETROVIRAL LINI KEDUA ....................................................................... 54
D. REJIMEN TERAPI ANTIRETROVIRAL LINI KETIGA ...................................................................... 56
12 PROFILAKSIS PASCA PAJANAN ......................................................................................... 57
13 TATALAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIK DENGAN PENDEKATAN SINDROM .......... 61
A. DISFAGIA................................................................................................................................. 62
B. LIMFADENOPATI ...................................................................................................................... 63
C. DIARE KRONIK ......................................................................................................................... 64
D. GANGGUAN PERNAFASAN ....................................................................................................... 66
E. GEJALA DAN TANDA NEUROLOGIS ............................................................................................ 68

Daftar Tabel
TABEL 2.
TABEL 3.
TABEL 4.
TABEL 5.
TABEL 6.
TABEL 7.
TABEL 8.
TABEL 9.
TABEL 10.
TABEL 11.
TABEL 12.
TABEL 13.
TABEL 14.
TABEL 15.
TABEL 16.
TABEL 17.
TABEL 18.
TABEL 19.
TABEL 20.
TABEL 21.
TABEL 22.
TABEL 24.
TABEL 25.
TABEL 26.
TABEL 27.

TABEL 1. .......................... GEJALA DAN TANDA KLINIS YANG PATUT DIDUGA INFEKSI HIV 7
INTERPRETASI DAN TINDAK LANJUT HASIL TES A1 ........................................................ 9
INDIKASI PEMBERIAN KOTRIMOKSASOL SEBAGAI PROFILAKSIS PRIMER. ......................... 15
PROTOKOL DESENSITISASI KOTRIMOKSASOL ............................................................. 16
PROTOKOL DESENSITISASI CEPAT KOTRIMOKSASOL. .................................................. 16
SAAT MEMULAI TERAPI PADA ODHA DEWASA ........................................................... 18
TATALAKSANA IO SEBELUM MEMULAI TERAPI ARV .................................................... 18
REJIMEN LINI PERTAMA YANG DIREKOMENDASIKAN PADA ORANG DEWASA YANG BELUM
PERNAH MENDAPAT ART (TREATMENT- NAVE) .......................................................... 20
REJIMEN ARV YANG TIDAK DIANJURKAN ................................................................... 23
PENYAKIT INFEKSI DAN NON INFEKSI PENYEBAB IRIS PADA PASIEN HIV ....................... 26
PRINSIP TERAPI UNTUK KO-INFEKSI HIV-HEPATITIS B ............................................... 34
PENGOBATAN HEPATITIS C ..................................................................................... 36
RESPON VIROLOGIS PENGOBATAN HEPATITIS C ....................................................... 36
TERAPI ARV UNTUK PASIEN KO-INFEKSI TB-HIV ...................................................... 38
REJIMEN ARV BAGI ODHA YANG KEMUDIAN MUNCUL TB AKTIF ................................ 39
PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIS YANG DIANJURKAN SELAMA PEMBERIAN
REJIMEN ARV LINI PERTAMA .................................................................................. 44
EFEK SAMPING ARV .............................................................................................. 46
TINGKAT TOKSISITAS OBAT ARV DAN TATALAKSANANYA ........................................... 47
SUBSTITUSI OBAT ARV INDIVIDUAL PADA KEJADIAN TOKSISITAS DAN INTOLERANSI ...... 48
KRITERIA GAGAL TERAPI ........................................................................................ 52
PILIHAN ART LINI KEDUA ........................................................................................ 54
PEMANTAUAN KLINIS DAN LABORATORIS SEBELUM DAN SELAMA TERAPI ARV LINI
KEDUA ................................................................................................................. 55
PENILAIAN PAJANAN UNTUK PROFILAKSIS PASCAPAJANAN HIV................................... 59
REJIMEN ARV UNTUK PROFILAKSIS PASCA PAJANAN ................................................ 60
PEMANTAUAN LABORATORIUM PADA PROFILAKSIS PASCAPAJANAN ............................. 60
DIAGNOSIS KLINIS DAN TATALAKSANA INFEKSI OPORTUNISTIK.................................... 69

Daftar Gambar
GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.

GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR
GAMBAR

6.
7.
8.
9.
10.

BAGAN ALUR PEMERIKAAN LABORATORIUM INFEKSI HIV DEWASA .............. 8


ALGORITMA PAKET LAYANAN KESEHATAN PADA HIV ................................. 12
TATALAKSANA IRIS ................................................................................ 25
POLA KEGAGALAN IMUNOLOGIS ART ...................................................... 51
ALUR EVALUASI KEGAGALAN PENGOBATAN PADA TEMPAT DENGAN
AKSES CD4 DAN ATAU VIRAL LOAD ........................................................ 53
TATALAKSANA DISFAGIA ......................................................................... 62
TATALAKSANA LIMFADENOPATI................................................................ 63
TATALAKSANA DIARE (TIDAK BERDARAH) ................................................. 64
TATALAKSANA GANGGUAN PERNAFASAN ................................................. 66
TATALAKSANA GEJALA DAN TANDA NEUROLOGIS...................................... 68

Daftar Lampiran
LAMPIRAN 1.
LAMPIRAN 2.
LAMPIRAN 3.
LAMPIRAN 4.
LAMPIRAN 5.
LAMPIRAN 6.
LAMPIRAN 7.
LAMPIRAN 8.
LAMPIRAN 9.
LAMPIRAN 10.

LAMPIRAN 11.
LAMPIRAN 12.
LAMPIRAN 13.
LAMPIRAN 15.
LAMPIRAN 16.

vi

DAFTAR R UMAH SAKIT YANG MEMBERIKAN PELAYANAN ARV .................................... 73


CATATAN KUNJUNGAN PASIEN................................................................................... 83
FORMULIR SKRINING GEJALA DAN TANDA TB PADA ODHA ....................................... 86
STADIUM KLINIS INFEKSI HIV ..................................................................................... 87
DAFTAR OBAT ARV DI INDONESIA DOSIS DAN EFEK SAMPINGNYA ............................... 88
INTERAKSI OBAT ARV DENGAN OBAT LAIN .................................................................. 92
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM UNTUK HEPATITIS B................. 94
INTERPRETASI HASIL LABORATORIUM UNTUK HEPATITIS C ........................................ 95
DERAJAT TOKSISITAS KLINIS DAN LABORATORIS ......................................................... 96
TANDA, GEJALA KLINIS, PEMANTAUAN DAN PENATALAKSANAAN TERHADAP
GEJALA EFEK SAMPING YANG BERAT DARI ARV YANG MEMBUTUHKAN
PENGHENTIAN OBAT .................................................................................................. 98
PEMANTAUAN ART PADA KELOMPOK RISIKO YANG LEBIH SERING TERJADI EFEK
SAMPING .................................................................................................................. 100
PERAWATAN GIZI BERDASARKAN GEJALA EFEK SAMPING ARV ................................. 101
PENANGANAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA SAAT SEDANG DALAM PENGOBATAN
ARV ........................................................................................................................ 102
JARINGAN INTERNET YANG BERMANFAAT................................................................. 103
DAFTAR R UJUKAN .................................................................................................... 104

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH


ABC abacavir
AIDS acquired immune deficiency syndrome (kumpulan gejala penyakit
akibat penurunan daya tahan tubuh yang didapat)
AIDS acquired immune deficiency syndrome (kumpulan gejala penyakit
akibat penurunan daya tahan tubuh yang didapat)
ALT alanine aminotransferase (= SGPT)
ART Antiretroviral Therapy = terapi antiretroviral
ARV obat antiretroviral
AST aspartate aminotransferase (=SGOT)
ATV atazanavir
AZT zidovudine yang sering disingkat pula sebagai ZDV
BB Berat badan
CD4 limfosit-T CD4+
CFR Case fatality rate
d4T stavudine
ddI didanosine
DOT directly observed therapy (terapi yang diawasi langsung)
EFV efavirenz
ENF (T-20) enfuvirtide
FDC Fixed-dose combination (kombinasi beberapa obat dalam satu
pil)
FNA Fine Needle Aspiration = Aspirasi dengan Jarum Halus
FTC emtricitabine
Galur viral strain
GFR Glomerulus filtration rate / laju filtrasi glomerulus
GI gastrointestinal (saluran cerna)
HAART highly active antiretroviral therapy (terapi ARV)
HBV Hepatitis B virus
HCV Hepatitis C virus
HIV human immunodeficiency virus = virus penyebab AIDS
HLA Human Leukocyte Antigen
IC Infection Control
ICF Intensive case finding
vii

IDU Injecting drug user (pengguna NAPZA suntik)


IDV Indinavir
IMS Infeksi menulas secara seksual
IPT Isoniazid preventive treatment
IRIS Immune reconstitution inflamatory syndrome
Kepatuhan merupakan terjemahan dari adherence, yaitu kepatuhan dan
kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter
atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat
KTIP Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas (PITC)
KTS Konseling dan Tes Sukarela (VCT)
LPV lopinavir
LSL Lelaki Seks dengan Lelaki
LSM Lembaga swadaya masyarakat
MTCT mother-to-child transmission (of HIV); penularan HIV dari ibu ke
anak
NAM nucleoside analogue mutation (mutasi analog nukleosida)
NAPZA narkotik, alkohol, psikotropik dan zat adiktif lain
NFV nelfinavir
NNRTI non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
NsRTI nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor
NtRTI nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitor
NVP nevirapine
OAT obat anti tuberkulosis
ODHA orang dengan HIV dan AIDS
PCR polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi)
PDP Perawatan, Dukungan dan Pengobatan (=CST)
Penasun Pengguna NAPZA Suntik (IDU = Injecting Drug User)
PI Protease inhibitor
PITC Provider-initiated Testing and Counseling (Konseling dan Tes
atas Inisiasi Petugas Kesehatan)
PMO Pengawas Minum Obat, yaitu seseorang yang membantu
pengawasan minum obat ODHA agar menurunkan kejadian
resistensi
PMTCT prevention of mother-to-child
penularan dari ibu ke anak

transmission

pencegahan

PPP profilaksis pascapajanan = post exposure prophylaxis


PSK Pekerja Seks Komersial

viii

RT Reverse transcriptase
RTI Reverse transcriptase inhibitor
RTV-PI ritonavir-boosted protease inhibitor (PI yang diperkuat dengan
ritonavir)
/r ritonavir dosis rendah sebagai booster
SGOT serum glutamic oxaloacetic transaminase (=AST)
SGPT serum glutamic pyruvate transaminase (=ALT)
SMX sulfametoksasol
SQV saquinavir
SSP sistem saraf pusat
TB Tuberkulosis
TDF tenofovir disoproxil fumarate
TLC Total lymphocyte count (jumlah limfosit total)
TMP trimetoprim
ULN Upper-limit Normal (Nilai normal tertinggi)
UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS
VCT voluntary counseling and testing (tes HIV secara sukarela disertai
dengan konseling)
WHO World Health Organization
ZDV zidovudine (juga dikenal sebagai AZT)

ix

RINGKASAN REKOMENDASI
Pemberian
Kotrimoksasol

Diberikan pada semua pasien dengan stadium klinis 2, 3 dan 4


atau jumlah CD4 < 350 sel/mm3
Berikan dua minggu sebelum mulai terapi ARV untuk memastikan
tidak ada efek samping yang tumpang tindih antara Kotrimoksasol
dan obat ARV

Kapan Memulai Semua dewasa termasuk dengan infeksi HIV dengan CD4 < 350
sel/mm3 harus memulai terapi antiretroviral (ART), terlepas ada
tidaknya gejala klinis.
Individu dengan gejala klinis yang berat (Stadium klinis 3 atau 4)
harus memulai ART berapapun jumlah CD4nya.

Apa yang
harus
digunakan
sebagai Lini
Pertama

Terapi Lini Pertama harus berisi NNRTI + 2 NRTI, dengan pilihan:


AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Pemerintah akan mengurangi penggunaan Stavudin (d4T) sebagai
rejimen lini pertama karena pertimbangan toksisitasnya (phasing
out)

Apa yang
harus
digunakan
pada Lini
Kedua

ART lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang


diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI, AZT
atau TDF tergantung dari apa yang digunakan pada lini pertama
dan 3TC.
PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan adalah
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

Monitoring
Laboratoris

Semua pasien perlu mempunyai akses pemeriksaan CD4 untuk


rawatan pra-ART dan manajemen ART yang lebih optimum.
Dianjurkan pemeriksaan HIV RNA (viral load) untuk memastikan
kemungkinan gagal terapi.
Monitoring toksisitas obat berdasarkan gejala dan hasil
laboratorium

Koinfeksi
HIV/TB

Berapapun jumlah CD4nya, pasien dengan koinfeksi HIV dan TB


harus memulai ART sesegera mungkin setelah memulai terapi TB
selama 2 - 8 minggu atau setelah OAT dapat ditoleransi dan stabil

Koinfeksi
HIV/HBV

Berapapun jumlah CD4nya atau stadium klinisnya, pasien yang


memerlukan terapi untuk infeksi HBV perlu memulai ART.
Rejimen ARV untuk keadaan ini menggunakan Tenofovir (TDF)
dan Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC)

Ibu Hamil

Mulai ART pada semua ibu hamil terinfeksi HIV, apapun stadium
klinisnya atau berapapun jumlah CD4.
Jangan menggunakan EFV selama trimester I kehamilan

xi

Perbedaan Antara Pedoman Nasional Tahun 2006 dan 2010 tentang


Kapan Memulai Terapi Antiretroviral
Populasi Target
Individu yang terinfeksi HIV
tanpa gejala yang belum
pernah mendapat terapi
ARV (ARV-nave)

Individu yang terinfeksi HIV


dengan gejala yang belum
pernah mendapat terapi
ARV (ARV-nave)

Perempuan hamil dengan


HIV

Individu dengan Koinfeksi


HIV/TB yang belum pernah
mendapat terapi ARV
Individu dengan Koinfeksi
HIV/HBV yang belum
pernah mendapat terapi
ARV

Individu dewasa yang


terinfeksi HIV yang belum
pernah mendapat terapi
ARV (ARV-nave)

xii

Pedoman ART 2006


CD4 < 200 sel/mm3
Stadium klinis 2 atau 3
dan CD4 < 200 sel/mm3
Stadium klinis 3 bila CD4
tidak tersedia
Stadium klinis 4
berapapun jumlah
CD4nya
Pertimbangkan terapi
untuk Stadium klinis 3
dan jumlah CD4 antara
200 dan 350 sel/mm3
Stadium klinis 1 atau 2
dan CD4 < 200 sel/mm3
Stadium klinis 3 dan
CD4 < 350 sel/mm3
Stadium klinis 4
berapapun jumlah
CD4nya
Adanya gejala TB aktif
dan CD4 < 350 sel/mm3

Tidak ada rekomendasi


khusus

AZT atau TDF + 3TC


(atau FTC) + EFV atau
NVP

Pedoman ART 2010


CD4 < 350 sel/mm3

Stadium klinis 2 bila CD4


< 350 sel/mm3
Atau
Stadium klinis 3 atau 4
terlepas dari jumlah CD4

Semua ibu hamil


berapapun jumlah
CD4nya dan apapun
gejala klinisnya

Adanya gejala TB aktif,


berapapun jumlah
CD4nya
Semua pasien dengan
koinfeksi HIV/HBV (aktif)
tanpa memandang CD4
maupun gejala klinis.
Tidak berubah,
Perlunya memulai
phase-out d4T dan
memulai semua pasien
dengan AZT atau TDF,
mengingat efek samping

Populasi Target

Perempuan hamil HIV +

Pedoman ART 2006

AZT + 3TC + NVP

Koinfeksi HIV/TB

AZT atau TDF + 3TC


(atau FTC) + EFV

Koinfeksi HIV/HBV (aktif)

TDF + 3TC (atau FTC) +


EFV

Pedoman ART 2010


AZT lebih
direkomendasikan tetapi
dapat juga
menggunakan TDF
EFV masuk sebagai opsi
NNRTI (tetapi tidak
menggunakan EFV pada
trimester pertama)
Perlu pengawasan yang
lebih ketat ketika
menggunakan NVP
pada jumlah CD4 antara
> 250 sel/mm3
Pada perempuan HIV +
yang pernah terpajan
rejimen untuk PMTCT
perlu melihat
rekomendasi lebih lanjut
di belakang
Tidak berubah
ART dimulai pada
semua pasien dengan
ko-infeksi TB/HIV
setelah mendapatkan
pengobatan OAT selama
2 - 8 minggu
Diperlukan rejimen NRTI
yang berisi TDF + 3TC
(atau FTC)

xiii

Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral


Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan
Remaja

1 PENDAHULUAN
A. Situasi Epidemi dan Program Penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia
Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu
revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping
serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV
menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup
ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV
dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak
lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA
pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja
seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan JATIM sehingga provinsi tersebut
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi
meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2006, di Indonesia
terdapat 193.000 orang dengan HIV positif.
Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral ini akan terus diperbaharui
secara periodik dengan mengacu pada pedoman dan rekomendasi WHO
sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah yang berupa kajian klinik dan
penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman
pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya,
seperti obat dan biaya.
Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi Ketiga tahun 2011 ini
memuat rekomendasi tentang terapi dan pemantauan terapi ARV yang
dimaksudkan sebagai satu komponen paket perawatan komprehensif
berkesinambungan di Indonesia, antara lain pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik,
program gizi dan dukungan psikososial kepada ODHA yang
membutuhkan. Pedoman terapi memuat informasi tentang saat untuk memulai
terapi ARV (when to start), cara memilih obat (what to start), pemantauan dan
kepatuhan terapi, penggantian rejimen obat (substitute) bila ada efek samping
atau toksisitas, dan penggantian rejimen (switch) bila harus ganti ke lini
berikutnya.
1

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Pedoman ini menyediakan petunjuk sederhana dengan standar baku


tatalaksana klinis ODHA dan penggunaan antiretroviral sebagai bagian dari
perawatan HIV yang komprehensif. Batasan dewasa digunakan untuk pasien
berusia 18 tahun atau lebih dan remaja merujuk kepada pasien berusia 10 18
tahun.
Sesuai SK Menteri Kesehatan tahun 2011 terdapat 278 rumah sakit
layanan HIV dan AIDS (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 780/MENKES/SK/IV/2011 tentang Penetapan Lanjutan
Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV dan AIDS) yang tersebar di
hampir seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, jumlah layanan klinik atau
pusat konseling dan tes (KTS/VCT) berkembang dari tahun ke tahun dengan
data terakhir terdapat 388 pusat KTS dengan sekitar 10,13% angka kasus HIV
positif (positivity rate). Sejak itu jumlah rumah sakit yang memberikan layanan
HIV/AIDS semakin banyak dengan didukung oleh berbagai sumber
pendanaan. Sampai dengan Juni 2011 secara kumulatif jumlah kasus AIDS
yang dilaporkan adalah 26.483 kasus yang berasal dari 33 provinsi dan 300
kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi
pada kelompok usia 20-29 tahun.
Disamping itu, data yang dilaporkan dari 276 layanan PDP (rumah sakit
rujukan antiretroviral dan layanan satelitnya) sampai dengan 30 Juni 2011,
jumlah kumulatif pasien HIV/AIDS yang pernah masuk rawatan sebanyak
81.960. Dari jumlah tersebut, 39.128 pernah mendapat ART dan 21.775 ODHA
masih dalam pengobatan ARV.
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yaitu
pencegahan (Prevention); perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP);
mitigasi dampak (Impact Mitigation); dan penciptaan lingkungan yang kondusif
(Creating Enabling Environment).
Kegiatan pokok program pencegahan adalah pencegahan penularan
HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi
(Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan
pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.
Kegiatan program PDP meliputi penguatan dan pengembangan layanan
kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan
antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA.
Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan
rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium).
Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian
terapi antiretroviral (ARV).
Kegiatan pokok dalam program peningkatan lingkungan yang kondusif
adalah dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, menajemen program
serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Lima besar infeksi oportunistik yang dilaporkan sampai dengan Juni


2011 (menurut laporan Triwulan II 2011 Kemenkes) adalah sebagai berikut
(diurutkan dari jumlah yang terbanyak): tuberkulosis, diare kronis, kandidiasis
orofaringeal, dermatitis generalisata, limfadenopati generalisata persisten.
Di Indonesia, pemberian terapi antiretroviral merupakan program
Pemerintah dengan layanan obat ARV yang diberikan pada semua ODHA
yang telah memenuhi syarat medis. Daftar obat yang tersedia di Indonesia
dapat dilihat pada lampiran.
Bukti-bukti baru mengenai waktu memulai terapi antiretroviral, jenis
rejimen yang optimal, tatalaksana ko-infeksi HIV-TB dan hepatitis virus kronis,
serta tatalaksana kegagalan terapi antiretroviral terus bermunculan. Bukti-bukti
ilmiah tersebut mendasari rekomendasi terbaru WHO pada tahun 2010. Oleh
karena itu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia perlu merespon
dengan memutakhirkan pedoman tatalaksana perawatan infeksi HIV untuk
dewasa dan remaja, termasuk terapi antiretroviral (ART), dengan
mempertimbangkan situasi epidemi di Indonesia, kesiapan sistem layanan
kesehatan, ketersediaan sumber dana, sumber daya manusia, dan sumber
daya lainnya.
Pedoman dibuat dengan mengacu pada hasil penelitian yang telah
dipublikasi dan pedoman serupa dari negara lain, baik negara maju maupun
negara berkembang. Rujukan dipilih berdasarkan rujukan dalam rekomendasi
terkini WHO dan negara lain, serta dari jurnal. Referensi dikumpulkan dan
dibahas oleh tim panel ahli, disesuaikan dengan kondisi ketersediaan sumber
dana, sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya.

B. Tujuan Pedoman Terapi ARV


1. Menyediakan rekomendasi terapi antiretroviral yang standar berbasis
bukti untuk orang dewasa, dengan mengutamakan daerah bersumber
daya terbatas.
2. Membantu para klinisi dan pelaksana program dalam tatalaksana HIV
dan terapi antiretroviral (alur tatalaksana, waktu memulai ART, regimen
lini pertama dan kedua yang direkomendasikan dan kriteria mengubah
rejimen ARV atau switch, kepatuhan minum obat).
3. Menyediakan standar layanan HIV sebagai bagian dari rawatan HIV
dan AIDS secara paripurna untuk mempermudah pemantauan, serta
mengurangi berbagai dampak yang tidak diinginkan.

C. Sasaran Pengguna Pedoman Terapi ARV


Pedoman Terapi Antiretroviral ditujukan kepada:
1. Para klinisi di sarana kesehatan yang memberikan layanan tatalaksana
HIV dan Terapi Antiretroviral.
2. Para pengelola program pengendalian HIV/AIDS di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dan perencana kesehatan lain yang

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

terlibat dalam program perawatan dan pengobatan HIV sebagai rujukan


untuk perencanaan program.
3. Badan dan organisasi yang bekerja sama dengan pemerintah yang
memberikan layanan tatalaksana HIV dan Terapi Antiretroviral.

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

2 PAKET LAYANAN

KESEHATAN HIV DAN AIDS


Layanan PDP untuk pasien HIV perlu dilakukan secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan, terkait dengan karakteristik dari infeksi
HIV yang merupakan infeksi kronis dengan fase akut dalam bentuk infeksi
oportunistik, serta memiliki dampak sosial yang terkait dengan stigma dan
diskriminasi. Layanan tersebut akan melibatkan berbagai unsur pemberi
layanan baik di dalam atau di luar sarana kesehatan dengan pendekatan tim.
Pada dasarnya setiap daerah harus menyelenggarakan suatu paket
layanan intervensi, di samping pemberian ART, untuk mengurangi penularan
HIV, mencegah penyakit dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.
Unsur utama dalam paket layanan tersebut adalah diagnosis HIV secara
dini dan penilaian kesiapan ODHA untuk ART dengan pemeriksaan CD4, guna
meminimalkan keterlambatan inisiasi ART dan memaksimalkan pencegahan
HIV. Oleh karenanya, perlu terus diupayakan untuk meningkatkan akses pada
perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti pemeriksaan CD4 dan tes viral
load. Tentu saja paket layanan tersebut harus disesuaikan dengan
ketersediaan sumber daya setempat. Meskipun tidak semua ODHA
memerlukan ART segera, namun semakin dini ODHA menjangkau layanan
kesehatan, yaitu sebelum mereka mengalami imunosupresi yang berat, maka
semakin kurang risiko mereka untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik.
Oleh karenanya perlu perlu sekali memperluas jangkauan tes dan konseling
HIV terutama konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas maupun konseling
dan tes HIV sukarela. Masa pra ART dalam layanan kesehatan dapat
memberikan intervensi pencegahan penularan HIV lebih lanjut, mengobati dan
mencegah penyakit, mempersiapkan ODHA untuk ART dalam hal kepatuhan
berobat
Kegiatan layanan HIV di sarana kesehatan, terdiri atas :
1. Informed consent untuk tes HIV (sebelum dilakukan tes) maupun
tindakan medis lainnya.
2. Pemeriksaan oleh dokter untuk penapisan (skrining) TB dan infeksi
oportunistik.
3. Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi
oportunistik.
4. Pemberian ARV untuk semua pasien yang telah memenuhi persyaratan
medis.
5. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu
hamil dengan HIV.
6. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif.
7. Perawatan antenatal (ANC), paket skrining ibu hamil (HIV, sifilis,
malaria, IMS) dan persiapan persalinan sesuai indikasi pada ibu hamil.
5

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

8. Konseling untuk memulai terapi.


9. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling
lainnya sesuai keperluan.
10. Penawaran tes HIV pada pasien TB dan infeksi menular seksual (IMS)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien.
12. Pengisian form identitas, ikhtisar perawatan dan catatan follow up
perawatan dan terapi antiretroviral (Lampiran 2)

A. Konseling dan Tes HIV


Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS)
Konseling yang dilakukan atas dasar permintaan dan atau kesadaran
seorang klien yang mempunyai faktor risiko untuk mengetahui status
HIV-nya.
Sebelum dilakukan tes laboratorium untuk tes HIV, pasien perlu
konseling pra tes HIV untuk memberikan informasi yang lengkap tentang
HIV, faktor risiko untuk terinfeksi HIV, tujuan tes HIV, manfaat,
konsekuensi dari hasil tes HIV dan rencana tindak lanjut, setelah
dilakukan tes HIV. Apabila pasien sudah paham dan bersedia untuk
menjalani tes HIV maka pasien diminta untuk menandatangani informed
consent bersedia tes HIV.
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP
PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling)
Tes HIV atas prakarsa petugas kesehatan, dengan pemberian informasi
singkat baik berdasarkan hasil pemeriksaan fisik klien yang dicurigai
terinfeksi HIV, maupun sebagai tindakan rutin di layanan tersebut.
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan
kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan sangat direkomendasikan
untuk menawarkan tes HIV. Tes HIV setidaknya ditawarkan pada ibu hamil,
pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi
HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks
komersial, LSL lelaki seks dengan lelaki), pasien dengan IMS.
Prinsip dalam melakukan tes HIV adalah 3C : Counseling,
Confidentiality, Consent. Sebelum pasien menjalani tes, dilakukan konseling
(singkat atau lengkap), terjaga kerahasiaannya (identitas, proses, maupun
hasilnya), dan adanya informed consent atau persetujuan klien/pasien yang
dapat diberikan secara verbal atau tertulis tergantung kebijakan tempat
layanan. Pasien mempunyai pilihan untuk menolak dilakukan pemeriksaan tes
HIV. Untuk keterangan lebih lanjut dan lengkap bisa dilihat pada Buku Tes dan

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Konseling HIV Terintegrasi di Sarana Kesehatan / PITC, Pedoman Penerapan,


Kementerian Kesehatan RI tahun 2010.

Tabel 1.

Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

Keadaan Umum
Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar
o
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 C) yang lebih
dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur
Kandidiasis oral*
Dermatitis seboroik*
Kandidiasis vagina kambuhan
Infeksi viral
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari
satu dermatom)*
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan
Batuk lebih dari satu bulan
pernafasan
Sesak nafas
Tuberkulosis
Pnemoni kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis
Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus
dan tidak jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Sumber : Searo 2007

B. Diagnosis Laboratoris Infeksi HIV pada Orang Dewasa dan


Remaja
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan
selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Strategi 3 ini
menggunakan reagen tes cepat. Untuk pemeriksaan pertama (A1) biasanya
digunakan tes cepat dengan sensitifitas yang cukup tinggi, sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) digunakan tes kit dengan spesifisitas
yang lebih tinggi.

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi sejak 2 minggu hingga 3 bulan


setelah terinfeksi HIV (97%). Masa tersebut disebut masa jendela. Oleh
karenanya bila hasil tes HIV yang dilakukan dalam masa 3 bulan setelah
kemungkinan terinfeksi menunjukkan hasil negatif, maka perlu dilakukan tes
ulang, terlebih bila masih terus terdapat perilaku yang berisiko seperti seks
yang tidak terlindung pada pasien IMS, para pekerja seks dan pelanggannya,
LSL dan pasangan ODHA, dan pemakaian alat suntik secara bersamaan di
antara para pengguna NAPZA suntik.
Gambar 1. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

A1
A1+

A1-

A2
A2+

A2Ulangi A1, A2
A1+, A2+

A1+, A2- / A1-, A2+

A3

A1+, A2+,A3+

Lapor sbg
non-reaktif

A1+, A2+,A3-

A1+, A2-,A3+

A1+, A2-, A3-/


A1-, A2+, A3-

Risiko Tinggi
Lapor sbg
reaktif

A1-, A2-

Anggap sbg
indeterminate

Risiko Rendah

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 2.

Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

Hasil

Interpretasi

Tindak Lanjut
Bila yakin tidak ada faktor risiko dan

Indeterminate bila ada


faktor risiko tinggi
Non-reaktif atau Negatif
bila faktor risiko rendah

atau perilaku berisiko dilakukan


LEBIH DARI tiga bulan sebelumnya
maka pasien diberi konseling
bagaimana untuk menjaga tetap
negatif ke depannya
Bila belum yakin ada tidaknya faktor
risiko dan atau perilaku berisiko
dilakukan DALAM tiga bulan terakhir
maka dianjurkan untuk TES ULANG
dalam 1 bulan
Ulang tes dalam 1 bulan
Konseling hasil tes negatif dan diberi
konseling cara menjaga agar tetap
negatif ke depannya

A1 (+) A2 (+) A3 (-)


Atau
A1 (+) A2 (-) A3 (+)

Indeterminate

Ulang tes dalam 1 bulan

A1 (+) A2 (-) A3 (+)

Reaktif atau Positif

A1 (-) A2 (-) A3 (-)

Non-reaktif

Lakukan konseling hasil tes positif

dan rujuk untuk mendapatkan paket


layanan PDP

C. Konsep 3 Is untuk ko-infeksi HIV/TB


Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik (yang mengancam
jiwa) yang paling sering terjadi dan penyebab kematian utama pada Odha.
Data terakhir di Indonesia terdapat 12.304 kasus TB dari jumlah yang masuk
layanan HIV dan merupakan infeksi oportunistik yang terbanyak. WHO
menerapkan strategi 3 I yaitu:
1) Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (Isoniazid preventive
treatment = IPT)
2) Penemuan kasus TB secara intensif (Intensive case finding = ICF)
3) Pengendalian Infeksi TB (TB Infection Control = IC ) untuk semua kasus
HIV yang ditujukan untuk menurunkan dampak TB pada Odha dan
masyarakat. Strategi ini diharapkan menjadi salah satu komponen
penting dalam layanan kesehatan HIV untuk peningkatan program terapi
antiretroviral. TB infection control penting untuk mencegah infeksi TB
pada pasien yang rawan, tenaga kesehatan dan masyarakat.
Kegiatan yang perlu dilakukan adalah:
Menanyakan gejala dan tanda TB pada setiap kunjungan (skrining TB)
(lihat Lampiran 3: Formulir skrining gejala dan tanda TB)
Memberi informasi tentang infeksi TB pada semua pasien HIV
Sesi konseling memberikan informasi termasuk risiko untuk tertular TB,
cara untuk mengurangi pajanan, manifestasi klinis dan gejala TB, dan
risiko menularkan TB pada orang lain

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Yang dilaksanakan di Indonesia adalah ICF dan TB IC, sementara IPT


masih dalam penelitian untuk diterapkan.

D. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Terdapat dua macam pengobatan pencegahan infeksi oportunistik untuk
orang terinfeksi HIV, yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.

Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk


suatu infeksi yang belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder apabila pasien sebelumnya pernah terdiagnosis
penyakit tersebut dan digunakan untuk mencegah berulangnya infeksi
tersebut.

PPK dianjurkan bagi semua pasien yang bergejala (stadium klinis 2, 3,


atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori
kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan congenital, tetapi karena risiko
yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200
cells/mm3) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka
perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus
melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
Apabila tersedia pemeriksaan CD4 maka profilaksis kotrimoksasol
dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 350
sel/mm3. Keterangan lebih lengkap tentang PPK terdapat di Bab 4 Pengobatan
Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).

E. Infeksi Menular Seksual (IMS)


Layanan pra-ART dan ART merupakan peluang untuk memberikan
layanan IMS secara komprehensif, yang meliputi diagnosis yang tepat
berdasarkan gejala atau tes laboratorium, pemberian terapi efektif pada saat
diagnosis, pemberitahuan dan pengobatan pasangan, pengurangan risiko
perilaku dan penularan melalui edukasi, serta dilakukan konseling dan
penyediaan kondom. Dianjurkan skrining laboratorium yang meliputi tes
serologis untuk sifilis, terutama perempuan hamil dan tes HIV untuk semua
pasien IMS.

F. Aspek Pencegahan dalam Pengobatan (Treatment as


Prevention)
Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam
pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja
mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus
dalam darah. Penurunan jumlah virus ini berhubungan dengan penurunan
kadar virus dalam sekresi genitalia dengan catatan tidak terdapat IMS pada
genitalia. Penelitian observasional menunjukkan penurunan penularan HIV
pada pasangan serodiscordant (berbeda status HIV-nya) yang mendapatkan
pengobatan ARV. Inilah arti dari slogan Treatment as Prevention.
10

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

G. Positive Prevention
Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat
ART harus disertai dengan perubahan perilaku berisiko. Dengan demikian
penggunaan ART secara konsisten dan rejimen yang tepat, penggunaan
kondom yang konsisten, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan
IMS yang konsisten dengan rejimen yang tepat mutlak diperlukan untuk
pencegahan penularan HIV.

H. Kesiapan dalam terapi antiretroviral


ODHA harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan
cukup tentang terapi antiretroviral sebelum mulai. Kepatuhan minum obat
berkaitan erat dengan kesiapan pasien. Bila rawatan HIV dimulai lebih awal
sebelum memerlukan ART maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang
untuk belajar, memahami, dan mempersiapkan diri demi keberhasilan ART
jangka panjang, melalui konseling pra-ART yang meliputi cara dan ketepatan
minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain,
monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan laboratorium secara
berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4.

11

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Gambar 2. Bagan alur paket layanan kesehatan pada HIV

Paket Layanan PDP:


Pemeriksaan fisisk lengkap dan lab untuk
mengidentifikasi IO
Penentuan stadium klinis
Skrining TB (dengan form skrining TB)
Skrining IMS, sifilis dan malaria untuk
Bumil
Pemeriksaan CD4 (bila tersedia) untuk
menentukan criteria PPK dan ART
Berikan PPK bila tidak tersedia CD4
Identifikasi dan mendapatkan solusi
terkait adherence
Konseling positive prevention

Pasien memenuhi
syarat ART

Tidak Ada IO

Pasien HIV (+)

Pasien belum memenuhi


syarat medis untuk ART

Ada IO

MULAI ARV

Obati IO selama 2 minggu


dan MULAI ART

Berikan perencanaan
pengobatan dan
pemberian ART
Vaksinasi (jika pasien
mampu)
MULAI ART jika pasien
sudah masuk dalam
kriteria medis
pemberian ARV

12

Pasien dijumpai kendala


adherence

Team harus mencari


solusi hingga pasien
dapat patuh dan
mendapatkan akses ARV

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

3 PEMERIKSAAN DAN TATALAKSANA

SETELAH DIAGNOSIS HIV


DITEGAKKAN
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan
PDP untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium
klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk:
1) menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral; 2) menilai status supresi imun pasien; 3) menentukan infeksi
oportunistik yang pernah dan sedang terjadi; dan 4) menentukan rejimen obat
ARV yang sesuai.

A. Penilaian Stadium Klinis


Stadium klinis (lihat Lampiran 3) harus dinilai pada saat kunjungan awal
dan setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat
waktu.

B. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)


Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat
memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan
profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi
lebih parah. Rata rata penurunan CD4 tanpa memandang jumlah viral load
adalah sekitar 70 -100 sel/mm3/tahun, demikian juga peningkatan CD4 setelah
pemberian ARV adalah berkisar antara 50 100 sel/mm3/tahun.
Jumlah CD4 dapat berbeda setiap hari tergantung adanya penyakit
penyerta yang ada, dan jika diperlukan dapat dipergunakan pemeriksaan CD4
serial sebelum keputusan medis yang besar dibuat, seperti misalnya memulai
terapi ARV. Prosentase CD4 digunakan sebagai tolok ukur jika terjadi
perbedaan antara nilai absolut CD4 dan presentase CD4 untuk memandu
menentukan terapi ARV dan evaluasi keberhasilan pengobatan ARV. Dalam
keadaan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan CD4 maka penentuan pemberian
terapi ARV adalah berdasarkan penilaian stadium klinis. Jumlah CD4 juga
digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Jumlah limfosit total (TLC)
tidak dianjurkan lagi untuk memandu pemberian ART.

C. Penilaian Virologi (Pemeriksaan Viral Load)


Dalam keadaan sumber daya terbatas (sarana maupun kemampuan
pasien), maka untuk memulai ART tidak diperlukan pemeriksaan jumlah virus
plasma (plasma viral load, RNA HIV). Pemerintah saat ini sedang
mengupayakan perluasan akses pemeriksaan jumlah virus (VL)
untuk
13

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

meningkatkan keakuratan diagnosis gagal terapi. Deteksi gagal terapi yang


lebih awal dapat memberi kesempatan untuk mempertahankan efektivitas
rejimen lini kedua.

D. Pemeriksaan laboratorium lain sebelum memulai terapi


Darah lengkap
Jumlah sel T CD4+
jumlah virus/ Viral Load
RNA HIV-1 dalam plasma
(bila tersedia dan bila
pasien mampu)
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
HBsAg
Anti-HCV (pada pasien
yang mempunyai riwayat
penggunaan narkoba
suntik (IDU = intravenous
drug user)

gula darah puasa


profil lipid serum (kolesterol
total, LDL, HDL),
kreatinin serum
VDRL / TPHA / RPR
Urinalisa
X-Foto toraks / Ronsen
Dada
PAP smear (pada
perempuan)
Tes kehamilan pada
perempuan usia reproduktif

E. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV


Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan, sehingga pasien paham benar akan
manfaat, cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain
sebagainya yang terkait dengan terapi ARV. Pasien yang akan mendapat
terapi ARV perlu memiliki pengawas minum obat (PMO), yaitu orang dekat
pasien yang akan mengawasi kepatuhan minum obat.
Pemberian informasi tentang rencana pengobatan perlu lebih
mengutamakan manfaat pemberian ARV daripada semua informasi tentang
efek samping sehingga memberikan motivasi positif bagi pasien untuk memulai
ARV
Pasien yang mendapat terapi ARV harus menjalani pemeriksaan untuk
pemantauan klinis dengan teratur.
Dianjurkan: Untuk memberikan kotrimoksasol selama 2 minggu sebelum
memulai ART. Hal ini berguna untuk 1) tes pasien untuk kepatuhan
minum obat dan 2) menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang
tindih antara kotrimoksasol dengan ARV., mengingat bahwa banyak obat
ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimoksasol

14

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

4 PENGOBATAN PENCEGAHAN

KOTRIMOKSASOL (PPK)
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas profilaksis
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang
yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikatikan dengan penurunan insidensi infeksi
bakterial, parasit dan Pneumocystis carinii (sekarang disebut P. jiroveci)
pneumonia
Oleh karena itu dianjurkan bagi semua ODHA dewasa dan remaja yang
memenuhi kriteria klinik dan imunitas untuk terapi ARV harus pula diberi
profilaksis kotrimoksasol
Tabel 3.

Indikasi pemberian kotrimoksasol sebagai profilaksis primer.

Indikasi

Saat penghentian

Dosis

Bila tidak tersedia


pemeriksaan jumlah sel
CD4, semua pasien
diberikan kotri-moksasol
segera setelah dinyatakan
HIV positif

2 tahun setelah
penggunaan
kotrimoksasol jika
mendapatkan ARV.
Seumur hidup jika pasien
tidak mendapatkan ARV

Bila tersedia pemeriksaan


jumlah sel CD4 dan
terjangkau, kotrimoksasol
diberikan pada pasien
dengan jumlah CD4 < 350
sel/mm3

Bila sel CD4 naik > 350


sel/mm3 pada
pemeriksaan dua kali
interval 6 bulan berturutturut jika mendapatkan
ARV
Seumur hidup jika tidak
mendapat ART

960 mg/ hari


dosis tunggal

Semua bayi lahir dari ibu


hamil HIV positif berusia 6
minggu

Dihentikan pada usia 18


bulan dengan hasil test
HIV negatif
Jika test HIV positif
dihentikan pada usia 18
bulan jika mendapatkan
ART
Diberikan seumur hidup
jika tidak diberikan ARV

Trimetropim 8
10 mg/kg BB
dosis tunggal

Monitoring

Efek samping
berupa tanda
hipersensitivitas
seperti demam,
rash, sindrom
Steven Johnson,
tanda penekanan
sumsum tulang
seperti anemi,
trombositopeni,
lekopeni,
pansitopeni
Interaksi obat
dengan ARV dan
obat lain yang
digunakan dalam
pengobatan
penyakit terkait
HIV.

A. Desensitisasi Kotrimoksasol
Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol
dan kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat.
Angka keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% dari
ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang.

15

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Desensitisasi jangan dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami


reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4). Bila muncul reaksi
pada saat dilakukan desensitisasi maka harus segera dihentikan. Dan segera
setelah sembuh dapat diberikan Dapson 100 mg setiap hari. Ada pasien yang
alergi terhadap keduanya baik kotrimoksasol maupun dapson; berarti ODHA
tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat sebelum
timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah
pasien masuk dalam fase lanjut.
Tabel 4.

Protokol desensitisasi kotrimoksasol


Langkah

Dosis

Hari 1

80 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml sirup)

Hari 2

160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml sirup)

Hari 3

240 mg SMX + 48 mg TMP (6 ml sirup)

Hari 4

320 mg SMX + 64 mg TMP (8 ml sirup)

Hari 5

1 tablet dewasa SMX - TMP (400 mg SMX + 80 mg


TMP)

Hari 6

2 tablet dewasa SMX - TMP atau 1 tablet forte (800


mg SMX + 160 mg TMP

Keterangan:
Setiap 5 ml sirup Kotrimoksasol mengandung 200 mg SMX + 40 mg TMP

Selain protokol desensitisasi seperti di atas, terdapat Desensitisasi


cepat kotrimoksasol yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan pada
pasien rawat jalan), dengan protokol sebagai berikut:
Tabel 5.

Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol.


Waktu
(jam)

16

Dosis (TMP/SMX)

Dilusi (Pengenceran)

0,004/0,02mg

1:10.000 (5mL)

0,04/0,2mg

1:1.000 (5 mL)

0,4/2mg

1:100 (5mL)

4/20mg

1:10 (5 mL)

40/200mg

Tidak diencerkan (5mL)

160/800mg

1 tablet forte

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

5 SAAT MEMULAI TERAPI ARV PADA

ODHA DEWASA DAN REMAJA


Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4 (bila terseida) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa dan remaja.

A. Tidak tersedia pemeriksaan CD4


Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. Semua pasien dengan
stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV, sedangkan pasien dengan stadium
klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama. Setiap 3-6 bulan sekali atau jika
timbul gejala atau tanda klinis yang baru maka perlu dilakukan pemeriksaan
medis lengkap , dan sebaiknya disertai pemeriksaaan jumlah CD4.
Pemeriksaan viral load tidak dianjurkan untuk penentuan memulai terapi.

B. Tersedia pemeriksaan CD4


Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan stadium klinis 3 dan 4 tanpa
memandang jumlah CD4
3. Tidak memulai terapi ARV pada pasien dengan stadium klinik 1 atau 2
dengan jumlah CD4 >350 sel/mm3
4. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Proses memulai terapi ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien
untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang tanggung jawab
selanjutnya (terapi seumur hidup, kepatuhan, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan ketika membuat keputusan untuk
memulai terapi ARV.

17

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 6.

Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Target Populasi

Stadium Klinis

Pasien HIV
dewasa

Stadium klinis 1
dan 2

Jumlah sel CD4

Rekomendasi

> 350 sel/mm3

Belum mulai terapi. Monitor


gejala klinis dan jumlah sel
CD4 setiap 6-12 bulan

< 350 sel/mm3

Mulai terapi

Stadium klinis 3
dan 4

Berapapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

Pasien dgn koinfeksi TB

Apapun Stadium
klinis

Berapapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

Pasien dgn koinfeksi Hepatitis B

Apapun Stadium
klinis

Berapapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

Ibu Hamil

Apapun Stadium
klinis

Berapapun jumlah
sel CD4

Mulai terapi

C. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik


(IO) yang Aktif
Jangan memulai terapi ARV bila masih terdapat IO yang aktif. Pada
dasarnya IO harus diobati terlebih atau diredakan dahulu, kecuali
Mycobacterium Avium Complex (MAC) karena terapi ARV merupakan pilihan
yang lebih baik, terutama apabila terapi spesifik untuk MAC tidak tersedia.
Keadaan lain yang mungkin akan membaik ketika dimulai terapi ARV adalah
kandidiasis dan kriptosporidiosis.
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.

D. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV


Tabel 7.

Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi Opportunistik


Progresif multifocal
Leukoenchephalopathy, Sarkoma
Kaposi, Microsporidiosis, CMV,
Cyptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC

18

Rekomendasi
ARV diberikan langsung setelah diagnosis infeksi
ditegakkan

ARV diberikan setidaknya 2 minggu setelah pasien


mendapatkan pengobatan infeksi opportunistik

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

6 REJIMEN ANTIRETROVIRAL LINI

PERTAMA
A. Rejimen ARV Lini Pertama yang Dianjurkan
Pemerintah menetapkan rejimen yang digunakan dalam pengobatan
ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu:

Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah

1. Penggunaan rejimen Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) yang


artinya harus menggunakan 3 jenis obat dan ketiga jenis obat tersebut
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah. Prinsip tersebut
sangat direkomendasikan untuk diterapkan pada semua pasien untuk
menjamin efektivitas penggunaan obat. Istilah HAART sering dipendekkan
menjadi ART (antiretroviral therapy), selanjutnya digunakan istilah ART
yang sudah sering digunakan.
2. Membantu pasien dalam menciptakan dan memperbaiki sistem agar akses
ARV menjadi lebih dekat dan mudah sehingga kepatuhan minum obat
dapat dijaga.
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama
Rejimen yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah :
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari rejimen di bawah ini:

AZT + 3TC + NVP atau


AZT + 3TC + EFV atau
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP atau
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

7
19

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Daftar obat ARV yang ada di Indonesia dapat dilihat di Lampiran 5.


Daftar obat ARV di Indonesia Daftar Interaksi obat ARV dengan obat
lain dapat dilihat di Lampiran 6. Interaksi obat ARV dengan obat lain
Tabel 8.

Rejimen Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang


dewasa yang belum pernah mendapat ART (treatment-nave)

Populasi Target

Pilihan yang
direkomendasikan

Dewasa dan anak


muda

AZT atau TDF + 3TC


(FTC) + EFV atau NVP

Perempuan hamil

AZT + 3TC + EFV atau


NVP

Ko-infeksi HIV/TB

AZT atau TDF + 3TC


(FTC) + EFV

Ko-infeksi
HIV/HBV

TDF + 3TC (FTC) + EFV


atau NVP

Catatan
Merupakan pilihan rejimen yang sesuai
untuk sebagian besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Tidak boleh menggunakan EFV pada
trimester pertama
TDF bisa merupakan pilihan
Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB
dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8
minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan
Pertimbangkan skrining HBsAg sebelum
memulai ART, terutama bila TDF bukan
pilihan rejimen lini pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas
anti-HBV

A. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan


Rejimen ART
1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NNRTI)


Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam rejimen ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC.
Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg
setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis
rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi
risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
Cara menghentikan rejimen yang mengandung NNRTI

20

Hentikan NVP atau EFV

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari, kemudian hentikan


semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang
panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.

Penggunaan NVP dan EFV

NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara


Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat
lain, dan harga
NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom StevenJohnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama
3 bulan lalu dikembalikan kepada rejimen lini pertama
Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4
>250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada lakilaki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah
CD4-nya.
Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan
satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2
kali sehari.
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan
baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia
dibandingkan NVP
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat
teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester
dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan
meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut
dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian
obat oleh pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik
berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan
trimester pertama.
EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.
Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama terapi
TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai
terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing

2. Pilihan pemberian Triple NRTI


Beberapa uji coba klinis yang telah dilakukan untuk mengevaluasi
efektivitas rejimen yang menggunakan triple NRTI tidak menunjukkan bukti
bahwa triple NRTI dapat diberikan sebagai rejimen lini pertama, hal tersebut

21

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

disebabkan karena supresi virus suboptimal dengan kecenderungan timbulnya


resistensi terhadap ARV.
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah
itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat. Regimen triple NRTI yang direkomendasikan untuk
dapat dipertimbangkan adalah:
ABC+3TC+AZT

atau

AZT+3TC +TDF

Penggunaan AZT dan TDF


AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4
yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh
penggunaan AZT
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi
sebesar 0.5% sampai 2%
TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
data tentang keamanannya pada kehamilan
TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan
pemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA
Perihal Penggunaan d4T
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun
waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (ART), Tenofovir (TDF)
maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara
lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat
asidosis yang menyebabkan kematian.
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi dengan lama
penggunaan d4T sehingga dapat disimpulkan semakin lama d4T digunakan
semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping. WHO dalam pedoman
tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah
2 tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010
22

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T


dengan Tenofovir (TDF).
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah
memutuskan sebagai berikut:
Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan
belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah 6
bulan
Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai
obat substitusi gunakan TDF.
Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk dikurangi
karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan penarikan
secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T
setelah stok nasional habis.
3. Penggunaan PI untuk Mengawali Terapi ARV
PI tidak direkomendasikan sebagai rejimen lini pertama karena
penggunaan PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini
kedua di Indonesia yang sumber dayanya masih terbatas. PI hanya dapat
digunakan sebagai rejimen lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI)
pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/mm yang
mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi
NNRTI.

B. Rejimen Obat ARV yang Tidak Dianjurkan


Tabel 9.

Rejimen ARV yang tidak dianjurkan

Rejimen ARV

Alasan tidak dianjurkan

Mono atau dual terapi untuk


pengobatan infeksi HIV kronis

Cepat menimbulkan resisten

d4T + AZT

Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)

d4T + ddI

Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis, hepatitis dan


lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil

3TC + FTC

Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh digunakan


secara bersamaan

TDF + 3TC + ABC atau


TDF + 3TC + ddI

Rejimen tersebut meningkatkan mutasi K65R dan terkait


dengan seringnya kegagalan virologi secara dini

TDF + ddI + NNRTI manapun

Seringnya kegagalan virologi secara dini

23

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

C. Sindrom Pemulihan Kekebalan (immune reconstitution


syndrome = IRIS)
Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS = sindroma
inflamasi pemulihan imunitas) adalah kumpulan tanda dan gejala klinis sebagai
akibat dari pulihnya kemampuan respon inflamasi yang berhubungan dengan
pemulihan sistem kekebalan tubuh. Hal tersebut sering terjadi akibat dari
dimulainya terapi antiretroviral dengan jumlah CD4 yang rendah. Pemulihan
sistem kekebalan tersebut adalah terhadap infeksi maupun non-infeksi.
Mekanisme dari IRIS belum jelas benar, tetapi kemungkinan adalah pemulihan
sebagian sistem imun atau respon imunologis yang berlebihan terhadap
rangsangan antigen tertentu.
Karakteristik dari IRIS adalah keadaan paradoks berupa perburukan
klinis dari keadaan yang sebelumnya sudah ada atau munculnya keadaan
klinis baru lainnya setelah memulai terapi. Keadaan tersebut terjadi bersamaan
dengan perbaikan respon imunologis yang biasanya berupa peningkatan
jumlah CD4.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari
bahan infeksi atau non-infeksi yang terlibatKarena perburukan klinis tersebut
terjadi selama pemulihan imunitas maka fenomena tersebut disebut juga
sebagai Immune restoration syndrome (IRD), Immune reconstitution syndrome
(IRS), dan paradoxical reaction (reaksi paradoks). Dan karena karakteristik
respon inflamasi yang terjadi, maka istilah yang lebih banyak digunakan dan
sesuai adalah Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS).
Beberapa faktor risiko terjadinya IRIS adalah jenis kelamin laki-laki, usia
muda, jumlah CD4 yang rendah saat memulai ART, jumlah virus RNA HIV
yang tinggi saat memulai ART, rendahnya persentase CD4 saat memulai ART,
rendahnya rasio CD4:CD8 saat memulai ART, penurunan jumlah virus RNA
HIV yang lebih cepat selama ART, belum pernah ART saat diagnosis infeksi
oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
oportunistik dan memulai ART.
Diagnosis IRIS tidak mudah karena memerlukan evaluasi menyeluruh
dari riwayat penggunaan terapi antiretroviral sejak saat memulai sampai saat
terjadinya suatu kondisi yang dicurigai IRIS. Untuk negara dengan
keterbatasan sarana, maka diagnosis IRIS menggunakan alat bantu berupa
kriteria mayor dan minor dimana diagnosis harus memenuhi 2 kriteria mayor
atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor:
1. Kriteria mayor
Presentasi atipikal infeksi oportunistik atau tumor pada pasien sebagai
reaksi terhadap pemberian ART
Penyakit terlokalisasi
Reaksi inflamasi yang berlebih
Reaksi inflamasi atipikal pada jaringan yang mendapatkan dampak
(affected tissue)

24

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Disfungsi organ progresif atau pembesaran lesi yang sudah ada


sebelumnya setelah perbaikan klinis definitif dengan terapi patogenspesifik sebelum inisiasi ART, mengecualikan toksisitas perawatan dan
diagnosis alternatif baru.
Pengurangan pada kadar HIV RNA plasma lebih dari 1 log
2. Kriteria minor
Peningkatan jumlah sel CD4 dalam darah setelah memulai ART
Peningkatan reaksi kekebalan tubuh terhadap patogen yang relevancontohnya reaksi tes hipersensitifitas kulit jenis tertunda terhadap
antigen mikobakterial
Resolusi penyakit secara spontan tanpa terapi antimikroba spesifik atau
kemoterapi tumor dengan diteruskannya ART.
Sumber : Battegay M, Drechsler H. Clinical spectrum of the immune restoration inflammatory
syndrome. Current Opinion in HIV and AIDS 2006;1:56-61

Gambar 3. Tatalaksana IRIS

Pasien datang dengan


perburukan setelah mendapat
terapi ARV

Pasien Telah
mendapatkan ARV < 12
minggu

Termasuk imunesupresi
berat atau infeksi yang
terlewatkan sewaktu
skrining

Teruskan ARV
Obati IO yang ditemukan

Pasien Telah mendapatkan


ARV > 12 minggu dan
memenuhi criteria mayor dan
minor untuk IRIS

Diagnosis
dan tangani
sebagai IRIS

Teruskan ARV
Stop ARV jika mengancam
nyawa
Obati IO jika sebelumnya belum
mendapatkan pengobatan
Diberikan NSAID atau metal
prednisolon dengan dosis 0,5 1 mg/kg bb selama 10 14 hari

25

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 10. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab IRIS pada pasien
HIV
Penyakit Infeksi

Mycobacteria
Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium avium complex
Mycobacteria lainnya
Cytomegalovirus
Herpes viruses Guillain-Barre' syndrome
Herpes zoster virus
Herpes simplex virus [
Herpes virus-associated Kaposi's sarcoma
Cryptococcus neoformans]
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP)
Histoplasmosis capsulatum
Toxoplasmosis
Hepatitis B virus
Hepatitis C virus
Progressive multifocal leukoencephalitis
Parvovirus B19 [110]
Strongyloides stercoralis infection
other parasitic infections
Molluscum contagiosum & genital wart
Sinusitis
Folliculitis

Penyakit non Infeksi

Rheumatologic/Autoimmune
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus (SLE)
Graves disease
Autoimmune thyroid disease
Sarcoidosis & granulomatous reactions
Tattoo ink
AIDS-related lymphoma
Guillain-Barre' syndrome
Interstitial lymphoid pneumonitis

Sumber : Murdoch D. Immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS): review of common infectious
manifestations and treatment options. AIDS Research and Therapy 2007, 4:9 doi:10.1186/1742-6405-4-9

26

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

8 KEPATUHAN
Kepatuhan atau Adherence pada terapi adalaj seuatu keadaan dimana
pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya
karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih
meningkatkan angka kepatuhannya karena adalah kesadarannya sendiri.
Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur
serta didorong pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering akibat dari
atau sering dihubungkan dengan ketidakpatuhan pasien pada terapinya..
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat
kepatuhan berobat ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa
untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 95% dari semua
dosis tidak boleh terlupakan. Tingkat kepatuhan yang lebih rendah dari yang
tersebut sering terkait dengan kegagalan virologis. Untuk menjaga kepatuhan
pada tingkat yang diharapkan tidaklah mudah. Perlu suatu kerjasama yang
baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta menciptakan suasana
pengobatan menjadi lebih nyaman.
Faktor yang mempengaruhi atau menjadi faktor prediksi kepatuhan:
1. Faktor sistem layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, birokratik
serta sistem pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik
adalah penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan,
karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan
kesehatan dengan mudah.
2. Faktor pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jender, ras/etnis,
penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan, dan asal
kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan
faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza, lingkungan dan
dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV dan terapinya).
3. Rejimen terapi. Meliputi jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya
rejimen (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik
obat, dan efek samping jangka pendek dan panjang
4. Karakteristik penyakit. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak
terdiagnosis HIV, infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang
berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain
menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum juga.
5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga
kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi kepuasan dan
kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan
pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, kesediaan tenaga
kesehatan untuk melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan,
nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll), dan
kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan
pasien

27

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

6. Keadaan klinik. Meliputi program kepatuhan yang baik, kenyamanan


ruangan, kemudahan akses, jaminan kerahasiaan, penjadwalan yang baik
dan lain-lain.
Sebelum memulai terapi, maka harus dimantapkan terlebih dahulu
mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV tersebut dengan segala
konsekuensinya. Harus dibuat rencana pengobatan secara rinci bersama
pasien untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara
teratur dan terus menerus.
Penjelasan rinci tentang pentingnya kepatuhan minum obat dan akibat
dari kelalaian perlu dilakukan. Dalam hal ini, instruksi tertulis dapat
meningkatkan pemahaman pasien tentang manfaat pengobatan yang
dijalaninya. Instruksi dapat berupa gambar-gambar kartun atau media lainnya
yang terbukti sangat bermanfaat dan dapat dipahami pasien. Kemungkinan
timbulnya efek samping perlu pula dijelaskan di depan. Mendidik keluarga atau
teman sebayanya juga akan bermanfaat.
Proses pemberian informasi, konseling dan dukungan kepatuhan harus
dilakukan dengan baik oleh petugas (konselor dan/atau pendukung
sebaya/ODHA) yang betul-betul memahami kehidupan ODHA. Ada tiga
langkah dalam proses tersebut yang dapat dilaksanakan dalam satu sesi
pertemuan atau lebih.
1. Langkah 1: Memberikan informasi
Klien diberi informasi dasar yang dapat membangkitkan komitmen serta
kepatuhan untuk berobat yang tinggi. Informasi dapat diberikan secara
individual atau berkelompok bila petugas menguasai cara untuk
mengendalikan diskusi kelompok.
2. Langkah 2: Konseling perorangan
Dalam sesi ini, konselor perlu membantu klien untuk mengeksplorasi
perasaannya. Kebanyakan klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau
rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin kepatuhan berobatnya
sampai ia dapat melepaskan beban tersebut.
Banyak diantara klien yang tidak memiliki tempat atau ruang pribadi
untuk menyimpan obat mereka sehingga tidak mungkin untuk tetap menjaga
kerahasiaan statusnya. Ketidakrelaan untuk membuka status kepada orang
lain juga sering menjadi hambatan dalam hal menjaga kepatuhan. Klien perlu
menghadapi kenyataan dan menentukan siapa yang perlu mengetahui
statusnya.
3.

Langkah 3:
Mencari penyelesaian masalah praktis dan
membuat rencana terapi.

Setelah memahami keadaan dan masalah klien, maka perlu dilanjutkan


dengan diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama

28

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

dan kemudian membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu


didiskusikan antara lain:

Di mana obat ARV akan disimpan?


Pada jam berapa akan diminum?
Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk makan obat?
Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan seharihari?

Harus direncanakan waktu untuk mengingatkan klien dengan bertemu


atau telepon klien pada hari-hari pertama terapi dimulai dan untuk membahas
masalah yang timbul.
Akhirnya membina hubungan yang berdasarkan saling percaya antara
klien dan petugas kesehatan merupakan faktor yang penting. Perjanjian
berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci kesinambungan perawatan dan
pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan peduli tidak
mengadili, akan mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan
makan obatnya. Tim HIV di sarana kesehatan harus selalu memutakhirkan
pengetahuan dan ketrampilannya tentang terapi ARV dan kepatuhan, dan
menjalani pelatihan bila perlu. Masalah kesehatan yang baru muncul akan
mengganggu kepatuhan berobat. Penghentian sementara dari semua obat
akan lebih baik daripada kepatuhan berobat yang tidak jelas.
4. Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat:

Bina hubungan saling percaya dengan pasien


Berikan informasi dan saran yang diperlukan
Dorong untuk melibatkan dukungan sebaya dan bantu menemukan
seseorang sebagai pendukung berobat
Kembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan gaya
hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan
sebagai pengingat minum obat
Telaah kesiapan pasien akan ART. Kesiapan untuk memulai Terapi ARV
dapat dilakukan dengan cara:
Mampu untuk memenuhi janji berkunjung ke klinik
Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan
Mampu menyelesaikan rangkaian terapi TB dengan sempurna.
Pemahaman yang memadai
Pastikan kepatuhan secara ketat terhadap terapi ARV. Hal tersebut
berarti tidak boleh lebih dari 3 dosis obat yang terlewatkan setiap
bulannya. Bila tidak maka menghadapi risiko resisten dan kegagalan
terapi.
Tekankan bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau
dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.
Jelaskan bahwa obat yang terlupa dapat ditelan sampai dengan 6 jam
kemudian pada rejimen yang 2 kali sehari. Bila terlupakan lebih dari 6
jam maka dosis obat dilewatkan saja dan minum dosis obat
berikutnya.

29

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Jelaskan cara makan obat (contohnya ada obat yang harus ditelan
bersama dengan makanan, ada yang pada saat perut kosong, ada
yang perlu disertai dengan banyak minum).
Jelaskan efek samping dari setiap obat dan pastikan bahwa pasien
memahami hal tersebut sebelum dimulai terapi ARV.
Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap
menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau
menggunakan alat suntik steril bagi para penasun.
Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan
obat ARV yang diminumnya. Pasien perlu dikonseling secara hati-hati
tentang obat-obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.
Tekankan bahwa kunjungan ke klinik secara teratur sangat penting
untuk memantau kemajuan pengobatan, efek samping dan kepatuhan.
Hubungi pasien yang tidak dapat memenuhi janji/jadwal berkunjung
dengan telepon.

Rejimen obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil


yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua kali
sehari), dan meminimalkan efek samping obat. Semakin sederhana rejimen
obat ARV semakin tinggi angka kepatuhan minum obat. Kepatuhan dapat
dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung sisa obat yang ada dan
laporan dari keluarga atau pendamping yang membantu pengobatan.
Konseling kepatuhan dilakukan pada seriap kunjungan dan dilakukan secara
terus menerus dan berulang kali.
5. Daftar tilik untuk menelaah kepatuhan minum obat
Tanyakan:
Jumlah dosis yang terlupakan selama 3 hari
terakhir
Jumlah dosis yang terlupakan sejak kunjungan
terakhir
Apakah obat diminum pada jam yang tepat. Bila
tidak, tanyakan berapa lama keterlambatannnya.
Apakah dosisnya tepat
Mengapa ada penghentian sementara atau ada
modifikasi/ hambatan untuk minum obat
Cara lain adalah dengan menggunakan estimasi visual tentang proporsi
obat yang diminum dengan menggunakan skala analog visual.

30

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

9 TERAPI ANTIRETROVIRAL

PADA POPULASI KHUSUS


Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan
suatu perhatian khusus ketika akan memulai terapi antiretroviral. Kelompok
khusus tersebut antara lain kelompok perempuan hamil; kelompok pecandu
NAPZA suntik dan yang menggunakan Methadon. Sementara keadaan khusus
yang perlu diperhatikan adalah keadaan Koinfeksi HIV dengan TB dan
Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B dan C.

A. Terapi ARV untuk Perempuan


Terdapat beberapa skenario tentang terapi ARV dengan perempuan
terinfeksi HIV, antara lain Terapi ARV dan Kontrasepsi Hormonal, Terapi ARV
bagi perempuan terinfeksi HIV yang hamil dalam keadaan belum memerlukan
ART, dan Terapi ARV bagi perempuan terinfeksi HIV yang sudah memerlukan
ART. Selain itu ada rekomendasi ART bagi perempuan yang pernah
mendapatkan ARV untuk program, Pencegahan penularan dari ibu ke anak
(PMTCT). Masing-masing keadaan akan dibahas di bawah ini.
1. Terapi ARV dan Kontrasepsi Hormonal
Obat-obat ARV seperti NVP, RTV, NFV, LPR/r dan SQV/r dapat
mengurangi kadar etinil-estradiol. Kadar estrogen sedikit ditingkatkan oleh
ATV, IDV dan EFV. Dianjurkan untuk tetap menggunakan kondom secara
konsisten bagi semua ODHA perempuan yang menjalani terapi ARV. Data
yang masih terbatas belum menunjukkan adanya interaksi antara medroxyprogesteron asetat dengan NVP, EFV, atau NFV.
Dianjurkan untuk melakukan pemantauan kadar GOT/GPT selama
terapi ARV yang mengandung NVP, yaitu pada minggu ke 0, 2, 4, 6, 8 dan
kemudian setiap bulan sampai saat persalinan. NVP harus segera dihentikan
bila terjadi kenaikan kadar GPT > 5 kali dari batas atas nilai normal.
Rejimen lini pertama yang direkomendasikan untuk kelompok tersebut
adalah:
AZT + 3TC + NVP
Mulai dengan ART tanpa NNRTI pada perempuan yang menerima NVP
dosis tunggal (sdNVP) tunggal atau dalam kombinasi dengan obat-obat tanpa
NRTI dalam 12 bulan terakhir
2. Terapi ARV untuk Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Rekomendasi untuk ibu hamil terinfeksi HIV:

31

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

1. Mulai ART pada semua ibu hamil terinfeksi HIV jika jumlah sel
CD4 350 sel/mm3, apapun gejala klinisnya.
2. Diperlukan pemeriksaan jumlah CD4 untuk menentukan apakah
ibu hamil terinfeksi HIV dengan stadium klinis 1 dan 2 perlu
memulai terapi ARV atau profilaksis.
3. Mulai ART pada semua ibu hamil terinfeksi HIV dengan stadium
klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4nya.
Terapi ARV untuk Ibu Hamil terinfeksi HIV yang belum memenuhi
syarat Terapi ARV
Dalam keadaan ODHA hamil dengan keadaaan belum memenuhi syarat
terapi ARV (stadium klinis 1 dengan jumlah CD4 di atas 350 sel/mm3) maka
rejimen yang diberikan adalah sebagai berikut:
IBU

BAYI

AZT/TDF + 3TC + NVP/EFV mulai pada


umur kehamilan 14 minggu, dilanjutkan
seumur hidup
AZT selama 4 - 6 minggu

Terapi ARV untuk Ibu Hamil terinfeksi HIV yang sudah memenuhi
syarat Terapi ARV
Gunakan salah satu rejimen berikut untuk ibu hamil yang baru mendapat
ART dan memenuhi syarat untuk ART:

AZT + 3TC + EFV;


AZT + 3TC + NVP;
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV;
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP.

Jangan berikan EFV selama trimester I kehamilan.


3. Terapi ARV untuk perempuan yang sebelumnya pernah

mendapatkan ARV untuk pencegahan penularan Ibu ke Anak


(PPIA atau PMTCT)
Rekomendasi bagi perempuan yang sebelumnya sudah mendapat ARV
untuk PMTCT (untuk lebih lengkapnya lihat Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak - PMTCT):
1. Berikan ART dengan basis non-NNRTI pada perempuan yang telah
menerima nevirapine dosis tunggal (sdNVP) sendiri atau kombinasi
dengan obat lain tanpa NRTI tail dalam 12 bulan. Jika rejimen
berbasis NNRTI dimulai, lakukan pemeriksaan jumlah viral load
setelah 6 bulan dan jika jumlahnya >5000 copies/ml, switch/ganti ke
rejimen berbasis PI.
32

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

2. Berikan rejimen ART standar berbasis NNRTI pada perempuan yang


telah menerima sdNVP sendiri atau dalam kombinasi dengan obat
lain dengan NRTI tail dalam 12 bulan dan lakukan pemeriksaan viral
load setelah 6 bulan. Jika jumlah viral load >5000 copies/ml, ganti ke
rejimen berbasis PI.
3. Berikan rejimen ART standar berbasis NNRTI pada perempuan yang
telah menerima sdNVP (sendiri atau dalam kobinasi dengan obat
lain) lebih dari 12 bulan sebelum memulai terapi (dengan atau tanpa
NRTI tail). Jumlah viral load harus dievaluasi setelah 6 bulan dan jika
>5000 copies/ml perlu diganti ke rejimen berbasis PI.

B. Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Hepatitis B (HBV) dan


Hepatitis C (HCV)
Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui darah
(blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-infeksi pada HIV
khususnya hepatitis B & C. Infeksi hepatitis C sering dijumpai sebagai koinfeksi pada ODHA pengguna NAPZA suntik. Interpretasi hasil laboratorium
untuk Hepatitis B dapat dilihat Lampiran 7, sedangkan Interpretasi hasil
laboratorium untuk Hepatitis C dapat dilihat pada Lampiran 8.
Pada pasien dengan ko-infeksi HIV/ Hepatitis B & C dampak yang perlu
diperhatikan adalah

Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter


diantaranya adalah merupakan blood borne disease, membutuhkan
pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika
digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu
Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B
mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan
dalam pengobatan HIV.
Pada pasien ko-infeksi HV/Hep C , HIV akan mempercepat terjadinya
ESLD (end stage liver disease) dibandingkan dengan HCV tanpa koinfeksi HIV.
Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B jika
pengobatan HIV menggunakan TDF/3TC base dihentikan karena alasan
apapun.
Pasien hepatits B tidak direkomendasikan untuk diberikan pengobatan
monoterapi
Jika pasien hepatitis B,
telah mendapatkan pengobatan dengan
lamivudine monoterapi dan HIV baru terdiagnosis kemudian, maka perlu
dilakukan pemeriksaan genotyping untuk lamivudine dan emtricitabine
sebelum digunakan pada pengobatan HIV dengan pertimbangan
kemungkinan besar timbulnya resisten lamivudine/emtricitabine terhadap
HIV.
Didanosin, Zidovudine dan Stavudine mempunyai efek samping tumpang
tindih dalam hal hematologi dan hepatotoksisitas dengan pengobatan
yang digunakan dalam hepatitis C khususnya ribavirin

33

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang


memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), terlepas
dari jumlah CD4 atau stadium klinis WHO.
Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis
HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV
Gunakan rejimen antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV
dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV
dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat
Penggunaan Nevirapine dan Abacavir pada pasien dengan ko-infeksi
HIV/Hep B dan C perlu dilakukan evaluasi fungsi hati secara regular
untuk menghindari efek hepatotoksisitas.

1. Hepatic flares
Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari
SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri
abdomen, dan ikterus) dalam 6-12 minggu pemberian ART. Flares sulit
dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ART atau obat
hepatotoksik lainnya seperti Kotrimoksasol, OAT. Obat anti Hepatitis B harus
diteruskan selama gejala klinis yang diduga flares terjadi. Bila tidak dpat
membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala
toksisitas ART derajat 4, maka ART perlu dihentikan hingga pasien dapat
distabilkan.
Saat kemungkinan terjadi hepatic flares:
1. Setelah terapi ARV dimulai sebagai bagian dari IRIS
2. Ketika terapi ARV dihentikan
Tabel 11. Prinsip Terapi untuk Ko-infeksi HIV-Hepatitis B
Pilihan terapi ARV

Rejimen ART lini pertama dimasukkan obat yang punya khasiat anti
HBV bila diketahui HBsAg positif dan HBeAg positif

Pilihan terapi lini


pertama

TDF + 3TC atau FTC + EFV

Alternatif bila TDF


tidak tersedia

(AZT atau d4T) + 3TC + EFV


(AZT atau d4T) + 3TC + NVP
3TC merupakan satu-satunya ARV yang berkhasiat anti HBV

Pilihan NNRTI

EFV
NVP harus digunakan secara hati-hati dengan pemantauan teratur
pada pasien dengan ko-infeksi HIV-HBV derajat 1, 2 atau 3 dengan
kenaikan GPT/GOT

Rejimen ARV lini


kedua

3TC harus dilanjutkan sebagai terapi ARV lini kedua meskipun telah
terjadi kegagalan.

Resistensi HBV

Secara ideal 3TC seharusnya terus digunakan baik bersama TDF


atau tidak
HBV yang diberikan pengobatan monoterapi dengan 3TC, akan
resisten terhadap 3TC pada 50% kasus setelah 2 tahun pengobatan
dan 90% setelah 4 tahun apabila 3TC merupakan satu-satunya obat

34

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

anti HBV.
Hasil terapi

Akan terjadi serokonversi HBV pada 11 22% pasien dengan HBeAg


positif yang diterapi dengan 3TC

Kambuh

Akan muncul segera setelah terapi ARV dimulai dalam bentuk IRIS.
Penghentian 3TC dapat berakibat kambuhnya hepatitis

FTC

FTC memiliki efek supresi HBV dan profil keamanan yang serupa
dengan 3TC. Demikian juga profil resisteninya.

35

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 12. Pengobatan Hepatitis C


Indikasi
Pasien Hepatitis C kronik
dengan compensated liver
disease dengan riwayat
belum pernah mendapatkan
interferon sebelumnya

Kriteria Pemberian
Anti HCV + dan HCV RNA
+
Peningkatan SGPT
Tidak dalam keadaan
menyusui atau hamil

Keterangan
Pegylated interferon dan
ribavirin bersifat teratogenik,
pemeriksaan kehamilan dan
penggunaan alat KB perlu
dilakukan.

Pengobatan yang diberikan adalah Pegylated Interferon Alfa 2A/2B + Ribavirin. Perlu dilakukan
pemeriksaan genotyping HCV sebelum pengobatan. Lama pemberian tergantung dari
genotype dari Hepatitis C. Pada genotype 2 & 3 diberikan selama 24 minggu dan genotype 1 &
4 diberikan selama 48 minggu. Dosis pegylated interferon Alfa 2A+ Ribavirin adalah
180g/minggu + Ribavirin 1000( BB < 75kg) 1200 mg ( BB > 75kg). Dosis Pegylated
interferon Alfa 2 B +ribavirin adalah 1,5g/kg/minggu + Ribavirin 800 ( < 65kg) 1200 mg ( >
65kg).
Di adaptasi dari: Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An
Update. HEPATOLOGY, Vol. 49, No. 4, 2009.
ASHM guideline.HIV, Viral Hepatitis and STIs, a guide for primary care. 2008
edition

Monitoring pengobatan hepatitis C


Untuk memantau pengobatan hepatitis C perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Serum transaminase, yang dilakukan setiap minggu selama 4 minggu dan
selanjutnya setiap bulan atau jika diperlukan
2. Jumlah HCV RNA, yang dilakukan setelah pengobatan 4 minggu (pilihan),
12 minggu, 24 minggu dan 48 minggu untuk melihat respon pengobatan
ditinjau dari segi virology seperti terpapar pada Tabel 13 di bawah ini
Tabel 13.

Respon Virologis Pengobatan Hepatitis C

Respon Virologi

Definisi

Rapid virological response (RVR)

HCV RNA negatif pada pengobatan minggu ke 4

Early virological response (EVR)

Penurunan HCV RNA > 2 log reduction disbanding


dengan data baseline atau HCV RNA menjadi negatif
pada pengobatan minggu ke 12.(Complete EVR)

End-of-treatment response (ETR)

HCV RNA menjadi negatif pada minggu ke 24 atau 48

Sustained virological response


(SVR)

HCV RNA tetap negatif 24 minggu setelah penghentian


pengobatan

Breakthrough

HCV RNA timbul kembali sementara dalam pengobatan

Relapse

HCV RNA timbul kembali setelah pengobatan dihentikan

Non Responder

Gagal untuk clearance HCV RNA setelah 24 minggu


pengobatan

Null responder

Penurunan < 2 log HCV RNA setelah 24 minggu


pengobatan

Partial responder

Penurunan > 2 log HCV RNA dan HCV RNA tetap positif
setelah 24 minggu pengobatan

Sumber : Ghanny et all. Diagnosis, Management, and Treatment of Hepatitis C: An Update. HEPATOLOGY, Vol. 49,
No. 4, 2009

36

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Rejimen ART pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah mengikuti


infeksi HIV pada orang dewasa. Hanya saja perlu monitor ketat karena risiko
hepatotoksisitas yang berhubungan dengan obat dan interaksi antar obat.
Beberapa interaksi yang perlu perhatian antara lain:
Kombinasi Obat

Risiko

Anjuran

Ribavirin + ddI

Pankreatitis / asidosis
laktat

tidak boleh diberikan secara


bersamaan

Ribavirin + AZT

Anemia

Perlu pengawasan ketat

Interferon + EFV

Depresi berat

Perlu pengawasan ketat

Pada pasien dengan jumlah CD4 yang tinggi lebih baik memberi terapi Infeksi HCV
sebelum terapi HIV
Pada pasien yang sudah memerlukan ART dianjurkan untuk memulai ART terlebih
dahulu untuk mendapatkan angka respon (response rate) terapi HCV yang lebih baik

C. Terapi ARV untuk Ko-infeksi HIV/Tuberkulosis


ART diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada
tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan
menurunkan rekurensi TB sebesar 50%.
Mulai ART pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah
CD4.
Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai ART
selama dalam terapi TB.
Mulai ART sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian
ko-infeksi HIV/TB, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV
memulai ART lebih cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan
kekambuhan TB dan meningkatkan manajemen TB pada pasien ko-infeksi
HIV/TB.

37

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 14. Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV


CD4

Rejimen yang Dianjurkan

Keterangan

Berapapun
jumlah CD4

Mulai terapi TB.


Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB
dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8
minggu)
Rejimen yang mengandung EFV (AZT atau
d4T) + 3TC + EFV (600 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV
dapat diganti dengan NVP
Bila NVP terpaksa harus digunakan, maka
perlu dilakukan pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat

Saat mulai ARV pada 2


8 minggu setelah OAT

CD4 tidak
mungkin
diperiksa

Mulai terapi TB.

Pertimbangkan terapi
ARV mulai 2 8 minggu
setelah terapi TB dimulai

Terapi ARV direkomendasikan untuk semua ODHA yang menderita TB


tanpa memandang jumlah CD4nya. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka
terapi ARV direkomendasikan untuk semua ODHA dengan TB.
1. Pilihan NRTI

Sama dengan semua ODHA.


Rejimen triple NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat
mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas.
Rejimen triple NRTI yang dapat diberikan adalah: AZT+3TC+ABC atau
AZT+ 3TC +TDF, akan tetapi rejimen triple NRTI tersebut kurang poten
dibanding dengan rejimen berbasis NNRTI (lihat Bab 6; tentang Pilihan
pemberian Triple NRTI)
2. Pilihan NNRTI

EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan


kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih sedikit dan
efek hepatotoksik yang lebih ringan.
Pada keadaan dimana TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak
memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu
mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi
obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI.
Tabel 15 di bawah merupakan panduan pemakaian ART pada pasien
yang terdiagnosis TB dalam 6 bulan setelah mulai ART lini pertama maupun
lini kedua.

38

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 15. Rejimen ARV bagi ODHA yang Kemudian Muncul TB Aktif
Rejimen ARV
Lini pertama

Lini kedua

Rejimen ARV pada


Saat TB Muncul

Pilihan Terapi ARV

2 NRTI + EFV

Teruskan dengan 2 NRTI + EFV

2 NRTI + NVP

Ganti dengan EFV atau


Ganti dengan triple NRTI atau
Teruskan dengan 2 NRTI + NVP

Tripel NRTI

Teruskan tripel NRTI

2 NRTI + PI/r

Ganti atau teruskan (bila sudah digunakan)


rejimen ARV yang mengandung LPV/ r

Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk


mengganti rejimen ARV ke NVP kembali

D. Terapi ARV pada Pengguna NAPZA suntik


Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien
dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum.
Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan
terapi ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk
populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu
sepanjang
hidupnya
sehingga
dapat
mempengaruhi
kepatuhan
terapinya.Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara
terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya Methadon.
Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan
ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga pasien
terpantau dengan lebih baik. Penggunaan rejimen ARV dengan dosis sekali
sehari
masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk
mempermudah terapi. Penelitian terus meningkat atas sejumlah obat ARV
dosis sekali sehari antara lain: 3TC, FTC, ddI, d4T, TDF, ABC, EFV, SQV/r,
LPV/r dan ATV.
Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP atau RTV untuk
ODHA dengan riwayat NAPZA suntik berakibat menurunnya kadar metadon
dalam darah dan tanda-tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan
harus dilakukan dan dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai
untuk mengurangi gejala ketagihan tersebut.

E. Terapi ARV untuk individu dengan penggunaan Metadon


Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV tanpa harus
menghentikan metadon dan sebaliknya
Rejimen yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV atau
NVP
ARV bukan merupakan kontraindikasi pada penasun (pengguna napza
suntik) yang masih menggunakan NAPZA atau sedang dalam terapi
rumatan Metadon

39

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Keputusan memberikan ART pada penasun yang masih aktif


menggunakan NAPZA ditentukan oleh tim medis dengan
mempertimbangkan kepatuhan
Perlunya memperhatikan (kemungkinan) interaksi obat antara ARV,
Metadon dan obat lain yang digunakan, sehingga dosis metadon perlu
disesuaikan dengan dosis rumatan yang diperlukan pasien

F. Terapi ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan


dengan HIV (HIV-associated nephropathy = HIVAN)
HIVAN biasanya ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa
ditemukan pada berapapun jumlah CD4 .
Semua pasien HIV dengan proteinuria perlu dicurigai sebagai HIVAN
Rejimen yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau NVP.
Sangat direkomendasi untuk memulai ART pada kasus HIVAN tanpa
memandang CD4.

G. Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau


Post Exposure Prophylaxis = PEP)
Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan
Pasca Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama untuk
kasus pajanan di tempat kerja atau beberapa kasus seksual yang khusus misal
perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri.
Beberapa hal tentang PEP:
Waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal
dalam 48-72 jam setelah kejadian
Rejimen yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC +
Lopinavir/Ritonavir
ARV untuk PEP diberikan selama 1 bulan
Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PEP
ARV TIDAK diberikan untuk tujuan PEP jika tes HIV menunjukkan hasil
reaktif
Perlu dilakukan monitoring efek samping dan tes HIV secara berkala
Tes HIV dilakukan pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PEP
Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita Hepatitis B
maka PEP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk
mencegah terjadinya hepatic flare.

40

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

10 PEMANTAUAN KLINIS DAN

LABORATORIS SELAMA TERAPI


ARV LINI PERTAMA
A. Pasien yang belum memenuhi syarat ART
Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (ART) perlu
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.
Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis
perkembangan infeksi HIV.
Parameter klinis dan jumlah CD4 tersebut digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis WHO pada setiap kunjungan dan menentukan
apakah pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol
atau ART. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika
mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai ART.

B. Monitoring Pasien dalam Terapi Antiretroviral


1. Monitoring klinis
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respon ART. Sebagai
batasan minimal, monitoring klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan
24 minggu sejak memulai ART dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah
mencapai keadaan stabil.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala
efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial,
kandidiasis dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk
membantu pasien memahami ART dan dukungan kepatuhan
2. Monitoring laboratoris

Direkomendasikan untuk melakukan monitoring CD4 secara rutin setiap 6


bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC =
total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor
terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi
Untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada
minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala
anemia
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada
tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi

41

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250 350
sel/mm maka perlu dilakuan monitoring enzim transaminase pada minggu
2, 4, 8 dan 12 sejak memulai ART (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan
monitoring berdasar gejala klinis
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF
Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa
pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau ddI. Tidak
direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, hanya
bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis
laktat. Diharapkan adanya sarana pemeriksaan kadar asam laktat di rumah
sakit rujukan
Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi metabolisme
glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan monitoring kimia serum
secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk dilakukan atas dasar tanda
dan gejala
Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan untuk
memonitor pasien dalam ART dalam keadaan terbatas fasilitas dan
kemampuan pasien. Pemeriksaan VL perlu dipertimbangkan untuk
diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpapar HIV di usia di bawah 18
bulan. Untuk dewasa, pemeriksaan VL digunakan untuk membantu
diagnosis gagal terapi. Hasil VL dapat memprediksi gagal terapi lebih awal
dibandingkan dengan hanya menggunakan monitoring klinis dan
pemeriksaan jumlah CD4
Jika pengukuran VL dapat dilakukan maka dengan pemberian ARV
diharapkan akan terjadi penurunan VL sebesar 2 log dalam 2 bulan
pertama dan undetectable pada bulan ke 6
3. Monitoring lain

Enam bulan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis dan
penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis
dan imunologis ke arah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut kadang tidak
terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS). Pada keadaan tersebut pasien
seolah-olah mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu
keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan).
Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis
sejak memulai ART, antara lain beratnya keadaan klinis dan rendahnya jumlah
CD4 saat memulai. Selain itu perlu diingat juga bahwa pemulihan keadaan
klinis dan imunologis tersebut memerlukan waktu untuk bisa terjadi dan
menunjukkan hasil. Di bawah akan diulas beberapa hal yang perlu dimonitor
pada pasien yang mendapat ART, baik pada 6 bulan pertama maupun
pemantauan jangka panjang.
4. Pemantauan pemulihan jumlah sel CD4
Dengan dimulainya ART, sebagian besar pasien akan menunjukkan
peningkatan jumlah CD4 dan akan berlanjut bertahun-tahun dengan terapi
yang efektif. Kadang keadaan tersebut tidak terjadi terutama pada pasien
42

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

dengan jumlah CD4 yang sangat rendah pada saat mulai terapi. Meskipun
demikian, pasien dengan jumlah CD4 yang sangat rendah tetap dapat
mencapai pemulihan imun yang bagus tetapi kadang memerlukan waktu yang
lebih lama.
Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari
200 sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi
tetapi kemudian turun secara progresif tanpa ada penyakit/kondisi medis lain,
maka perlu dicurigai adanya keadaan gagal imunologis.
Data jumlah CD4 saat mulai ART dan perkembangan CD4 yang
dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya kegagalan
imunologis. Pada sebagian kecil pasien dengan stadium lanjut dan jumlah CD4
yang rendah pada saat mulai ART, jumlah CD4 tidak meningkat atau sedikit
turun meski terjadi perbaikan klinis.
5. Kematian dalam ART
Secara umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV
disebabkan karena penanganan infeksi oportunistik yang tidak adekuat dan
tidak mendapatkan akses ARV sama sekali.
Semua penelitian menunjukkan manfaat yang sangat besar dengan
pemberian HAART, termasuk penurunan angka kematian yang significant,
akan tetapi kematian dapat timbul dalam masa pemberian ARV, hal tersebut
terjadi terutama dalam 6 bulan pertama. Keadaan tersebut utamanya terjadi
pada pasien yang memulai ART dengan keadaan stadium klinis 4,
imunosupresi yang berat, dan jumlah CD4 yang sangat rendah.

43

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Setiap 6
bulan

Minggu
ke 24

Minggu
ke 12

Minggu
ke 8

Minggu
ke 4

Evaluasi

Minggu
ke 2

Tabel 16. Pemantauan klinis dan laboratoris yang dianjurkan selama


pemberian rejimen ARV Lini Pertama
Jika diperlukan
(tergantung gejala)

Klinis
Evaluasi klinis

Berat badan

Penggunaan obat lain

Cek kepatuhan
(adherence)

Laboratorium
[a]

Tes antibodi HIV


CD4
Hb

[b]

Tes kehamilan

[c][d]

VDRL/RPR

Kimia darah

Asam laktat serum

[e]

Viral load (RNA)

Keterangan:
[a] Hasil tes HIV (+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar memulai terapi ARV.
Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV
[b] Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT dan pada
minggu ke 4, 8 dan 12, dan bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau adanya obat lain
yang bisa menyebabkan anemia).
[c] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes
positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV.
[d] Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV maka
segera ganti dengan rejimen yang tidak mengandung EFV
[e] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon pengobatan pada saat tersebut. Dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau menilai adanya
ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan
terapi ARV.

44

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

11 TOKSISITAS DAN INTERAKSI

OBAT ARV
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau toksisitas ini
sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/atau
menghentikan pengobatan ARV. Bahkan kadang pasien menghentikan sendiri
terapinya karena adanya efek samping. Efek samping dapat timbul baik pada
awal pengobatan seperti anemi karena AZT atau dalam jangka panjang seperti
asidosis laktat dan neuropati karena d4T dan gangguan lipid karena
penggunaan Lopinavir/ritonavir dari golongan PI.
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya efek samping, antara ain:

Jenis kelamin (contoh : Nevirapin lebih sering menyebabkan reaksi


hipersensitivitas pada wanita dan wanita lebih mempunyai kemungkinan
lebih besar mengalami laktat asidosis karena NRTI).
Karakteristik obat (contoh: efek samping Nevirapin bersifat dose related
yang artinya semakin tinggi dosis yang diberikan semakin besar
kemungkinan timbulnya efek samping)
Interaksi obat. Hal ini sering terjadi dan sering terlupakan. Contoh efek
samping karena interaksi obat adalah antara Abacavir dan Nevirapin,
dimana kedua obat tersebut mempunyai bentuk efek samping yang sama
yaitu reaksi hipersensitivitas sehingga tidak direkomendasikan untuk
digunakan bersamaan. Efek samping antara Rifampisin dengan Nevirapine
yang keduanya bersifat hepatotoksik dan dapat saling mempengaruhi
kadar obat dalam serum
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping adalah
karena belum ditemukan dan diobatinya penyakit yang mendasarinya
(underlying disease).

Efek samping obat tidak boleh menjadi penghambat dimulainya ART.


Perlu diingat bahwa tidak semua pasien akan mengalaminya dan bahwa efek
samping yang timbul seringnya bisa diatasi dengan baik. Hal ini jauh lebih
menguntungkan bila dibandingkan dengan risiko kematian yang pasti akan
terjadi bila pasien tidak mendapatkan ART.

45

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 17. Efek samping ARV


Kulit

Digestive

Hati

Cardio
Vaskular

Muskulo skeletal

Traktus
Urinarius

Saraf

Lemak

Metabolik

Lain - lain

NRTI
AZT

Pigmentasi
kuku

mual

Steatosis

D4T

Pankreatitis

Steatosis

ddI

Pankreatitis

Steatosis,
Fibrosis
hati

Miopati

Lipoatrof
Neuropati
Perifer

Penyakit
jantung
Iskemik

Neuropati
Perifer

Lipoatrofi

Dislipidemia
Hiperlaktaemia
Dislipidemia
Hiperlaktatemia

Anemia

Hiperlaktatemia

3TC
FTC
ABC

Penyakit
jantung
Iskemik

Rash

TDF

Reaksi Hipersensitif
sistemik

Osteomalasia

Penurunan
GFR,
Sindrom
Fanconi

NNRTI
EFV

NVP

Rash

Gangguan
pola tidur,
depresi,
anxietas

Hepatitis

Rash

Dislipidemia
Teratogenik
Gynaecomastia
Reaksi Hipersensitif
sistemik

Hepatitis

PI
LPV/r

46

Diare

Penyakit
jantung
iskemik

Displipidemia

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

A. Penanganan Toksisitas
Dalam menangani toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah
sebagai berikut

Tentukan derajat keseriusan toksisitas


Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas
berhubungan dengan obat (-obat) ARV atau obat non-ARV yang
digunakan bersamaan
Pertimbangkan proses penyakit lain (misal hepatitis viral pada pasien
dengan ARV yang menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua
masalah yang terjadi selama terapi adalah diakibatkan obat-obat ARV
Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan (lihat Tabel 18 di bawah
ini).
Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas
ringan dan sedang
Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika
diperlukan
Apabila dinilai perlu penghentian ART karena toksisitas yang
mengancam jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien
stabil.

Tabel 18. Tingkat Toksisitas Obat ARV dan tatalaksananya


Derajat Keadaan Tanda dan Gejala

Tatalaksana

Reaksi
Ringan

suatu perasaan tidak


enak yang tidak menetap;
tidak ada keterbatasan
gerak

tidak perlu perubahan terapi

Reaksi
Sedang

Sedikit ada keterbatasn


bergerak kadang-kadang
memerlukan sedikit
bantuan dan perawatan

tidak perlu intervensi medis, kalau


perlu sangat minimal

Reaksi
Berat

Pasien tidak lagi bebas


bergerak; biasanya perlu
bantuan dan perawatan

perlu intervensi medis atau


perawatan di rumah sakit
Substitusi obat penyebabnya tanpa
menghentikan terapi ARV

Reaksi
berat yang
mengancam
jiwa

Pasien terbaring tidak


dapat bergerak; jelas
memerlukan intervensi
medis dan perawatan di
rumah sakit

Segera hentikan terapi ARV dan


tatalaksana kelainan yang ada
(dengan terapi simtomatik dan
suportif) dan terapi ARV kembali
diberikan dengan mengganti rejimen
pada salah satu obat yang menjadi
penyebabnya pada saat pasien
sudah mulai tenang kembali

47

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

B. Subtitusi ARV Individual pada Toksisitas dan Intoleransi


Pada dasarnya penggantian atau substitusi individual dari obat ARV
karena toksisitas atau intoleransi harus diambil dari kelas ARV yang sama,
contoh: AZT atau TDF untuk menggantikan d4T oleh karena neropati, TDF
dapat menggantikan AZT karena anemia, atau NVP menggantikan EFV karena
toksisitas SSP atau kehamilan.
Bila toksisitas yang mengancam jiwa muncul, semua obat ARV harus
dihentikan segera hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh
maka dimulai dengan rejimen terapi ARV yang lain.
Tabel 19. Substitusi Obat ARV Individual pada Kejadian Toksisitas dan
Intoleransi
Obat ARV

Toksisitas yang Sering Terjadi

Anjuran Substitusi

ABC

Reaksi hipersensitif

AZT atau TDF

AZT

Anemia berat atau netropenia


Intoleransi GI yang persisten

TDF

d4T

Asidosis laktat
Lipoatrofi/ sindrom metabolik,
neuropati perifer

TDF, AZT

TDF

Toksisitas renal (disfungsi tubuler)

AZT

EFV

Toksisitas SSP persisten dan berat

NVP atau TDF

Potensi teratogenik (pada kehamilan


trimester pertama atau perempuan
tanpa kontrasepsi yang memadai)

NVP atau ABC

Hepatitis

EFV

Reaksi hipersensitif tidak berat


(derajat 1- 2)

Subtitusi dengan EFV dan dipantau


secara hati2

NVP

12

PI yang diperkuat bila


ABC dan TDF tidak tersedia
Ruam kulit berat yang mengancam
jiwa (Stevens-Johnson syndrome)

Hentikan semua ARV sampai


keadaan klinis stabil. Kemudian mulai
dengan TDF atau rejimen berbasis PI

A. Interaksi Obat
Pasien dengan HIV atau AIDS sering mengalami keadaan atau infeksi
lain yang memerlukan terapi dengan obat-obatan atau zat lain bersamaan
dengan obat ARV-nya. Hal yang sering terjadi dan terlupakan adalah bahwa
ada kemungkinan terjadinya interaksi antar obat atau zat yang digunakan yang
bisa memberikan efek berupa perubahan kadar masing-masing obat atau zat
dalam darah.
48

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Secara definisi, Interaksi obat adalah perubahan (dalam kadar atau


lamanya) aksi satu obat oleh karena adanya zat lain (termasuk obat, makanan
dan alcohol) sebelum atau bersamaan dengan obat tersebut (Melmon
&Morrelis clinical pharmacology 4th edition)
Interaksi obat dapat memberikan dampak baik berupa kegagalan
pengobatan karena dosis terapeutik yang suboptimal dan atau sebaliknya
dapat terjadi efek yang menguntungkan. Lopinavir/ritonavir merupkan contoh
interaksi obat yang menguntungkan dimana ritonavir digunakan untuk
memperbaiki profile dari lopinavir.
Secara umum, interaksi obat terjadi mulai dari tahap absorpsi (misal ddI
dari golongan NRTI dibuat dalam bentuk alkali karena tidak dapat diserap pada
keadaan pH rendah), tahap metabolism oleh sitokrom P450 (misal Obat yang
digunakan dalam pengobatan HIV dan penyakit terkait HIV, mayoritas dari
obat-obat tersebut dimetabolisme di hati melalui sitokrom P 450, misal antara
Rifampisin dengan PI atau NNRTI atau antara PI dengan NNRTI), distribusi
yang dipengaruhi oleh protein yang mengikat obat (pada keadaan hipoprotein
obat bebas/free drug akan beredar dalam kadar yang lebih tinggi sehingga
efek samping akan lebih sering timbul pada kondisi hipoprotein) dan tahap
ekskresi.
Selengkapnya dapat dilihat di Lampirn 5.

49

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

13 KEGAGALAN TERAPI ARV DAN

SAAT MENGUBAH TERAPI PADA


ODHA DEWASA
Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang
tinggi tetapi tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai
kemungkinan terjadinya Gagal Terapi.
Standar emas untuk penentuan gagal terapi adalah menggunakan
pemeriksaan genotyping. Pada saat tersebut penggunaan genotyping di
Indonesia masih dalam fase validasi serta belum dibentuk mekanisme
pengiriman sampel, sehingga pemeriksaan genotyping belum dapat digunakan
sebagai acuan penentuan gagal terapi
Alternatif pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk penentuan
kegagalan terapi adalah pemeriksaan viral load. Pemeriksaan viral load
direkomendasikan pada pasien yang mampu dan di tempat yang terdapat
sarana pemeriksaannya (baik di laboratorium tersebut atau jaringan rujukan
laboratorium terdekat)
Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis,
imunologis dan virologis.
Jumlah virus (VL) yang menetap di atas 5000 copies/ml mengkonfirmasi
gagal terapi. Bila pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan gagal
terapi menggunakan kriteria imunologis untuk memastikan gagal klinis.

A. Definisi
1. Kegagalan klinis:
Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6 bulan dalam
terapi ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium klinis 3 (TB paru,
infeksi bakteri berat) dapat merupakan petunjuk kegagalan terapi.
Telaah respon dari terapi terlebih dahulu. Bila responnya baik maka
jangan diubah dulu.
2. Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan
mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/
penekanan jumlah virus.

50

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Gambar 4. Pola Kegagalan Imunologis ART

Pola 1
Pola 2
Pola 3

: CD4 < 100 / mm


: Setelah satu tahun terapi CD4 kembali atau lebih rendah daripada awal terapi ARV
: Penurunan CD4 sebesar 50% dari nilai tertinggi yang pernah dicapai selama terapi
ART (bila diketahui)

Jumlah CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu


mengubah terapi atau tidak. Sebagai contoh, munculnya penyakit baru yang
termasuk dalam stadium 3, dimana dipertimbangkan untuk mengubah terapi,
maka bila jumlah CD4 >200 /mm tidak dianjurkan untuk mengubah terapi.
3. Kegagalan Virologis:
Disebut gagal virologis jika:
viral load > 5.000 turunan/ml
viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak
terdeteksi.
Kegagalan terapi ARV tidak dapat didiagnosis berdasarkan kriteria klinis
semata dalam 6 bulan pertama pengobatan. Gejala klinis yang muncul dalam
waktu 6 bulan terapi sering kali menunjukkan adanya IRIS dan bukan
kegagalan terapi ARV.
Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi di buku
ini, untuk mengantisipasi suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral
51

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

load yang terjangkau. Viral load masih merupakan indikator yang paling sensitif
dalam menentukan adanya kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal
sebagai batasan untuk mengubah rejimen ARV belum dapat ditentukan
dengan pasti. Namun > 5.000 turunan/ml diketahui berhubungan dengan
progresi klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.
Tabel 20. Kriteria Gagal Terapi
Kegagalan
Terapi

Kriteria

Keterangan

Kegagalan
klinis

Pasien telah mendapatkan


ART selama 6 bulan.
Kepatuhan pasien < 95 % tapi
> 80%
Evaluasi ada interaksi obat
yang menyebabkan
penurunan ARV dalam darah.
PPE atau Prurigo timbul
kembali setelah pemberian
ARV selama 6 bulan.
Penurunan Hb sebesar >
1g/dL.

Dalam menggunakan kriteria klinis


sebagai metoda untuk waspada
terhadap kemungkinan gagal terapi ,
kriteria yang harus selalu dimasukkan
adalah Pasien mendapatkan ART dan
telah mendapatkan pengobatan selama
6 bulan, evaluasi kepatuhan minum
obat dan evaluasi kemungkinan
adanya interaksi obat

Kegagalan
imunologis

Penurunan CD 4 kembali
seperti awal sebelum
pengobatan

WHO menyatakan bahwa jumlah CD4


bukan merupakan prediktor yang baik
dalam menentukan kegagalan
pengobatan.
Sekitar 8 40 % dari pasien yang
menunjukkan kegagalan imunologis,
terbukti masih dalam kondisi virology
suppression dan tidak memerlukan
switch ke lini kedua.
Kriteria penurunan jumlah CD4 seperti
kondisi sebelum mendapatkan ART
dan penurunan jumlah CD4 sebesar 50
% dari nilai tertinggi bisa digunakan
HANYA JIKA memiliki data dasar
jumlah CD4 sebelum pengobatan

ATAU
Penurunan sebesar 50 % dari
nilai tertinggi CD4 yang pernah
dicapai
ATAU
Jumlah CD4 tetap < 100
3
sel/mm setelah 1 tahun
pengobatan dengan ARV
Kegagalan
virologist

52

Jika pasien telah mendapatkan


ART setidaknya selama 6
bulan dan pemeriksaan viral
load diulang 4 8 minggu
kemudian didapat jumlah viral
load > 5000 turunan/ml

Pada tempat layanan yang memiliki


sarana pemeriksaan viral load dan
pasien mampu menjangkau
pemeriksaan viral load, maka viral load
dapat digunakan sebagai prediktor dari
kepatuhan minum obat
Viral load diharapkan menjadi
undetectable ( < 50 turunan) dalam
waktu 6 bulan dengan menggunakan
rejimen yang direkomendasikan.
Viral load diharapkan akan turun
sebesar 1 2 log dalam waktu 2 bulan
pengobatan

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

B. Alur Penentuan Gagal Terapi ARV


Gambar 5. Alur Evaluasi Kegagalan Pengobatan Pada Tempat Dengan
Akses CD4 dan Atau Viral Load
Pasien Telah
Mendapatkan ARV selama
6 bulan dan timbul kembali
PPE dan atau penurunan
kadar Hb>1gr/dl
Memastikan tidak ada
interaksi obat yang
menyebabkan dosis
terapetik ARV suboptimal
Evaluasi dan intervensi
perbaikan semua aspek
yang dapat menghambat
adherence

PPE
menghilang

PPE
menghilang

Pasien tetap dalam


rejimen lini ke 1 dan
evaluasi ketat
adherence dan
interaksi obat

Periksa CD4

Kegagalan
imunologis

Tidak ada tanda


kegagalan imunologis

Periksa viral load

Tidak ada akses


viral load

Viral load
>5000 kopi

Switch ke Lini-2

Ulangi viral load 4-8 minggu sambil


dievaluasi dan memperbaiki adherence.
Lanjutkan lini-1

PPE menetap dan


disertai IO lain

VL >5000
Switch ke
Lini-2

Pada kasus gagal terapi tindakan yang direkomendasikan adalah


mengganti (switch) rejimen lini-pertama menjadi rejimen lini-kedua.

53

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

C. Rejimen Terapi Antiretroviral Lini Kedua

Rekomendasi rejimen lini kedua adalah 2 NRTI + boosted-PI (bPI)


Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI)
yang sudah ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat
tersebut akan ditulis dengan kode ..../r (misal LPV/r =
Lopinavir/ritonavir)
Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk
mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka
dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali.
Rejimen lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis
oleh pemerintah adalah T
DF atau AZT + 3TC + LPV/r.
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan
TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada rejimen lini kedua
Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC
sebagai dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada rejimen lini kedua

Tabel 21. Pilihan ART lini kedua


Populasi Target dan ARV yang digunakan
Dewasa (termasuk
perempuan hamil)

Ko-infeksi TB/HIV

Ko-infeksi HIV/HBV

54

Pilihan rejimen ARV pengganti yang


direkomendasikan

Bila menggunakan AZT


sebagai lini pertama

TDF +3TC atau FTC + LPV/r

Bila menggunakan TDF


sebagai lini pertama

AZT + 3TC + LPV/r

Bila tersedia Rifabutin

Gunakan rejimen seperti pada dewasa


biasa

Bila tidak tersedia Rifabutin

Menggunakan dasar NRTI yang sama


seperti rekomendasi untuk dewasa
ditambah LPV/r dengan dosis
superboosted Ritonavir (RTV) (LPV/r
400mg/400 mg dua kali sehari atau LPV/r
800 mg/200 mg dua kali sehari)
AZT + TDF + 3TC (FTC) + LPV/r
(TDF + (3TC atau FTC)) tetap digunakan
meski sudah gagal di lini pertama karena
pertimbangan efek anti-HBV dan untuk
mengurangi risiko flare

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Pemantauan Klinis dan Laboratoris Sebelum Mulai dan Selama Terapi


ARV Lini Kedua

Setiap 6
bulan

Minggu ke 24

Minggu ke 12

Evaluasi

Minggu ke 8

Sebelum
atau pada
saat
mengubah
Terapi

Minggu ke 4

Minggu ke 2

Tabel 22. Pemantauan Klinis dan Laboratoris Sebelum dan Selama


Terapi ARV Lini Kedua
Jika
diperlukan
(tergantung
gejala)

Klinis
Evaluasi klinis

Berat badan

Penggunaan obat
lain

Cek kepatuhan
(adherence)
Laboratorium

CD4
HB

[a]

[b]

Tes Kehamilan
[c]

Kreatinin

Lipid (puasa)

[d]

Asam Laktat serum


[e]

Viral load (RNA)

Keterangan:
[a] Bagi pasien yang mendapat AZT: perlu di periksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT dan pada
min
ggu ke 4, 8 dan 12, dan bila diperlukan.
[b] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes
positif dan umur kehamilannya adalah pada trimester pertama maka jangan diberi EFV. Bila hasil tes
kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV maka segera ganti dengan
rejimen yang tidak mengandung EFV
[c] Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal, dan setiap 6 bulan
kemudian.
[d] Semua PI akan menyebabkan peningkatan kolesterol dan trigliserid. Pemantauan dilakukan setiap 6
bulan.
[e] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon pengobatan pada saat ini. Dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau menilai adanya
ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan paparan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan
terapi ARV.

55

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

D. Rejimen Terapi Antiretroviral Lini Ketiga


Terapi antiretroviral sudah dimulai sejak pertengahan tahun 1990an
dengan monoterapi dan sekarang sudah ada obat-obat ARV dari golongan
yang lebih baru, antara lain Fusion Inhibitor, Integrase (dibaca Integreis)
Inhibitor, Co-receptor antagonist dan generasi kedua NNRTI. Pada akhir-akhir
ini mulai didapatkan pasien yang sudah tidak memberikan respon terhadap
terapi lini kedua sehingga perlu mulai diwacanakan tentang terapi lini ketiga
dengan mempertimbangkan pendanaan, keberlangsungan dan penyediaan
akses ART yang merata.
Rejimen lini ketiga harus berisi obat baru yang memiliki efek anti-HIV,
antara lain golongan Integrase Inhibitor dan generasi kedua dari NNRTI dan PI.
Pasien yang menunjukkan gagal terapi lini kedua tetapi tidak ada pilihan ARV
baru maka dianjurkan tetap melanjutkan dengan rejimen yang dapat
ditoleransi.
Meskipun belum ada bukti penelitian yang solid tentang rejimen lini
ketiga, sejauh ini kombinasi Raltegravir (RAL) + Etravirine (ETV) +
Darunavir/ritonavir (DRV/r) merupakan kombinasi yang dapat ditoleransi
dengan baik oleh pasien dengan virus yang resisten multi-obat dan tidak punya
banyak pilihan terapi. Rejimen tersebut diketahui berhubungan dengan angka
supresi virologis yang mirip seperti yang diharapkan pada pasien yang belum
pernah terapi (treatment-nave patients). RAL merupakan ARV dari golongan
Integrase Inhibitor, ETV adalah generasi kedua NNRTI sementara DRV/r
adalah dari golongan PI
Rejimen lini ketiga mempunyai efek samping antara lain hepatotoksik,
gangguan gastrointestinal, mual, muntah, diare, nyeri kepala, rash (ruam)
sampai Stevens-Johnson syndrome dan eritema multiforme, gangguan
distribusi lemak, peningkatan kemungkinan episode perdarahan pada
hemofilia, dan lain-lain

56

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

14 PROFILAKSIS PASCA PAJANAN


Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) adalah pemberian antiretroviral jangka
pendek untuk menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi pascapajanan, baik
di tempat kerja atau melalui hubungan seksual. Dalam lingkup pelayanan
kesehatan, PPP merupakan bagian dari pelaksanaan paket Kewaspadaan
Standar yang menekan terjadinya pajanan terhadap bahan menular.
Penularan HIV dari pasien yang terinfeksi HIV melalui tusukan jarum
pada kulit memiliki risiko kurang dari 1%. Risiko tertular dari pajanan dengan
cairan atau jaringan lebih rendah dari pajanan dengan darah yang
mengandung HIV.
Risiko terpajan oleh karena tertusuk jarum dan cara lainnya dapat terjadi
pada lingkungan dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan
infeksi HIV cukup tinggi pada kelompok tertentu. Ketersediaan PPP dapat
mengurangi risiko penularan HIV di tempat kerja pada petugas kesehatan.
Selain itu ketersediaan PPP pada petugas kesehatan dapat meningkatkan
motivasi petugas kesehatan untuk bekerja dengan orang yang terinfeksi HIV,
dan diharapkan dapat membantu pemahaman tentang adanya risiko terpajan
dengan HIV di tempat kerja.
1. Pencegahan Pajanan
Pencegahan pajanan tetap merupakan bagian terpenting dan
merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan risiko infeksi HIV pada
petugas kesehatan di tempat kerja. Selain HIV, pajanan juga memiliki risiko
untuk terjadinya infeksi Hepatitis B atau C dan kuman yang ditularkan melalui
darah lainnya. Oleh sebab itu strategi penting yang perlu diterapkan dalam
mencegah terjadinya dan dampak dari pajanan di sarana pelayanan kesehatan
adalah

Kepatuhan pada protokol Kewaspadaan Standar


Imunisasi Hepatitis B untuk petugas kesehatan bila sumber daya
memungkinkan
Tatalaksana pascapajanan untuk HIV, Hepatitis B dan C
Pemantauan dan pencatatan dari setiap pajanan akibat kecelakaan kerja.

Sebagai prioritas utama adalah pendidikan dan pelatihan bagi petugas


kesehatan tentang Kewaspadaan Universal serta menyediakan sarana yang
memadai
dalam pelaksanaannya.
Petugas
kesehatan
diharapkan
meningkatkan pemahaman tentang risiko penularan HIV melalui hubungan
seks, tahu manfaat dan mudah mendapatkan kondom, serta pelayanan
pengobatan IMS yang bersifat rahasia.

57

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

2. Penanganan pajanan HIV di tempat kerja

Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang
terkena darah atau cairan tubuh dicuci dengan sabun dan air, dan
permukaan mukosa dibilas dengan air.
Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV (berdasarkan
cairan tubuh dan tingkat berat pajanan).
PPP untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber dari ODHA (atau
sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV).
Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV.
Pemeriksaan HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah
diberikan konseling pra tes dan mendapatkan persetujuan (informed
consent), dan tersedia rujukan untuk konseling, dukungan selanjutnya serta
jaminan untuk menjaga konfidensialitas.
Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya
dilaksanakan setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan
(informed consent).
Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu
diberikan oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara
yang penuh perhatian dan tidak menghakimi.
Harus dibuat laporan pajanan.
3. Pemberian PPP dengan ARV

PPP harus dimulai sesegera mungkin setelah pajanan, sebaiknya dalam


waktu 2-4 jam. Pemberian PPP setelah 72 jam dilaporkan tidak efektif.
Direkomendasikan pengobatan kombinasi dua atau tiga jenis obat ARV.
Nevirapine tidak boleh digunakan untuk PPP karena kemungkinan
mendapatkan reaksi hipersensitifitas lebih besar, hal ini disebabkan karena
adanya korelasi langsung antara jumlah CD4 dengan reaksi hipersensitifitas
Pilihan jenis obat ditetapkan berdasarkan pengobatan ARV pada
sumber pajanan sebelumnya dan informasi tentang kemungkinan resistensi
dari obat yang pernah digunakan. Pilihan juga berdasarkan tingkat keseriusan
pajanan dan ketersediaan ARV.
Pemberian ARV tersebut didasarkan pada pedoman yang ada, dan
disediakan satu kit yang berisi ARV yang direkomendasi, atau berdasarkan
konsultasi dengan dengan dokter ahli. Konsultasi dengan dokter ahli sangat
penting dalam hal adanya resistensi terhadap ARV. Perlu tersedia jumlah ARV
cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal pemberian PPP.

58

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 23.Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pascapajanan HIV


Perlukaan Kulit
Status Infeksi Sumber Pajanan
Jenis
Pajanan
Kurang
e
berat

Lebih
f
berat

Tidak
Diketahui
d
Sumbernya

HIV Positif
a
Tingkat 1

HIV Positif
a,b
Tingkat 2

Tidak Diketahui
c
Staus HIV-nya

HIV
Negatif

Dianjurkan
pengobatan
dasar
2 obat PPP

Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP

Umumnya tidak perlu


g
PPP, pertimbangkan
2-obat PPP bila
h
sumber berisiko

Umumnya
tidak perlu
h,i
PPP

Tidak
perlu
PPP

Pengobatan
dengan
3 obat PPP

Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP

Umumnya tidak perlu


Umumnya
PPP pertimbangkan 2tidak perlu
obat PPP bila sumber
h,i
PPP
h
berisiko

Tidak
perlu
PPP

Pajanan pada Lapisan Mukosa atau Pajanan pada Luka di Kulit


Status Infeksi Sumber Pajanan
Volume
sedikit
(beberapa
tetes)

Pertimbangkan
pengobatan
dasar
h
2 obat PPP

Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP

Umumnya tidak perlu


PPP pertimbang
g
kan 2-obat PPP bila
h
sumber berisiko

Umumnya
tidak perlu
h,i
PPP

Tidak
perlu
PPP

Volume
banyak
(tumpahan
banyak
darah)

Dianjurkan
pengobatan
dasar
2 obat PPP

Anjuran
pengobatan
dengan
3 obat PPP

Umumnya tidak perlu


PPP pertimbang kan
2-obat PPP bila
h,i
sumber berisiko

Umumnya
tidak perlu
h,i
PPP

Tidak
perlu
PPP

Keterangan:
a
b
c
d
e
f
g

h
i

HIV asimtomatis atau diketahui viral load rendah (y.i. <1500 RNA/mL)
HIV simtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi, bila dikhawatirkan adanya
resistensi obat, konsultasikan kepada ahlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia
sarana untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya
contoh, pasien meninggal & tidak dapat dilakukan pemeriksaan darah
contoh, jarum dari tempat sampah
y.i. jarum buntu, luka di permukaan
y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak darah pada alat, atau jarum bekas dipakai
pada terapi arteri atau vena
Pernyataan Pertimbangkan PPP menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan
harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian dokternya.
Namun, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila ditemukan faktor risiko pada
sumber pajanan, atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV.
Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif, maka PPP
harus dihentikan.
Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh (seperti,
dermatitis, abrasi atau luka)

59

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Tabel 24.Rejimen ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan


Tingkat Risiko Pajanan

Rejimen

Risiko menengah
(Kemungkinan ada risiko
terjadi infeksi)

Rejimen kombinasi dua obat dasar,


contohnya:
AZT + 3TC/ FTC
Pilihan lain : TDF + 3TC

Risiko tinggi
(Risiko terjadi infeksi yang
nyata, misalnya pajanan
dengan darah volume banyak,
luka tusuk yang dalam)

Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya:


AZT + 3TC/ FTC + EFV atau LPV/ r,
Konsultasi kepada ahli sebelum memulai
LPV/ r,
ddI + d4T
NNRTI seperti NVP tidak digunakan untuk
PPP

Tidak dianjurkan:

4. Pemeriksaan Tindak Lanjut dan Konseling


Orang yang mendapatkan ARV untuk PPP perlu dievaluasi dan
ditindaklanjuti dalam 72 jam setelah pajanan serta perlu dipantau terhadap
timbulnya gejala toksisitas obat untuk sedikitnya selama 2 minggu.
Pemeriksaan antibodi HIV sebagai data dasar dapat dilakukan dalam 8 hari
pascapajanan dan untuk selanjutnya dievaluasi secara berkala setidaknya
selama 6 bulan pascapajanan, misalnya pada minggu ke 6, bulan ke 3 dan
bulan ke 6. Namun apabila timbul gejala penyakit yang sesuai dengan sindrom
retroviral akut maka pemeriksaan antibodi HIV perlu dilakukan segera.
Perlu diberikan konseling dukungan dan juga anjuran untuk melakukan
pencegahan terhadap penularan sekunder HIV sedapat mungkin selama masa
pemantauan.
Tabel 25.Pemantauan Laboratorium pada Profilaksis Pascapajanan
Waktu

Jika Minum PPP

Tidak Minum PPP

HIV, HCV, HBV, DL, Transaminase

HIV, HCV, HBV

Transaminase, DL

Transaminase

Bulan ke 3

HIV, HCV, HBV, Transaminase

HIV, HCV, HBV, Transaminase

Bulan ke 6

HIV, HCV, HBV, Transaminase

HIV, HCV, HBV, Transaminase

Data dasar (Dalam


waktu 8 hari)
Minggu ke 4

Keterangan:
HIV

: pemeriksaan antibodi HIV

HBV

: pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis B

HCV

: pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis C

DL

: Pemeriksaan darah lengkap

60

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

15 TATALAKSANA INFEKSI

OPORTUNISTIK DENGAN
PENDEKATAN SINDROM

61

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

A. Disfagia
Gambar 6. Tatalaksana disfagia

Disfagia

Pengobatan
presumtif untuk
kandidiasis
esophagus
[a]

Membaik
setelah
7 hari?

tidak

ya

Lanjutkan flukonasol
selama 14 hari. Mulai ART
untuk mencegah berulang.

Pengobatan
presumtif
untuk HSV
[b]

Membaik
setelah
7 hari?

tidak

Esofagoskopi
untuk
diagnosis
[c]

ya

Lanjutkan asiklofir selama


14 hari. Mulai ART untuk
mencegah berulang.

Keterangan:
[a] Kandidiasis esofageal
Kandidiasis dapat menyerang esofagus pasien dengan imunokompromis, menyebabkan
kesulitan dan sakit menelan. Diagnosis dibuat berdasarkan respons terhadap terapi
sistemik antifungal. Tidak perlu dilakukan Endoskopi , kecuali bila ada kegagalan terapi.
Terapi:
Flukonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari atau
Itrakonasol 400 mg setiap hari selama 14 hari atau
Ketokonasol 200 mg setiap hari selama 14 hari
[b] Asiklovir 5 X 400 mg selama 14 hari
[c] Kegagalan terapi
Penyebab lain dari esofagitis adalah infeksi CMV, sarkoma Kaposi dan limfoma. Penyebab
lain yang tidak terkait dengan HIV seperti refluks esofagitis. Dalam hal ini perlu endoskopi
untuk menegakkan diagnosis.

62

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

B. Limfadenopati
Gambar 7. Tatalaksana limfadenopati

Limfadenopati

Pembesaran
kelenjar limfe
tunggal atau
asimetrik?

tidak

Kemungkinan
Limfadenopati Generalisata
Persisten [a]
Tidak ada terapi spesifik
Tentukan stadium klinik dan
status imunologis untuk
menentukan PPK dan ART

ya
Mengarah
pada TB
ekstraparu?
[b]

tidak

Terapi TB
(lihat
lampiran)

tidak

Rujuk untuk
diagnosis
lebih lanjut

ya
Apa biopsi
kelenjar
dimungkinkan
?
ya

Terapi sebagai TB EP
bila ditemukan BTA pos

Keterangan
[a] Limfadenopati generalisata Persisten (PGL) merupakan kondisi yang biasa terjadi pada
ODHA. Pada pasien yang asimtomatis maka tidak diperlukan pemeriksaan atau
pengobatan lebih lanjut. Namun, pada pasien dengan limfasenopati yang simtomatis,
pembesaran KGB yang cepat, KGB, asimetris dan gejala sistemik, maka perlu evaluasi
dan pengobatan lebih lanjut. Penyebab limfadenopati selain infeksi HIV adalah TB,
kriptokokosis, histoplasmosis, limfoma dan sarkoma Kaposi.
[b] TB ekstra paru sering terjadi pada ODHA. Kecurigaan akan adanya infeksi TB
berdasarkan atas gejala-gejala seperti demam, kehilangan berat badan, pembesaran KGB
berfluktuasi dan tidak nyeri. Terapi sesuai pedoman nasional.

63

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

C. Diare kronik
Gambar 8. Tatalaksana diare (tidak berdarah)

Terapi empirik dengan


quinolon selama 7 hari
bila belum pernah
Terapi eritromisin jika
sudah pernah
mendapat quinolon
[i]

Diare kronik
tanpa darah [a]
tidak

tidak
Adakah
dehidrasi? [b]

Ya

Tersedia
pemeriksaan
fisik: tanda
peritonitis?
[d]
Ya

tidak

Tersedia
pemeriksaan
mikroskopik
(termasuk BTA)
dan biakan tinja
? [h]

tidak

Tersedia USG?
Rehidrasi oral atau
infus
Berikan loperamide
kecuali bila ada
darah dalam tinja
[c]

Terapi
empirik TB
Ya
Terapi sesuai
indikasi [e]

tidak

Ada gambaran
proses
spesifik? [e]

Ada
perbaikan?
Ya

tidak
Ya

Terapi TB
[f]

64

Mulai ART
[g]

Teruskan pengobatan
hingga selesai selama
14 hari

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

Keterangan:
[a] Definisi Diare Kronik: buang air besar dengan tinja cair tiga kali atau lebih sehari secara
terus menerus selama lebih dari satu bulan
[b] Penilaian dehidrasi:
Keadaan umum: gelisah, rewel, nadi cepat, nafas dalam dan cepat, pada turgor kulit
kembali lambat, mata cekung, mukosa mulut kering, jumlah urin berkurang dan warna lebih
gelap.
Pada dehidrasi sedang dikoreksi dengan pemberian oralit, atau infus untuk dehidrasi berat.
Makanan tambahan harus diberikan sedikit-sedikit bersama-sama dengan pemberian infus
(minimum 1,5 l cairan per hari)
[c]

65

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

D. Gangguan Pernafasan
Gambar 9. Tatalaksana gangguan Pernafasan
Gangguan
pernafasan dan
sesak nafas berat
[a]

Oksigen dan foto ronsen


toraks

Ada
demam?

Tidak

Pertimbangkan emboli paru


Apakah ada tanda emboli vena?
Penasun?

Ya

Batuk berdahak
>2-3 mg?

Tidak

Pertimbangkan PCP
Terapi dengan
kotrimoksasol dosis tinggi
[b]

Ya
Pemeriksaan
BTA? [c]

Negatif

Pertimbangkan pnemoni
bacterial
Terapi dengan ampisilin [e]

Terapi sebagai TB paru [d]


BTA bakteri tahan asam

Keterangan:
[a] Gangguan pernapasan sering ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV dan kekebalan
tubuh yang menurun adalah demam, batuk kering (khas PCP), batuk produktif dengan
dahak dan/atau hemoptisis (khas pneumonia dan TB), sesak napas dan gangguan
pernapasan yang berat.
Penyebab gejala pernafasan
Infeksi
Mycobacterium tuberculosis (batuk >23 minggu)
Pnemoni pnemocystis jiroveci (batuk, seringkali selama 12 bulan)
Pnemoni bakterial
Infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis)
Mikobakteria atipik (MAC)
Pnemonitis CMV
Keganasan: limfoma, sarkoma Kaposi
Lain-lain
Efusi pleural/empiema (TB, infeksi bacterial atau keganasan)
Pnemotorak (TB atau PCP)
Emboli paru (biasa pada penasun)
Efusi perikardial (biasa disertai TB)
[b] PCP: Biasanya terjadi secara perlahan-lahan selama minggu sampai bulan dengan batuk
kering, demam dan sesak napas. Untuk diagnosis PCP sebaiknya diagnosis klinis yang
66

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

diperkuat dengan temuan pada ronsen dada (lihat Tabel 26. Diagnosis
Klinis
dan
Tatalaksana Infeksi Oportunistik)
[c] Pemeriksaan sputum BTA diindikasikan pada pasien dengan batuk selama> 2-3 minggu.
Setidaknya dua pemeriksaan dahak BTA yang terpisah.
[d] TB: Tidak ada gambaran ronsen dada yang benar-benar khas TB paru. Pola klasik lebih
umum terlihat pada pasien HIV-negatif; pola atipikal lebih umum pada pasien HIV-positif.
Efusi pleura merupakan gambaran yang menonjol. Pengeluaran cairan pleura dan
pemeriksaan mikroskopik dari cairan pleura dapat membantu untuk diagnosis. Terapi
sesuai dengan pedoman nasional TB.
Pola Klasik
Infiltrat di lobus atas
Kavitas
Jaringan fibrosis paru

Pola Atipik
Infiltrat intersisial (terutama di zona lebih rendah)
Infiltrat bilateral
Tidak ada kavitas

[e] Pneumonia bakteri: Ciri khas adalah dengan batuk produktif, dahak purulen dan demam
selama 1-2 minggu. PCP muncul dengan lebih lambat dan biasanya dengan batuk nonproduktif. Gambaran khas pada ronsen dada adalah konsolidasi lobar. Penyebab paling
sering pneumonia bakterial adalah bakteri piogenik Gram-positif. Jika gambaran klinisnya
menunjukkan pneumonia bakteri dan bukan PCP dapat diberikan amoksisilin 500 mg 3 kali
per hari atau eritromisin 500 mg 4 kali per hari selama 7 hari.

67

Terapi Antiretroviral Dengan Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja

E. Gejala dan tanda neurologis


Gambar 10. Tatalaksana Gejala dan tanda neurologis

Gejala dan
tanda
neurologis [a]

Adakah tanda
neurologis
fokal? [b]

Tidak

Tanda iritasi
meningeal? [b]

Tidak

Pengobatan empiris
untuk meningitis
kriptokokal [d]

Ya

Ya
Tersedia
pemeriksaan
CT scan? [b]

Tersedia
pemeriksaan
cairan
serebrospinal?

Tidak

Pengobatan empiris
untuk meningitis
bakterial [e]

Ya
Ya

Tidak
Bakteri, lekosit, BTA,
pengecatan India,
Terapi sesua indikasi
[c,d,e]

Terapi sesuai hasil


pemeriksaan klinis dan
CT
Terapi untuk
toksoplasmosis

Keterangan
[a] Penyebab nyeri kepala adalah meningitis kriptokokal, meningitis TB, toksoplasmosis
serebral, meningitis kronis HIV, meningitis bakterial dan limfoma
Penyebab sakit kepala yang tidak terkait dengan infeksi HIV termasuk migrain, sifilis,
ketegangan, sinusitis, gangguan refraksi, penyakit gigi, anemia dan hipertensi. Lain
penyakit menular seperti malaria, demam tifoid, demam dengue dan riketsia juga dapat
menyebabkan sakit kepala.
[b] Pemeriksaan Neurologis
Bukti iritasi meningeal (fotofobia, kaku kuduk) atau tekanan intrakranial meningkat
(tekanan darah tinggi dan denyut nadi lambat dalam keadaan demam)
Perubahan mental
Defisit neurologis fokal, termasuk parese saraf kranial, gangguan gerak, ataksia,
afasia dan kejang
[c] Toksoplasmosis (untuk terapi merujuk pada Tabel Diagnosis Klinis dan Tatalaksana
Infeksi Oportunistik )
[d] Meningitis kriptokokal (untuk terapi merujuk pada Tabel Diagnosis Klinis dan
Tatalaksana Infeksi Oportunistik )
[e] Meningitis bacterial: Injeksi Ceftriaxone 2-4 g sehari intravena.

68

Tabel 26.Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik


Infeksi Oportunistik
Pnemonia Pneumocystis
jiroveci (PCP)

Tampilan Klinis
Batuk kering
Sesak nafas
Demam
Keringat malam
Subakut sampai 1 2 bulan

Diagnosis
Kelainan pada foto toraks dengan
infiltrat intersisial bilateral

Terapi
Terapi pilihan:
Kotrimoksasol (TMP 15 mg + SMZ 75 mg/kg/ hari) dibagi
dalam 4 dosis atau
Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet 4 kali sehari untuk BB < 40
kg
dan 3 tablet 4 kali sehari untuk BB > 40 kg selama 21 hari
Terapi alternatif
Klindamisin 600 mg IV atau 450 mg oral 3 kali sehari +
primakuin 15 mg oral sekali sehari selama 21 hari bila
pasien alergi terhadap sulfa
Untuk pasien yang parah dianjurkan pemberian
prednisolon 40 mg, 2 kali sehari, dengan penurunan dosis
secara bertahap hingga 7 10 hari, tergantung dari respon
terhadap terapi.

Kandidasis

Kriptokokosis

Kandidiasis oral:
Bercak putih di selaput mukosa disertai eritema
di rongga mulut

Tampilan klinis yang khas pada


pemeriksaan fisik

Kandidiasis esofageal:
Disfagi
Disertai rasa nyeri terbakar di dada

Tampilan klinis khas dan memberikan


respon baik setelah di terapi

Nyeri kepala belakang, tanda meningeal,


fotofobia, kaku kuduk atau tekanan intrakranial
meningkat
Demam
Perubahan kesadaran
Penyakit yang diseminasi memberi kan tanda

Peningkatan tekanan intrakranial


pada punksi lumbal
Protein di cairan serebrospinal
Dapat ditemukan organisme dalam
CSP atau lesi kulit dengan sediaan
pengecatan tinta India di bawah

Pada sediaan KOH mikroskopis


ditemukan pseudohifa

Bila memungkinkan dapat dilakukan


endoskopi

Tablet Nistatin 100.000 IU, dihisap setiap 4 jam selama 7


hari
atau
Suspensi Nistatin 3-5 cc dikumur 3 kali sehari selama 7
hari
Flukonasol 200 mg per sehari selama 14 hari atau
Itrakonasol 400 mg per sehari selama 14 hari atau
Ketokonasol 200 mg per sehari selama 14 hari
Terapi pilihan
Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/ hari) selama 2 minggu diikuti
dengan flukonasol 400 mg perhari selama 8-10 minggu
Terapi alternatif
Flukonasol 400-800 mg per hari selama 8 12 minggu

69

Infeksi Oportunistik

Tampilan Klinis

Diagnosis

Terapi

lesi papulonekrotik menyerupai moluskum


kontagi-osum disertai demam dan infiltrat di paru

mikroskop

Terapi rumatan:
itrakonasol 200 mg/hari atau flukonasol 200 mg/ hari

Toksoplasmosis serebral

Sakit kepala
Pusing
Demam
Defisit nerologis fokal
Kejang

Defisit nerologis fokal


CT scan kepala
Respon terhadap terapi presumtif
dapat menyokong diagnosis

Terapi pilihan
Pirimetamin dosis awal: 100 mg, diikuti dengan 50 mg
perhari + klindamisin 4 X 600 mg
Asam folinat 15 mg setiap 2 hari bila tersedia
Terapi selama 6 minggu
Terapi rumatan
Pirimetamin 25 mg / hari + klindamisin600mg

Herpes simpleks

Sekelompok vesikel berair biasanya di daerah


genital atau sekitar mulut
Dapat menjadi sistemik seperti esofagitis,
ensefalitis

Gambaran klinis khas

Biasanya sembuh sendiri dan tidak perlu terapi


Perawatan lesi, dengan gentian violet atau larutan
klorheksidin

Herpes zoster

Sekelompok vesikel berair terasa sangat nyeri di


sepanjang dermatom.
Dapat menyerang mata

Gambaran klinis khas

Perawatan lesi, dengan gentian violet atau larutan


klorheksidin
Asiklovir 5 X 800 mg selama 7 hari, diberikan dalam 72
jam sejak timbulnya erupsi vesikel.
Famsiklovir dan valasiklovir sebagai alternatif

Tuberkulosis

TB Paru
Batuk, demam, berat badan berkurang, cepat
lelah

Pemeriksaan dahak SPS untuk


mencari BTA
Foto toraks:
Gambaran paru yang klasik: Kavitasi
di lobus atas
Gambaran paru yang atipik: Infiltrat
intersisial bilateral
Efusi pleura: periksa BTA pada
punksi pleura

Terapi sesuai Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis

Mycobacterium Avium

Demam berulang kali, berat badan menurun,

Isolasi organisme dari darah atau

Terapi pilihan

70

Bila ada indikasi dapat diberi asiklovir 5 X 200 atau 3 X 400


mg selama 7 hari.

Infeksi Oportunistik
Complex (MAC)

Tampilan Klinis
cepat lelah

Diagnosis

Terapi

tempat lain

Azitromisin 1 X 500 mg atau

Anemia yang tidak diketahui


sebabnya

Klaritromisin 2 X 500 mgi + etambutol 15 mg/kg/ hari. Bila


infeksi berat dapat ditambah obat ketiga seperti
levofloxacin 1 X 500 mg (atau Ciprofloxacin 2 X 500 mg)
Keadaan akan membaik dengan terapi ARV
Terapi rumatan
Klaritromisin 2 X 500 mg atau azitromisin 1 X 500 mg +
etambutol 15 mg/kg/ hari

Kriptosporidiosis

Diare kronis
Kram perut dan muntah
Nyri perut kanan atas

Sediaan feses dengan pengecatan


BTA

Terapi ARV

71

72

Lampiran 1.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Daftar Rumah Sakit yang memberikan pelayanan ARV

Provinsi
NAD
NAD
NAD
NAD
NAD
NAD
NAD
NAD
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT

Kabupaten/ kota
Banda Aceh
Aceh Timur
Aceh Utara
Aceh Barat
Aceh Tamiang
Banda Aceh
Banda Aceh
Pidie
Medan
Medan
Medan
Medan

SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMUT
SUMBAR
SUMBAR

Medan
Balige
Deli Serdang .
Karo
Pematang Siantar
Tebing Tinggi
Serdang Bedagai
Binjai
Labuhan Bata
Samosir
Sibolga
Padang Sidempuan
Tapanuli Utara
Asahan
Padang
Bukittinggi

Kode RS
1171015
1105012
1105023
1105045
1114011
1171026
1171143
1109016
1275655
1275013
1275046
1275035
1275794
1205061
1212012
1211011
1273011
1274012
1212125
1276014
1207015
1205024
1271016
1203011
1205013
1371010
1375014

Rumah Sakit
RSU Dr. Zainoel Abidin
RSU Langsa
RSU Cut Meutia
RS Cut Nyak Dhien Langsa
RSUD Tamiang
Rumkit Kodam I Tk III Banda Aceh
Rumkit Bhayangkara NAD
RSUD Sigli
RSU H Adam Malik
RSU Dr Pirngadi
Rumkit Bhayankara Medan
Rumkit Kesdam/Rumkit Tk II Putri Hijau
Medan
RSU Haji Us Syifa Medan
RS HKBP Balige
RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
RSU Kabanjahe
RSU Pematang Siantar
RSUD.Dr. H.Kumpulan Pane
RSUD Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
RSU Dr.RM Djoelham Binjai
RSU Rantau Prapat
RSU Dr Adrianus Sinaga Pangururan
RSU Dr Fl Tobing Sibolga
RSU Padang Sidempuan
RSU Tarutung
RSUD H Abdul Manan Simatupang
RSU Dr. M. Jamil
RSU Dr. Achmad Mochtar

Alamat/Lokasi RS
Jl. Tgk Daud Beureueh,B Aceh
Jl. Ahmad Yani No.1,Langsa
Jl. Garuda Kebun Baru,Langsa
Jl. T.M. Bachrun No.1. Langsa
Jl. Kesehatan,Kab.Aceh Tamiang
Jl. Kesehatan Banda Aceh
Jl. Cut Nyak Dhien Lamtemen No.1,Banda Aceh
Jl. Prof.Majid Ibrahim Sigli
Jl. Bunga Lau No.17,Medan
Jl. Prof H M Yamin SH 47, Medan
Jl. KH Wahid Hasyim No.1, Medan
Jl. Putri Hijau 17,Medan

No Telp
0651-22077
0641-21009
0641-21701
-21039

No fax
23068
22051
21703
-

-22550

24712

-21313
061-8360381
061-4521198
-815990
061-4553900

8360255
4521223
-

Jl. RS. Haji Medan Estate,Medan


Jl. Gereja No.17,Balige
Jl. Thamrin Lubuk Pakam
Jl. KS.Ketaren 8,Kabanjahe
Jl Sutomo No 230 P Siantar
Jl. Dr. K. Pane Tebing Tinggi
Kabupaten Serdang Bedagai
Jl. Sultan Hasanuddin 9,Binjai
Jl. KH Dewantara Rantau Prapat
Jl. Dr Hadrianus S Pangururan
Jl. Dr. FL. Tobing 35,Sibolga
Jl. Dr. F.L. Tobing,Pd Sidempuan
Jl. Bin Harun Said Tarutung

061-619520
-21043
061-7952068
-20550
0634-21780
-21967

21251

061-8821372
-21228
-20106
0631-24725
-21780
0633-21303

21444
20450

Jl. Perintis Kemerdekaan Padang


Jl. Dr. A. Rivai Bukittinggi

0751-32373
0752-21720

32371
21321

73

No.
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

74

Provinsi
SUMBAR
Riau
Riau
Riau
Riau
KEPRI
KEPRI
KEPRI
KEPRI
KEPRI
KEPRI
SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL

Kabupaten/ kota
Padang Pariaman
Pekan Baru
Pekan Baru
Dumai
Indragiri Hilir
Batam
Batam
Batam
Karimun
TJg. Pinang
TJg. Pinang
Palembang
Palembang
Palembang
Palembang
Muara Enim
OKU

46
47
48
49

SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL
SUMSEL

50
51
52
53
54
55
56
57
58

SUMSEL
Bengkulu
Jambi
Jambi
Lampung
Lampung
Lampung
Lampung
Lampung

Kode RS
1306015
1471011
1471146
1473013
1403013
2072012
2072034
2072103
2011013
2010012
2010023
1671013
1671050

Alamat/Lokasi RS
Jl. Prof M Yamin SH, Pariaman
Jl. Diponegoro No. 2, Pekanbaru
Jl. H. R. Subrantas KM12.5, Pekanbaru
Jl. Tanjung Jati No.4, Dumai
Jl. Veteran 52, Hilir Tembilahan
Jl. Budi Kemuliaan No.1, Batam
Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo Sekupang, Batam
Jl. Gajah Mada Kav.I Baloi, Batam
Jl. Soekarno - Hatta, Tanjung Balai Karimun
Jl. Sudirman 795, Tanjung Pinang
Jl. Ciptadi No.1, Tanjung Pinang
Jl. Jend. Sudirman KM 3.5, Palembang
Jl. Sudirman 1054, Palembang

No Telp
0751-91218
0761-21657
0761-63239
0765-38367
-22118

No fax
91428
20253
31041
-

0711-354088
0711-350418

351318
362205

1671265
1603015
1601013

Rumah Sakit
RSU Pariaman
RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru
RS Jiwa Tampan
RSU Dumai
RSU Puri Husada Tembilahan
RS Budi Kemuliaan Batam
RS Otorita Batam
RS Awal Bros Batam
RSU Kab. Karimun
RSUD Tanjung Pinang
RS AL Dr Midiyato S
RSU Dr. Mohammad Hoesin
RS Charitas
RSJ Palembang
RSUD Palembang Bari
RSU Prabumulih
RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja

Jl. P. Usaha Seb Ulu, Palembang


Jl. Lingkar, Kel. Gunung Ibul, Kec. Prabumulih Timur
Jl. Dr. Moh. Hatta No.1, Baturaja

0711-514165
0713-320031
0735-320298

519211
320031
327096

Palembang.
Musi Rawas
Palembang
Banyuasin

1671061
1605010
1671276
1607012

RSJ Ernaldi Bahar


RSU Dr. Sobirin Musirawas
RS Myria Palembang
RSUD Banyuasin

0711-410354
0733-321013
0711-411610
-321130

369880
324973
411610
-

Kayu Agung
Bengkulu
Jambi
Tanjung Jabung Barat
Bdr Lampung
Metro
Lampung Utara
Lampung Selatan
Lampung Selatan

1602014
1771014
1571012
1506010
1871015
1872016
1806013
1803010
1803021

RSU Kayuagung
RSU Dr M Yunus Bengkulu
RSU Raden Mattaher Jambi
RSU KH. Daud Arif
RSU Dr H Abdul Moeloek
RSUD Jend. Ahmad Yani
RSU May Jen HM Ryacudu
RSU Pringsewu
RSUD Kalianda

Jl. Kol. H. Barlian KM6, Palembang


Jl. Yos Sudarso No.13, Lubuk Linggau
Jl. Kol. H. Barlian KM7, Palembang
Jl. Raya Palembang - Betung KM48, Pangkalan Bali
Banyuasin
Jl. Letnan Marzuki, Kayu Agung
Jl. Bayangkara S. Mulyo, Bengkulu
Jl. Letjen Suprapto 31, Jambi
Jl. Syarif Hidayatullah, Kuala Tungkal
Jl. Dr. Rivai 6, Penengahan Bandar Lampung
Jl. Jend. A. Yani No.13, Metro Lampung
Jl. Jend. Sudirman No.2, Kotabumi
Jl. Kesehatan No.1360, Pringsewu
Jl. Lettu Rohani 14 B, Kalianda

0712-323889
0736-52004
0741-61692
0742-21621
0721-703312
0725-41820
-22095
0729-21847
0727-322160

323889
52007
60014
703952
48423
31301
-

No.
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88

Provinsi
Lampung
Lampung
BABEL
BABEL
BABEL
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
DKI Jak
JABAR
JABAR
JABAR

Kabupaten/ kota
Lampung Tengah
Tlg Bawang
Bangka
Pangkal Pinang
Belitung
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Barat
Jakarta Barat
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jakarta Selatan
Jakarta Selatan
Jakarta Selatan
Bandung
Bandung
Bandung

Kode RS
1808015
1901016
1972021
1902010
3173014
3173036
3173025
3173580
3173051
3173040
3175064
3175016
3172013
3172746
3172072
3172126
3172024
3172061
3174063
3174260
3173521
3171012
3171435
3172094
3171735
3273015
3273074
3204020

Rumah Sakit
RSU Demang Sepulau Raya
RSUD Menggala Tulang Bawang
RSU Sungai Liat
RSUD Pangkalpinang Depati Hamzah
RSUD Tanjung Pandan
RSU Dr. Cipto Mangunkusumo
RS AL Dr Mintoharjo
RS PAD Gatot Soebroto
RS Kramat 128
RS Sint Carolus
RS Husada
RSPI Prof.Dr. Sulianti S.
RSUD Koja
RSUP Persahabatan
RS Jiwa Duren Sawit
RS Kepolisian Pusat/RS Sukanto
RSU Pasar Rebo
RSUD Budhi Asih
RS Pusat TNI AU Dr. E. Antariksa
RS Halim Perdana Kusuma
RS Kanker Dharmais
RS Anak dan Bunda Harapan Kita
RSUD Cengkareng
RSU Tarakan
RSUP Fatmawati
RS KO Jakarta
RS FK UKI
RS Jakarta Medical Center (JMC)
RSU Dr Hasan Sadikin
RS St. Borromeus
RSU Cimahi

Alamat/Lokasi RS

No Telp

No fax

Menggala, Kab.Tulang Bawang


Jl. Jend Sudirman 195,Sungailiat
Jl. Soekarno Hatta, Pangkal Pinang
Jl. Melati Tajung Pandan, Kab.Belitung
Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat
Jl. Bendungan Hilir 17 Jakpus
Jl. Dr A Rahman Saleh No. 24 Jakarta Pusat
Jl. Kramat Raya No.128,Jakpus
Jl. Salemba Raya No.41 Jakarta Pusat
Jl. Raya Mangga Besar No.137/139 Jakpus
Jl. Sunter Permai Raya Jakarta Utara
Jl. Deli No.4 Tanjung Priok,Jakut
Jl. Raya Persahabatan,Jaktim
Jl. Duren Sawit Baru Jakarta Timur
Kramat Jati,Jakarta Timur
Jl. TB Simatupang No.30,Jaktim
Jl. Dewi Sartika, Cawang III/ 200,Jakarta Timur

0717-92489
0717-422693
0719-21071
021-330808
021-5703081
021-371008
021-3909513
021-3904441
021-6260108
021-6506559
021-4352401
021-4891708
021-8628686
021-8093288
021-8401127
021-8090282

92534
423012
22190
3148991
5711997
3440693
3909125
3103226
6497494
6401411
4372273
4711222
8628659
8411159
8009157

Jl. Merpati No. 2 Halim Perdana Kusuma, Jakarta


Jl. S Parman Kav.84-86 Slipi Jakarta Barat
Jl. S Parman Kav 87 Jakbar

021-8098665
021-5681570
021-5668284

8098665
5681579
5601816

Jl. Kyai Caringin Jakarta Pusat


Jl. RS Fatmawati Cilandak,Jaksel
Jl. Lanpangan Tembak No.76,Jaktim
Jl. May.Jen Soetoyo Cawang,Jakarta Timur
Jl. Buncit Raya No.15,Jakarta Selatan
Jl. Pasteur 38 Bandung
Jl. Ir. H.Juanda No.100 Bandung
Jl. Jend. H. Amir Machmud No. 140

021-3503150
021-7501524
021-7695461
021-8092317

3503412
7690123
7504022
8092445

022-2034953
022-2504041
022-6652025

2032216
2504235
6649112

75

No.
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119

76

Provinsi
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
JABAR
Banten
Banten
Banten
Banten
Banten
JATENG

Kabupaten/ kota
Bandung
Bandung
Bandung
Bandung
Bandung
Bandung
Bogor
Bogor
Bogor
Bekasi
Bekasi
Sukabumi
Sukabumi
Ciamis
Cianjur
Karawang
Cirebon
Cirebon
Indramayu
Kuningan
Purwakarta
Sumedang
Tasikmalaya
Subang
Depok
Tangerang
Serang
Serang
Tangerang
Tangerang
Semarang

Kode RS
3273405
3273110
3273201
3273052
3273041
3273030
3271046
3201050
3271013
3216013
3216218
3272025
3272014
3207012
3203015
3215012
3209014
3274016
3212016
3208013
3214011
3211015
3206011
3213010
3201061
3671010
3604013
3672022
3671065
3603023
3374010

Rumah Sakit
RS Ujung Berung
RS Bungsu
RS Paru Dr. H.A. Rotinsulu Bandung
RS Immanuel Bandung
RS Kebonjati
RS Pusat AU Dr M Salamun
RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi
RSU Ciawi
RS PMI Bogor
RSUD Bekasi
RS Ananda
RS Secapa Polri (Bhayangkara)
RSUD R Syamsudin SH
RSUD Ciamis
RSU Cianjur
RSUD Karawang
RSUD Waled
RSUD Gunung Jati
RSUD Indramayu
RSUD Kuningan
RSUD Bayu Asih
RSUD Sumedang
RSU Tasikmalaya
RSUD Subang
RS Tugu Ibu
RSU Tangerang
RSU Serang
RSU Kota Cilegon
RS Usada Insani
RS Qadr
RSU Dr. Kariadi

Alamat/Lokasi RS
Jl Rumah Sakit 22 Bandung
Jl. Veteran No. 6 Bandung
Jl. Bukit Jarian No. 40 Bandung
Jl. Kopo 161 Bandung
Jl. Kebonjati 152 Bandung
Jl. Ciumbuleiut 203 Bandung
Jl. Dr. Semeru No.114 Bogor
Jl. Raya Puncak 479 Ciawi Bogor
Jl. Raya Pajajaran No. 80 Bogor
Jl. Pramuka No. 55 Bekasi
Jl. Sultan Agung No.173,Kec.Medan Satria - Bekasi
Jl. Bhayangkara No. 166 Sukabumi
Jl. Rumah Sakit No. 1 Sukabumi
Jl. Rumah Sakit No.76 Ciamis
Jl. Rumah Sakit No.1 Cianjur
Jl. Galuh Mas Raya No.1,Karawang
Jl. Kesehatan No. 4 Waled, Cirebon
Jl. Kesambi No.56 Cirebon
Jl. Rumah Sakit No. 1 Indramayu
Jl. Sudirman No. 68 Kuningan
Jl. Veteran No. 39 Purwakarta
Jl. Palasari No. 80 Sumedang
Jl. Rumah Sakit 33 Tasikmalaya
Jl. Palasari No. 80 Sumedang
Jl. Raya Bogor Km 29 Cimanggis - Depok
Jl. A Yani No. 9 Tangerang
Jl. Rumah Sakit No. 1 Serang
Jl. Kapten P.Tendean Km.3 Cilegon
Jl. Ray Cipondoh 24 Tangerang
Komp Islamic Village Curug Tangerang
Jl. Dr. Soetomo No.16,Semarang

No Telp
022-7800017
022-4231550
022-231427
022-5201656
022-6031969
022-2034941
0251-324024
021-240797
0251-324080
021-8841005

No fax
7809581
4231582
2031427
5224219
6079445
2031624
324026
242937
324709
8853731

0266-229207
0266-225180
-771018
-261026
0267-640444
0231-661126

212988
640666
661126

-272655
0232-871885
0264-200100
0261-201021
0265-331683
0260-411632
021-8711693
021-5526686
0254-200528
0254-330461
021-5464466
024-8413476

874701
202215
204970
331747
417442
8708266
5527104
200724
330864
5470775
8313212

No.
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150

Provinsi
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
JATENG
DIY
DIY
DIY
DIY
DIY
DIY

Kabupaten/ kota
Semarang
Semarang
Semarang
Semarang
Semarang
Semarang.
Surakarta
Surakarta
Purwokerto
Jepara
Cilacap
Banyumas
Tegal
Salatiga
Kendal
Klaten
Sragen
Slawi
Batang
Pekalongan
Blora
Purworejo
Wonosobo
Boyolali
Tegal
Yogyakarta
Yogyakarta
Sleman
Yogyakarta
Yogyakarta
Yogyakarta

Kode RS
3374021
3374134
3374112
3322012
3322023
3374342
3372015
3372026
3302026
3320010
3301014
3302015
3376012
3373016
3324014
3310015
3314012
3328011
3325015
3375011
3316014
3306012
3307013
3309015
3471015
3471063
3404011
3471234
3471052
3471041

Rumah Sakit
RS St. Elisabeth Semarang
RSUD Tugurejo Semarang
RSU Panti Wilasa I
RSUD Ambarawa
RSUD Ungaran
RSUD Kota Semarang
RSU Dr. Moewardi Surakarta
RS Dr.Oen
RSUD Prof Dr. M Soekarjo
RSU R.A. Kartini
RSU Cilacap
RSUD Banyumas
RSUD Kardinah
RSU Salatiga
RSU Dr. H.Soewondo Kendal
RSUP Dr.Suraji Tirtonegoro Klaten
RSUD Sragen
RSU Dr. H.RM Soeselo W
RSUD Kab. Batang
RSUD Pekalongan
RS Dr. R. Soetijono Blora
RSUD Saras Husada Purworejo
RSU Wonosobo
RSUD Pandan Arang Boyolali
RSU Tegal
RSUP Dr. Sardjito
RS Bethesda Yogyakarta
RSUD Sleman
RSUD Kota Yogyakarta
RSU Panti Rapih
RS PKU Muhammadiyah Yogya

Alamat/Lokasi RS
Jl. Kawi No.1,Semarang
Jl. Raya Tugurejo,Semarang
Jl. Citarum 98,Semarang
Jl. Kartini No.10, Ambarawa
Jl. Diponegoro 125,Ungaran
Jl. Fatmawati Raya No.1,Semarang
Jl. Kol Sutarto 132,Surakarta
Jl. Brigjend Katamso 55,Surakarta
Jl. Dr Gumbreg No. 1 Purwokerto
Jl. K.H. Wahid Hasyim Jepara
Jl. Gatot Subroto 28 Cilacap
Jl. Rumah Sakit No.1 Banyumas
Jl. KS Tubun No.4,Tegal
Jl. Osamaliki No.19,Salatiga
Jl. Laut No. 21,Kendal
Jl. Dr. Soeraji T No.1,Klaten
Jl. Raya Sukowati No.534,Sragen
Jl. Dr. Sutomo No.63,Slawi
Jl. Dr Sutomo No. 42,Batang
Jl. Veteran 31,Pekalongan
Jl. Dr Sutomo No. 42,Blora
Jl. Jen Sudirman No.60 Purworejo
Jl. Rumah Sakit No.1,Wonosobo
Jl. Kantil No. 14, Boyolali

No Telp
024-8310076
024-7605378
024-3542224
0298-591020
024-6921006
024-6711500
0271-634634
0271-643139
0281-632708
0291-891175
0282-533010
0281-796182
0283-356067
0298-324074
0294-381433
0272-321041
0271-891661
0283-491016
0285-391033
0285-421621
0296-531118
0275-321118
0286-321091
0276-321065

No fax
8413373
7605297
3561514
591866
6922910
6717755
637412
642026
632502
591145
520755
796182
353131
321925
381573
321104
890158
491016
391206
423225
531839
322448
323873
321435

Jl. Kesehatan Sekip Yogyakarta


Jl. Jen Sudirman 70 Yogyakarta
Jl. Bhayangkara 48 Sleman
Jl. Wirosaban No. 1 Yogyakarta
Jl. Cik Ditiro 30 Yogyakarta
Jl. K.H. Ahmad Dahlan 20 Yogyakarta

0274-587333
0274-562246
0274-868437
0274-371195
0274-514845
0274-512653

553580
563312
868812
385769
564583
566129

77

No.
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
178
179
180
181
182

78

Provinsi
DIY
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM
JATIM

Kabupaten/ kota
Yogyakarta
Surabaya
Surabaya
Surabaya
Surabaya
Surabaya
Surabaya
Surabaya
Malang
Kediri
Malang
Jember
Banyuwangi
Sidoarjo
Madiun
Gresik
Malang
Nganjuk
Sampang
Kediri
Bojonegoro
Tulungagung
Madiun
Mojokerto
Jombang
Lamongan
Sumenep
Surabaya
Probolinggo
Bondowoso
Ponorogo

Kode RS
3404022
3578016
3578764
3578020
3578571
3578192
3578571
3573011
3506014
3507052
3509010
3510010
3515015
3519023
3525010
3573226
3518011
3527012
3571016
3522014
3504012
3577015
3576014
3517010
3524016
3529014
3578523
3513013
3511011
3502010

Rumah Sakit
RS Jiwa Grhasia/ Lalijiwa pakem
RSU Dr. Soetomo
RS Bhayangkara H.S.Samsoeri Mertojoso
RS Al Dr Ramelan
RSUD Dr. Mohamad Soewandhie
RS Karang Tembok
RS Jiwa Menur
RSU Tambakrejo
RSU Dr. Saiful Anwar
RSU Pare
RSU "Kanjuruhan"Kepanjen
RSU Dr. Soebandi
RSU Blambangan
RSUD Sidoarjo
RSUD Panti Waluyo
RSUD Ibnu Sina Kab. Gresik
RS Islam Malang
RSUD Nganjuk
RSUD Kab. Sampang
RSU Gambiran
RSU Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo
RSUD Dr Iskak Tulungagung
RSU Dr. Soedono Madiun
RSU Dr. Wahidin S Husodo
RSUD Kab. Jombang
RSUD Dr Soegiri Lamongan
RSU Muh Anwar Sumenep
RSU Haji Surabaya
RSU Waluyo Jati Kraksaan
RSUD Dr. H.Koesnadi
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo

Alamat/Lokasi RS
Jl. Kaliurang No. 17 Yogyakarta
Jl. Prof Dr. Moestopo Surabaya
Jl. Achmad Yani No.16,Surabaya
Jl. Gadung No. 1 Surabaya
Jl. Tambakrejo 45-47 Surabaya

No Telp
0274-895142
031-5501011

No fax
5028735

031-8438153

8437511

Jl. Menur 120 Surabaya


Jl Tambakrejo 45-47 Surabaya
Jl. Jaksa Agung Suprapto No.2 Malang
Jl. Pahlawan Kusuma Bangsa No.1, Pare
Jl. Panji No. 100 Kepanjen, Malang
Jl. Dr. Soebandi No.124, Jember
Jl. Istiqlah No. 49 Banyuwangi
Jl. Mojopahit No.667 Sidoarjo
Jl. A Yani Km 2 Caruban Madiun
Jl. Dr. W Sudiro Husodo No.243 B, Gresik
Jl. M. T. Haryono No. 139 Malang
Jl. Dr. Sutomo 62, Nganjuk
Jl. Rajawali No. 10, Sampang
Jl. KH Wahid Hasyim 64 Kediri
Jl. Dr Wahidin No.40, Bojonegoro
Jl. Dr. W Sudirohusudo, Tulungagung
Jl. Dr. Soetomo 59, Madiun
Jl. Gajah Mada 100 Mojokerto
Jl. KHW Hasyim 52, Jombang
Jl. Kusumabangsa 7 Lamongan
Jl. Dr Cipto No. 42 Sumenep
Jl. Manyar Kertoadi Surabaya
Jl. Dr Sutomo No. 1 Kraksaan
Jl. Piere Tendean Bondowoso
Jl. Ciptomangunkusumo Ponorogo

031-5022436
031-3717141
0341-352101
0354-391718
0341-395041
0331-487441
0333-421118
031-8961649
0351-387184
031-3951239
0341-551356
0358-321118
-21516
0354-773097
0353-881193
0355-322609
0351-464325
0321-321661
0321-861116
0322-321718
-662494
031-5947760
0335-81118
0332-421263
0352-81218

5021636
369384
391833
395024
487564
421072
8964800
3955217
565448
325003
778340
322165
458054
879316
322582
5947890
841160
422311
485051

No.
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213

Provinsi
JATIM
JATIM
JATIM
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
Bali
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALBAR
KALTIM
KALTIM
KALTIM
KALTIM
KALTIM
KALTENG
KALSEL

Kabupaten/ kota
Magetan
Malang
Jember
Denpasar
Bulelr:ng
Jembrana
Tabanan
Gianyar
Klungkung
Wangaya
Badung
Denpasar
Buleleng
Jembrana
Bangli
Karangasem
Pontianak
Pontianak
Singkawang
Mempawah
Pontianak
Ketapang
Sanggau
Sambas
Sarnarinda
Balikpapan
Samarinda
Balikpapan
Tarakan
Palangkaraya
Banjarmasin

Kode RS
3520012
3573022
3509032
5171016
5108016
5101016
5102010
5104012
5105013
5171020
5171031
5108016
5106014
5107015
6171011
6171033
6101011
6104014
6171044
6106016
6105015
6101033
6472015
6471014
6472030
6471036
6473016
6271012
6371013

Rumah Sakit
RSU Dr. Sayidiman Magetan
Rumkit Tk.II Dr. Soepraoen
Rumkit Tk.III Baladika Husada Jember
RSUP Sanglah Denpasar
RSU Singaraja
RSU Negara
RSU Tabanan
RSUD Sanjiwani Gianyar
RSU Klungkung
RSUD Wangaya
RSU Badung
Rumkit Tk.III Udayana Denpasar
RSUD Kab. Buleleng
RSUD Jembrana
RSU Bangli
RSUD Karangasem
RSU Dr Sudarso PTK
RSU St.Antonius
RSUD Dr Abdul Aziz
RSU Dr Rubini Mempawah
RS Jiwa Pontianak
RSU Dr. Agusdjam Ketapang
RSU Sanggau
RSU Pemangkat
RSUD H A Wahab Sjahranie
RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo
RS Dirgahayu
Rumkit Tk.III Dr R Hardjanto
RSUD Tarakan
RSUD Dr Doris Sylvanus
RSUD Ulin Banjarmasin

Alamat/Lokasi RS
Jl. Pahlawan No.2 Magetan
Jl. Sodanco Supriyadi No.22,Malang
Jl. PB Sudirman No. 49 Jember
Jl. Diponegoro Denpasar
Jl Ngurah Rai 30 Singaraja
Jl Wijaya Kusuma 17 Negara
Jl. Pahlawan No. 14 Tabanan
Jl. Ciung Wenara No.2 Gianyar
Jl. Flamboyan No. 40 Klungkung
Jl. Kartini No.133 Denpasar
Badung
Jl. P.B Sudirman No.1 Denpasar
Jl. Ngurah Rai 30 Singaraja

No Telp
0351-895023
0341-325111
-84674
0361-227911
0362-22046
0365-41006
0361-811027
0361-943020
0366-21172
0361-222141

No fax
895067
325113
224206
29629
62365
811202
21371
224114

0361-228061

246356

Jl. Kusuma Yudha No. 27 Bangli


Jl. Ngurah Rai - Amlapura
Jl. Adisucipto Pontianak
Jl. KHW. Hasyim No.249, Pontianak
Jl. Dr Sotomo No. 28, Singkawang
Jl. Dr Rubini Mempawah
Jl. Ali Anyang No. 1 Pontianak
Jl. Panjaitan No.1 Ketapang
Jl. Jend Sudirman Sanggau
Jl. A.Kadir Kasim 20 Pemangkat
Jl. Dr. Soetomo, Samarinda
Jl. M.T. Haryono Ring Road Balikpapan
Jl. Merbabu No.40 Samarinda
Jl. Tanjungpura I Balikpapan
Jl. P. Irian Tengah,Tarakan
Jl. Tambun Bungai No.4 Palangkaraya
Jl. Jen A Yani No.43, Banjarmasin

0366-91521
0363-21470
0561-737701
0561-732101
0562-631748
0561-732420
0534-32061
-21070
0562-241040
0541-738118
0542-873901
0541-742116
0542-423409
0551-21720
0536-21717
0511-2180

91521
21470
732077
733623
636319
732420
31512
741793
873836
205360
415677
21166
29194
252229

79

No.
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244

80

Provinsi
KALSEL
KALSEL
KALSEL
NTB
NTB
NTB
NTB
NTT
NTT
NTT
NTT
NTT
NTT
NTT
NTT
SULUT
SULUT
SULUT
SULUT
SULUT
SULBAR
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULTENG
SULSEL
SULSEL

Kabupaten/ kota
Banjarmasin
Kotabaru
Hulu Sungai Utara
Mataram
Lombok Tengah
Dompu
Sumbawa
Kupang
Sumba Timur
Belu
Sikka
Ende
Manggarai
Flores Timur
Kupang
Manado
Manado
Tomohon
Manado
Bitung
Polmas
Palu
Palu
Palu
Toli-toli
Poso
Tojo Una-Una
Morowali
Banggai
Makassar
Makassar

Kode RS
6371072
6302014
6308013
5271010
5202011
5205014
5204013
5371011
5302023
5306016
5310012
5311013
5313015
5309012
5371022
7171013
7171035
7102036
7171024
7172036
7602044
7271014
7271051
7271040
7206012
7204010
7204032
7204021
7202015
7371030
7371325

Rumah Sakit
RSUD Dr.H.Moch.Ansari Saleh
RSUD Kotabaru
RSU Pambalah Batung
RSU Mataram
RSU Praya
RSU Dompu
RSU Sumbawa Besar
RSU Prof Dr WZ Johanes
RSUD Waingapu Umbu Rara Meha
RSUD Belu Atambua
RSU Dr TC Hillers Maumere
RSUD Ende
RSU Ruteng
RSU Larantuka
RS Tk.IV Wirasakti Kupang
RSU Prof.Dr. R.D Kandou Manado
RS Jiwa Ratumbuysang
RS Bethesda GMIM Tomohon
RS TK.Teling Manado
RSU Bitung
RSU Polewali
RSU Undata Palu
RS Jiwa Palu Madani
RS Woodward Bala Keselamatan
RSU Mokopido Toli-Toli
RSUD Poso
RSU Ampana
RSUD Kolonodale
RSU Luwuk
Rumkit Tk.II Pelamonia
RSU Dr W Sudirohusodo UP

Alamat/Lokasi RS
Jl. Brig Jend H Hasan Basry No.1,Banjarmasin
Jl. H Hasan Basri No.57, Kotabaru
Jl. Basuki Rahmat No. 1 Amuntai
Jl. Pejanggik No.6, Mataram
Jl. Basuki Rahmat No. 11 Praya
Jl. Kesehatan No. 1 Dompu, NTB
Jl. Garuda No. 5 Sumbawa Besar
Jl. Dr Moch Hatta No. 19 Kupang
Jl. Adam Malik No.54, Hambala Waingapu
Jl. Dr Sutomo No. II Atambua
Jl. Kesehatan Maumere
Jl. Prof Dr. WZ.Johanes Ende
Jl. Diponegoro No.16,Kab Manggarai
Jl. Moh Hatta No.19,Kab.Flores Timur
Jl. Dr.DR.Moch Hatta No.3,Kupang
Jl. Raya Tanawangko No.56, Manado
Jl. Bethesda 77 Manado
Jl. Raya Tomohon
Jl. 14 Februari Telling Atas,Manado
Jl. SH Sarundayang Kota Bitung
Jl. Dr Ratulangi 50 Polewali
Jl. Dr Suharso 14 Palu
Km 13 Mamboro Palu
Jl. Woodward No.1 Palu
Jl. Lanoni No.37 Toli-Toli, Sulteng
Jl. Jen.Sudirman No.33 Poso
Jl. St Hasanudin No. 32 Ampana
Jl. W Monginsidi 2 Kolonedale
Jl. Imam Bonjol No. 14 Luwuk
Jl. Jend Sudirman No.27,Makassar
Jl. P Kemerdekaan Km.11,Makasar

No Telp
0511-300741
0518-21118
0527-62905
0370-621345
0370-654007
0373-21411
0371-21929
0380-832892
-61302
-21016
0382-21617
0381-21031
-21389
0382-21617
0380-821131
0431-853191
0431-862792
0430-351017
0431-852450
0438-31881

No fax
300741
21118
61041
621345
653082
21411
23974
832892
21118
21314
22026
853205
351260
853035
-

0451-421270
0451-491470
0451-421769
0453-21300
0452-23645
0465-21165
0465-21010
0461-21820
0411-323434
0411-584677

421370
491605
423744
324360
21010
323434
587676

No.
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275

Provinsi
SULSEL
SULSEL
SULSEL
SULSEL
SULSEL
SULSEL
SULTRA
SULTRA
SULTRA
SULTRA
Gorontalo
Gorontalo
Maluku
Maluku
Maluku
MALUT
MALUT
PAPBAR
PAPBAR
PAPBAR
PAPBAR
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua
Papua

Kabupaten/ kota
Makassar
Makassar
Makassar
Pare-pare
Bulukumba
Palopo
Kendari
Kendari
Buton
Kolaka
Gorontalo
Gorontalo
Ambon
Ambon
Tual
Ternate
Ternate
Manokwari
Sorong
Fak-fak
Sorong
Nabire
Mimika
Biak
Abepura
Jayapura
Jayapura
Merauke
Jayapura
Jayapura
Mimika

Kode RS
7371041
7371096
7371026
7372075
7302016
7317016
7403011
7403066
7401016
7404012
7571010
7501021
8171015
8171110
8101015
8271016
9102011
9171032
9101010
9171010
9202012
9201011
9205015
9271023
9271034
9271012
9201012
9271067
9271056
9212011

Rumah Sakit
RS Kepolisian Bhayangkara
RS Jiwa Makassar
RSU Labuang Baji
RSU Andi Makkasau Pare2
RSU Bulukumba
RSU Palopo Sawerigading
RSU Propinsi Kendari
RS Jiwa Kendari
RSU Bau Bau
RSU Kolaka
RSU Prof Dr H Aloei Saboe
RSU Dr M Mohammad Dunda
RSU Dr M Haulussy Ambon
RS Al Fatah
RSU Tual
RSU Ternate
RSU Boesoeri
RSU Manokwari
RSU Sele Be Solu Sorong
RSU Fak Fak
RSU Sorong
RSU Nabire
RS Mitra Masy.Timika
RSU Biak
RSU Abepura
Rumkit Tk.IV Marten Indey/ Dr Aryoko Sorong
RSU Jayapura
RSU Merauke
RS Bhayangkara Papua
RS Dian Harapan
RSUD Kab. Mimika

Alamat/Lokasi RS
Jl. Letjen Mapaodang Makassar
Jl. L Pasewang No. 34 Makassar
Jl. Dr. Ratulangi No.81 Makassar
Jl. Nurussamawaty No.3 Pare-Pare
Jl. Serikaya No. 17 Bulukumba
Jl. Samiun No.2 Palopo
Jl. Dr Ratulangi No. 151 Kendari
Jl. Letjen Suprapto Kendari
Jl. Jend Sudirman 20 Bau Bau
Jl. W R Supratman No. 20 Kolaka
Jl. Sultan Batutihe No. 7 Gorontalo
Jl. A Yani Limboto Gorontalo
Jl. Dr Kayadoe Ambon
Jl.Sultan Babullah 2 Ambon
Jl. Merdeka Ohoijang Tual
Jl. Tanah Tinggi Ternate
Ternate
Jl. Bhayangkara No.I Manokwari
Jl. Basuki Rahmat Km 12 Sorong
Jl. Jend Sudirman Fak Fak
Jl. Kesehatan No. 36 Sorong
Jl. R.E Martadinata Nabire
Jl.SP2-SP5 Timika, Mimika
Jl. Sriwijaya Ridge I Biak
Jl. Kesehatan No. 1 Abepura
Jl. Pramuka No.1 Remu Utara,Sorong
Jl. Kesehatan I Dok II Jayapura
Jl. SukarjowirjopraNo.to Merauke
Jl. Jeruk Nipis Furia Kotaraja,Jayapura
Jl. Teruna Bakti Waena Jayapura
Jl. Yos Sudarso Kab. Mimika

No Telp
-872514
-873120
0411-873482
0421-21823
-81290
0471-21015
0401-321733
0401-873120
0402-21803
0405-21042
0435-821019
-851455
0911-353438
0916-21612
0921-21281

No fax
530454
22237
24356
321432
821062
353595
21614
21777

0986-211441
0951-21450
0956-22373
0951-321850
-21845
0901-301881
0981-21294
0967-581064
-21752
0967-533616
0971-321125

213189
322076
321763
301882
24630
581064
533781
321124

81

No.
276
277
278

82

Provinsi
Papua
Papua
Papua

Kabupaten/ kota
Jayawijaya
Yapen Waropen
Jayapura

Kode RS
9202013
9204014

Rumah Sakit
RSU Wamena
RSU Serui
RSAL Jayapura

Alamat/Lokasi RS
Jl. Trikora Wamena
Jl. Dr Sam Ratulangi Serui

No Telp
-31152
-31118

No fax
-

Lampiran 2. Catatan Kunjungan Pasien

83

84

85

Lampiran 3.

Formulir Skrining Gejala dan Tanda TB pada ODHA

FORMULIR SKRINING GEJALA DAN TANDA TB PADA ODHA


Nama pasien
No. Register Nasional HIV
Tanggal
No

:
:
:
Gejala dan Tanda TB

Ya

Tidak

1. Batuk selama 2-3 minggu atau lebih


2. Demam hilang timbul lebih dari 1 bulan
3. Keringat malam tanpa aktivitas
4. Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas
5. Pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih dari 2 cm
6. Lainnya

Bila jawaban ya pada salah satu pertanyaan di atas: segera rujuk untuk pemeriksaan dahak
secara mikroskopis atau pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis TB.
Kalau sarana pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB tidak tersedia di unit pelayanan
Bila jawaban tidak pada semua pertanyaan di atas, ulangi pertanyaan di atas
pada kunjungan berikutnya.
Petugas,

()

Catatan
Formulir ini dapat digunakan pada layanan tes HIV dan PDP

86

Lampiran 4. Stadium Klinis Infeksi HIV


Stadium 1
Tidak ada gejala
Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2
Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (<10% dari
perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Ulkus mulut yang berulang
Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
Dermatisis seboroik
Infeksi jamur pada kuku

Stadium 3
Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari
perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
Kandidiasis pada mulut yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi
tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
9
Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 10 /l) dan/atau
9
trombositopeni kronis (<50 x 10 /l)

Stadium 4
Sindrom wasting HIV
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
Pneumonia bacteri berat yang berulang
Infeksi herpes simplex kronis (orolabial,
genital, atau anorektal selama lebih dari 1
bulan atau viseral di bagian manapun)
Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis
trakea, bronkus atau paru)
Tuberkulosis ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau
infeksi organ lain, tidak termasuk hati,
limpa dan kelenjar getah bening)
Toksoplasmosis di sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV

Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner,


termasuk meningitis
Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang
menyebar
Leukoencephalopathy multifocal progresif
Cyrptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Mikosis diseminata (histoplasmosis,
coccidiomycosis)
Septikemi yang berulang (termasuk
Salmonella non-tifoid)
Limfoma (serebral atau Sel B non-Hodgkin)
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang
simtomatis

87

Lampiran 5. Daftar obat ARV di Indonesia dosis dan efek sampingnya


Sediaan dan dosis yang
direkomendasikan
Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)
250 - 300 mg setiap 12 jam
Zidovudine (AZT)
Dosis 250 mg dapat
diberikan tanpa mengurangi
efektifivatas AZT dengan
kemungkinan timbulnya efek
samping yang lebih rendah
Dosis 250 mg sementara
tidak tersedia di Indonesia

Golongan

Efek Samping

Keterangan

Perlu dilakukan monitoring efek samping supresi sumsum


tulang (anemi makrositik atau netropeni)
ES lain: asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang);
intoleransi gastrointestinal; sakit kepala; sukar tidur;
miopati; pigmentasi kulit dan kuku

Dalam suhu kamar

Stavudine (d4T)

30 mg; diberikan tiap 12 jam

Neuropati perifer, lipodistrofi dan laktat asidosis merupakan


efek samping yang sering timbul. Pemeriksaan ketiga
gejala tersebut diatas perlu dilakukan secara terus menerus
ES lain Pankreatitis

Dalam suhu kamar. Suspensi oral


harus disimpan di lemari es dan stabil
hingga 30 hari

Lamivudine (3TC)

150 mg; diberikan tiap 12 jam


atau 300 mg setiap 24 jam

Toksisitas rendah
Efek samping asidosis laktat dengan steatosis hepatitis
(jarang)
.

Dalam suhu kamar Lamivudine


merupakan obat yang digunakan
pada Hepatitis B, perbedaan terletak
pada dosis, dimana Hepatitis B
menggunakan dosis 150 mg dosis
tunggal JIka pasien HIV telah
mendapatkan Lamivudin untuk tujuan
pengobatan Hepatitis B sebelumnya,
maka Lamivudine tidak dapat
digunakan karena telah terjadi
resisten.

Didanosine (ddI)

250 mg ( BB < 60 mg) dan


400 mg ( BB > 60 mg):
diberikan single dose setiap
24 jam (tablet bufer atau
kapsul enteric coated)

Didanosin merupakan obat dari golongan d drugs


bersama dengan d4T dan ddC. ddI tidak dapat digunakan
bersama dengan d4T karena memperkuat timbulnya efek
samping seperti pankreatitis, neuropati, asidosis laktat,
lipoatrofi.

Tablet dan kapsul dalam suhu kamar.


Puyer harus dalam refrigerator,
suspensi oral/ formula pediatrik dapat
tahan hingga 30 hari bila disimpan
dalam lemari es

88

Golongan

Sediaan dan dosis yang


direkomendasikan

Efek Samping

Keterangan

Efek samping lain: asidosis laktat dengan steatosis


hepatitis (jarang); mual; muntah; diare
ddI tidak boleh digunakan bersama dengan Tenovofir
karena interaksi obat yang menyebabkan kadar Tenofovir
dalam darah turun sehingga menyebabkan kegagalan
pengobatan
ddI juga tidak direkomendasikan untuk digunakan bersama
dengan Abacavir karena data pendukung yang tidak cukup

Abacavir (ABC)

300 mg; diberikan tiap 12 jam


ATAU 600 mg setiap 24 jam

Abacavir mempunyai efek samping hipersensitivitas


dengan insiden sekitar 5 8 % (dapat fatal).
Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan
Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) asidosis
laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)
Penggunaan Abacavir harus dihentikan jika terjadi reaksi
alergi dan TIDAK boleh digunakan lagi ( re-start)
Efek samping abacavir sama dengan efek samping
Nevirapine dan kotrimoksasol sehingga penggunaan
Abacavir bersama dengan Nevirapine merupakan kontra
indikasi
Pada negara maju, pemeriksaan HLA *B 5701 sebelum
memberikan Abacavir, jika HLA*B5701 negatif maka
Abacavir dapat digunakan
Penggunaan Abacavir dapat menyebabkan cardiomiopati,
terjadi terutama jika viral load > 100,000 turunan

Dalam suhu kamar

Emtricitabine (FTC)

200 mg setiap 24 jam

Merupakan turunan dari 3TC, dapat digunakan pada


Hepatitis B

Dalam suhu kamar

Insufisiensi fungsi ginjal, sindrom Fanconi, sehingga perlu


dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal sebagai data awal (
baseline data)

Dalam suhu kamar

Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NtRTI)


250 mg atau 300 mg;
Tenofovir (TDF)
diberikan single dose setiap
24 jam

89

Sediaan dan dosis yang


Efek Samping
direkomendasikan
(Catatan: interaksi obat
Astenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, perut kembung;
dengan ddI, tidak lagi
Penurunan bone mineral density; Osteomalasia.
dipadukan dengan ddI)
Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)

Golongan

Keterangan

Nevirapine

200 mg setiap 24 jam selama


14 hari, kemudian 200 mg
setiap 12 jam

Efek samping pada nevirapine adalah dose dependent,


sehingga untuk 2 minggu pertama dilakukan eskalasi dosis
200mg/dosis tunggal dan 200 mg /12 jam pada hari ke 15
dan seterusnya
Jika Nevirapine digunakan untuk mengganti ( substitusi)
Efavirense maka nevirapine langsung diberikan dengan
dosis penuh tanpa escalating dosis
Efek samping nevirapine lainnya yang perlu diperhatikan
adalah hepatotoksik.
Nevirapine dihentikan jika terjadi kenaikan SGPT > 5 kali
dari baseline
Nevirapine dihentikan jika terjadi steven Johnson sindrom
dan tidak boleh di ulang kembali.
Pemberian Nevirapine pada wanita dengan CD4 > 250 dan
pria dengan CD4 > 400 perlu dilakukan monitoring ketat
terhadap timbulnya reaksi alergi
Nevirapine TIDAK boleh digunakan untuk Post Exposure
Prophylaxis ( PEP)
Nevirapine dapat dipertimbangkan untuk digunakan
bersama dengan Rifampisin jika Efaviren merupakan
kontraindikasi.
Efavirenz TIDAK direkomendasikan untuk digunakan guna
keperluan substitusi jika telah terjadi Steven Johnson
syndrom

Dalam suhu kamar

Efavirens

600 mg; diberikan single dose


24 jam (malam) hari

Gejala SSP: pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung,


halusinasi, agitasi, seperti susah konsentrasi, insomnia,
vivid dream, depresi, skizofrenia.

Dalam suhu kamar

90

Golongan

Sediaan dan dosis yang


direkomendasikan

Efek Samping

Keterangan

Peningkatan kadar transaminase.


Hiperlipidemi. Ginekomasti. Ruam kulit. Potensi teratogen
Merupakan obat pilihan utama pada ko-infeksi TB/HIV
Mempunyai profile efek samping yang sama dengan
Nevirapine dengan insiden yang lebih rendah
Monitoring efek samping pada gangguan mental
Pada wanita hamil, Efavirenz diberikan setelah trimester
pertama
Dilaporkan menyebabkan false positif pada skrining
cannabis dan benzodiazepine.
Protease Inhibitor (PI)

Lopinavir/ ritonavir
(Aluvia)
(LPV/ r)

Tablet heat stable lopinavir


200 mg + ritonavir 50 mg:
400 mg/100 mg setiap 12 jam
untuk pasien naive baik
dengan atau tanpa kombinasi
EFV atau NVP
600 mg/ 150 mg setiap 12
jam bila dikombinasi dengan
EFV atau NVP untuk pasien
yang pernah mendapat ART

Efek samping metabolic seperti hiperglikemia (diabetes),


hipercholestrolemi, lipoakumulasi perlu dimonitor pada
penggunaan jangka panjang
Intoleransi gastrointestinal, mual, muntah, peningkatan
enzim transaminase
Kontra indikasi absolute untuk digunakan bersama dengan
Rifampisin karena adanya interkasi obat yang
menyebabkan kadar LPV/r hilang hingga 90%

Dalam suhu kamar

91

Lampiran 6. Interaksi obat ARV dengan obat lain


Obat / ARV
NVP
Antimikobakterium
Kadar NVP turun 20-58%. Konsekuensi
Rifampicin

EFV

LPV/r

Kadar EFV turun sampai 25%

AUC LPV turun sampai 75%.


Seharusnya tidak digunakan bersama

Tidak ada

Kadar Clarithromycin turun sampai 39%.


Lakukan monitor efikasinya atau ganti obat
lain

Peningkatan AUC Clarithromycin sampai


75%. Lakukan penyesuaian dosis
Claritrhromycin pada gangguan fungsi
ginjal

Kadar ketokonazole naik sampai 63%.


Kadar NVP naik sampai 15-30%. Tidak
dianjurkan untuk digunakan bersama

Tidak ada perubahan kadar yang berarti dari


ketokonazole maupun EFV

Peningkatan AUC LPV. Peningkatan


kadar Ketokonazole sampai 3 kali.
Ketokonazole Tidak boleh lebih dari 200
mg/hari

Fluconazole

Peningkatan CMax, AUC, Cmin NVP


sampai 100%. Tidak ada perubahan
kadar Fluconazole. Kemungkinan
peningkatan hepatotoksik yang
memerlukan monitoring toksisitas NVP.

Tidak ada data

Tidak ada data

Itraconazole

Tidak ada data

Tidak ada data

Peningkatan kadar Itraconazole. Dosis


Itraconazole tidak boleh lebih dari 200
mg/hari

Penurunan Ethinyl estradiol sampai 20%.


Gunakan metode lain atau tambahan

Peningkatan Ethinyl estradiol sampai 37%.


Gunakan metode lain atau tambahan

Penurunan Ethinyl estradiol sampai 42%.


Gunakan metode lain atau tambahan

Belum diketahui. Gunakan dengan hatihati. Lakukan monitoring kadar

Tidak diketahui. Gunakan dengan hati-hati.


Satu laporan kasus penurunan konsentrasi

Banyak kemungkinan interaksi.


Carbamazepin: meningkat bila bersama

virologis belum pasti. Kemungkinan


terjadi efek hepatotoksik tambahan. Perlu
monitoring dengan baik

Clarithromycin

Anti Jamur
Ketoconazole

Kontrasepsi Oral
Ethinyl estradiol
Anti Konvulsan
Carbamazepine

92

Obat / ARV
Phenobarbital
Phenytoin

NVP
antikonvulsan.

Terapi Substitusi Opioid


Kadar: NVP tidak berubah. Metadon
Metadon
turun sekali. Sering terjadi sindrom
withdrawl opioid bila digunakan bersama.
Kadang perlu menaikkan dosis metadon.
Lakukan titrasi dosis metadon untuk bisa
berefek

Buprenorphine

Belum ada penelitian

Obat penurun lipid (Lipid-lowering agents)


Tidak ada data
Simvastatin,
Lovastatin

EFV

LPV/r

EFV bersamaan phenytoin. Lakukan


monitoring kadar antikonvulsan dan EFV

RTV. Gunakan dengan hati-hati. Monitor


kadar antikonvulsan. Phenytoin:
penurunan kadar LPV dan RTV, dan
phenytoin. Hindari penggunaan bersama
atau monitor kadar LPV

Kadar: metadon turun 60%. Sering terjadi


sindrom withdrawl opioid bila digunakan
bersama. Kadang perlu menaikkan dosis
metadon. Lakukan titrasi dosis metadon untuk
bisa berefek

Penurunan AUC metadon sampai 53%.


Kemungkinan terjadi sindrom withdrawl
opioid. Monitor dan kalau perlu lakukan
titrasi dosis. Mungkin perlu peningkatan
dosis metadon

Kadar Buprenorphine turun 50% tetapi tidak


ada laporan sindrom withdrawl opioid. Tidak
ada anjuran penyesuaian dosis

Tidak ada interaksi yang bermakna

Penurunan kadar Simvastatin sampai 58%.


Kadar EFV tidak berubah. Lakukan
penyesuaian dosis simvastatin sesuai respon
lipid; tidak boleh melebihi dari dosis yang
dianjurkan

Potensi terjadi peningkatan kadar statin


yang tinggi. Hindari penggunaan
bersama

Atorvastatin

Tidak ada data

Penurunan AUC Atorvastatin sampai 43%.


Kadar EFV tidak berubah. Lakukan
penyesuaian dosis Atorvastatin sesuai respon
lipid; tidak boleh melebihi dari dosis yang
dianjurkan

Peningkatan AUC 5.88 kali. Mulai


dengan dosis terkecil dan monitor hatihati

Pravastatin

Tidak ada data

Tidak ada data

Peningkatan AUC Pravastatin 33%.


Tidak perlu ada penyesuaian dosis.

Proton pump inhibitor. Semua obat PI dan EFV dapat meningkatkan kadar Cisapride dan antihistamin non-sedasi (aztemizole, terfenidine) yang dapat menyebabkan toksisitas
jantung. Penggunaan bersamaan tidak dianjurkan.

Sumber : Adatasi dan modifikasi dari Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-infected adults and adolescents. 4 May 2006

93

Lampiran 7.

Pemeriksaan
serologi

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium Untuk


Hepatitis B
Hasil

HBsAg

Negatif

Anti HBc

Negatif

Anti HBs

Negatif

HBsAg

Negatif

Anti HBc

Negatif

Anti HBs

Positif

HBsAg

Positif

Anti HBc

Negatif

Anti HBs

Negatif

HBsAg

Positif

Anti HBc

Positif

IgM anti HBc*

Positif

Anti HBs

Negatif

HBsAg

Positif

Anti HBc

Positif

IgM anti-HBc*

Negatif

Anti HBs

Negatif

HBsAg

Negatif

anti HBc

Positif

Anti HBs

Positif

HBsAg

Negatif

Anti HBc

Positif

Anti HBs

Negatif

Interpretasi dan Rekomendasi

Tidak terinfeksi HBV, rentan terhadap kemungkinan tertular dan di


rekomendasi untuk mendapatkan vaksinasi

Jika belum divaksinasi, direkomendaskan untuk dilakukan vaksinasi, jika sudah


divaksinasi dan titer < 10mIU maka direkomendasikan untuk diulang. Jika >
10mIU dan sudah mendapatkan vaksinasi lengkap tidak lagi diperlukan
vaksinasi.

Early acute infection

Infeksi Akut

Infeksi kronik

Proses infeksi telah berhenti dan pasien mempunyai kekebalan terhadap HBV
(Resolved infection)

Either distant resolved infection;recovering from acute infection;false positive;or


occult chronic infection ( HBV DNA PCR positive )

Sumber : Mast E.E.et al.,MMWR Recomm Rep,2006;55(RR-16);p.4

94

Lampiran 8. Interpretasi Hasil Laboratorium untuk Hepatitis C


Pemeriksaan

Hasil

Anti - HCV

negatif

HCV RNA PCR


Anti HCV
HCV RNA PCR

negatif
negatif
positif

Anti HCV

positif

HCV RNA PCR


Anti HCV
HCV RNA PCR

negatif
positif
positif

Interpretasi

Kemungkinan lain

Tidak Terinfeksi

Masa inkubasi dan Previous infection


with clearance and seroconversion

Infeksi akut

Infeksi yang telah mereda


(Past resolved infection)

Positif palsu dari hasil antibodi dan


kondisi kronik infeksi dengan transient
PCR RNA yang undetectable (Chronic
infection with transiently undetectable
RNA PCR)

Infeksi akut atau kronis

Sumber : National Management Guidelines For Sexually Transmissible . Sexual Health Sociey of Victoria.2008

95

Lampiran 9. Derajat toksisitas klinis dan laboratoris

URAIAN

Tahap 1
(Ringan)

Tahap 2
(Sedang)

Tahap 4
(Potensial
mengancam
jiwa)

Tahap 3
(Berat)

HEMATOLOGI
Hemoglobin

8,0 - 9,4 g/dl

7,0 - 7,9 g/dl


3

750-999/mm

6,5 6,9 g/dl


3

500-749/mm

< 6,5 g/dl


< 500/mm

Jumlah netrofil
absolut

1.000-1.500/mm

Trombosit

75.0003
99.000/mm

50.0003
74.999/mm

20.0003
49.999/mm

<20.000/mm

Hiperbilirubinemi

>1,01,5 x ULN

>1,52,5 x ULN

>2,55 x ULN

>5 x ULN

Glukosa (puasa)

110125 mg/dl

126250 mg/dl

251500mg/dl

>500 mg/dl

Hipoglikemi

5564 mg/dl

4054 mg/dl

3039 mg/dl

<30 mg/dl

Hiperglikemi
(sewaktu dan tdk
ada riwayat
diabetes)

116160 mg/dl

161250 mg/dl

251500 mg/dl

>500 mg/dl

400750 mg/dl

7511200 mg/dl

>1200 mg/dl

KIMIA KLINIK

Trigliserida
Kreatinin

>11,5 x ULN

>1,53 x ULN

>36x ULN

>6x ULN

AST (SGOT)

>1,25 2,5xULN

>2,55 x ULN

>510 x ULN

>10 x ULN

ALT (SGPT)

>1,25 2,5xULN

>2,55 x ULN

>510 x ULN

>10 x ULN

GGT

>1,25 2,5xULN

>2,55 x ULN

>510 x ULN

>10 x ULN

Alkali fosfatase

>1,25 2,5xULN

>2,55 x ULN

>510 x ULN

>10 x ULN

Bilirubin

1,11,5 x ULN

1,62,5 x ULN

2,65x ULN

>5x ULN

Amilase

>11,5 x ULN

>1,52 x ULN

>25x ULN

>5x ULN

Amilase pankreas

>11,5 x ULN

>1,52 x ULN

>25x ULN

>5x ULN

Lipase

>11,5 x ULN

>1,52 x ULN

>25x ULN

>5x ULN

Laktat

<2 x ULN tanpa


asidosis

>2 x ULN tanpa


asidosis

Laktat dgn pH <


7,3 tidak
mengancam jiwa

Laktat dgn pH <


7,3 yang
mengancam jiwa

Rasa tidak
nyaman bersifat
sedang ATAU

Rasa tidak
nyaman bersifat
berat ATAU

Perlu rawat inap

penurunan asupan
selama <3 hari

asupan minimal
selama >3 hari

Sedang ATAU
persisten; 45
episode per hari
ATAU muntah
berlangsung >1
minggu

Muntah semua
makanan/cairan
dalam 24 jam
ATAU hipotensi
ortostatik ATAU
perlu cairan IV

Syok hipotensi
ATAU perlu rawat
inap untuk
pemberian cairan
IV

Sedang ATAU
persisten; 57x

Diare berdarah
ATAU hipotensi
ortostatik ATAU

Syok hipotensi
ATAU perlu rawat

GASTROINTESTINAL
Mual

Ringan ATAU
sementara;
Dapat
mempertahankan
asupan

Muntah

Ringan ATAU
sementara;
23 kali per
hari ATAU muntah
ringan
berlangsung <1
minggu

Diare

96

Ringan ATAU
sementara;

Tahap 4
(Potensial
mengancam
jiwa)

Tahap 1
(Ringan)

Tahap 2
(Sedang)

Tahap 3
(Berat)

34x diare per hari


ATAU diare ringan
yang ber-langsung
<1 minggu

diare per hari


ATAU diare

>7x diare/hari
ATAU perlu cairan
IV

inap

Sesak napas
waktu olah raga

Sesak napas pada


aktivitas normal

Sesak napas
ketika istirahat

Sesak napas yang


memerlu kan
terapi O2

Urin sewaktu

1+

2+ atau 3+

4+

Sindroma nefrotik

24-jam urine

Kehilangan protein
200 mg - 1 g /hari
ATAU <0,3%
ATAU
<3 g/l

Kehilangan protein
1-2 g/ hari ATAU
0,3-1% ATAU 3-10
g/ l

Kehilangan protein
2-3,5 g /hari ATAU
>1% ATAU >10 g/l

Sindroma nefrotik
ATAU
Kehilangan protein
>3,5 g /hari

Gross hematuri

Hanya mikroskopis

Gross, tanpa
bekuan

Gross dengan
bekuan

Obstruktif

Demam (oral, >12


jam)

37,738,5oC

38,639,5oC

39,640,5 oC

>40,5oC selama
12 jam berturutturut

Sakit kepala

Ringan; tidak
memerlukan obat

Sedang ATAU
perlu analgetika
non-narkotik

Berat ATAU
respon terhadap
obat narkotik awal

Sakit kepala
membangkang

Reaksi alergi

Gatal tanpa ruam


kulit

Urtikaria
terlokalisir

Urtikaria meluas,
angioedema

Anafilaksis

Ruam kulit
hipersensitivitas

Eritema, gatal

Ruam
makulopapular
difus ATAU
deskwamasi
kering

Vesikulasi ATAU
deskwamasi
basah ATAU
ulserasi

SALAH SATU
DARI:
terkena membrane
mukosa,
suspek
Stevens-Johnson
(TEN), erytema
multiforme,

URAIAN

yang berlang-sung
>1 minggu

RESPIRASI
Dyspnea

URINALISIS
Proteinuri

LAIN-LAIN

dermatitis
exfoliativa
Lelah/lemah

Aktivitas normal
berkurang <25%

Aktivitas normal
berkurang
2550%

Aktivitas normal
berkurang >50%;
tidak dapat bekerja

Tidak mampu
merawat diri
sendiri

97

Lampiran 10. Tanda, Gejala Klinis, Pemantauan dan Penatalaksanaan


terhadap Gejala Efek Samping yang Berat dari ARV yang
Membutuhkan Penghentian Obat
Efek
Samping

Obat
Penyebab

Tanda/ Gejala Klinis

Tatalaksana

Hepatitis akut

NVP;
EFV jarang;
lebih jarang
dengan AZT,
ddl, d4T (<1%);
dan PI, paling
sering dengan
RTV

Kuning, pembesaran hati, gejala


gastrointestinal, capai, tidak
nafsu makan; NVP yang
berhubungan dengan hepatitis
dapat mempunyai komponen
hipersensitif (ruam karena obat,
gejala sistematik, eosinofilia)

Jika mungkin pantau


transaminase serum, bilirubin.
Semua ARV harus dihentikan
sampai gejala teratasi. NVP
harus dihentikan sama sekali
selamanya.

Pankreatitis
akut

ddl, d4T; 3TC


(jarang)

Mual, muntah dan sakit perut

Jika mungkin pantau amilase


dan lipase pankreas serum.
Semua terapi ARV harus
dihentikan sampai gejala
teratasi. Mulai kembali terapi
ARV dengan NsRTI yang lain,
lebih disukai yang tidak
menyebabkan toksisitas pada
pankreas (mis. AZT, ABC

Asidosis laktat

Semua analog
nukleosida
(NsRTI)

Gejala awal bervariasi: sindrom


prodromal klinis dapat berupa
kelelahan umum, lemah, gejala
gastrointestinal (mual, muntah,
pembesaran hati, tidak nafsu
makan, dan atau kehilangan
berat badan mendadak yang
tidak dapat dijelaskan), gejala
pernafasan (takipnea dan sesak
nafas) atau gejala neurologis
(termasuk kelemahan motorik).

Hentikan semua ARV; gejala


dapat berlanjut atau lebih buruk
setelah penghentian terapi ARV.
Berikan terapi penunjang. Obatobatan yang dapat
dipertimbangkan untuk memulai
terapi kembali termasuk
kombinasi PI dengan suatu
NNRTI dan kemungkinan salah
satu ABC atau tenofovir (TDF)

Reaksi
hipersensitif

ABC, NVP

ABC: kumpulan gejala awal


termasuk: demam, capai,
mialgia, mual/ muntah, diare,
sakit perut, faringitis, batuk,
sesak nafas (dengan atau tanpa
ruam). Walaupun gejala
bertumpang tindih dengan gejala
pernafasan dan gastrointestinal
yang timbul akut setelah
memulai ABC menunjukan khas
adanya reaksi hipersensitif.
NVP: gejala sistematik seperti
demam, mialga, nyeri sendi,
hepatitis, eosinofilia dengan atau
tanpa ruam.

Hentikan semua ARV sampai


gejala teratasi. Reaksi dapat
makin bertambah buruk secara
cepat dengan pemberian obat
dan dapat fatal. Berikan terapi
penunjang. Jangan coba lagi
dengan ABC (atau NVP), karena
reaksi anafilaktik dan kematian
telah pernah dilaporkan. Sekali
gejala teratasi, mulai kembali
ARV dan menggantinya dengan
NsRTI lain jika berhubungan
dengan ABC atau dengan obat
yang berdasarkan PI atau NsRTI
jika berhubungan dengan NVP.

Ruam hebat/
sindroma
StevensJohnson

NNRTI: NVP,
EFV

Ruam biasanya timbul dalam 2-4


minggu pertama pengobatan.
Ruam biasanya eritematus,
makulopapula, bersatu paling
banyak ditubuh dan lengan,
mungkin gatal dan dapat terjadi
dengan atau tanpa demam.
Sindrom Stevens-Johnson atau
nekrotik epidermal toksik
(SSJ/NET) terjadi pada +0,3%
orang terinfeksi yang menerima
NVP.

Hentikan semua ARV sampai


gejala teratasi. Hentikan sama
sekali NVP yang menimbulkan
ruam dengan gejala sistematik
seperti demam, ruam yang hebat
dengan lesi pada mukosa atau
gatal-gatal, atau SSJ/TEN;
begitu teratasi, ganti obat terapi
ARV dengan jenis ARV lainnya
(mis. 3 NsRTI atau 2 NsRTI dan
PI). Jika ruam tidak begitu hebat
tanpa gejala mukosa atau

98

Efek
Samping

Obat
Penyebab

Tanda/ Gejala Klinis

Tatalaksana
sistematik, ganti NNRTI (misal
NVP ganti dengan EFV) dapat
dipertimbangkan setelah ruam
teratasi.

Neuropati
perifer yang
hebat

ddl, d4T

Sakit, semutan, mati rasa pada


tangan dan kaki; kehilangan
sensori distal, kelemahan otot
ringan dan dapat terjadi
hilangnya refleks.

Hentikan NRTI yang dicurigai


dengan NRTI lain yang tidak
neurotoksik (mis. AZT, ABC),
gejala biasanya teratasi dalam
2-3 minggu.

99

Lampiran 11. Pemantauan ART pada kelompok risiko yang lebih sering
terjadi efek samping
Obat ARV

Toksisitas Utama

d4T

Lipodistrofi
Neuropati
Asidosis laktat

AZT

Anemia
Neutropenia

TDF

Gangguan fungsi ginjal

Teratogenik
EFV
NVP

100

Penyakit psikiatrik
Hepatoksiksitas

Keadaan risiko lebih tinggi untuk


terjadinya efek samping/toksisitas
Usia >40 tahun
Jumlah CD4 <200 sel/mm 3
BMI >25 (atau berat badan >75 kg)
Penggunaan bersama INH atau ddI
Jumlah CD4 <200 sel/mm 3
BMI <18.5 (atau berat badan <50 kg)
Anemia saat memulai
Adanya penyakit ginjal lain
Usia >40 tahun
BMI <18.5 (atau berat badan <50 kg)
Diabetes mellitus
Hipertensi
Penggunaan bersama dengan PI atau obat lain yang
nefrotoksik
Trimester pertama kehamilan (tidak boleh dengan EFV)
Depresi atau penyakit psikiatrik (sebelumnya atau saat
awal)
Ko-infeksi dengan HCV dan HBV

Lampiran 12. Perawatan gizi berdasarkan gejala efek samping ARV


Gejala

Manajemen

Tidak napsu
makan

Makan dengan frekuensi sedikit dan sering (56 kali/hari)


Makan kudapan yang bergizi
Minum banyak air
Berjalanlah sebelum makan udara segar membantu merangsang napsu
makan
Minta bantuan keluarga atau teman dalam mempersiapkan makanan
Lakukan olah raga dan aktivitas ringan
Tambahkan penyedap rasa pd makanan dan minuman

Ulkus mulut

Hindari makanan yg asam dan pedas serta buah yang asam


Makan makanan pd suhu ruangan
Makan makanan yang lunak dan berkuah
Hindari kafein dan alkohol

Kandidiasis

Makan makanan yang lunak, sejuk, dan tidak merangsang (seperti bubur,
havermut, sayur yang diblender, jus apel, susu)
Tambahkan bawang putih (pilihan)
Hindari gula (glukosa, gula tebu), ragi, kafein, makanan pedas, minuman
bersoda dan alkohol

Mual dan muntah

Makan dengan porsi sedikit tetapi sering


Hindari perut kosong karena akan memperparah mual
Makan makanan yang lunak
Hindari makanan yang berbau sangat menyengat dan tidak
menyenangkan
Minum banyak air
Istirahat dan santai setelah makan
Jangan segera berbaring setelah makan
Hindari kopi dan alkohol

Konstipasi

Makan makanan kaya-serat atau kecambah


Lakukan olah raga ringan dan aktivitas ringan
Minum banyak air
Minum air hangat

Anemi

Makan daging dan ikan


Makan sereal
Makan sayuran berwarna hijau. Cara terbaik bagi tubuh untuk
mengutilisasi besi dari sumber tumbuhan adalah dengan menggabungkan
makanan kaya-besi dan kaya vitamin C, seperti jeruk, lemon, tomat dan
pepaya

101

Lampiran 13. Penanganan Infeksi Oportunistik pada saat sedang dalam


pengobatan ARV
Situasi yang timbul

Penjelasan

Rekomendasi

Timbul IO pada saat


pengobatan < 12
minggu

Advance immunosupression,
sehingga pemberian ARV
belum dapat memulihkan
sistem kekebalan
sepenuhnya
Infeksi subklinis yang tidak
terdeteksi sewaktu skrining

Obati IO yang ditemukan dan lanjutkan


ARV

Timbul IO pada saat


telah terjadi viral
suppresion

Diagnosis Diferensial untuk


kondisi tersebut adalah
IRIS
Incomplete immunity yang
biasanya terjadi pada pasien
dengan CD4 awal < 50

Obati IO yang ditemukan, ARV


dilanjutkan
Pemberian steroid dengan dosis 1
mg/kg BB selam 2 4 minggu dan
dilakukan tapering off dapat
dipertimbangakan jika IRiS menjadi
diagnosis
ARV direkomendasikan HANYA jika
reaksi IRIS terbukti mengancam jiwa

Timbul IO pada
kondisi diduga
kegagalan terapi
ARV

Kegagalan Terapi

Pembuktian kegagalan terapi


menggunakan kegagalan klinis,
imunologis dan atau kegagalan
virologist
Obati Infeksi opportunistic
Penggantian rejimen lini pertama
menjadi lini kedua
Diadaptasi dari: Department of health and human services Centers for Disease Control and
Prevention. Guidelines for Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected
Adults and Adolescents. MMWR April 10, 2009 ; 58 (RR-4).

102

Lampiran 14.
-

Jaringan Internet yang Bermanfaat

http://www.who.int/hiv/en/
http://www.unaids.org/publications/documents/index.html
http://www.medscape.com/hiv
http://www.amfar.org
http://www.hivandhephepatitis.com
http://www.cdc.gov/hiv/topics/treatment/index.htm
http://www.cdc.gov/hiv/
http://www.aidsinfo.nih.gov/
http://www.hopkins-hivguide.org/
http://www.aidsmeds.com
http://www.aidsmap.com
http://www.aids.org
http://www.thebody.com/
http://www.hivnat.org
http://hivinsite.ucsf.edu/InSite
http://www.aegis.org/
http://www.natap.org/
http://spiritia.or.id/
http://aids-ina.org/
http://www.i-base.info/index.html

Juga dianjurkan untuk membaca situs web perusahaan farmasi pembuat obat
Antiretroviral.

103

Lampiran 15.

Daftar Rujukan

1. Buku dan acuan lain dalam bahasa Indonesia


1. Penatalaksanaan HIV dan AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar, oleh Dr.
Samsuridjal Djauzi dan Dr. Zubairi Djoerban. Fakultas Kedokteran
Unviversitas Indonesia, 2002
Hubungi Pokdis AIDS FKUI/RSCM, telp: (021) 390-5250 atau
E-mail: pokdisus@centrin.net.id
2. Pengobatan untuk AIDS: Ingin Mulai? Oleh Chris W.Green. Yayasan
Spiritia, 2009
3. Lembaran Informasi tentang HIV/AIDS untuk Orang yang Hidup dengan
HIV/AIDS (Odha). Yayasan Spiritia (sering diupdate)
Hubungi Yayasan Spiritia, telp: (021) 422-5163
info@spiritia.or.id, atau dapat diunduh dari situs
(http://spiritia.or.id/)

atau
web

E-mail:
Spiritia

2. Rujukan bahasa Inggris lain yang dapat diakses gratis dari

Internet
Catatan; sebagian buku tersebut tersedia versi cetakan secara gratis
atas permintaan pada penerbit
3. Antiretroviral therapy publications WHO
1. http://www.who.int/hiv/pub/arv/en/
2. Sources and Prices of Selected Medicines and Diagnostics for People
Living with HIV/AIDS. UNAIDS, UNICEF, WHO; 2005
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js8112e/
3. Sources and prices of selected medicines for children UNICEF 2009
http://www.unicef.org/supply/index_47129.html
4. Untangling the Web of antiretroviral price reductions: 11th edition MSF 2009
http://www.msfaccess.org/main/hiv-aids/untangling-the-web-of-antiretroviralprice-reductions-11th-edition/
5. Handbook on Access to HIV/AIDS-Related Treatment; A collection of
Information, tools and resources for NGOs, CBOs and PLWHA groups.
WHO, Mei 2003
http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/pub29/en/
6. Living Well with HIV DAN AIDS: A Manual on Nutritional Care and Support
For People Living with HIV DAN AIDS. FAO 2002
7. http://www.fao.org/DOCREP/005/y4168E/Y4168E00.HTM
8. Community Home-Based Care in Resource-Limited Setting: A Framework
for Action. WHO

104

http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/pub14/en/
9. Improving Access to Care in Developing Countries: Lessons from Practice,
Research, Resources and Partnerships. Repaort from a meeting:
Advocating for access to care and sharing experiences. WHO December
2001
http://www.who.int/hiv/pub/prev_care/care/en/
10. Aid for AIDS South Africa Clinical Guidelines 2009
http://www.aidforaids.co.za/EX_Medscheme_VS07/Documents/AFA/Guideli
nes_book_Final.pdf
11. Clinical Guide on Supportive and Palliative Care for People with HIV/AIDS.
The HIV/AIDS bureau of Health Resources and Services Administration
http://hab.hrsa.gov/tools/palliative/
12. A Guide to the Clinical Care of Women with HIV/AIDS, 2005 edition. The
HIV/AIDS Bureau of Health Resources and Services Administration
http://hab.hrsa.gov/publications/womencare05/
13. Clinical Management of the HIV-Infected Adult: A Manual For Midlevel
Clinicals, oleh Patricia Yeargin, Rosemary Donnelly, dan Dianne Weyer,
RN, MN, CFNP. Southeast AETC and MATEC, Maret 2003
http://www.aids-etc.org/pdf/tools/se_midlevel_2003.pdf
14. Tool to Assess Site Readiness for Initiating Antiretroviral Therapy (ART).
John Snow International/Deliver, 2007.
http://www.jsi.com/Managed/Docs/Publications/HIVAIDS/art_stages_of_rea
diness_tool_v1-3.pdf
15. Pocket Guide to Adult HIV/AIDS Treatment: 2008-09 Johns Hopkins
University Division of Infectious Diseases
http://www.hopkinshivguide.org//publications/main/pocket_guide_to_adult_hiv_aids_treatment/
pocket_guide_to_adult_hiv_aids_treatment.html
16. A Practical Guide to HIV Drug Side Effects. CATIE, Revised 2006
http://www.catie.ca/sideeffects_e.nsf
17. A Practical Guide to HAART (Highly Active Anti-retroviral Therapy). CATIE,
Revised 2006
http://www.catie.ca/PG_HAART_e.nsf/
18. Managing Drug Side Effect. The AIDS Community Research Initiative of
America (ACRIA).
http://www.acria.org/index.php?q=publications/educational-booklets/sideeffects
19. Patient Information Booklet Series: Adherence; Anti-HIV Drugs; Clinical
Trials; Glossary; HIV & Hepatitis; HIV Therapy; Lipodystrophy; Nutrition;
Resistance; Viral Load & CD4 Count; dll. NAM (UK).
http://www.aidsmap.com/cms1187580.asp
105

20. Patient booklets: Introduction to combination therapy; Avoiding and


managing side effects; Changing treatment; dll. HIV i-Base.
http://www.i-base.info/guides/index.html
21. Recreational Drugs and HIV Antivirals: A Guide to Interactions for
Clinicians. NY/NJ AIDS education Training Center, Fall 2002.
http://www.nynjaetc.org/final_verson.pdf
22. Handbook on access to HIV/AIDS-related treatment : a collection of
information, tools and resources for NGOs, CBOs and PLWHA groups.
UNAIDS, WHO dan International HIV/AIDS Alliance, Mei 2003.
http://data.unaids.org/Publications/IRC-pub02/jc897handbookaccess_en.pdf
4. Newsletter dalam Bahasa Inggris yang dikirim melalui pos:
1. HIV treatment Bulletin penerbitan pengobatan bulanan Inggris.
http://www.i-base.info/forms/postsub.php
5. Newsletter dalam bahasa Inggris yang dapat diakses gratis

di Internet:
1. HIV & AIDS Treatment in practice (HATIP) is an E-mail newsletter for
doctors, nurses, other health care workers and community treatment
advocates working in limited-resource setting. The newsletter is published
twice a month by NAM.
2. If you have web access, sign up at:
http://www.aidsmap.com/en/main/ emailupdate.asp
6. Milis Internet:
1. Indonesian-FACT (Indonesian Forum on AIDS Care and Treatment): adalah
forum untuk mendiskusikan perawatan dan pengobatan HIV DAN AIDS di
Indonesia.
2. Subscribe dengan kirim E-mail kosong ke: Indonesian-FACT-subscribe@
yahoogroups.com
3. WartaAIDS adalah forum diskusi dan Tanya/jawab untuk mereka yang
terkait dengan perawatan dan dukungan untuk Odha di Indonesia.
4. Subscribe dengan
yahoogroups.com

kirim

E-mail

kosong

ke:

wartaaids-subscribe@

5. AIDS-INA adalah diskusi tentang topik yang berkaitan dengan masalah


HIV/AIDS, serta topik lain terkait.
6. Subscribe dengan
yahoogroups.com

kirim

E-mail

kososng

ke:

aids-ina-subscribe@

7. The goal of ProCAARE is to provide a forum for dialogue among clinical and
public health physicians, nurses, researchers, policy makers, program

106

managers, and other interested health practitioners both in the developing


and industrialized world who are engaged in the fight against AIDS.
8. Join ProCAARE for free by sending an empty E-mail to: procaarejoin@healthnet.o

107

Anda mungkin juga menyukai