Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Akalasia adalah gangguan motilitas esofagus primer yang ditandai dengan
tidak adanya peristaltik esofagus dan relaksasi lower esophageal sphincter (LES)
akibat kerusakan pleksus myenteric. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada
tahun 1674 ketika Sir Thomas Williams melaporkan adanya penyumbatan
makanan di dalam kerongkongan yang tidak diketahui penyebabnya. Prinsip
pengobatannya saat itu masih sederhana, dengan mengdilatasikan

sphincter

oesofagus dengan menggunakan alat yang dinamakan cadver whalebone.1,2


Penyakit ini pertama kali disebut akalasia (Greek untuk "kurangnya relaksasi")
oleh Arthur Hurst pada awal 1927. Asal kata akalasia berupa kalasis ( berarti
loosening) atau khalan (berarti relax). Selain gejala khas disfagia (menelan sulit)
untuk makanan cair dan padat, pasien juga sering mengeluh nyeri dada dan
regurgitasi. Karena dengan prevalensi rendah penyakit, sebagian besar dokter
umum pada klinik perawatan jarang menemukan pasien akalasia dalam praktek
mereka sehari-hari. Namun, untuk mengetahui presentasi klinis achalasia adalah
penting agar dapat segera merujuk pasien untuk prosedur diagnosis yang tepat dan
pengobatan dini perjalanan penyakit.1
Akalasia sulit untuk disembuhkan disembuhkan. Sebaliknya, tujuan
pengobatan adalah untuk meringankan gejala, meningkatkan pengosongan
esofagus dan mencegah pengembangan menjadi megaesophagus. Terapi yang
paling sukses adalah pneumatic dilation dan bedah myotomi. Namun ada
beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa bedah myotomi. Keuntungan dari
pneumatic dilation adalah rasa sakit yang minimal, Quality of life yang baik, ,
dan dapat dilakukan dalam kelompok usia dan bahkan selama kehamilan. Selain
itu pneumatic dilation memerlukan biaya yang lebih murah daripada Heller
myotomy.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI1
Akalasia oesofagus/kardiospasme/dilatasi esofagus idopatik adalah suatu
gangguan neuromuskular dimana terjadi kegagalan relaksasi pada batas
esofagogastrik di lower esophageal sphincter pada proses menelan, sehingga
menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa
turunnya makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses
menelan.
B. EPIDEMIOLOGI2
Studi ini menunjukkan bahwa kejadian adalah sekitar 1 dari 100.000 orang per
tahun dan prevalensi maksimal adalah 10 di 100.000. Tidak ada dominasi jenis
kelamin dan penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, meskipun diagnosis
akalasia lebih sering terjadi pada usia yang lebih tua, dengan insiden tertinggi
pada usia diatas

70 tahun dan

beberapa kejadian

pada range

20-40 tahun. Suatu penelitian internasional melaporkan bahwa dari 28


populasi di 26 negara, angka kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru
dengan angka kematian 20%. 4
C. ETIOLOGI3,6,10
Etiologi dari akalasia tidak diketahui secara pasti. Tetapi, terdapat bukti bahwa
degenerasi plexus Auerbach menyebabkan kehilangan pengaturan neurologis.
Beberapa teori yang berkembang berhubungan dengan gangguan autoimun,
penyakit infeksi atau kedua-duanya.
Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu :
1. Akalasia primer,(yang paling sering ditemukan). Penyebab yang jelas
tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat
lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus
pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh
pada kelainan ini.

2. Akalasia sekunder, (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh


infeksi, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan
ekstraluminer seperti pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat
disebabkan oleh obat antikolinergik.
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik
diteraukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach
sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktorfaktor

seperti

herediter,

infeksi,

autoimun,

dan

degeneratif

adalah

kemungkinan penyebab dari akalasia.


1. TeoriGenetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia.
2. Teori Infeksi
Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,
clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio
dan measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik
esofagus uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti
yang paling kuat mendukung faktor infeksi neurotropik sebagai etiologi.
Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satusatunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh epitel
sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua, banyak
perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor
neurotropik virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan
hubungan antara measles dan varicella zoster pada pasien akalasia.
3. Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi
oleh limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua,
prevalensi tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan

dengan penyakit autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia


ditemukan autoantibodi dari pleksus mienterikus.
Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis,
seperti penyakit Parkinson dan depresi.
D. PATOGENESIS1,5,6,10
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta
neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan vasoactve intestinal
peptide.Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia:
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon
gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB
basal normal rata-rata 20 mmHg. Paa akalasia tekanan SEB meningkat
sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg. Gagalnya relaksasi SEB
ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan
normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan
tidak dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini berakibat tertahannya
makanan dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan relaksasi sempurna
akan menyebabkan adanya tekanan residual. Bila tekanan hidrostatik
disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual, makanan dapat
masuk ke dalam lambung.
2. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara
manometrik pada keadaan normal dan akalasia.
Pada literature lain juga menyebutkan bahwa patofisiologi akalasia, dimana
macam-macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak dikemukakan.
4

Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal : hilangnya sel-sel


ganglion dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya (misal : perubahan
degeneratif dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun
kelaianan otot dan mukosa) biasanya merupakan penyebab sekunder dari
stasis dan obstruksi esofagus yang lama.
a. Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik
Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus
motoris dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan
peristaltik yang merupakan respon dari proses menelan. Dengan
mikroskop cahaya, serabut saraf vagus terlihat normal pada pasien
akalasia. Namun demikian, dengan menggunakan mikroskop elektron
ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari n. vagus dengan
disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann dan
degenarasi dari sehlbung myehn, yang merupakan perubahanperubahan yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.
b. Kelainan pada Innervasi Intrinsik.
Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi
disepanjang badan esofagus dan LES yang timbul pada proses
menelan. Inhibisi ini penting untuk menghasilkan peningkatah
kontraksi yang stabil sepanjang esofagus, dimana menghasilkan
gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada akalasia, sistem saraf
inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai inflamasi
dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus
Auerbach.
c. Kelainan Otot Polos Esofagus.
Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya
menebal pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara
mendetail beberapa kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses
esofagektomi. Hipertrofi otot muncul pada semua kasus, dan 79% dari
specimen memberikan bukti adanya degenerasi otot yang biasanya
melibatkan fibrosis tapi tennasuk juga nekrosis likuefaktif, perubahan
vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa perubahan
degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya

oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan


lain menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari
hilangnya persarafan.
d. Kelainan pada Mukosa Esofagus.
Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal
kronik yang telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus,
mukosa skuamosa dari penderita akalasia menandakan hiperplasia
dengan papillamatosis dan hiperplasia sel basal. Rangkaian p53 pada
mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi sel CD20+, situasi ini
signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan berhubungan
dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien akalasia.
e. Kelainan Otot Skelet.
Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas
terganggu pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet
normal tetapi amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk.
juga melaporkan bahwa refleks sendawa juga terganggu. Ini
menyebabkan esofagus berdilatasi secara masif dan obstruksi jalan
napas akut.
E. GEJALA KLINIS4,6,7,8
Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress
emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh
terasa ditikam oleh bolus makanan, resa penuh terasa di bagian bawah
sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahuntahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan
makin sering. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu minum
yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus. Gejala lain yang sering
didapatkan adalah regurgitasi pada sekitar 70% kasus. Regurgitasi ini
berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh
karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini
berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda bahwa regurgitasi
berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit.
Penurunan berat badan merupakan gejala ketiga yang sering ditemukan. Hal
6

ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila keadaan
ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan kembali karena
pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan meningkatkan
tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter esofagus bagian
bawah. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum diagnosis ditegakkan
dan ditemukan pada 50% kasus. Sekitar 25 50 % kasus dengan disfagia juga
disertai dengan nyeri dada yan biasanya tidak begitu dirasakan oleh pasien.
Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan dapat menjalar ke belakang . bahu,
rahang, dan tangan yang biasanya dirasakan bila minum air dingin.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah komplikasi retensi makanan dalam
bentuk batuk-batuk dan pneumonia aspirasi. Pemeriksaan fisis tidak banyak
membantu dalam menentukan gejala objektif yang nyata. Kumpulan gejala
yang ada pada pasien akalasia berupa.
1. Sulit menelan (disfagi) baik cair dan padat. Disfagia, merupakan keluhan
utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba
setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung
sementara atau progresif lambat.
2. Pasien mepunyai sensasi makanan menyumbat pada bagian bawah
esophagus.
3. Muntah, secara spontan aau sengaja untuk menghilangkan ketidak
nyamanan
4. Nyeri dada dan ulu hati (pirosis). Nyeri bisa karena makanan atau tidak.
5. Kemungkinan komplikasi pulmonal akibat aspirasi isi lambung.
6. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di
daerah substernal.
7. Regurgitasi isi esophagus yang stagnan. Regurgitasi dapat timbul setelah
makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari
pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi
dan abses paru.
8. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah
epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.

9. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada
substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.
F. DIAGNOSA3,4,9
Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang bermakna,
kecuali jika terjadi komplikasi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa:
1. Pemeriksaan Radiologik
Pada foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung-gelembung
udara pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air
fluid level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram
barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua
pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta
gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric
junction yang menyerupai seperti bird-beak like appearance. Pada
pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran penyempitan dan
stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus bagian proksimal.
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok
dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan
yang halus memberikan gambaran paruh burung (birds beak appearrance).
Bagian esofagus yang berdilatasi tampak hipertropi dengan dinding yang
menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan tanda elongasi. Pada
pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus
esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan
memberikan

makanan

yang

mengandung

radioisotop

dan

akan

memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di samping itu, terdapat


pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam lambung akibat
gangguan pengosongan esofagus.
2. Pemeriksaan Esofagoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua
pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan
adanya esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab
dari obstruksi, dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada
8

pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal


yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian
proksimal dari daerah penyempitan, -tanda esofagitis akibat retensi
makanan. Sfingter esofagus bawah akan terbuka dengan Mukosa esofagus
berwarna pucat, edema dan kadang-kadang terdapat tanda melakukan
sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat masuk ke
lambung dengan mudah. Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan
esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang
didapatkan hiperemia ringan difus di bagian distal esofagus. Juga
didapatkan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat
retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kelainan
karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk
diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat
penunjuk arah sebelum tindakan dilatasi pneumatik.
3. Pemeriksaan Manometrik
Gunanya untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini
untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif.
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan
manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah
fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan
esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter
esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan
mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan
istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik
sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter
esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi
sfingter pada waktu menelan
Kriteria Manometrik :
a. Keadaan normal :
Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan

Gelombang tunggal 5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal

rata-rata 30 detik
b. Pada akalasia :
Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
Relaksasi SEB tidak sempurna
Aperistaltik korpus esofagus
Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)

G. PENATALAKSANAAN2,3,7
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet
tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).
Pasien harus diintruksikan untuk makan dengan perlahan dan minum

cairan pada saat makan.


Kalsum dan nitrit, digunakan untuk menurunkan tekanan esophagus
dan memperbaiki menelan, jika tidak berhasil dilakukan pembedahan

dengan dilatasi pneumetik atau pemisaha serat otot.


Akalasia dapat diobati secara konserfatif dengan meregangkan area
esophagus yang menyempit disertai dilatasi pneumatic.

1. Terapi non bedah


a. Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau
10 mg PO, dan juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus
bawah relaksasi dan membantu membedakan antara suatu striktur
esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu,
dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30
mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus
bawah. Namun demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil
dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lansia
yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation atau
pembedahan.

10

b. Injeksi Botulinum Toksin


Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara
neurotransmiter

eksitasi

dan

inhibisi.

Dengan

menggunakan

endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang


dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan
45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat
di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara
caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100
unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada
setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1
bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun
demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien
yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah
terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah
beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai
tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi
menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia
yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.
c. Pneumatic Dilatation
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama
bertahun-tahun.

Suatu

baton

dikembangkan

pada

bagian

gastroesophageal junction yang bertujuan luituk merupturkan serat


otot, dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan
awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10
tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio
terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera
dibawa ke ruang operasi untuk penurupan perforasi dan miotomi yang
dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal

11

reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam
penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi
Heller.

Gambar 1. Pneumatic dilation


d. Obat-Obat Oral
Obat-obat oral yang membantu mengendurkan sphincter esophagus
bagian

bawah

termasuk

kelompok-kelompok

obat

yang

disebut nitrates, contohnya isosorbide dinitrate (Isordil) dancalciumchannel blockers, contohnya nifedipine (Procardia) dan verapamil
(Calan). Meskipun beberapa pasien-pasien dengan achalasia, terutama
pada awal penyakit, mempunyai perbaikan dari gejala-gejala dengan
obat-obat, kebanyakan tidak. Dengan mereka sendiri, obat-obat oral
mungkin menyediakan hanya pembebasan jangka pendek dan bukan
jangka panjang dari gejala-gejala achalasia, dan banyak pasien-pasien
mengalami efek-efek sampingan dari obat-obat.
2. Terapi bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah
suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari
suatu pemisahan serat otot (mis: miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5
cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial
fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit
selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari setelah kira-kira 2
minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala

12

sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara
10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan
rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia
esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan
membutuhkan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (mis:
esofagektomi)
H. KOMPLIKASI9
Komplikasi yang paling sering muncul pada akalasia yang lama adalah
karsinoma esofagus.
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada
esofagus adalah sebagai berikut :
1. Bronkhitis
2. Pneumonia aspirasi
3. Abses oesofagus
4. Perforasi esofagus.
5. Small cell carcinoma
6. Sudden death
7. Esophagitis.
I. PROGNOSIS10
Bila pasien akalasia mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan
khususnya pada penanganan pneumatic dilation maka quality of life akan baik.
Begitu juga bila ditangani secara dini, prognosis pasien baik. Namun bila
sudah terjadi komplikasi, kemungkinan kematian bisa terjadi.

BAB III
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
13

Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Pekerjaan
No. RM
Ruang pemeriksaan
Tanggal periksa RS

: Tn. ML
: 46 tahun
: Laki-laki
: Masohi
: Swasta
: 058419
: Poli THT Radiologi Bedah digestive
: 11 13 Juni 2014

II.
ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Rasa mengganjal di tenggorokan saat menelan.
B. Keluhan penyerta :
1. Keluar darah dari mulut berupa gumpalan 2 kali sejak 2 bulan yang
lalu
2. Rasa penuh di dada.
3. Sering bersendawa.
4. Nyeri menelan (-)
C. Riwayat penyakit sekarang
:
Pasien datang dengan keluhan rasa mengganjal di tenggorokan saat menelan
sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya pasien tidak terlalu terganggu dengan
keluhan, namun 1 bulan belakangan, keluhan yang dialami pasien semakin
berat, sehingga menyebabkan pasien hanya bisa memakan bubur. Namun
kadang kala ringan. Pasien pernah keluar darah berupa gumpalan dari mulut
sejak 2 bulan yang Pasien juga merasa rasa penuh di dada dan sering
bersendawa. Pasien juga merasa ingin muntah. Batuk (-), demam (-), nyeri
menelan (-).
D. Riwayat penyakit dahulu : Menurut pasien, pasien pernah menderita radang
paru-paru.
E. Riwayat Kebiasaan

1. Riwayat sering merokok 1 bungkus per hari


2. Riwayat makan cepat
F. Riwayat pengobatan

: Tidak ada

G. Riwayat Keluarga

: Tidak ada

14

III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan umum
: Baik
2. Kesadaran
: Kompos mentis
3. TD
: 140/90
4. Nadi
: 80x/menit
5. Suhu badan : 36,5 C
6. Pernapasan : 22x/menit
7. Kepala
: Normocephali
8. Mata
: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+)
9. Leher
10. Thorax

: Pembesaran kelenjar (-), massa (-)


: Simetris kiri = kanan, normochest, nyeri tekan (-),Rh -/-,

wh -/11. Jantung
12. Abdomen
13. Ekstermitas

: Bunyi jantung I/II regule, murmur (-), gallop (-)


: Peristaltik (+), massa (-)
: Deformitas (-), edema (-), hematom (-)

B. Status THT
1. Pemeriksaan telinga
TELINGA LUAR
Daun telinga
Preaurikuler

LIANG TELINGA
Lapang/sempit
Warna
Sekret
Serumen
MEMBRAN
TIMPANI
Intak
Refleks cahaya
Hiperemis

KANAN
Normotia,
Nyeri tekan/tarik (-)
Udem (-)
Hiperemis (-)
Fistula (-)
KANAN
Lapang
Hiperemis (-)
Tidak ada
Sedikit
KANAN

KIRI
Normotia,
Nyeri tekan/tarik (-)
Udem (-)
Hiperemis (-)
Fistula (-)
KIRI
Lapang
Hiperemis (-)
Tidak ada
Sedikit
KIRI

(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
Tabel 3.1 Pemeriksaan telinga

2. Pemeriksaan hidung
Bentuk hidung luar
Deformitas
Nyeri tekan

Kanan
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada

15

Kiri
Tidak ada kelainan
Tidak ada
Tidak ada

Krepitasi
Nyeri tekan sinus
Cavum
Concha
Septum

IV.

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
RINOSKOPI ANTERIOR
Kanan
Kiri
Lapang, sekret (-)
Lapang, sekret (-)
Udem (-), hipertrofi (-) Udem (-), hipertrofi (-)
Deviasi (-)
Deviasi (-)
RINOSKOPI PORTERIOR
Tidak ada kelainan
TRANSILUMINASI
Tidak dilakukan
Tabel 3.2 Pemeriksaan hidung

3. Pemeriksaan faring
Tonsila palatina
Uvula
Dinding faring

: T1/T1, hiperemis (-), kripta (-)


: Deviasi (-)
: granulasi (+), hiperemis (-)

4. Pemeriksaan laring
Epiglotis
Pita suara
Muara oesofagus

: Normal, edema (-)


: Normal
: Normal, hiperemis(-)

5. Pemeriksaan Leher
Kelenjar limfe
Tiroid

: Tidak ada pembesaran


: Tidak ada pembesara

PEMERIKSAAN PENUNJANG

16

Gambar 2. Pemeriksaan Foto polos Upper Gastrointestinal dan


Oesofagografi dengan kontras barium
Hasil kontras:
Kontras Barium yang telah diencerkan, diminumkan ke

penderita secara perlahan.


Tampak kontras mengisi oesofagus proximal sampai distal

dengan lancar
Tampak gambaran dilatasi oesopaghus proximal
Gambaran gaster tampak dengan formasi normal
Kesimpulan : Akalasia oesofagus.
V.

RESUME
Pasien laki-laki, umur 46 tahun, datang dengan keluhan rasa mengganjal di
tenggorokan saat menelan sejak 1 tahun yang lalu. Keluar darah
gumpalan dari mulut 2 bulan yang lalu, rasa rasa penuh di dada dan sering
bersendawa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan granulasi (+) pada dinidng
faring. Pemeriksaan foto oesofagus didapatkan dilatasi oesofagus proximal

VI.
VII.

dengan kesimpulan akalasia oesofagus.


DIAGNOSIS KERJA : AKALASIA OESOFAGUS
DIAGNOSA BANDING
1. Karsinoma oesofagus
2. Eosinophilic oesophagitis
3. Herniasi oesofagus

17

BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. PEMBAHASAN
Pada anamnesis, didapatkan pasien laki-laki, umur 46 tahun,
datang dengan keluhan rasa mengganjal di tenggorokan saat menelan sejak
1 tahun yang lalu. Keluar darah gumpalan dari mulut 2 bulan yang lalu,
rasa rasa penuh di dada dan sering bersendawa. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan granulasi (+) pada dinding faring.
Dari keterangan diatas, dicurigai penderita mengalami gejala-gejala
yang mengarah pada diagnosis akalasia oesofagus, tumor, esofagitis,
herniasi oesofagus, dan GERD,

ditandai dengan gejala disfagi yang

merupakan keluhan utama dari pasien. Menurut Richter dkk, keluhan


disfagi mengarahkan pemeriksa kepada penyakit-penyakit seperti tumor
esofagus, radang pada esofagus, adanya herniasi, dan adanya pelebaran
pada bagian esofagus. Dan untuk mencari diagnosis yang tepat beberapa
pemeriksaan harus dilanjutkan, seperti foto kontras esofagu. Jika perlu,
dilakukan pemeriksaan manometrik untuk menilai peristaltik esofagus

18

yang abnormal. Untuk pemeriksaan gold standar yang dianjurkan adalah


pemeriksaan radiologis dengan menggunakan kontras, dimana cairan
kontras barium yang sudah diencerkan diminumkan 100cc secara perlahan,
kemudian, dilihat pergerakannya. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah skintigrafi dengan memberikan makanan yang mengandung
radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa kontraksi. Di
samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam
lambung akibat gangguan pengosongan esofagus. Dari pasien ini,
dilakukan pemeriksaan radiologi berupa foto polos dengan kontras barium,
dan didapatkan kesimpulan foto adalah akalasia oesofagus dengan kesan
adanya dilatasi pada bagian proximal oesofagus.
Kemudian direncanakan esofagoskopi untuk lebih memastikan
diagnosa. Selain itu esofagoskopi juga bertujuan untuk menilai adanya
obstruksi

ataupun

tanda-tanda

peradangan,

serta

menyingkirkan

kemungkinan adanya keganasan yang dapat mempengaruhi kerja


peristaltik oesofagus sehingga timbul gejala seperti akalasia. Selain itu,
pemeriksaan ini untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan derajat
keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi. Pada pemeriksaan ini,
akan didapatkan pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang
menyempit. Esofagoskopipada akalasia selain untuk diagnosis juga dapat
membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah sebelum
tindakan dilatasi pneumatik. Untuk melakukan esofagoskopi, pasien
dipuasakan 6-8 jam sebelum dilakukan tindakan. Namun karena pasien
yang tidak kooperatif, pelaksanaan esofagoskopi belum dilakukan sampai
sekarang.
Jika sudah dipastikan akalasia, maka dilakukan perawatan
selanjutnya. Pasien dirawat inapkan, kemudian diberikan obat-obat untuk
mengrelaksasikan

sfingter

oesofagus

bagian

bawah,

seperti

contohnya isosorbide dinitrate (Isordil) dan calcium-channel blockers.


Kemudian dievaluasi apakah masih ada gejala atau tidak, khususnya
disfagi. Jika tidak ada perubahan diberikan obat injeksi seperti
nitroglycerin 5 mg atau botulinum injeksi 80-100 mL/u. Kemudian
19

perencanaan tindakan pemasangan balon atau tindakan bedah dapat


dipikirkan.
B. KESIMPULAN
Akalasia esofagus adalah suatu gangguan neuromuskular yang bersifat
idopatik, dengan gejala utama disfagi. Mekanisme terjadinya akalasia pada
intinya karena peristaltik yang kurang, dan ketidakmampuan sfingter
esofagus bawah berelaksasi, sehingga terjadinya dilatasi pada bagian
proximal. Untuk itu, pemeriksaan standar untuk menetukan diagnosis
akalasia adalah dengan pemeriksaan foto oesofagus menggunakan barium
kontras dimana terdapat dilatasi pada bagian proximal. Akalasia tidak
dapat sembuh sempurna, sehingga, tujuan pengobatan adalah untuk
meringankan gejala, meningkatkan pengosongan esofagus dan mencegah
pengembangan menjadi megaesophagus.
Untuk penatalaksanaan akalasia sendiri, dapat digunakan obat-obat untuk
merelaksasikan sfingter esofagus bawah, ataupun dapat dilakukan
pemasangan balon (pneumatic dilation) bahkan tindakan pembedahan.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Daniel Pohl, Radu Tutuian. Achalasia: an Overview of Diagnosis and
Treatment. Division of Gastroenterology and Hepatology, Department of
Internal Medicine, University Hospital, Zurich, Switzerland. 2010
2. Vance A. Achalasia Current Treatment. Vanderbilt University Medical
Centre. 2012
3. Joe Richter. Management of achalasia: surgery or pneumatic dilation.
Group bmj. 2012
4. Francis D. Achalasia: Update on the Disease and Its Treatment. Division
of Gastroenterology and Hepatology, Mayo Clinic, Rochester, Minnesota.
2010
5. Orla M ONeill. Achalasia: A review of clinical diagnosis, epidemiology,
treatment and outcomes. World Journal Gastroenterology. Baishideng.
2013
6. Michael F. Vaezi , et all. ACG Clinical Guideline: Diagnosis and
Management ofAchalasia. nature publishing group. Texas. 2013
7. J . M. Lake. Review article: the management of achalasia a comparison
of different treatment modalities. Blackwell Publishing. USA. 2010
8. Pedro M. Fernandez. Esophageal achalasia of unknown etiology in
children. Jornal de Pediatria. Brasil. 2004
9. Nathaniel J. Soper. Treatment of Achalasia in 2013: Dilation,Heller, or
POEM?. Northwestern Medicine. Chicago. 2013
10. Emirza N. Akalasia. Departemen Ilmu Bedah RSCM. 2010

21

Anda mungkin juga menyukai