Anda di halaman 1dari 8

Tatalaksana umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam tifoid
selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun
parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita
demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu
90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan
pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak
menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga faktor
tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak,
terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini
pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin.
Mekanisme kerja Kloramfenikol yaitu menghambat sintesis protein kuman dengan cara
berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol
bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti riketsia, salmonella, klamidia,
mikoplasma dan beberapa strain kuman gram positif dan gram negative. Dosis pada anak adalah
50-100 mg/kgBB/hari. Kekurangan dari kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (57%), angka terjadinya karier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa
obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan
Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali
timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,
trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah
memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas
pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif

dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan
pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.

Kloramfenikol tergolong obat lama yang diberikan untuk pengobatan demam tifoid
pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari
bakteri Streptomyces venezuelae. Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua
wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang diproduksi dalam
skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia
aplastik yang serius dan berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena
alasan itulah, dengan pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya
tetap menjadi terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan

untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju. Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan
obat pilihan pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini
dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini pertamanya
adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam tifoid pada orang dewasa.
Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang
baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan
harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat
menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel
menunjukkan kecepatan penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus
demam tifoid pada anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan
efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan
agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome.
Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid
dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia masih sangat


endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok Indonesia dengan higienitas
masyarakatnya yang masih sangat rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan
kesehatan yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya di
Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada pengobatan demam tifoid
tanpa komplikasi. Selama kurun waktu 4 tahun (2008 2012), jumlah kasus demam tifoid yang
dirawat di RSCM dan mendapat pengobatan kloramfenikol sebanyak 13 orang, dengan hasil
membaik pada demam atau hari sakit ke-6 sebanyak 23,1%. Sedangkan berdasarkan pola kuman

dan uji kepekaan terhadap antibiotik di RSCM pada tahun 2009-2010, menunjukkan jumlah
spesimen dengan hasil biakan S. typhi yang positif ada 8 spesimen. Dari biakan tersebut,
sensitifitas kloramfenikol menunjukkan lebih dari 75%. Amoksisilin dan ampisilin mempunyai
kemampuan sebagai obat demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih
dibawah kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan lekopenia
yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten terhadap kloramfenikol.
Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin dianggap tidak membawa keuntungan yang
signifikan bila dibandingkan dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan
Amoksisilin- Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian amoksisilin
oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV untuk mengobati demam
tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari
pengobatan.
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol dalam
mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasuskasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Sefiksim tidak digunakan sebagai obat
lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada
kasus demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan sebagai
terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson.
Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk kasus demam tifoid yang MDR juga
angka kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat ini bekerja dengan menginhibisi
pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang
berasal dari sel THP-1.
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti
efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu
penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi
pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan
pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang
tidak komplikasi.
Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim
diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik
untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin

generasi ini. Bahkan untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat
seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai terapi
alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya
diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah
dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon, termasuk siprofloksasin,
ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan obat pilihan yang optimal untuk
pengobatan demam tifoid, khususnya pada dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat
efikasinya yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak digunakan
secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah banyak ditemukan kasus
demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon. Penggunaannya pada anak masih kontroversial,
mengingat efek obat ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga
disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid, sementara
di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus yang dicurigai resisten
terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa
digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya.
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin dengan dosis
40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3
dosis peroral atau trimetropimsulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka
kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid.
Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid, beberapa obat dapat
dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir
tidak sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.

Sumber:

Hadinegoro S, Kadim M, Devaera Y. Update Management of Infectious Diseases


and Gastrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta; 2012


Irawati N A. Manajemen Demam Tifoid Pada Anak Balita, dalam Jurnal Medula Unila.
Volume 5 Nomor 1. Lampung; 2016.

Anda mungkin juga menyukai