Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas di
seluruh dunia. Penyebab tersering adalah kecelakaan motor atau mobil, jatuh,
cedera saat berolahraga, dan pemukulan. Cedera yang terjadi dapat berkisar dari
gegar ringan hingga gangguan otak permanen yang berat. Konsekuensi dari cedera
kepala dapat berdampak pada seluruh aspek kehidupan pasien, termasuk
kemampuan fisik dan mental juga emosi dan kepribadian.1,2,3
Secara umum, cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer terjadi akibat adanya pukulan pada
kepala secara langsung, baik dari trauma tajam atau tumpul, sehingga dapat
mempengaruhi lobus tertentu atau keseluruhan otak. Cedera kepala sekunder
terjadi karena adanya respon inflamasi dari tubuh akibat cedera kepala primer.
Cairan tambahan dan nutrisi berkumpul mencoba untuk menyembuhkan cedera
yang ada. Di bagian tubuh lain, proses ini baik dan memberikan hasil yang baik
juga dalam proses penyembuhan. Namun, inflamasi otak dapat berbahaya karena
tengkorak membatasi ketersediaan ruangan untuk cairan tambahan dan nutrisi.
Pembengkakan otak meningkatkan tekanan intrakranial sehingga bagian otak
yang tadinya tidak cedera menjadi cedera. Kemudian berdasarkan keparahan dan
mekanisme cedera, dibagi menjadi cedera kepala ringan, cedera kepala sedang,
dan cedera kepala berat.1,2,3
Tipe cedera kepala terbagi menjadi 2 (dua), yaitu cedera kepala fokal dan
cedera kepala difus. Cedera kepala fokal adalah cedera yang terjadi hanya pada
area otak tertentu, yaitu kontusi dan hematom. Cedera kepala difus adalah cedera
kepala yang mencakup semua bagian otak, yaitu gegar otak, kerusakan akson
difus (diffuse axonal injury/DAI), dan perdarahan subaraknoid traumatik. Dari
sumber lain disebutkan kerusakan otak difus mencakup DAI, kerusakan vaskular
difus, dan iskemik/hipoksia difus.1,2,3
Pada referat ini, akan dibahas mengenai kerusakan akson difus (diffuse
axonal injury (DAI)).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi1,4,5,6,7,8
Kerusakan akson sering merupakan akibat dari cedera kepala traumatik
yang dapat menyebabkan kerusakan fokal seperti kontusi, laserasi, atau
hemoragik. Berdasarkan beratnya trauma, cedera akson dapat dibagi menjadi
cedera akson fokal, multifokal, atau difus. Cedera akson fokal dan multifokal
terlihat pada satu atau beberapa area di supratentorial, sebagian besar di korpus
kalosum dan kapsul internal.

Gambar 1. Saat terjadinya benturan pada kepala, otak bergerak ke belakang


kemudian ke depan di dalam tengkorak sehingga menyebabkan luka, perdarahan,
dan pergeseran otak.
Kerusakan akson difus adalah lesi traumatik yang spesial dan berpotensi
menjadi bentuk cedera kepala berat. Kerusakan akson difus adalah suatu akibat
dari gaya akselerasi dan deselerasi berkelanjutan yang dapat menggeser akson dan
menghasilkan perubahan mikroskopis di otak. Kerusakan akson dapat disebabkan
oleh axotomi primer yang terjadi pada saat cedera atau axotomi sekunder yang
berkembang selama beberapa menit atau jam setelah cedera. Dalam sebagian
besar kasus cedera kepala, axotomi sekunder merupakan mekanisme utama.
Axotomi sekunder biasanya dimulai 12 jam setelah cedera, puncak antara1 dan 3
hari setelah cedera, dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Kerusakan
akson difus adalah cedera multifokal yang terutama mempengaruhi white matter
2

parasagital, pertemuan white matter dan gray matter, korpus kalosum, dan batang
otak.
Kerusakan akson difus terjadi pada 40%-50% pasien cedera kepala yang
dirawat di rumah sakit. Setiap tahun dialami oleh > 2 juta penduduk dan
mengakibatkan kematian sebanyak 26.000. Gangguan fisik dan persarafan dialami
oleh 20.000-45.000 pasien yang sembuh setiap tahunnya.
B. Etiologi
Berbeda dengan cedera otak yang terjadi akibat benturan langsung maupun
suatu deformitas pada otak, kerusakan akson difus terjadi akibat robeknya akson
karena daya akselerasi dan deselerasi yang mendadak akibat dari daya rotasional
ataupun daya deselerasi yang hebat. Kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan
sepeda motor merupakan penyebab yang paling sering dari suatu kerusakan akson
difus. Penyebab yang lain di antaranya adalah terjatuh, berkelahi, dan kekerasan
terhadap anak seperti shaken baby syndrome.6,7,9
C. Biomekanisme dan Patologi5,7,10,11,12,13,14
Gaya akselerasi dan deselerasi yang secara tiba-tiba menyebabkan
terbentuknya daya rotasi yang berefek pada otak. Kerusakan jaringan yang paling
parah ialah pada daerah dimana perbedaan densitasnya yang paling terlihat. Hal
ini menyebabkan dua per tiga dari lesi kerusakan akson difus terjadi di
persimpangan white matter dan gray matter. Akibat perbedaan karakteristik
inersial berdasarkan densitas ini, ketika rotasi otak terjadi selama gaya akselerasideselerasi, jaringan dengan densitas rendah bergerak lebih cepat daripada jaringan
dengan densitas tinggi. Apabila daya robekan ini terjadi di area di mana perbedaan
densitasnya yang sangat besar, maka akson akan mengalami kerusakan sehingga
menyebabkan edema dan kebocoran aksoplasmik, yang paling parah adalah pada
2 minggu pertama terjadinya trauma. Lokasi kerusakan tergantung pada bidang
rotasi dan tidak dipengaruhi oleh jarak dari titik rotasi. Magnitud kerusakan
tergantung pada 3 faktor yaitu jarak dari titik rotasi, arcus rotasi dan durasi serta
intensitas daya yang dikenakan. Khasnya, proses kerusakan ini berlangsung difus,
bilateral, dan tidak mengenai area batang otak yang mengontrol kardivaskular dan
respiratorik sehingga pasien kerusakan akson difus jarang meninggal.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya gerakan rotasi otak hingga menyebabkan


kerusakan akson difus
Dalam proses kerusakan akson difus, terjadi juga proses-proses biokimia.
Ketika cedera otak, terjadi influks Na+ dan Ca2+ sehingga menyebabkan
pembengkakan akson. Pembengkakan ini menyebabkan kerusakan sitoskeleton
akson, dan jika kerusakan sitoskeleton ini terus meningkat dan ditambah
akumulasi protein, maka akan terjadi diskoneksi akson, dan pada akhirnya terjadi
kerusakan yang ireversibel.
Dari sisi patologi, perubahan abnormal awal yang terjadi dikenal sebagai
formasi bulb, dimana sering terlihat pada 1-2 hari cedera, dan menjadi lengkap
dalam waktu 2 tahun. Kerusakan akson difus dapat dilihat berdasarkan temuan
makroskopis dan mikroskopis. Secara makroskopis, temuan yang khas adalah
adanya hemoragik pada traktus white matter, termasuk korpus kalosum, kapsul
internal, dan pedunkulus sereberal superior.

C
D
Gambar 3. (A) Hemoragik pada korpus kalosum; (B) Hemoragik pada batang
otak; (C) Degenerasi white matter berat; (D) Pewarnaan imunohistokimia BAPP
menampilkan pembengkakan akson.
Secara mikroskpis, akson yang terkena tidak dirobek secara total pada
trauma pertama tetapi trauma masih bisa menyebabkan perubahan fokal pada
membran aksoplasmik, lalu menyebabkan gangguan transport aksoplasmik. Hal
ini akan menyebabkan edema aksoplamik yang kemudian akan terbelah dua.
Akson itu kemudian akan mengalami degenerasi wallerian. Restruktur dendrit
bisa terjadi. Di ganglia basal, efek dari kerusakan akson difus menyebabkan
terjadinya atrofi parenkim. Astrosit di bagian lateral dan ventral nukleus mengecil,
tetapi nukleus anterior dan dorsomedial, pulvinar, nukleus sentromedian dan
badan genikulata lateral tidak berefek. Neuron kolinergik lebih mudah rusak pada
trauma dibandingkan neuron dengan neurotransmitter lain. Lesi perifer biasanya
lebih kecil dibanding dengan lesi sentral. Lesinya biasanya berbentuk ovoid atau
elips, dengan aksis panjang paralel dengan arah traktus akson yang terlibat. Lesi
patologik kerusakan akson difus bisa diidentifikasi dengan mengunakan
pewarnaan argentum dan protein prekursor beta amiloid.

Ada pembagian berdasarkan lesi pada lokasi anatomi yang dibuat oleh
Adams (1989) untuk kerusakan akson difus, sebagai berikut :
Derajat 1
Lebih sering pada region parasagittal lobus frontal dan lobus temporal
periventrikuler. Jarang pada lobus pariental dan lobus oksipital, kapsular internal
dan eksternal, serta serebelum.

Gambar 4. Kerusakan akson difus derajat 1. Tampak lesi sepanjang region


parasagittal lobus frontoparietal (tanda panah) yang disebut rosary beads.
Hanya tampak pada pemeriksaan MRI, tidak pada CT.
Derajat 2
Selain daerah yang terkena di derajat I, terkena juga daerah korpus kalosum.
Derajat 2 ini ditemukan pada sekitar 20% pasien. Paling sering terjadi pada badan
posterior dan splenium. Biasanya terjadi unilateral.
Derajat 3
Daerah di derajat 1 dan 2, juga ditambah batang otak. Lebih sering pada rostral
midbrain, pedunkulus serebelar superior, leminiskus medial dan traktus
kortikospinal.

Gambar 5. Kerusakan akson difus derajat 2. Hanya tampak pada MRI, tidak
tampak pada CT.

Gambar 6. Kerusakan akson difus derajat 3. Tampak pada MRI-SWI, tidak


tampak pada flair.
D. Manifestasi Klinis6,7,12,15
Secara klinis, kerusakan akson difus digambarkan oleh cedera umum yang
terjadi pada akson sehingga langsung menyebabkan penurunan kesadaran dan
koma dengan durasi > 6 jam. Pasien dengan kerusakan akson difus yang berat
dapat langsung mengalami penurunan kesadaran segera setelah cedera atau koma,
atau mengalami keadaan persisten vegetative state. Gegar otak merupakan
bentuk kerusakan akson difus ringan tanpa bentuk patologi permanen.
Kurang dari 10% pasien dengan kerusakan akson difus yang berat akan
sadar kembali. Walaupun sadar kembali, perbaikan fungsi neurologis biasanya
terjadi dalam 12 bulan pertama setelah cedera. Karena kerusakan akson difus ini
berdampak hingga ke setiap fungsi otak, maka pasien dapat mengalami disabilitas
kognitif. Disabilitas kognitif ini mencakup banyak kemampuan mental tingkat
tinggi. Gangguan kognitif yang sering terjadi adalah kehilangan memori.
Beberapa pasien dapat mengalami amnesia post traumatik, baik anterograd atau
retrograd.
7

Banyak pasien dengan cedera kepala ringan hingga sedang yang mengalami
defisit kognitif sangat mudah bingung, memiliki masalah konsentrasi dan
perhatian. Mereka juga memiliki masalah dengan tingkat lebih tinggi yang disebut
fungsi eksekutif, seperti merencanakan, mengatur, alasan abstrak, pemecahan
masalah, dan membuat keputusan.
Masalah lain yang terjadi juga adalah masalah sensorik, khususnya masalah
penglihatan. Pasien lambat dalam mengucapkan benda-benda apa yang sedang
dilihat atau lambat dalam mengenali objek. Pasien juga sering kesusahan dalam
koordinasi tangan-mata (hand-eye coordination), sehingga sering menabrak atau
menjatuhkan objek, atau secara umum terlihat goyah. Pasien juga sulit dalam
mengemudikan mobil, mengerjakan suatu pekerjaan yang kompleks, atau
berolahraga. Defisit sensorik lain yaitu masalah dengan pendengaran, penciuman
atau sentuhan.
Dalam berbicara, pasien kerusakan difus akson sering berbicara lambat,
terdengar menyatu, dan kalimat yang diucapkan terbolak-balik. Beberapa dapat
memiliki masalah dengan intonasi atau infleksi, disebut disfungsi prosodik. Jika
pasien sebelumnya bisa berbahasa asing, maka setelah mengalami kerusakan
akson difus, dia tidak bisa lagi berbahasa asing, sehingga dapat menyebabkan
miskomunikasi, bingung, dan frustasi bagi pasien itu sendiri juga bagi setiap
orang yang berinteraksi dengannya.
Sebagian besar pasien kerusakan akson difus juga mengalami masalah
emosi dan perilaku. Keluarga pasien sering menemukan perubahan kepribadian
dan masalah perilaku, dan kedua hal ini merupakan disabilitas yang sangat sulit
ditangani. Masalah kejiwaan yang dapat muncul adalah depresi, apatis, anxietas,
mudah marah, paranoid, bingung, frustasi, agitasi, insomnia atau masalah tidur
lain, dan perubahan mood. Masalah perilaku berupa agresif dan kekerasan,
impulsif, gagal memenuhi sesuatu, perilaku kekanak-kanakan, tidak dapat
mengontrol diri, tidak bisa menerima kritik atau bertanggung jawab, dan
kecanduan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan.
E. Diagnosis2,4,5,7,16,17
Ketika seseorang dibawa ke UGD dengan cedera kepala, dokter akan
mempelajari kemungkinan sebanyak mungkin mengenai gejala-gejala pasien dan

mekanisme trauma. Kemudian dengan cepat memeriksa kesadaran pasien dengan


GCS. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan pencitraan.
1. CT-Scan
Merupakan pemeriksaan lini pertama untuk setiap neurotrauma. Langsung
dilakukan pada saat cedera untuk segera menemukan fraktur, perdarahan
otak, hematom, dan perluasan cedera. Namun pemeriksaan ini kurang
sensitif untuk pemeriksaan kerusakan akson difus, karena awalnya 50-80%
pasien dengan kerusakan akson difus akan memperlihatkan gambaran CTscan yang normal.
2. MRI
Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan CT-scan. Jumlah lesi hemoragik
pada kerusakan akson difus lebih terlihat jika menggunakan teknik diffuse
weighted imaging.
3. Difussion Tensor Tractography (DTT)
Pemeriksaan ini merupakan modalitas lain untuk mencari kerusakan akson
difus dalam fase akut. Menampilkan keutuhan white matter melalui
pengukuran anisotropi fraksional. Fraksional anisotropi adalah derajat
penjajaran dari serat saraf (rasio : 0 sampai 1).
4. Nuclear Medicine Imaging
Pemeriksaan ini belum umum digunakan. Namun, PET scan menunjukkan
fungsi otak abnormal pada area dimana MRI tidak dapat menjangkaunya.
5. EEG
Pemeriksaan ini digunakan untuk pemeriksaan klinis terhadap kesadaran
untuk mendukung diagnosis dan prognosis. Aktivitas listrik pada jaringan
otak dapat memberikan nilai prognostik setelah cedera otak. Jika dilakukan
dalam 15 hari sampai 4 tahun setelah cedera, EEG memberikan pengukuran
yang objektif dan kuantitatif terhadap keparahan cedera otak. Lagi pula,
EEG dapat mendeteksi aktivitas kejang dini, dan menyediakan informasi
tentang pola tidur selama polisomnografi. Untuk pasien cedera kepala berat,
harus dilakukan monitor EEG berkelanjutan selama 24-72 jam setelah
cedera.
F. Diagnosis banding
Terkadang, hemoragik dan petekie dari kerusakan akson difus dapat
dibingungkan dengan kondisi patologis non-traumatik seperti kongesti vaskular,

petekie akibat emboli lemak, DIC, emboli udara, atau malaria serebral. Sehingga
pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan penunjang yang memadai perlu
segera dilakukan agar membantu membedakan antara keadaan traumatik dan nontraumatik.1,12
G. Penatalaksanaan2,18,19
Sasaran pengobatan adalah untuk resusitasi dan mendukung pasien yang
kritis, mengurangi cedera otak sekunder dan komplikasi, serta memfasilitasi
transisi pasien ke masa penyembuhan.
Cedera kepala ringan biasanya hanya membutuhkan istirahat dan
pengobatan untuk menghilangkan nyeri kepala. Cedera kepala sedang hingga
berat membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Perdarahan dan edema otak
dapat menjadi keadaan yang darurat sehingga membutuhkan operasi. Tindakan
operasinya dapat berupa kraniotomi dan kraniektomi dekompresif.
Untuk obat-obatan, dapat diberikan sedasi dan antinyeri, pengontrol TIK
berupa larutan hipertonik, mencegah kejang (fenitoin), dan mencegah infeksi
(antibiotik).
Terdapat juga beberapa jenis pengobatan yang didasarkan pada patogenesis,
yaitu :
1. Stabilisasi sitoskeleton
Stabilisasi mikrotubulus pada akson yang cedera in vitro dengan taxol dapat
menghambat depolimerisasi kimiawi sekunder dari mikrotubulus, sehingga
menurunkan edema dan degenerasi. Walaupun belum diuji pada hewan,
perkembangan terbaru dari taxol-like therapies (taxanes) yang bertujuan
untuk mengobati Alzheimer dan penyakit neurodegeneratif lainnya dapat
membuka jalan untuk pendekatan terapeutik terhadap kerusakan akson
difus.
2. Homeostasis ion
Pada cedera regangan akson, peningkatan konsentrasi kalsium intra-akson
diinhibisi oleh calcium-activated phosphatase, calcineurin, menunjukkan
pelepasan kalsium intrasel setelah cedera. Pengobatan ini juga mengurangi
aksotomi sekunder.
3. Inhibisi protease

10

Beberapa penelitian in vivo telah memeriksa berbagai jenis strategi proteksi


akson yang berfokus pada respon yang dimediasi oleh kalsium baik
langsung maupun tidak langsung. Inhibitor calpain seperti MDL28170,
AK295, dan SJA-6017 telah digunakan pada berbagai penelitian dan
menunjukkan proteksi akson yang signifikan setelah cedera kepala.
4. Proteksi mitokondria
Karena adanya kerusakan dan disfungsi mitokondria setelah cedera kepala,
maka para peneliti menggunakan immunophilin ligand cyclosporin A (CsA),
yang

melindungi

mitokondria

pada

akson

yang

cedera

melalui

penghambatan calcineurin serta mencegah terbukanya pori transisi


permeabilitas mitokondrial. Pengobatan CsA mengurangi pembengkakan
dan gangguan mitokondria akson, sehingga mengurangi perluasan
kerusakan akson.
5. Hipotermia
Berpotensi sebagai

inhibitor

metabolik

secara

umum,

pengobatan

hipotermia post-trauma juga dapat mengurangi kerusakan akson pada model


percobaan yang mengalami cedera kepala. Efek intervensi hipotermik yang
dilakukan secara dini dapat dilengkapi dengan lebih memperluas interval
terapi.
Pada pasien kerusakan akson difus juga membutuhkan program rehabilitasi,
berupa :
1. Terapis

fisik

untuk

membantu

pasien

membangun

kembali

dan

mempertahankan kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi.


2. Terapis okupasi untuk membantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari
seperti berpakaian, makan, mandi, menggunakan toilet, dan membantu
pasien berpindah antar-ruangan.
3. Terapis berbicara untuk membantu pasien melalui pemantauan kemampuan
pasien dalam menelan makanan dengan aman, dan membantu pasien dalam
komunikasi dan kognitif.
4. Ahli neuropsikologi untuk membantu pasien mempelajari kembali fungsi
kognitif dan mengembangkan kemampuan kompensasi untuk menguasai
memori, pola pikir, dan emosi.
H. Prognosis7,20,21,22

11

Menentukan prognosis pasien setelah cedera kepala masih merupakan hal


yang sulit dan kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhi, seperti
heterogenitas status kesehatan premorbid pasien, mekanisme dan keparahan
cedera, kapan perawatan awal diberikan, intervensi akut, dan perbedaan dalam
masa follow-up. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat variabelvariabel yang dapat dijadikan prediksi, yaitu skor GCS awal, jenis kelamin, usia,
dan durasi amnesia post-trauma. Jika amnesia post-trauma terjadi < 1 minggu
maka prognosisnya baik, tetapi jika > 1 bulan maka prognosisnya buruk.
Sebanyak 90% pasien dengan kerusakan akson difus berat akan tetap berada
dalam kondisi persistent vegetative state selama bertahun-tahun. Sedangkan 10%
pasien yang sadar, sebagian besarnya akan mengalami defisit fungsional
permanen seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Perbaikan biasanya terjadi
dalam 12-24 bulan pertama setelah cedera, meskipun beberapa pasien dalam
jumlah kecil dapat mengalami kondisi yang lebih buruk setelah kurun waktu
tersebut.
Biasanya, jika pasien cedera kepala disertai kerusakan akson difus memiliki
skor GCS 8 pada saat terjadinya cedera, maka dipastikan pasien ini akan
mengalami disfungsi neurologis yang berat dan permanen.

12

BAB III
KESIMPULAN
Kerusakan akson difus adalah lesi traumatik yang spesial dan berpotensi
menjadi bentuk cedera kepala berat. Kerusakan akson difus adalah suatu akibat
dari gaya akselerasi dan deselerasi berkelanjutan yang dapat menggeser akson dan
menghasilkan perubahan mikroskopis di otak.
Kerusakan akson difus terjadi akibat robeknya akson karena daya akselerasi
dan deselerasi yang mendadak akibat dari daya rotasional ataupun daya deselerasi
yang hebat. Kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan sepeda motor merupakan
penyebab yang paling sering dari suatu kerusakan akson difus. Penyebab yang
lain di antaranya adalah terjatuh, berkelahi, dan kekerasan terhadap anak seperti
shaken baby syndrome.
Kerusakan akson difus digambarkan oleh cedera umum yang terjadi pada
akson sehingga langsung menyebabkan penurunan kesadaran dan koma dengan
durasi > 6 jam. Pasien dengan kerusakan akson difus yang berat dapat langsung
mengalami penurunan kesadaran segera setelah cedera atau koma, atau
mengalami keadaan persisten vegetative state. Kurang dari 10% pasien dengan
kerusakan akson difus yang berat akan sadar kembali. Walaupun sadar kembali,
perbaikan fungsi neurologis biasanya terjadi dalam 12 bulan pertama setelah
cedera. Karena kerusakan akson difus ini berdampak hingga ke setiap fungsi otak,
maka pasien dapat mengalami disabilitas kognitif.
Penatalaksanaan kerusakan akson difus beragam, mulai dari penatalaksaan
konservatif, obat-obatan, pembedahan, hingga rehabilitasi.
Menentukan prognosis pasien setelah cedera kepala masih merupakan hal
yang sulit dan kompleks, sehingga ketika seseorang dibawa ke UGD dengan
cedera kepala, dokter harus segera mempelajari kemungkinan sebanyak mungkin
mengenai gejala-gejala pasien dan mekanisme trauma. Kemudian dengan cepat
memeriksa kesadaran pasien dengan GCS, setelah itu dilakukan pemeriksaan
pencitraan agar penanganan awal setelah cedera dapat langsung dilakukan.

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Hortobgyi T, Al-Sarraj S. The significance of diffuse axonal injury: how to
diagnose it and what does it tell us?. Neuropathology Article. ACNR
VOLUME 8 NUMBER 2 MAY/JUNE 2008
2. Andaluz N. Traumatic brain injury (TBI). MAYFIELD CLINIC & SPINE
INSTITUTE. 2013. Available in : http://www.mayfieldclinic.com/PETBI.htm
3. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of traumatic brain injury. British
Journal of Anaesthesia 99 (1): 49 (2007)
4. Wang JY, et al. Diffusion tensor tractography of traumatic diffuse axonal
injury. ARCH NEUROL/VOL 65 (NO. 5), MAY 2008
5. Chu E, Leiberman G. Current trends in the imaging of diffuse axonal injury.
September 2009. Available in : http://eradiology.bidmc.harvard.edu/
LearningLab/central/Chu.pdf
6. Agamanolis DP. Cerebral Contusions, Diffuse Axonal Injury, And The
Shaken Baby Syndrome. June 2013. Available in : http://neuropathologyweb.org/chapter4/chapter4bContusions_dai_sbs.html
7. Shipley C. Diffuse axonal injury in traumatic brain injury. Available in :
http://www.calshipleymd.com/diffuse-axonal-injury-in-traumatic-braininjury/
8. Gennarelli T. Diffuse Axonal Injury (DAI) and Traumatic Axonal Injury
(TAI) : What are they?. September 19, 2013. Available in :
http://www.nabis.org/media/files/files/27e9b170/Gennarelli_LaSalle_B_C_
NABIS_19_Sept_2013pdf.pdf
9. Smith DH, Meaney DF. Axonal damage in traumatic brain injury. THE
NEUROSCIENTIST. Volume 6, Number 6, 2000
10. Smith DH, Meaney DF, Sbull WH. Diffuse axonal injury in head trauma. J
Head Trauma Rehabil Vol. 18, No. 4, 2013 pp. 307316
11. Shetty A, Dixon A. Grading of diffuse axonal injury. Available in :
http://radiopaedia.org/articles/grading-of-diffuse-axonal-injury
12. Mittal P. Diffuse Axonal Injury : Pathological and Clinical Aspects. Forensic
Res Criminol Int J 2015, 1(4): 00026
13. Siedler DG, et al. Diffuse axonal injury in brain trauma: insights from
alterations in neurofilaments. Front. Cell. Neurosci., 17 December 2014.

14

Available

in

http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fncel.2014.

00429/full
14. Hostiuc S, et al. Detection of diffuse axonal injury in forensic pathology.
Rom J Leg Med [22] 145-152 [2014]
15. Wilberger JE. Dupre DA. Traumatic brain injury. October 2013. Available in
: http://www.merckmanuals.com/professional/injuries-poisoning/ traumaticbrain-injury-(tbi)/traumatic-brain-injury
16. Park SJ, et al. Time to Recover Consciousness in Patients with Diffuse
Axonal Injury : Assessment with Reference to Magnetic Resonance
Grading. J Korean Neurosurg Soc 46 : 205-209, 2009
17. Urakami Y. Electrophysiologic Evaluation of Diffuse Axonal Injury after
Traumatic Brain Injury. J Neurol Neurophysiol Volume 4 Issue 3
1000157
18. Smith DH, Hicks R, Povlishock JT. Therapy Development for Diffuse
Axonal Injury. JOURNAL OF NEUROTRAUMA 30:307323 (March 1,
2013)
19. Khan F, Baguley IJ, Cameron ID. Rehabilitation after traumatic brain injury.
Med

Aust

2003;

178

(6):

290-295.

Available

in

https://www.mja.com.au/journal/2003/178/6/4-rehabilitation-aftertraumatic-brain-injury
20. Pangilinan PH. Classification and Complications of Traumatic Brain Injury.
2015.

Available

in

http://emedicine.medscape.com/article/326643-

overview#a9
21. Liew BS, et al. Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients with
Diffuse Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah
Aminah, Johor Bahru An Observational Study. Med J Malaysia Vol 64 No
4 December 2009
22. Schiff ND. Recovery of consciousness after brain injury: a mesocircuit
hypothesis. Trends in Neurosciences 2009 Vol.xxx No.x

15

Anda mungkin juga menyukai