Anda di halaman 1dari 51

WRAP UP MANDIRI

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

SKENARIO 2

SITI NURDIANTI

NPM 1102014253

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2017

1
1. Memahami dan Menjelaskan tentang KLB berdasarkan mortalitas dan
morbilitas
Kriteria Kejadian Luar Biasa (Keputusan Dirjen PPM No 451/91) tentang Pedoman
Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa) , tergolong kejadian luar biasa
apabila ada unsur: -
 Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.
 Peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut
menurut penyakitnya (jam, hari, minggu).
 Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan
periode sebeumnya (jam, hari, minggu bulan, tahun)
 Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
Perbedaan definisi antara Wabah dan KLB :
Wabah harus mencakup:
 Jumlah kasus yang besar.
 Daerah yang luas .
 Waktu yang lebih lama.
 Dampak yang timbulkan lebih berat.

A.    Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004), Kejadian Luar Biasa
(KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk
dalam kurun waktu tertentu (Lapau, Buchari. 2009).

Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition)
yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat
mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah
yang terkena persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa juga disebut sebagai
peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada eksternal normal di suatu
area atau kelompok tertentu, selama suatu periode tertentu. Informasi tentang potensi KLB
biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks),
keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi
KLB bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis atau surveilans, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (Tamher. 2004).

B.     Kriteria Kejadia Luar Biasa (KLB)


Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:

a)      Timbulnya suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya tidak ada/tidak diketahui.

b)      Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, dst)

2
c)      Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali atau lebih dibandingkan periode
sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

d)     Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih
bila dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

e)      Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

f)       Case fatality rate dari suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50%
atau lebih dibandingkan CFR dari periode sebelumnya.

g)      Proporsional rate (PR) penderita baru dari periode tertentu menunjukkan kenaikan 2


kali lipat atau lebih dibandingkan periode yang sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.

h)      Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)

i)        Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya
daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.

j)        Beberapa penyakit yang dialami 1 (satu) atau lebih penderita : keracunan makanan dan
keracunan pestisida.

k)      Dalam menentukan apakah ada wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut
dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau bulan
sebelumnya.

l)        Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang diharapkan.

1)      Sumber informasi bervariasi :

1. Catatan hasil surveilans


2. Catatan keluar rumah sakit statistik kematian, register, dan lain-lain.
3. Bila data local tidak ada dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data
nasional
4. Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang
biasanya ada.
2)      Pseudo-epidemik :

1. Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita


2. Adanya cara diagnosis baru
3. Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
4. Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa
5. Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan
(Efendi, Ferry. 2009).

3
C.    Penyakit Tertentu Yang Menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Berdasarkan Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2 penyakit tertentu
yang menimbulkan KLB :
a)        Kholera g)              Pertusis

b)        Pes h)              Rabies


m)     Hepatitis
c)        Demam i)                Malaria
berdarah n)     Influenza H1N1
j)               Avian
d)       Campak Influenza H5N1  o)      
Meningitis
e)        Polio k)              Antraks p)       Yellow Fever

f)         Difteri l)                Leptospirosis q)       Chikungunya

     

Penyakit-Penyakit berpotensi Wabah/KLB :

a)      Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.

b)      Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai


memerlukan tindakan segera : DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis,
Poliomyelitis

c)      Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis,  Meningitis, Keracunan,
Encephalitis, Tetanus.

d)     Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB,  tetapi masuk
program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis,  Gonorrhoe, Filariasis, dan lain-lain.

D.    Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Berdasarkan klasifikasinya Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan
sumbernya, yakni sebagai berikut :

a) Berdasarkan Penyebab
1) Toxin
1. Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus, Vibrio, Kholera, Eschorichia, Shigella
2. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium
botulinum, Clostridium perfringens
3. Endotoxin
2) Infeksi
1. Virus
2. Bacteri

4
3. Protozoa
4. Cacing
3) Toxin Biologis
1. Racun jamur.
2. Alfatoxin
3. Plankton
4. Racun ikan
5. Racun tumbuh-tumbuhan
4) Toxin Kimia
1. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain
cyanida,  nitrit, pestisida.
2. Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya
(Bustan, 2002).
b) Berdasarkan sumber
1) Sumber dari manusia
Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti : salmonella, shigella,
hepatitis.
2) Bersumber dari kegiatan manusia
Misalnya : toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran
lingkungan.
3) Bersumber dari binatang
Misalnya : binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat
4) Bersumber pada serangga (lalat, kecoak )
Misalnya : salmonella, staphylococcus, streptococcus
5) Bersumber dari udara
Misalnya : staphylococcus, streptococcus virus
6) Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya : salmonella
7) Bersumber dari makanan dan minuman
Misalnya :  keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng
(Bustan, 2002).
 
E.     Faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB)

a)         Herd Immunity yang rendah

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/Wabah adalah Herd


Immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang dimiliki
oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan
dengan tingkat kekebalan individu yaitu makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin
sulit terkena penyakit tersebut. Demikian pula dengan herd immunity, makin banyak proporsi
penduduk yang kebal berarti makin tinggi tingkat herd immunity-nya hingga penyebaran
penyakit menjadi semakin sulit.

Kemampuan mengadakan perlingangan atau tingginya herd immunity untuk menghindari


terjadi epidemi bervariasi untuk tiap penyakit tergantung pada:
1)        Proporsi penduduk yang kebal,
2)        Kemampuan penyebaran penyakit oleh kasus atau karier, dan

5
3)        Kebiasaan hidup penduduk.
Pengetahuan tentang herd immunity bermanfaat untuk mengetahui bahwa menghindarkan
terjadinya epidemi tidak perlu semua penduduk yang rentan tidak dapat dipastikan, tetapi
tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya variola dibutuhkan 90%-95% penduduk kebal.
b)        Patogenesitas
Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
c)         Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan ataupun 
perkembangan organisme tersebut.
(Notoatmojo, 2003).

F.     Pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)


Tujuan umum dari pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah untuk
mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian Penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka dirumuskan tujuan
khusus sebagai berikut :

a)      Memastikan diagnosis penyakit

Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit
yang bersangkutan

1)      Kepastian diagnosis

1. Kasus pasti : adanya kepastian laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau


parasitologi dengan atau tanpa gejala klinis.
2. Kasus mungkin : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tanpa dukungan laboratorium
3. Kasus tersangka : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tetapi pemeriksaan
laboratorium negatif
2)      Hubungan epidemiologi

1. Kasus primer : kasus yang sakit karena paparan pertama


2. Kasus sekunder : kasus yang sakit karena adanya kontrak dengan kasus primer
3. Kasus tak ada : terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan
kontrak dengan kasus
3)      Pada waktu melakukan penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) dilapangan, diagnosis
penyakit hanya didasarkan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang
bersangkutan yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru/dosen yang
bersangkutan. Namun tidak begitu mudah memastikan diagnosis  penyakit atas dasar
penyesuaian gejala dan tanda ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit
didasarkan pada :

1. Urutan frekuensi tertinggi  sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit
2. Gejala atau tanda patognomosis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit
tertentu
3. Perimbangan antara sensitivitas dan spesitifitas

6
b)      Penetapan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)

1)      Distribusi kasus menurut waktu

Bila dibuat kurve dimana waktu merupakan absisnya dan frekuensi kasus merupakan
ordinatnya, maka ada tiga jenis kurve epidemi yaitu :

1. Common source epidemic, yang menunjukan adanya sumber penyakit yang sama.
2. Propagated epidemic, yang menunjukan terjadinya penyebaran penyakit dari orang
ke orang secara langsung atau melalui lingkungan.
3. Kombinasi Common source epidemic  dan Propagated epidemic.
(Lapau, Buchari. 2009).

G.    Prosedur Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)


a)         Masa pra KLB

Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB/wabah adalah dengan melaksanakan Sistem


Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukan langkah-langkah lainnya : 

1)      Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik. 
2)      Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.
3)      Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat 
4)      Memperbaiki kerja laboratorium
5)      Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain
b)        Tim Gerak Cepat (TGC)

Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan


penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data
penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :

1) Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.


2) Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota keluarga.
Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dan lain-lain yang diduga
tercemari dan sebagai sumber penularan.
3) Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi
penyebarannya. Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap
penderita yang ditemukan di lapangan.
4) Penyuluhan baik perorang maupun keluarga dan membuat  laporan tentang 
kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap. 
c)  Upaya penanggulangan wabah dapat meliputi:

1) Penyelidikan epidemiologis;

1. Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah


2. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah
3. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah
7
4. Menentukan cara penanggulangan wabah
Kegiatan yang dilakukan dengan penyelidikan epidemiologis adalah sebagai berikut :

 Mengumpulkan data morbiditas dan mortalitas penduduk


 Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis
 Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan, terhadap makhluk hidup dan benda-
benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung penyebab penyakit wabah
2)        Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan
karantina, tujuannya adalah :

1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar
mereka tidak menjadi sumber penularan.
2. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung
penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).
3)        Pencegahan dan pengebalan ; tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi
perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena
penyakit.

4)        Pemusnahan penyebab penyakit, terutama pemusnahan terhadap bibit penyakit/kuman


dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung bibit penyakit.

5)        Penanganan jenazah akibat wabah ; penanganan jenazah yang kematiannya


disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah yang merupakan sumber
penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus menurut jenis
penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai manusia. Penanganan
secara khusus itu meliputi pemeriksaan jenazah oleh petugas kesehatan dan perlakuan
terhadap jenazah serta sterilisisasi bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam penanganan
jenazah diawasi oleh pejabat kesehatan.

6)        Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat persuasif
edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka mengerti sifat-sifat
penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak
menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.

7)        Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing


penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.

(Timmreck, Thomas C. 2005) 

H.    Langkah – Langkah saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)


Langkah pencegahan kasus dan pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat dimulai
sedini mungkin setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi atau penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB) telah memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis tentang
penyebab terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB), sumber agen infeksi, dan cara transmisi
yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB), maka upaya pengendalian dapat segera
dimulai tanpa perlu menunggu pengujian hipotesis. Tetapi jika pada investigasi Kejadian

8
Luar Biasa (KLB) belum memberikan fakta yang jelas maka dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut :

a)         Mengidentifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada keadaan normal di suatu area tertentu atau pada suatu kelompok tertentu,
selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)
biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB) bisa juga berasal dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (surat kabar dan televisi). Pada dasarnya Kejadian Luar Biasa
(KLB) merupakan penyimpangan dari keadaan normal karena itu Kejadian Luar Biasa (KLB)
ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah
kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, tahun). Kenaikan jumlah kasus belum tentu
mengisyaratkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) (Chandra, Budiman. 2007).

Terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) dan teridentifikasinya sumber dan penyebab Kejadian
Luar Biasa (KLB) perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan signifikan jumlah
kasus sehingga disebut Kejadian Luar Biasa (KLB), maka pihak dinas kesehatan yang
berwewenang harus membuat keputusan apakah akan melakukan investigasi Kejadian Luar
Biasa (KLB). Beberapa penyakit menimbulkan manifestasi klinis ringan dan akan berhenti
dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu biasa. Implikasinya, tidak perlu
dilakukan investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) maupun tindakan spesifik terhadap
Kejadian Luar Biasa (KLB), kecuali kewaspadaan. Tetapi, Kejadian Luar Biasa (KLB)
lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan langkah pengendalian yang tepat
(Chandra, Budiman. 2007).

b)        Melakukan Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB)

Pada Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dilakukan dua investigasi, yaitu investigasi
kasus dan investigasi penyebab. Pada investigasi kasus, peneliti melakukan verifikasi apakah
kasus-kasus yang dilaporkan telah didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti Kejadian Luar
Biasa (KLB) mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai
berikut:

1)      Kriteria klinis (gejala, tanda, onset)

2)      Kriteria epidemiologis karakteristik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB)

3)      Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan)

4)      Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada)

5)      Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan)

6)      Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa

9
7)      Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala untuk
membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit)

8)      Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil
investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau
tidak didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium)

 (Chandra, Budiman. 2007). 

c)         Melaksanakan penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Bila investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta tentang penyebab, sumber, dan
cara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu
melakukan studi analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian,
makin besar peluang keberhasilan pengendalian. Makin lambat respon pengendalian, makin
sulit upaya pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit
kasus baru yang bisa dicegah (Chandra, Budiman. 2007).

d)        Menetapkan Berakhirnya Kejadian Luar Biasa (KLB)

Pada tahap ini, langkah yang dilakukan sama dengan langkah pada mengidentifikasi Kejadian
Luar Biasa (KLB). Pada tahap ini, dilakukan dengan mencari informasi tentang terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan
pasien, keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Informasi juga bisa berasal
dari petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau
media lokal (surat kabar dan televisi). Hal ini untuk menganalisis apakah program
penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat menurunkan kasus yang terjadi (Chandra,
Budiman. 2007).

e)         Pelaporan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Peneliti Kejadian Luar Biasa (KLB) memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim,
terdiri dari: introduksi, latar belakang,  metode,  hasil-hasil, pembahasan,  kesimpulan,
dan  rekomendasi. Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian,
catatan kinerja sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang
berguna jika terjadi situasi serupa di masa mendatang (Chandra, Budiman. 2007).

Peneliti Kejadian Luar Biasa (KLB) perlu melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi
berbagai kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem kesehatan.
Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih mendasar
untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri
(Chandra, Budiman. 2007).

Pengukuran Epidemiologi
UKURAN MORBIDITAS
Ukuran atau angka morbiditas adalah jumlah penderita yang dicatat selama 1 tahun per 1000
jumlah penduduk pertengahan tahun

10
Angka ini dapat digunakan untuk menggambarakan keadaan kesehatan secara umum,
mengetahui keberahasilan program program pemberantasan penyakit, dan sanitasi lingkungan
serta memperoleh gambaran pengetahuan pendudukterhadap pelayanan kesehatan
Secara umum ukuran yang banyak digunakan dalam menentukan morbiditas adalah angka,
rasio, dan proporsi.

RATE
Rate atau angka merupakan proporsi dalam bentuk khusus perbandingan antara pembilang
dengan penyebut atau kejadian dalam suatu populasi teterntu dengan jumlah penduduk dalam
populasi tersebut dalam batas waktu tertentu. Rate terdiri dari berbagai jenis ukuran
diataranya adalah :

1. Proporsi atau jumlah kelompok individu yang terdapat dalam penduduk suatu wilayah
yang semula tidak sakit dan menjadi sakit dalam kurun waktu tertentu dan pembilang
pada proporsi tersebut adalah kasus baru. Tujuan dari Insidence Rate adalah sbg berikut
a. Mengukur angka kejadian c. Perbandinagan antara berbagai populasi
penyakit dengan pemaparan yg berbeda
b. Untuk mencari atau mengukur d. Untuk mengukur besarnya risiko yang
faktor kausalitas ditimbulkan oleh determinan tertentu

Rumus:

P= Estimasi incidence rate


P= ( dn ) × K d= Jumlah incidence (kasus baru)
n= Jumlah individu yang semula tidak sakit
(population at risk)

Hasil estimasi dari insiden dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan
penanggulangan masalah kesehatan dengan melihat, Potret masalah kesehatan, angka dari
beberapa periode dapat digunakan untuk melihat trend dan fluktuasi, untuk pemantauan dan
evaluasi upaya pencegahan maupun penanggulangan serta sebagai dasar untuk membuat
perbandingan angka insidens antar wilayah dan antar waktu

2. PR ( Prevalence)
Ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunkan
a. Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit
b. Untuk penyusunan perencanaan pelayanan kesehatan. Misalnya, penyediaan obat-
obatan, tenaga kesehatan, dan ruangan
c. Menyatakan banyaknya kasus yang dapat di diagnosa
d. Digunakan untuk keperluan administratif lainnya
e. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya sakit. Lamanya
sakit adalah suatu periode mulai dari didiagnosanya suatu penyakit hingga
berakhirnya penyakit teresebut yaitu sembuh, kronis, atau mati

11
3. PePR (Periode Prevalence Rate)
PePR yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan jumlah
penduduk selama 1 periode
Rumus:

P = jumlah semua kasus yang dicatat


P
PePR=
R ( )
×K R = jumlah penduduk
k = pada saat tertentu

4. PoPR (Point Prevlene Rate)


Point Prevalensi Rate adalah nilai prevalensi pada saat pengamatan yaitu perbandingan
antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan jumlah penduduk pada saat tetentu.
Rumus:

P = jumlah semua kasus yang dica perbandingan antara


PoPR= ( PoR ) × K jumlah semua kasus yang dicatat tat
R = jumlah penduduk
k = pada saat tertentu

Point prevalensi meningkat pada Point prevalensi menurun pada


 Imigrasi penderita  Imigrasi orang sehat
 Emigrasi orang sehat  Emigrasi penderita
 Imigrasi tersangka penderita atau mereka  Meningkatnya angka
dengan risiko tinggi untuk menderita kesembuhan
 Meningkatnya masa sakit  Meningkatnya angka
 Meningkatnya jumlah penderita baru kematian
 Menurunnya jumlah penderita
baru
 Masa sakit jadi pendek

5. AR (Attack Rate)
Attack rate adalah andala angaka sinsiden yang terjadi dalam waktu yang singkat
(Liliefeld 1980) atau dengan kata lain jumlah mereka yang rentan dan terserang penyakit
tertentu pada periode tertentu. Attack rate penting pada epidemi progresif yang terjadi
pada unit epidemi yaitu kelompok penduduk yang terdapat pada ruang lingkup terbatas,
seperti asrama, barak, atau keluarga.

RASIO
Rasio adalah nilai relatif yang dihasilkan dari perbandingan dua nilai kuantittif yang
pembilangnya tidak merupakan bagian dari penyebut
Contoh: Kejadian Luar Biasa(KLB) diare sebanyak 30 orang di suatu daerah. 10 diantaranya
adalah jenis kelamn pria. Maka rasio pria terhadap wanita adalah R=10/20=1/2

12
PROPORSI
Proporsi adalah perbandingan dua nilai kuantitatif yang pembilangnya merupakan bagian dari
penyebut. Penyebaran proporsi adalah suatu penyebaran persentasi yang meliputi proporsi
dari jumlah peristiwa-peristiwa dalam kelompok data yang mengenai masing-masing kategori
atau subkelompok dari kelompok itu. Pada contoh di atas, proporsi pria terhadap permapuan
adalah P= 10/30=1/3

UKURAN FERTILITAS

1. Crude Birth Rate (CBR) Angka kelahiran kasar


Angka kelahiran kasar adalah semua kelahiran hidup yang dicatat dalam 1 tahun per 1000
jumlah penduduk pertengahan tahun yang sama. Rumus:

B = semua kealhiaran hidup yang dicata


CBR= ( BP )× K P = Jumlah penduduk pertengahan tahun yang
sama
k = konstanta(1000)

Angka kelahiran kasar ini dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat fertilitas secara
umum dalam waktu singkat tetapi kurang sensitif untuk : Membandingkan tingkat
fertilitas dua wilayah & Mengukur perubahan tingkat fertilitas karena perubahan pada
tingkat kelahiran akan menimbulkan perubahan pada jumlah penduduk

2. Age Spesific Fertilty Rate (ASFR) Angka fertilitas menurut golongan umur

3. Angka fertilitas menurut golongan umur adalah jumlah kelahiran oleh ibu pada golongan
umur tertentu yang dicatat selam 1 tahun yang dicata per 1000 penduduk wanita pada
golongan umur tertentu apda tahun yang sama. Rumus:
F = Kelahiran oleh ibu pada golongan umur
F tertentu yang dicatat
ASFR= ( )
R
×K
R = Penduduk wanita pada golongan umur tertentu
pada tahun yang sama

Angka fertilitas menurut golongan umur ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan
pada angka kelahiran kasar karena tingkat kesuburan pada setiap golongan umur tidak
sama hingga gambaran kelahiran menjadi lebih teliti

4. Total Fertility Rate ( TFR) Angka fertilitas total


Angka fertilitas total adalah jumlah angka fertilitas menurut umur yang dicatat sealma 1
tahun.

13
Rumus:

TFR=Jumlah angka fertilitas menurut umur × K

UKURAN MORTALITAS
a. Case Fatality Rate (CFR) Angka kefatalan kasus
CFR adalah perbandingan antara jumlah kematian terhadap penyakit tertentu yang terjadi
dalam 1 tahun dengan jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun
yang sama Rumus:

P = Jumlah kematian terhadap penyakit


CFR= ( TP )× K tertentu
T = jumlah penduduk yang menderita
penyakit tersebut pada tahun yang sama

Perhitungan ini dapat digu8nakan uutk mengetahui tingakat penyakit dengan tingkat
keamtia yang tinggi. Rasio ini dapat dispesifikkan menjadi menurut goklongan umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lain-lain

b. Crude Death Rate (CDR) Angka Kematian Kasar


Angka keamtian kasar adalah jumlah keamtian ang dicata selama 1 tahun per 1000
penduduk pada pertengahan tahun yang sama. Disebut kasar karena akngka ini dihitung
secatra menyeluruh tanpa memperhatikan kelompok-kelompok tertentu di dalam populasi
denga tingkat kematian yang berbeda-beda. Rumus:

D= jumlah keamtian yang dicata selama 1


CDR= ( DP ) × K tahun
P=Jumlah penduduk pada pertengahan tahun
yang sama

Manfaat CDR
 Sebagai gambaran status kesehatan masyarakat
 Sebagai gambaran tingkat permasalahan penyakit dalam masyarakat
 Sebagai gambaran kondisi sosial ekonomi
 Sebagai gambaran kondisi lingkungan dan biologis
 Untuk menghitung laju pertumbuhan penduduk

c. Age Spesific Death Rate (ASDR) angka kematian menurut golongan umur

14
Angka kematian menurut golongan umur adalah perbandingan antara jumlah kematian
yang diacata selama 1 tahun padas penduduk golongan umur x dengan jumlah penduduk
golongan umur x pada pertengaha n tahun. Rumus:

dx = jumlah kematian yang dicatat selama 1


ASDR= ( dxpx )× K tahun pada golongan umur x
px = jumlah penduduk pada golonga umur x
pada pertengahan tahun yang sama

Manfaat ASDR sebagai berikut:


 untuk mengetahui dan menggambarkan derajat kesahatan masyarakat dengan melihat
kematian tertinggi pada golongan umur
 untuk membandingkan taraf kesehatan masyarakat di bebagai wilayah
 untuk menghitung rata-rata harapan hidup
 Under Five Mortality Rate (UFMR) Angka kematian Balita

d. Angka kematian Balita adalah gabungan antara angka kematian bayi dengan angka
kematian anak umur 1-4 tahun yaitu jumlah kematian balita yang dicatat selam satu tahun
per 1000 penduduk balita pada tahun yang sama. Rumus:

M = Jumlah kematian balita yang dicatat


M
UFMR=
R ( )
×K selama satu tahun
R = Penduduk balita pada tahun yang sama

Angka kematian balita sangat penting untuk mengukur taraf kesehatan masyarakat karena
angka ini merupakan indikator yang sensitif untuk sataus keseahtan bayi dan anak

e. Neonatal Mortality Rate (NMR) Angka Kematian Neonatal


Neonatal adalah bayi yang berumur kurang dari 28 hari. Angka Kematian Neonatal
adalah jumlah kematian bayi yang berumur kurang dari 28 hari yang dicatata selama 1
tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Rumus:

di = Jumlah kematian bayi yang berumur


di
NMR= ( )
B
×K kurang dari 28 hari
B = Kelahiran hidup pada tahun yang sama

Manfaat dari angka kematian neonatal adalah sebgai berikut;


 untuk mengetahuai tinggi rendahnya perawatan post natal
 Untuk mengetahui program Imuninsasi
 Untuk pertolongan persalina
 untuk mengetahui penyakit infeksi

15
f. Perinatal Mortality Rate (PMR) angka kematian perinatal
Angka kematian perinatal adalah jumlah kematian janin yang dilahirkan pada usia
kehamilan berumur 28 minggu atau lebih ditambah kematian bayi yang berumur kurang
dari 7 hari yang dicatat dalam 1 tahun per 1000 kelahiran kelahiran hidupn pada tahun
yang sama. Rumus:

P = ∑ kematian janin yg dilahirkan pd usia


kehamilan berumur 28 mg
P+ M M =ditambah kematian bayi yang berumur
PMR= ( R
×K) kurang dari 7 har
R = 1000 kelahiran kelahiran hidupn pada tahun
yang sama
Manfaat dari angka kematian perinatal adalah untuk menggambarkan keadaan kesehatan
masyarakat terutama kesehatan ibu hamil dan bayi. Faktor yang mempengaruhi tinggnya
PMR adalah sebagai berikut:

 Banyak bayi dengan berat badan  Penyakit infeksi terutama ISPA


lahir rendah  Pertolongan persalinan
 Status gizi ibu dan bayi
 Keadaan sosial ekonomi

g. Infant Mortality Rate (IMR) Angka Kematian Bayi


Angka Kematian Bayi adalah perbandingan jumlah penduduk yang berumur kurang dari
1 tahun yang diacat selama 1 tahun dengan 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama.
Rumus:

d0 = Jumlah penduduk yang berumur kurang


IMR= ( dB0 )× K dari 1 tahun
B = Jumlah lahir hidup pada thun yang sama

Manfaat dari perhitungan angka kematian bayi adalah sebagai berikut:


 Untuk mengetahui gambaran tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yg
berkaitan dengan faktor penyebab kematian bayi
 Untuk Mengetahui tingkat pelayanan antenatal
 Untuk mengetahui status gizi ibu hamil
 Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan
Program Keluaga berencana (KB)
 untuk mengetahui kondisi lingkungan dan social ekonomi

h. Maternal Mortality Rate (MMR) Angka Kematian Ibu


Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu akibat komplikasi kehamilan, persalinan,
dan masa nifas yang dicatat selama 1 tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang

16
sama. Rumus:

I = adalah jumlah kematian ibu akibat


MMR= ( TI ) × K komplikasi kehamilan, persalinan, dan masa
nifas
T = Kelahiran hidup pada tahun yang sama

Tinggi rendahnya angka MMR tergantung kepada:

 Sosial ekonomi  Pelayanan terhadap ibu hamil


 Kesehatan ibu sebellum hamil,  Pertolongan persalinan dan
persalinan, dan masa nasa nifas perawatan masa nifas

17
2. Memahami dan Menjelaskan tentang perilaku kesehatan individu dan
masyarakat dalam pencarian pengobatan
Manusia secara umum ketika menghadapi sakit pasti akan berusaha untuk mengobati
sakit yang diderita dengan berbagai macam cara. Perilaku health seeking pasti akan dilakukan
baik itu dengan tujuan untuk meredakan sakit maupun bertujuan untuk mengobati sakit. Pola
perilaku health seeking dalam masyarakat umum yang berkembang dapat dibedakan menjadi
(1) beberapa orang mempercayakan pemeliharaan kesehatannya kepada seorang ahli
kesehatan profesional seperti dokter
(2) beberapa orang lain mempercayakan pengobatan sakitnya kepada ahli kesehatan non-
profesional seperti tabib
(3) sebagian orang mempercayakan kesehatannya kepada pengobatan dengan pendekatan
spiritual
(4) sebagian orang lagi mempercayakan penyembuhan sakitnya kepada pengobatan
tradisional seperti jamu-jamu maupun pijat urat, atau
(5) sebagian lagi mempercayakan pengobatannya kepada pengobatan alternatif yang lain.
(Notoatmojo, 1993)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat “health seeking
behavior” merupakan sebuah hasil daripada interaksi yang kompleks dan holistik oleh
individu dengan lingkungan yang mempengaruhinya beserta pelayanan kesehatan yang ada.
Jadi health seeking behavior itu sangat dinamis dan mengikuti aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Perubahan salah satu aspek mungkin dapat menyebabkan perubahan
perilaku, akan tetapi kadangkala juga tidak menyebabkan perubahan apapun, tergantung pada
individu yang berperilaku (individual differencess). Fenomena pengobatan dalam masyarakat
sebagai perilaku kesehatan masyarakat adalah suatu respon rasional masyarakat yang sedang
berperanan sakit dalam rangka mencari kesembuhan akan penyakitnya.
Perbedaan kondisi fisik, psikologis, sosial, kultural maupun spiritual para pasien paliatif
dengan para pasien pada umumnya membuat peneliti tertarik untuk melihat secara lebih
dalam keunikan perbedaan tersebut khususnya health seeking behavior para pasien poli
perawatan paliatif. Seseorang pasien yang menjalani perawatan paliatif diasumsikan bahwa
mereka mengalami goncangan psikologis yang salah satu manifestasinya terlihat nyata pada
health seeking behavior. Oleh karena itu, health seeking behavior para pasien poli perawatan
paliatif tentunya berbeda dengan health seeking behavior para pasien lainnya, karena health
seeking behaviornya memiliki arah yang unik dan tujuan yang tidak sama dengan pasien lain.
Disease dan illness pada penyakit kanker yang paling menonjol adaah nyeri. Nyeri yang
dirasakan para pasien kanker tidaklah sama dengan nyeri pada penyakit lain karena pada
penyakit ini, rasa nyerinya sangat hebat sehingga penderita terkadang tidak kuat dan tidak
tahan menghadapi rasa nyeri ini. Beberapa aspek nyeri yang sering terjadi (Megawe: 1998)
adalah:

18
1. Nyeri somatik, nyeri somatik ini terjadi di sekitar otot-otot abdomen,
jaringan ikat, tulang pinggul dan seputar daerah ovarium.
2. Nyeri viseral, nyeri hebat terjadi pada organ-organ viseral di daerah
penyebaran kanker. Rasa nyeri ini membuat penderita mengalami nyeri hebat sampai-
sampai penderita tidak mampu lagi membuat peta sensorik secara rinci dan cermat di
dalam korteks otak. Dengan demikian, penderita mengalami rasa nyeri yang hebat
tetapi tidak mampu mengatakan dengan tepat baik sifat nyerinya, kualitas nyerinya
maupun kuantitas nyerinya. Penderita hanya mampu merasakan rasa nyeri yang
sangat dalam dan luas di seluruh anggota tubuhnya terutama daerah penyebaran
kanker dengan disertai rasa tidak nyaman.
3. Nyeri neuropatik, penderita kanker yang mengalamai nyeri neuropatik
ini dikuatirkan pada jalur-jalur nyeri di dalam daerah tubuhnya mengalami hambatan
sehingga penderita tidak dapat menerima obat-obat penurun ataupun penghilang rasa
nyeri, bahkan sejenis morphin tidak akan dapat digunakan lagi untuk mengurangi rasa
nyeri yang diderita.
5. Nyeri pleksopati, penderita mengalami nyeri yang hebat pada daerah sumsum tulang
belakang.
6. Nyeri pinggang/tulang belakang, penderita yang mengalami nyeri hebat pada daerah
ini biasanya menunjukkan prognosis yang jelek karena sakit pada daerah ini
mengindikasikan adanya proses penyebaran ke seluruh bagian dan jaringan tubuh
yang lain.
Gejala Sakit Fisik Yang lain
1. Mual, Muntah, dan Anoreksia. Keluhan-keluhan pada pasien dengan keluhan mual,
muntah dan anoreksia biasanya bersumber pada keluhan-keluhan subjektif. Sekalipun
keluhan ini sifatnya subjektif namun memberikan dampak negatif pada penurunan gejala fisik
yang lain seperti: keringat berlebihan, kepucatan, salivasi, dan lain-lain.
2. Obstruksi Usus. Pasien biasanya menjadi tidak mau makan dan minum karena lambungnya
mengalami sakit yang sangat hebat.

Aspek-Aspek psikologis
1. Rasa Cemas. Rasa cemas pada para penderita kanker adalah reaksi normal dari setiap
manusia yang mengalami stress dan krisis kesehatan yang diakibatkan oleh kanker. Namun
demikian dibuktikan bahwa dengan peningkatan rasa cemas, maka terjadi peningkatan
perambatan rasa nyeri pada sambungan-sambungan antara syaraf perifer dengan traktus
spinotalamik. Lambatnya penyambungan antara syaraf perifer dengan traktus spinotalamik
menyebabkan penurunan nilai ambang nyeri sehingga rasa nyeri menjadi semakin hebat.
2. Depresi. Penderita kanker pada umumnya juga mengalami depresi dan hal ini tampak
nyata terutama disebabkan karena rasa nyeri yang tidak teratasi dengan gejala sebagai
berikut:
 penurunan gairah hidup, interes, kemampuan konsentrasi dan harga diri
 somatik berupa berat badan menurun drastis dan insomnia
 rasa lelah dan tidak memiliki daya kekuatan

19
3.Sosio-Kulturo- Spiritual. Bila penderita kanker mengalami rasa nyeri yang sudah tidak
dapat lagi diatasi dengan pendekatan farmakologi, maka aspek sosial, kultural dan
spirituallah yang diharapkan masih mampu meringankan rasa nyeri. Oleh karena itu, seorang
pasien paliatif yang sudah pada stadium lanjut harus mendapatkan perawatan supportif agar
gejala-gejala penderitaan fisik yang timbul dapat diturunkan. Penderita merasa tidak
ditinggalkan sendiri dalam menghadapi rasa sakitnya dan inilah dukungan utama yang
mampu meringankan penderitaan pasien paliatif.
Health Seeking Behavior
Kurt Lewin (dalam Brehm & Kassin: 1999), seorang pakar psikologi sosial,
menekankan bahwa perilaku secara umum adalah suatu fungsi dari person/individu dan
environment/lingkungan. Perilaku individu tidak hanya ditentukan oleh faktor individu
(segala sesuatu yang terkait langsung dengan diri individu seperti: pola kepribadian,
sikap, perasaan, emosi, pengetahuan dan lain-lain), akan tetapi juga ditentukan oleh faktor
lingkungan baik terkait dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Kemudian secara lebih spesifik Hendrik L. Blum (dalam Notoatmojo & Solita, 1995)
menggambarkan keterkaitan aspek-aspek di dalam perilaku kesehatan seperti tampak
dalam gambar di bawah ini:

Sedangkan faktor-faktor di balik perilaku kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut :

20
Terkait dengan perilaku kesehatan, maka health behavior/perilaku kesehatan adalah
suatu respon rasional atas penyebab penyakit yang dipersepsikan, sehingga dia mencari
suatu cara untuk mendapatkan kesembuhan dari sakitnya (Foster & Anderson, 1996).
Selanjutnya, dalam menelaah tentang persepsi sakit ini, kedua tokoh tersebut
membedakan antara rasa sakit (illness) dan penyakit (disease). Illness adalah penilaian
seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya.
Hal ini merupakan fenomena subjektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak (feeling
unwell). Sedangkan disease adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme,
benda asing atau luka. Jadi menurut Foster & Anderson (1996), penyebab sakit adalah
persepsi dari individu yang sakit dan persepsi ini terjadi sebagai hasil pembelajaran dari
lingkungannya. Sehingga, menurut perilaku kesehatan individu bisa dibagi menjadi tiga.
1. Individu mempersepsikan sakitnya sebagai sebuah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri/virus.
2. Individu mempersepsikan sakitnya sebagai sebuah penyakit yang
disebabkan karena hal-hal non medis
3. Individu mempersepsikan sakitnya sebagai sebuah penyakit yang
disebabkan karena hal-hal medis dan non medis.
Oleh karena itu persepsi seseorang tentang disease akan menentukan perilaku illness-nya.
Lebih lanjut tentang persepsi sakit, Notoatmojo (1993) menjabarkan tentang batasan
kedua pengertian illness dan disease. Dalam kedua istilah tersebut nampak adanya perbedaan
konsep sehat dan sakit yang kemudian akan menimbulkan permasalahan konsep sehat – sakit
di dalam masyarakat. Secara objektif seseorang terkena penyakit (disease), salah satu organ
tubuhnya terganggu fungsinya namun dia tidak merasa sakit. Atau sebaliknya, seseorang
merasa sakit, merasakan sesuatu (illness) dalam tubuhnya, tetapi dari pemeriksaan klinis
tidak diperoleh bukti bahwa dia sakit. Dalam psikologi, istilah perbedaan antara sakit secara
fisik maupun sakit secara psikologis ini lebih dikenal dengan istilah psychofisiology dimana
kondisi kedua faktor fisiologis dan psikologis dalam diri individu mempunyai peranan yang
sama-sama penting, seseorang bisa sakit secara psikologis dan berdampak pada fisiologisnya

21
atau yang dirasakan individu adalah sakit secara fisiologis dan berpengaruh pula pada kondisi
psikologisnya. (Davison, 1993)
Sedangkan perubahan suatu perilaku khususnya tentang health seeking behavior dapat
terjadi jika komponen dari perilaku juga berubah, dimana dalam perubahannya menurut teori
WHO (dalam Notoatmojo & Sarwono, 1995) akan mencakup Behavior = f (TF, PR, R, C),
dimana:
1. TF (thought and feeling) terpilah dalam bentuk
a. Pengetahuan
b. Kepercayaan
c. Sikap
2. PR (personal references) yakni pengaruh yang diberikan oleh orang-orang yang dianggap
penting oleh individu.
3. R (resources) yakni sumber-sumber daya yang dimiliki oleh individu yang bisa berupa
fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya.
4. C (culture) yakni kebudayaan atau pola hidup masyarakat.
Keempat faktor diatas memegang peranan yang sama-sama penting dalam menentukan
health seeking behavior, karena keempat faktor itu (thought and feeling, personal references,
resources, dan culture) akan menjadi bahan pertimbangan seseorang dalam menentukan
health seeking behaviornya.
Pengobatan
Munculnya fenomena pengobatan dalam masyarakat sebagai perilaku kesehatan
masyarakat adalah suatu respon rasional masyarakat yang sedang berperanan sakit dalam
rangka mencari kesembuhan akan penyakitnya. Fenomena tersebut diatas yang secara umum
dapat kita telaah sebagai suatu pengobatan yang secara garis besar dibagi dalam dua tempat
pengobatan yaitu medis dan non-medis. Kedua jenis pengobatan baik medis maupun non-
medis, sama-sama terus berkembang. Pengobatan non-medis semakin beragam di samping
pelayanan medis yang semakin hari juga ditingkatkan mutu dan kecanggihan teknologinya.
Beberapa sebab dan alasan pemilihan pengobatan atas sakit yang diderita dan dirasakan
adalah (Foster & Anderson: 1996) :
1. Budaya, nilai dan norma sebagian besar masyarakat kita yang meyakini dan
mempersepsikan penyebab sakit individu selain sebab medis dimungkinkan adanya
sebab-sebab non-medis.
2. Proses pengobatan yang terlalu lama daripada pelayanan medis, akan menyebabkan si
penderita bosan menerima peran sebagai pasien, dan ingin segera mengakhirinya, oleh
karena itu dia berusaha mencari alternatif pengobatan lain yang mempercepat proses
penyembuhannya ataupun hanya memperingan rasa sakitnya (illness).
3. Pelayanan medis yang kurang memperhatikan aspek psikologis pasien, dimana dalam
pelayanan medis pasien tidak menemukan ketenangan dan keamanan psikologis,
sehingga peluang ini diisi oleh para ahli non-medis. Misal: para ahli medis hanya
menangani pasien secara medis tanpa memberikan kekuatan psikologis agar pasien
mampu menerima peranan sakitnya dengan sabar sehingga rasa sakitnya dapat
dikurangi .

22
4. Status sosial masyarakat yang mempersepsikan sakit bahwa pengobatan non medis lebih
sedikit membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu. Dalam fenomena sosial sebagian
masyarakat, perilaku mencari dan memelihara kesehatan pada ahli non medis tersebut
sudah mendapatkan pembenaran dan bahkan terkadang lingkungan di sekitar individu
yang sedang berperanan sakit mereferensikan si sakit pada pengobatan alternatif/non-
medis.
5. Status ekonomi sebagian besar masyarakat yang masih rendah, membuat mereka lebih
menyukai pengobatan pada sakitnya ke tempat pengobatan yang tidak membutuhkan
biaya tinggi.
6. Tingkat pendidikan yang masih rendah serta kurangnya informasi kesehatan yang
diterima menyebabkan sebagaian besar masyarakat kurang menyadari akan pentingnya
kesehatan. Konsep sehat adalah jika kondisi fisik/biologisnya masih mampu melakukan
aktivitas dan gerakan yang normal seperti biasanya berarti dalam kondisi sehat,
sedangkan konsep sakit adalah jika kondisi tubuh sudah tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari.
7. Menerima peranan sakit adalah suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Karena
itu, berbagai cara akan dijalani oleh si sakit dalam rangka mencari kesembuhan maupun
meringankan beban sakitnya.
8. Persepsi tentang illness dan disease setiap individu selalu saja berbeda. Oleh sebab itu,
perilaku kesehatan masing-masing individu pun akan mengalami perbedaan. Tidak ada
satu perilaku kesehatan individu yang sama dalam mencari alternatif penyembuhan,
karena memang setiap individu memiliki karakteristik perilaku sendiri-sendiri.
Berbagai pertimbangan diatas akan menentukan perilaku pengobatannya, apakah
seseorang memilih pengobatan ke tempat pengobatan medis ataukah seseorang memilih
pengobatan non-medis. Melihat pada interdepensi antar aspek dalam health seeking
behavior, maka penelitian ini juga ingin melihat interdependensi tersebut pada pasien poli
perawatan paliatif. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang
berpengaruh pada health seeking behavior ditinjau dari :
1. Thought and feeling
2. Personal references
3. Resources
4. Culture
Hasil penelitian terhadap lima orang subjek dalam penelitian menghasilkan simpulan
bahwa gambaran health seeking behavior pada pasien poli perawatan paliatif mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Penyakit yang berada pada tahap terminal membuat mereka memutuskan cara
pengobatan medis maupun non-medis untuk memperingan beban sakit baik disease
maupun illnessnya.
2. Para pasien poli perawatan paliatif sudah tidak banyak diminta untuk memutuskan
sendiri cara pengobatannya, namun pendapat keluarga dan other person or significant
person lebih berperan dalam pengambilan keputusan health seeking behavior-nya.
3. Pertimbangan faktor internal seperti personal reference, kepercayaan dorongan spiritual
dan sikap tetap memberikan kontribusi positif dalam health seeking behavior.
4. Pertimbangan faktor eksternal seperti kondisi keuangan, budaya, waktu dan fasilitas juga
merupakan sesuatu hal yang tidak pernah diabaikan dalam health seeking behavior.

23
(sumber : Health Seeking Behavior Para Pasien Poli Perawatan Paliatif Studi Eksploratif terhadap Lima
Pasien Poli Perawatan Paliatif RSUD dr. Soetomo Surabaya Achmad Chusairi Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga)

3. Memahami dan Menjelaskan tentang sistem rujukan kesehatan masyarakat


Defenisi Sistem Rujukan Adapun yang dimaksud dengan sistem rujukan di Indonesia,
seperti yang telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 001 tahun 2012 ialah
suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung
jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertical
dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara
horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat kemampuannya .
Notoatmodjo (2008) mendefinisikan sistem rujukan sebagai suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab
timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit
yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya). Sederhananya, sistem rujukan mengatur darimana dan harus kemana
seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik
atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat)
maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih rendah) ke fasilitas
pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak dibatasi oleh wilayah
administrasi (Syafrudin, 2009).
Macam Rujukan
Sistem Kesehatan Nasional membedakannya menjadi dua macam yakni :
1. Rujukan Kesehatan.
Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya pencegahan penyakit dan peningkatan
derajat kesehatan. Dengan demikian rujukan kesehatan pada dasarnya berlaku untuk
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Rujukan kesehatan dibedakan
atas tiga macam yakni rujukan teknologi, sarana, dan operasional (Azwar, 1996).
Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan bahan atau specimen
ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah rujukan uang menyangkut masalah
kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan
(promotif). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana dan opersional (Syafrudin,
2009).
2. Rujukan Medik
Rujukan ini terutama dikaitkan dengan upaya penyembuhan penyakit serta pemulihan
kesehatan. Dengan demikian rujukan medik pada dasarnya berlaku untuk pelayanan
kedokteran (medical service). Sama halnya dengan rujukan kesehatan, rujukan medik ini
dibedakan atas tiga macam yakni rujukan penderita, pengetahuan dan bahan bahan
pemeriksaan (Azwar, 1996). Menurut Syafrudin (2009), rujukan medik yaitu pelimpahan
tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang timbul baik secara vertikal
maupun horizontal kepada yang lebih berwenang dan mampu menangani secara rasional.

24
Jenis rujukan medic antara lain:
 Transfer of patient.
Konsultasi penderita untuk keperluan diagnosis, pengobatan, tindakan operatif
dan lain –lain.
 Transfer of specimen
Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih
lengkap.
 Transfer of knowledge / personal.
Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu
layanan setempat.
Manfaat Rujukan
Menurut Azwar (1996), beberapa manfaat yang akan diperoleh ditinjau dari unsur
pembentuk pelayanan kesehatan terlihat sebagai berikut :
1. Sudut pandang pemerintah sebagai penentu kebijakan Jika ditinjau dari sudut
pemerintah sebagai penentu kebijakan kesehatan (policy maker), manfaat yang akan
diperoleh antara lain membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan
berbagai macam peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan; memperjelas
sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai sarana
kesehatan yang tersedia; dan memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada
aspek perencanaan.
2. Sudut pandang masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan Jika ditinjau dari sudut
masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan (health consumer), manfaat yang akan
diperoleh antara lain meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari
pemeriksaan yang sama secara berulangulang dan mempermudah masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan, karena diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang sarana
pelayanan kesehatan.
3. Sudut pandang kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan. Jika
ditinjau dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan
(health provider), manfaat yang diperoleh antara lain memperjelas jenjang karir
tenaga kesehatan dengan berbagai akibat positif lainnya seperti semangat kerja,
ketekunan, dan dedikasi; membantu peningkatan pengetahuan dan keterampilan yakni
melalui kerjasama yang terjalin; memudahkan dan atau meringankan beban tugas,
karena setiap sarana kesehatan mempunyai tugas dan kewajiban tertentu.
Tata Laksana Rujukan
Menurut Syafrudin (2009), tatalaksana rujukan diantaranya adalah internal antar-petugas
di satu rumah; antara puskesmas pembantu dan puskesmas; antara masyarakat dan
puskesmas; antara satu puskesmas dan puskesmas lainnya; antara puskesmas dan rumah
sakit, laboratorium atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya; internal antar-bagian/unit
pelayanan di dalam satu rumah sakit; antar rumah sakit, laboratoruim atau fasilitas pelayanan
lain dari rumah sakit.
Kegiatan Rujukan

25
Menurut Syafrudin (2009), kegiatan rujukan terbagi menjadi tiga macam yaitu rujukan
pelayanan kebidanan, pelimpahan pengetahuan dan keterampilan, rujukan informasi medis:
1. Rujukan Pelayanan Kebidanan Kegiatan ini antara lain berupa pengiriman orang sakit
dari unit kesehatan kurang lengkap ke unit yang lebih lengkap; rujukan kasus-kasus patologik
pada kehamilan, persalinan, dan nifas; pengiriman kasus masalah reproduksi manusia
lainnya, seperti kasus-kasus ginekologi atau kontrasepsi yang memerlukan penanganan
spesialis; pengiriman bahan laboratorium; dan jika penderita telah sembuh dan hasil
laboratorium telah selesai, kembalikan dan kirimkan ke unit semula, jika perlu diserta dengan
keterangan yang lengkap (surat balasan).
2. Pelimpahan Pengetahuan dan Keterampilan Kegiatan ini antara lain : a. Pengiriman
tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui
ceramah, konsultasi penderita, diskusi kasus, dan demonstrasi operasi. b. Pengiriman petugas
pelayanan kesehatan daerah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan mereka ke
rumah sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit pendidikan, juga dengan mengundang
tenaga medis dalam kegiatan ilmiah yang diselenggarakan dengan tingkat provinsi atau
institusi pendidikan.
3. Rujukan Informasi Medis Kegiatan ini antara lain berupa : a. Membalas secara lengkap
data-data medis penderita yang dikirim dan advis rehabilitas kepada unit yang mengirim. b.
Menjalin kerjasama dalam sistem pelaporan data-data parameter pelayanan kebidanan,
terutama mengenai kematian maternal dan prenatal. Hal ini sangat berguna untuk
memperoleh angka secara regional dan nasional.
Sistem Informasi Rujukan
Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di catat
dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang berisikan antara
lain:nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien pemegang kartu Jaminan
Kesehatan atau umum, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnose, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk
pemeriksaan penunjang, kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang dipandang
perlu.
Organisasi dan Pengelolaan dalam Pelaksanaan Sistem Rujukan
Agar sistem rujukan ini dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka perlu
diperhatikan organisasi dan pengelolanya, harus jelas mata rantai kewenangan dan tanggung
jawab dari masing-masing unit pelayanan kesehatan yang terlibat didalamnya, termasuk
aturan pelaksanaan dan koordinasinya.
Kriteria Pembagian Wilayah Pelayanan Sistem rujukan
Karena terbatasanya sumber daya tenaga dan dana kesehatan yang disediakan, maka perlu
diupayakan penggunaan fasilitas pelayanan medis yang tersedia secara efektif dan efisien.
Pemerintah telah menetapkan konsep pembagian wilayah dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat. Dalam sistem rujukan ini setiap unit kesehatan mulai dari Polindes, Puskesmas
pembantu, Puskesmas dan Rumah Sakit akan memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan wilayah dan tingkat kemampuan petugas atau sama.

26
Ketentuan ini dikecualikan bagi rujukan kasus gawat darurat, sehingga pembagian
wilayah pelayanan dalam sistem rujukan tidak hanya didasarkan pada batas-batas wilayah
administrasi pemerintahan saja tetapi juga dengan kriteria antara lain:
1. Tingkat kemampuan atau kelengkapan fasilitas sarana kesehatan, misalnya
fasilitas Rumah Sakit sesuai dengan tingkat klasifikasinya.
2. Kerjasama Rumah Sakit dengan Fakultas Kedokteran
3. Keberadaan jaringan transportasi atau fasilitas pengangkutan yang digunakan
ke Sarana Kesehatan atau Rumah Sakit rujukan.
4. Kondisi geografis wilayah sarana kesehatan.
Dalam melaksanakan pemetaan wilayah rujukan, faktor keinginan pasien/ keluarga
pasien dalam memilih tujuan rujukan perlu menjadi bahan pertimbangan
Keuntungan Sistem Rujukan
Menurut Syafrudin (2009), keuntungan sistem rujukan adalah :
1. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, berarti bahwa
pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah dan secara psikologis memberi rasa
aman pada pasien dan keluarga.
2. Dengan adanya penataran yang teratur diharapkan pengetahuan dan keterampilan
petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak kasus yang dapat dikelola di
daerahnya masing – masing.
3. Masyarakat desa dapat menikmati tenaga ahli

27
4. Memahami dan Menjelaskan pelayanan kesehatan dan imunisasi
Cakupan Pelayanan Kesehatan
Sistem terbentuk dari elemen atau bagian yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Apabila salah satu bagian atau sub sistem tidak berjalan dengan baik maka
akan mempengaruhi bagian yang lain. Secara garis besar, elemen-elemen dalam sistem itu
adalah sebagai berikut :
a. Input
Subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem, seperti
sistem pelayanan kesehatan:
1. Potensi masyarakat
2. Tenaga kesehatan
3. Sarana kesehatan

b. Proses 
Kegiatan yg berfungsi untuk mengubah sebuah masukan menjadi sebuah hasil yg diharapkan
dari sistem tersebut, yaitu berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
c. Output
Hasil yang diperoleh dari sebuah proses, Output pelayanan kesehatan : pelayanan yang
berkualitas, efektif dan efisien serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga
pasien sembuh & sehat optimal.
d. Dampak
Akibat yang dihasilkan sebuah hasil dari sistem, relative lama waktunya. Dampak sistem
Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
e. Umpan balik (feedback)
Suatu hasil yang sekaligus menjadikan masukan dan ini terjadi dari sebuah sistem yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, berupa kualitas tenaga kesehatan.
f. Lingkungan
Semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.
Tingkat Pelayanan Kesehatan
Menurut Leavel & Clark dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memandang pada
tingkat pelayanan kesehatan yg akan diberikan, yaitu:
I. Health promotion (promosi kesehatan)
Merupakan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan kesehatan.
Contoh: kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan.

28
II. Specifik protection (perlindungan khusus)
Masyarakat terlindung dari bahaya/ penyakit-penyakit tertentu. Contoh : Imunisasi,
perlindungan keselamatan kerja.
III. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini & pengobatan segera)
Sudah mulai timbulnya gejala penyakit. Contoh: survey penyaringan kasus.
IV. Disability limitation (pembatasan cacat)
Dilakukan untuk mencegah agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak kecacatan
akibat penyakit yang ditimbulkan.
V. Rehabilitation (rehabilitasi)
Dilaksanakan setelah pasien didiagnosa sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai pada fase
pemulihan terhadap kecacatan seperti latihan- latihan yang diberikan pada pasien.
Mutu pelayanan
Sistem mutu adalah program perencanaan, kegiatan, sumberdaya dan kejadian yang didorong
oleh manajemen, berlaku diseluruh organisme dan proses dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan. Selain dari dimensi mutu, cakupan dari mutu juga harus diperhatikan. Yang mana
cakupan tersebut sebagai berikut:
1. Mengetahui kebutuhan dan keinginan pelanggan.
2. Menterjemahkan secara cepat dan dicirikan pada produk jasa yang kita berikan.
3. Merancang sistem agar produk jasa disampaikan secara tepat dan cepat.
4. Mempersiapkan personal yang akan memberikan pelayanan.
5. Memepersiapkan material untuk menghasilkan informasi pelayanan tersebut.
6. Mempersiapkan sistem untuk memperoleh informasi baik.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan


Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Pergeseran masyarakat dan konsumen
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya pengobatan. sebagai masyarakat
yang memiliki pengetahuan tentang masalah kesehatan yang meningkat, maka mereka
mempunyai kesadaran yang lebih besar yang berdampak pada gaya hidup terhadap
kesehatan. akibatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan meningkat.
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru. 
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang lebih canggih dan
memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada beberapa hal seperti meningkatnya

29
biaya pelayanan kesehatan, melambungnya biaya kesehatan dan dibutuhkannya tenaga
profesional akibat pengetahuan dan peralatan yang lebih modern.
c. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yaang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pengobatan , issu etik dan hukum semakin meningkat ketika mereka
menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang kurang memadai
dan kurang manusiawi maka persoalan hukum kerap akan membayanginya.
d. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya dapat dirasakan oleh
orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk memperoleh fasilitas pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan, namun bagi klien dengan status ekonomi rendah tidak akan
mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna karena tidak dapat menjangkau
biaya pelayanan kesehatan.
e. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan berpengaruh pada
kebijakan tentang bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan dan siapa yang
menanggung biaya pelayanan kesehatan

Dimensi Mutu Pelayanan


a. Dimensi Kompetensi Teknis; berhubungan dengan bagaimana pemberi layanan
kesehatan mengikuti standar layanan kesehatan yang telah disepakati, yang meliputi
ketepatan, kepatuhan, kebenaran dan konsistensi.
b. Dimensi Keterjangkauan; artinya layanan kesehataan yang diberikan harus dapat
dicapai oleh masyarakat, baik dari segi geografis, sosial, ekonomi, organisasi, dan
bahasa.
c. Dimensi Efetivitas; layanan kesehatan yang diberikan harus mampu mengobati atau
megurangi keluhan masyarakat/pasien dan mampu mencegah meluasnya penyakit
yang diderita olehnya.
d. Dimensi Efisiensi; dengan adanya layanan kesehatan yang efisiens maka masyarakat
atau pasien tidak perlu menunggu terlalu lama yang dapat mengakibatkan
masyarakat/pasien tersebut membayar terlalu mahal.
e. Dimensi Kesinambungan; masyarakat/pasien dilayanai secara terus menerus sesuai
dengan kebutuhannya, termasuk rujukan yang tidak perlu mengulangi prosedur.
f. Dimensi Keamanan; layanan kesehatan harus aman dari resiko cidera, infeksi, efek
samping, atau bahaya lainnya, sehingga prosedur yang akan menjamin pemberi dan
penerima pelayan disusun.
g. Dimensi Kenyamanan; layanan kesehatan yang diberikan akan terasa nyaman bagi
masyarakat/pasien jika dapat mempengaruhi kepuasan dan menimbulkan kepercayaan
untuk datang kembali.
h. Dimensi Informasi; layanan kesehatan ini sangat perlu diberikan oleh petugas
puskesmas dan rumah sakit kepada masyarakat, yang mana dapat mempengaruhi
perubahan perilaku.

30
i. Dimensi Ketepatan Waktu; layanan kesehatan harus dilakukan dalam waktu dan cara
yang tepat, oleh pemberi layanan yang tepat, menggunakan peralatan dan obat yang
tepat, serta biaya yang tepat (efisien).
j. Dimensi Hubungan Antarmanusia; hubungan antarmanusia yang baik akan
menimbulkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara saling menghargai, menjaga
rahasia, saling menghormati, responsif, memberi perhatian, dan lain-lain.

Syarat pokok pelayanan kesehatan


Suatu pelayanan kesehatan dikatakan baik apabila:
1. Tersedia (available) dan berkesinambungan (continuous)
Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit
ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang
dibutuhkan.
2. Dapat diterima (acceptable) dan bersifat wajar (appropriate)
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat,
kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan mesyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah
suatu pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian, untuk
dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana
kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di
daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah
pelayanan kesehatan yang baik.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Keterjangkauan yang dimaksud adalah terutama dari sudut biaya. Untuk dapat
mewujudkan keadaan yang seperti itu harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan
tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah kesehatan
yang baik.
5. Bermutu (quality)
Mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak tata cara penyelenggaraannya sesuai
dengan kode etik serta standart yang telah ditetapkan.

Prinsip pelayanan prima di bidang kesehatan


1. Mengutamakan pelanggan
Prosedur pelayanan disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk
memeperlancar pekerjaan kita sendiri. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal
dan internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Jika
pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung maka harus dipersiapkan jenis-jenis
layanan yang sesuai untuk keduanya dan utamakan pelanggan tak langsung.
2. System yang efektif

31
Proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah system yang nyata (hard system), yaitu
tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi. Perpaduan
tersebut harus terlihat sebagai sebuah proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib
dan lancar dimata para pelanggan.
3. Melayani dengan hati nurani (soft system)
Dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan, yang diutamakan keaslian sikap dan
perilaku sesuai dengan hati nurani, perilaku yang dibuat-buat sangat mudah dikenali
pelanggan dan memperburuk citra pribadi pelayan. Keaslian perilaku hanya dapat muncul
pada pribadi yang sudah matang.
4. Perbaikan yang berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses
pelayanan. Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin
sulit untuk dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi, kebutuhannya juga
semakin meluas dan beragam, maka sebagai pemberi jasa harus mengadakan perbaikan
terus menerus.

5. Memberdayakan pelanggan
Menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya atau
perangkat tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari.
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan mencakup:
1. Penataan organisasi
Penataan organisasi menjadi organisasi yang efisien, efektif dengan struktur dan uraian tugas
yang tidak tumpang tindih, dan jalinan hubungan kerja yang jelas dengan berpegang pada
prinsip organization through the function.
2. Regulasi peraturan perundangan
Pengkajian secara komprehensif terhadap berbagai peraturan perundangan yang telah ada dan
diikuti dengan regulasi yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut di atas.
3. Pemantapan jejaring
Pengembangan dan pemantapan jejaring dengan pusat unggulan pelayanan dan sistem
rujukannya akan sangat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan, sehingga
dengan demikian akan meningkatkan mutu pelayanan.
4. Standarisasi
Standarisasi merupakan kegiatan penting yang harus dilaksanakan, meliputi standar tenaga
baik kuantitatif maupun kualitatif, sarana dan fasilitas, kemampuan, metode, pencatatan dan
pelaporan dan lain-lain. Luaran yang diharapkan juga harus distandarisasi.
5. Pengembangan sumber daya manusia
Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan dan
berkesinambungan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional, yang

32
kompeten dan memiliki moral dan etika, mempunyai dedikasi yang tinggi, kreatif dan
inovatif serta bersikap antisipatif terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi baik
perubahan secara lokal maupun global.
6. Quality Assurance
Berbagai komponen kegiatan quality assurance harus segera dilaksanakan dengan diikuti oleh
perencanaan dan pelaksanaan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan untuk mencapai
peningkatan mutu pelayanan. Data dan informasi yang diperoleh dianalysis dengan cermat
( root cause analysis ) dan dilanjutkan dengan penyusunan rancangan tindakan perbaikan
yang tepat dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Semuanya ini dilakukan
dengan pendekatan “tailor’s model“ dan Plan- Do- Control- Action (PDCA).
7. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan membangun kerjasama
dan kolaborasi dengan pusat-pusat unggulan baik yang bertaraf lokal atau dalam negeri
maupun internasional. Penerapan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pembiayaan.
8. Peningkatan peran serta masyarakat dan organisasi profesi
Peningkatan peran organisasi profesi terutama dalam pembinaan anggota sesuai dengan
standar profesi dan peningkatan mutu sumber daya manusia.

9. Peningkatan kontrol social


Peningkatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan akan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan mutu pelayanan
PELAYANAN IMUNISASI
Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan parameter kesehatan
nasional. Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 80%, artinya di setiap desa,
anak-anak berusia di bawah 12 bulan, 80% harus sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap. Tetapi saat ini, cakupan imunisasi belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan
imunisasi yang tidak sesuai target adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit
dapat dicegah bila cakupan imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah
dengan cakupan imunisasi. Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka
penularan akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan
mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).

Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah
aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan kesehatan masih minim termasuk
imunisasi. Selain itu, masyarakat sering menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek
tidak boleh diimunisasi. Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi
akibat minimnya pendidikan. Sehingga tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau perawat
memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi. Faktor lain adalah

33
munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan pemahaman masyarakat mengenai
ASI juga turut mempengaruhi kesediaan untuk melakukan imunisasi. ASI memang
meningkatkan daya tahan, namun perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya
paparan pada anak (majalah farmacia, 2012).

Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi harus lebih intensif
dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat efektif dalam memberikan
perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi
membentuk sel memori yang akan dibawa seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan
lengkap dan sel memori terbentuk semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang
diberikan (Hadinegoro, 2012).

Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya hepatitis B atau
DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan dalam jangka panjang
sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan yang diberikan imunisasi dasar
tidak berlangsung seumur hidup dan ditandai dengan titer antibodi yang semakin lama
semakin menurun. Pemberian booster dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori
untuk membentuk antibodi agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective
level) (Hadinegoro, 2012).

Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan booster pada usia 18-
24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali turun sehingga perlu booster
kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10 tahun. Komponen T (tetanus) pada
vaksin DTP juga harus bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap tetanus
neonatorum (penting untuk melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila
pemotongan tali pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu
hamil (Hadinegoro, 2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola penyakit dari
kelompok usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus
yang bisa dicegah dengan vaksin DTP bisa mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga
semua usia rentan terhadap penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).

Imunisasi dasar untuk bayi

Vaksinasi Jadwal Booster/Ulangan


pemberian-usia

BCG Waktu lahir -- Tuberkulosis

34
Hepatitis Waktulahir-dosis 1 tahun-- pada Hepatitis B
B I bayi yang lahir
dari ibu dengan
1bulan-dosis 2
hep B.
6bulan-dosis 3

DPT dan 3 bulan-dosis1 18bulan-booster1 Dipteria,


Polio pertusis,
4 bulan-dosis2 6tahun-booster 2
tetanus,dan
5 bulan-dosis3 12tahun-booster3 polio

campak 9 bulan -- Campak

Imunisasi yang dianjurkan

Vaksinasi Jadwal Booster/Ulangan Imunisasi untuk


pemberian-usia melawan
MMR 1-2 tahun 12 tahun Measles,
meningitis,
rubella
Hib 3bulan-dosis 1 18 bulan Hemophilus
influenza tipe B
4bulan-dosis 2
5bulan-dosis 3
Hepatitis A 12-18bulan -- Hepatitis A
Cacar air 12-18bulan -- Cacar air

Yang harus diperhatikan, tanyakan dahulu dengan dokter anda sebelum imunisasi jika bayi
anda sedang sakit yang disertai panas; menderita kejang-kejang sebelumnya ; atau menderita
penyakit system saraf. 
Jadwal imunisasi
Informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus diberikan kepada anak.
Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain tergantung kepada
lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya.

35
5. Memahami dan Menjelaskan aspek sosial budaya masyarakat dalam
memanfaatkan layanan kesehatan
Definisi budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitandengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Menurut
Koentjaraningrat: kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu :
1. Wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud
pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing
anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup
2. Aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri
atasaktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul
satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan
adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret
3. Wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan
karyamanusia dalam masyarakat.

Manusia dinilai makhluk yang berbudaya jika manusia tersebut memiliki akal dan
pikiran yang selalu aktual dalam mengisi kehidupannya dengan tidak lelah mencari ilmu
pengetahuan apapun untuk mengembangkan kepribadiannya. Dengan berbekal akal dan
pikiran yang terus-menerus diasah, diharapkan manusia tersebut mencapai tujuan-tujuan
hidup mereka dengan baik. Sehingga dari hal tersebut, manusia dapat membagi apa yang
telah meraka dapatkan dengan manusia-manusia lainnya yang membutuhkan.
Budaya yang dikembangkan oleh manusia akan berimplikasi pada lingkungan tempat
kebudayaan itu berkembang. Suatu kebudayaan memancarkan suatu ciri khas dari
masyarakatnya yang tampak dari luar. Dengan menganalisis pengaruh akibat budaya terhadap
lingkungan seseorang dapat mengetahui, mengapa di sebuah lingkungan tertentu akan
berbeda kebiasaanya dengan lingkungan lainnya dan mengasilkan kebudayaan yang berbeda
pula. 

36
Aspek mayor karakteristik budaya
WUJUD
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak
dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di
alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka
itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan,
dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati, dan
didokumentasikan.
3. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang
satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
kebudayaan ideal mengatur, dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya
(artefak) manusia.

Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut
ahli antropologi Cateora, yaitu :

1. Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

2. Kebudayaan nonmaterial

37
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

3. Lembaga social
Lembaga social, dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek
berhubungan, dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam
suatu Negara akan menjadi dasar, dan konsep yang berlaku pada tatanan social
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota, dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak
perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di
kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier

4. Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun system kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam
masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana
memandang hidup, dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara
bagaimana berkomunikasi.

5. Estetika
Berhubungan dengan seni, dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan tari
–tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap
masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam
segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan efektif.
Misalkan di beberapa wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan
jenis apa saj harus meletakan janur kuning, dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti
disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat
masyarakatnya menggunakan cara tersebut.

6. Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian, dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi
bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat
unik, dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi
keunikan, dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami agar komunikasi
lebih baik, dan efektif dengan memperoleh nilai empati, dan simpati dari orang lain.

Perilaku Kesehatan Individu Dalam Masyarakat


Perilaku kesehatan, ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian
kesehatan masyarakat. Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), perilaku
manusia dalam hal kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku
(behavioral factors) dan faktor non-perilaku (non behavioral factors).

Lawrence Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh tiga faktor
utama, yaitu:

38
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau
mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin
adalah sarana  dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong dan
memperkuat terjadinya perilaku.

Aspek Pelayanan Kesehatan Dilihat Dari Aspek Sosbud


Pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat Tantangan berat yang masih
dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalahsebagai berikut.
1. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta
penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat yang belum memadai terutama pada
golongan wanita.
3. Kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, dan perilaku yang
kurang menunjang dalam bidang kesehatan.
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan bidang
kesehatan.Aspek sosial budaya yang berhubungan dengan kesehatanAspek soaial budaya
yang berhubungan dengan kesehatan anatara lain adalah faktorkemiskinan, masalah
kependudukan, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan homoseksual.

Model treatment seeking behavior dan factor-faktornya


1.   Perilaku pemeliharaan kesehatan ( health maintenance) : Adalah perilaku atau usaha-
usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar  tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bila sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek
yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan
kesehatan bila telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu
dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang
yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal
mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara
serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman
dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap
makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering
disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah

39
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit atau
kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai dari mengobati sendiri (self treatment)
sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan. Bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik


lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut
tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang
mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga,
atau masyarakat. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat
pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.

Perilaku Kesehatan Masyarakat dan Pola pencarian pengobatan


Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Bentuk
dari perilaku tersebut ada dua yaitu pasif dan aktif. Perilaku pasif merupakan respon internal
dan hanya dapat dilihat oleh diri sendiri sedangkan perilaku aktif dapat dilihat oleh orang
lain. Masyarakat memiliki beberapa macam perilaku terhadap kesehatan. Perilaku tersebut
umumnya dibagi menjadi dua, yaitu perilaku sehat dan perilaku sakit.
Perilaku sehat yang dimaksud yaitu perilaku seseorang yang sehat dan meningkatkan
kesehatannya tersebut. Perilaku sehat mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau
menghindari dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah, atau penyebab masalah
(perilaku preventif). Contoh dari perilaku sehat ini antara lain makan makanan dengan gizi
seimbang, olah raga secara teratur, dan menggosok gigi sebelum tidur.
Yang kedua adalah perilaku sakit. Perilaku sakit adalah perilaku seseorang yang sakit
atau telah terkena masalah kesehatan untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan
masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health
seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila
terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan melalui sarana pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.
Secara lebih detail, Becker (1979) membagi perilaku masyarakat yang berhubungan
dengan kesehatan menjadi tiga, yaitu:
1. perilaku kesehatan : hal yang berkaitan dengan tindakan seseorang dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatannya. Contoh : memilih makanan yang sehat, tindakan-tindakan
yang dapat mencegah penyakit.
2. perilaku sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individuyang
merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Contoh
pengetahuan individu untuk memperoleh keuntungan.
3. perilaku peran sakit : segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit untuk memperoleh kesehatan.
Terdapat dua paradigma dalam kesehatan yaitu paradigma sakit dan paradigma
sehat.Paradigma sakit adalah paradigma yang beranggapan bahwa rumah sakit adalah
tempatnya orang sakit. Hanya di saat sakit, seseorang diantar masuk ke rumah sakit. Ini
adalah paradigma yang salah yang menitikberatkan kepada aspek kuratif dan rehabilitatif.

40
Sedangkan paradigma sehat Menitikberatkan pada aspek promotif dan preventif,
berpandangan bahwa tindakan pencegahan itu lebih baik dan lebih murah dibandingkan
pengobatan.

Aspek Sosial Budaya dalam Pencarian Pelayanan Kesehatan


Walaupun jaminan kesehatan dapat membantu banyak orang yang berpenghasilan rendah
dalam memperoleh perawatan yang mereka butuhkan, tetapi ada alasan lain disamping biaya
perawatan kesehatan, yaitu adanya celah diantara kelas sosial dan budaya dalam penggunaan
pelayanan kesehatan (Sarafino, 2002). Seseorang yang berasal dari kelas sosial menengah ke
bawah merasa diri mereka lebih rentan untuk terkena penyakit dibandingkan dengan mereka
yang berasal dari kelas atas. Sebagai hasilnya mereka yang berpenghasilan rendah lebih tidak
mungkin untuk mencari pencegahan penyakit (Sarafino, 2002).

Faktor Sosial dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


a. Cenderung lebih tinggi pada kelompok orang muda dan orang tua
b. Cenderung lebih tinggi pada orang yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan
tinggi
c. Cenderung lebih tinggi pada kelompok Yahudi dibandingkan dengan penganut agama
lain.
d. Persepsi sangat erat hubungannya dengan penggunaan pelayanan kesehatan.

Faktor Budaya dalam Penggunaan Pelayanan Kesehatan


Faktor kebudayaan yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan diantaranya
adalah:
a. Rendah penggunaan pelayanan kesehatan pada suku bangsa terpencil.
b. Ikatan keluarga yang kuat lebih banyak menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Meminta nasehat dari keluarga dan teman-teman.
d. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit. Dengan asumsi jika pengetahuan tentang
sakit meningkat maka penggunaan pelayanan kesehatan juga meningkat.
e. Sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap provider sebagai pemberi pelayanan
kesehatan.

41
6. Memahami dan Menjelaskan pandangan agama islam tentang KLB
Tha’un  disadari sebagai wabah yang menggelisahkan masyarakat Rasulullah saw ketika
itu. Jika suatu wabah berjangkit dalam suatu wilayah, maka kebijakan Nabi adalah
melakukan isolasi, yaitu orang luar tidak boleh masuk ke wilayah epidemi dan
sebaliknya orang yang berada di wilayah itu tidak boleh keluar ke daerah lain. Demikian
sabda Nabi Muhammad saw.:
)‫ااذا سمعتم با لطاعون با رض فال تد خلوا ها واذا وقع با ر ض وانتم بها فال تخرجوا منها (رواه الترمذى عن سعيد‬

Artinya;

Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu


memasukinya (tempat itu). Apa bila kamu  (terlanjur) berada di tempat yang terkena
wabah itu, maka janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id).

Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah tha’un (pes, sampar, atau
penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman  yang mengelupaskan kulit  – mungkin
seperti wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang
siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu (tha’un  dan al-masih) masuk ke kota
Madinah. Demikian sabda Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-
tha’un ( . . . Tidak boleh masuk ke Madinah bagi yang terjangkit oleh al-
masih dan tha’un  – H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah) 

Tha’un Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat


Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-tha’un rijsun ..  (. . .tha’un itu
adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi sebagai siksa
atau penyakit (‘azab). Beliau bersabda:

42
- – - ‫انه كا ن عذ ا با يبعثه هللا على من يشاء فجعله هللا رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطعون فيمكث فى بلده صا‬
)‫ عن عائشه‬ ‫برا يعلم انه لم يصيبه اال ما كتب هللا له اال كا ن مثل اجر االشهيد (رواه البخارى‬

Artinya:

. . . Bahwa ada suatu ‘azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang
yang Ia kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin.
Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa tha’un kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu
dengan sabar dan ia menyadari bahwa tha’un itu tidak akan menimpa kecuali telah
ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-
Bukhari dari ‘Aisyah).
  Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa (l) penduduk yang wilayahnya terkena wabah
dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak akan
menular kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak keluar
dari wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan rahmat
dalam kasus ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-llaha
ma’a ash-shabirin) 

Pemerintahan Umar dan Wabah Tha’un


Pada waktu pemerintahan Umar bin Khatab terjadi wabah di Syam (sekarang Suriah).
Pada saat itu sedang terjadi peperangan antara pasukan Islam melawan pasukan
Byzantium di Suriah. Kasus ini (wabah) didiskusikan berulang-ulang dengan para
pemimpin negara maupun para ulama. Kesimpulan akhir dari diskusi itu adalah: (1) Para
prajurit yang belum berangkat ke Syam supaya diurungkan tidak jadi berangkat ke
medan  perang, (2) Bagi yang sudah berada di medang perang (di Syam) tidak boleh
mundur atau kembali ke Madinah, (3) Dasar kesimpulan ini adalah menghindari takdir
(tertular wabah)  dan mencari takldir (keselamatan dengan menjauh dari wabah – H.R. al-
Bukhari,VII [t.th.]:20-21).

Kesimpulan

Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini dapat
disimpulkan bahwa: (l) tha’un cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama
Islam, (2) mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata
kunci untuk usaha ini adalah lari dari takdir lama  kemudian mencari takdir baru.

7. Memahami dan Menjelaskan tentang menjaga kesehatan dan berobat

Anjuran Menjaga Kesehatan

Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak
terkena penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan

43
agar orang tetap sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada
meminum obat saat sakit. Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan:

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya
bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku,
Nabi menjawab: Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku
menghadap lagipada kesempatan yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan
kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku. Nabi menjawab: “Wahai Abbas,
wahai paman Rasulullah saw mintalah kesehatan kepada Allah, di dunia dan akhirat.”
(HR Ahmad, al-Tumudzi, dan al-Bazzar)

Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar
kesehatan, antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa
tenang, serta menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya
terjangkit penyakit. Hal-hal tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari
hadits-hadits shahih maupun ayat al-Quran.

Nilai Sehat dalam Ajaran Islam

Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipaharm. berdasarkan rumusan WHO
yaitu: Health is a state of complete physical, mental and social-being, not merely the
absence q; disease on infirmity (Sehat adalah suatu keadaan j^sm rohaniah, dan sosia]
yang baik, tidak hanyatidak bt”.*)-esiyal cacat). Dadang Ha\v?ri melaporkan, bahwa
s^aK ^hunsehingga rnonjadi -eliat

Menurut penelitian ‘Ali Mu’nis, dokter spesialis internal Fakultas Kedokteran


Universitas ‘Ain Syams Cairo, menunjukan bahwa ilmu kedokteran modern menemukan
kecocokan terhadap yang disyariatkan Nabi dalam praktek pcngobatan yang berhubungan
dengan spesialisasinya.

Sebagaiman disepakati oleh para ulama bahwa di balik pengsyariatan segala sesuatu
termasuk ibadah dalam Islam terdapat hikrnah dan manfaat phisik (badaniah) dan psikis
(kejiwaan). Pada saat orang-orang Islam menunaikan kewajiban-kewajiban keagamannya,
berbagai penyakit lahir dan batin terjaga.

Kesehatan Jasmani

Ajaran Islam sangat menekankan kesehatan jasmani. Agar tetap sehat, hal yang perlu
diperhatikan dan dijaga, menurut sementara ulama, disebutkan, ada sepuluh hal, yaitu:
dalam hal makan, minum, gerak, diam, tidur, terjaga, hubungan seksual, keinginan-
keinginan nafsu, keadaan kejiwaan, dan mengatur anggota badan.

Pertama; Mengatur Pola Makan dan Minum

44
Dalam ilmu kesehatan atau gizi disebutkan, makanan adalah unsur terpenting untuk
menjaga kesehatan. Kalangan ahli kedokteran Islam menyebutkan, makan yang halalan
dan thayyiban. Al-Quran berpesan agar manusia memperhatikan yang dimakannya,
seperti ditegaskan dalam ayat: “maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya”.(QS. ‘Abasa 80 : 24 )

Dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, al-Quran selalu menekankan dua
sifat, yang halal dan thayyib, di antaranya dalam (Q., s. al-Baqarat (2)1168; al-Maidat
(s):88; al-Anfal (8):&9; al-Nahl (16) : 1 14),

Kedua; Keseimbangan Beraktivitas dan Istirahat

Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam
menekankan bagi ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga
mengandung nilai kesehatan. Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut.

Al-Quran melarang melakukan sesuatu yang dapat merusak badan. Para pakar di bidang
medis memberikan contoh seperti merokok. Alasannya, termasuk dalam larangan
membinasakan diri dan mubadzir dan akibatyang ditimbulkan, bau, mengganggu orang
lain dan lingkungan.

Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai
anjuran Nabi: Bahwa badanmu mempunyai hak

Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat
cukup, di samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan
agar mengatur waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur
secara proporsional, masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi.

Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti
melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun
maksudnya untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang
ingin terus menerus shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus
menerus sepanjang tahun, dan yang lain tidak mau ‘menggauli’ istrinya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:

“Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa
kamu puasa di sz’am? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya
Rasulullah, Nabi menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam
dan tidurlah, sebab, pada badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak” (HR
Bukhari dan Muslim).

Ketiga; Olahraga sebagai Upaya Menjaga Kesehatan

45
Aktivitas terpenting untuk menjaga kesehatan dalam ilmu kesehatan adalah melalui
kegiatan berolahraga. Kata olahraga atau sport (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin
Disportorea atau deportore, dalam bahasa Itali disebut ‘deporte’ yang berarti
penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk bergembira. Olahraga atau sport
dirumuskan sebagai kesibukan manusia untuk menggembirakan diri sambil memelihara
jasmaniah.

Tujuan utama olahraga adalah untuk mempertinggi kesehatan yang positif, daya tahan,
tenaga otot, keseimbangan emosional, efisiensi dari fungsi-rungsi alat tubuh, dan daya
ekspresif serta daya kreatif. Dengan melakukan olahraga secara bertahap, teratur, dan
cukup akan meningkatkan dan memperbaiki kesegaran jasmani, menguatkan dan
menyehatkan tubuh. Dengan kesegaran jasmani seseorang akan mampu beraktivitas
dengan baik.

Dalam pandangan ulama fikih, olahraga (Bahasa Arab: al-Riyadhat) termasuk bidang
ijtihadiyat. Secara umum hokum melakukannya adalah mubah, bahkan bisa bernilai
ibadah, jika diniati ibadah atau agar mampu melakukannya melakukan ibadah dengan
sempurna dan pelaksanaannyatidakbertentangan dengan norma Islami.

Sumber ajaran Islam tidak mengatur secara rinci masalah yang berhubungan dengan
berolahraga, karena termasuk masalah ‘duniawi’ atau ijtihadiyat, maka bentuk, teknik,
dan peraturannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia atau ahlinya. Islam hanya
memberikan prinsip dan landasan umum yang harus dipatuhi dalam kegiatan berolahraga.

Nash al-Quran yang dijadikan sebagai pedoman perlunya berolahraga, dalam konteks
perintah jihad agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan serangan
musuh, yaitu ayat:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu najkahkanpadajalan
Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan). (QS.Al-Anfal :6o):

Nabi menafsirkan kata kekuatan (al-Quwwah) yang dimaksud dalam ayat ini adalah
memanah. Nabi pernah menyampaikannya dari atas mimbar disebutkan 3 kali,
sebagaimana dinyatakan dalam satu hadits:

Nabi berkata: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sang gupi” Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah
memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, (HR Muslim, al-Turmudzi, Abu
Dawud, Ibn Majah, Ahmad, dan al-Darimi)

46
Keempat; Anjuran Menjaga Kebersihan

Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu
aspek penting dalam ilmu kedokteran. Dalam terminologi Islam, masalah yang
berhubungan dengan kebersihan disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang
kebersihan dan kesehatan, al-thaharat merupakan salah satu bentuk upaya preventif,
berguna untuk menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri.

Imam al-Suyuthi, ‘Abd al-Hamid al-Qudhat, dan ulama yang lain menyatakan, dalam
Islam menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah sebagai bentuk qurbat,
bagian dari ta’abbudi, merupakan kewajiban, sebagai kunci ibadah, Nabi bersabda: “Dari
‘Ali ra., dari Nabi saw, beliau berkata: “Kunci shalat adalah bersuci” (HR Ibnu Majah, al-
Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi)

Berbagai ritual Islam mengharuskan seseorang melakukan thaharat dari najis, mutanajjis,
dan hadats. Demikian pentingnya kedudukan menjaga kesucian dalam Islam, sehingga
dalam buku-buku fikih dan sebagian besar buku hadits selalu dimulai dengan mengupas
masalah thaharat, dan dapat dinyatakan bahwa ‘fikih pertama yang dipelajari umat Islam
adalah masalah kesucian’.

‘Abd al-Mun’im Qandil dalam bukunya al-Tadaivi bi al-Quran seperti halnya kebanyakan
ulama membagi thaharat menjadi dua, yaitu lahiriah dan rohani. Kesucian lahiriah
meliputi kebersihan badan, pakaian, tempat tinggal, jalan dan segala sesuatu yang
dipergunakan manusia dalam urusan kehidupan. Sedangkan kesucian rohani meliputi
kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan pikiran.

HUKUM BEROBAT

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berobat. Menurut jumhur atau mayoritas
ulama, berobat tidaklah wajib. Sebagian ulama berpendapat wajibnya jika khawatir tidak
berobat, malah diri seseorang binasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Berobat tidaklah wajib menurut
mayoritas ulama. Yang mewajibkannya hanyalah segelintir ulama saja sebagaimana yang
berpendapat demikian adalah sebagian ulama Syafi’i dan Hambali. Para ulama pun
berselisih pendapat manakah yang lebih utama, berobat ataukah sabar. Karena hadits
shahih yang menerangkan hal ini dari Ibnu ‘Abbas, tentang budak wanita yang sabar
terkena penyakit ayan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 268)
Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Sekelompok sahabat Nabi dan tabi’in tidak mengambil
pilihan untuk berobat. Ada sahabat seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar tidak mau
berobat, lantas sahabat lainnya tidak mengingkarinya.” (Idem)
Mengenai Hadits Orang yang Masuk Surga Tanpa Hisab

47
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Para ulama berselisih pendapat
manakah yang lebih utama, apakah berobat atau meninggalkan berobat lantas lebih
memilih untuk bertawakkal pada Allah?” Ada dua pendapat dalam masalah ini. Yang
nampak dari pendapat Imam Ahmad adalah lebih afdhol untuk bertawakkal bagi yang
kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membicarakan ada 70.000 orang
dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,

َ‫هُ ْم الَّ ِذينَ اَل يَتَطَيَّرُونَ َواَل يَ ْستَرْ قُونَ َواَل يَ ْكتَوُونَ َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَت ََو َّكلُون‬
“Mereka itu adalah orang yang tidak beranggapan sial (tathoyyur), tidak meminta
diruqyah, tidak meminta dikay (disembuhkan luka dengan besi panas) dan kepada Allah,
mereka bertawakkal.”
Sedangkan ulama yang lebih memilih pendapat berobat itu lebih utama beralasan dengan
keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat. Yang Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lakukan tentu suatu hal yang afdhol (utama). Sedangkan mengenai hadits
ruqyah yang dikatakan makruh adalah bagi yang dikhawatirkan terjerumus dalam
kesyirikan (karena tergantung hatinya pada ruqyah, bukan pada Allah Yang Maha
Menyembuhkan, -pen). Dipahami demikian karena meminta ruqyah tadi dikaitkan dengan
meminta dikay dan beranggapan sial, yang semuanya dihukumi terlarang.” (Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, 2: 500-501).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak termasuk
tercela jika seseorang memilih berobat ke dokter. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengatakan (mengenai 70.000 orang yang masuk surga tanpa siksa, -pen),
“Mereka tidaklah berobat.” Namun yang beliau katakan adalah, “Mereka tidak meminta
dikay dan tidak meminta diruqyah.” Masalahnya jika pasien terlalu menggantungkan
hatinya pada dokter. Yang jadi problema adalah bila harapan dan rasa khawatirnya
hanyalah pada dokter. Inilah yang mengurangi tawakkalnya. Oleh karenanya, patut
diingatkan bahwa setiap orang yang pergi berobat ke dokter, hendaklah ia yakini bahwa
berobat hanyalah sebab sedangkan yang mendatangkan kesembuhan adalah Allah. Atas
kuasa Allah, kesembuhan itu datang. Inilah yang harus jadi prinsip seorang muslim
sehingga tidak kurang tawakkalnya pada Allah.” (Fatwa Nur ‘alad Darb, 3: 213)
Mengenai Hadits Wanita yang Terkena Penyakit Ayan
Mengenai hadits yang telah disinggung di atas yaitu tentang wanita yang terkena penyakit
ayan,

ِ َ‫وْ دَا ُء أَت‬ž‫الس‬


‫ت‬ َّ ُ‫رْ أَة‬žž‫ ِذ ِه ْال َم‬žَ‫ال ه‬ž َ žَ‫ ق‬. ‫ت بَلَى‬ ُ ‫ ِل ْال َجنَّ ِة قُ ْل‬ž‫ َرأَةً ِم ْن أَ ْه‬ž‫ك ا ْم‬ َ ‫س أَالَ أُ ِري‬ٍ ‫اح قَا َل قَا َل لِى ابْنُ َعبَّا‬ ٍ َ‫طا ُء بْنُ أَبِى َرب‬
َ ‫عَن َع‬
ْ
‫ك ال َجنَّةُ َوإِ ْن‬ِ žžَ‫ت َول‬
ِ ْ‫صبَر‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ قَا َل « إِ ْن ِش ْئ‬. ‫ع َ لِى‬ ‫هَّللا‬ َ
ُ ‫ َوإِنِّى أتَ َك َّشفُ فَا ْد‬، ‫ع‬ ُ
ُ ‫ت ِإنِّى أصْ َر‬ ْ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – فَقَال‬ َّ ِ‫النَّب‬
َ
‫ فَ َدعَا لَهَا‬، َ‫ع َ أ ْن الَ أتَ َك َّشف‬ َ ‫هَّللا‬ َ
ُ ‫ت ِإنِّى أتَ َك َّشفُ فَا ْد‬ ْ َ‫ فَقَال‬. ‫ت أصْ بِ ُر‬َ ْ َ‫ فَقَال‬. » ‫ك‬ َ ‫هَّللا‬
ِ َ‫ت َ أ ْن يُ َعافِي‬ ِ ‫ِش ْئ‬
ُ ْ‫ت َدعَو‬

Dari ‘Atho’ bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu ‘Abbas berkata padanya, “Maukah
kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga?” ‘Atho menjawab, “Iya mau.” Ibnu
‘Abbas berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas ia pun berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku
sering terbuka karenanya. Berdo’alah pada Allah untukku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa

48
sallam pun bersabda, “Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan
berdo’a pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata, “Aku memilih
bersabar.”  Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (kala aku terkena ayan).
Berdo’alah pada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam– pun berdo’a pada Allah untuk wanita tersebut. (HR. Bukhari no. 5652 dan
Muslim no. 2576). Baca penjelasan hadits ini di Rumaysho.Com: Jika Bersabar, Bagimu
Surga.
Hadits di atas hanyalah menunjukkan bahwa boleh meninggalkan berobat dalam kondisi
seperti yang wanita itu alami yaitu saat ia masih kuat menahan penyakitnya. (Lihat Fatwa
Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 81973)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Hadits tersebut menjelaskan
keutamaan orang yang bersabar ketika tertimpa penyakit ayan. Juga terkandung pelajaran
bahwa orang yang bersabar terhadap cobaan dunia, maka itu memudahkannya
mendapatkan surga. Orang yang menahan rasa sakit yang berat lebih utama daripada
orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), dengan catatan ini bagi yang mampu
menahan. Hadits ini juga menunjukkan boleh memilih tidak berobat. Juga hadits ini
menunjukkan bahwa berobat dari setiap penyakit dengan do’a dan menyandarkan diri
pada Allah lebih manfaat daripada mengonsumsi berbagai macam obat. Pengaruh do’a
dan tawakkal pada badan lebih besar daripada pengaruh berbagai macam obat pada
badan. Namun do’a tersebut bisa manfaat jika: (1) pasien yang diobati punya niat yang
benar, (2) orang yang memberi obat, hatinya bertakwa dan benar-benar bertawakkal pada
Allah.” Wallahu a’lam. (Fathul Bari, 10: 115).
Hukum Berobat
Majma’ Al Fiqh Al Islami berpendapat wajibnya berobat bagi orang yang jika
meninggalkan berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya jadi
lemah, juga bagi orang yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya pada orang lain.
(Dinukil dari Fatwa Syaikh Sholeh Al Munajjid no. 81973)
Rincian paling baik tentang masalah hukum berobat disampaikan oleh Syaikh Sholih Al
Munajjid,
1- Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.
2- Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun keadaannya
tidak seperti yang pertama.
3- Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan
pertama.
4- Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang
lebih parah. (Lihat Fatawa Syaikh Sholih Al Munajjid no. 2148) 

49
DAFTAR PUSTAKA
Subangkit. Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan RI, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biomedis dan Farmasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2012. Kejadian Luar Biasa Campak di Indonesia tahun 2007 CDK-
191_vol39_no3_th2012.indd 192.

Buchari, Lapau. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta

Bustan, 2002. Pengantar Epidemiologi. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Salemba Medika. Jakarta

Entjang, 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta

Notoatmojo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Prinsip Prinsip Dasar. PT. Rineka Cipta.
Jakarta

Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2. Jenis Penyakit Menular Tertentu


Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan
Tamher. 2004. Flu Burung Aspek Klinis dan Epidemiologi. Salemba Medika. Jakarta

50
Timmreck,Thomas C. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta

51

Anda mungkin juga menyukai