Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

FRAKTUR TIBIA PLATEU

Dokter Pembimbing:
Dr. Ryan Indra, Sp. Rad

Disusun oleh:
Tri Handini (1102014269)
Arki Farros (1102015035)

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI

UNIVERSITAS YARSI

2020
LAPORAN KASUS

Identitas Penderita
Nama : Tn. B
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Ojek Online
Agama : Islam
Alamat : Kejaksan, Cirebon
Status : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 15-08-2020 ( pukul 11:30)
Tanggal KRS : 18-08-2020

Anamnesa
1. Keluhan Utama
Nyeri pada lutut kanan setelah kecelakaan saat mengantar penumpang.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang post KLL ke UGD RSUD RS Arjawinangun jam 11:30 WIB
(15/08/2020) diantar oleh rekan kerja sesame ojek online dengan keluhan
nyeri pada kaki kanan dan sulit untuk digerakkan setelah kecelakaan sepeda
motor vs sepeda motor pada jam 10:30. Pasien menabrak pengendara motor
lain dari belakang karena sepeda motor tersebut berbelok tiba – tiba lalu
terjatuh ke sisi kanan dengan kaki kanan menumpu badan, dan tangan kanan
membentur aspal.
. Pasien dalam keadaan sadar ingat kejadian, tidak pingsan, mual muntah (-),
pusing (-), didapatkan luka pada lutut kaki kanan

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien tidak pernah mengalami hal yang dialami pasien saat ini
 Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
 Alergi : tidak ada
 Maag
 Tidak ada riwayat nyeri pada kaki sebelumnya

4. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan apapun.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga pasien dalam keadaan sehat dan tidak mengalami sakit apapun

Pemeriksaan Fisik (15/08/2020)


a. Primary Survey
Airway : Baik
Breathing :Napas spontan, gerakan dada simetris, sesak (-),suara napas
tambahan (-),RR : 20x/menit
Circulation : TD : 140/90 mmHg, nadi : 89x/menit, akral hangat
Disability : GCS 15 ( E4 M5 V6)
Exposure : terdapat vulnus abratio pada lutut kanan.
b. Secondary Survey
Keadaan umum : Kesakitan
Kesadaran : Composmentis, GCS 15 ( E4 M5 V6)

Tanda vital : TD : 140/90 mmHg


Nadi : 89x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 370C

c. Status Generalis
1. Kepala/Leher
Kepala : normocephal, tidak terdapat psikatrik maupun massa
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran kgb (-),pembesaran kelenjar
tiroid(-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema (-/-)
Telinga : Otorhoe (-/-), battle sign (-/-), secret (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), secret (-)
Mulut :Luka (-), perdarahan (-)
2. Thorax
a. Paru-paru
Inspeksi : bentuk normal simetris, gerak napas normal, retraksi (-), jejas
(-)
Palpasi : Fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung kanan: ICS IV linea sternalis
dextra.
Batas pinggang jantung: ICS III linea midclavicularis sinistra.
Batas jantung kiri: ICS V linea axilaris anterior sinistra
 Auskultasi : BJ I – BJ II reguller, murmur (-), gallop (-)

3. Abdomen
Inspeksi : Flat, bekas operasi (-), jejas (-)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, jejas (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
4. Ekstremitas
Akral hangat (+), CRT < 2 detik
d. Status Lokalis
Regio Genu Dextra
Look : vullnus abratio, deformitas (-), oedem (-), fat bubble (-).
Feel : Nyeri (+), pulsasi a.dorsalis pedis (+), CRT < 2 detik, hangat (+).
Move: ROM aktif terbatas nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
1. X-Ray Genu D AP/Lateral

Didapatkan kesan :
• Kominutif pada kondilus lateral genu dextra dengan depresi fragmen
• Fraktur tertutup fibula dextra 1/3 proximal genu dextra
Resume
Pasien datang post KLL ke UGD RSUD RS Arjawinangun jam 11:30 WIB  
(15/08/2020) diantar oleh rekan kerja sesame ojek online dengan keluhan   nyeri   pada kaki
kanan dan sulit untuk digerakkan setelah kecelakaan   sepeda motor   vs sepeda motor pada
jam 10:30. Pasien menabrak pengendara motor lain dari belakang karena sepeda motor
tersebut   berbelok tiba – tiba lalu terjatuh   ke sisi kanan dengan kaki kanan   menumpu
badan, dan tangan kanan membentur aspal. Pasien dalam keadaan sadar ingat kejadian, tidak
pingsan, mual muntah (-), pusing (-) namun pada bagian lutut mengalami luka.
Pada pemeriksaan eksremitas bawah pasien Di dapatkan vullnus abratio, Nyeri (+), dan ROM
aktif terbatas nyeri, lalu pada pemeriksaan x-ray di dapatkan kesan Close Fracture Tibia
Plateau Dextra Schatzker 2 + Close Fracture Fibula Dextra 1/3 Proximal dan akan dilakukan
tindakan operatif, yaitu ORIF.

Diagnosis
Close Fracture Tibia Plateau Dextra Schatzker 2 + Close Fracture Fibula Dextra 1/3
Proximal
Tindakan Tatalaksana
Dilakukan Tindakan Open Reduction Interna Fixation (ORIF) tanggal 21 Agustus
2020

Follow Up
1. 15 Agustus 2020
S : Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan
O : GCS : 15
TD : 130/90 mmHg
Suhu : 360C
Nadi : 86 x/menit
Rr : 20x/menit
A : CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal
P : Konsul Interna
Inf. RL 1000cc/24 jam
Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
16 Agustus 2020
S : Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan
O : GCS : 15
TD : 130/90 mmHg
Suhu : 360C
Nadi : 86x/menit
Rr : 16x/menit
A : CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal
P : Operasi ORIF

2. 17 Agustus 2020
S : Pasien nyeri pada kaki kanan dan gatal
O : GCS : 15
TD : 130/80
Suhu : 360C
Nadi : 89x/menit
Rr : 20x/menit
A : CF Tibia Plateau D Sch II + CF Fibula D 1/3 Proximal
P : Inj. Ketorolac 3x30 mg
Inj. Ceftriaxon 2 x1 gr
Inj. Gentamicin 80mg
Inj. Ranitidin 1x40 mg
Rawat Luka
X-Ray Genu D AP/Lat
Prognosis
 Quo ad vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur tulang panjang yang paling sering
terjadi adalah fraktur pada tibia. Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada
pasien-pasien usia lanjut yang terjatuh, Pada pasien-pasien usia muda, mekanisme trauma
yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor.
World Health Organization mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari 7 juta orang
meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan
fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup tinggi yakni insiden terjadinya fraktur
ekstremitas bawah, sekitar 46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat,
mengenai pembuluh darah, otot, dan persarafan. Fraktur yang sering terjadi adalah
fraktur pada tulang panjang, salah satunya fraktur pada tibia.
Fraktur tibial plateau terjadi pada 1% dari semua fraktur dan biasanya dikarenakan
oleh benturan dengan energy yang cukup tinggi. Fraktur tibialis plateau mungkin terkait
dengan cedera pada struktur di sekitarnya termasuk pembuluh darah, saraf, ligamen,
menisci, dan kompartemen yang berdekatan. Meskipun fraktur tibialis plateau minimal
tanpa cedera dapat ditangani dengan baik secara non-operatif, namun cedera ini
memerlukan konsultasi ortopedi dan manajemen operatif jika diperlukan.
Fraktur tibia merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi.Insiden
yang terjadi pertahun pada fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per 100.000
orang, dengan 40% terjadi pada ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang
paling umum terjadi pada diafisis tibia.
(Saloni Malik, ett all. 2020)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tibia


Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung. Tibia memiliki ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang
lebih kecil serta sebuah corpus.
Tibia terdiri dari : ujung proksimal disebut sebagai plateau (terbagi menjadi medial
yang berbentuk konkaf dan lateral yang berbentuk konvex), tubercle, eminence (medial
dan lateral), batang/shaft, dan ujung distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial
maleolus). Tibial plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia
dan melakukan artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi lutut.
(Frassica, 2019).

Gambar II.1: Tibia Plateau

Sumber :

Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat. Dua plateu
dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen interkondilar, dimana tidak
mempunyai artikulasi dan merupakan perlekatan dari ligamentum cruciatum
tibia.Terdapat tiga penonjolan tulang sepanjang 2 hingga 3 cm di bagian distal dari tibia
plateu.
Permukaan sendi medial dan kondilus medial lebih kuat dibandingkan bagian
lateralnya. Sebagai hasilnya, fraktur di bagian lateral plateu lebih sering terjadi. Fraktur
medial plateu berhubungan dengan trauma karena energi yang tinggi dan sebagian besar
berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak seperti rusaknya ligamentum kolateral
yang komplek. Lesi pada nervus peroneal dan kerusakan pada pembuluh popliteal.
Facies articularis dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke posterior, oleh fossa
intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea dan fossa intercondyloidea
posterior. Fossa intercondyloidea anterior mempunyai bentuk yang lebih besar daripada
fossa intercondyloidea posterior. Tepi eminentia intercondyloidea membentuk tuberculum
intercondylare mediale dan tuberculum intercondylare laterale. Eminentia epicondylaris
bervariasi dalam bentuk dan sering juga absen
Facies articularis dari condylus medialis berbentuk oval, sedangkan facies articularis
condylus lateralis hampir bundar. Condylus lateralis lebih menonjol daripada condylus
medialis. Pada facies inferior dari permukaan dorsalnya terdapat facies articularis,
berbentuk lingkaran, dinamakan facies articularis fibularis, mengadakan persendian
dengan capitulum fibulae. Di sebelah inferior dari condylus tibiae terdapat tonjolan ke
arah anterior, disebut tuberositas tibiae. Di bagian distalnya melekat ligamentum patellae.
Corpus tibiae mempunyai tiga buah permukaan, yaitu (1) facies medialis, (2) facies
lateralis dan (3) facies posterior. Mempunyai tiga buah tepi, yaitu (1) margo anterior, (2)
margo medialis dan (3) margo interosseus. Facies medialis datar, agak konveks, ditutupi
langsung kulit dan dapat dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis konkaf, ditempati
oleh banyak otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar ke arah ventral,
melanjutkan diri menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies posterior berada di
antara margo medialis dan margo interosseus. Pada sepertiga bagian proximal terdapat
linea poplitea, suatu garis yang oblique dari facies articularis menuju ke margo medialis
(Luhulima, 2002).
Margo anterior disebut crista anterior, sangat menonjol, di bagian proximal mulai dari
tepi lateral tuberositas tibiae, dan di bagian distal menjadi tepi anterior dari malleolus
medialis. Margo medialis, mulai dari bagian dorsal condylus medialis sampai ke bagian
posterior malleolus medialis. Margo interosseus mempunyai bentuk yang lebih tegas
daripada margo medialis, tempat melekat membrana interossea. Di bagian proximal mulai
pada condylus lateralis sampai di apex incisura fibularis tibiae membentuk bifurcatio
(Luhulima, 2002).
Gambar II.2: Facies Tibia Dilihat dari Depan dan Belakang

Sumber : Netters image

Ujung distal tibia membentuk malleolus medialis. Malleolus medialis mempunyai


facies superior, anterior, posterior, medial, lateral dan inferior. Pada facies posterior
terdapat sulcus malleolaris, dilalui oleh tendo m.tibialis posterior dan m.flexor digitorum
longus. Pada permukaan lateral terdapat incisura fibularis yang membentuk persendian
dengan ujung distal fibula. Facies articularis inferior pada ujung distal tibia membentuk
persendian dengan facies anterior corpus tali (Luhulima, 2002).
2.2. Definisi Fraktur Tibial Plateau
Fraktur tibia (bumper fracture/fraktur tibiaplateau) adalah fraktur yang terjadi akibat
trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah. 

2.3. Epidemiologi
Predisposisi fraktur tibia plateu sebesar 1% dari keseluruhan fraktur dan 8% dari
keseluruhan fraktur yang biasa terjadi pada usia tua. Trauma yang terbatas pada bagian
lateral plateu mencapai 55% hingga 70% dari fraktur tibia plateu, dibandingkan dengan
fraktur yang terjadi di medial hanya sebesar 10% hingga 25%, sedangkan 10% hingga
30% fraktur tibia adalaha bikondilar. 1% hingga 3% dari fraktur ini merupakan fraktur
terbuka (Chairuddin, 2003).

2.4. Mekanisme Trauma


Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai akibat dari kecelakaan pejalan kaki
yang mengenai bumper mobil atau terbentur ke bagian aspal. Sebagian besar kejadian
fraktur tibial plateau ini juga dilaporkan terjadi akibat dari kecelakaan sepeda motor
dengan kecepatan tinggi dan jatuh dari ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat
kompresi langsung secara axial, biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus
(jarang) atau trauma tidak langsung. Posisi lutut pada saat trauma akan menyebabkan
perbedaan dari pola fraktur, lokasi, dan tingkat pergeseran. Faktor lain seperti usia dan
kualitas tulang juga berpengaruh pada konfigurasi fraktur. Pasien yang lebih tua dengan
tulang yang osteopeni akan lebih cenderung menjadi tipe fraktur depresi karena tulang
subkondral nya lebih kaku untuk mengikuti beban (Chapman, 2019).

Gambar II.3: Mechanism of Injury Fracture Tibia Plateau

Sumber :

Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih tinggi untuk
terjadinya robekan ligament sedangkan usia tua dengan kekuatan tulang yang menurun
memiliki angka kejadian lebih rendah untuk robekan ligament (Koval, 2010).
2.5. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah :

 Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan kecepatan tinggi
(usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat).

 Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko fraktur.

2.6. Derajat Fraktur


Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi Tscherne dan
Gotzen. Jika fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi Gustilo-Anderson. Fraktur tibial
plateau dapat diklasifikasikan dengan Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi
fraktur. (Kingsley, 2008)

Klasifikasi fraktur tertutup (Tscheme and Gotzen) yaitu :


Grade 0 : kerusakan jaringan lunak minimal
Grade 1 : Abrasi superficial/ kontusio
Grade 2 : Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-tanda
impending kompartemen sindrom
Grade 3 : Kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan otot

Klasifikasi fraktur terbuka (Gustilo-Anderson) yaitu :


Grade 1 : Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak
terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur
yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau
komunitif.
Grade 2 : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan
jaringan
Grade 3 : Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam
3 sub tipe:
a) grade IIIA: Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
b) grade IIIB : Disertai kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, soft
tissue cover (-)
c) grade IIIC : Disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera

2.7. Klasifikasi Fraktur Tibia Plateau


Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzker classification) :

Tipe I : Fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang lebih muda
yang tidak menderita osteoporosis berat, mungkin terdapat retakan
vertikan dengan pemisahan fragmen tunggal. Fraktur ini mungkin
sebenarnya tidak bergeser, atau jelas sekali tertekan dan miring, kalau
retakannya lebar, fragmen yang lepas atau meniscus lateral dapat
terjebak dalam celah.
Tipe II : Peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi pada fragmen.
Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan biasanya terjadi pada
orang tua dengan osteoporosis.
Tipe III : Peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh. Fraktur ini mirip
dengan tipe 2, tetapi segmen tulang sebelah luar memberikan selembar
permukaan sendi yang utuh.
Tipe IV : Fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang akibat cedera
berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral
Tipe V : Fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang melesak diantara
keduanya
Tipe VI : Kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus, biasanya akibat daya aksial
yang hebat.
(Saloni Malik, ett all. 2020)

Gambar II.4: Klasifikasi Schtzker


Sumber : http://www.orthopaedicsone.com/

2.8. Gejala Klinis


Tanda yang menunjukan adanya fraktur tibia lateu tidak jauh berbeda dengan tanda
fraktur secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas dan gangguan fungsi, namun
pada fraktur tibia plateu ini mempunyai ciri-ciri yang khas adanya pembegkaanpada lutut
dan sedikit deformitas, memar biasanya luas dan jaringan terasa adonan karena
hemathrosis. Pada pemeriksaan secara hati-hati ( dibawah anesthesia) dapat menunjukan
ketidakstabilan kearah medial  maupun lateral. Kaki dan ujung kaki harus diperiksa
dengan cermat untuk mencari ada tidaknya tanda tanda cidera pembuluh darah    dan
neurulogi.

2.9. Diagnosis
2.9.1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mengevaluasi
pasien dengan fraktur. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan nyeri, bengkak,
ataupun deformitas. Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak mampu
untuk menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun sebagian. Anmnesis penting
untuk mengetahui apakah pasien mengalami trauma dengan energy besar atau tidak.
Kecelakan motor, jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan
kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme trauma dengan energi
tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari
pasien yang akan berpengaruh pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit
penyerta seperti penyakit arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak
terkontrol memiliki resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi
(Dirchsl, 2007).
2.9.2. Pemeriksaan Fisik
1. Look (Inspeksi)
 Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi, perpendekan atau perpanjangan).
 Bengkak atau kebiruan.
 Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
2. Feel (Palpasi)
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Nyeri
3. Move (Gerakan)
- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
4. Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen, tractus
urinarius dan pelvis.
5. Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal fraktur yang
berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
(Capillary refil test), sensasi motorik dan sensorik. Pada fraktur tibial plateau,
perlu dilakukan pemeriksaan terhadap arteri popliteal yaitu diantara proksimal
dari adductor hiatus dan distal dari soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.
6. Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu berupa edem, nyeri
pada lutut dimana pasien tidak dapat memikul berat tubuh (Chairuddin, 2003).
2.9.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray dengan posisi
anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray digunakan untuk
mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau
depresi plateau mungkin tidak terlihat jelas (Alan,2010).
CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari fraktur
tibial plateau. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi diagnosis dari fraktur
tibial plateau dan diindikasikan pada kasus dengan depresi artikular. Magnetic
resonance imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi trauma ataupun sebagai
alternative dari CT-scan atau arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta
komponen jaringan lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas
untuk penggunaan MRI pada fraktur tibial plateau (Chapman, 2019).

2.10. Terapi
Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan operative.
2.10.1. Non-operative
Untuk tatalaksana Fraktur tibial plateau sangat membutuhkan konsultasi
ortopedi. Cedera ini dapat ditangani non-operatif jika tidak terdapat perpindaha
(displacement), depresi tibial plateau, kominutif, atau cedera ligamen atau meniscal
yang terkait terkait, dan biasanya diperuntungkan untuk post trauma yang terjadi
dengan mekanisme energi rendah.
Fraktur yang sesuai untuk manajemen non-operatif dapat menggunakan
penyangga lutut berengsel dan dibuat tanpa beban. Pasien harus dievaluasi setiap
minggu dengan foto polos selama 3 minggu setelah cedera, dengan asumsi tidak ada
cedera lain atau perpindahan lebih lanjut. Pasien tidak diperbolehkan menahan bebas
selama 6 minggu hingga kondisi membaik. Pasien harus tetap menggunakan brace
sampai dilakukan radiografi berulang dan didapatkan kesan membaik yang mungkin
memakan waktu hingga 12 minggu.
Rehabilitasi dapat dilkukan sesegera mungkin ntidak dapat kembali namun
tidak dapat berfungsi secara normal dalam kururn waktu 16 hingga 20 minggu atau
bahkan lebih.
Tidak boleh beraktifitas berat seperti berolahraga, atau melakukan hal hal yang
membutuhkan energi dalam mengangkat beban yang berat hingga terapi dinyatakan
selesai.
(Saloni Malik, ett all. 2020)

Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah :

1. Depresi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1 cm.
2. Instabilitasi >10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan dengan sisi
sebaliknya. Fraktur yang retak lebih tidak stabil dibandingkan fraktur yang
hanya kompresi.
3. Fraktur terbuka
4. Sindrom kompartemen
5. Adanya kerusakan vascular.

Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker classification) yaitu :

Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar harus
benar-benar direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan
operasi terbuka.

Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur


kompresi, mirip dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari
5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien telah tua dan lemah serta mengalami
osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan tujuan memperoleh kembali
mobilitas dan fungsi bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan
kompresi, traksi rangka dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah
fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan
beberapa kali untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang
berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan aktif harus
dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat diterapi sejak permulaan dengan mesin
CPM, untuk semakin meningkatkan rentang gerakan ; seminggu setelah terapi ini
penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera setelah fraktur
menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga berengsel
dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Pembebanan
penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi
ini mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan peninggian
plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut diterapi dengan
mesin CPM ; setelah beberapa hari, latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien
dibiarkan dengan gips penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.
Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM setelah beberapa hari.

Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip


terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi, fragmen
lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi
mendapat pembebanan, maka reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-
kadang dapat dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral,
jika ini berhasil, fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup
gagal, reduksi terbuka dan fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat
mungkin dan 2 minggu kemudian pasien dibiarkan bangun dalam gips-penyangga
yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.
Pasien dengan fraktur terbuka pada tibial plateau dengan kominusi yang ekstensif.
Eksternal fiksasi dipasang selama 10 hari sampai jaringan lunak memungkinkan untuk
dilakukan definitif fiksasi.

Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit bergeser
dapat diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali bergeser atau
miring, reduksi terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau ligament lateral juga robek,
ini harus diperbaiki sekaligus.

Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah resiko


sindrom kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan traksi dan
pasien kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur yang lebih kompleks
dengan kominusi berat juga lebih baik ditangani secara tertutup, meskipun traksi dan
latihan mungkin harus dilanjutkan selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu
untuk memungkinkan penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen
yang bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan :

Reduksi Terbuka dan Fiksasi


Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya dilakukan
kalau tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela longitudinal, kapsul
sendi dibuka. Tujuannya untuk mempertahankan meniskusi sambil sepenuhnya
membuka plateau yang mengalami fraktur. Ini terbaik dilakuakan dengan memasuki
sendi melalui insisi kapsul melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal
dapat direposisi dan dipertahankan dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa banyak
kesulitan. Fraktur kompresi yang komunitif harus ditinggikan dengan mendorong
massa yang terpotong-potong ke atas ; permukaan osteoartikular kemudian disokong
dengan membungkus daerah subkondral dengan cangkokan kanselosa (diperoleh dari
kondilus femur atau Krista iliaka) dan dipertahankan di tempatnya dengan memasang
plat penunjang yang sesuai dengan kontur dan sekrup pada sisi tulang itu. Kecuali
kalau terobek, meniscus harus dipertahankan dan dijahit lagi di tempatnya ketika
kapsul diperbaiki.

Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak ahli bedah
lebih suka member terapi dengan traksi dan mobilisasi. Kalau dipilih terapi operasi,
pemaparan luka secara memadai sangat diperlukan. Schatzker menganjurkan
membelah ligament patella dan membalik patella ke atas. Pasca operasi, tungkai
ditinggikan dan dibebat hingga pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat
mungkin dan dianjurkan melakukan latihan aktif. Pada akhir minggu keempat pasien
biasanya diperbolehkan dalam gips penyangga, menahan beban sebagian dengan
penopang ; penahanan beban penuh dilanjutkan bila penyembuhan telah lengkap.

Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal mungkin sudah mencukupi untuk
retakan sederhana, meskipun (b) plat penopang dan sekrup lebih aman. (c) depresi
yang lebih dari 1 cm dapat diterapi dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong
dengan pencangkokan tulang. (e) fraktur kompleks dapat diterapi dengan operasi.

2.11. Prognosis
Prognosis fraktur tibial plateau setelah dilakukan tindakan operatif yaitu Open
Reduction Interna Fixation (ORIF) dikaitkan dengan penurunan hasil fungsional. Namun,
perlu dilkaukan evaluasi pasca tindakan operatif dengan melakukan foto polos pada
bagian genu yang cedera. Fraktur tibia plateau dikarenakan trauma dengan energi yang
lebih tinggi dikaitkan dengan hasil prognosis yang buruk.

(van Dreumel RL,ett all 2015)

2.12 Komplikasi
Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua yaitu dini dan lanjut.

1. Komplikasi dini
 Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat banyak
perdarahan dan resiko munculnya sindrom kompartemen. Kaki dan ujung kaki harus
diperiksa secara terpisah untuk mencari tanda-tanda iskemia.
 Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma di aspek lateral
dimana nervus peroneal berjalan dari proksimal ke bagian atas dari fibula dan lateral
dari tibial plateau
 Laserasi arteri popliteal
2. Komplikasi lanjut
 Komplikasi jangka panjang dari fraktur dataran tinggi tibialis termasuk
ketidakmampuan untuk berjalan kembali secara normal, osteoartritis lutut,
osteoartritis pergelangan kaki dan nyeri kronis. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kualitas hidup pada pasien terutama pada pasie yang memiliki
pekerjaan dengan tingkat mobilitas yang tinggi.

(van Dreumel RL,ett all 2015)


DAFTAR PUSTAKA

Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.
Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar
Chapman, Michael W. Chapman’s Comprehensive Orthopaedic Surgery 4th edition.
2019
Dirchsl Douglas, dkk. Staged Management of Tibial Plateau. American Journal
ofOrthopaedic. 2007
Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 3rd edition. 2019
Kingsley Chin, dkk. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition. Lippincolt William
Wilkins. 2008
Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 4th edition. Lippincolt William & Wilkins.
2010
Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.
Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders Elseiver.
Saloni Malik, ett all. Tibial Plateau Fractures. March 28, 2020
van Dreumel RL, van Wunnik BP, Janssen L, Simons PC, Janzing HM. Mid- to long-
term functional outcome after open reduction and internal fixation of tibial plateau
fractures. Injury. 2015 Aug;46(8):1608-12. 

Anda mungkin juga menyukai