Anda di halaman 1dari 62

FAKTOR PREDIKTOR TERJADINYA

KARIER STREPTOCOCCUS BETA-HEMOLITYCUS GRUP A


PADA ANAK SEKOLAH:
STUDI KASUS DI SDN 05 MANGGARAI JAKARTA SELATAN

ANISA RAHMADHANY
1806264473

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUBSPESIALIS ANAK
JAKARTA
Mei 2020
ii

ABSTRAK
Faktor Prediktor Terjadinya Karier Streptococcus Beta-Hemolitycus Grup A
pada Anak Sekolah: Studi Kasus di SDN 05 manggarai Jakarta Selatan

Latar Belakang: Penelitian mengenai proporsi dan faktor prediktor karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring belum banyak di Indonesia. Karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A tersebut dapat menjadi sumber penularan terutama untuk lingkungan
terdekat. Pada individu yang rentan, pasca-faringitis Streptococcus beta-hemolyticus grup A
dapat terjadi demam reumatik akut dengan komplikasi jangka panjang yaitu penyakit jantung
reumatik.
Tujuan: Mengetahui faktor prediktor dan proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A, mengetahui proporsi karditis subklinis dan mengetahui pola sensitivitas antibiotik terhadap
Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik potong lintang di SDN 05 Manggarai Jakarta
Selatan terhadap 201 subyek anak usia 6-12 tahun pada November-Desember 2019. Seluruh
subyek tidak memiliki gejala infeksi saluran napas atas, tidak ada riwayat penggunaan
antibiotik dalam dua minggu terakhir dan tidak terdapat penyakit jantung bawaan/penyakit
jantung reumatik. Subyek menjalani pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium (darah
perifer lengkap, LED, CRP, ASTO, kultur usap tenggorok) dan ekokardiografi. Analisis
bivariat faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang
bermakna dimasukan ke dalam analisis regresi logistik multipel. Hasil analisis multivariat
dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Dari 201 subyek, 54,7% subyek berjenis kelamin perempuan dan median usia adalah
9,6 tahun. Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan proporsi karditis
subklinis adalah 13,6% dan 0,5%. Faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah pembesaran tonsil (p=0,031). Pembesaran kelenjar getah bening
servikal, status ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung dalam 1 rumah, jenis kelamin,
jumlah orang dalam 1 rumah, kondisi rumah, pendidikan ibu tidak terbukti menjadi faktor
prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Pola sensitivitas antibiotik
penisilin, eritromisin, azitromisin, vankomisin, kloramfenikol, klindamisin, dan tetrasiklin
terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A berturut-turut adalah 100%, 89%, 68%, 86%,
68%, 75% dan 32%.
Simpulan: Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan proporsi karditis
subklinis adalah 13,6% dan 0,5%. Faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A yang bermakna adalah pembesaran tonsil. Penisilin memiliki sensitivitas
100% terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

Kata kunci: Streptococcus beta-hemolyticus grup A, karier, karditis subklinis, antibiotik

Universitas Indonesia
iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Hipotesis penelitian 4
1.4 Tujuan penelitian 5
1.5 Manfaat penelitian 5
1.5.1 Manfaat dalam bidang akademis 5
1.5.2 Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat 5
1.5.3 Manfaat dalam bidang pengembangan penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Streptococcus beta-hemolyticus grup A 7
2.1.1 Morfologi 7
2.1.2 Manifestasi infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 8
2.1.3 Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 8
2.1.4 Patogenesis karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 10
2.1.5 Tata laksana karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 10
2.2 Demam reumatik akut 11
2.2.1 Epidemiologi 11
2.2.2 Etiologi dan faktor risiko 12
2.2.3 Patofisiologi 13
2.2.4 Kriteria Jones revisi American Heart Association 2015 13
2.3 Gejala klinis demam rematik akut berdasarkan kriteria Jones revisi AHA 2015 16
2.3.1 Karditis dan karditis subklinis 16
2.3.2 Artritis 17
2.3.3 Korea 17
2.3.4 Manifestasi kulit 17
2.3.5 Kriteria minor 18
2.4 Bukti infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 18
2.4.1 Kultur usap tenggorok 18
2.4.2 Antibodi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 18
2.5 Kriteria diagnosis berdasarkan kriteria Jones revisi AHA 2015 19
2.6 Tata laksana 19
2.6.1 Pencegahan primer 19
2.6.2 Eradikasi kuman akut dan pencegahan sekunder 20
2.7 Kerangka teori 21
2.8 Kerangka konsep 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 23
3.1 Desain penelitian 23
3.2 Tempat dan waktu penelitian 23
3.3 Populasi dan sampel penelitian 23
3.3.1 Populasi target 23

Universitas Indonesia
iv

3.3.2 Populasi terjangkau 23


3.3.3 Kriteria inklusi 23
3.3.4 Kriteria eksklusi 23
3.3.5 Subyek penelitian 23
3.3.6 Metode pengambilan sampel 24
3.3.7 Estimasi besar sampel 24
3.4 Variabel penelitian 25
3.5 Alat dan bahan penelitian 26
3.6 Prosedur penelitian 26
3.7 Definisi operasional 27
3.8 Alur penelitian 29
BAB 4 HASIL PENELITIAN 30
4.1 Alur subyek penelitian 30
4.2 Karakteristik subyek penelitian 30
4.3 Faktor risiko karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A 32
4.4 Proporsi karditis subklinis 34
4.5 Sensitivitas kuman streptococcus terhadap antibiotik 35
BAB 5 PEMBAHASAN PENELITIAN 36
5.1 Karakteristik subyek 36
5.2 Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A 36
5.3 Faktor prediktor karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A 39
5.4 Proporsi karditis subklinis 41
5.5 Proporsi bising innocent 43
5.6 Sensitivitas kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A terhadap antibiotik 44
5.7 Kelemahan penelitian 45
BAB 6 RANGKUMAN HASIL, SIMPULAN DAN SARAN 46
6.1 Rangkuman hasil 46
6.2 Simpulan 49
6.3 Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50

Universitas Indonesia
v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Faringitis Streptococcus beta-hemolyticus grup A rekuren dan karier 9


Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring
Tabel 2. Terapi antibiotik untuk karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 11
Tabel 3. Valvulitis rematik pada ekokardiografi Doppler 16
Tabel 4. Morfologi valvulitis rematik dari ekokardiografi 17
Tabel 5. Kriteria demam rematik akut berdasarkan kriteria Jones revisi AHA 2015 19
Tabel 6. Durasi pemberian antibiotik profilaksis 20
Tabel 7. Karakteristik subyek 31
Tabel 8. Hubungan hasil kultur usap tenggorok dengan nilai ASTO 32
Tabel 9. Analisis bivariat dan multivariat faktor prediktor karier Streptococcus beta- 33
hemolyticus grup A
Tabel 10. Profil fungsi jantung 34

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Streptococcus beta-hemolyticus grup A 7


Gambar 2. Struktur dinding sel Streptococcus beta-hemolyticus grup A 8
Gambar 3. Perkembangan dan revisi kriteria Jones 15
Gambar 4. Alur subyek penelitian 30
Gambar 5. Rentang nilai TAPSE 34
Gambar 6. Uji sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A 35

Universitas Indonesia
vi

DAFTAR SINGKATAN

WHO World Health Organization


AHA American Heart Association
CRP C-reactive protein
LED Laju endap darah
SD Standar deviasi
HLA Human leukocyte-associated antigen
MIC Minimal inhibitory capacity
MBC Minimal binding capacity
APC Antigen presenting cell
ASTO Anti streptolisin O
RSCM Rumah sakit Cipto Mangunkusumo
DNAaseB Anti deoksiribonuklease B

Universitas Indonesia
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sering dijumpai pada anak usia 5-15
tahun.1 Insidens faringtis karena Streptococcus beta-hemolyticus grup A mencapai 37% pada
kelompok usia 5-19 tahun dari suatu meta-analisis.2 Pada populasi yang rentan, sebanyak 0,3-
3% anak usia 5-15 tahun dapat mengalami demam reumatik akut pasca-faringitis karena
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Jika demam reumatik tidak terdeteksi atau tidak
ditata laksana dengan baik, 60% akan menjadi penyakit jantung reumatik.3

Data di dunia dari suatu systematic review, setiap tahun terdapat 471.000 kasus baru demam
reumatik akut dan 336.000 kasus tersebut berada pada rentang usia 5-15 tahun.1 Data
penyakit jantung reumatik di dunia sebesar 15 juta setiap tahun dengan jumlah kasus baru
282.000 dan mortalitas 233.000 kasus per tahun.1,4 Penelitian di Uganda mendapatkan
mortalitas 1 tahun penyakit jantung reumatik mencapai 17,8%.5 Prevalens penyakit jantung
reumatik di Indonesia pada anak usia 5-15 tahun adalah 0,3 hingga 0,8.6

Diagnosis demam reumatik akut menggunakan kriteria Jones Revisi WHO 2003 yang terdiri
dari serangkaian kriteria mayor dan minor serta melibatkan kriteria klinis dan laboratorium.7
Pada tahun 2015, American Heart Association (AHA) mengeluarkan kriteria panduan
diagnosis demam reumatik akut yang terbaru. Perbedaan dari kriteria Jones WHO 2003
adalah pembagian populasi risiko tinggi dan populasi risiko rendah serta penambahan pada
kriteria mayor terdapat karditis subklinis, poliatralgia, atau monoatralgia sesuai kategori
risiko populasi.8

Karditis merupakan salah satu kriteria mayor yang paling sering ditemui pada demam
reumatik akut. Secara klinis, karditis ditegakkan jika terdengar bising jantung saat
pemeriksaan fisis. Kemampuan mendengar bising jantung dipengaruhi oleh jam terbang dan
pengalaman klinisi yang memeriksa.9 Perkembangan alat ekokardiografi memungkinkan
klinisi untuk mendeteksi karditis subklinis.10 Jika dibandingkan ekokardiografi, auskultasi
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dalam mendeteksi karditis atau
kelainan katup lainnya.11-14 Miranda15 melakukan penelitian di sekolah dengan menggunakan
alat ekokardiografi dan menyimpulkan bahwa prevalens penyakit jantung reumatik
meningkat lima kali jika dibandingkan dengan pemeriksaan klinis.

Universitas Indonesia
2

Kolonisasi Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring bisa terjadi tanpa disertai tanda
atau gejala infeksi yang disebut sebagai karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Data
dari negara berkembang (Uganda, Etiopia, Nepal dan Katmandu) dan penelitian meta
analisis, prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring mencapai 6-
16%.16-20 Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A tersebut dapat menjadi sumber
penularan terutama untuk lingkungan terdekat.21,22

Tata laksana karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring masih menjadi


perdebatan hingga saat ini, kecuali pada kondisi seperti (1) Saat terjadi kejadian luar biasa
demam reumatik akut, glomerulonefritis akut pasca-streptokokus atau infeksi Streptococcus
beta-hemolyticus grup A invansif, (2) Saat terjadi kejadian luar biasa Streptococcus beta-
hemolyticus grup A pada komunitas tertentu, (3) Terdapat riwayat demam reumatik akut pada
individu yang bersangkutan maupun anggota keluarga yang lain, (4) Terdapat kecemasan
berlebihan dalam keluarga terhadap infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A, dan (5)
Keberadaan karier Streptococcus beta-hemolyticus di tonsil menjadi pertimbangan keputusan
tonsilektomi.23,24

Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring lebih sering terjadi pada anak usia 5-
15 tahun. Suatu tinjauan pustaka menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring akan meningkat jika memiliki saudara
dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.22 Penelitian oleh Nayiga17
menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak ideal merupakan faktor prediktor terjadinya
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sedangkan jenis kelamin, kepadatan
penghuni rumah, status gizi dan jenis pekerjaan orangtua tidak berhubungan dengan
terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Tagavi25 menyimpulkan
bahwa ukuran tonsil, pendidikan orangtua dan ukuran kelenjar getah bening bukan
merupakan faktor risiko karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Anja18 dalam
penelitiannya melaporkan bahwa status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor
yang berperan untuk terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

Penelitian di Indonesia yang terpublikasi tentang karier Streptococcus beta-hemolyticus grup


A ada dua buah. Penelitian Aini26 melibatkan 104 subyek anak sekolah dasar dan berlokasi di
Padang. Penelitian Budi27 di Bandung melibatkan mahasiswa kedokteran gigi berusia >18
tahun sebanyak 9 subyek. Besar sampel kedua penelitian tersebut sedikit sehingga proporsi

Universitas Indonesia
3

karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari penelitian Aini dan Budi adalah satu
persen dan nol persen. Peneliti belum menemukan penelitian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di Jakarta ataupun penelitian tentang karditis subklinis yang
menggunakan skrining ekokardiografi di Indonesia.

Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 2014-2018 terdapat 27 kasus
demam reumatik akut dan 86 penyakit jantung reumatik. Kelurahan Manggarai Selatan,
Jakarta Selatan, termasuk 10 lingkungan padat penduduk di Jakarta. Sebagian besar
penduduk berasal dari golongan ekonomi rendah dan bertempat tinggal di lingkungan padat
serta kumuh sehingga berpotensi sebagai kantong infeksi dan penyebaran infeksi
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Peneliti mengamati beberapa pasien yang rutin
kontrol ke poli kardiologi anak RSCM bertempat tinggal serta bersekolah di kelurahan
Manggarai Selatan yaitu SDN 05 Manggarai Selatan. Selain alasan yang sudah disebutkan
sebelumnya, peneliti memilih populasi terjangkau di SDN 05 Manggarai karena alasan
mampu laksana berdasarkan faktor jarak/waktu tempuh yang dekat dari RSCM.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah bahwa pada anak usia
6-12 tahun di populasi dengan klinis asimtomatik dan bersekolah di SDN 05 Manggarai
Jakarta Selatan:
1. Berapakah proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
2. Berapakah proporsi karditis subklinis?
3. Apakah terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
4. Apakah terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar getah bening servikal dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
5. Apakah terdapat hubungan antara status ekonomi rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
6. Apakah terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi kurang dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
7. Apakah terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung ³3 dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
8. Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?

Universitas Indonesia
4

9. Apakah terdapat hubungan antara jumlah orang dalam 1 rumah >5 dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
10. Apakah terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak ideal dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
11. Apakah terdapat hubungan antara pendidikan ibu yang rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
12. Bagaimanakah pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup
A?

1.3 Hipotesis Penelitian


Pada anak usia 6-12 tahun di populasi dengan klinis asimtomatik dan bersekolah di SDN 05
Manggarai Jakarta Selatan:
1. Terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
2. Terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar getah bening servikal dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
3. Terdapat hubungan antara status ekonomi rendah dengan kejadian karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A di faring.
4. Terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi kurang dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
5. Terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung ³3 orang dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
6. Terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan dengan kejadian karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A di faring.
7. Terdapat hubungan antara jumlah orang dalam 1 rumah >5 dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
8. Terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak ideal dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
9. Terdapat hubungan antara pendidikan ibu yang rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.

Universitas Indonesia
5

1.4 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
2. Untuk mengetahui proporsi karditis subklinis.
3. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pembesaran tonsil, pembesaran
kelenjar getah bening servikal, status ekonomi keluarga, status gizi, jenis kelamin, jumlah
orang dalam 1 rumah, kondisi rumah, dan pendidikan ibu dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
4. Untuk mengetahui pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus
grup A.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat dalam Bidang Akademis
Penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya di bidang kardiologi anak
tentang faktor prediktor atau hubungan antara antara karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A di faring dengan pembesaran tonsil, pembesaran kelenjar getah bening servikal, status
ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung, jenis kelamin, jumlah orang dalam 1 rumah,
kondisi rumah dan pendidikan ibu. Selain itu, penelitian ini memberikan tambahan
pengetahuan mengenai besarnya proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring, proporsi karditis subklinis dan pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus
beta-hemolyticus grup A.

1.5.2 Manfaat dalam Bidang Pelayanan Masyarakat


Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk merumuskan rekomendasi praktis klinis bagi dokter
umum, dokter spesialis anak, dokter kardiologi anak atau tenaga kesehatan lainnya tentang
faktor prediktor yang berkaitan dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring. Pasien dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring berisiko
mengalami infeksi aktif dan menjadi sumber penularan sekitarnya. Selain itu, pasien dengan
kecurigaan demam reumatik akut secara klinis dapat tidak menunjukkan gejala karditis
sehingga pemeriksaan ekokardiografi disarankan untuk menegakkan adanya karditis
subklinis sebagai kriteria mayor demam reumatik akut. Subyek yang mengikuti penelitian ini
akan mengetahui kesehatan jantung dan risiko menjadi pembawa kuman Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring. Subyek akan mendapat tata laksana dengan rujukan ke Poli
Kardiologi anak RSCM Kiara jika menjadi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
atau terdapat gangguan fungsi dan anatomi jantung.

Universitas Indonesia
6

1.5.3 Manfaat dalam Bidang Pengembangan Penelitian


Penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya berskala multisenter tentang
prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring, karditis subklinis, dan pola
sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

Universitas Indonesia
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


2.1.1 Morfologi
Streptococcus beta-hemolyticus dikelompokkan menjadi grup A, B, C, E, F dan G.
Streptococcus beta-hemolyticus grup A atau Streptococcus pyogenes merupakan bakteri
kokus gram positif yang bersifat patogenik di antara genus Streptococcus lainnya. Virulensi
dari Streptococcus beta-hemolyticus grup A ditentukan oleh protein M yang bersifat
antigenik. Protein M menghindarkan Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari proses
fagositosis sehingga dapat bertahan di tubuh pejamu.28

Morfologi Streptococcus beta-hemolyticus grup A di medium agar darah domba tampak


transparan, bundar, berkoloni dan dikelilingi oleh daerah hemolisis komplit sel darah merah
yang dapat dilihat pada Gambar 1. Streptococcus beta-hemolyticus grup A menghasilkan
hemolysin (streptolysin O dan S), streptokinase, streptodornase, bakteriosins,
deoksiribonuklease, eksotoksin, hyaluronidase, nicotinamide adenine dinucleotidase dan
proteinase. Respons antibodi terhadap produk biologis Streptococcus beta-hemolyticus grup
A tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi Streptococcus beta-hemolyticus
grup A.29

Gambar 1. Streptococcus beta-hemolyticus grup A30

Pada Gambar 2 terlihat dinding sel Streptococcus beta-hemolyticus grup A dikelilingi dari
dalam ke luar oleh lapisan mukopeptida, karbohidrat, protein M dan kapsul asam hialuronik.
Sifat antigenik dan virulensi Streptococcus beta-hemolyticus grup A disebabkan oleh protein

Universitas Indonesia
8

M pada dinding kuman. Protein M dan kapsul asam hialuronik berperan sebagai antifagosit
terdapat sistem imun tubuh manusia.31

Gambar 2. Struktur dinding sel Streptococcus beta-hemolyticus grup A31

2.1.2 Manifestasi Klinis Infeksi Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


Infeksi akut Streptococcus beta-hemolyticus grup A dapat terjadi di saluran napas atas
(tonsilofaringitis, otitis media dan sinusitis), saluran napas bawah (pneumonia dan empiema),
kulit serta jaringan lunak (impetigo, selulitis dan erisipelas), kardiovaskular (endokarditis,
miokarditis, perikarditis dan flebitis), muskuloskeletal (artritis septik, osteomielitis dan
piomiositis), sistem limfatik (limfadenitis), sistem saraf pusat (meningitis dan abses otak) dan
sistemik (septikemia). Proses imunologis pasca-infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup
A di faring dapat bermanifestasi menjadi demam reumatik akut, glomerulonefritis pasca-
infeksi Streptococcus, atau artritis pasca infeksi Streptococcus.31

2.1.3 Karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A di Faring


Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah ditemukannya Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring namun individu tersebut tidak menunjukkan tanda atau gejala
tonsilofaringitis. Faringitis akut yang disebabkan oleh virus pada individu dengan karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A harus dibedakan dengan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring secara klinis dan pemeriksaan penunjang. Oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan serial kultur usap tenggorok dan antibodi terhadap Streptococcus
beta-hemolyticus grup A untuk menentukan benar infeksi atau karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Tentu saja hal tersebut di lapangan tidak praktis. Tabel 1 merangkum
perbedaan faringitis Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.29,32

Universitas Indonesia
9

Tabel 1. Faringitis Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A Rekuren dan Karier


Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A di Faring32
Faringitis Karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A Streptococcus beta-hemolyticus grup A
Gejala klinis: nyeri menelan, demam, nyeri Gejala tidak khas: batuk, pilek, suara serak
tekan adenopati servikal anterior, tonsil
eritema, eksudat di tonsil, petechiae di
palatum
Gejala perbaikan dalam 24-48 jam pasca- Gejala tidak perbaikan dengan pemberian
pemberian antibiotik antibiotik. Gejala menetap lebih dari 5 hari.
Kultur usap tenggorok atau tes antigen Kultur usap tenggorok atau tes antigen
negatif saat anak sehat positif saat anak sehat

Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring dapat terjadi pasca-faringitis


Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang tidak adekuat mendapat pengobatan ataupun
yang tidak diobati. Di fase awal, individu dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A di faring dapat menularkan kuman ke lingkungan sekitarnya. Namun, setelah 1-2 bulan,
jumlah dan virulensi kuman menurun sehingga risiko penularan berkurang. Angka transmisi
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari pasien yang terinfeksi dan tidak mendapat
pengobatan ke lingkungan sekitarnya di sekolah atau keluarga mencapai 35%.32

Prevalens karier Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring bervariasi antara 6-16%
dari beberapa penelitian.16-20 Pada karier Streptococcus beta hemolyticus grup A, individu
tersebut tidak memiliki tanda atau gejala klinis faringitis namun ditemukan kuman
Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring.

Penelitian di sebuah sekolah dasar di Padang menemukan dua dari 104 anak yang dilakukan
kultur usap tenggorok terdapat Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring.26 Sedangkan
penelitian di Bandung dengan subyek 9 mahasiswa usia 18-21 tahun, tidak menemukan
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada kultur usap tenggorok.27 Hal tersebut
mendukung data bahwa bakteri ini lebih sering terdapat pada anak usia <15 tahun.

Suatu tinjauan pustaka menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi karier


Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring akan meningkat jika memiliki saudara
dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.22 Penelitian oleh Nayiga17

Universitas Indonesia
10

menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak ideal merupakan faktor prediktor terjadinya
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sedangkan jenis kelamin, kepadatan
penghuni rumah, status gizi dan jenis pekerjaan orangtua tidak berhubungan dengan
terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Tagavi25 menyimpulkan
bahwa ukuran tonsil, pendidikan orangtua dan ukuran kelenjar getah bening bukan
merupakan faktor risiko karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Anja18 dalam
penelitiannya melaporkan bahwa status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor
yang berperan untuk terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

2.1.4 Patogenesis Karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A di Faring


Terdapat beberapa teori yang menjelaskan patogenesis terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring. Teori pertama memprediksi bahwa sebagian flora normal
(Bacteroides species, Staphylococcus aureus, Moraxella, dan Haemophilus) yang ada di
faring dan tonsil memproduksi beta laktamase sehingga melindungi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A dari penisilin. Teori kedua adalah tidak adanya flora (Steptococcus alfa-
hemolyticus, Steptococcus non-hemolyticus, Prevotella dan Poststreptococcus species) yang
menginhibisi pertumbuhan Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Teori ketiga
menyebutkan Streptococcus beta-hemolyticus grup A dapat melakukan internalisasi ke dalam
sel epitel dan terhindar dari paparan penisilin. Teori keempat menyatakan bahwa
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dapat memproduksi biofilm yang melindungi dari
antibiotik dan sekaligus membantu proses internalisasi ke dalam sel epitel. Teori kelima
adalah terjadinya fenomena toleransi yaitu bakteri dapat bertahan hidup walaupun
konsentrasi antibiotik melebihi minimal inhibitory concentration (MIC).22

2.1.5 Tata Laksana karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A di Faring


Pemberian terapi untuk karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring masih
menjadi perdebatan hingga sekarang. Pada umumnya, terapi antibiotik tidak diberikan pada
anak yang asimtomatik dan dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Namun terdapat beberapa keadaan yang memerlukan terapi antimikroba berdasarkan
American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases yaitu (1) Saat terjadi
kejadian luar biasa demam reumatik akut, glomerulonefritis akut pasca-streptokokus atau
infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A invansif, (2) Saat terjadi kejadian luar biasa
Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada komunitas tertentu, (3) Terdapat riwayat demam
reumatik akut pada individu yang bersangkutan maupun anggota keluarga yang lain, (4)

Universitas Indonesia
11

Terdapat kecemasan berlebihan dalam keluarga terhadap infeksi Streptococcus beta-


hemolyticus grup A, dan (5) Keberadaan karier Streptococcus beta-hemolyticus di tonsil
menjadi pertimbangan keputusan tonsilektomi.22,23 Tabel 2 merangkum pilihan antibiotik
pada karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.

Tabel 2. Terapi Antibiotik untuk Karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A di Faring23


Antibiotik Dosis Durasi
Klindamisin oral 20-30 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis, maksimal 10 hari
300 mg/kali
Penisilin DAN rifampin oral Penisilin V 50 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis Penisilin oral
(maksimal 2000 mg/hari) 10 hari
DAN
Rifampin 20 mg/kg/hari, dosis tunggal, 4 Rifampin
hari terakhir pengobatan (maksimal 600 oral hari ke
mg/hari) 6-10
Amoksilin klavulanat oral Amoksisilin 40 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis 10 hari
(Maksimal amoksisilin 2000 mg/hari)
Benzatin benzyl penisilin G BPG: berat badan <27 kg, 600.000 IU, berat BPG 1 dosis
(BPG) intramuskular DAN badan >27 g, 1.200.000 IU. DAN
rifampin oral Rifampin 20 mg/kg/hari, dibagi 2 dosis Rifampin 4
(maksimal 600 mg/hari) hari
Eritromisin Eritromisin 10 mg/kg/kali, 4 kali sehari 10 hari
Azitromisin Azitromisin 12 mg/kg/kali, maksimal 500 5 hari
mg
Klaritromisin Klaritromisin 15mg/kg/hari, dibagi 2 dosis, 10 hari
maksimal 250 mg per kali

2.2 Demam Reumatik Akut


2.2.1 Epidemiologi
Demam reumatik akut merupakan penyakit imunologis yang terjadi pasca-infeksi
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Kelompok usia 5-15 tahun rentan
mengalami demam reumatik akut. Gejala klinis demam reumatik akut meliputi organ yang

Universitas Indonesia
12

mengalami inflamasi seperti jantung, sendi, susunan saraf pusat dan kulit. Hingga saat ini,
demam reumatik akut masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara berkembang.32

Secara global, kurang lebih 30 juta orang menderita demam reumatik akut. Mortalitas
mencapai 305.000 jiwa dan disabilitas mencapai 11,5 juta pada tahun 2015. Demam reumatik
akut lebih banyak terjadi di negara berkembang dan pada kelompok marginalis di negara
maju. Delapan puluh empat persen kejadian demam reumatik akut berada di negara Afrika,
Asia-Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat dengan populasi tertinggi berada di
India sebesar 27%.1

World Health Organization (WHO) dalam pertemuan World Health Assembly tahun 2018
mengeluarkan resolusi bahwa demam reumatik akut merupakan prioritas global. Semua pihak
diharapkan berperan aktif untuk menurunkan kejadian demam reumatik akut. Upaya tersebut
meliputi meningkatkan kesadaran global tentang demam reumatik akut, estimasi prevalens
demam reumatik akut, menurunkan kemiskinan, meningkatkan status sosio-ekonomi,
memperbaiki akses ke pelayanan kesehatan, pengadaan fasilitas laboratorium yang
terjangkau dan berkualitas, dan meningkatkan distribusi obat-obatan terutama benzatin
benzyl penisilin G.33

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Prevalens faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A mencapai
37% dari penelitian meta-analisis.2 Jika tidak diobati dengan baik, 35% berpotensi
menularkan infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A ke orang sekitar di sekolah atau
keluarga. Hanya Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang terbukti menyebabkan demam
reumatik akut. Sebesar 0,3% hingga 3% pasien yang rentan akan menjadi demam reumatik
akut. Jika demam reumatik akut tidak terdeteksi atau tidak mendapat tata laksana optimal
maka 60% akan menjadi penyakit jantung reumatik.3

Kerentanan individu dipengaruhi oleh faktor genetik. Gen human leukocyte-associated


antigen (HLA) kelas II, terutama HLA-DR7, yang terdapat pada kromosom 6 mempengaruhi
perkembangan penyakit demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik. Peran gen
HLA adalah untuk kontrol respons imun. Molekul HLA kelas II akan mempresentasikan
antigen Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada reseptor sel T sehingga terjadi aktivasi
sistem imun selular dan humoral.34

Universitas Indonesia
13

Status ekonomi dan kondisi lingkungan tempat tinggal merupakan faktor risiko terjadinya
demam reumatik akut baik di negara maju maupun di negara berkembang. Oliver35 meneliti
faktor risiko demografi 55 kasus demam reumatik akut. Mayoritas demam reumatik akut
memiliki karakterisitik tempat tinggal yang padat penghuni, tinggal di rumah kontrakan,
menggunakan tempat tidur bersama orang lain, lingkungan tempat tinggal lembab, dan
terdapat paparan asap rokok. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa selain demografi,
suku/etnis dan tingkat ekonomi merupakan faktor risiko terjadinya demam reumatik akut.36
Penelitian di negara berkembang yang dilakukan oleh Riaz37 menyimpulkan bahwa jenis
kelamin perempuan, daerah perkotaan, konstruksi tempat tinggal berupa batu bata, jumlah
saudara >2 orang, ibu bekerja, ibu buta huruf, tidak menggosok gigi sehabis makan
merupakan faktor risiko terjadi demam reumatik akut.

2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya demam reumatik akut berkaitan dengan proses autoimun karena
terdapat kemiripan molekul protein M Streptococcus dengan protein miosin di jantung,
reseptor dopamin di sel ganglia basal, dan keratin di lapisan kulit sehingga terjadi reaktivitas
silang. Artritis bersifat sementara dan terjadi karena terbentuknya kompleks imun yang
bersirkulasi. Protein M Streptococcus akan difagosit dan dipresentasikan oleh antigen
presenting cell (APC) ke HLA dan selanjutnya akan menstimulasi sel T untuk melakukan
fagositosis Streptococcus dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Antibodi
terhadap protein M streptokokus menyebabkan inflamasi pada jantung, pelepasan dopamin
dari sel ganglia basal, serta eritema dan granuloma di lapisan kulit.34,38,39

2.2.4 Kriteria Jones Revisi American Heart Association 2015


Kriteria Jones untuk menegakkan diagnosis demam reumatik akut diperkenalkan pertama kali
oleh T. Duckett Jones pada tahun 1944. Pada awalnya, kriteria Jones terdiri dari kriteria klinis
dan laboratorium tanpa ada bukti infeksi Streptococcus. Kriteria mayor terdiri atas karditis,
artralgia, nodul subkutan, korea, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
sebelumnya. Sedangkan kriteria minor terdiri atas kriteria klinis (demam, epistaksis, eritema
marginatum, nyeri abdomen dan kelainan pulmoner) dan pemeriksaan laboratorium penanda
inflamasi akut (leukositosis, peningkatan laju endap darah/LED dan c-reactive protein/CRP).
Diagnosis demam reumatik akut ditegakan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor.7 Dalam pelaksanaannya, kriteria Jones tahun 1944 ternyata
menyebabkan banyak terjadinya overdiagnosis atau positif palsu.

Universitas Indonesia
14

Gejala klinis maupun laboratorium pada demam reumatik akut bersifat tidak khas sehingga
kriteria Jones selanjutnya melewati perubahan dan revisi untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas. Bukti adanya infeksi Streptococcus mulai dimasukkan sebagai kriteria minor
dalam kriteria Jones modifikasi American Heart Association (AHA) tahun 1956. Kriteria
Jones modifikasi AHA 1956 menambahkan artritis dan eritema marginatum sebagai kriteria
mayor dan atralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya,
pemanjangan interval PR serta bukti infeksi Streptococcus sebagai kriteria minor. Sedangkan
epistaksis, nyeri abdomen dan kelainan pulmoner dikeluarkan dari kriteria Jones.7 Sama
seperti kriteria Jones tahun 1944, penggunaan kriteria Jones modfikasi AHA tahun 1956
masih menyebabkan banyaknya overdiagnosis atau positif palsu.

Revisi berikutnya dilakukan pada tahun 1965/1984 oleh AHA. Bukti infeksi Streptococcus
merupakan kriteria esensial yang harus selalu ada dan bukan lagi merupakan kriteria minor.
Revisi kriteria Jones AHA 1965/1984 memiliki kelemahan karena bukti infeksi
Streptococcus bisa jadi sudah tidak terdeteksi pada kondisi penyakit jantung reumatik dan
korea sehingga dapat terjadi underdiagnosis atau negatif palsu. Kriteria Jones revisi
selanjutnya adalah WHO 1988 dan AHA 1992. Kedua revisi tersebut memasukan bukti
infeksi streptokokus sebagai pertimbangan spesial (special consideration) yaitu pada
reumatik korea dan penyakit jantung reumatik kronik (PJR) kronik tidak memerlukan bukti
infeksi Streptococcus.7

Pada tahun 2003, WHO mengeluarkan revisi kriteria Jones. Yang berbeda dari revisi
sebelumnya adalah penyakit jantung reumatik merupakan pertimbangan spesial (special
consideration) yang tidak memerlukan kriteria khusus untuk penegakkan diagnosis. Kriteria
Jones WHO 2003 membuat pengelompokan demam reumatik akut menjadi 6 kelompok
yaitu: 1) Demam reumatik episode pertama, 2) Demam reumatik serangan berulang pada
pasien tanpa penyakit jantung reumatik, 3) Demam reumatik serangan berulang pada pasien
dengan penyakit jantung reumatik, 4) Reumatik korea, 5) Insidious onset reumatik karditis, 6)
Penyakit jantung reumatik kronik. Dalam kriteria Jones WHO 2003, kriteria mayor meliputi
karditis, poliartritis, korea, eritema marginatum dan nodul subkutan. Sedangkan kriteria
minor meliputi demam, poli-atralgia, pemanjangan interval PR dan peningkatan penanda
inflamasi akut seperti LED dan leukosit. Bukti keterlibatan infeksi Streptokokus dalam 45
hari terakhir berupa peningkatan titer antibodi streptokokus (anti-streptolisin O/ASTO atau
antibodi lainnya), kultur usap tenggorok yang positif, rapid antigen test untuk Streptococcus

Universitas Indonesia
15

beta hemolyticus grup A, atau riwayat demam skarlet sebelumnya. Diagnosis kelompok 1 dan
2 ditegakkan berdasarkan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
ditambah bukti infeksi streptokokus. Diagnosis kelompok 3 ditegakkan berdasarkan 2 kriteria
minor ditambah bukti infeksi Streptococcus. Kelompok 4,5, dan 6 tidak memerlukan kriteria
lain ataupun bukti infeksi Streptococcus.7 Gambar 3 mendeskripsikan perubahan kriteria
Jones sejak tahun 1944 hingga tahun 2003.

Gambar 3. Perkembangan dan Revisi Kriteria Jones7

Revisi kriteria Jones terbaru adalah revisi AHA tahun 2015. Pada revisi ini, AHA membuat 3
perubahan, yaitu: stratifikasi risiko berdasarkan endemisitas penyakit, manifestasi
keterlibatan sendi berbeda-beda untuk populasi yang berbeda dan memasukkan karditis
subklinis (yang ditegakkan bedasarkan ekokardiografi) sebagai kriteria mayor. Kriteria Jones
revisi tahun 2015, membagi pasien berdasarkan prevalens demam reumatik akut yaitu daerah
dengan risiko penyakit rendah jika prevalens demam reumatik akut <2 tiap 100.000
penduduk (usia 5-14 tahun) dan daerah dengan risiko penyakit moderat atau tinggi jika
prevalens demam reumatik akut >2 tiap 100.000 penduduk (usia 5-14 tahun).8

Sejak revisi AHA tahun 1992, banyak penelitian terpublikasi menunjukkan manfaat
ekokardiografi dalam mendiagnosis karditis dan beberapa negara sudah memasukan karditis
yang terdiagnosis dengan ekokardiografi (karditis subklinis) sebagai kriteria mayor.
Penelitian tersebut juga memasukkan morfologi kelainan katup yang termasuk dalam karditis.
Seiring dengan manfaat dari penggunaan ekokardiografi dan ketersediaan alat ekokardiografi

Universitas Indonesia
16

di era moderen saat ini maka kriteria Jones revisi AHA 2015 memasukkan karditis subklinis
ke dalam kriteria mayor.8

2.3 Gejala Klinis Demam Reumatik Akut Berdasarkan Kriteria Jones revisi AHA 2015
2.3.1 Karditis dan Karditis Subklinis
Karditis dalam demam reumatik akut meliputi inflamasi pada endokardium, miokardium,
atau perikardium. Namun, inflamasi pada katup (valvulitis) yang lebih dominan terjadi. Jika
ditemukan miokarditis atau perikarditis saja maka lebih sering disebabkan oleh penyebab
non-reumatik. Diagnosis karditis ditegakkan secara klinis jika ditemukan bising jantung
akibat regurgitasi katup mitral (bising pansistolik di apeks jantung dengan penjalaran ke
aksila) dan bising jantung akibat regurgitasi katup aorta (bising diastolik awal di sela iga ke 2
garis parasternalis kanan) ataupun secara ekokardiografi (karditis subklinis) jika secara klinis
bising tidak terdengar atau tidak terdeteksi oleh klinisi namun hasil pemeriksaan
ekokardiografi menunjukkan valvulitis mitral dan atau aorta.8

Pada penelitian meta-analisis, prevalens karditis subklinis mencapai 16%. Tubridy-Clark40


mengevaluasi 23 penelitian dalam kurun waktu 22 tahun. Analisis terhadap 11 penelitian
dalam meta-analisis tersebut, sebanyak 44,7% subyek tetap mengalami karditis dalam waktu
3-23 bulan sejak terdiagnosis demam reumatik akut pertama kali. Penelitian lainnya yang
dilakukan terhadap para pengungsi usia <25 tahun di Italia mendapatkan prevalens 26%
karditis subklinis.41

Tabel 3. Valvulitis Reumatik pada Ekokardiografi Doppler8


Regurgitasi katup mitral patologis
Ditemukan minimal pada 2 pandangan
Panjang jet regurgitasi ³2 cm, minimal pada 1 pandangan
Peak velocity >3 m/s
Jet pansistolik minimal terlihat sebagai 1 envelope
Regurgitasi katup aorta patologis
Ditemukan minimal pada 2 pandangan
Panjang jet regurgitasi ³1 cm, minimal pada 1 pandangan
Peak velocity >3 m/s
Jet pandiastolik minimal terlihat sebagai 1 envelope

Ekokardiografi Doppler dilakukan pada semua kasus yang terbukti dan kasus yang diduga
menderita demam reumatik akut. Pada pasien yang terbukti ataupun diduga menderita
demam reumatik akut, ekokardiografi Doppler dilakukan secara serial jika saat diagnosis
awal belum ada bukti keterlibatan karditis dari ekokardiografi Doppler awal. Karditis

Universitas Indonesia
17

subklinis harus memenuhi kriteria kriteria dalam Tabel 3 dan 4. Jika temuan ekokardiografi
Doppler tidak sesuai dengan karditis pada pasien dengan bising jantung maka diagnosis
karditis reumatik tidak dapat ditegakkan.8
Tabel 4. Morfologi Valvulitis Reumatik dari Ekokardiografi8
Perubahan katup mitral pada karditis akut
Dilatasi anulus
Elongasi kordae tendinae
Ruptur korda tendinae sehingga terjadi flail katup dan regurgitasi katup mitral berat
Perdarahan/nodularitas di ujung katup
Perubahan katup aorta pada karditis akut maupun kronik
Penebalan iregular atau fokal katup
Gangguan koaptasi
Gerakan katup terbatas
Prolaps katup

2.3.2 Artritis
Inflamasi sendi pada demam reumatik mengenai sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki,
siku dan pergelangan tangan serta bersifat poliartritis migran. Artritis pada demam reumatik
bersifat responsif terhadap pemberian salisilat dan obat antiinflamasi non-steroid sehingga
informasi ini perlu digali dalam anamnesis adanya riwayat tersebut. Dengan ataupun tanpa
pengobatan, artritis pada demam reumatik akut akan sembuh dalam waktu 4 minggu dan
tidak menyebabkan deformitas sendi. Dalam kriteria Jones revisi AHA 2015, monoartritis
dan poliatralgia dimasukkan sebagai kriteria mayor untuk pasien yang berasal dari populasi
berisiko moderat-tinggi.8

2.3.3 Korea
Korea adalah gerakan batang tubuh atau ekstremitas yang bersifat involunter, tidak bertujuan,
dan non-stereotipik. Gerakan ini berhubungan dengan ketidakstabilan emosi dan kelemahan
otot. Bukti infeksi Streptococcus biasanya tidak ditemukan lagi karena terjadi dalam 4 bulan
sebelumnya.8

2.3.4 Manifestasi Kulit


Manifestasi kulit pada demam reumatik akut berupa eritema marginatum dan nodul subkutan.
Eritema marginatum adalah ruam bulat, kemerahan dengan bagian tengah ruam berwarna
pucat ataupun ruam dengan batas tepi serpiginosa. Ruam biasanya muncul di batang tubuh
dan ekstremitas bagian proksimal bukan di wajah. Sedangkan nodul subkutan adalah nodul

Universitas Indonesia
18

yang tidak nyeri dan kenyal di daerah ekstensor sendi seperti lutut, siku, pergelangan tangan,
oksiput dan prosesus spinosus di vertebra torak dan lumbal.8

2.3.5 Kriteria Minor


Terdapat perbedaan untuk kriteria demam pada kriteria Jones revisi AHA 2015. Batas demam
untuk populasi dengan risiko rendah adalah 38,5 °C sedangkan untuk populasi dengan risiko
moderat hingga tinggi adalah 38 °C. Kriteria minor lainnya masih sama dengan kriteria Jones
WHO 2002 yaitu peningkatan CRP, LED, pemanjangan interval PR, dan riwayat demam
reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya. Batas nilai LED dibedakan
berdasarkan populasi. Pada populasi dengan risiko rendah, batas LED adalah ³60 mm/jam
sedangkan pada populasi dengan risiko moderat hingga tinggi batas LED adalah ³30
mm/jam. Peningkatan CRP sama pada populasi risiko moderat-tinggi maupun rendah yaitu
CRP ³3 mg/dL.8

2.4 Bukti Infeksi Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


2.4.1 Kultur Usap Tenggorok
Kultur usap tenggorok merupakan baku emas untuk mendeteksi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Prosedur pengambilan usap tenggorok meliputi daerah tonsil dan faring
posterior. Transportasi ke laboratorium harus memperhatikan suhu yang optimal, tidak boleh
dalam keadaan suhu tinggi. Hasil positif dapat berarti karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A maupun infeksi yang menyebabkan terjadinya demam reumatik akut. Konfirmasi
adanya infeksi dengan pemeriksaan antibodi terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup
A.8

2.4.2 Antibodi Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


Antibodi terhadap Streptooccus beta-hemolyticus grup A harus diperiksa untuk semua kasus
demam reumatik akut untuk membuktikan adanya infeksi Streptococcus beta-hemolyticus
grup A sebelumnya. Pemeriksaan titer antibodi satu waktu sudah cukup, yang dilakukan 3-4
minggu setelah infeksi Streptokokus di faring dan biasanya menetap selama 2-3 bulan
sebelum menurun. Antibodi anti-streptolisin yang sering diperiksa adalah anti-streptolisin O
(ASTO), anti-DNAase dan anti-steptokinase.7

Universitas Indonesia
19

2.5 Kriteria Diagnosis Berdasarkan Kriteria Jones revisi AHA 2015


Kriteria Jones revisi AHA 2015 membahas mengenai perubahan kriteria dalam mendiagnosis
demam reumatik akut dan tidak membahas mengenai penyakit jantung reumatik. Tabel 5
merangkum mengenai perubahan dalam kriteria Jones revisi AHA 2015.8

Tabel 5. Kriteria Demam Reumatik Akut Berdasarkan Kriteria Jones revisi AHA 20158
A. Semua Pasien dengan Bukti Infeksi Streptokokus Grup A
Diagnosis:
Demam reumatik akut serangan pertama 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor
Diagnosis:
Demam reumatik akut serangan rekuren 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor atau 3 kriteria minor
B. Kriteria Mayor
Populasi risiko rendah Populasi risiko moderat dan tinggi
1.Karditis 1.Karditis
Klinis dan atau subklinis Klinis dan atau subklinis
2.Artritis 2.Artritis
Poliartritis Monoartritis atau Poliartritis
Poliartralgia
3.Korea 3.Korea
4.Eritema marginatum 4.Eritema marginatum
5.Nodul subkutan 5.Nodul subkutan
C. Kriteria Minor
Populasi risiko rendah Populasi risiko tinggi
Poliartralgia Monoartralgia
Demam ³38,5 °C Demam ³38 °C
LED ³60 mm/jam, CRP ³3 mg/dL LED ³30 mm/jam, CRP ³3 mg/dL
Pemanjangan interval PR (tidak termasuk Pemanjangan interval PR (tidak termasuk
kriteria minor jika terdapat karditis) kriteria minor jika terdapat karditis)

2.6 Tata Laksana


2.6.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer demam reumatik akut adalah pemberian antibiotik untuk infeksi saluran
napas akut yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus Grup A untuk mencegah
serangan pertama demam reumatik akut. Faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-
hemolyticus grup A biasanya terjadi pada anak usia <15 tahun, demam tinggi, terdapat
pembesaran tonsil dan eksudat, terdapat nyeri tekan pada limfadenopati servikal anterior dan
tidak terdapat gejala batuk. Obat pilihan yang digunakan untuk eradikasi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah penisilin oral (penisilin V atau penisilin G) selama 10 hari.
Alternatif antibiotik lainnya adalah benzatin benzyl penisilin G intramuskular, sefalosporin
generasi pertama, dan makrolid (eritromisin, azitromisin, klaritromisin).7

Universitas Indonesia
20

2.6.2 Eradikasi Kuman Akut dan Pencegahan Sekunder


Serangan demam reumatik akut ditata laksana dengan pemberian antibiotik benzatin benzyl
penisilin G intramuskular dosis yang pertama kali. Sedangkan pencegahan sekunder adalah
pemberian antibiotik untuk mencegah rekurensi demam reumatik akut. Alternatif lainnya
adalah pemberian antibiotik oral seperti penisilin oral, eritromisin dan golongan sulfa.
Keduanya berisiko kepatuhan buruk.7

Pemberian penisilin oral sama efektifnya dengan penisilin intramuskular. Kadar minimal
inhibitory capacity (MIC) penisilin V sama dengan penisilin intramuskular yang diberikan
tiap 3 minggu. Bahkan minimal binding capacity (MBC) penisilin V lebih tinggi dari
penisilin intramuskular yang diberikan tiap 3 minggu. Sedangkan MIC dan MBC penisilin V
lebih tinggi dari penisilin intramuskular yang diberikan tiap 4 minggu. Walaupun demikian,
pemberian penisilin oral berisiko komplians yang rendah.42 Penelitian lain menunjukkan
injeksi penisilin intramuskular tiap 3 minggu dan 4 minggu sama efektifnya.43

Beberapa faktor yang berhubungan dengan rekurensi demam reumatik adalah: 1) Usia, 2)
Adanya penyakit jantung reumatik, 3) Onset sejak serangan demam reumatik terakhir, 4)
Jumlah rekurensi serangan demam reumatik akut, 5) Jumlah anggota keluarga di rumah, 6)
Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik di keluarga, 7) Status sosio-
ekonomi dan status pendidikan, 8) Prevalens infeksi Streptococcus di lingkungan, 9)
Komplians terhadap pemberian antibiotik injeksi, dan 10) Pekerjaan. Penelitian kohort
retrospektif di Indonesia, mendapatkan bahwa faktor risiko demam reumatik serangan
berulang adalah tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah.44 Tabel 6 merangkum lamanya
pemberian antibiotik profilaksis.7

Tabel 6. Durasi Pemberian Antibiotik Profilaksis7


Kategori Durasi Antibiotik Profilaksis
1. Pasien DRA tanpa karditis Selama 5 tahun sejak serangan terakhir atau
sampai usia 18 tahun (pilih yang terlama)
2. Pasien DRA dengan karditis (regurgitasi Selama 10 tahun sejak serangan terakhir
katup mitral ringan) atau minimal sampai usia 25 tahun (pilih
yang terlama)
3. Pasien DRA dengan karditis berat Seumur hidup
(kelainan katup jantung lebih berat)
4. Setelah operasi katup Seumur hidup

Universitas Indonesia
21

2.7 Kerangka Teori

1. Sosial ekonomi rendah


2. Lingkungan padat
3. Pendidikan rendah
4. Status gizi buruk-kurang

Suhu >38°C
Nyeri menelan
Kolonisasi Streptococcus beta- Detritus di tonsil (+)
hemolyticus grup A di faring Adenopati servikal

Karier Streptococcus beta- Faringitis Streptococcus beta-


hemolyticus grup A di faring hemolyticus grup A di faring

Terapi (-) Terapi (+)

Genetic susceptibility

Penyakit jantung
Demam reumatik akut
reumatik

Artritis Karditis Korea Eritema marginatum Nodul subkutan

Bising jantung (+) Bising jantung (-)


Ekokardiografi (+) Karditis klinis Karditis subklinis Ekokardiografi (+)

Universitas Indonesia
22

2.8 Kerangka konsep

-Status gizi buruk-kurang


-Status ekonomi rendah
-Pendidikan ibu rendah
-Kepadatan hunian rumah tinggi -Jenis kelamin perempuan
-Jumlah saudara kandung banyak -Pembesaran tonsil
-Kondisi rumah padat -Pembesaran kelenjar getah bening
-Jenis kelamin perempuan servikal
1.
3. 2.

Risiko transmisi Streptococcus Kolonisasi Streptococcus beta-


beta-hemolitycus grup A di faring hemolitycus grup A sebagai
airborne disease

Faringitis Sehat

1. Anamnesis, pemeriksaan fisis dan ekokardiografi


2. Pemeriksaan kultur usap tenggorok
3. Pemeriksaan lab: DPL, CRP, LED, ASTO

Karier Sreptoccocus beta-


hemolitycus grup A di Karditis subklinis Sehat
faring

-------- = ruang lingkup penelitian

Universitas Indonesia
23

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang terhadap anak usia 6-12 tahun
dengan tujuan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A di faring, proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring, proporsi karditis subklinis dan pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus
beta-hemolyticus grup A.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di SDN 05 Manggarai Jakarta Selatan. Penelitian dilakukan bulan
November 2019 hingga bulan Desember 2019.

3.3 Populasi dan Subyek Penelitian


3.3.1 Populasi Target
Populasi target penelitian adalah anak berusia 6-12 tahun.

3.3.2 Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau adalah anak usia 6-12 tahun yang bersekolah di SDN Manggarai 05
Jakarta Selatan.

3.3.3 Kriteria Inklusi


Pada penelitian ini diikutsertakan anak berusia 6-12 tahun yang tidak terdapat riwayat infeksi
saluran pernapasan akut dan tidak ada penggunaan antibiotik dalam 2 minggu terakhir.

3.3.4 Kriteria Eksklusi


Anak dengan riwayat sakit demam reumatik akut atau penyakit jantung reumatik
sebelumnya, dan menolak ikut serta dalam penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian
ini.

3.3.5 Subyek Penelitian


Subyek penelitian adalah semua anak pada populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.

Universitas Indonesia
24

3.3.6 Metode Pengambilan Subyek


Subyek diambil secara stratified random sampling. Subyek dibagi merata dari kelas 1 hingga
kelas 6 sehingga untuk tiap tahapan kelas jumlah subyek 34 orang.

3.3.7 Estimasi Besar Sampel


Untuk menghitung besar sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian sebagai berikut:
(1). Tujuan pertama: berapakah proporsi subyek dengan karier Streptococcus beta
hemolyticus grup A di faring?
Proporsi subyek dengan karier Streptococcus beta hemolyticus grup A sebesar 6-16%.16-18

n = 48.9 ~ 49

n = jumlah subyek
⍺ = kesalahan generalisasi (tipe I) = ditetapkan 5%
Z⍺ = nilai deviat baku dari ⍺ 0,05 adalah 1,96
P = proporsi kategori yang menjadi point of interest = 0,15 Q = 1 - P = 0,85
d = presisi penelitian (kesalahan prediksi proporsi yang masih dapat diterima) = 0,10

Untuk mencapai tujuan pertama diperlukan 49 subyek.

(2). Tujuan kedua: berapakah proporsi subyek dengan karditis subklinis?


Proporsi karditis subklinis 26%.41

n = 72

n = jumlah subyek
⍺ = kesalahan generalisasi (tipe I) = ditetapkan 5%
Z⍺ = nilai deviat baku untuk ⍺ 0,05 adalah 1,96

Universitas Indonesia
25

P = proporsi kategori yang menjadi point of interest = 0,25 Q = 1 - P = 0,75


d = presisi penelitian (kesalahan prediksi proporsi yang masih dapat diterima) = 0,10

Untuk mencapai tujuan kedua diperlukan 72 subyek

(3) Tujuan ketiga: mengetahui hubungan antara karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A di faring dengan pembesaran tonsil, pembesaran kelenjar getah bening servikal, status
ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung, jenis kelamin, jumlah orang dalam 1 rumah,
kondisi rumah, dan pendidikan ibu.

Pada analisis multivariat ini, besar sampel menggunakan rumus rule of thumb. Terdapat 9
faktor risiko yang diteliti sehingga besar sampel = 90 subyek.
Dengan demikian pada penelitian ini untuk mencapai tujuan ketiga diperlukan 90 subyek.

(4) Tujuan keempat: mengetahui pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-
hemolyticus grup A.
Perhitungan besar sampel sensitivitas antibiotik mengikuti rumus proporsi karier dan rumus
perhitungan survey. Jika menggunakan rumus proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A maka dipakai besar sampel minimal 100 subyek atau 200 subyek. Sedangkan jika
menggunakan rumus perhitungan survey dengan mempertimbangkan interval kepercayaan
95% dan margin of error 10% maka jumlah subyek yang diperlukan adalah 100 subyek.45

Untuk mencapai tujuan yang keempat diperlukan 100 subyek.

Untuk mencapai keempat tujuan penelitian tersebut di atas, maka diambil jumlah subyek
yang terbanyak yaitu 100 subyek.

Dengan antisipasi drop out 10% maka jumlah subyek yang diperlukan adalah

n’ = __n___ = __100__ = 112 n = besar sampel yang dihitung


1-f 1-0.1 f = perkiraan proporsi drop out
Jadi jumlah minimal yang diperlukan adalah 112 subyek.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel
bebas terdiri dari pembesaran tonsil, pembesaran kelenjar getah bening servikal, status

Universitas Indonesia
26

ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung, jenis kelamin, jumlah orang dalam 1 rumah,
kondisi rumah dan pendidikan ibu. Variabel tergantung yang diteliti adalah karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.

3.5 Alat dan Bahan Penelitian


1. Pemeriksaan kultur usap tenggorok menggunakan kapas lidi. Kapas lidi dimasukan ke
dalam media transpor. Kapas lidi dan media transport dikirim ke laboratorium pada hari yang
sama ke Laboratorium Eijkman Jakarta dengan menggunakan cooler box. Selanjutnya
dilakukan kultur dan resistensi antibiotik.46
2. Pengambilan darah menggunakan spuit 5 ml dan needle menggunakan no 22. Kemudian
darah disimpan dalam tabung EDTA/tabung ungu untuk pemeriksaan DPL dan LED.
Sedangkan pemeriksaan ASTO dan CRP menggunakan tabung merah. Pengiriman sampel
darah pada hari yang sama ke Laboratorium Patologi Klinik RSCM.
3. Pemeriksaan ekokardiografi menggunakan Mesin Ekokardiografi Phillips Epiq7.
ekokardiografi dilakukan oleh peneliti dan hasil ekokardiografi dikonfirmasi oleh dokter
konsultan kardiologi.

3.6 Prosedur Penelitian


1. Orangtua atau wali dari anak yang memenuhi kriteria akan diinformasikan mengenai
tujuan, manfaat dan prosedur penelitian ini. Orangtua atau wali yang setuju untuk
berpartisipasi akan diminta menanda tangani lembar informed consent.
2. Peneliti mengisi formulir penelitian yang berisi data dasar subyek yang terdiri dari nama,
nomor penelitian, tanggal lahir, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, status gizi,
penghasilan gabungan orangtua dalam sebulan, jumlah anggota keluarga dalam 1 rumah,
kondisi rumah dan status pendidikan ibu. Data yang didapat akan diolah menjadi variabel
yang ditetapkan dalam penelitian ini.
3. Setiap subyek yang terpilih akan diambil sediaan usap tenggorok untuk diperiksa biakan
terhadap kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A serta uji resistensi antibiotik. Setelah
itu, pasien dilakukan pengambilan darah sebanyak 6 ml (sebelumnya diberikan anestesi lokal
berupa lidokain spray untuk mengurangi nyeri) untuk pemeriksaan darah tepi perifer, ASTO,
CRP dan LED. Hasil pemeriksaan ditulis di dalam formulir data masing-masing pasien.
4. Setiap subyek yang terpilih akan dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai
adanya karditis subklinis. Hasil ekokardiografi akan direkam dalam CD dan interpretasi
ditulis dalam formulir data masing-masing pasien.

Universitas Indonesia
27

5. Subyek dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring dan atau subyek
dengan karditis subklinis selanjutnya akan dirujuk ke Poli Kardiologi Anak Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo untuk tata laksana lebih lanjut.

3.7 Definisi Operasional


DEFINISI OPERASIONAL
Karier Streptococcus beta- Individu yang sehat dan tidak menunjukkan gejala faringitis namun saat
hemolyticus grup A di faring23 dilakukan pemeriksaan usap tenggorok ditemukan pertumbuhan
Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Demam reumatik akut Kumpulan tanda dan gejala yang memenuhi kriteria Jones revisi AHA
2015.
Karditis subklinis Karditis yang secara klinis tidak terdengar bising jantung namun saat
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi ditemukan adanya regurgitasi
katup mitral patologis, regurgitasi katup aorta patologis, perubahan
morfologi pada katup mitral atau aorta yang sesuai dengan valvulitis
reumatik.
Status ekonomi47 Status ekonomi dinilai berdasarkan pendapatan gabungan keluarga per
bulan, dihitung berdasarkan tarif upah minimum regional DKI Jakarta
tahun 2019.
-Status ekonomi rendah: pendapatan <Rp. 3.900.000,-
-Status ekonomi menengah: pendapatan Rp. 3.900.000,- sampai
Rp.10.000.000,-
-Status ekonomi tinggi: pendapatan >Rp. 10.000.000,-
Status gizi Status gizi dinilai menggunakan kurva CDC WHO:
- Obesitas jika BB/TB >120%, kurva IMT >P95
- Overweight jika BB/TB >110-120%, kurva IMT P85-P95
- Gizi baik jika BB/TB 90%-110%
- Gizi kurang jika BB/TB 70-90%
- Gizi buruk jika BB/TB <70%
Pendidikan ibu Berdasarkan UU No.20 tahun 2003, tingkat pendidikan dibagi menjadi:
-Pendidikan dasar/rendah: SD/SMP/Madrasah Tsanawiyah.
-Pendidikan menengah: SMA/SMK
-Pendidikan tinggi: D1/D3/S1/S2/S3
Jumlah saudara kandung dalam 1 Dibagi dalam 2 kelompok.
rumah36 1.Kelompok 1=jumlah saudara kandung <3 orang
2.Kelompok 2=jumlah saudara kandung ³3 orang
Jumlah orang dalam 1 rumah48 Kepadatan hunian dinilai berdasarkan jumlah anggota keluarga dalam 1
rumah. Dibagi dalam 2 kelompok.
1.Kelompok 1=jumlah anggota keluarga £5 orang/rumah

Universitas Indonesia
28

2.Kelompok 2=jumlah anggota keluarga >5 orang/rumah


Kondisi rumah49 Karakteristik tempat tinggal digolongkan menjadi berdasarkan luas
rumah per anggota keluarga atau jiwa yang ditinggal:
-Ideal: Luas rumah ³9 m2/jiwa.
-Tidak ideal: Luas rumah <9 m2/jiwa.
Regurgitasi katup mitral Hasil ekokardiografi Doppler sebagai berikut:
8
patologis 1. Ditemukan minimal pada 2 pandangan
2. Panjang jet regurgitasi ³2 cm, minimal pada 1 pandangan
3. Peak velocity >3 m/s
4. Jet pansistolik minimal terlihat sebagai 1 envelope
8
Valvulitis reumatik katup mitral Morfologi katup mitral: Dilatasi anulus, elongasi kordae tendinae, ruptur
tendinae sehingga terjadi flail katup dan regurgitasi katup mitral berat,
prolaps katup mitral
8
Regurgitasi katup aorta patologis Hasil ekokardiografi Doppler sebagai berikut:
1. Ditemukan minimal pada 2 pandangan
2. Panjang jet regurgitasi ³1 cm, minimal pada 1 pandangan
3. Peak velocity >3 m/s
4. Jet pandiastolik minimal terlihat sebagai 1 envelope
8
Valvulitis reumatik katup aorta Morfologi katup aorta: penebalan iregular atau fokal katup, gangguan
koaptasi, gerakan katup terbatas, dan prolaps katup.
Kontaminasi Percampuran/ pencemaran terhadap sesuatu oleh unsur lain yang
memberikan efek tertentu.
Kolonisasi Proses bakteri menempati dan bermultiplikasi pada suatu daerah tertentu
dalam tubuh manusia.
Bakteremia Ditemukannya bakteri di dalam darah berdasar hasil kultur darah positif.
Populasi risiko rendah Prevalens demam reumatik akut <2 tiap 100.000 penduduk (usia 5-14
tahun).
Populasi risiko moderat-tinggi Prevalens demam reumatik akut >2 tiap 100.000 penduduk (usia 5-14
tahun).
25
Pembesaran tonsil Pembesaran tonsil dibagi menjadi:
(1)Normal: T1-T1
(2)Membesar: T2-T2, T3-T3, T4-T4
Pembesaran kelenjar getah bening Pembesaran kelenjar getah bening servikal:
servikal25,50 (1)Normal: £1 cm
(2)Membesar: >1 cm

Universitas Indonesia
29

3.8 Alur Penelitian

SDN 05 Manggarai
Jakarta Selatan

Anak Usia 6-12 tahun

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Ya Ya

Informed consent Pasien tidak diikutsertakan


dalam penelitian

Karier Streptococcus beta-


1. Pengambilan data dasar: anamnesis dan pemeriksaan fisis
hemolyticus grup A (+)
2. Pemeriksaan ekokardiografi
3. Pemeriksaan apus tenggorok untuk kultur apus tenggorok dan
dan atau
resistensi antibiotik
4. Pengambilan darah untuk pemeriksaan DPL, CRP, LED, dan
Karditis subklinis
ASTO

Analisis Data
Rujuk ke Poli Kardiologi Anak RSCM

Universitas Indonesia
30

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Alur Subyek Penelitian


Selama periode November hingga Desember 2019, siswa SDN 05 Manggarai Jakarta Selatan
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutkan ke dalam penelitian. Terdapat total
900 siswa SDN 05 Manggarai Jakarta Selatan. Di antaranya, 322 siswa menolak ikut serta
dalam penelitian. Dua ratus satu siswa menjadi subyek penelitian setelah dilakukan stratified
random sampling (Gambar 4).

900 siswa SDN 05


Manggarai Jakarta Selatan

322 Menolak ikut serta penelitian

578 siswa
Memenuhi kriteria inklusi dan tidak
termasuk kriteria eksklusi

Stratified random sampling

201 subyek

28 karier Streptococcus beta- 173 yang bukan karier Streptococcus


hemolyticus grup A di faring beta-hemolyticus grup A di faring
(kultur usap tenggorok positif) (kultur usap tenggorok negatif)

Gambar 4. Alur Subyek Penelitian

4.2 Karakteristik Subyek Penelitian


Dua ratus satu subyek menyelesaikan penelitian hingga selesai. Median usia subyek adalah 9
tahun. Median pendapatan dan pengeluaran orangtua adalah Rp. 3.000.000 per bulan.
Sedangkan median jumlah saudara kandung dan jumlah orang serumah dari seluruh subyek
penelitian adalah 2. Nilai tengah luas rumah tinggal dari subyek penelitian adalah 24 m2.

Universitas Indonesia
31

Terdapat 10 subyek (5%) yang tergolong anemia. Rentang nilai leukosit antara 1.120/uL dan
16.980/uL dengan nilai median 8.425/uL. Median nilai LED, ASTO dan CRP adalah 12 mm,
233 mg/L dan 0,4 IU/mL. Karakteristik subyek penelitian berdasar faktor risiko yang diteliti
dirangkum dalam Tabel 7. Hubungan nilai ASTO dan kultur usap tenggorok (Tabel 8).
Tabel 7. Karakteristik Subyek
Variabel N=201
Jenis Kelamin, n (%)
• Lelaki 91 (45,3)
• Perempuan 110 (54,7)
Berat badan, median (min-maks), kg 30 (15-79)
Tinggi badan, rerata (SB), cm 134,6 (12,09)
Lingkar lengan atas, median (min-maks), cm 20 (14-40)
Jumlah saudara kandung dalam 1 rumah, n (%)
• <3 orang 169 (84,1)
• ³3 orang 32 (15,9)
Jumlah orang dalam 1 rumah, n (%)
• £5 orang 133 (66,2)
• >5 orang 68 (33,8)
Status gizi, n (%)
• Gizi buruk 0 (0,0)
• Gizi kurang 54 (26,9)
• Gizi baik 87 (43,3)
• Overweight 15 (7,5)
• Obesitas 45 (22,4)
Status ekonomi, n (%)
• Golongan ekonomi rendah 130 (64,7)
• Golongan ekonomi menengah 67 (33,3)
• Golongan ekonomi tinggi 4 (2,0)
Kondisi rumah, n (%)
• Tidak ideal (<9 m2/jiwa ) 163 (81,1)

• Ideal (³9 m2/jiwa) 38 (18,9)

Status pendidikan ibu, n (%)


• Dasar/rendah 50 (24,9)
• Menengah 136 (67,6)
• Tinggi 15 (7,5)
Tonsil, n (%)
• Normal: T1-T1 88 (43,8)
• Membesar: T2-T2, T3-T3, T4-T4 113 (56,2)
Kelenjar getah bening servikal, n (%)
• Normal: £1 cm 200 (99,5)
• Membesar: >1 cm 1 (0,5)
SB: Standar Baku

Universitas Indonesia
32

Tabel 8. Hubungan hasil kultur usap tenggorok dengan nilai ASTO


Kultur usap tenggorok Streptococcus
beta-hemolyticus grup A.
Variabel
Positif Negatif
N=28 N=173
ASTO, n (%), mg/L
• Meningkat 9 (18%) 41 (82%)
• Normal 19 (12,6%) 132 (87,4%)
ASTO: Anti-streptolysin O

4.3 Faktor Risiko Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A


Sebesar 18,6% subyek dengan pembesaran tonsil terdapat kuman Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring (p=0,036). Subyek dengan pembesaran tonsil memiliki peluang
2,3 kali menjadi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Faktor risiko lainnya (jenis
kelamin, pembesaran kelanjar getah bening, jumlah orang serumah, status gizi, golongan
ekonomi, kondisi rumah, pendidikan ibu dan jumlah saudara kandung) tidak berbeda baik
pada kelompok karier maupun non-karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

Setelah dilakukan analisis bivariat, didapatkan 3 faktor risiko dengan p<0,25 yaitu
pembesaran tonsil, jumlah orang dalam 1 rumah dan status gizi. Peneliti selanjutnya
melakukan analisis multivariat terhadap ke tiga faktor risiko tersebut. Selain pembesaran
tonsil, faktor risiko lainnya tidak berbeda bermakna dalam analisis multivariat. Subyek
dengan pembesaran tonsil memiliki peluang 2,6 kali menjadi karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Tabel 9 mendeskripsikan analisis bivariat dan multivariat faktor
prediktor karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.

Universitas Indonesia
33

Tabel 9. Analisis bivariat dan multivariat faktor prediktor karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A

Karier Streptococcus
beta-hemolyticus
Unadjusted adjusted
Variabel grup A P#
OR (IK 95%) OR (IK 95%) P ##
Ya Tidak
N=28 N=173
Pembesaran tonsil,
n (%)
Membesar 21 (18,6) 92 (81,4) 2,641 (1,067-6,536) 0,031 2,641 (1,067-6,536) 0,036
Normal 7 (8,0) 81 (92,0)
Pembesaran kelenjar getah
bening servikal, n (%)
Membesar 0 (0,0) 1 (100,0) - 1,000* -
Normal 28 (14,0) 172 (86,0)
Jenis Kelamin, n (%)
Perempuan 14 (12,7) 96 (87,3) 0,802 (0,361-1,784) 0,588 -
Lelaki 14 (15,4) 77 (84,6)
Jumlah orang dalam 1
rumah, n (%)
>5 orang 13 (19,1) 55 (80,9) 1,859 (0,828-4,174) 0,129 1,690 (0,744-3,839) 0,210
£5 orang 15 (11,3) 118 (88,7)
Status gizi, n (%)
Gizi buruk- kurang 6 (11,1) 48 (88,9) 0,555 (0,203-1,518) 0,251 1,761 (0,633-4,901) 0,278
Gizi Obesitas- 6 (10,0) 54 (90,0) 0,493 (0,181-1,344) 0,174 2,078 (0,751-5,751) 0,159
Overweight
Gizi baik 16 (18,4) 71 (81,6)
Status ekonomi, n (%)
Golongan ekonomi rendah 16 (12,3) 114 (87 0,690 (0,306-1,554) 0,369 -
Golongan ekonomi 12 (16,9) 59 (83,1)
menengah - tinggi
Kondisi rumah, n (%)
Tidak ideal (<9 m2/jiwa) 24 (14,7) 139 (85,3) 1,468 (0,477-4,511) 0,501 -

Ideal (³9 m2/jiwa) 4 (10,5) 34 (89,5) 0,500 (0,097-2,566) 0,406


Status pendidikan ibu,
n (%)
Dasar/rendah 7 (14,0) 43 (86,0) 1,058 (0,195-5,732) 0,947
Menengah 19 (14,0) 117 (86,0) 0,946
Tinggi 2 (13,3) 13 (86,7)
Jumlah saudara kandung
dalam 1 rumah, n (%)
³3 orang 5 (15,6) 27 (84,4) 1,178 (0,411-3,361) 0,782* -
<3 orang 23 (13,6) 146 (86,4)
# ##
Uji Bivariat = Uji Chi Square;* Uji Fisher Exact Uji Regresi logistik

Universitas Indonesia
34

4.4 Porporsi Karditis Subklinis


Enam belas subyek (7,9%) dari total 201 subyek terdapat bising jantung saat pemeriksaan
fisis jantung. Hasil pemeriksaan ekokardiografi 16 subyek tersebut normal sehingga
dikelompokkan sebagai bising innocent yang terdiri dari 10 still murmur dan 6 innocent
pulmonic systolic murmur. Hasil ekokardiografi dari satu subyek menunjukkan regurgitasi
katup mitral moderat disertai penebalan serta pemendekan katup mitral anterior dan
regurgitasi katup aorta ringan. Hasil pemeriksaan ASTO dalam batas normal. Pemeriksaan
fisis subyek tersebut tidak ditemukan adanya bising sehingga proporsi karditis subklinis pada
penelitian ini sebesar 0,5%. Tabel 10 merangkum profil fungsi jantung 201 subyek dan
Gambar 5 mendeskripsikan rentang nilai TAPSE normal berdasarkan sebaran usia.

Tabel 10. Profil fungsi jantung


Variabel Karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A
Ya Tidak
N =28 N=173
Fungsi diastolik ventrikel kiri:
median (min-maks)
• E/A ratio 1,5 (1,2-2,4) 1,7 (1,1-2,6)
Fungsi sistolik ventrikel kiri:
median (min-maks)
• Ejection fraction 64 (58-73) 65 (7-82)
• Fractional shortening 34 (30-41) 35 (28-50)
Fungsi sistolik ventrikel kanan:
median (min-maks)
• Tricuspid annular plain 24 (17-35) 22 (1-59)
systolic excursion
E/A ratio = Rasio kecepatan aliran darah saat awal fase diastol (gelombang E) dibanding kecepatan aliran darah saat akhir fase
diastole (gelombang A)

Gambar 5. Rentang nilai TAPSE (Tricuspid annular plain systolic excursion) subyek penelitian

Universitas Indonesia
35

4.5 Sensitivitas Kuman Streptococcus terhadap Antibiotik


Hasil kultur usap tenggorok yang dilakukan terhadap 201 subyek penelitian adalah
Streptococcus beta-hemolyticus grup A (28 subyek), Streptococcus alpha hemolyticus (82
subyek) dan steril (91 subyek). Deteksi adanya Streptococcus beta-hemolyticus grup A
melalui beberapa tahapan yaitu deteksi hemolisis pada agar darah, pewarnaan gram, tes
basitrasin, tes katalase dan pertumbuhan pada media agar manitol salt. Uji sensitivitas
antibiotik dilakukan pada 28 Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Seluruh bakteri
Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada penelitian ini sensitif terhadap antibiotik
benzatin benzyl penicillin G. Hasil uji sensitivitas terhadap antibiotik lainnya dapat dilihat
pada Gambar 6.

Antibiotik

100%
89% 86%
75%
68% 68%

32%
n
lin

lin

n
l

n
iko

isi
isi
i si
isi

sik
isi

om
om
m

om
n

n
fe

ra
da

Pe

itr
nk
itr
am

t
in

Te

Az
Er

Va
Kl
or
Kl

Gambar 6. Uji sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A

Universitas Indonesia
36

BAB 5
PEMBAHASAN PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subyek


Penelitian tentang karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A mayoritas dilakukan pada
rentang usia 5-15 tahun karena prevalens faringitis Streptococcus beta-hemolyticus grup A
terbanyak pada usia tersebut. Oleh karena itu, karakteristik subyek dalam penelitian ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian lainnya. Dalam penelitian ini, proporsi jenis kelamin subyek
penelitian sebanding antara perempuan 110 (54,7%) dan lelaki 91 (45,3%). Proporsi jenis
kelamin perempuan dalam penelitian Aini,26 Abdissa,51 dan Nayiga,17 adalah 48%, 52% dan
59,3%. Median usia dalam penelitian ini adalah 9 tahun. Data tersebut sama dengan rerata
usia subyek dari penelitian Martin52 yaitu 9,6 tahun.

Hampir semua penelitian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dilakukan di daerah


padat penduduk, status ekonomi menengah ke bawah dan di negara berkembang. Pada
penelitian ini, status pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga adalah pendidikan
menengah (67,6%) dan ekonomi rendah (64,7%). Data penelitian Anja18 menyebutkan
mayoritas status pendidikan orangtua adalah rendah (41,8%) dan status ekonomi rendah
(56,4%). Perbedaannya adalah pada penelitian Anja18 tidak menyebutkan pendidikan ibu
secara khusus. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku ibu
dalam menjaga kebersihan rumah. Selain pendidikan, status ekonomi turut mempengaruhi
kondisi rumah dan lingkungan dalam penyebaran Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Mayoritas pekerjaan dari orangtua subyek adalah supir daring atau online (Gojek/Grab) dan
berdagang makanan di rumah

5.2 Proporsi Karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A untuk anak usia 6-12 tahun pada
penelitian ini sebesar 13,9%. Hampir sama dengan penelitian ini, proporsi karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari penelitian Nayiga17 (subyek usia 5-15 tahun),
Anja18 (subyek usia 5-12 tahun), Dumre19 (subyek usia 5-15 tahun) dan Prajapati20 (subyek
usia 6-12 tahun) adalah 16%, 12,2%, 10,9% dan 12%. Proporsi karier yang tidak jauh
berbeda tersebut dapat disebabkan oleh rentang usia subyek relatif sama dan infeksi
Streptococcus beta-hemolyticus grup A terbanyak terjadi pada kelompok usia 5-15 tahun.

Universitas Indonesia
37

Selain itu, faktor sosio-demografi antar penelitian tidak jauh berbeda seperti berasal dari
negara berkembang, statu ekonomi rendah dan lingkungan padat.

Penelitian yang terpublikasi dan berasal dari Indonesia ada dua. Penelitian Budi27 melibatkan
subyek dewasa berusia 18-21 tahun dan berjumlah 9 subyek. Karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A dalam penelitian tersebut adalah 0 persen. Rentang usia dewasa dan
jumlah subyek yang sedikit menyebabkan tidak ditemukan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A pada penelitian tersebut. Penelitian Aini26 mengikutsertakan subyek anak
sekolah dasar berusia 6-12 tahun sebanyak 104 subyek. Dua subyek dari 104 subyek terdapat
bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Jumlah subyek yang kurang
menyebabkan rendahnya angka karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.

Singh53 melaporkan prevalens anak usia sekolah 5-15 tahun di India lebih rendah yaitu
0,67%. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Vijaya54 di India, prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada anak usia 5-15 tahun adalah 1,9%. Walaupun
usia subyek tidak berbeda dengan penelitian ini, proporsi karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A lebih rendah pada kedua penelitian tersebut karena lokasi penelitian di
daerah pedesaan, jumlah penduduk tidak padat dan dilakukan pada musim kemarau.

Data dari meta-analisis pada 22 penelitian, 18 penelitian yang diikutsertakan melibatkan


subyek usia 5-15 tahun, sama seperti usia subyek penelitian dalam penelitian ini, dan
prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari meta-analisis tersebut sebesar
12%. Sedangkan empat penelitian lain melibatkan subyek usia <5 tahun dengan prevalens
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A sebesar 4%. Tidak ada penelitian dengan
subyek di atas 18 tahun.2 Servinc55 melaporkan prevalens karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A pada anak usia 1-6 tahun hanya sebesar 2%. Penelitian pada subyek
dewasa muda yang sehat usia 15-18 tahun, prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A sebesar 9%.25 Data multisenter yang melibatkan 2.626 subyek menyimpulkan bahwa
secara umum prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A sebesar 2,2%. Dalam
penelitian tersebut, prevalens karier usia £14 tahun, 15-44 tahun, dan ³45 tahun adalah
10,9%, 2,3% dan 0,6%.56 Berdasarkan data tersebut, kelompok usia dengan proporsi karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A paling tinggi adalah usia 5-15 tahun, seperti
kelompok usia pada penelitian ini.

Universitas Indonesia
38

Oliver16 dalam penelitian meta-analisisnya membandingkan prevalens karier Streptococcus


beta-hemolyticus grup A di negara maju dibanding negara berkembang. Prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di negara maju lebih tinggi dibanding negara
berkembang yaitu 10,5% vs 5,9%. Pada negara dengan 4 musim, prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A bervariasi antara tiap musim. Prevalens pada musim
gugur, dingin, semi dan panas adalah 4,08%, 2,26%, 1,03% dan 1,2%.55 Secara epidemiologi,
infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A paling tinggi pada bulan Desember hingga
April.57 Penelitian ini dilakukan pada bulan November dan Desember sehingga angka
proporsi Streptococcus beta-hemolyticus grup A cukup tinggi. Selain itu, walaupun Indonesia
merupakan negara berkembang tetapi penelitian ini dilakukan di kota besar yaitu Jakarta
dengan karakteristik daerah padat dan subyek berasal dari status ekonomi rendah.

Nilai ASTO 50 subyek dalam penelitian ini meningkat. Dari 50 subyek tersebut, 9 subyek
memiliki hasil kultur usap tenggorok positif. Antigen ekstra-seluler Streptococcus beta-
hemolyticus grup A meliputi streptolisin O (ASTO), deoksiribonuklease B (DNAaseB),
hialuronidase, streptokinase dan nikotinamid adenin dinukleotidase. Suatu studi yang
melibatkan 2.321 spesimen meneliti sensitivitas dan spesifisitas antibodi streptolisin O,
streptokinase, dan deoksiribonuklease B untuk memprediksi infeksi akut dan lampau
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Antibodi streptolisin O, streptokinase, dan
deoksiribonuklease B tidak dapat digunakan sebagai petanda infeksi akut Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Sensitivitas dan spesifisitas masing-masing antibodi tersebut dalam
memprediksi infeksi lampau adalah 70,5% hingga 72,7% dan 86,4 hingga 86,4% hingga
93,2%. Kombinasi ASTO dan anti-DNAaseB paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi infeksi lampau Streptococcus beta-hemolyticus grup A dengan sensitivitas
95,5% dan spesifisitas 88,6%. ASTO mulai meningkat 1 minggu pasca-infeksi dan mencapai
puncak 3-5 minggu pasca-infeksi.58 Anti-DNAaseB mulai meningkat 2 minggu pasca-infeksi
dan mencapai puncak 6-8 minggu pasca-infeksi. Anti streptokinase mencapai puncak 1 bulan
pasca-infeksi.59,60 Pada karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A, kadar ASTO fase akut
dan konvalesens akan sama. Pada penelitian ini, peningkatan ASTO pada 9 subyek yang
ditemukan Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak menunjukkan infeksi akut dan
disebabkan oleh infeksi lampau.

Empat puluh satu subyek dengan hasil kultur usap tenggorok normal ternyata mengalami
peningkatan ASTO. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, peningkatan ASTO

Universitas Indonesia
39

disebabkan infeksi lampau dan saat ini infeksi sudah selesai. Sembilan belas subyek memiliki
hasil kultur usap tenggorok positif namun hasil ASTO normal. Pada kelompok ini, subyek
hanya sebagai karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan tidak terjadi proses infeksi
dalam sampai 6 bulan terakhir.60 Kelompok terakhir adalah 132 subyek yang menunjukkan
hasil kultur usap tenggorok normal dan nilai ASTO normal. Pada kelompok tersebut, subyek
bukan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan tidak terjadi proses infeksi dalam 6
bulan terakhir.60

Pada penelitian ini, subyek dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kadar
ASTO meningkat akan menjalani pemeriksaan ASTO ulang serta mendapat terapi profilaksis
primer, yaitu eritromisin 4 x10 mg/kg/kali, selama 10 hari. Sedangkan subyek dengan karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang tidak disertai peningkatan kadar ASTO hanya
dilakukan observasi berkala.

5.3 Faktor Prediktor Karier Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A


Pada penelitian ini, pembesaran tonsil merupakan faktor prediktor Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (p=0,031). Namun, Tagavi25 menyimpulkan pembesaran tonsil tidak
berbeda bermakna antara kedua kelompok (p=0,121). Semua subyek dengan karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada penelitian ini memiliki ukuran kelenjar getah
bening yang normal (p=1). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Tagavi25 bahwa ukuran
kelenjar getah bening sama pada kedua kelompok (p=0,337). Perbedaan penelitian Tagavhi
dan penelitian ini adalah kelompok usia subyek 15-18 tahun dan status ekonomi subyek
menengah ke atas. Status ekonomi menengah ke atas secara teori lebih sedikit kekerapan
faringitis sehingga ukuran tonsil relatif normal.

Jenis kelamin lelaki dan perempuan pada penelitian ini secara statistik tidak bermakna
(p=0,588). Hasil tersebut didukung oleh penelitian dari Durmaz61 (p>0,05), Hoffman56
(p>0,05), Prajapati20 (p>0,05), Dumre19 (p>0,05) dan Tagavi25 (p=0,369) bahwa jenis
kelamin tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Kolonisasi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring lebih dipengaruhi oleh paparan dan kepadatan lingkungan.

Dari penelitian ini, jumlah orang dalam 1 rumah tidak berbeda antara kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p=0,129). Penelitian dari
Prajapati20 (p>0,05) dan Anja18 (p=0,208) mendukung bahwa jumlah orang dalam 1 rumah
tidak berbeda bermakna antara kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan

Universitas Indonesia
40

kelompok sehat. Al-Gabban61 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kepadatan


penghuni dalam 1 rumah merupakan faktor risiko terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A (p<0,006) namun tidak dijelaskan kriteria rumah yang padat dalam
penelitian tersebut. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa terjadi perbedaan hasil
penelitian antara Al Gabban62 dengan penelitian ini, Prajapati,20 dan Anja.18 Selain itu,
mayoritas keluarga subyek dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari orangtua
dan dua anak.

Pada penelitian ini, status gizi subyek tersebar merata antara kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p>0,05). Tagavi25 mendukung hasil penelitian
ini bahwa status gizi tidak berbeda bermakna antara kelompok karier dan non-karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A (p=0,864). Infeksi terjadi karena interaksi pejamu,
lingkungan dan bakteri. Pada infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A kekerapan
paparan kuman karena faktor lingkungan yang berperan utama. Jumlah saudara kandung
dalam 1 rumah dalam penelitian ini, tidak berbeda bermakna baik pada kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A maupun kelompok sehat (p=0,782). Hal ini dapat
disebabkan karena subyek homogen berasal dari lingkungan keluarga inti dan didominasi
oleh orangtua pasangan muda yang memiliki 2 anak.

Faktor prediktor berikutnya pada penelitian ini adalah status ekonomi. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa status ekonomi tidak berbeda bermakna antara kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p=0,369). Kuwasha48 turut
mendukung hasil dalam penelitian ini bahwa status ekonomi keluarga bukan merupakan
faktor prediktor yang berhubungan dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
(p=0,129). Namun Anja18 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa status ekonomi
keluarga yang rendah merupakan faktor prediktor karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A (p=0,001). Hal tersebut didukung oleh penelitian Al Gabban62 bahwa status ekonomi
rendah merupakan faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
(p<0,008). Perbedaan hasil penelitian bisa disebabkan oleh perbedaan parameter status
ekonomi antar negara.

Sebagian besar subyek pada penelitian ini menempati rumah dengan kondisi tidak ideal
(<9m2/jiwa) namun tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,5). Nayiga17 menggunakan
parameter yang berbeda dari penelitian ini yaitu >0,8m2/anak dan sesuai dengan penelitian ini
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,983). Hal ini dapat

Universitas Indonesia
41

disebabkan perbedaan definisi rumah yang tidak ideal. Kriteria yang dapat digunakan antara
lain jumlah penghuni per m2 rumah dan jumlah jendela dalam rumah. Pada penelitian ini
jumlah jendela mayoritas >1 di dalam rumah walaupun luas rumah <9m2/jiwa.

Status pendidikan ibu tidak berbeda bermakna baik pada kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A maupun kelompok sehat (p=0,947). Hal serupa didukung oleh
Anja18 (p=0,35) dan Tagavi25 (p>0,05) bahwa status pendidikan orangtua bukan merupakan
faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Sebaliknya, Al
Gabban62 mendukung bahwa status pendidikan orangtua yang rendah merupakan faktor
risiko terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A (p<0,004). Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, kolonisasi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak
diperngaruhi oleh satu faktor. Namun, gabungan oleh banyak faktor lingkungan, bakteri dan
pejamu berpengaruh.

Subyek dalam penelitian ini berasal dari kelompok yang homogen yaitu satu sekolah yang
sama. Hal ini dapat menyebabkan faktor prediktor yang bermakna hanya pembesaran tonsil.
Jika penelitian diperluas menjadi multisenter, faktor prediktor selain pembesaran tonsil bisa
memberikan hasil yang bermakna.

5.4 Proporsi Karditis Subklinis


Pada penelitian ini terdapat satu subyek dengan regurgitasi katup mitral moderat disertai
penebalan serta pemendekan katup mitral anterior dan regurgitasi katup aorta ringan.
Pemeriksaan auskultasi subyek tersebut normal. Proporsi karditis subklinis pada penelitian ini
adalah 0,5%. Hasil pemeriksaan ASTO subyek tersebut dalam batas normal. Subyek
memiliki status gizi kurang, pendapatan orangtua rendah, jumlah saudara kandung 3 orang
dan jumlah orang serumah 6 orang, luas rumah 12 m2 atau 2 m2/jiwa dengan ventilasi rumah
yang kurang. Faktor sosio-demografi dan lingkungan turut mempermudah penyebaran
Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang berpotensi menjadi demam reumatik akut pada
individu yang rentan dengan risiko jangka panjang menjadi penyakit jantung reumatik jika
tidak mendapat tata laksana yang optimal.

Mirabel63 melakukan skrining ekokardiografi pada 17633 anak sekolah usia 9-10 tahun.
Sebanyak 157 siswa terdiagnosis sebagai penyakit jantung reumatik. Selanjutnya, 114 siswa
dengan penyakit jantung reumatik dan 227 siswa sehat diobservasi selama 2-3 tahun.

Universitas Indonesia
42

Sembilan puluh dari 114 siswa dengan penyakit jantung reumatik masih memiliki kelainan
katup dan 30 dari 227 siswa sehat terdeteksi kelainan katup.

Sahin64 melakukan penelitian prospektif pada 158 pasien dengan karditis subklinis di poli
kardiologi anak. Sebanyak 49 subyek memiliki keluhan non-kardiak sesuai kriteria Jones
sedangkan 109 subyek secara insidental ditemukan karditis subklinis setelah dikonsulkan ke
dokter kardiologi karena keluhan lain. Penelitian lainnya dengan subyek pasien demam
reumatik akut yang memiliki keterlibatan kardiak baik secara klinis maupun ekokardiografi
diikuti selama satu hingga 5 tahun. Kelainan katup mitral atau aorta lebih banyak ditemukan
melalui ekokardiografi dibandingkan secara klinis (25/35 vs 5/35, p=0,03).65

Penelitian serupa dengan subyek pasien demam reumatik akut dilakukan di Turki. Subyek
dalam penelitian tersebut sebanyak 156 pasien. Seratus tiga subyek terdapat karditis. Proporsi
karditis subklinis dilaporkan sebesar 28,2%.66 Pastore67 melakukan penelitian retrospektif
terhadap 13 pasien anak usia 5-15 tahun selama 1 tahun dengan diagnosis demam reumatik
akut. Gejala yang muncul adalah korea (7/13), poliartritis (6/13) dan karditis klinis (5/13).
Subyek dengan gejala korea dan poliartritis secara klinis tidak terdapat bising jantung tetapi
pada pemeriksaan ekokardiografi terdapat karditis. Agarwal68 menyimpulkan dalam
penelitiannya, subyek dengan gejala demam reumatik akut non-karditis seperti korea dan
poliartritis menjalani skrining ekokardiografi sejak awal. Lima puluh persen subyek dengan
gejala poliartritis dan korea tanpa gejala kardiak ternyata hasil ekokardiografi menunjukkan
adanya karditis bermakna.

Penelitian meta-analisis dilakukan oleh Tubridy40 terhadap 23 penelitian. Subyek dalam


penelitian tersebut adalah pasien demam reumatik akut. Prevalens karditis subklinis
dilaporkan sebesar 16,8%. Condemi41 melakukan skrining ekokardiografi pada pengungsi di
Italia. Tujuh belas subyek memenuhi kriteria penyakit jantung reumatik dari total 653
subyek. Sembilan puluh lima persen subyek berusia kurang dari 18 tahun. Pemeriksaan
ekokardiografi merupakan salah satu metode yang mampu laksana untuk skrining penyakit
jantung reumatik pada daerah dengan fasilitas yang lengkap.

Berdasarkan data penelitian ini, karditis subklinis hanya ditemukan pada satu subyek. Subyek
dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak ada yang mengalami karditis
subklinis. Skrining ekokardiografi pada subyek sehat tidak disarankan karena angka deteksi
rendah, biaya tidak murah, dan tidak semua fasilitas kesehatan memiliki ekokardiografi.

Universitas Indonesia
43

5.5 Proporsi Bising Innocent


Peneliti melakukan pemeriksaan fisis pada semua subyek penelitian. Proporsi bising innocent
pada penelitian ini sebesar 7,9%. Enam belas subyek terdapat bising jantung saat
pemeriksaan fisis jantung tetapi pada pemeriksaan ekokardiografi normal. Bising innocent
adalah bising jantung yang terdengar pada auskultasi jantung tetapi tidak ditemukan adanya
kelainan anatomi jantung pada pemeriksaan ekokardiografi. Biasanya bising innocent
disebabkan oleh aliran darah yang mengalir dalam jantung. Jika anak berubah posisi maka
aliran darah kembali ke jantung akan berubah sehingga intensitas bising jantung berubah.
Sebagai contoh, anak diminta berubah posisi dari terlentang ke duduk atau berdiri sehingga
aliran darah vena balik ke jantung akan berkurang dan intensitas bising jantung akan
berkurang. Karakteristik bising innocent adalah sensitif terhadap perubahan posisi tubuh, fase
sistolik, singkat (bukan holosistolik), tidak disertai klik/gallop, lokasi terbatas/tidak
menyebar, intensitas/amplitudo rendah dan tidak keras.69-71

Uner72 meneliti subyek anak usia sekolah dan mendapatkan proporsi bising innocent yang
lebih rendah dari penelitian ini yaitu 3,5%. Suatu penelitian di Mesir pada anak usia 0-12
tahun mendapatkan prevalens bising innocent sebesar 53%.73 Penelitian lain yang serupa
pada 128.900 anak usia <15 tahun menyimpulkan bahwa bising innocent terdapat pada 321
subyek (0,24%).74 Al Halak75 juga melakukan penelitian pada 610 anak usia 2 bulan hingga
18 tahun. Prevalens bising innocent adalah sebesar 39,7% dan 71,3% ditemui pada anak usia
<5 tahun.

Auskultasi jantung merupakan keterampilan klinis dasar yang harus dikuasai oleh setiap
dokter. Keterampilan tersebut memerlukan latihan dan jam terbang dalam memeriksa bunyi
jantung dan bising jantung pasien. Sackey76 membandingkan diagnosis bising innocent dan
patologis yang dibuat oleh dokter anak dan hasil konfirmasi dari dokter kardiologi anak.
Seratus lima puluh anak dirujuk oleh dokter anak karena adanya keluhan bising jantung.
Hampir 50% (72 subyek) rujukan dari dokter anak dengan diagnosis bising innocent. Hasil
pemeriksaan dokter kardiologi anak menunjukkan 70 subyek tersebut tanpa kelainan jantung
dan 2 subyek terdapat penyakit jantung bawaan. Tujuh puluh tiga subyek lainnya dirujuk
dengan bising patologis. Hasil pemeriksaan dokter kardiologi anak, 44 subyek terdapat bising
innocent tetapi tanpa kelainan jantung, 26 subyek dengan bising patologis dan kelainan
jantung, dan 3 subyek tidak terdapat bising jantung. Penelitian oleh Discigil77
membandingkan hasil evaluasi dokter keluarga atau dokter umum dan dokter kardiologi anak

Universitas Indonesia
44

tentang bising pada anak 715 anak dengan median usia 10 tahun. Dalam penelitian ini
sebagian besar dokter keluarga bisa mendeteksi bising innocent tetapi kemampuan
mendeteksi bising patologis belum baik.

5.6 Sensitivitas Kuman Streptococcus Beta-Hemolyticus Grup A Terhadap Antibiotik


Faring merupakan rumah untuk berbagai flora normal seperti Streptococcus alpha-
hemolyticus, Streptococcus viridans, Pneumococcus, Neisseria spp non-patogenik,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Lactobacillus spp dan Haemophilus
influenzae.

Penelitian ini menggunakan beberapa tes untuk menentukan bakteri yang tumbuh adalah
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Pertama kali akan dilakukan pewarnaan gram untuk
melihat adanya bakteri kokus gram positif. Selanjutnya, tes katalase adalah salah satu cara
membedakan Streptococcus atau Staphylococcus. Streptococcus akan menyebabkan tes
katalase negatif sedangkan Staphylococcus sebaliknya. Tes lainnya adalah pertumbuhan pada
media agar garam manitol. Streptococcus tidak tumbuh pada media agar garam manitol
sedangkan Staphylococcus sebaliknya.

Pada media agar darah, koloni Streptococcus beta-hemolyticus grup A menyebabkan


hemolisis pada sel darah merah sehingga tampak daerah beta hemolisis yang mengelilingi
koloni Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Selanjutnya adalah tes antibiotik basitrasin.
Streptococcus beta-hemolyticus grup A sensitif terhadap basitrasin sehingga pada cakram
antibiotik tidak ditemukan pertumbuhan kuman sedangkan grup lainnya tidak sensitif
terhadap basitrasin.

Pada penelitian ini, Streptococcus beta-hemolyticus grup A memiliki kepekaan terhadap


antibiotik penicillin G, eritromisin, vankomisin, klindamisin, kloramfenikol, azitromisin, dan
tetrasiklin sebesar 100%, 89%, 86%, 75%, 68%, 68% dan 32%. Uji kepekaan antibiotik
terhadap Streptococcus alpha-hemolyticus tidak dilakukan karena keterbatasan biaya
penelitian.

Penisilin hingga saat ini masih memiliki efektivitas yang baik terhadap Streptococcus beta-
hemolyticus grup A dan masih menjadi pilihan obat utama untuk infeksi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A.53,78-81 Pada keadaan alergi beta laktam, dapat diberikan antibiotik
golongan makrolid. Namun, saat ini terdapat kecenderungan resistensi Streptococcus beta-

Universitas Indonesia
45

hemolyticus grup A terhadap makrolid karena banyak dipakai untuk pengobatan infeksi
saluran napas akut.82 Penelitian di Malaysia menemukan sensitivitas 100% Streptococcus
beta-hemolyticus grup A terhadap antibiotik eritromisin, penisilin, klindamisin,
kloramfenikol dan vankomisin. Hal tersebut terjadi karena penggunaan antibiotik lebih
selektif dalam praktek sehari-hari.83

Mathur78 melakukan penelitian resistensi antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus


grup A pada anak usia 5-14 tahun baik terdapat faringitis maupun asimtomatik. Terdapat 7
antibiotik yang digunakan. Sebanyak 10%, 18%, 40%, 50%, 58%, 84% dan 96% dari
Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang resisten terhadap antibiotik eritromisin,
kloramfenikol, gentamisin, neomisin, tetrasiklin, kotrimoksazol dan polimiksin-B. Sedangkan
antibiotik penisilin G, amoksisilin, kloksasilin dan sefilin memiliki sensitivitas 100%. Hasil
yang serupa berasal dari penelitian Jain.79 Pada penelitian tersebut resistensi Streptococcus
beta-hemolyticus grup A terhadap kotrimoksazol, eritromisin,dan tetrasiklin adalah 12,2%,
10,2% dan 24,5%. Sayyahfar81 menyimpulkan resistensi terhadap eritromisin, azitromisin dan
klaritromisin adalah 33,9%, 57,6% dan 33,9%. Penggunaan antibiotik di India cenderung
bebas sehingga tingkat resistensi antibiotik cukup tinggi.79

Sejak awal era antibiotik ditemukan, penelitian yang ada tetap mendukung fakta
Streptococcus beta-hemolyticus grup A masih sensitif terhadap penisilin. Hal tersebut
diperkirakan karena beberapa teori. Teori pertama, Streptococcus beta-hemolyticus grup A
tidak memproduksi beta laktamase atau diduga bersifat toksik terhadap dirinya sehingga tidak
diproduksi. Teori kedua adalah tidak adanya ekspresi penicillin-binding protein dengan
afinitas rendah. Teori ketiga, proses transfer genetik yang menyebabkan bakteri menjadi
resisten terhadap penisilin tidak terjadi.84

5.7 Kelemahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada subyek dengan latar belakang homogen dan tidak mewakili
seluruh anak SD di Jakarta. Penelitian juga tidak dikerjakan secara multisenter sehingga tidak
semua faktor prediktor yang diteliti terbukti bermakna secara statistik.

Universitas Indonesia
46

BAB 6
RANGKUMAN HASIL, SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Rangkuman Hasil


Sebelum menyusun simpulan, terlebih dahulu disajikan rangkuman hasil penelitian, dalam
hal ini hasil pengujian terhadap hipotesis penelitian.

6.1.1 Pengaruh pembesaran tonsil terhadap kejadian karier Streptococcus beta hemolyticus
grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring, hipotesis 1. Pada
penelitian ini, ukuran tonsil pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah normal pada 7 subyek (8%) dan membesar pada 21 subyek (18,6%),
sedangkan ukuran tonsil pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A di faring adalah normal pada 81 subyek (92%) dan membesar pada 92 subyek
(81,4%) dengan nilai p=0,031. Dengan demikian hipotesis 1 terbukti kesahihannya.
6.1.2 Pengaruh pembesaran kelenjar getah bening servikal terhadap kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar
getah bening servikal dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
di faring, hipotesis 2. Pada penelitian ini, ukuran kelenjar getah bening pada
kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah normal pada 28
subyek (14%) dan tidak ditemukan pembesaran tonsil, sedangkan ukuran kelenjar
getah bening pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring adalah normal pada 172 subyek (86%) dan membesar pada 1 subyek dengan
nilai p=1. Dengan demikian hipotesis 2 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.3 Pengaruh status ekonomi rendah karier terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status ekonomi rendah
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring, hipotesis 3.
Pada penelitian ini, golongan ekonomi pada kelompok karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah rendah pada 16 subyek (12,3%) dan menengah-tinggi pada
12 subyek (16,9%), sedangkan golongan ekonomi pada kelompok tanpa karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah rendah pada 114 subyek

Universitas Indonesia
47

(87%) dan menengah-tinggi pada 59 subyek (83.1%) dengan nilai p=0,369. Dengan
demikian hipotesis 3 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.4 Pengaruh status gizi buruk dan gizi kurang terhadap kejadian karier karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi
kurang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring,
hipotesis 4. Pada penelitian ini, status gizi pada kelompok karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah buruk-kurang pada 6 subyek (11,1%), obesitas-overweight
pada 6 subyek (10%), dan baik pada 16 subyek (18,4%) sedangkan status gizi pada
kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah buruk-
kurang pada 48 subyek (88,9%), obesitas-overweight pada 54 subjek (90%), dan baik
pada 71 subjek (81,6%) dengan nilai p=0,258. Dengan demikian hipotesis 4 tidak
terbukti kesahihannya.
6.1.5 Pengaruh jumlah saudara kandung ³3 orang terhadap kejadian karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung
³3 orang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Pada penelitian ini, jumlah saudara kandung pada kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A adalah ³3 orang pada 5 subyek (15,6%) dan <3 orang pada
23 subyek (13,6%), sedangkan jumlah saudara kandung pada kelompok tanpa karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah ³3 orang pada 27 subyek
(84,4%) dan <3 orang pada 146 subyek (86,4%) dengan nilai p=0,782. Dengan
demikian hipotesis 5 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.6 Pengaruh jenis kelamin perempuan terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, jenis kelamin pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah perempuan pada 14 subyek (12,7%) dan lelaki pada 14 subyek
(15,4%), sedangkan jenis kelamin pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring adalah perempuan pada 96 subyek (87,3%) dan lelaki
pada 77 subyek (84,6%) dengan nilai p=0,588. Dengan demikian hipotesis 6 tidak
terbukti kesahihannya.

Universitas Indonesia
48

6.1.7 Pengaruh jumlah orang dalam 1 rumah >5 orang terhadap kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan anatara jumlah orang dalam 1
rumah >5 orang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring. Pada penelitian ini, jumlah orang dalam 1 rumah pada kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah >5 orang pada 13 subyek (19,1%) dan
£5 orang pada 15 subyek (11,3%), sedangkan jumlah orang dalam 1 rumah pada
kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah >5
orang pada 55 subyek (80,9%) dan £5 orang pada 118 subyek (88,7%) dengan nilai
p=0,129. Dengan demikian hipotesis 7 tidak terbukti kesahihannya
6.1.8 Pengaruh kondisi rumah yang tidak ideal terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak
ideal dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, kondisi rumah pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah tidak ideal (<9 m2/jiwa) pada 24 subyek (14,7%) dan ideal (³9
m2/jiwa) pada 4 subyek (10,5%), sedangkan kondisi rumah pada kelompok tanpa
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah tidak ideal (<9
m2/jiwa) pada 139 subyek (85,3%) dan ideal (³9 m2/jiwa) pada 34 subyek (89,5%)
dengan nilai p=0,501. Dengan demikian hipotesis 8 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.9 Pengaruh pendidikan ibu yang rendah terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status pendidikan ibu yang
rendah dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, pendidikan ibu pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah dasar/rendah pada 7 subyek (14%), menengah pada 19 subyek (14%),
dan tinggi pada 2 subyek (13,3%) sedangkan pendidikan ibu pada kelompok tanpa
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah dasar/rendah pada 43
subyek (86%), menengah pada 117 subyek (86%), dan tinggi pada 13 subyek (86,7%)
dengan nilai p=0,947. Dengan demikian hipotesis 9 tidak terbukti kesahihannya.

Universitas Indonesia
49

6.2 Simpulan
1. Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sebesar 13,6%.
2. Proporsi karditis subklinis sebesar 0,5%.
3. Terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
4. Tidak terbukti terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar getah bening servikal
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
5. Tidak terbukti terdapat hubungan antara status ekonomi rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
6. Tidak terbukti terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi kurang dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
7. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung ³3 orang dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
8. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
9. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jumlah orang dalam 1 rumah >5 dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
10. Tidak terbukti terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak ideal dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
11. Tidak terbukti terdapat hubungan antara pendidikan ibu yang rendah dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
12. Pola sensitivitas antibiotik penisilin, eritromisin, azitromisin, vankomisin, kloramfenikol,
klindamisin, dan tetrasiklin adalah 100%, 89%, 68%, 86%, 68%, 75% dan 32%.

6.3 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian multisenter untuk memperoleh gambaran prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di Indonesia, prevalens karditis subklinis dan
mendapatkan faktor prediktor yang bermakna menyebabkan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
2. Surveilans karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada anak sekolah dasar dapat
menjadi program sekolah misal melalui Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan program
survelains Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta maupun Kementerian Kesehatan
khususnya untuk anak sekolah dasar berusia 6-12 tahun dengan pembesaran tonsil.

Universitas Indonesia
50

Daftar Pustaka

1. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of group A
streptococcal diseases. Lancet Infect Dis. 2005;5:685-94.
2. Shaikh N, Leonard E, Martin JM. Prevalence of streptococcal pharyngitis and
streptococcal carriage in children: a meta-analysis. Pediatrics. 2010;126:e557.
3. Carapetis JR, Currie BJ, Mathews JD. Cumulative incidence or rheumatic fever in an
endemic region: a guide to the susceptibility of the population? Epidemiol Infect.
2000;124:239-44.
4. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011;3:67-84.
5. Okello E, Longenecker CT, Beaton A, Kamya MR, Lwabi P. Rheumatic heart disease
in Uganda: predictor of morbidity and mortality one year after presentation. BMC
Cardiovasc Disord. 2017;17:20-30.
6. Madiyono B. Epidemiologi penyakit jantung reumatik di Indonesia. J Kardiol Indones.
1995;200:25-33.
7. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a
WHO expert consultation, Geneva. WHO, 29 Oct to 1 Nov, 2001. Diakses tanggal 1
Januari 2018. Tersedia di: https:www.who.int/cardiovascular_diseases/resources.
8. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, Sable CA, Shulman ST, Carapetis J, et al. on
behalf of the American Heart Association Committee on Rheumatic Fever,
Endocarditis, and Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the
Young. Revision of the Jones criteria for the diagnosis of acute rheumatic fever in the
era of Doppler echocardiography: a scientific statement from the American Heart
Association. Circulation. 2015;131:1806-18.
9. Bank I, Vliegen HW, Bruschke AVG. The 200th anniversary of the stethoscope: can
this low-tech device survive in the high-tech 21st century. Eur Heart J. 2016;37:3536-
43.
10. King N, Al-Meshhadani MH, Daham ANA. Cardiac auscultation versus two-
dimensional transthoracic echocardiography for detection of valve disease in Erbil
city. J Heart Cardiol. 2017;3:7-10.
11. Godown J, Lu JC, Beaton A, Mirembe G, Sanya R, Aliku T, et al. Handhled
echocardiography versus auscultation for detection of rheumatic heart disease.
Pediatrics. 2015;135:e939-44.

Universitas Indonesia
51

12. Haney I, Ipp M, Feldman W, McCrindle BW. Accuracy of clinical assessment of heart
murmurs by office based (general practice) paediatricians. Arch Dis Child.
1999;81:409-12.
13. Reddy A, Jatana SK, Nair MNG. Clinical evaluation versus echocardiography in the
assessment of rheumatic heart disease. MJAFI. 2004;60:255-8.
14. Tutar HE, Ozcelik N, Atalay S, Derelli E, Ekici F, Mamolu A. Clinical and
echocardiographic correlations in rheumatic fever: evaluation of the diagnostic role
auscultation. Arch Turk Soc Cardiol. 2005;33:460-6.
15. Miranda LP, Camargos PAM, Torres RM, Meira ZMA. Prevalence or rheumatic heart
disease in a public school of Belo Horizonte. Arq Bras Cardiol. 2014;103:89-97.
16. Oliver J, Mlliya WE, Pierse N, Moreland NJ, Williamson DA, Baker MG. Group A
streptococcus pharyngitis and pharyngeal carriage: a meta-analysis. PLoS Negl Trop
Dis. 2018;12:1-17.
17. Nayiga I, Okello E, Lwabi P, Ndeezi G. Prevalence of group a streptococcus
pharyngeal carriage and clinical manifestation in school children aged 5-15 yrs in
Wakiso District, Uganda. BMC Infect Dis. 2017;17:248-55.
18. Anja A, Beyene G, Mariam ZS, Daka D. Asymptomatic pharyngeal carriage rate of
streptococcus pyogenes, its associated factors and antibiotic susceptibility pattern
among school children in Hawassa town, southern Ethiopia. BMC Res Notes.
219;12:564-70.
19. Dumre SP, Sapkota K, Adhikari N, Acharya D, Karki M, Bista S, et al. Asymptomatic
throat carriage rate and antimicrobial resistance pattern of streptococcus pyogenes in
Nepalese school children. Kathmandu Univ Med J. 2009;7:392-6.
20. Prajapati A, Rai SK, Mukhiya RK, Karki AB. Study on carrier rate of streptococcus
pyogenes among the school children and antimicrobial susceptibility patter of isolates.
Nepal Med Coll J. 2012;14:169-71.
21. Deutscher M, Schillie S, Gould C, Baumbach J, Muller M, Avery C, et al.
Investigation of a group a streptococcal outbreak among residents of a long-term acute
care hospital. Clin Infect Dis. 2011;52:988-94.
22. M DeMuri GP, Wald ER. The group A streptococcal carrier state. J Pediatric Infect
Dis Soc. 2014;3:336-42.
23. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, Gerber MA, Kaplan EL, Lee G, et al. Clinical
practice guideline for the diagnosis and management of group A streptococcal

Universitas Indonesia
52

pharyngitis: 2012 update by the infectious disease society of America. Ckin Infect Dis.
2012;55:1279-82.
24. Zacharioudaki ME, Galanakis E. Management of children with persistent group A
streptococcal carriage. Expert Rev Anti Infect Ther. 2017;15:787-95.
25. Taghavi N, Sarmadian H. Carriers of group A beta-hemolytic streptococcus among an
adolescent population in Tehran. Arch Iranian Med. 2002;5:146-50.
26. Aini F, Djamal A, Usman E. Identifikasi karier bakteri Streptococcus β hemolyticus
group A pada murid SD Negeri 13 Padang berdasarkan perbedaan umur dan jenis
kelamin. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5:145-8.
27. Budi SAS, Widura, Waty W. Prevalens Streptococcus beta-hemolyticus group A pada
apus tenggorok mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Kristen Maranatha
tahun 2014 [tesis]. Bandung: Universitas Kristen Maranatha, 2014.
28. Facklam R. What happened to the strecptococci: overview of taxonomic and
nomenclature changes. Clin Microbiol Rev. 2002;15:613-30.
29. Pichichero ME. Group A Beta-hemolytic streptococcal infections. Pediatr Rev.
1998;19:291-302.
30. Khan ZZ, Salvaggio MR. Group A streptococcal infections. Diakses tanggal 1 Mei
2020. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/228936.
31. Cunningham MW. Pathogenesis of group a streptococcal infections. Clin Microbiol
Rev. 2000;13:470-51134.
32. Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB, Gewitz M, Rowley AH, Shulman ST, et al.
Prevention of rheumatic fever and diagnosis and treatment of acute streptococcal
pharyngitis. A scientific statement from the Amerizan Heart Association rheumatic
fever, endocarditis, and Kawasaki disease in the young, the interdisclipinary council
on functional genomics and translational biology, and interdisclipinary council on
quality of care and outcomes research. Circulation. 2009;119:1541-51.
33. White A. WHO Resolution on rheumatic heart disease. Eur Heart J. 2018;39:4233.
34. Guilherme L, Kohler KF, Postol E, Kalil JG. Genes, autoimmunity and pathogenesis
of rheumatic heart disease. Ann Pediatr Cardiol. 2011;4:13-21.
35. Oliver JR, Pierse N, Stefanogiannis N, Jackson C, Baker MG. Acute rheumatic fever
and exposure to poor housing conditions in new Zealand: a descriptive study. J
Paediatr Child Health. 2017;1:1-7.

Universitas Indonesia
53

36. Gurney JK, Stanley J, Baker MG, Wilson NJ, Sarfati D. Estimating the risk of acute
rheumatic fever in New Zealand by age, ethnicity and deprivation. Epidemiol infect.
2016;144:3058-67.
37. Riaz BK, Selim S, Karim MN, Chowdury KN, Chowdury SH, Rahman MR. Risk
factors of rheumatic heart disease in Bangladesh: a case-control study. J Health Popul
Nutr. 2013;31:70-7.
38. Carapetis JR, Beaton A, Cunnungham MW, Guilherme L, Karthikeyan G, Mayosi
BM, et al. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease. Nat Rev Dis Primers.
2016;2:1-57.
39. Karthikeyan G, Guilherme L. Acute rheumatic fever. Lancet. 2018;392:161-74.
40. Tubridy-Clark M, Carapetis JR. Subclinical carditis in rheumatic fever: a systematic
review. Int J Cardiol. 2007;119:54-8.
41. Condemi F, Rossi G, Lupiz M, Pagano A, Zamatto F, Marini S, et al. Screening of
asymptomatic rheumatic heart disease among refugee/migrant children and youths in
Italy. Pediatric Rheumatology. 2019;17:12-5.
42. Iskandar B, Madiyono B, Sastroasmoro S, Putra ST, Djer MM, Karuniawati A.
Comparison of minimal inhibitory and bactericidal capacity of oral penicillin V with
benzatine penicillin G to Streptococcal beta-hemolyticus group A in children with
rheumatic heart disease. Paediatr Indones. 2008;48:152-5.
43. Madiyono B, Djer MM, Sastroasmoro S, Subandrio A, Erfan E. Inhibiting ability of
benzathine penicillin G towards group A Streptococcus beta-hemolyticus in 21 and 28
days after a single intramuscular injection. Paediatr Indones. 2003;43:136-9.
44. Rahmawaty NK, Iskandar B, Husain A, Daud D. Faktor risiko serangan berulang
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Sari Pediatri. 2012;14:179-84.
45. Taherdoost H. Determining sample size; how to calculate survey sample size. Int J
Economics Manag Sys. 2017;2:237-9.
46. WHO. Specimen collection and transport for microbiological investigation. Egypt:
WHO Regional Publication; 1995.
47. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 114 tahun 2018. Diakses tanggal 14
Agustus 2019. Tersedia di https://jdih.jakarta.go.id
48. Kushwaha N, Kamat M, Banjade B, Jitendra S. Prevalence of group A streptococcal
infection among school children of urban community-a cross sectional study. IJIM.
2014;1:249-56.

Universitas Indonesia
54

49. Suryo MS. Analisis kebutuhan luas minimal pada rumah sederhana tapak di Indonesia.
Jurnal Permukiman. 2017;12:116-23.
50. Ferrer R. Lymphadenopathy: differential diagnosis and evaluation. Am Fam Physician.
1998;58:1313-20.
51. Abdissa A, Asrat D, Kronvall G, Shitu B, Achiko D, Zeidan M, et al. Throat carriage
rate and antimicrobial susceptibility pattern of group A streptococci (GAS) in healthy
Ethiopian school children. Ethiop Med J. 2011;49:125-30.
52. Martin JM, Green M, Barbadora KA, Wald ER. Group A streptococci among school-
aged children: clinical characteristics and the carrier state. Pediatrics. 2004;114:1212-9.
53. Singh AK, Kumar A, Agarwal L, Agarwal A, Sengupta C. Prevalence of group A
streptococcal pharyngitis among school children of Barabanki district, Uttar Pradesh,
India. India J Acad Clin Microbiol. 2015;17:110-4.
54. Vijaya D, Satishi JV, Janakiram K. The prevalence of group A streptococci carriers
among asymptomatic school children. J Clin Diagn Res. 2013;7:446-8.
55. Servinc I, Enoz M. The prevalence of group A beta-hemolytic streptococcus in healthy
tuskish children in day-care centers in Ankara. Chang Gung Med J. 2008;31:554-8.
56. Hoffmann S. The throat carrier rate o group A and other beta haemolytic streptococci
among patients in general practice. Acta Pathol Microbiol Immunol Scand B.
1985;93:347-51.
57. Efstratiou A, Lamagni T. Epidemiology of streptococcus pyogenes. Dalam: Ferreti JJ,
Stevens DL, Fischetti VA, penyunting. Streptococcus Pyogenes: Basic Biology to
Clinical Manifestations. Oklahoma: University of Oklahoma Health Science
Center;2016. h. 1-27.
58. Blyth CC, Robertson PW. Anti-streptococcal antibodies in the diagnosis of acute and
post-streptococcal disease: streptokinase versus streptolysin O and deoxyribonuclease
B. Pathology. 2006;38:152-6.
59. Sen SE, Ramanan AV. How to use antistreptolysin O titre. Arch Dis Child Educ Pract
Ed. 2014;0:1-8.
60. Johnson DR, Kurlan R, Leckman J, Kaplan EL. The human immune response to
streptococcal extracellular antigens: clinical, diagnostic, and potential pathogenetic
implications. Clin infect Dis. 2010;50:481-90.
61. Durmaz R, Durmaz B, Bayraktar M, Ozerol IH, Kalcioglu MT, Aktas E, et al.
Prevalence of group A streptococcal carriers in asymptomatic children and clonal
relatedness among isolates in Malatya Turkey. J Clin Microbiol. 2003;41:5285-7.

Universitas Indonesia
55

62. Al Gabban NI, Al Ani WA, Al Kinany BJ. Beta-hemolytic streptococcal carrier among
school age children. Iraqi J Comm Med. 2008;21:91-6.
63. Mirabel M, Fauchier T, Bacquelin R, Tafflet M, Germain A, Robillard C, et al.
Echocardiography screening to detect rheumatic heart disease a cohort study of school
children in French Pacific Islands. Int J Cardiol. 2015;188:89-95.
64. Sahin M, Yildirim I, Ozkutlu S, Alehan D, Ozer S, Karagoz T. Clinical features and
mid- and long-term outcomes of pediatric patients with subclinical carditis. Turk J
Pediatr. 2012;54:486-92.
65. Figueroa FE, Fernandez MS, Valdes P, Wilson C, Lanas F, Carrion F, et al.
Prospective comparison of clinical and echocardiographic diagnosis of rheumatic
carditis: long term follow up of patients with subclinical disease. Heart. 2001;85:407-
10.
66. Pekpak E, Atalay S, Karadeniz C, Demir F, Tutar E, Ucar T. Rheumatic silent carditis:
echocardiographic diagnosis and prognosis of long-term follow up. Pediatr Int.
2013;55:685-9.
67. Pastore S, De Cunto A, Benettoni A, Berton E, Taddio A, Lepore L. The resurgence of
rheumatic fever in a developed country area: the role of echocardiography.
Rheumatology. 2011;50:396-400.
68. Agarwal PK, Misra M, Sarkari NB, Gupta AK, Agarwal P. Usefulness of
echocardiography in detection of subclinical carditis in acute rheumatic polyarthritis
and rheumatic chorea. J Assoc Physicians India. 1998;46:937-8.
69. Bianceniello T. Innocent murmurs. Circulation. 2005;111:e20-e22.
70. Frank JE, Jacobe KM. Evaluation and management of heart murmurs in children. Am
Fam Physician. 2001;84:793-800.
71. Lefort B, Cheyssac E, Soule N, Poinsot J, Vaillant MC, Nassimi A, et al. Auscultation
while standing: a basic and reliable method to rule out a pathologic heart murmur in
children. Ann Fam Med. 2017;15:523-8.
72. Uner A, Dogan M, Bay A, Cakin C, Kaya A, Sal E. The ratio of congenital heart
disease and innocent murmur in children in Van City, the Eastern Turkey. Anadolu
Kardiyol Derg. 2009;9:29-34.
73. Ali SH, Mohammed MA. Evaluation of heart murmurs in children: one year of
observational study. Gaz Egypt Paediatr Assoc. 2015;63:6-11.
74. Fedakar A, Saritas T. Approach to the heart murmurs in pediatric patients. Am J Res
Commun. 2015;3:1-9.

Universitas Indonesia
56

75. Al Halak R, Alsoufi M. Epidemiology of and factors associated with innocent heart
murmurs in children between 2 months and 18 years: a cross sectional study (2017-
2018), specialist children hospital, dubai. EC Paediatrics. 2020;9:1-10.
76. Sackey AH. Prevalence and diagnostic accuracy of heart disease in children with
asymptomatic murmurs. Cardiol Young. 2016;26:446-50.
77. Discigil G, Aydogdu A, Gemalmaz A, Gurel FS, Basak O. Cardiac auscultatory skills
of academic family physicians: strength of association with an academic pediatric
cardiologist. Int J Family Med. 2010;10:37-9.
78. Mathur ML, Solanki A, Gaur J, Sharma R, Sharma M. Drug resistance in group A
streptococcal infections of the pharynx in school children of desert part of Rajasthan.
Int J Microbiol Immunol Res. 2014;3:29-33.
79. Jain A, Shukla VK, Tiwari V, Kumar R. Antibiotic resistance pattern of group-a-beta-
hemolytic streptococci isolated from North Indian children. Indian J Med Sci.
2008;10:392-6.
80. Bhardwaj N, Mathur P, Behera B, Mathur K, Kapil A, Misra MC. Antimicrobial
resistance in beta-haemolytic streptococci in India: a four-year study. Indian J Med
Res. 2018;147:81-7.
81. Sayyahfar S, Fahimzad A, Naddaf A, Tavassoli S. Antibiotic susceptibility evaluation
of group a streptococcus isolated from children with pharytingitis: a study from Iran.
Infect Chemother. 2015;47:225-30.
82. Brahmadathan KN, Anitha P, Gladstone P. Increasing erythromycin resistance among
group A streptococci cauding tonsillitis in tertiary care hospital in Southern India. Clin
Microbiol Infect. 2005;11:335-7.
83. Kalgo HM, Jasni AS, Hadi SRA, Umar NH, Hamzah SNA, Hamat RA. Extremely low
prevalence of erythromycin-resistant streptococcus pyogenes isolates and their
molecular characteristics by M protein gene and multilocus sequence typing methods.
Jundishapur J Microbiol. 2018;11:e12779-86.
84. Horn DL, Zabriskie JB, Austrian R, Cleary PP, Feretti JJ, Fischetti VA, et al. Why
have group a streptocci remained susceptible to penicillin? Report on a symposium.
Clin Infect Dis. 1998;26:1341-5.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai