ANISA RAHMADHANY
1806264473
ABSTRAK
Faktor Prediktor Terjadinya Karier Streptococcus Beta-Hemolitycus Grup A
pada Anak Sekolah: Studi Kasus di SDN 05 manggarai Jakarta Selatan
Latar Belakang: Penelitian mengenai proporsi dan faktor prediktor karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring belum banyak di Indonesia. Karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A tersebut dapat menjadi sumber penularan terutama untuk lingkungan
terdekat. Pada individu yang rentan, pasca-faringitis Streptococcus beta-hemolyticus grup A
dapat terjadi demam reumatik akut dengan komplikasi jangka panjang yaitu penyakit jantung
reumatik.
Tujuan: Mengetahui faktor prediktor dan proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A, mengetahui proporsi karditis subklinis dan mengetahui pola sensitivitas antibiotik terhadap
Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik potong lintang di SDN 05 Manggarai Jakarta
Selatan terhadap 201 subyek anak usia 6-12 tahun pada November-Desember 2019. Seluruh
subyek tidak memiliki gejala infeksi saluran napas atas, tidak ada riwayat penggunaan
antibiotik dalam dua minggu terakhir dan tidak terdapat penyakit jantung bawaan/penyakit
jantung reumatik. Subyek menjalani pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium (darah
perifer lengkap, LED, CRP, ASTO, kultur usap tenggorok) dan ekokardiografi. Analisis
bivariat faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang
bermakna dimasukan ke dalam analisis regresi logistik multipel. Hasil analisis multivariat
dilaporkan sebagai odds ratio (OR).
Hasil: Dari 201 subyek, 54,7% subyek berjenis kelamin perempuan dan median usia adalah
9,6 tahun. Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan proporsi karditis
subklinis adalah 13,6% dan 0,5%. Faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah pembesaran tonsil (p=0,031). Pembesaran kelenjar getah bening
servikal, status ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung dalam 1 rumah, jenis kelamin,
jumlah orang dalam 1 rumah, kondisi rumah, pendidikan ibu tidak terbukti menjadi faktor
prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Pola sensitivitas antibiotik
penisilin, eritromisin, azitromisin, vankomisin, kloramfenikol, klindamisin, dan tetrasiklin
terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A berturut-turut adalah 100%, 89%, 68%, 86%,
68%, 75% dan 32%.
Simpulan: Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan proporsi karditis
subklinis adalah 13,6% dan 0,5%. Faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A yang bermakna adalah pembesaran tonsil. Penisilin memiliki sensitivitas
100% terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Universitas Indonesia
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR SINGKATAN vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Hipotesis penelitian 4
1.4 Tujuan penelitian 5
1.5 Manfaat penelitian 5
1.5.1 Manfaat dalam bidang akademis 5
1.5.2 Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat 5
1.5.3 Manfaat dalam bidang pengembangan penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Streptococcus beta-hemolyticus grup A 7
2.1.1 Morfologi 7
2.1.2 Manifestasi infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 8
2.1.3 Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 8
2.1.4 Patogenesis karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 10
2.1.5 Tata laksana karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring 10
2.2 Demam reumatik akut 11
2.2.1 Epidemiologi 11
2.2.2 Etiologi dan faktor risiko 12
2.2.3 Patofisiologi 13
2.2.4 Kriteria Jones revisi American Heart Association 2015 13
2.3 Gejala klinis demam rematik akut berdasarkan kriteria Jones revisi AHA 2015 16
2.3.1 Karditis dan karditis subklinis 16
2.3.2 Artritis 17
2.3.3 Korea 17
2.3.4 Manifestasi kulit 17
2.3.5 Kriteria minor 18
2.4 Bukti infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 18
2.4.1 Kultur usap tenggorok 18
2.4.2 Antibodi Streptococcus beta-hemolyticus grup A 18
2.5 Kriteria diagnosis berdasarkan kriteria Jones revisi AHA 2015 19
2.6 Tata laksana 19
2.6.1 Pencegahan primer 19
2.6.2 Eradikasi kuman akut dan pencegahan sekunder 20
2.7 Kerangka teori 21
2.8 Kerangka konsep 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 23
3.1 Desain penelitian 23
3.2 Tempat dan waktu penelitian 23
3.3 Populasi dan sampel penelitian 23
3.3.1 Populasi target 23
Universitas Indonesia
iv
Universitas Indonesia
v
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
vi
DAFTAR SINGKATAN
Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
Data di dunia dari suatu systematic review, setiap tahun terdapat 471.000 kasus baru demam
reumatik akut dan 336.000 kasus tersebut berada pada rentang usia 5-15 tahun.1 Data
penyakit jantung reumatik di dunia sebesar 15 juta setiap tahun dengan jumlah kasus baru
282.000 dan mortalitas 233.000 kasus per tahun.1,4 Penelitian di Uganda mendapatkan
mortalitas 1 tahun penyakit jantung reumatik mencapai 17,8%.5 Prevalens penyakit jantung
reumatik di Indonesia pada anak usia 5-15 tahun adalah 0,3 hingga 0,8.6
Diagnosis demam reumatik akut menggunakan kriteria Jones Revisi WHO 2003 yang terdiri
dari serangkaian kriteria mayor dan minor serta melibatkan kriteria klinis dan laboratorium.7
Pada tahun 2015, American Heart Association (AHA) mengeluarkan kriteria panduan
diagnosis demam reumatik akut yang terbaru. Perbedaan dari kriteria Jones WHO 2003
adalah pembagian populasi risiko tinggi dan populasi risiko rendah serta penambahan pada
kriteria mayor terdapat karditis subklinis, poliatralgia, atau monoatralgia sesuai kategori
risiko populasi.8
Karditis merupakan salah satu kriteria mayor yang paling sering ditemui pada demam
reumatik akut. Secara klinis, karditis ditegakkan jika terdengar bising jantung saat
pemeriksaan fisis. Kemampuan mendengar bising jantung dipengaruhi oleh jam terbang dan
pengalaman klinisi yang memeriksa.9 Perkembangan alat ekokardiografi memungkinkan
klinisi untuk mendeteksi karditis subklinis.10 Jika dibandingkan ekokardiografi, auskultasi
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dalam mendeteksi karditis atau
kelainan katup lainnya.11-14 Miranda15 melakukan penelitian di sekolah dengan menggunakan
alat ekokardiografi dan menyimpulkan bahwa prevalens penyakit jantung reumatik
meningkat lima kali jika dibandingkan dengan pemeriksaan klinis.
Universitas Indonesia
2
Kolonisasi Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring bisa terjadi tanpa disertai tanda
atau gejala infeksi yang disebut sebagai karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Data
dari negara berkembang (Uganda, Etiopia, Nepal dan Katmandu) dan penelitian meta
analisis, prevalens karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring mencapai 6-
16%.16-20 Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A tersebut dapat menjadi sumber
penularan terutama untuk lingkungan terdekat.21,22
Karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring lebih sering terjadi pada anak usia 5-
15 tahun. Suatu tinjauan pustaka menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring akan meningkat jika memiliki saudara
dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.22 Penelitian oleh Nayiga17
menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak ideal merupakan faktor prediktor terjadinya
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sedangkan jenis kelamin, kepadatan
penghuni rumah, status gizi dan jenis pekerjaan orangtua tidak berhubungan dengan
terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Tagavi25 menyimpulkan
bahwa ukuran tonsil, pendidikan orangtua dan ukuran kelenjar getah bening bukan
merupakan faktor risiko karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Anja18 dalam
penelitiannya melaporkan bahwa status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor
yang berperan untuk terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Universitas Indonesia
3
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dari penelitian Aini dan Budi adalah satu
persen dan nol persen. Peneliti belum menemukan penelitian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di Jakarta ataupun penelitian tentang karditis subklinis yang
menggunakan skrining ekokardiografi di Indonesia.
Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 2014-2018 terdapat 27 kasus
demam reumatik akut dan 86 penyakit jantung reumatik. Kelurahan Manggarai Selatan,
Jakarta Selatan, termasuk 10 lingkungan padat penduduk di Jakarta. Sebagian besar
penduduk berasal dari golongan ekonomi rendah dan bertempat tinggal di lingkungan padat
serta kumuh sehingga berpotensi sebagai kantong infeksi dan penyebaran infeksi
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Peneliti mengamati beberapa pasien yang rutin
kontrol ke poli kardiologi anak RSCM bertempat tinggal serta bersekolah di kelurahan
Manggarai Selatan yaitu SDN 05 Manggarai Selatan. Selain alasan yang sudah disebutkan
sebelumnya, peneliti memilih populasi terjangkau di SDN 05 Manggarai karena alasan
mampu laksana berdasarkan faktor jarak/waktu tempuh yang dekat dari RSCM.
Universitas Indonesia
4
9. Apakah terdapat hubungan antara jumlah orang dalam 1 rumah >5 dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
10. Apakah terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak ideal dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
11. Apakah terdapat hubungan antara pendidikan ibu yang rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring?
12. Bagaimanakah pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-hemolyticus grup
A?
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada Gambar 2 terlihat dinding sel Streptococcus beta-hemolyticus grup A dikelilingi dari
dalam ke luar oleh lapisan mukopeptida, karbohidrat, protein M dan kapsul asam hialuronik.
Sifat antigenik dan virulensi Streptococcus beta-hemolyticus grup A disebabkan oleh protein
Universitas Indonesia
8
M pada dinding kuman. Protein M dan kapsul asam hialuronik berperan sebagai antifagosit
terdapat sistem imun tubuh manusia.31
Universitas Indonesia
9
Prevalens karier Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring bervariasi antara 6-16%
dari beberapa penelitian.16-20 Pada karier Streptococcus beta hemolyticus grup A, individu
tersebut tidak memiliki tanda atau gejala klinis faringitis namun ditemukan kuman
Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring.
Penelitian di sebuah sekolah dasar di Padang menemukan dua dari 104 anak yang dilakukan
kultur usap tenggorok terdapat Streptococcus beta hemolyticus grup A di faring.26 Sedangkan
penelitian di Bandung dengan subyek 9 mahasiswa usia 18-21 tahun, tidak menemukan
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada kultur usap tenggorok.27 Hal tersebut
mendukung data bahwa bakteri ini lebih sering terdapat pada anak usia <15 tahun.
Universitas Indonesia
10
menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak ideal merupakan faktor prediktor terjadinya
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sedangkan jenis kelamin, kepadatan
penghuni rumah, status gizi dan jenis pekerjaan orangtua tidak berhubungan dengan
terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Tagavi25 menyimpulkan
bahwa ukuran tonsil, pendidikan orangtua dan ukuran kelenjar getah bening bukan
merupakan faktor risiko karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Anja18 dalam
penelitiannya melaporkan bahwa status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor
yang berperan untuk terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Universitas Indonesia
11
Universitas Indonesia
12
mengalami inflamasi seperti jantung, sendi, susunan saraf pusat dan kulit. Hingga saat ini,
demam reumatik akut masih menjadi masalah kesehatan terutama di negara berkembang.32
Secara global, kurang lebih 30 juta orang menderita demam reumatik akut. Mortalitas
mencapai 305.000 jiwa dan disabilitas mencapai 11,5 juta pada tahun 2015. Demam reumatik
akut lebih banyak terjadi di negara berkembang dan pada kelompok marginalis di negara
maju. Delapan puluh empat persen kejadian demam reumatik akut berada di negara Afrika,
Asia-Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat dengan populasi tertinggi berada di
India sebesar 27%.1
World Health Organization (WHO) dalam pertemuan World Health Assembly tahun 2018
mengeluarkan resolusi bahwa demam reumatik akut merupakan prioritas global. Semua pihak
diharapkan berperan aktif untuk menurunkan kejadian demam reumatik akut. Upaya tersebut
meliputi meningkatkan kesadaran global tentang demam reumatik akut, estimasi prevalens
demam reumatik akut, menurunkan kemiskinan, meningkatkan status sosio-ekonomi,
memperbaiki akses ke pelayanan kesehatan, pengadaan fasilitas laboratorium yang
terjangkau dan berkualitas, dan meningkatkan distribusi obat-obatan terutama benzatin
benzyl penisilin G.33
Universitas Indonesia
13
Status ekonomi dan kondisi lingkungan tempat tinggal merupakan faktor risiko terjadinya
demam reumatik akut baik di negara maju maupun di negara berkembang. Oliver35 meneliti
faktor risiko demografi 55 kasus demam reumatik akut. Mayoritas demam reumatik akut
memiliki karakterisitik tempat tinggal yang padat penghuni, tinggal di rumah kontrakan,
menggunakan tempat tidur bersama orang lain, lingkungan tempat tinggal lembab, dan
terdapat paparan asap rokok. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa selain demografi,
suku/etnis dan tingkat ekonomi merupakan faktor risiko terjadinya demam reumatik akut.36
Penelitian di negara berkembang yang dilakukan oleh Riaz37 menyimpulkan bahwa jenis
kelamin perempuan, daerah perkotaan, konstruksi tempat tinggal berupa batu bata, jumlah
saudara >2 orang, ibu bekerja, ibu buta huruf, tidak menggosok gigi sehabis makan
merupakan faktor risiko terjadi demam reumatik akut.
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya demam reumatik akut berkaitan dengan proses autoimun karena
terdapat kemiripan molekul protein M Streptococcus dengan protein miosin di jantung,
reseptor dopamin di sel ganglia basal, dan keratin di lapisan kulit sehingga terjadi reaktivitas
silang. Artritis bersifat sementara dan terjadi karena terbentuknya kompleks imun yang
bersirkulasi. Protein M Streptococcus akan difagosit dan dipresentasikan oleh antigen
presenting cell (APC) ke HLA dan selanjutnya akan menstimulasi sel T untuk melakukan
fagositosis Streptococcus dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Antibodi
terhadap protein M streptokokus menyebabkan inflamasi pada jantung, pelepasan dopamin
dari sel ganglia basal, serta eritema dan granuloma di lapisan kulit.34,38,39
Universitas Indonesia
14
Gejala klinis maupun laboratorium pada demam reumatik akut bersifat tidak khas sehingga
kriteria Jones selanjutnya melewati perubahan dan revisi untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas. Bukti adanya infeksi Streptococcus mulai dimasukkan sebagai kriteria minor
dalam kriteria Jones modifikasi American Heart Association (AHA) tahun 1956. Kriteria
Jones modifikasi AHA 1956 menambahkan artritis dan eritema marginatum sebagai kriteria
mayor dan atralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya,
pemanjangan interval PR serta bukti infeksi Streptococcus sebagai kriteria minor. Sedangkan
epistaksis, nyeri abdomen dan kelainan pulmoner dikeluarkan dari kriteria Jones.7 Sama
seperti kriteria Jones tahun 1944, penggunaan kriteria Jones modfikasi AHA tahun 1956
masih menyebabkan banyaknya overdiagnosis atau positif palsu.
Revisi berikutnya dilakukan pada tahun 1965/1984 oleh AHA. Bukti infeksi Streptococcus
merupakan kriteria esensial yang harus selalu ada dan bukan lagi merupakan kriteria minor.
Revisi kriteria Jones AHA 1965/1984 memiliki kelemahan karena bukti infeksi
Streptococcus bisa jadi sudah tidak terdeteksi pada kondisi penyakit jantung reumatik dan
korea sehingga dapat terjadi underdiagnosis atau negatif palsu. Kriteria Jones revisi
selanjutnya adalah WHO 1988 dan AHA 1992. Kedua revisi tersebut memasukan bukti
infeksi streptokokus sebagai pertimbangan spesial (special consideration) yaitu pada
reumatik korea dan penyakit jantung reumatik kronik (PJR) kronik tidak memerlukan bukti
infeksi Streptococcus.7
Pada tahun 2003, WHO mengeluarkan revisi kriteria Jones. Yang berbeda dari revisi
sebelumnya adalah penyakit jantung reumatik merupakan pertimbangan spesial (special
consideration) yang tidak memerlukan kriteria khusus untuk penegakkan diagnosis. Kriteria
Jones WHO 2003 membuat pengelompokan demam reumatik akut menjadi 6 kelompok
yaitu: 1) Demam reumatik episode pertama, 2) Demam reumatik serangan berulang pada
pasien tanpa penyakit jantung reumatik, 3) Demam reumatik serangan berulang pada pasien
dengan penyakit jantung reumatik, 4) Reumatik korea, 5) Insidious onset reumatik karditis, 6)
Penyakit jantung reumatik kronik. Dalam kriteria Jones WHO 2003, kriteria mayor meliputi
karditis, poliartritis, korea, eritema marginatum dan nodul subkutan. Sedangkan kriteria
minor meliputi demam, poli-atralgia, pemanjangan interval PR dan peningkatan penanda
inflamasi akut seperti LED dan leukosit. Bukti keterlibatan infeksi Streptokokus dalam 45
hari terakhir berupa peningkatan titer antibodi streptokokus (anti-streptolisin O/ASTO atau
antibodi lainnya), kultur usap tenggorok yang positif, rapid antigen test untuk Streptococcus
Universitas Indonesia
15
beta hemolyticus grup A, atau riwayat demam skarlet sebelumnya. Diagnosis kelompok 1 dan
2 ditegakkan berdasarkan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
ditambah bukti infeksi streptokokus. Diagnosis kelompok 3 ditegakkan berdasarkan 2 kriteria
minor ditambah bukti infeksi Streptococcus. Kelompok 4,5, dan 6 tidak memerlukan kriteria
lain ataupun bukti infeksi Streptococcus.7 Gambar 3 mendeskripsikan perubahan kriteria
Jones sejak tahun 1944 hingga tahun 2003.
Revisi kriteria Jones terbaru adalah revisi AHA tahun 2015. Pada revisi ini, AHA membuat 3
perubahan, yaitu: stratifikasi risiko berdasarkan endemisitas penyakit, manifestasi
keterlibatan sendi berbeda-beda untuk populasi yang berbeda dan memasukkan karditis
subklinis (yang ditegakkan bedasarkan ekokardiografi) sebagai kriteria mayor. Kriteria Jones
revisi tahun 2015, membagi pasien berdasarkan prevalens demam reumatik akut yaitu daerah
dengan risiko penyakit rendah jika prevalens demam reumatik akut <2 tiap 100.000
penduduk (usia 5-14 tahun) dan daerah dengan risiko penyakit moderat atau tinggi jika
prevalens demam reumatik akut >2 tiap 100.000 penduduk (usia 5-14 tahun).8
Sejak revisi AHA tahun 1992, banyak penelitian terpublikasi menunjukkan manfaat
ekokardiografi dalam mendiagnosis karditis dan beberapa negara sudah memasukan karditis
yang terdiagnosis dengan ekokardiografi (karditis subklinis) sebagai kriteria mayor.
Penelitian tersebut juga memasukkan morfologi kelainan katup yang termasuk dalam karditis.
Seiring dengan manfaat dari penggunaan ekokardiografi dan ketersediaan alat ekokardiografi
Universitas Indonesia
16
di era moderen saat ini maka kriteria Jones revisi AHA 2015 memasukkan karditis subklinis
ke dalam kriteria mayor.8
2.3 Gejala Klinis Demam Reumatik Akut Berdasarkan Kriteria Jones revisi AHA 2015
2.3.1 Karditis dan Karditis Subklinis
Karditis dalam demam reumatik akut meliputi inflamasi pada endokardium, miokardium,
atau perikardium. Namun, inflamasi pada katup (valvulitis) yang lebih dominan terjadi. Jika
ditemukan miokarditis atau perikarditis saja maka lebih sering disebabkan oleh penyebab
non-reumatik. Diagnosis karditis ditegakkan secara klinis jika ditemukan bising jantung
akibat regurgitasi katup mitral (bising pansistolik di apeks jantung dengan penjalaran ke
aksila) dan bising jantung akibat regurgitasi katup aorta (bising diastolik awal di sela iga ke 2
garis parasternalis kanan) ataupun secara ekokardiografi (karditis subklinis) jika secara klinis
bising tidak terdengar atau tidak terdeteksi oleh klinisi namun hasil pemeriksaan
ekokardiografi menunjukkan valvulitis mitral dan atau aorta.8
Ekokardiografi Doppler dilakukan pada semua kasus yang terbukti dan kasus yang diduga
menderita demam reumatik akut. Pada pasien yang terbukti ataupun diduga menderita
demam reumatik akut, ekokardiografi Doppler dilakukan secara serial jika saat diagnosis
awal belum ada bukti keterlibatan karditis dari ekokardiografi Doppler awal. Karditis
Universitas Indonesia
17
subklinis harus memenuhi kriteria kriteria dalam Tabel 3 dan 4. Jika temuan ekokardiografi
Doppler tidak sesuai dengan karditis pada pasien dengan bising jantung maka diagnosis
karditis reumatik tidak dapat ditegakkan.8
Tabel 4. Morfologi Valvulitis Reumatik dari Ekokardiografi8
Perubahan katup mitral pada karditis akut
Dilatasi anulus
Elongasi kordae tendinae
Ruptur korda tendinae sehingga terjadi flail katup dan regurgitasi katup mitral berat
Perdarahan/nodularitas di ujung katup
Perubahan katup aorta pada karditis akut maupun kronik
Penebalan iregular atau fokal katup
Gangguan koaptasi
Gerakan katup terbatas
Prolaps katup
2.3.2 Artritis
Inflamasi sendi pada demam reumatik mengenai sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki,
siku dan pergelangan tangan serta bersifat poliartritis migran. Artritis pada demam reumatik
bersifat responsif terhadap pemberian salisilat dan obat antiinflamasi non-steroid sehingga
informasi ini perlu digali dalam anamnesis adanya riwayat tersebut. Dengan ataupun tanpa
pengobatan, artritis pada demam reumatik akut akan sembuh dalam waktu 4 minggu dan
tidak menyebabkan deformitas sendi. Dalam kriteria Jones revisi AHA 2015, monoartritis
dan poliatralgia dimasukkan sebagai kriteria mayor untuk pasien yang berasal dari populasi
berisiko moderat-tinggi.8
2.3.3 Korea
Korea adalah gerakan batang tubuh atau ekstremitas yang bersifat involunter, tidak bertujuan,
dan non-stereotipik. Gerakan ini berhubungan dengan ketidakstabilan emosi dan kelemahan
otot. Bukti infeksi Streptococcus biasanya tidak ditemukan lagi karena terjadi dalam 4 bulan
sebelumnya.8
Universitas Indonesia
18
yang tidak nyeri dan kenyal di daerah ekstensor sendi seperti lutut, siku, pergelangan tangan,
oksiput dan prosesus spinosus di vertebra torak dan lumbal.8
Universitas Indonesia
19
Tabel 5. Kriteria Demam Reumatik Akut Berdasarkan Kriteria Jones revisi AHA 20158
A. Semua Pasien dengan Bukti Infeksi Streptokokus Grup A
Diagnosis:
Demam reumatik akut serangan pertama 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor
Diagnosis:
Demam reumatik akut serangan rekuren 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor atau 3 kriteria minor
B. Kriteria Mayor
Populasi risiko rendah Populasi risiko moderat dan tinggi
1.Karditis 1.Karditis
Klinis dan atau subklinis Klinis dan atau subklinis
2.Artritis 2.Artritis
Poliartritis Monoartritis atau Poliartritis
Poliartralgia
3.Korea 3.Korea
4.Eritema marginatum 4.Eritema marginatum
5.Nodul subkutan 5.Nodul subkutan
C. Kriteria Minor
Populasi risiko rendah Populasi risiko tinggi
Poliartralgia Monoartralgia
Demam ³38,5 °C Demam ³38 °C
LED ³60 mm/jam, CRP ³3 mg/dL LED ³30 mm/jam, CRP ³3 mg/dL
Pemanjangan interval PR (tidak termasuk Pemanjangan interval PR (tidak termasuk
kriteria minor jika terdapat karditis) kriteria minor jika terdapat karditis)
Universitas Indonesia
20
Pemberian penisilin oral sama efektifnya dengan penisilin intramuskular. Kadar minimal
inhibitory capacity (MIC) penisilin V sama dengan penisilin intramuskular yang diberikan
tiap 3 minggu. Bahkan minimal binding capacity (MBC) penisilin V lebih tinggi dari
penisilin intramuskular yang diberikan tiap 3 minggu. Sedangkan MIC dan MBC penisilin V
lebih tinggi dari penisilin intramuskular yang diberikan tiap 4 minggu. Walaupun demikian,
pemberian penisilin oral berisiko komplians yang rendah.42 Penelitian lain menunjukkan
injeksi penisilin intramuskular tiap 3 minggu dan 4 minggu sama efektifnya.43
Beberapa faktor yang berhubungan dengan rekurensi demam reumatik adalah: 1) Usia, 2)
Adanya penyakit jantung reumatik, 3) Onset sejak serangan demam reumatik terakhir, 4)
Jumlah rekurensi serangan demam reumatik akut, 5) Jumlah anggota keluarga di rumah, 6)
Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik di keluarga, 7) Status sosio-
ekonomi dan status pendidikan, 8) Prevalens infeksi Streptococcus di lingkungan, 9)
Komplians terhadap pemberian antibiotik injeksi, dan 10) Pekerjaan. Penelitian kohort
retrospektif di Indonesia, mendapatkan bahwa faktor risiko demam reumatik serangan
berulang adalah tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah.44 Tabel 6 merangkum lamanya
pemberian antibiotik profilaksis.7
Universitas Indonesia
21
Suhu >38°C
Nyeri menelan
Kolonisasi Streptococcus beta- Detritus di tonsil (+)
hemolyticus grup A di faring Adenopati servikal
Genetic susceptibility
Penyakit jantung
Demam reumatik akut
reumatik
Universitas Indonesia
22
Faringitis Sehat
Universitas Indonesia
23
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Universitas Indonesia
24
n = 48.9 ~ 49
n = jumlah subyek
⍺ = kesalahan generalisasi (tipe I) = ditetapkan 5%
Z⍺ = nilai deviat baku dari ⍺ 0,05 adalah 1,96
P = proporsi kategori yang menjadi point of interest = 0,15 Q = 1 - P = 0,85
d = presisi penelitian (kesalahan prediksi proporsi yang masih dapat diterima) = 0,10
n = 72
n = jumlah subyek
⍺ = kesalahan generalisasi (tipe I) = ditetapkan 5%
Z⍺ = nilai deviat baku untuk ⍺ 0,05 adalah 1,96
Universitas Indonesia
25
(3) Tujuan ketiga: mengetahui hubungan antara karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A di faring dengan pembesaran tonsil, pembesaran kelenjar getah bening servikal, status
ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung, jenis kelamin, jumlah orang dalam 1 rumah,
kondisi rumah, dan pendidikan ibu.
Pada analisis multivariat ini, besar sampel menggunakan rumus rule of thumb. Terdapat 9
faktor risiko yang diteliti sehingga besar sampel = 90 subyek.
Dengan demikian pada penelitian ini untuk mencapai tujuan ketiga diperlukan 90 subyek.
(4) Tujuan keempat: mengetahui pola sensitivitas antibiotik terhadap Streptococcus beta-
hemolyticus grup A.
Perhitungan besar sampel sensitivitas antibiotik mengikuti rumus proporsi karier dan rumus
perhitungan survey. Jika menggunakan rumus proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A maka dipakai besar sampel minimal 100 subyek atau 200 subyek. Sedangkan jika
menggunakan rumus perhitungan survey dengan mempertimbangkan interval kepercayaan
95% dan margin of error 10% maka jumlah subyek yang diperlukan adalah 100 subyek.45
Untuk mencapai keempat tujuan penelitian tersebut di atas, maka diambil jumlah subyek
yang terbanyak yaitu 100 subyek.
Dengan antisipasi drop out 10% maka jumlah subyek yang diperlukan adalah
Universitas Indonesia
26
ekonomi, status gizi, jumlah saudara kandung, jenis kelamin, jumlah orang dalam 1 rumah,
kondisi rumah dan pendidikan ibu. Variabel tergantung yang diteliti adalah karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Universitas Indonesia
27
5. Subyek dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring dan atau subyek
dengan karditis subklinis selanjutnya akan dirujuk ke Poli Kardiologi Anak Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo untuk tata laksana lebih lanjut.
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
29
SDN 05 Manggarai
Jakarta Selatan
Ya Ya
Analisis Data
Rujuk ke Poli Kardiologi Anak RSCM
Universitas Indonesia
30
BAB 4
HASIL PENELITIAN
578 siswa
Memenuhi kriteria inklusi dan tidak
termasuk kriteria eksklusi
201 subyek
Universitas Indonesia
31
Terdapat 10 subyek (5%) yang tergolong anemia. Rentang nilai leukosit antara 1.120/uL dan
16.980/uL dengan nilai median 8.425/uL. Median nilai LED, ASTO dan CRP adalah 12 mm,
233 mg/L dan 0,4 IU/mL. Karakteristik subyek penelitian berdasar faktor risiko yang diteliti
dirangkum dalam Tabel 7. Hubungan nilai ASTO dan kultur usap tenggorok (Tabel 8).
Tabel 7. Karakteristik Subyek
Variabel N=201
Jenis Kelamin, n (%)
• Lelaki 91 (45,3)
• Perempuan 110 (54,7)
Berat badan, median (min-maks), kg 30 (15-79)
Tinggi badan, rerata (SB), cm 134,6 (12,09)
Lingkar lengan atas, median (min-maks), cm 20 (14-40)
Jumlah saudara kandung dalam 1 rumah, n (%)
• <3 orang 169 (84,1)
• ³3 orang 32 (15,9)
Jumlah orang dalam 1 rumah, n (%)
• £5 orang 133 (66,2)
• >5 orang 68 (33,8)
Status gizi, n (%)
• Gizi buruk 0 (0,0)
• Gizi kurang 54 (26,9)
• Gizi baik 87 (43,3)
• Overweight 15 (7,5)
• Obesitas 45 (22,4)
Status ekonomi, n (%)
• Golongan ekonomi rendah 130 (64,7)
• Golongan ekonomi menengah 67 (33,3)
• Golongan ekonomi tinggi 4 (2,0)
Kondisi rumah, n (%)
• Tidak ideal (<9 m2/jiwa ) 163 (81,1)
Universitas Indonesia
32
Setelah dilakukan analisis bivariat, didapatkan 3 faktor risiko dengan p<0,25 yaitu
pembesaran tonsil, jumlah orang dalam 1 rumah dan status gizi. Peneliti selanjutnya
melakukan analisis multivariat terhadap ke tiga faktor risiko tersebut. Selain pembesaran
tonsil, faktor risiko lainnya tidak berbeda bermakna dalam analisis multivariat. Subyek
dengan pembesaran tonsil memiliki peluang 2,6 kali menjadi karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Tabel 9 mendeskripsikan analisis bivariat dan multivariat faktor
prediktor karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A.
Universitas Indonesia
33
Tabel 9. Analisis bivariat dan multivariat faktor prediktor karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A
Karier Streptococcus
beta-hemolyticus
Unadjusted adjusted
Variabel grup A P#
OR (IK 95%) OR (IK 95%) P ##
Ya Tidak
N=28 N=173
Pembesaran tonsil,
n (%)
Membesar 21 (18,6) 92 (81,4) 2,641 (1,067-6,536) 0,031 2,641 (1,067-6,536) 0,036
Normal 7 (8,0) 81 (92,0)
Pembesaran kelenjar getah
bening servikal, n (%)
Membesar 0 (0,0) 1 (100,0) - 1,000* -
Normal 28 (14,0) 172 (86,0)
Jenis Kelamin, n (%)
Perempuan 14 (12,7) 96 (87,3) 0,802 (0,361-1,784) 0,588 -
Lelaki 14 (15,4) 77 (84,6)
Jumlah orang dalam 1
rumah, n (%)
>5 orang 13 (19,1) 55 (80,9) 1,859 (0,828-4,174) 0,129 1,690 (0,744-3,839) 0,210
£5 orang 15 (11,3) 118 (88,7)
Status gizi, n (%)
Gizi buruk- kurang 6 (11,1) 48 (88,9) 0,555 (0,203-1,518) 0,251 1,761 (0,633-4,901) 0,278
Gizi Obesitas- 6 (10,0) 54 (90,0) 0,493 (0,181-1,344) 0,174 2,078 (0,751-5,751) 0,159
Overweight
Gizi baik 16 (18,4) 71 (81,6)
Status ekonomi, n (%)
Golongan ekonomi rendah 16 (12,3) 114 (87 0,690 (0,306-1,554) 0,369 -
Golongan ekonomi 12 (16,9) 59 (83,1)
menengah - tinggi
Kondisi rumah, n (%)
Tidak ideal (<9 m2/jiwa) 24 (14,7) 139 (85,3) 1,468 (0,477-4,511) 0,501 -
Universitas Indonesia
34
Gambar 5. Rentang nilai TAPSE (Tricuspid annular plain systolic excursion) subyek penelitian
Universitas Indonesia
35
Antibiotik
100%
89% 86%
75%
68% 68%
32%
n
lin
lin
n
l
n
iko
isi
isi
i si
isi
sik
isi
om
om
m
om
n
n
fe
ra
da
Pe
itr
nk
itr
am
t
in
Te
Az
Er
Va
Kl
or
Kl
Universitas Indonesia
36
BAB 5
PEMBAHASAN PENELITIAN
Universitas Indonesia
37
Selain itu, faktor sosio-demografi antar penelitian tidak jauh berbeda seperti berasal dari
negara berkembang, statu ekonomi rendah dan lingkungan padat.
Penelitian yang terpublikasi dan berasal dari Indonesia ada dua. Penelitian Budi27 melibatkan
subyek dewasa berusia 18-21 tahun dan berjumlah 9 subyek. Karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A dalam penelitian tersebut adalah 0 persen. Rentang usia dewasa dan
jumlah subyek yang sedikit menyebabkan tidak ditemukan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A pada penelitian tersebut. Penelitian Aini26 mengikutsertakan subyek anak
sekolah dasar berusia 6-12 tahun sebanyak 104 subyek. Dua subyek dari 104 subyek terdapat
bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Jumlah subyek yang kurang
menyebabkan rendahnya angka karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Singh53 melaporkan prevalens anak usia sekolah 5-15 tahun di India lebih rendah yaitu
0,67%. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Vijaya54 di India, prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada anak usia 5-15 tahun adalah 1,9%. Walaupun
usia subyek tidak berbeda dengan penelitian ini, proporsi karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A lebih rendah pada kedua penelitian tersebut karena lokasi penelitian di
daerah pedesaan, jumlah penduduk tidak padat dan dilakukan pada musim kemarau.
Universitas Indonesia
38
Nilai ASTO 50 subyek dalam penelitian ini meningkat. Dari 50 subyek tersebut, 9 subyek
memiliki hasil kultur usap tenggorok positif. Antigen ekstra-seluler Streptococcus beta-
hemolyticus grup A meliputi streptolisin O (ASTO), deoksiribonuklease B (DNAaseB),
hialuronidase, streptokinase dan nikotinamid adenin dinukleotidase. Suatu studi yang
melibatkan 2.321 spesimen meneliti sensitivitas dan spesifisitas antibodi streptolisin O,
streptokinase, dan deoksiribonuklease B untuk memprediksi infeksi akut dan lampau
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Antibodi streptolisin O, streptokinase, dan
deoksiribonuklease B tidak dapat digunakan sebagai petanda infeksi akut Streptococcus beta-
hemolyticus grup A. Sensitivitas dan spesifisitas masing-masing antibodi tersebut dalam
memprediksi infeksi lampau adalah 70,5% hingga 72,7% dan 86,4 hingga 86,4% hingga
93,2%. Kombinasi ASTO dan anti-DNAaseB paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi infeksi lampau Streptococcus beta-hemolyticus grup A dengan sensitivitas
95,5% dan spesifisitas 88,6%. ASTO mulai meningkat 1 minggu pasca-infeksi dan mencapai
puncak 3-5 minggu pasca-infeksi.58 Anti-DNAaseB mulai meningkat 2 minggu pasca-infeksi
dan mencapai puncak 6-8 minggu pasca-infeksi. Anti streptokinase mencapai puncak 1 bulan
pasca-infeksi.59,60 Pada karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A, kadar ASTO fase akut
dan konvalesens akan sama. Pada penelitian ini, peningkatan ASTO pada 9 subyek yang
ditemukan Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak menunjukkan infeksi akut dan
disebabkan oleh infeksi lampau.
Empat puluh satu subyek dengan hasil kultur usap tenggorok normal ternyata mengalami
peningkatan ASTO. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, peningkatan ASTO
Universitas Indonesia
39
disebabkan infeksi lampau dan saat ini infeksi sudah selesai. Sembilan belas subyek memiliki
hasil kultur usap tenggorok positif namun hasil ASTO normal. Pada kelompok ini, subyek
hanya sebagai karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan tidak terjadi proses infeksi
dalam sampai 6 bulan terakhir.60 Kelompok terakhir adalah 132 subyek yang menunjukkan
hasil kultur usap tenggorok normal dan nilai ASTO normal. Pada kelompok tersebut, subyek
bukan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan tidak terjadi proses infeksi dalam 6
bulan terakhir.60
Pada penelitian ini, subyek dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kadar
ASTO meningkat akan menjalani pemeriksaan ASTO ulang serta mendapat terapi profilaksis
primer, yaitu eritromisin 4 x10 mg/kg/kali, selama 10 hari. Sedangkan subyek dengan karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang tidak disertai peningkatan kadar ASTO hanya
dilakukan observasi berkala.
Jenis kelamin lelaki dan perempuan pada penelitian ini secara statistik tidak bermakna
(p=0,588). Hasil tersebut didukung oleh penelitian dari Durmaz61 (p>0,05), Hoffman56
(p>0,05), Prajapati20 (p>0,05), Dumre19 (p>0,05) dan Tagavi25 (p=0,369) bahwa jenis
kelamin tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Kolonisasi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring lebih dipengaruhi oleh paparan dan kepadatan lingkungan.
Dari penelitian ini, jumlah orang dalam 1 rumah tidak berbeda antara kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p=0,129). Penelitian dari
Prajapati20 (p>0,05) dan Anja18 (p=0,208) mendukung bahwa jumlah orang dalam 1 rumah
tidak berbeda bermakna antara kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan
Universitas Indonesia
40
Pada penelitian ini, status gizi subyek tersebar merata antara kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p>0,05). Tagavi25 mendukung hasil penelitian
ini bahwa status gizi tidak berbeda bermakna antara kelompok karier dan non-karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A (p=0,864). Infeksi terjadi karena interaksi pejamu,
lingkungan dan bakteri. Pada infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A kekerapan
paparan kuman karena faktor lingkungan yang berperan utama. Jumlah saudara kandung
dalam 1 rumah dalam penelitian ini, tidak berbeda bermakna baik pada kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A maupun kelompok sehat (p=0,782). Hal ini dapat
disebabkan karena subyek homogen berasal dari lingkungan keluarga inti dan didominasi
oleh orangtua pasangan muda yang memiliki 2 anak.
Faktor prediktor berikutnya pada penelitian ini adalah status ekonomi. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa status ekonomi tidak berbeda bermakna antara kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A dan kelompok sehat (p=0,369). Kuwasha48 turut
mendukung hasil dalam penelitian ini bahwa status ekonomi keluarga bukan merupakan
faktor prediktor yang berhubungan dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
(p=0,129). Namun Anja18 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa status ekonomi
keluarga yang rendah merupakan faktor prediktor karier Streptococcus beta-hemolyticus grup
A (p=0,001). Hal tersebut didukung oleh penelitian Al Gabban62 bahwa status ekonomi
rendah merupakan faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
(p<0,008). Perbedaan hasil penelitian bisa disebabkan oleh perbedaan parameter status
ekonomi antar negara.
Sebagian besar subyek pada penelitian ini menempati rumah dengan kondisi tidak ideal
(<9m2/jiwa) namun tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,5). Nayiga17 menggunakan
parameter yang berbeda dari penelitian ini yaitu >0,8m2/anak dan sesuai dengan penelitian ini
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,983). Hal ini dapat
Universitas Indonesia
41
disebabkan perbedaan definisi rumah yang tidak ideal. Kriteria yang dapat digunakan antara
lain jumlah penghuni per m2 rumah dan jumlah jendela dalam rumah. Pada penelitian ini
jumlah jendela mayoritas >1 di dalam rumah walaupun luas rumah <9m2/jiwa.
Status pendidikan ibu tidak berbeda bermakna baik pada kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A maupun kelompok sehat (p=0,947). Hal serupa didukung oleh
Anja18 (p=0,35) dan Tagavi25 (p>0,05) bahwa status pendidikan orangtua bukan merupakan
faktor prediktor terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Sebaliknya, Al
Gabban62 mendukung bahwa status pendidikan orangtua yang rendah merupakan faktor
risiko terjadinya karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A (p<0,004). Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, kolonisasi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak
diperngaruhi oleh satu faktor. Namun, gabungan oleh banyak faktor lingkungan, bakteri dan
pejamu berpengaruh.
Subyek dalam penelitian ini berasal dari kelompok yang homogen yaitu satu sekolah yang
sama. Hal ini dapat menyebabkan faktor prediktor yang bermakna hanya pembesaran tonsil.
Jika penelitian diperluas menjadi multisenter, faktor prediktor selain pembesaran tonsil bisa
memberikan hasil yang bermakna.
Mirabel63 melakukan skrining ekokardiografi pada 17633 anak sekolah usia 9-10 tahun.
Sebanyak 157 siswa terdiagnosis sebagai penyakit jantung reumatik. Selanjutnya, 114 siswa
dengan penyakit jantung reumatik dan 227 siswa sehat diobservasi selama 2-3 tahun.
Universitas Indonesia
42
Sembilan puluh dari 114 siswa dengan penyakit jantung reumatik masih memiliki kelainan
katup dan 30 dari 227 siswa sehat terdeteksi kelainan katup.
Sahin64 melakukan penelitian prospektif pada 158 pasien dengan karditis subklinis di poli
kardiologi anak. Sebanyak 49 subyek memiliki keluhan non-kardiak sesuai kriteria Jones
sedangkan 109 subyek secara insidental ditemukan karditis subklinis setelah dikonsulkan ke
dokter kardiologi karena keluhan lain. Penelitian lainnya dengan subyek pasien demam
reumatik akut yang memiliki keterlibatan kardiak baik secara klinis maupun ekokardiografi
diikuti selama satu hingga 5 tahun. Kelainan katup mitral atau aorta lebih banyak ditemukan
melalui ekokardiografi dibandingkan secara klinis (25/35 vs 5/35, p=0,03).65
Penelitian serupa dengan subyek pasien demam reumatik akut dilakukan di Turki. Subyek
dalam penelitian tersebut sebanyak 156 pasien. Seratus tiga subyek terdapat karditis. Proporsi
karditis subklinis dilaporkan sebesar 28,2%.66 Pastore67 melakukan penelitian retrospektif
terhadap 13 pasien anak usia 5-15 tahun selama 1 tahun dengan diagnosis demam reumatik
akut. Gejala yang muncul adalah korea (7/13), poliartritis (6/13) dan karditis klinis (5/13).
Subyek dengan gejala korea dan poliartritis secara klinis tidak terdapat bising jantung tetapi
pada pemeriksaan ekokardiografi terdapat karditis. Agarwal68 menyimpulkan dalam
penelitiannya, subyek dengan gejala demam reumatik akut non-karditis seperti korea dan
poliartritis menjalani skrining ekokardiografi sejak awal. Lima puluh persen subyek dengan
gejala poliartritis dan korea tanpa gejala kardiak ternyata hasil ekokardiografi menunjukkan
adanya karditis bermakna.
Berdasarkan data penelitian ini, karditis subklinis hanya ditemukan pada satu subyek. Subyek
dengan karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A tidak ada yang mengalami karditis
subklinis. Skrining ekokardiografi pada subyek sehat tidak disarankan karena angka deteksi
rendah, biaya tidak murah, dan tidak semua fasilitas kesehatan memiliki ekokardiografi.
Universitas Indonesia
43
Uner72 meneliti subyek anak usia sekolah dan mendapatkan proporsi bising innocent yang
lebih rendah dari penelitian ini yaitu 3,5%. Suatu penelitian di Mesir pada anak usia 0-12
tahun mendapatkan prevalens bising innocent sebesar 53%.73 Penelitian lain yang serupa
pada 128.900 anak usia <15 tahun menyimpulkan bahwa bising innocent terdapat pada 321
subyek (0,24%).74 Al Halak75 juga melakukan penelitian pada 610 anak usia 2 bulan hingga
18 tahun. Prevalens bising innocent adalah sebesar 39,7% dan 71,3% ditemui pada anak usia
<5 tahun.
Auskultasi jantung merupakan keterampilan klinis dasar yang harus dikuasai oleh setiap
dokter. Keterampilan tersebut memerlukan latihan dan jam terbang dalam memeriksa bunyi
jantung dan bising jantung pasien. Sackey76 membandingkan diagnosis bising innocent dan
patologis yang dibuat oleh dokter anak dan hasil konfirmasi dari dokter kardiologi anak.
Seratus lima puluh anak dirujuk oleh dokter anak karena adanya keluhan bising jantung.
Hampir 50% (72 subyek) rujukan dari dokter anak dengan diagnosis bising innocent. Hasil
pemeriksaan dokter kardiologi anak menunjukkan 70 subyek tersebut tanpa kelainan jantung
dan 2 subyek terdapat penyakit jantung bawaan. Tujuh puluh tiga subyek lainnya dirujuk
dengan bising patologis. Hasil pemeriksaan dokter kardiologi anak, 44 subyek terdapat bising
innocent tetapi tanpa kelainan jantung, 26 subyek dengan bising patologis dan kelainan
jantung, dan 3 subyek tidak terdapat bising jantung. Penelitian oleh Discigil77
membandingkan hasil evaluasi dokter keluarga atau dokter umum dan dokter kardiologi anak
Universitas Indonesia
44
tentang bising pada anak 715 anak dengan median usia 10 tahun. Dalam penelitian ini
sebagian besar dokter keluarga bisa mendeteksi bising innocent tetapi kemampuan
mendeteksi bising patologis belum baik.
Penelitian ini menggunakan beberapa tes untuk menentukan bakteri yang tumbuh adalah
Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Pertama kali akan dilakukan pewarnaan gram untuk
melihat adanya bakteri kokus gram positif. Selanjutnya, tes katalase adalah salah satu cara
membedakan Streptococcus atau Staphylococcus. Streptococcus akan menyebabkan tes
katalase negatif sedangkan Staphylococcus sebaliknya. Tes lainnya adalah pertumbuhan pada
media agar garam manitol. Streptococcus tidak tumbuh pada media agar garam manitol
sedangkan Staphylococcus sebaliknya.
Penisilin hingga saat ini masih memiliki efektivitas yang baik terhadap Streptococcus beta-
hemolyticus grup A dan masih menjadi pilihan obat utama untuk infeksi Streptococcus beta-
hemolyticus grup A.53,78-81 Pada keadaan alergi beta laktam, dapat diberikan antibiotik
golongan makrolid. Namun, saat ini terdapat kecenderungan resistensi Streptococcus beta-
Universitas Indonesia
45
hemolyticus grup A terhadap makrolid karena banyak dipakai untuk pengobatan infeksi
saluran napas akut.82 Penelitian di Malaysia menemukan sensitivitas 100% Streptococcus
beta-hemolyticus grup A terhadap antibiotik eritromisin, penisilin, klindamisin,
kloramfenikol dan vankomisin. Hal tersebut terjadi karena penggunaan antibiotik lebih
selektif dalam praktek sehari-hari.83
Sejak awal era antibiotik ditemukan, penelitian yang ada tetap mendukung fakta
Streptococcus beta-hemolyticus grup A masih sensitif terhadap penisilin. Hal tersebut
diperkirakan karena beberapa teori. Teori pertama, Streptococcus beta-hemolyticus grup A
tidak memproduksi beta laktamase atau diduga bersifat toksik terhadap dirinya sehingga tidak
diproduksi. Teori kedua adalah tidak adanya ekspresi penicillin-binding protein dengan
afinitas rendah. Teori ketiga, proses transfer genetik yang menyebabkan bakteri menjadi
resisten terhadap penisilin tidak terjadi.84
Penelitian ini dilakukan pada subyek dengan latar belakang homogen dan tidak mewakili
seluruh anak SD di Jakarta. Penelitian juga tidak dikerjakan secara multisenter sehingga tidak
semua faktor prediktor yang diteliti terbukti bermakna secara statistik.
Universitas Indonesia
46
BAB 6
RANGKUMAN HASIL, SIMPULAN DAN SARAN
6.1.1 Pengaruh pembesaran tonsil terhadap kejadian karier Streptococcus beta hemolyticus
grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring, hipotesis 1. Pada
penelitian ini, ukuran tonsil pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah normal pada 7 subyek (8%) dan membesar pada 21 subyek (18,6%),
sedangkan ukuran tonsil pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A di faring adalah normal pada 81 subyek (92%) dan membesar pada 92 subyek
(81,4%) dengan nilai p=0,031. Dengan demikian hipotesis 1 terbukti kesahihannya.
6.1.2 Pengaruh pembesaran kelenjar getah bening servikal terhadap kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar
getah bening servikal dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A
di faring, hipotesis 2. Pada penelitian ini, ukuran kelenjar getah bening pada
kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah normal pada 28
subyek (14%) dan tidak ditemukan pembesaran tonsil, sedangkan ukuran kelenjar
getah bening pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring adalah normal pada 172 subyek (86%) dan membesar pada 1 subyek dengan
nilai p=1. Dengan demikian hipotesis 2 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.3 Pengaruh status ekonomi rendah karier terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status ekonomi rendah
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring, hipotesis 3.
Pada penelitian ini, golongan ekonomi pada kelompok karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah rendah pada 16 subyek (12,3%) dan menengah-tinggi pada
12 subyek (16,9%), sedangkan golongan ekonomi pada kelompok tanpa karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah rendah pada 114 subyek
Universitas Indonesia
47
(87%) dan menengah-tinggi pada 59 subyek (83.1%) dengan nilai p=0,369. Dengan
demikian hipotesis 3 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.4 Pengaruh status gizi buruk dan gizi kurang terhadap kejadian karier karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi
kurang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring,
hipotesis 4. Pada penelitian ini, status gizi pada kelompok karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A adalah buruk-kurang pada 6 subyek (11,1%), obesitas-overweight
pada 6 subyek (10%), dan baik pada 16 subyek (18,4%) sedangkan status gizi pada
kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah buruk-
kurang pada 48 subyek (88,9%), obesitas-overweight pada 54 subjek (90%), dan baik
pada 71 subjek (81,6%) dengan nilai p=0,258. Dengan demikian hipotesis 4 tidak
terbukti kesahihannya.
6.1.5 Pengaruh jumlah saudara kandung ³3 orang terhadap kejadian karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung
³3 orang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Pada penelitian ini, jumlah saudara kandung pada kelompok karier Streptococcus
beta-hemolyticus grup A adalah ³3 orang pada 5 subyek (15,6%) dan <3 orang pada
23 subyek (13,6%), sedangkan jumlah saudara kandung pada kelompok tanpa karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah ³3 orang pada 27 subyek
(84,4%) dan <3 orang pada 146 subyek (86,4%) dengan nilai p=0,782. Dengan
demikian hipotesis 5 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.6 Pengaruh jenis kelamin perempuan terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, jenis kelamin pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah perempuan pada 14 subyek (12,7%) dan lelaki pada 14 subyek
(15,4%), sedangkan jenis kelamin pada kelompok tanpa karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring adalah perempuan pada 96 subyek (87,3%) dan lelaki
pada 77 subyek (84,6%) dengan nilai p=0,588. Dengan demikian hipotesis 6 tidak
terbukti kesahihannya.
Universitas Indonesia
48
6.1.7 Pengaruh jumlah orang dalam 1 rumah >5 orang terhadap kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan anatara jumlah orang dalam 1
rumah >5 orang dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di
faring. Pada penelitian ini, jumlah orang dalam 1 rumah pada kelompok karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah >5 orang pada 13 subyek (19,1%) dan
£5 orang pada 15 subyek (11,3%), sedangkan jumlah orang dalam 1 rumah pada
kelompok tanpa karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah >5
orang pada 55 subyek (80,9%) dan £5 orang pada 118 subyek (88,7%) dengan nilai
p=0,129. Dengan demikian hipotesis 7 tidak terbukti kesahihannya
6.1.8 Pengaruh kondisi rumah yang tidak ideal terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak
ideal dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, kondisi rumah pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah tidak ideal (<9 m2/jiwa) pada 24 subyek (14,7%) dan ideal (³9
m2/jiwa) pada 4 subyek (10,5%), sedangkan kondisi rumah pada kelompok tanpa
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah tidak ideal (<9
m2/jiwa) pada 139 subyek (85,3%) dan ideal (³9 m2/jiwa) pada 34 subyek (89,5%)
dengan nilai p=0,501. Dengan demikian hipotesis 8 tidak terbukti kesahihannya.
6.1.9 Pengaruh pendidikan ibu yang rendah terhadap kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan antara status pendidikan ibu yang
rendah dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring. Pada
penelitian ini, pendidikan ibu pada kelompok karier Streptococcus beta-hemolyticus
grup A adalah dasar/rendah pada 7 subyek (14%), menengah pada 19 subyek (14%),
dan tinggi pada 2 subyek (13,3%) sedangkan pendidikan ibu pada kelompok tanpa
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring adalah dasar/rendah pada 43
subyek (86%), menengah pada 117 subyek (86%), dan tinggi pada 13 subyek (86,7%)
dengan nilai p=0,947. Dengan demikian hipotesis 9 tidak terbukti kesahihannya.
Universitas Indonesia
49
6.2 Simpulan
1. Proporsi karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring sebesar 13,6%.
2. Proporsi karditis subklinis sebesar 0,5%.
3. Terdapat hubungan antara pembesaran tonsil dengan kejadian karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
4. Tidak terbukti terdapat hubungan antara pembesaran kelenjar getah bening servikal
dengan kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
5. Tidak terbukti terdapat hubungan antara status ekonomi rendah dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
6. Tidak terbukti terdapat hubungan antara status gizi buruk dan gizi kurang dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
7. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jumlah saudara kandung ³3 orang dengan
kejadian karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
8. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jenis kelamin perempuan dengan kejadian karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
9. Tidak terbukti terdapat hubungan antara jumlah orang dalam 1 rumah >5 dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
10. Tidak terbukti terdapat hubungan antara kondisi rumah yang tidak ideal dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
11. Tidak terbukti terdapat hubungan antara pendidikan ibu yang rendah dengan kejadian
karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A di faring.
12. Pola sensitivitas antibiotik penisilin, eritromisin, azitromisin, vankomisin, kloramfenikol,
klindamisin, dan tetrasiklin adalah 100%, 89%, 68%, 86%, 68%, 75% dan 32%.
6.3 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian multisenter untuk memperoleh gambaran prevalens karier
Streptococcus beta-hemolyticus grup A di Indonesia, prevalens karditis subklinis dan
mendapatkan faktor prediktor yang bermakna menyebabkan karier Streptococcus beta-
hemolyticus grup A di faring.
2. Surveilans karier Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada anak sekolah dasar dapat
menjadi program sekolah misal melalui Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan program
survelains Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta maupun Kementerian Kesehatan
khususnya untuk anak sekolah dasar berusia 6-12 tahun dengan pembesaran tonsil.
Universitas Indonesia
50
Daftar Pustaka
1. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of group A
streptococcal diseases. Lancet Infect Dis. 2005;5:685-94.
2. Shaikh N, Leonard E, Martin JM. Prevalence of streptococcal pharyngitis and
streptococcal carriage in children: a meta-analysis. Pediatrics. 2010;126:e557.
3. Carapetis JR, Currie BJ, Mathews JD. Cumulative incidence or rheumatic fever in an
endemic region: a guide to the susceptibility of the population? Epidemiol Infect.
2000;124:239-44.
4. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic fever and
rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011;3:67-84.
5. Okello E, Longenecker CT, Beaton A, Kamya MR, Lwabi P. Rheumatic heart disease
in Uganda: predictor of morbidity and mortality one year after presentation. BMC
Cardiovasc Disord. 2017;17:20-30.
6. Madiyono B. Epidemiologi penyakit jantung reumatik di Indonesia. J Kardiol Indones.
1995;200:25-33.
7. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a
WHO expert consultation, Geneva. WHO, 29 Oct to 1 Nov, 2001. Diakses tanggal 1
Januari 2018. Tersedia di: https:www.who.int/cardiovascular_diseases/resources.
8. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY, Sable CA, Shulman ST, Carapetis J, et al. on
behalf of the American Heart Association Committee on Rheumatic Fever,
Endocarditis, and Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the
Young. Revision of the Jones criteria for the diagnosis of acute rheumatic fever in the
era of Doppler echocardiography: a scientific statement from the American Heart
Association. Circulation. 2015;131:1806-18.
9. Bank I, Vliegen HW, Bruschke AVG. The 200th anniversary of the stethoscope: can
this low-tech device survive in the high-tech 21st century. Eur Heart J. 2016;37:3536-
43.
10. King N, Al-Meshhadani MH, Daham ANA. Cardiac auscultation versus two-
dimensional transthoracic echocardiography for detection of valve disease in Erbil
city. J Heart Cardiol. 2017;3:7-10.
11. Godown J, Lu JC, Beaton A, Mirembe G, Sanya R, Aliku T, et al. Handhled
echocardiography versus auscultation for detection of rheumatic heart disease.
Pediatrics. 2015;135:e939-44.
Universitas Indonesia
51
12. Haney I, Ipp M, Feldman W, McCrindle BW. Accuracy of clinical assessment of heart
murmurs by office based (general practice) paediatricians. Arch Dis Child.
1999;81:409-12.
13. Reddy A, Jatana SK, Nair MNG. Clinical evaluation versus echocardiography in the
assessment of rheumatic heart disease. MJAFI. 2004;60:255-8.
14. Tutar HE, Ozcelik N, Atalay S, Derelli E, Ekici F, Mamolu A. Clinical and
echocardiographic correlations in rheumatic fever: evaluation of the diagnostic role
auscultation. Arch Turk Soc Cardiol. 2005;33:460-6.
15. Miranda LP, Camargos PAM, Torres RM, Meira ZMA. Prevalence or rheumatic heart
disease in a public school of Belo Horizonte. Arq Bras Cardiol. 2014;103:89-97.
16. Oliver J, Mlliya WE, Pierse N, Moreland NJ, Williamson DA, Baker MG. Group A
streptococcus pharyngitis and pharyngeal carriage: a meta-analysis. PLoS Negl Trop
Dis. 2018;12:1-17.
17. Nayiga I, Okello E, Lwabi P, Ndeezi G. Prevalence of group a streptococcus
pharyngeal carriage and clinical manifestation in school children aged 5-15 yrs in
Wakiso District, Uganda. BMC Infect Dis. 2017;17:248-55.
18. Anja A, Beyene G, Mariam ZS, Daka D. Asymptomatic pharyngeal carriage rate of
streptococcus pyogenes, its associated factors and antibiotic susceptibility pattern
among school children in Hawassa town, southern Ethiopia. BMC Res Notes.
219;12:564-70.
19. Dumre SP, Sapkota K, Adhikari N, Acharya D, Karki M, Bista S, et al. Asymptomatic
throat carriage rate and antimicrobial resistance pattern of streptococcus pyogenes in
Nepalese school children. Kathmandu Univ Med J. 2009;7:392-6.
20. Prajapati A, Rai SK, Mukhiya RK, Karki AB. Study on carrier rate of streptococcus
pyogenes among the school children and antimicrobial susceptibility patter of isolates.
Nepal Med Coll J. 2012;14:169-71.
21. Deutscher M, Schillie S, Gould C, Baumbach J, Muller M, Avery C, et al.
Investigation of a group a streptococcal outbreak among residents of a long-term acute
care hospital. Clin Infect Dis. 2011;52:988-94.
22. M DeMuri GP, Wald ER. The group A streptococcal carrier state. J Pediatric Infect
Dis Soc. 2014;3:336-42.
23. Shulman ST, Bisno AL, Clegg HW, Gerber MA, Kaplan EL, Lee G, et al. Clinical
practice guideline for the diagnosis and management of group A streptococcal
Universitas Indonesia
52
pharyngitis: 2012 update by the infectious disease society of America. Ckin Infect Dis.
2012;55:1279-82.
24. Zacharioudaki ME, Galanakis E. Management of children with persistent group A
streptococcal carriage. Expert Rev Anti Infect Ther. 2017;15:787-95.
25. Taghavi N, Sarmadian H. Carriers of group A beta-hemolytic streptococcus among an
adolescent population in Tehran. Arch Iranian Med. 2002;5:146-50.
26. Aini F, Djamal A, Usman E. Identifikasi karier bakteri Streptococcus β hemolyticus
group A pada murid SD Negeri 13 Padang berdasarkan perbedaan umur dan jenis
kelamin. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5:145-8.
27. Budi SAS, Widura, Waty W. Prevalens Streptococcus beta-hemolyticus group A pada
apus tenggorok mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Kristen Maranatha
tahun 2014 [tesis]. Bandung: Universitas Kristen Maranatha, 2014.
28. Facklam R. What happened to the strecptococci: overview of taxonomic and
nomenclature changes. Clin Microbiol Rev. 2002;15:613-30.
29. Pichichero ME. Group A Beta-hemolytic streptococcal infections. Pediatr Rev.
1998;19:291-302.
30. Khan ZZ, Salvaggio MR. Group A streptococcal infections. Diakses tanggal 1 Mei
2020. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/228936.
31. Cunningham MW. Pathogenesis of group a streptococcal infections. Clin Microbiol
Rev. 2000;13:470-51134.
32. Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB, Gewitz M, Rowley AH, Shulman ST, et al.
Prevention of rheumatic fever and diagnosis and treatment of acute streptococcal
pharyngitis. A scientific statement from the Amerizan Heart Association rheumatic
fever, endocarditis, and Kawasaki disease in the young, the interdisclipinary council
on functional genomics and translational biology, and interdisclipinary council on
quality of care and outcomes research. Circulation. 2009;119:1541-51.
33. White A. WHO Resolution on rheumatic heart disease. Eur Heart J. 2018;39:4233.
34. Guilherme L, Kohler KF, Postol E, Kalil JG. Genes, autoimmunity and pathogenesis
of rheumatic heart disease. Ann Pediatr Cardiol. 2011;4:13-21.
35. Oliver JR, Pierse N, Stefanogiannis N, Jackson C, Baker MG. Acute rheumatic fever
and exposure to poor housing conditions in new Zealand: a descriptive study. J
Paediatr Child Health. 2017;1:1-7.
Universitas Indonesia
53
36. Gurney JK, Stanley J, Baker MG, Wilson NJ, Sarfati D. Estimating the risk of acute
rheumatic fever in New Zealand by age, ethnicity and deprivation. Epidemiol infect.
2016;144:3058-67.
37. Riaz BK, Selim S, Karim MN, Chowdury KN, Chowdury SH, Rahman MR. Risk
factors of rheumatic heart disease in Bangladesh: a case-control study. J Health Popul
Nutr. 2013;31:70-7.
38. Carapetis JR, Beaton A, Cunnungham MW, Guilherme L, Karthikeyan G, Mayosi
BM, et al. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease. Nat Rev Dis Primers.
2016;2:1-57.
39. Karthikeyan G, Guilherme L. Acute rheumatic fever. Lancet. 2018;392:161-74.
40. Tubridy-Clark M, Carapetis JR. Subclinical carditis in rheumatic fever: a systematic
review. Int J Cardiol. 2007;119:54-8.
41. Condemi F, Rossi G, Lupiz M, Pagano A, Zamatto F, Marini S, et al. Screening of
asymptomatic rheumatic heart disease among refugee/migrant children and youths in
Italy. Pediatric Rheumatology. 2019;17:12-5.
42. Iskandar B, Madiyono B, Sastroasmoro S, Putra ST, Djer MM, Karuniawati A.
Comparison of minimal inhibitory and bactericidal capacity of oral penicillin V with
benzatine penicillin G to Streptococcal beta-hemolyticus group A in children with
rheumatic heart disease. Paediatr Indones. 2008;48:152-5.
43. Madiyono B, Djer MM, Sastroasmoro S, Subandrio A, Erfan E. Inhibiting ability of
benzathine penicillin G towards group A Streptococcus beta-hemolyticus in 21 and 28
days after a single intramuscular injection. Paediatr Indones. 2003;43:136-9.
44. Rahmawaty NK, Iskandar B, Husain A, Daud D. Faktor risiko serangan berulang
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Sari Pediatri. 2012;14:179-84.
45. Taherdoost H. Determining sample size; how to calculate survey sample size. Int J
Economics Manag Sys. 2017;2:237-9.
46. WHO. Specimen collection and transport for microbiological investigation. Egypt:
WHO Regional Publication; 1995.
47. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 114 tahun 2018. Diakses tanggal 14
Agustus 2019. Tersedia di https://jdih.jakarta.go.id
48. Kushwaha N, Kamat M, Banjade B, Jitendra S. Prevalence of group A streptococcal
infection among school children of urban community-a cross sectional study. IJIM.
2014;1:249-56.
Universitas Indonesia
54
49. Suryo MS. Analisis kebutuhan luas minimal pada rumah sederhana tapak di Indonesia.
Jurnal Permukiman. 2017;12:116-23.
50. Ferrer R. Lymphadenopathy: differential diagnosis and evaluation. Am Fam Physician.
1998;58:1313-20.
51. Abdissa A, Asrat D, Kronvall G, Shitu B, Achiko D, Zeidan M, et al. Throat carriage
rate and antimicrobial susceptibility pattern of group A streptococci (GAS) in healthy
Ethiopian school children. Ethiop Med J. 2011;49:125-30.
52. Martin JM, Green M, Barbadora KA, Wald ER. Group A streptococci among school-
aged children: clinical characteristics and the carrier state. Pediatrics. 2004;114:1212-9.
53. Singh AK, Kumar A, Agarwal L, Agarwal A, Sengupta C. Prevalence of group A
streptococcal pharyngitis among school children of Barabanki district, Uttar Pradesh,
India. India J Acad Clin Microbiol. 2015;17:110-4.
54. Vijaya D, Satishi JV, Janakiram K. The prevalence of group A streptococci carriers
among asymptomatic school children. J Clin Diagn Res. 2013;7:446-8.
55. Servinc I, Enoz M. The prevalence of group A beta-hemolytic streptococcus in healthy
tuskish children in day-care centers in Ankara. Chang Gung Med J. 2008;31:554-8.
56. Hoffmann S. The throat carrier rate o group A and other beta haemolytic streptococci
among patients in general practice. Acta Pathol Microbiol Immunol Scand B.
1985;93:347-51.
57. Efstratiou A, Lamagni T. Epidemiology of streptococcus pyogenes. Dalam: Ferreti JJ,
Stevens DL, Fischetti VA, penyunting. Streptococcus Pyogenes: Basic Biology to
Clinical Manifestations. Oklahoma: University of Oklahoma Health Science
Center;2016. h. 1-27.
58. Blyth CC, Robertson PW. Anti-streptococcal antibodies in the diagnosis of acute and
post-streptococcal disease: streptokinase versus streptolysin O and deoxyribonuclease
B. Pathology. 2006;38:152-6.
59. Sen SE, Ramanan AV. How to use antistreptolysin O titre. Arch Dis Child Educ Pract
Ed. 2014;0:1-8.
60. Johnson DR, Kurlan R, Leckman J, Kaplan EL. The human immune response to
streptococcal extracellular antigens: clinical, diagnostic, and potential pathogenetic
implications. Clin infect Dis. 2010;50:481-90.
61. Durmaz R, Durmaz B, Bayraktar M, Ozerol IH, Kalcioglu MT, Aktas E, et al.
Prevalence of group A streptococcal carriers in asymptomatic children and clonal
relatedness among isolates in Malatya Turkey. J Clin Microbiol. 2003;41:5285-7.
Universitas Indonesia
55
62. Al Gabban NI, Al Ani WA, Al Kinany BJ. Beta-hemolytic streptococcal carrier among
school age children. Iraqi J Comm Med. 2008;21:91-6.
63. Mirabel M, Fauchier T, Bacquelin R, Tafflet M, Germain A, Robillard C, et al.
Echocardiography screening to detect rheumatic heart disease a cohort study of school
children in French Pacific Islands. Int J Cardiol. 2015;188:89-95.
64. Sahin M, Yildirim I, Ozkutlu S, Alehan D, Ozer S, Karagoz T. Clinical features and
mid- and long-term outcomes of pediatric patients with subclinical carditis. Turk J
Pediatr. 2012;54:486-92.
65. Figueroa FE, Fernandez MS, Valdes P, Wilson C, Lanas F, Carrion F, et al.
Prospective comparison of clinical and echocardiographic diagnosis of rheumatic
carditis: long term follow up of patients with subclinical disease. Heart. 2001;85:407-
10.
66. Pekpak E, Atalay S, Karadeniz C, Demir F, Tutar E, Ucar T. Rheumatic silent carditis:
echocardiographic diagnosis and prognosis of long-term follow up. Pediatr Int.
2013;55:685-9.
67. Pastore S, De Cunto A, Benettoni A, Berton E, Taddio A, Lepore L. The resurgence of
rheumatic fever in a developed country area: the role of echocardiography.
Rheumatology. 2011;50:396-400.
68. Agarwal PK, Misra M, Sarkari NB, Gupta AK, Agarwal P. Usefulness of
echocardiography in detection of subclinical carditis in acute rheumatic polyarthritis
and rheumatic chorea. J Assoc Physicians India. 1998;46:937-8.
69. Bianceniello T. Innocent murmurs. Circulation. 2005;111:e20-e22.
70. Frank JE, Jacobe KM. Evaluation and management of heart murmurs in children. Am
Fam Physician. 2001;84:793-800.
71. Lefort B, Cheyssac E, Soule N, Poinsot J, Vaillant MC, Nassimi A, et al. Auscultation
while standing: a basic and reliable method to rule out a pathologic heart murmur in
children. Ann Fam Med. 2017;15:523-8.
72. Uner A, Dogan M, Bay A, Cakin C, Kaya A, Sal E. The ratio of congenital heart
disease and innocent murmur in children in Van City, the Eastern Turkey. Anadolu
Kardiyol Derg. 2009;9:29-34.
73. Ali SH, Mohammed MA. Evaluation of heart murmurs in children: one year of
observational study. Gaz Egypt Paediatr Assoc. 2015;63:6-11.
74. Fedakar A, Saritas T. Approach to the heart murmurs in pediatric patients. Am J Res
Commun. 2015;3:1-9.
Universitas Indonesia
56
75. Al Halak R, Alsoufi M. Epidemiology of and factors associated with innocent heart
murmurs in children between 2 months and 18 years: a cross sectional study (2017-
2018), specialist children hospital, dubai. EC Paediatrics. 2020;9:1-10.
76. Sackey AH. Prevalence and diagnostic accuracy of heart disease in children with
asymptomatic murmurs. Cardiol Young. 2016;26:446-50.
77. Discigil G, Aydogdu A, Gemalmaz A, Gurel FS, Basak O. Cardiac auscultatory skills
of academic family physicians: strength of association with an academic pediatric
cardiologist. Int J Family Med. 2010;10:37-9.
78. Mathur ML, Solanki A, Gaur J, Sharma R, Sharma M. Drug resistance in group A
streptococcal infections of the pharynx in school children of desert part of Rajasthan.
Int J Microbiol Immunol Res. 2014;3:29-33.
79. Jain A, Shukla VK, Tiwari V, Kumar R. Antibiotic resistance pattern of group-a-beta-
hemolytic streptococci isolated from North Indian children. Indian J Med Sci.
2008;10:392-6.
80. Bhardwaj N, Mathur P, Behera B, Mathur K, Kapil A, Misra MC. Antimicrobial
resistance in beta-haemolytic streptococci in India: a four-year study. Indian J Med
Res. 2018;147:81-7.
81. Sayyahfar S, Fahimzad A, Naddaf A, Tavassoli S. Antibiotic susceptibility evaluation
of group a streptococcus isolated from children with pharytingitis: a study from Iran.
Infect Chemother. 2015;47:225-30.
82. Brahmadathan KN, Anitha P, Gladstone P. Increasing erythromycin resistance among
group A streptococci cauding tonsillitis in tertiary care hospital in Southern India. Clin
Microbiol Infect. 2005;11:335-7.
83. Kalgo HM, Jasni AS, Hadi SRA, Umar NH, Hamzah SNA, Hamat RA. Extremely low
prevalence of erythromycin-resistant streptococcus pyogenes isolates and their
molecular characteristics by M protein gene and multilocus sequence typing methods.
Jundishapur J Microbiol. 2018;11:e12779-86.
84. Horn DL, Zabriskie JB, Austrian R, Cleary PP, Feretti JJ, Fischetti VA, et al. Why
have group a streptocci remained susceptible to penicillin? Report on a symposium.
Clin Infect Dis. 1998;26:1341-5.
Universitas Indonesia