Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
sebagai Pemenuhan Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Kedokteran
Oleh
METIKA RAHMASARI I
NO BP 1310312019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Metika Rahmasari I
v
ABSTRACT
by
Metika Rahmasari I
Halaman
Sampul Dalam i
Pernyataan Orisinalitas ii
Persetujuan Skripsi iii
Pengesahan Penguji iv
Kata Pengantar v
Abstract vi
Abstrak vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Istilah xii
Daftar Lampiran xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia Hemolitik Autoimun
2.1.1 Definisi 7
2.1.2 Epidemiologi 7
2.1.3 Klasifikasi 8
2.1.4 Etiologi 8
2.1.5 Patogenesis 9
2.1.6 Diagnosis 13
2.1.6.1 Evaluasi tanda hemolisis 15
2.1.6.2 Evaluasi laboratorium untuk temuan autoimun 18
2.1.7 Penatalaksanaan 22
2.2 Retikulosit
2.2.1 Definisi 28
2.2.2 Eritropoiesis 28
2.2.3 Pemeriksaan Retikulosit 31
2.2.4 Kadar Retikulosit Normal 32
2.2.5 Retikulosit pada Anemia Hemolitik Autoimun 32
2.3 Hemoglobin
2.3.1 Definisi Hemoglobin 34
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas viii
2.3.2 Fungsi Hemoglobin 34
2.3.3 Pemeriksaan Hemoglobin 35
2.3.4 Kriteria Anemia berdasarkan Kadar Hemoglobin 37
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 38
3.2 Hipotesis Penelitian 38
BAB 4 METODELOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian 39
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 39
4.3 Populasi dan Sampel Peneltian
4.3.1 Populasi Penelitian 39
4.3.2 Sampel Penelitian 39
4.3.3 Besar Sampel 40
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel 40
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian 40
4.4.2 Defnisi Operasional Variabel Penelitian 41
4.5 Instrumen Penelitian 42
4.6 Prosedur Pengambilan Data 42
4.7 Pengolahan Data dan Analisis Data
4.7.1 Pengolahan Data 43
4.7.2 Analisis Data 43
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Data Penelitian 44
5.2 Analisis dan Hasil Penelitian
5.2.1 Analisis Univariat 44
5.2.2 Analisis Bivariat 45
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Umum Subyek Penelitian 48
6.2 Kadar Hemogloin dan Retikulosit pada Anemia 49
Hemolitik Autoimun
6.3 Keterbatasan Penelitian 51
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan 53
7.2 Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 60
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi autoimmune hemolytic anemia (AIHA 8
Tabel 2.2 Tes pada AIHA dan hasilnya 17
Tabel 2.3 Kriteria untuk grading aglutinasi dalam tabung reaksi DCT 21
Tabel 2.4 Terapi AIHA tipe hangat 23
Tabel 2.5 Terapi AIHA tipe dingin 28
Tabel 2.6 Faktor koreksi hitung RPI 32
Tabel 2.7 Kriteria Anemia berdasarkan WHO 37
Tabel 5.1 Karakteristik umum subyek penelitian 44
Tabel 5.2 Hubungan perbedaan rerata kadar hemoglobin terhadap 47
gradasi DCT
Tabel 5.3 Hubungan perbedaan rerata kadar retikulosit terhadap gradasi 47
DCT
Halaman
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya AIHA 10
Gambar 2.2 Direct Coombs Test 19
Gambar 2.3 Algoritma terapi AIHA tipe hangat 26
Gambar 2.4 Hemopoiesis 29
Gambar 2.5 Eritropoiesis 30
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin 38
dan Retikulosit dengan Gradasi DCT pada pasien AIHA
merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi
yang sangat penting karena bisa menyebabkan kematian (De Loughery, 2013).
semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun,
idiopatik dan AIHA yang didasari oleh penyakit lain yang disebut sebagai AIHA
primer. AIHA bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering terjadi pada
tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe campuran. Sekitar 70% kasus
AIHA adalah tipe hangat. AIHA tipe hangat terjadi akibat eritrosit yang dilapisi
oleh molekul IgG mengalami reaksi autoantibodi sel dan difagositosis oleh
makrofag secara optimal pada suhu 370C. AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi
penyebab potensial harus selalu diselidiki. AIHA tipe hangat maupun tipe dingin
yang dapat menyebabkan reaksi autoantibodi. AIHA tipe hangat juga dikaitkan
dengan penyakit autoimun lainnya seperti lupus eritematosus sistemik. AIHA tipe
pneumoniae. Selain itu, infeksi virus seperti HIV dapat menginduksi terjadinya
AIHA tipe hangat dan tipe dingin (Gehrs dan Friedberg, 2002; Dhaliwal dan
Tierney, 2004).
klinis AIHA dapat berupa sesak napas dan fatigue akibat terjadinya anemia.
Kadang – kadang ditemukan urin yang pekat dan nyeri punggung terutama pada
pasien AIHA dengan hemolisis intravaskular. ikterik terjadi pada 40% pasien
Pemeriksaan sediaan apusan darah tepi harus dilakukan pada setiap kejadian
anemia untuk mengevaluasi tipe dari anemia tersebut. Pada AIHA ditemukan
eritrosit berinti dan sel target. Pada AIHA dengan hemolisis intravaskular yang
ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <13 gr/dl pada laki-laki dewasa, <12
gr/dl pada perempuan dewasa dan <11 gr/dl pada ibu hamil. Anemia dinyatakan
berat apabila Hb < 8 gr/dl, sedang apabila Hb 8-10 gr/dl, dan ringan apabila Hb
destruksi dini dari eritrosit sangat beragam. Destruksi eritrosit dapat disebabkan
ABO yang tidak sesuai dan paroksismal nokturnal hemoglobinuria (PNH) (Stein
hemolisis. Retikulositosis juga terjadi pada keadaan perdarahan dan pasien dengan
Test (DCT). Hasil DCT menunjukkan gradasi beratnya AIHA berupa +1, +2, +3
yang signifikan antara konsentrasi IgG dengan kekuatan DAT, kadar Hb, bilirubin
serum, dan LDH serum. Jumlah molekul IgG per eritrosit juga berkorelasi secara
anemia pada pasien AIHA. Dari 30 orang pasien, ditemukan 15 orang pasien
anemia berat dan 10 orang pasien dengan DCT positif 2 (+2) namun 2 diantaranya
hemoglobin dan retikulosit dengan berbagai gradasi Direct Coombs Test pada
pasien AIHA?
pasien AIHA?
selanjutnya.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.1 Definisi
menyebabkan eritrosit mudah lisis sehingga umur eritrosit menjadi pendek yaitu
berikatan baik pada suhu tubuh (370C). Anemia hemolitik autoimun tipe dingin
dimediasi oleh antibodi IgM yang mana berikatan baik maksimal pada suhu
dibawah 370C. AIHA adalah penyakit yang jarang namun penting pada penyakit
2.1.2 Epidemiologi
(Lechner dan Jager, 2013). Kejadian tahunan AIHA di Amerika utara dan Eropa
80% kasus, autoantibodi dingin terjadi pada 15-20% dari kasus, tipe campuran
terjadi pada kurang dari 10% dari kasus (Michel, 2011). Kejadian tahunan drug-
laki-laki. Pada dewasa umumnya terjadi pada usia ≥65 tahun dan lebih sering
2.1.3 Klasifikasi
untuk aktivasi autoantibodi dalam mengikat eritrosit. AIHA disebut tipe hangat
jika antibodi yang mengikat eritrosit teraktivasi pada suhu tubuh (37 0C), tipe
dingin jika antibodi teraktivasi pada suhu dibawah 37 0C, sedangkan tipe
campuran jika antibodi teraktivasi baik pada suhu tubuh maupun di bawah suhu
tubuh. AIHA juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan. AIHA dapat
terjadi primer atau idiopatik, dimana terjadinya AIHA tanpa adanya penyakit yang
terjadi gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
disfungsi umum dari sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh memiliki
antigennya sendiri dan kebutuhan untuk merespons dengan tepat terhadap antigen
dan di perifer dengan sel T dan B matur melalui down-regulation dari respons
imun. Terganggunya setiap proses ini dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit
autoimun. Proses autoimun yang kurang umum juga ada. Contohnya, penyakit
autoimun yang dapat timbul adalah tiruan sel B ganas, tetapi autoantibodi eritrosit
penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat obatan dan selain itu, 37%
lainnya merupakan penyakit primer atau idiopatik. Sedangkan 10% lainnya adalah
penyakit AIHA pasca infeksi (Lim, 2012; Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014).
2.1.5 Patogenesis
toleransi sentral (central tolerance) dan perifer (peripheral tolerance) sel T yang
faktor lingkungan menjadi pengaruh dalam inisiasi respons imun (Friedberg dkk,
2013). Contoh yang menjadi autoantigen pada AIHA adalah autoantigen RhD.
Faktor genetik yang berperan pada penyakit autoimun berhubungan dengan gen
HLA. Faktor lingkungan juga sangat berperan untuk terjadinya AIHA seperti
mikroba, virus, hormon, radiasi UV, obat dan agen bahan lain seperti dapat
merupakan penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dengan pelepasan isi
sel ke dalam plasma. Trauma mekanik yang berasal dari endotel yang rusak, agen
perubahan membran oleh makrofag yang berasal dari limpa dan hati. Darah yang
ada dalam sirkulasi disaring terus menerus melalui jaringan limpa yang
berdinding tipis ke dalam sinusoid limpa, yaitu sebuah labirin seperti spons
makrofag dengan proses dendritik yang panjang. Sel darah merah 8-mikron yang
normal dapat merusak dirinya sendiri dan melewati bukaan 3-mikron dalam
membran (termasuk antibodi) tidak dapat melintasi jaringan ini sehingga nanti
akan difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag (Dhaliwal dan Tierney, 2004).
intravaskular. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik atau jalur
alternatif. Antibodi yang berperan mengaktifkan jalur-jalur ini adalah IgM, IgG1,
IgG2, dan IgG3. IgM disebut sebagai antibodi yang berperan dalam aglutinasi tipe
permukaan eritrosit pada suhu di bawah suhu tubuh (37 0C). IgG disebut sebagai
antibodi yang berperan dalam aglutinasi tipe hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh (Taroeno - Hariadi dan Pardjono,
2014).
Aktivasi jalur klasik diawali dengan aktivasi C1, suatu protein yang
ini akan menyisip ke dalam membran sel eritrosit sebagai suatu aluran
ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. Aktivasi jalur
alternatif akan mengaktifkan C3 dan akan menjadi C3b. Selanjutnya, C3b akan
membran eritrosit (Gehrs dan Friedberg, 2002; Taroeno - Hariadi dan Pardjono,
2014).
bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin
dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam
LDH yang terdapat dalam eritrosit sehingga LDH serum akan meningkat (Bakta,
2003).
IgG yang berikatan atau tidak berikatan dengan komplemen dan akan dihancurkan
oleh sistem retikuloendotelial jika tidak terjadi proses aktivasi komplemen lebih
lanjut (Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014). Hemolisis terjadi pada sel makrofag
2003).
bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan mengalami konjugasi dalam hati menjadi
akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga
2.1.6 Diagnosis
dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis AIHA dapat berupa sesak napas dan
fatigue akibat terjadinya anemia. Pada beberapa keadaan dapat ditemukan urin
yang pekat dan nyeri punggung terutama pada pasien AIHA dengan hemolisis
intravaskular. Ikterik terjadi pada 40% pasien AIHA. Pada AIHA primer sering
Pada beberapa pasien terdapat gejala dan tanda anemia untuk menandakan
adanya hemolisis. Gejala umum anemia akan timbul jika hemoglobin turun <8
g/dl. Makin besar penurunan kadar hemoglobin maka semakin berat gejala yang
timbul dan selain itu, beratnya gejala juga ditentukan oleh kecepatan penurunan
kadar hemoglobin. Pada anemia hemolitik akut umumnya gejala lebih mencolok
lebih cepat. Pada pasien yang lebih tua gejala timbul lebih awal karena penurunan
Pada anemia hemolitik kronik dapat timbul gejala klinik berupa ikterus,
indirek dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice bahwa dalam
urin tidak dijumpai bilirubin dan biasanya ikterus bersifat ringan. Splenomegali
hampir selalu dijumpai, umumnya dengan derajat ringan sampai sedang, tetapi
dan dispneu saat aktivitas umum. Pada pasien usia lanjut yang sudah tidak dapat
mentoleransi anemia, dapat terjadi angina dan infark usus. Jika gangguan
kronis atau limfoma. Selain itu, karena banyak kasus AIHA adalah terkait obat,
Dalam kasus AIHA tipe dingin, gambaran klinis umumnya berupa anemia
fulminan jarang terjadi, gejala yang muncul hanya berupa anemia ringan dengan
kadar hemoglobin 9-12 g / dL. Akrosianosis dapat terjadi dari aglutinasi dari sel-
sel di tangan, hidung, kaki, atau telinga. Sebuah penampilan berbintik-bintik pada
tungkai juga dapat muncul. Seperti yang terjadi pada AIHA tipe hangat,
penyebab untuk limfoma dan hemolisis tipe dingin terkait infeksi Mononucleasis
harus ditelusuri. AIHA tipe dingin lebih sering terjadi pada orang tua, sedangkan
pasien muda sering mengalami AIHA dingin post-infeksi, yaitu setelah infeksi
target. Sferosit merupakan salah satu ciri khusus AIHA. Sfreosit terbentuk akibat
membran sel darah merah didestruksi sehingga mengurangi luas permukaan sel
terutama terdiri dari hemoglobin dan juga ditemukan termasuk enzim Laktat
Dehidrogenase (LDH) dengan konsentrasi yang tinggi pada sel darah merah.
Sebagian besar pasien dengan hemolisis akan terjadi peningkatan kadar LDH.
Peningkatan LDH memiliki sensitivitas yang baik, namun tidak spesifik untuk
keadaan hemolisis karena LDH dapat meningkat pada penyakit hati dan
kali pecah menjadi bilirubin dan menjadi urobilinogen yang diekskresikan melalui
urin. Bilirubin diproduksi dari pemecahan heme yang tidak terkonjugasi. Pada
penyakit hati dengan peningkatan bilirubin direk maka tes bilirubin tidak
oleh hati. Rentang normal haptoglobin pada orang dewasa adalah 30-200 mg/dL.
Haptoglobin biasanya sangat rendah pada keadaan hemolisis. Hal yang akan
merancukan adalah bahwa haptoglobin merupakan reaktan fase akut dan bisa
meningkat pada keadaan penyakit sistemik atau inflamasi. Pada pasien dengan
penyakit hati lanjut juga dapat ditemukan kadar haptoglobin yang rendah karena
tubulus. Ketika sel tubulus terkelupas, maka besi akan tampak pada urin. Besi
pada urin dapat menjadi tanda lain dari keadaan hemolisis. Hemosiderinuria
dengan jumlah yang sesuai untuk bisa terdeteksi pada urin (De loughery, 2013).
Salah satu dari tanda hemolisis adalah ditemukannya hemoglobin pada urin.
Cara cepat untuk menilai hemoglobinuria adalah melalui pemeriksaan urin dengan
mikroskopik tidak ditemukan sel darah merah (De loughery, 2013, Packman,
2015).
Pemeriksaan ini bersifat kualitatif dan sangat subjektif. Rasio myeolid : eritroid
menurun di bawah 1,5 selain itu juga ditemukan terdapatnya peningkatan limfosit
atau sel plasma yang menunjukkan adanya suatu kelainan limfoproliferatif atau
suatu penyakit kolagen yang mendasari terjadinya suatu AIHA (Gehrs dan
yang masih memiliki RNA dan merupakan marker dari sel darah merah yang
bertahan selama kurang dari 24 jam. Secara sederhana, retikulosit diukur secara
manual pada pemeriksaan darah tepi dan menghitung persentase sel yang
metode ini tidak harus untuk mengoreksi ulang hematokrit. Jumlah retikulosit
juga dapat meningkat pada keadaan kehilangan darah atau pada pasien yang
memiliki penyebab lain dari anemia (misalnya, kekurangan zat besi) dalam
pengobatan. Selain itu, sebanyak 25% pasien dengan AIHA tidak mengalami
imunoglobulin antieritrosit permukaan eritrosit atau pada serum pasien. Hal ini
Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Direct Coombs Test (DCT). DCT dapat
tahun 1945, dan selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Coombs test.
IgG yang terikat pada eritrosit tidak akan menyebabkan aglutinasi, tetapi
jika ditambahkan reagen antihuman globulin (AHG)/ reagen Coomb yang secara
langsung melawan IgG atau terdapat C3 akan terjadi aglutinasi eritrosit. Hal ini
membuktikan bahwa terdapat IgG dan atau C3 pada membran eritrosit. Hasil
pemeriksaan DCT yang positif pada anemia hemolitik merupakan diagnostik dari
AIHA. Harus diperhatikan jika terdapat secara bersamaan hasil DCT positif lemah
dari hemolisis yang disebabkan faktor lain. Penting bahwa sejumlah besar pasien
memiliki hasil DCT positif tanpa umur eritrosit yang memendek; hasil DCT
positif tanpa bukti hemolisis dilaporkan terjadi pada 1: 1-14 000 donor darah
sehat dan 1% -15% dari pasien di rumah sakit (Zarandona dan Yazer, 2006).
untuk mendeteksi adanya antibodi IgG pada serum pasien (sensitisasi in vitro).
Reagen yang terdiri dari eritrosit diinkubasi pada serum yang diduga mengandung
antibodi antiaeritrosit. Jika pada serum tersebut terdapat antibodi, maka antibodi
tersebut akan terikat dengan eritrosit pada reagen. Setelah periode inkubasi,
darah pasien terikat pada eritrosit pasien dan terdeteksi dengan pemeriksaan DCT.
Autoantibodi yang tidak terikat pada eritrosit juga dapat dideteksi pada plasma
pasien dengan pemeriksaan Indirect Coomb Test (ICT). Jumlah autoantibodi pada
tersebut pada antigen eritrosit. Pasien dengan ICT positif pada autoantibodi tipe
hangat juga harus memiliki DCT yang positif. Pasien dengan ICT positif tetapi
dengan DCT negatif tidak mengalami proses autoimun, tetapi mungkin terjadi
Kekuatan hasil DCT dan derajat hemolisis harus sesuai untuk dapat
terdapat korelasi yang signifikan antara hasil DCT yang positif dengan kadar
imunoglobulin darah dan semakin tinggi peningkatan IgG serum, semakin sering
ditemukan hasil DCT positif (Huh dkk, 1988). Zarandona dan Yazer (2006) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa lebih dari 95% dari AIHA tipe hangat
pada permukaan eritrosit dengan hanya IgG yang terdeteksi sebanyak 20-66%,
dengan kedua IgG dan C3 terdeteksi sebanyak 24-63%, dan dengan hanya C3
Tabel 2.3 Kriteria untuk grading aglutinasi dalam tabung reaksi DCT
4+ satu aglutinasi pada DCT, tidak ada sel-sel bebas
3+ beberapa aglutinasi besar, beberapa sel bebas
2+ aglutinasi menengah dengan sedikit berawan
1+ aglutinasi kecil dengan sedikit berawan
Sumber : Barnes BC, Hertenstein, 2015
positif 1:1000 pasien pada populasi normal dan meningkat pada beberapa persen
pasien seperti peningkatan gamma globulin, pasien dengan penyakit hati, dan
bisa menimbulkan DCT positif. Wheeler dkk (2004) dalam suatu penelitian
terhadap 100 pasien yang memiliki antibodi yang reaktif pada suhu hangat,
72% dengan DCT reaktif untuk C3. Sedangkan dari 71 pasien tanpa AIHA,
terdapat 63% pasien dengan DCT hanya positif 1 (+) atau kurang untuk IgG. Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa kekuatan DCT pasien untuk IgG dan C3
berhubungan dengan terdapat atau tidaknya suatu hemolisis pada pasien tersebut
sebagai terapi lini kedua adalah dengan menggunakan imunosupresan lain aau
pada faktor yang mendasari terjadinya penyakit yang memerlukan terapi khusus,
seperti penyakit jaringan ikat dan penyakit limfoproliferatif (Crowther dkk, 2011).
intravaskular akut, dimana bisa terjadi syok dan gagal ginjal sehingga juga harus
lebih lanjut. Akan tetapi, jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan lain selain
transfusi. Penentuan antibodi spesifik dan tipe genotipe golongan darah harus
dilakukan terlebih dahulu. Darah yang cocok untuk sistem ABO dan sistem Rh
harus di-crossmatch dengan darah penderita sehingga hasil yang paling cocok
relaps dan refrakter. Target terapi dari AIHA tipe hangat susah untuk ditetapkan.
Sebagian besar orang menyetujui bahwa target hematokrit diatas 30% untuk
proses hemolisis lambat bisa menjadi alasan yang dapat diterima (De Loughery,
2013).
prednisone dosis standar 1 mg/kg perhari per oral atau metilprednisolon intravena.
Dosis inisial ini diberikan sampai kadar hematokrit lebih dari 30% atau kadar
hemoglobin lebih dari 10 g/dl. Jika kondisi ini tidak tercapai dalam waktu 3
minggu maka terapi lini kedua dapat diberikan, dikarenakan efek samping dapat
secara bertahap (2,5-5 mg/hari per bulan) dengan monitoring dari kadar
diturunkan dengan cara alternating day. Jika pasien mengalami remisi dalam 3-4
bisa tappering off secara penuh (Lechner dan Jager, 2010; De Loughery, 2013).
Bifosfonat, vitamin D, dan osteocal harus diberikan saat awal terapi pada
semua pasien dengan terapi steroid untuk mencegah efek samping. Proton-pump
Ini dapat diberikan selama 3 minggu untuk pasien yang respons terhadap terapi.
Asam folat juga dapat diberikan karena hemolisis yang aktif menyebabkan
peningkatan kebutuhan asam folat. Asam folat sering diberikan dengan dosis 1
Pemberian steroid meningkatkan risiko infeksi pada pasien diabetes sehingga gula
darah pasien juga harus dimonitor secara ketat (Lechner dan Jager, 2010).
Pada pasien yang tidak bisa diberikan steroid atau gagal terapi steroid,
pasien dalam 3 kategori: (1) pasien yang refrakter terhadap steroid awal dan
dan pemeriksaan DCT mutlak untuk terapi lini ke dua; (2) pasien yang
merupakan terapi klasik AIHA tipe hangat. Dilaporkan respons terapi 50% sampai
yang rendah, terdapat kecenderungan refrakter atau tidak respons dengan steroid
ditunda atau dicoba terapi lain terlebih dahulu pada pasien yang mendapat steroid
dosis rendah atau memiliki faktor risiko medis yang rendah untuk dilakukan
memperlihatkan visualisasi yang lebih baik pada abdomen untuk mencari dan
mengangkat lien serta aksesorisnya (Lechner dan Jager, 2010; Crowther dkk,
2011).
memiliki peran yang minimal dalam imunitas tubuh kecuali untuk memproteksi
Ruggeri, 2012).
adalah pilihan terapi lain untuk pasien yang tidak mengalami remisi terhadap
terapi steroid (Liu dan Gu, 2013). Pada laporan kasus penggunaan rituximab
komplit. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah sebagian besar respons
terhadap rituximab dalam hitungan bulan, oleh karena itu respons yang cepat tidak
bisa diprediksi. Banyak studi memakai dosis tradisional yaitu dengan dosis 375
selama 4 minggu melaporkan bahwa terdapat respons terapi sebesar 100% dan
respons selama 2 tahun sebesar 80%, namun studi lebih lanjut sangat dibutuhkan
untuk penggunaan dosis ini. Efek samping mayor dari rituximab berupa reaksi
infus yang sering terjadi pada dosis awal. Reaksi ini dapat dikontrol dengan
Terapi pada AIHA tipe dingin masih sulit (tabel 2.5). Hal ini dikarenakan
limfoproliperatif. Pilihan terapi saat ini pada AIHA tipe dingin adalah rituximab
Terdapat respons pada 45% sampai 75% pasien, tetapi hampir selalu
mengalami respons parsial dan dibutuhkan terapi ulangan (Lechner dan Jager,
respons yang lambat dengan rentang waktu 2 minggu sampai 4 bulan. Berentsen
dkk meneliti kombinasi rituximab dan fludarabin pada AIHA tipe dingin
(Berentsen, 2011). Angka keberhasilan terapi sebesar 75%, dengan 21% respons
komplit, tetapi juga terdapat 41% insiden toksisitas. Walaupun lebih bersifat
toksik, kombinasi ini dapat dipertimbangkan pada penyakit yang agresif. Pada
kasus lain juga ditemukan respons yang baik pada pemberian bortezomib
pada terapi AIHA tipe hangat. Pasien pada umumnya respons terhadap steroid dan
2002).
2.2 Retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda dan tidak berinti.
akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam
2.2.2 Eritropoiesis
Pembentukan sel darah merah berasal dari sum-sum tulang. Sel tersebut
asal dari berbagai sel darah. Sebagian besar sel tersebut akan bereproduksi dan
berdiferensiasi membentuk commited stem cells. Suatu commited stem cells yang
E) (Guyton, 2006).
Sel pertama yang terbentuk dari bagian rangkaian sel darah merah adalah
eritroblas basofil yang dapat dipulas dengan zat warna basa dimana masih sangat
sedikit terdapar hemoglobin. Pada tahap selanjutnya, sel tersebut sudah dipenuhi
oleh hemoglobin dan nukleus memadat menjadi kecil sehingga sisa akhirnya
berjalan dari sum-sum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara
2006).
protein (hemoglobin) tinggi dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa
hidup eritrosit yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk
Moss, 2005).
retikulosit diwarnai dengan pewarna supravital walaupun metode ini relatif tidak
akurat, lambat dan lebih merepotkan. Sejak tahun 80an mulai dikembangkan
pemeriksaan yang lebih canggih, lebih cepat, lebih akurat yaitu flowcytometer
2010).
lengkap (CBC = Complete Blood Count) dan berperan penting pada klasifikasi
jenis anemia. Ada dua cara untuk menghitung retikulosit di darah tepi. Pertama,
cara manual yaitu dengan menghitung retikulosit pada gambaran darah tepi yang
diwarnai dengan pewarna methylene blue. Pewarna ini akan mengendapkan dan
mewarnai RNA sehingga sel retikulosit dapat dikenal diantara sel darah merah
retikulosit dengan sekitar 1000 sel darah merah. Cara lainnya adalah dengan
memakai alat fowcytometer. Cara ini selain untuk menghitung retikulosit juga
Hitung retikulosit dapat berupa persentasi dari sel darah merah, hitung
terkoreksi adalah:
dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. Nilai RPI 3 atau
Moss, 2005). Angka normal eritrosit yang lebih spesifik adalah 0,3-2,5% pada
sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini
dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari.
Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan
hemolitik kronik yang biasanya timbul 5-10 hari setelah episode hemolitik akut.
dengan fungsi sumsum tulang yang masih bagus, termasuk pasien-pasien dengan
perdarahan, anemia hemolitik dan pasien – pasien anemia yang telah berhasil
retikulosit jumlah normal umumnya memiliki anemia yang minimal (Stein dan
Neff, 2001).
yang mengandung satu atom besi dan satu protein globin; struktur globin
gugus prostetik yang terdiri dari atom besi, sedangkan globin adalah protein yang
pada sel darah merah yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung)
terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel
darah merah, melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-
sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin
(Almatsier, 2004).
jaringan tubuh.
Cara Sahli ini belum bisa dikatakan tepat 100% tetapi masih dianggap cukup
Hb cara sahli yaitu hemoglobin oleh asam chlorida (0,1 N) diubah menjadi acid
hematin yang warnanya sawo matang. Dengan air suling warna ini diencerkan
sampai warnanya sama dengan warna standar pada hemometer. Kadar Hb dibaca
pada tabung sahli (tabung pengencer). Tiap hemometer (sahli) terdiri dari alat
pembanding warna, tabung pengencer, pipet darah (20μl), pipet pengencer darah.
Kelemahan dari metode ini adalah kenyataan bahwa kolorimetri visual tidak teliti,
bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak
dapat distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam
Anand dkk (2009) dalam penelitiannya di India dan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Aldridge dkk (2012) di Afrika disimpulkan bahwa HCS tidak
boleh digunakan untuk estimasi hemoglobin yang akurat karena tidak dapat
diterima secara klinis. Berbeda dengan itu, studi lain di Zanzibar oleh Montresor
dkk (2000) dan penelitian di Indonesia oleh Timan dkk (2004) HCS
tahun 2014 menyatakan bahwa skala warna WHO merupakan metode akurat
untuk menyaring anemia selama donor darah (Darshana & Uluwaduge, 2014).
Telah diusulkan bahwa HCS dapat menggantikan metode sulfat tembaga tua
untuk skrining donor darah untuk anemia, serta metode Sahli di pusat kesehatan
bayi antara nol dan empat bulan usia. Hal tersebut merupakan variabilitas antar
membedakan tingkat anemia yang signifikan dan tidak sensitif untuk mendeteksi
sampel darah dan daya listrik untuk spektrofotometer (Srivastava dkk, 2014).
Analisa hematologi otomatis telah ditemukan memiliki ketelitian yang lebih tinggi
laboratorium yang tidak memadai. HemoCue sesuai untuk survei yang dilakukan
anemia ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <13 pada laki-laki dewasa,
<12 pada perempuan dewasa dan <11 pada ibu hamil. Semakin berat derajat
anemia maka akan semakin parah manifestasi dari anemia hemolitik autoimun.
Autoantigen
APC
Eritrosit
Kompleks
Antigen Eritrosit Limfosit B Limfosit T
+ Ig Anti Eritrosit
Ig Anti Eritrosit
Hb
Hemolisis DCT
Retikulosit ↑
3.2. Hipotesis
METODE PENELITIAN
Sampel penelitian bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria ekskulusi.
Kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi
Keterangan :
P = Proporsi populasi
Q = 1-P
orang. Sehingga pada penelitian ini jumlah sampel yang diperlukan adalah 106
orang.
2. Retikulosit
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40
4.4.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Hemoglobin
rekam medik
2. Retikulosit
d. Hasil ukur :%
Penelitian ini menggunakan data sekunder, yakni data rekam medis pasien
Djamil Padang.
Padang. Data yang diambil yaitu seluruh data sekunder pada rekam
gradasi, dan Direct Coombs Test yang positif dalam berbagai gradasi)
diinginkan.
1. Data sekunder pada rekam medik pasien yang didiagnosis sebagai kasus
AIHA pada Januari 2014 -Juni 2016 dikumpulkan dan dihitung untuk
sampel.
diinginkan.
3. Dari data pasien tersebut, dipilih subyek untuk dijadikan sampel sampai
1. Analisis Univariat
(Sastroasmoro, 2011).
HASIL PENELITIAN
dan retikulosit dengan gradasi berdasarkan direct coombs test pada pasien
anemia hemolitik autoimun berdasarkan data rekam medik pasien AIHA yang
dirawat di RSUP dr. M. Djamil Padang pada bulan Januari 2012 sampai Juni
atau 65,1 %. Kelompok umur terbanyak pasien AIHA berada pada pasien
usia ≥ 40 tahun yaitu sebanyak 51 orang atau 45,3 % dan jumlah terkecil
pada kelompok usia < 20 tahun yaitu hanya 14 orang atau 13,2 %. Pada
tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien AIHA memiliki
gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1) yaitu 58 pasien atau 54,7
% dan pasien dengan DCT 4 (+4) didapatkan pada 6 pasien (5,7 %).
diperoleh bahwa sebaran data hemoglobin pada berbagai gradasi DCT (+1,
+2, +3, dan +4) adalah normal (p>0,05). Kemudian dilakukan uji
kelompok data hemoglobin pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan
gradasi DCT dengan menggunakan uji One Way ANOVA dan diperoleh
gradasi Coombs Test pada AIHA diawali dengan dilakukan uji normalitas
sebaran data retikulosit pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan +4)
retikulosit pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan +4) memiliki
Karena syarat uji One Way ANOVA tidak terpenuhi pada data
tidak normal. Karena syarat tidak terpenuhi maka dilakukan uji Kruskal-
ini.
PEMBAHASAN
kelompok umur di atas 40 tahun (45,5%). Data ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Alwar dkk (2010) dengan insiden AIHA tertinggi terdapat
pada usia 21-30 tahun. Sementara itu, menurut Baek dkk (2011) rerata usia pasien
Dari hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar penderita AIHA berjenis
kelamin perempuan yaitu 69 orang (65,1%) dan laki laki sebanyak 37 orang
(34,9%). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Chaudhary dkk (2009) dimana
(76,47%). Pada penelitian ini didapatkan perbandingan kejadian AIHA pada laki-
laki dan perempuan adalah 1:1,5. Sedikit berbeda dengan penelitian menurut
Alwar dkk (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dari 175 kasus,
perbandingan kejadian AIHA adalah 1:2,2 pada laki-laki dan perempuan. Hal ini
terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngo dkk (2014) menyebutkan
Sebagian besar pasien AIHA pada penelitian ini terdiri dari pasien dengan
gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1) yaitu 54,7 % dan paling sedikit
pada pasien dengan DCT positif 4 (+4) yaitu sebanyak 5,7%. Hal tersebut tidak
Chaudhary dkk (2009) yang mendapatkan frekuensi AIHA terbanyak dari hasil
DCT adalah positif 2 (+2) atau sebanyak 53,13%. Selain itu, Ridwan (2014)
positif 2 (+2) sebanyak 33,3% dan jumlah pasien AIHA dengan gradasi DCT
positif 3 (+3) dan positif 4 (+4) sebanyak 16,7%. Akan tetapi penelitian oleh
Chaudhary dan Ridwan juga mendapatkan varian kekuatan DCT pada pasien
AIHA yang berkisar dari positif 1 (+1) hingga positif 4 (+4), yang tidak jauh
eritrosit yang digambarkan dari DCT ini dipengaruhi oleh beberapa hal,
immunoglobulin adalah 2000 molekul per detik, tetapi sel plasma memiliki usia
6,74 ± 2,01 g/dL. Hal ini tidak jauh berbeda dari beberapa penelitian yang pernah
adalah 6,5 ± 2,4 g/dl, sedangkan Bussone dkk (2009) mendapatkan kadar
disebabkan oleh penghancuran eritrosit oleh sistem RES pada lien dan hati serta
melalui lisis intravaskular. Kadar hemoglobin saat pasien AIHA ditemukan dapat
dengan kadar minimum 1,7% dan kadar maksimum 28%. Hal ini sesuai dengan
retikulosit adalah 2,6 %. Alwar dkk (2010) mendapatkan 27 dari 40 pasien AIHA
terjadi peningkatan kadar retikulosit. Pada penelitian oleh Baek dkk (2011)
tingginya proses hemolitik yang terjadi pada AIHA dimana terjadi peningkatan
eritrosit. Keadaan retikulositosis dapat dilihat pada gambaran darah tepi pasien
Sebagian besar pasien AIHA pada penelitian ini terdiri dari pasien dengan
sebagian besar berada pada kelompok anemia berat. Derajat hemolisis dapat
Pada penelitian terhadap 106 data rekam medis pasien AIHA ini ditemukan
adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) nilai rerata kadar hemoglobin pada
bermakna (p <0,05) nilai rerata kadar retikulosit pada berbagai gradasi DCT.
Dalam sebuah penelitian oleh Wheeler dkk (2004), 25 dari 29 pasien AIHA
mengalami hemolisis pada gradasi Combs Test +2 atau lebih. Dari 45 dari 71
pasien AIHA yang tidak mengalami hemolisis memiliki gradasi Coombs Test +1.
Dengan demikian, tampak bahwa semakin tinggi gradasi Coombs Test maka akan
semakin berat derajat hemolisis yang dapat dilihat melalui penurunan kadar
kadar hemoglobin pada berbagai derajat beratnya gradasi DCT dan terdapat
Terdapat keterbatasan pada penelitian ini antara lain penelitian ini tidak
menyebutkan bahwa 70-80% kasus AIHA adalah AIHA tipe hangat, 15-20%
adalah tipe dingin dan kurang dari 10% adalah tipe campuran (Michel, 2011).
Pada penelitian ini, tipe AIHA tidak bisa ditentukan karena data tersebut tidak
terdapat dalam rekam medik, namun data ini bisa diperoleh melalui pemeriksaan
skrining antibodi.
penelitian ini tidak sama banyak untuk masing-masing kelompok gradasi DCT
(+1, +2, +3, dan +4), sehingga tidak bisa ditentukan kelompok gradasi mana yang
hemoglobin.
Pada penelitian ini juga tidak bisa dipastikan penyebab dari AIHA yaitu
AIHA primer, AIHA sekunder dan AIHA pasca infeksi. Hal ini disebakan karena
laboratorium spesifik terhadap penyebab dari AIHA dan data tersebut tidak
PENUTUP
7.1. Kesimpulan
4,17 %.
3. Pasien AIHA dengan gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1)
adalah sebanyak 54,7 %, DCT positif 2 (+2) sebanyak 17%, DCT positif 3
(+3) sebanyak 22,6 %, dan pasien dengan DCT 4 (+4) sebanyak 5,7 %.
7.2 Saran
Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
pp: 132-150.
Baek SW, Lee MW, Ryu HW, Lee KS, Song IC, Lee HJ, et al (2011). Clinical
features and outcomes of autoimmune hemolytic anemia: A retrospective
analysis of 32 cases.Korean J Hematol. 2011 Jun;46(2):111-7
Barcellini W, Zaja F, Zaninoni A, Imperiali FG, Battista ML, Bona ED, Fattizzo
B, et al (2012). Low-dose rituximab in adult patients with idiopathic
autoimmune hemolytic anemia: clinical efficacy and biologic studies.
Blood, 119 (6):3691-3696.
Crowther M, Chan YLT, Garbett IK, Lim W, Vickers MA, Crowther MA (2011).
Evidence-based focused review of treatment of idiopathic warm
immunehemolytic anemia in adult. Blood, 118(15):4036-4040.
Guyton AC, Hall JE (eds) (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11.
Jakarta: EGC, pp: 439-449.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH (2001). Essential hematology. 4th edition.
Oxford: Blackwell Scientific Publications, p:15.
Huh YO, Liu FJ, Rogge K, Chakrabarty L, Lichtiger B (1988). Positive direct
antiglobuline test and high serum immunoglobuline G values. American
Journal Clinical Pathology, 90(2):197-200.
Playfair JHL, Chain BM (2012). At a glance imunologi 9th ed. Editor : Rina
Astikawati. Jakarta : Erlangga.
Stein RS, Neff AT (2001). Hematology board review manual : Immune hemolytic
anemia. Hematology, 1(4): 2-12.
Widayanti S (2008). Analisis kadar hemoglobin pada anak buah kapal PT. Salam
Pacific Indonesia Lines di Belawan tahun 2007. Medan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Zarandona JM, Yazer MH (2006). The role of the coombs test in evaluating
hemolysis in adults. Canadian Medical Association Journal, 174(3): 305.
MASTER TABEL
HASIL SPSS
Frequencies
Statistics
JK
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid L 37 34,9 34,9 34,9
P 69 65,1 65,1 100,0
Total 106 100,0 100,0
Kelompok usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 14 13,2 13,2 13,2
2 25 23,6 23,6 36,8
3 19 17,9 17,9 54,7
4 48 45,3 45,3 100,0
Total 106 100,0 100,0
Kelompok Hb
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 74 69,8 69,8 69,8
2 28 26,4 26,4 96,2
3 4 3,8 3,8 100,0
Total 106 100,0 100,0
DCT
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid +1 58 54,7 54,7 54,7
+2 18 17,0 17,0 71,7
+3 24 22,6 22,6 94,3
+4 6 5,7 5,7 100,0
Total 106 100,0 100,0
Descriptive Statistics
Valid N (listwise)
Oneway
ANOVA
Hb
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 64,551 3 21,517 6,107 ,001
Within Groups 359,369 102 3,523
Total 423,920 105
Descriptives
DCT Statistic Std. Error
Hb +1 Mean 7,2397 ,24197
95% Confidence Interval for Lower Bound 6,7551
Mean Upper Bound 7,7242
5% Trimmed Mean 7,2987
Median 7,7000
Variance 3,396
Std. Deviation 1,84276
Minimum 2,80
Maximum 10,50
Range 7,70
Interquartile Range 2,20
Skewness -,533 ,314
Kurtosis -,257 ,618
+2 Mean 7,1778 ,38903
95% Confidence Interval for Lower Bound 6,3570
Mean Upper Bound 7,9986
5% Trimmed Mean 7,1809
Median 6,8000
Variance 2,724
Std. Deviation 1,65051
Minimum 3,80
Maximum 10,50
Range 6,70
Interquartile Range 2,33
Skewness -,034 ,536
Kurtosis -,056 1,038
+3 Mean 5,3875 ,43640
95% Confidence Interval for Lower Bound 4,4847
Mean Upper Bound 6,2903
5% Trimmed Mean 5,2611
Median 5,4500
Variance 4,571
Std. Deviation 2,13792
Minimum 1,70
Maximum 11,80
Range 10,10
Interquartile Range 1,83
Hb
Stem-and-Leaf Plots
Hb Stem-and-Leaf Plot for
DCT= +1
Frequency Stem & Leaf
2,00 Extremes (=<2,9)
8,00 4 . 03456789
3,00 5 . 008
8,00 6 . 13356789
15,00 7 . 014456677778889
14,00 8 . 00001124677899
6,00 9 . 457899
2,00 10 . 25
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)
Ret
95% Confidence Interval for
Mean
Descriptives
Ret
Minimum Maximum
+1 1,70 28,00
+2 2,00 13,00
+3 1,70 23,30
+4 4,20 21,70
ANOVA
Ret
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 447,455 3 149,152 6,271 ,001
Within Groups 2425,976 102 23,784
Total 2873,431 105
Test Statisticsa,b
Ret
Chi-Square 19,014
df 3
Asymp. Sig. ,000
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 401,500
Wilcoxon W 2112,500
Z -1,473
Asymp. Sig. (2-tailed) ,141
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 362,000
Wilcoxon W 2073,000
Z -3,404
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 42,000
Wilcoxon W 1753,000
Z -3,041
Asymp. Sig. (2-tailed) ,002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,001b
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +2 18 18,11 326,00
+3 24 24,04 577,00
Total 42
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 155,000
Wilcoxon W 326,000
Z -1,551
Asymp. Sig. (2-tailed) ,121
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 16,500
Wilcoxon W 187,500
Z -2,501
Asymp. Sig. (2-tailed) ,012
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,009b
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +3 24 14,46 347,00
+4 6 19,67 118,00
Total 30
Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 47,000
Wilcoxon W 347,000
Z -1,296
Asymp. Sig. (2-tailed) ,195
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,210b
Descriptives
DCT Statistic Std. Error
Ret +1 Mean 4,8417 ,58920
95% Confidence Interval for Lower Bound 3,6619
Extreme Valuesb
DCT Case Number Value
Ret +1 Highest 1 7 28,00
2 103 16,04
3 40 15,20
4 53 12,90
5 38 10,42
Lowest 1 66 1,70
2 17 1,70
3 15 1,73
4 46 1,86
5 101 1,90
+2 Highest 1 64 13,00
2 26 10,10
3 42 8,00
4 51 8,00
5 69 6,90
Lowest 1 95 2,00
2 99 2,14
3 83 2,50
4 78 2,64
5 92 2,68
+3 Highest 1 71 23,30
2 20 21,20
3 105 20,00
4 21 15,80
5 39 15,36
Lowest 1 55 1,70
2 65 2,20
3 77 3,15
4 54 3,50
5 30 4,00a
+4 Highest 1 34 21,70
2 25 14,50
3 98 14,29
Lowest 1 93 4,20
2 9 6,00
3 27 12,00
a. Only a partial list of cases with the value 4,00 are shown in the
table of lower extremes.
b. The requested number of extreme values exceeds the number of
data points. A smaller number of extremes is displayed.
Ret
Stem-and-Leaf Plots
Ret Stem-and-Leaf Plot for
DCT= +1
Frequency Stem & Leaf
5,00 1 . 77789
7,00 2 . 0002223
11,00 2 . 56666778999
12,00 3 . 011112223344
2,00 3 . 56