Anda di halaman 1dari 90

PERBEDAAN RERATA KADAR HEMOGLOBIN DAN

RETIKULOSIT DENGAN GRADASI DIRECT COOMBS TEST


PADA PASIEN ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
sebagai Pemenuhan Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Kedokteran

Oleh

METIKA RAHMASARI I
NO BP 1310312019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2017

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan


Shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian skripsi dengan judul
“Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin dan Retikulosit dengan Gradasi Direct
Coombs Test pada pasien Anemia Hemolitik Autoimun” yang merupakan salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapat banyak bimbingan, masukan


dan nasehat dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. dr. Masrul, Sp.GK, M.Sc selaku Dekan beserta Wakil Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 

2. dr. Rudy Afriant, Sp.PD dan dr. Eka Fithra Elfi, Sp.JP selaku dosen pembimbing
yang telah sabar dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, dan
arahan dalam penyusunan skripsi ini. 

3. dr. Fadrian, Sp.PD, dr. Efrida, Sp.PK, MKes, dan Abdiana, SKM, MEpid selaku
tim penguji skripsi yang telah memberikan masukan serta saran demi
kesempurnaan skripsi ini
4. dr. Aswiyanti Asri, M.Si. Med, Sp.PA selaku Pembimbing Akademik yang telah
memacu semangat penulis untuk menuntut ilmu lebih giat lagi selama masa studi.
5. Seluruh dosen pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 

6. Orang tua dan saudara yang memberikan dukungan moral dan materil.
7. Berbagai pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan proposal penelitian
skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat dan


hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pelayanan rumah sakit, dunia pendidikan, instansi terkait dan
masyarakat luas. Akhir kata, segala saran dan masukan akan penulis terima dengan
senang hati demi kesempurnaan skripsi ini.

Padang, Januari 2017

Metika Rahmasari I

v
ABSTRACT

THE MEAN DIFFERENCES OF HEMOGLOBIN LEVELS AND


RETICULOCYTE LEVELS WITH GRADATION OF DIRECT COOMBS
TEST ON PATIENTS WITH AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA

by
Metika Rahmasari I

Decreased levels of hemoglobin and increased levels of reticulocytes


indicate the presence of hemolysis process on patients with autoimmune
hemolytic anemia (AIHA) while the autoimmune component is indicated through
examination of the Direct Coombs Test (DCT) with gradation +1, +2, +3 and +4
as the result. Previous studies have noted that the higher gradation of DCT, the
greater degree of hemolysis. This study aims to determine the mean differences of
hemoglobin levels and reticulocyte levels with gradation of direct coombs test on
autoimmune hemolytic anemia patients.
This study used cross sectional design in population of patients with newly
diagnosed AIHA. This is an analytic research using secondary datas which is
medical records of 106 patients with AIHA at Dr Dr. M. Djamil Padang from
January 2012 - June 2016 were taken in sequence. The statistical analysis used is
the One-Way ANOVA and Kruskal-Wallis test.
The analysis showed a mean hemoglobin level was 6.74 ± 2.01 g / dl, the
median reticulocyte level was 4,17 (1,7-28) % and was found AIHA patients with
positive gradation DCT 1 (+1) 54.7%, positive DCT 2 (+2) 17%, positive DCT 3
(+3) of 22.6%, and patients with positive DCT 4 (+4) 5.7%. It showed a
significant difference (p<0.05) in each value of differences between the mean
levels of hemoglobin and reticulocytes with various gradations of DCT in patients
with AIHA.
It is concluded that there is a significant relationship between decrease
levels of hemoglobin with the severity of gradation DCT and there is a significant
relationship between increase levels of reticulocytes with the severity of gradation
DCT in patients with AIHA.

Keywords: autoimmune hemolytic anemia, Direct Coombs Test, hemoglobin,


reticulocyte

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas vi


DAFTAR ISI

Halaman
Sampul Dalam i
Pernyataan Orisinalitas ii
Persetujuan Skripsi iii
Pengesahan Penguji iv
Kata Pengantar v
Abstract vi
Abstrak vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Istilah xii
Daftar Lampiran xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4 Manfaat Penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia Hemolitik Autoimun
2.1.1 Definisi 7
2.1.2 Epidemiologi 7
2.1.3 Klasifikasi 8
2.1.4 Etiologi 8
2.1.5 Patogenesis 9
2.1.6 Diagnosis 13
2.1.6.1 Evaluasi tanda hemolisis 15
2.1.6.2 Evaluasi laboratorium untuk temuan autoimun 18
2.1.7 Penatalaksanaan 22
2.2 Retikulosit
2.2.1 Definisi 28
2.2.2 Eritropoiesis 28
2.2.3 Pemeriksaan Retikulosit 31
2.2.4 Kadar Retikulosit Normal 32
2.2.5 Retikulosit pada Anemia Hemolitik Autoimun 32
2.3 Hemoglobin
2.3.1 Definisi Hemoglobin 34
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas viii
2.3.2 Fungsi Hemoglobin 34
2.3.3 Pemeriksaan Hemoglobin 35
2.3.4 Kriteria Anemia berdasarkan Kadar Hemoglobin 37
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 38
3.2 Hipotesis Penelitian 38
BAB 4 METODELOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian 39
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 39
4.3 Populasi dan Sampel Peneltian
4.3.1 Populasi Penelitian 39
4.3.2 Sampel Penelitian 39
4.3.3 Besar Sampel 40
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel 40
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian 40
4.4.2 Defnisi Operasional Variabel Penelitian 41
4.5 Instrumen Penelitian 42
4.6 Prosedur Pengambilan Data 42
4.7 Pengolahan Data dan Analisis Data
4.7.1 Pengolahan Data 43
4.7.2 Analisis Data 43
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Data Penelitian 44
5.2 Analisis dan Hasil Penelitian
5.2.1 Analisis Univariat 44
5.2.2 Analisis Bivariat 45
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Umum Subyek Penelitian 48
6.2 Kadar Hemogloin dan Retikulosit pada Anemia 49
Hemolitik Autoimun
6.3 Keterbatasan Penelitian 51
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan 53
7.2 Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
LAMPIRAN 60

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ix


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi autoimmune hemolytic anemia (AIHA 8
Tabel 2.2 Tes pada AIHA dan hasilnya 17
Tabel 2.3 Kriteria untuk grading aglutinasi dalam tabung reaksi DCT 21
Tabel 2.4 Terapi AIHA tipe hangat 23
Tabel 2.5 Terapi AIHA tipe dingin 28
Tabel 2.6 Faktor koreksi hitung RPI 32
Tabel 2.7 Kriteria Anemia berdasarkan WHO 37
Tabel 5.1 Karakteristik umum subyek penelitian 44
Tabel 5.2 Hubungan perbedaan rerata kadar hemoglobin terhadap 47
gradasi DCT
Tabel 5.3 Hubungan perbedaan rerata kadar retikulosit terhadap gradasi 47
DCT

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas x


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya AIHA 10
Gambar 2.2 Direct Coombs Test 19
Gambar 2.3 Algoritma terapi AIHA tipe hangat 26
Gambar 2.4 Hemopoiesis 29
Gambar 2.5 Eritropoiesis 30
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin 38
dan Retikulosit dengan Gradasi DCT pada pasien AIHA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas xi


DAFTAR SINGKATAN

AHG : Antihuman globulin


AIHA : Autoimmune hemolytic anemia
ATP : Adenosin trifosfat
CBC : Complete blood count
CFU : Colony forming units erytrocyte
C : Complement
DAT : Direct antiglobulin test
DCT : Direct coombs test
G6PD : Glukosa 6 phosphat dehidrogenase
Hb : Hemoglobin
HCS : Hemoglobin Color Scale
HIV : Human immunodeficiency virus
HLA : Human Leucocyte Antigen
IAT : Indirect antiglobulin test
ICT : Indirect coombs test
Ig : Imunoglobulin
IgG : Imunoglobulin G
IgM : Imunoglobulin M
IVIG : Intravena Imunoglobulin
LDH : Laktat dehidrogenase
MAC : Membrane Attack Complex
NADPH : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
OPSI : Overwhelming post-splenectomy infection
PHSC : Pluripotent hematopoietic stem cell
PNH : Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
PPI : Proton-pump inhibitor
RES : Reticuloednotelial system
RNA : Ribonucleid acid
RPI : Retivulocyte production index
SST : Sum-sum tulang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas xii


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Master Tabel


Lampiran 2. Hasil SPSS

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas xiii


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi

autoimun. AIHA termasuk penyakit yang jarang, namun merupakan penyakit

yang sangat penting karena bisa menyebabkan kematian (De Loughery, 2013).

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden

anemia di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari

semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun,

dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar

antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit

AIHA (Zanella dan Barcellini, 2014; Michel, 2011).

Menurut cara terjadinya, AIHA dibagi menjadi AIHA primer atau

idiopatik dan AIHA yang didasari oleh penyakit lain yang disebut sebagai AIHA

sekunder. Kejadian AIHA sekunder lebih sering dibandingkan dengan AIHA

primer. AIHA bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering terjadi pada

individu setengah baya dan lebih tua (Michel, 2014).

Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan menjadi AIHA

tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe campuran. Sekitar 70% kasus

AIHA adalah tipe hangat. AIHA tipe hangat terjadi akibat eritrosit yang dilapisi

oleh molekul IgG mengalami reaksi autoantibodi sel dan difagositosis oleh

makrofag secara optimal pada suhu 370C. AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


oleh molekul IgM pada suhu rendah yaitu 00 - 40C dan mengaktifkan sistem

komplemen pada permukaan eritrosit sehingga menyebabkan terjadinya lisis

intravaskular (De Loughery, 2013; Park, 2016).

Banyak kasus AIHA yang dianggap sebagai idiopatik, meskipun begitu

penyebab potensial harus selalu diselidiki. AIHA tipe hangat maupun tipe dingin

bisa terjadi akibat adanya gangguan limfoploriferatif seperti leukemia limfositik

kronis dan limfoma non hodgkin. Penggunaan obat-obatan seperti

metildopa,ibuprofen dan obat-obatan lainnya bisa menginduksi produksi antibodi

yang dapat menyebabkan reaksi autoantibodi. AIHA tipe hangat juga dikaitkan

dengan penyakit autoimun lainnya seperti lupus eritematosus sistemik. AIHA tipe

dingin sering dikaitkan dengan kejadian infeksi bakteri terutama Mycoplasma

pneumoniae. Selain itu, infeksi virus seperti HIV dapat menginduksi terjadinya

AIHA tipe hangat dan tipe dingin (Gehrs dan Friedberg, 2002; Dhaliwal dan

Tierney, 2004).

Diagnosis AIHA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan Direct Coombs Test (DCT). Gejala

klinis AIHA dapat berupa sesak napas dan fatigue akibat terjadinya anemia.

Kadang – kadang ditemukan urin yang pekat dan nyeri punggung terutama pada

pasien AIHA dengan hemolisis intravaskular. ikterik terjadi pada 40% pasien

AIHA. Pada AIHA primer sering ditemukan adanya splenomegali, hepatomegali

dan limfadenopati (Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014).

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dan retikulositosis.

Penghancuran sel darah merah ditandai dengan terjadinya peningkatan bilirubin

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


tidak terkonjugasi, peningkatan LDH dan penurunan kadar haptoglobin.

Pemeriksaan sediaan apusan darah tepi harus dilakukan pada setiap kejadian

anemia untuk mengevaluasi tipe dari anemia tersebut. Pada AIHA ditemukan

eritrosit dengan morfologi normositik normokrom dan tanda hemolitik berupa

eritrosit berinti dan sel target. Pada AIHA dengan hemolisis intravaskular yang

parah ditemukan hemoglobinuria yang menyebabkan urin berwarna merah

kecoklatan (Zulfiqar dkk, 2015).

World Health Organization menyatakan bahwa diagnosis anemia

ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <13 gr/dl pada laki-laki dewasa, <12

gr/dl pada perempuan dewasa dan <11 gr/dl pada ibu hamil. Anemia dinyatakan

berat apabila Hb < 8 gr/dl, sedang apabila Hb 8-10 gr/dl, dan ringan apabila Hb

10-12 gr/dl (WHO, 2011).

Hemolisis dapat terjadi akibat gangguan herediter dan didapat. Penyebab

destruksi dini dari eritrosit sangat beragam. Destruksi eritrosit dapat disebabkan

oleh kondisi seperti cacat intrinsik membran, hemoglobin abnormal, cacat

enzimatik eritrosit, cedera mekanik, dan hipersplenisme. Hemolisis mungkin

terjadi secara ekstravaskuler atau intravaskular. Anemia hemolitik autoimun dan

sferositosis herediter adalah contoh hemolisis ekstravaskuler karena sel-sel darah

merah yang hancur dalam limpa dan jaringan retikuloendotelial lainnya.

Hemolisis intravaskular terjadi pada anemia hemolitik akibat katup jantung

buatan, kekurangan Dehidrogenase glukosa-6-fosfat (G6PD), transfusi darah

ABO yang tidak sesuai dan paroksismal nokturnal hemoglobinuria (PNH) (Stein

dan Neff, 2001).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


Terdapat beberapa parameter yang menandakan adanya proses hemolitik,

diantaranya adalah retikulosit. Normalnya retikulosit adalah 0,5-1,5 %. Semakin

tingginya jumlah retikulosit menandakan banyaknya eritrosit yang mengalami

hemolisis. Retikulositosis juga terjadi pada keadaan perdarahan dan pasien dengan

terapi besi (Prabhu dkk,2016).

Diagnosis pasti AIHA ditegakkan dengan pemeriksaan Direct Coombs

Test (DCT). Hasil DCT menunjukkan gradasi beratnya AIHA berupa +1, +2, +3

dan +4. Gradasi anemia ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin, sedangkan

gradasi hemolitik ditentukan berdasarkan kadar retikulosit dan gradasi proses

autoimun ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan DCT (De loughery, 2013;

Zarandona dan Yazer, 2006).

Chaudhary dkk melakukan suatu penelitian untuk melihat korelasi antara

kuantitas imunoglobulin G (IgG) dengan reaktivitas tes antiglobulin (direct

antiglobulin test/DAT) pada AIHA tipe hangat. Hasilnya didapatkan korelasi

yang signifikan antara konsentrasi IgG dengan kekuatan DAT, kadar Hb, bilirubin

serum, dan LDH serum. Jumlah molekul IgG per eritrosit juga berkorelasi secara

signifikan dengan kekuatan DAT (Chaudhary dkk, 2009).

Berdasarkan penelitian di Padang oleh Ridwan (2014), ditemukan adanya

ketidaksesuaian antara gradasi Direct Coombs Test dengan beratnya derajat

anemia pada pasien AIHA. Dari 30 orang pasien, ditemukan 15 orang pasien

dengan DCT positif 1 (+1) namun 7 diantaranya termasuk ke dalam kriteria

anemia berat dan 10 orang pasien dengan DCT positif 2 (+2) namun 2 diantaranya

termasuk ke dalam kriteria anemia berat (Ridwan, 2014).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Berdasakan uraian diatas, penulis ingin mengetahui perbedaan rerata kadar

hemoglobin dan retikulosit dengan berbagai gradasi Direct Coombs Test pada

pasien anemia hemolitik autoimun.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbedaan rerata kadar hemoglobin dengan gradasi DCT pada

pasien AIHA?

2. Bagaimana perbedaan rerata kadar retikulosit dengan gradasi DCT pada

pasien AIHA?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan rerata kadar hemoglobin dan retikulosit

dengan gradasi Direct Coombs Test pada anemia hemolitik autoimun di

bagian Penyakit Dalam RSUP M.Djamil Padang

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui rerata kadar hemoglobin pada AIHA.

2. Mengetahui kadar retikulosit pada AIHA.

3. Mengetahui gambaran gradasi DCT pada pasien AIHA.

4. Mengetahui perbedaan rerata kadar hemoglobin dengan gradasi DCT

pada pasien AIHA.

5. Mengetahui perbedaan rerata kadar retikulosit dengan gradasi DCT

pada pasien AIHA.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai

hubungan kadar hemoglobin dan retikulosit dengan gradasi Direct Coombs

Test pada Anemia Hemolitik Autoimun.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan

tatalaksana yang komprehensif pada Anemia Hemolitik Autoimun.

3. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian

selanjutnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anemia Hemolitik Autoimun

2.1.1 Definisi

Anemia hemolitik autoimun atau autoimmune hemolytic anemia (AIHA)

merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap eritrosit yang

menyebabkan eritrosit mudah lisis sehingga umur eritrosit menjadi pendek yaitu

kurang dari 120 hari (Taroeno-Hariadi dan Pardjono,2014). Anemia hemolitik

autoimun dimediasi oleh imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin (Ig) G yang

menyebabkan anemia hemolitik autoimun tipe hangat karena antibodi IgG

berikatan baik pada suhu tubuh (370C). Anemia hemolitik autoimun tipe dingin

dimediasi oleh antibodi IgM yang mana berikatan baik maksimal pada suhu

dibawah 370C. AIHA adalah penyakit yang jarang namun penting pada penyakit

hematologi karena penyakit ini dapat menyebabkan kematian dalam waktu

singkat (De Loughery, 2013).

2.1.2 Epidemiologi

Insiden AIHA diperkirakan 3 kasus per 100.000 orang penduduk di dunia.

(Lechner dan Jager, 2013). Kejadian tahunan AIHA di Amerika utara dan Eropa

Barat diperkirakan 1/35.000 – 1/80.000. Autoantibodi hangat menyebabkan 70-

80% kasus, autoantibodi dingin terjadi pada 15-20% dari kasus, tipe campuran

terjadi pada kurang dari 10% dari kasus (Michel, 2011). Kejadian tahunan drug-

induced AIHA diperkirakan 1/1.000.000 orang (Grigoriadi dkk, 2013).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Pada anak-anak umumnya terjadi pada usia <5 tahun dan lebih sering pada

laki-laki. Pada dewasa umumnya terjadi pada usia ≥65 tahun dan lebih sering

pada perempuan (Michel, 2011).

2.1.3 Klasifikasi

Anemia hemolitik autoimun dikelompokkan berdasarkan suhu optimal

untuk aktivasi autoantibodi dalam mengikat eritrosit. AIHA disebut tipe hangat

jika antibodi yang mengikat eritrosit teraktivasi pada suhu tubuh (37 0C), tipe

dingin jika antibodi teraktivasi pada suhu dibawah 37 0C, sedangkan tipe

campuran jika antibodi teraktivasi baik pada suhu tubuh maupun di bawah suhu

tubuh. AIHA juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan. AIHA dapat

terjadi primer atau idiopatik, dimana terjadinya AIHA tanpa adanya penyakit yang

mendasarinya sedangkan AIHA sekunder merupakan AIHA yang berhubungan

dengan penyakit yang mendasarinya (Packman, 2015; Park, 2016).

Tabel 2.1 Klasifikasi autoimmune hemolytic anemia (AIHA)


1. AIHA tipe hangat • Primer
• Sekunder:
- Sistemik Lupus Eritematosus
- Leukemia Limfositik Kronik
2. AIHA tipe dingin Post Infeksi: Mycoplasma, Virus Epstein-Barr,
citomegalovirus.
Penyakit limfoproliferatif
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
3. AIHA tipe campuran Idiopatik
Sekunder (Penyakit limfoproliferatif, penyakit
autoimun)
4. Drug Induced
Sumber : Packman, 2015
2.1.4 Etiologi

Penyebab pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan

terjadi gangguan central tolerance dan gangguan pada proses pembatasan limfosit

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


autoreaktif residual (Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014). Hubungan antara

AIHA dengan gangguan limfoproliferatif dan neoplasma lainnya menunjukkan

disfungsi umum dari sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh memiliki

banyak titik kontrol yang menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mentolerir

antigennya sendiri dan kebutuhan untuk merespons dengan tepat terhadap antigen

asing (Gehrs dan Friedberg, 2002).

Kekebalan toleransi self-antigen terjadi secara terpusat dengan

pembangunan limfosit prekursor melalui penghancuran klonal atau klonal anergi,

dan di perifer dengan sel T dan B matur melalui down-regulation dari respons

imun. Terganggunya setiap proses ini dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit

autoimun. Proses autoimun yang kurang umum juga ada. Contohnya, penyakit

autoimun yang dapat timbul adalah tiruan sel B ganas, tetapi autoantibodi eritrosit

umumnya bersifat poliklonal. Berdasarkan studi dengan gangguan autoimun

lainnya, seperti ankylosingspondylitis dan multiple sclerosis, kedua faktor genetik

dan lingkungan mungkin memainkan peran dalam produksi autoantibodi eritrosit

(Gehrs dan Friedberg, 2002).

Sekitar 53% penyakit AIHA adalah penyakit sekunder akibat virus,

penyakit autoimun lain, keganasan atau karena obat obatan dan selain itu, 37%

lainnya merupakan penyakit primer atau idiopatik. Sedangkan 10% lainnya adalah

penyakit AIHA pasca infeksi (Lim, 2012; Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014).

2.1.5 Patogenesis

Anemia hemolitik autoimun pada dasarnya terjadi karena gangguan

toleransi sentral (central tolerance) dan perifer (peripheral tolerance) sel T yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


mengakibatkan sel T menjadi autoreaktif. Adanya autoantigen, faktor genetik dan

faktor lingkungan menjadi pengaruh dalam inisiasi respons imun (Friedberg dkk,

2013). Contoh yang menjadi autoantigen pada AIHA adalah autoantigen RhD.

Faktor genetik yang berperan pada penyakit autoimun berhubungan dengan gen

HLA. Faktor lingkungan juga sangat berperan untuk terjadinya AIHA seperti

mikroba, virus, hormon, radiasi UV, obat dan agen bahan lain seperti dapat

memicu autoimunitas (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya AIHA


Sumber : Friedberg dkk, 2013

Terdapat dua mekanisme terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskular

merupakan penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dengan pelepasan isi

sel ke dalam plasma. Trauma mekanik yang berasal dari endotel yang rusak, agen

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


infeksius, fiksasi komplemen, dan aktivasi pada permukaan sel dapat

menyebabkan degradasi membran langsung dan kerusakan sel. Hemolisis

ekstravaskuler adalah penghapusan dan penghancuran sel darah merah dengan

perubahan membran oleh makrofag yang berasal dari limpa dan hati. Darah yang

ada dalam sirkulasi disaring terus menerus melalui jaringan limpa yang

berdinding tipis ke dalam sinusoid limpa, yaitu sebuah labirin seperti spons

makrofag dengan proses dendritik yang panjang. Sel darah merah 8-mikron yang

normal dapat merusak dirinya sendiri dan melewati bukaan 3-mikron dalam

jaringan limpa. Sel-sel darah merah dengan perubahan struktural permukaan

membran (termasuk antibodi) tidak dapat melintasi jaringan ini sehingga nanti

akan difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag (Dhaliwal dan Tierney, 2004).

Hemolisis intravaskular berawal dari aktivasi sistem komplemen yang

menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit sehingga terjadi hemolisis

intravaskular. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik atau jalur

alternatif. Antibodi yang berperan mengaktifkan jalur-jalur ini adalah IgM, IgG1,

IgG2, dan IgG3. IgM disebut sebagai antibodi yang berperan dalam aglutinasi tipe

dingin, dikarenakan antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada

permukaan eritrosit pada suhu di bawah suhu tubuh (37 0C). IgG disebut sebagai

antibodi yang berperan dalam aglutinasi tipe hangat karena bereaksi dengan

antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh (Taroeno - Hariadi dan Pardjono,

2014).

Aktivasi jalur klasik diawali dengan aktivasi C1, suatu protein yang

dikenal sebagai recognition unit akan membentuk sebuah kompleks. Kompleks

ini akan menyisip ke dalam membran sel eritrosit sebagai suatu aluran

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan

ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur. Aktivasi jalur

alternatif akan mengaktifkan C3 dan akan menjadi C3b. Selanjutnya, C3b akan

mengaktifkan C5b dan akan bergabung dengan komplemen lainnya sehingga

membentuk membran attack complex (MAC) yang berperan dalam penghancuran

membran eritrosit (Gehrs dan Friedberg, 2002; Taroeno - Hariadi dan Pardjono,

2014).

Pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin

bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin

sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-

haptoglobin akan dibersihkan oleh reticuloendotelial system (RES) dalam

beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin sudah mencapai batas maksimal,

maka akan ditemukan hemoglobin bebas di dalam plasma. Hemoglobin bebas

akan keluar melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin

dalam tubulus ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam

bentuk hemosiderin. Epitel dapat mengalami deskuamasi sehingga hemosiderin

dibuang melalui urin (hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis

intravaskular kronik. Pemecahan eritrosit intravaskular akan melepaskan banyak

LDH yang terdapat dalam eritrosit sehingga LDH serum akan meningkat (Bakta,

2003).

Hemolisis ekstravaskular diawali dengan sel darah yang tersensitisasi oleh

IgG yang berikatan atau tidak berikatan dengan komplemen dan akan dihancurkan

oleh sistem retikuloendotelial jika tidak terjadi proses aktivasi komplemen lebih

lanjut (Taroeno-Hariadi dan Pardjono, 2014). Hemolisis terjadi pada sel makrofag

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


dari sistem RES terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang. Lisis terjadi karena

kerusakan membran misalnya karena reaksi antigen-antibodi pada AIHA (Bakta,

2003).

Pemecahan eritrosit akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke

protein pool, dan besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi)

selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas

CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi

bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan mengalami konjugasi dalam hati menjadi

bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga meningkatkan

sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam urin. Sebagian hemoglobin

akan lepas ke plasma dan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga

menurun (Bakta, 2003; Beutler dkk, 2010).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis AIHA ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis AIHA dapat berupa sesak napas dan

fatigue akibat terjadinya anemia. Pada beberapa keadaan dapat ditemukan urin

yang pekat dan nyeri punggung terutama pada pasien AIHA dengan hemolisis

intravaskular. Ikterik terjadi pada 40% pasien AIHA. Pada AIHA primer sering

ditemukan adanya splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati (Bakta, 2003).

Pada beberapa pasien terdapat gejala dan tanda anemia untuk menandakan

adanya hemolisis. Gejala umum anemia akan timbul jika hemoglobin turun <8

g/dl. Makin besar penurunan kadar hemoglobin maka semakin berat gejala yang

timbul dan selain itu, beratnya gejala juga ditentukan oleh kecepatan penurunan

kadar hemoglobin. Pada anemia hemolitik akut umumnya gejala lebih mencolok

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


dibandingkan pada anemia hemolitik kronik karena penurunan hemoglobin terjadi

lebih cepat. Pada pasien yang lebih tua gejala timbul lebih awal karena penurunan

toleransi terhadap keadaan anemia, terutama apabila terjadi penurunan mendadak

dari hitung jenis eritrosit (Bakta,2003; WHO,2011).

Pada anemia hemolitik kronik dapat timbul gejala klinik berupa ikterus,

splenomegali atau hepatomegali. Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin

indirek dalam darah sehingga ikterus bersifat acholuric jaundice bahwa dalam

urin tidak dijumpai bilirubin dan biasanya ikterus bersifat ringan. Splenomegali

hampir selalu dijumpai, umumnya dengan derajat ringan sampai sedang, tetapi

kadang-kadang dapat besar sekali. Hepatomegali lebih jarang dijumpai

dibandingkan splenomegali karena makrofag dalam limpa lebih aktif

dibandingkan makrofag pada hati (Bakta, 2003; Neff, 2003).

Gambaran klinis di AIHA pada tipe hangat, dapat berkisar dari

peningkatan minimal hemolisis tanpa perubahan klinis yang signifikan hingga

hemolisis fulminan fatal. Terdapat onset lambat terhadap kelemahan, kelelahan,

dan dispneu saat aktivitas umum. Pada pasien usia lanjut yang sudah tidak dapat

mentoleransi anemia, dapat terjadi angina dan infark usus. Jika gangguan

limfoproliferatif yang mendasari tidak ada, splenomegali biasanya lebih

diperhatikan, dan limfadenopati kadang-kadang dapat dilihat. Urin pekat

ditemukan apada 40% pasien. Kehadiran adenopati dan splenomegali dalam

hubungan dengan AIHA harus mengarah pada pertimbangan leukemia limfositik

kronis atau limfoma. Selain itu, karena banyak kasus AIHA adalah terkait obat,

riwayat penggunaan obat baru-baru ini (termasuk resep, over-the-counter, dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


obat-obatan terlarang) harus diperoleh (Stein dan Neff, 2001; Tareono – Hariadi

dan Pardjono, 2014).

Dalam kasus AIHA tipe dingin, gambaran klinis umumnya berupa anemia

hemolitik kronis dengan eksaserbasi terjadi selama musim dingin. Hemolisis

fulminan jarang terjadi, gejala yang muncul hanya berupa anemia ringan dengan

kadar hemoglobin 9-12 g / dL. Akrosianosis dapat terjadi dari aglutinasi dari sel-

sel di tangan, hidung, kaki, atau telinga. Sebuah penampilan berbintik-bintik pada

tungkai juga dapat muncul. Seperti yang terjadi pada AIHA tipe hangat,

splenomegali juga dapat ditemukan. Bila ditemukan kelainan selain splenomegali,

penyebab untuk limfoma dan hemolisis tipe dingin terkait infeksi Mononucleasis

harus ditelusuri. AIHA tipe dingin lebih sering terjadi pada orang tua, sedangkan

pasien muda sering mengalami AIHA dingin post-infeksi, yaitu setelah infeksi

mikoplasma atau Mononukleosis infeksiosa (Stein dan Neff, 2001).

Terdapat 2 langkah untuk menegakkan diagnosis AIHA ini yaitu evaluasi

tanda hemolisis dan proses autoimun.

2.1.6.1. Evaluasi tanda hemolisis

Pemeriksaan darah tepi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Dari

pemeriksaan tersebut dapat ditemukan gambaran polikromasi, sferosit dan sel

target. Sferosit merupakan salah satu ciri khusus AIHA. Sfreosit terbentuk akibat

adanya antibodi dan/atau komplemen yang menempel pada permukaan eritrosit

sehingga eritrosit diambil oleh makrofag di limpa, mengakibatkan beberapa

membran sel darah merah didestruksi sehingga mengurangi luas permukaan sel

(Gehrs dan Friedberg, 2002; De Loughery, 2013).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


Saat sel darah merah hemolisis maka akan keluar beberapa produk yang

terutama terdiri dari hemoglobin dan juga ditemukan termasuk enzim Laktat

Dehidrogenase (LDH) dengan konsentrasi yang tinggi pada sel darah merah.

Sebagian besar pasien dengan hemolisis akan terjadi peningkatan kadar LDH.

Peningkatan LDH memiliki sensitivitas yang baik, namun tidak spesifik untuk

keadaan hemolisis karena LDH dapat meningkat pada penyakit hati dan

pneumonia (Packman, 2015)

Hemoglobin terbentuk dari haptoglobin dan bagian heme yang pertama

kali pecah menjadi bilirubin dan menjadi urobilinogen yang diekskresikan melalui

urin. Bilirubin diproduksi dari pemecahan heme yang tidak terkonjugasi. Pada

keadaan hemolisis, konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin I) akan

meningkat, sedangkan pada penyakit hati obstruktif bilirubin terkonjugasi

(bilirubin II) yang meningkat. Peningkatan kadar bilirubin tergantung dari

kecepatan pembentukan dan kecepatan eskresinya di hati. Sehingga bila terdapat

penyakit hati dengan peningkatan bilirubin direk maka tes bilirubin tidak

signifikan (Bakta, 2003, De Loughery, 2013).

Haptoglobin mengikat hemoglobin serum bebas dan akan dimetabolisme

oleh hati. Rentang normal haptoglobin pada orang dewasa adalah 30-200 mg/dL.

Haptoglobin biasanya sangat rendah pada keadaan hemolisis. Hal yang akan

merancukan adalah bahwa haptoglobin merupakan reaktan fase akut dan bisa

meningkat pada keadaan penyakit sistemik atau inflamasi. Pada pasien dengan

penyakit hati lanjut juga dapat ditemukan kadar haptoglobin yang rendah karena

berkurangnya sintesis haptoglobin (Wilczynski, 2014; Packman, 2015).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


Saat hemoglobin diekskresikan melalui urin, besi akan terdeposit di dalam

tubulus. Ketika sel tubulus terkelupas, maka besi akan tampak pada urin. Besi

pada urin dapat menjadi tanda lain dari keadaan hemolisis. Hemosiderinuria

merupakan tanda lanjut dari hemolisis yang membutuhkan waktu 1 minggu

dengan jumlah yang sesuai untuk bisa terdeteksi pada urin (De loughery, 2013).

Salah satu dari tanda hemolisis adalah ditemukannya hemoglobin pada urin.

Cara cepat untuk menilai hemoglobinuria adalah melalui pemeriksaan urin dengan

menggunakan dipstik yang diikuti pemeriksaan mikroskopik. Pada keadaan

hemolisis, dipstik akan mendeteksi darah, meskipun pada pemeriksaan

mikroskopik tidak ditemukan sel darah merah (De loughery, 2013, Packman,

2015).

Tabel 2.2 Tes pada AIHA dan hasilnya

Test Hasil pada AIHA


Direct Coombs Test(DCT) Positif;
- IgG ± C3 pada AIHA tipe hangat
- C3 pada antibodi tipe dingin
Haptoglobulin Menurun
Biliribin indirek Meningkat
Lactat Dehidrogenase (LDH) Meningkat
Hitung retikulosit Meningkat
Hemosiderin urin Positif
Sumber : DeLoughery, 2013

Pada pemeriksaan SST ditemukan hiperplasia eritroid yang nyata.

Pemeriksaan ini bersifat kualitatif dan sangat subjektif. Rasio myeolid : eritroid

menurun di bawah 1,5 selain itu juga ditemukan terdapatnya peningkatan limfosit

atau sel plasma yang menunjukkan adanya suatu kelainan limfoproliferatif atau

suatu penyakit kolagen yang mendasari terjadinya suatu AIHA (Gehrs dan

Friedberg, 2002; Bakta, 2003).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


Pada keadaan hemolisis, proses penghancuran sel darah merah

berhubungan dengan peningkatan retikulosit. Retikulosit adalah sel darah merah

yang masih memiliki RNA dan merupakan marker dari sel darah merah yang

bertahan selama kurang dari 24 jam. Secara sederhana, retikulosit diukur secara

manual pada pemeriksaan darah tepi dan menghitung persentase sel yang

menyerap pewarnaan; persentase ini harus disesuaikan dengan kadar hematokrit.

Biasanya persentase di atas 1,5% diindikasikan sebagai peningkatan jumlah

retikulosit (De loughery, 2013).

Sekarang ini mesin hitung darah lengkap automatis lebih diuntungkan

dengan penyerapan pewarnaan oleh retikulosit. Mesin ini langsung dapat

mengukur jumlah retikulosit melalui flow cytometry, yang menghasilkan sebuah

htung retikulosit absolut. Hitung retikulosit diperoleh dengan menggunakan

metode ini tidak harus untuk mengoreksi ulang hematokrit. Jumlah retikulosit

juga dapat meningkat pada keadaan kehilangan darah atau pada pasien yang

memiliki penyebab lain dari anemia (misalnya, kekurangan zat besi) dalam

pengobatan. Selain itu, sebanyak 25% pasien dengan AIHA tidak mengalami

peningkatan hitung retikulosit karena berbagai alasan, seperti kekurangan gizi,

penghancuran autoimun prekursor sel darah merah atau kurangnya eritropoitin

(De loughery, 2013).

2.1.6.2. Evaluasi laboratorium untuk temuan autoimun

Komponen autoimun ditunjukkan dengan ditemukannya molekul

imunoglobulin antieritrosit permukaan eritrosit atau pada serum pasien. Hal ini

dapat dilakukan dengan melakukan uji antiglobulin langsung / Direct Antiglobulin

Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Direct Coombs Test (DCT). DCT dapat

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


mendeteksi 100-500 molekul IgG per eritrosit dan 400-1100 molekul C3d per

eritrosit (Zeerleder, 2011).

Pemeriksaan tes antiglobulin pertama kali ditemukan oleh Coomb pada

tahun 1945, dan selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan Coombs test.

Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi adanya eritrosit yang diselubungi

oleh antibodi pada permukaannya (De loughery, 2013).

Gambar 2.2 Direct Coombs Test


Sumber : Zarandona dan Yazer, 2006

IgG yang terikat pada eritrosit tidak akan menyebabkan aglutinasi, tetapi

jika ditambahkan reagen antihuman globulin (AHG)/ reagen Coomb yang secara

langsung melawan IgG atau terdapat C3 akan terjadi aglutinasi eritrosit. Hal ini

membuktikan bahwa terdapat IgG dan atau C3 pada membran eritrosit. Hasil

pemeriksaan DCT yang positif pada anemia hemolitik merupakan diagnostik dari

AIHA. Harus diperhatikan jika terdapat secara bersamaan hasil DCT positif lemah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


dan penyebab hemolisis lainnya. Hasil DCT yang kuat dan derajat hemolitik harus

sesuai untuk menyimpulkan suatu keadaan hemolisis yang dimediasi imun

(Zarandona dan Yazer, 2006; Zeerleder, 2011).

DCT berguna untuk membedakan hemolisis yang dimediasi oleh imun

dari hemolisis yang disebabkan faktor lain. Penting bahwa sejumlah besar pasien

memiliki hasil DCT positif tanpa umur eritrosit yang memendek; hasil DCT

positif tanpa bukti hemolisis dilaporkan terjadi pada 1: 1-14 000 donor darah

sehat dan 1% -15% dari pasien di rumah sakit (Zarandona dan Yazer, 2006).

Indirect Antiglobulin Test (IAT)/ indirect Coombs test (ICT) digunakan

untuk mendeteksi adanya antibodi IgG pada serum pasien (sensitisasi in vitro).

Reagen yang terdiri dari eritrosit diinkubasi pada serum yang diduga mengandung

antibodi antiaeritrosit. Jika pada serum tersebut terdapat antibodi, maka antibodi

tersebut akan terikat dengan eritrosit pada reagen. Setelah periode inkubasi,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan DCT (Zarandona dan Yazer, 2006).

Sebagian besar antibodi antieritrosit tipe hangat yang bersikulasi oada

darah pasien terikat pada eritrosit pasien dan terdeteksi dengan pemeriksaan DCT.

Autoantibodi yang tidak terikat pada eritrosit juga dapat dideteksi pada plasma

pasien dengan pemeriksaan Indirect Coomb Test (ICT). Jumlah autoantibodi pada

plasma bergantung kepada jumlah antibodi keseluruhan dan afinitas antibodi

tersebut pada antigen eritrosit. Pasien dengan ICT positif pada autoantibodi tipe

hangat juga harus memiliki DCT yang positif. Pasien dengan ICT positif tetapi

dengan DCT negatif tidak mengalami proses autoimun, tetapi mungkin terjadi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


proses aloantibodi akibat transfusi darah sebelumnya atau transfer dari eritrosit

fetal ke maternal selama kehamilan (Packman, 2008).

Kekuatan hasil DCT dan derajat hemolisis harus sesuai untuk dapat

menyimpulkan bahwa hemolisis yang terjadi adalah dimediasi oleh imun

(Zeerleder,2011). Huh dkk (1988) menyatakan dalam penelitiannya bahwa

terdapat korelasi yang signifikan antara hasil DCT yang positif dengan kadar

imunoglobulin darah dan semakin tinggi peningkatan IgG serum, semakin sering

ditemukan hasil DCT positif (Huh dkk, 1988). Zarandona dan Yazer (2006) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa lebih dari 95% dari AIHA tipe hangat

ditemukan hasil DCT yang positif. Terdeteksinya imunoglobulin dan komplemen

pada permukaan eritrosit dengan hanya IgG yang terdeteksi sebanyak 20-66%,

dengan kedua IgG dan C3 terdeteksi sebanyak 24-63%, dan dengan hanya C3

terdeteksi sebanyak 7-14% (Zarandona dan Yazer, 2006).

Tabel 2.3 Kriteria untuk grading aglutinasi dalam tabung reaksi DCT
4+ satu aglutinasi pada DCT, tidak ada sel-sel bebas
3+ beberapa aglutinasi besar, beberapa sel bebas
2+ aglutinasi menengah dengan sedikit berawan
1+ aglutinasi kecil dengan sedikit berawan
Sumber : Barnes BC, Hertenstein, 2015

Ada beberapa kelemahan dari DCT. Pertama adalah ditemukannya DCT

positif 1:1000 pasien pada populasi normal dan meningkat pada beberapa persen

pasien seperti peningkatan gamma globulin, pasien dengan penyakit hati, dan

infeksi HIV (Packman, 2008). Pemberian imunoglubulin intravena (IVIG) juga

bisa menimbulkan DCT positif. Wheeler dkk (2004) dalam suatu penelitian

terhadap 100 pasien yang memiliki antibodi yang reaktif pada suhu hangat,

mendapatkan 29 pasien menderita anemia hemolitik autoimun. Dari penderita

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


AIHA ini didapatkan 86% dengan DCT positif 2 (+2) atau lebih untuk IgG, dan

72% dengan DCT reaktif untuk C3. Sedangkan dari 71 pasien tanpa AIHA,

terdapat 63% pasien dengan DCT hanya positif 1 (+) atau kurang untuk IgG. Dari

penelitian ini disimpulkan bahwa kekuatan DCT pasien untuk IgG dan C3

berhubungan dengan terdapat atau tidaknya suatu hemolisis pada pasien tersebut

(Zarandona dan Yazer, 2006).

2.1.7 Penatalaksanaan AIHA

Penatalaksanaan AIHA tergantung kepada beratnya derajat hemolisis.

Pengobatan lini pertama AIHA adalah dengan menggunakan kortikosteroid, dan

sebagai terapi lini kedua adalah dengan menggunakan imunosupresan lain aau

dilakukan tindakan splenektomi. Pada AIHA sekunder, harus dilakukan pencarian

pada faktor yang mendasari terjadinya penyakit yang memerlukan terapi khusus,

seperti penyakit jaringan ikat dan penyakit limfoproliferatif (Crowther dkk, 2011).

Tindakan darurat harus dilakukan untuk mengatasi syok dan

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit terutama pada hemolisis

intravaskular akut, dimana bisa terjadi syok dan gagal ginjal sehingga juga harus

dilakukan perbaikan pada fungsi ginjal. Pada anemia berat, pertimbangan

transfusi darah harus dilakukan secara sangat hati-hati. Setelah dilakukan

crossmatching, hemolisis tetap dapat terjadi sehingga memperberat fungsi organ

lebih lanjut. Akan tetapi, jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan lain selain

transfusi. Penentuan antibodi spesifik dan tipe genotipe golongan darah harus

dilakukan terlebih dahulu. Darah yang cocok untuk sistem ABO dan sistem Rh

harus di-crossmatch dengan darah penderita sehingga hasil yang paling cocok

dapat diberikan (Lechner dan Jager, 2010).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


Terapi AIHA tipe hangat terdiri dari terapi inisial dan terapi pada kejadian

relaps dan refrakter. Target terapi dari AIHA tipe hangat susah untuk ditetapkan.

Sebagian besar orang menyetujui bahwa target hematokrit diatas 30% untuk

mencegah gejala dan peningkatan retikulosit minimal yang menggambarkan

proses hemolisis lambat bisa menjadi alasan yang dapat diterima (De Loughery,

2013).

Manajemen inisial dari AIHA tipe hangat yang direkomendasikan berupa

prednisone dosis standar 1 mg/kg perhari per oral atau metilprednisolon intravena.

Dosis inisial ini diberikan sampai kadar hematokrit lebih dari 30% atau kadar

hemoglobin lebih dari 10 g/dl. Jika kondisi ini tidak tercapai dalam waktu 3

minggu maka terapi lini kedua dapat diberikan, dikarenakan efek samping dapat

timbul pada pemberian jangka panjang (Lechner dan Jager, 2010).

Tabel 2.4 Terapi AIHA tipe hangat


Lini pertama Prednison 1 mg/kg/hari
Asam folat 1 mg/hari
Lini kedua Rituximab 375 mg/m2 setiap minggu selama 4 minggu
atau
Splenektomi
Lini ketiga Azatioprin 125 mg/hari
Siklofosfamid 50 mg/kgBB/hari selama 4 hari
Mikofenolat mofetil 500-1000 mg 2 kali sehari
Siklosforin
Danazol 200 mg 4 kali sehari
Alemtuzumab
Sumber : De Loughery, 2013

Bila target terapi sudah tercapai, dosis kortikosteroid dapat diturunkan

secara bertahap (2,5-5 mg/hari per bulan) dengan monitoring dari kadar

hemoglobin dan retikulosit. Efek samping dari Pemberian steroid dapat

diturunkan dengan cara alternating day. Jika pasien mengalami remisi dalam 3-4

bulan dengan dosis 5 mg/hari, maka penghentian steroid dapat dipertimbangkan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


Diperkirakan 80% dari pasien respons terhadap steroid, tetapi hanya 30% yang

bisa tappering off secara penuh (Lechner dan Jager, 2010; De Loughery, 2013).

Bifosfonat, vitamin D, dan osteocal harus diberikan saat awal terapi pada

semua pasien dengan terapi steroid untuk mencegah efek samping. Proton-pump

Inhibitor (PPI) juga harus dipertimbangkan pemberiannya untuk mencegah ulkus.

Ini dapat diberikan selama 3 minggu untuk pasien yang respons terhadap terapi.

Asam folat juga dapat diberikan karena hemolisis yang aktif menyebabkan

peningkatan kebutuhan asam folat. Asam folat sering diberikan dengan dosis 1

mg perhari untuk mencegah anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat.

Pemberian steroid meningkatkan risiko infeksi pada pasien diabetes sehingga gula

darah pasien juga harus dimonitor secara ketat (Lechner dan Jager, 2010).

Pada pasien yang tidak bisa diberikan steroid atau gagal terapi steroid,

dilakukan pengobatan lini kedua. Lechner dan Jager (2010) mengklasifikasikan

pasien dalam 3 kategori: (1) pasien yang refrakter terhadap steroid awal dan

membutuhkan lebih dari 15 mg per hari prednisolon sebagai dosis pemeliharaan

dan pemeriksaan DCT mutlak untuk terapi lini ke dua; (2) pasien yang

membutuhkan antara 15 mg dan 0,1mg/kg/hari prednisolon harus didorong untuk

melanjutkan ke pengobatan lini kedua; sedangkan (3) pasien dengan kebutuhan

prednisolon 0,1mg/kg/hari atau kurang dapat diberikan prednisolon dosis rendah

jangka panjang (Lechner dan Jager, 2010).

Sekarang terdapat dua terapi utama untuk lini kedua, diantaranya

splenektomi atau rituximab (anti-CD20) serta terapi lainnya berupa

immunomodulator dan terapi plasma (Crowther dkk, 2011). Splenektomi

merupakan terapi klasik AIHA tipe hangat. Dilaporkan respons terapi 50% sampai

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


80% dengan angka remisi 50% sampai 60%. Pada pasien dengan risiko pra-bedah

yang rendah, terdapat kecenderungan refrakter atau tidak respons dengan steroid

dosis tinggi sehingga splenektomi harus segera dilakukan. Splenektomi dapat

ditunda atau dicoba terapi lain terlebih dahulu pada pasien yang mendapat steroid

dosis rendah atau memiliki faktor risiko medis yang rendah untuk dilakukan

tindakan bedah. Splenektomi pada umumnya dilakukan melalui laparaskopi. Insisi

kecil dilakukan untuk penyembuhan luka yang cepat dan laparaskopi

memperlihatkan visualisasi yang lebih baik pada abdomen untuk mencari dan

mengangkat lien serta aksesorisnya (Lechner dan Jager, 2010; Crowther dkk,

2011).

Komplikasi serius yang perlu diperhatikan pasca splenektomi adalah

overwhelming post-splenectomy infection (OPSI). Pada orang dewasa, lien

memiliki peran yang minimal dalam imunitas tubuh kecuali untuk memproteksi

dari organisme berkapsul seperti Pneumococcus. Pasien pasca splenektomi yang

terinfeksi oleh organisme berkapsul seperti Pneumococcus akan berkembang

menjadi sepsis hebat dalam hitungan jam. Organisme terbanyak yang

menyebabkan sepsis pada pasien pasca splenektomi adalah Streptococcus

pneumoniae dilaporkan lebih dari 50% kasus. Neisseria meningitidis dan

Haemophilus influenzae juga dilaporkan pada beberapa kasus (Rodeghiero dan

Ruggeri, 2012).

Antibodi monoklonal juga yang dapat diberikan sebagai terapi AIHA,

yaitu anti-CD20 (rituximab) dan anti-CD52 (alemtuzumab). Terapi rituximab

adalah pilihan terapi lain untuk pasien yang tidak mengalami remisi terhadap

terapi steroid (Liu dan Gu, 2013). Pada laporan kasus penggunaan rituximab

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


dinyatakan respons terapi sekitar 50%-80% dengan 50% diantaranya respons

komplit. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah sebagian besar respons

terhadap rituximab dalam hitungan bulan, oleh karena itu respons yang cepat tidak

bisa diprediksi. Banyak studi memakai dosis tradisional yaitu dengan dosis 375

mg/m2 per minggu selama 4 minggu (Morgan dan Tomich, 2012).

Gambar 2.3. Algoritma terapi AIHA tipe hangat


Sumber : Zanella dan Barcellini, 2014

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Studi yang mengevaluasi penggunaan rituximab dosis rendah per minggu

selama 4 minggu melaporkan bahwa terdapat respons terapi sebesar 100% dan

respons selama 2 tahun sebesar 80%, namun studi lebih lanjut sangat dibutuhkan

untuk penggunaan dosis ini. Efek samping mayor dari rituximab berupa reaksi

infus yang sering terjadi pada dosis awal. Reaksi ini dapat dikontrol dengan

pemberian anti histamin atau steroid (Barcellini dkk, 2012).

Terapi pada AIHA tipe dingin masih sulit (tabel 2.5). Hal ini dikarenakan

sebagian pasien AIHA primer memiliki penyakit dasar seperti penyakit

limfoproliperatif. Pilihan terapi saat ini pada AIHA tipe dingin adalah rituximab

(Berentsen dkk, 2011).

Terdapat respons pada 45% sampai 75% pasien, tetapi hampir selalu

mengalami respons parsial dan dibutuhkan terapi ulangan (Lechner dan Jager,

2010). Sebagaimana pada penyakit hematologi autoimun lainnya, akan terjadi

respons yang lambat dengan rentang waktu 2 minggu sampai 4 bulan. Berentsen

dkk meneliti kombinasi rituximab dan fludarabin pada AIHA tipe dingin

(Berentsen, 2011). Angka keberhasilan terapi sebesar 75%, dengan 21% respons

komplit, tetapi juga terdapat 41% insiden toksisitas. Walaupun lebih bersifat

toksik, kombinasi ini dapat dipertimbangkan pada penyakit yang agresif. Pada

kasus lain juga ditemukan respons yang baik pada pemberian bortezomib

(Berentsen dkk 2011, Carson dkk, 2010).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


Tabel 2.5 Terapi AIHA tipe dingin
Lini pertama Rituximab 375 mg/m2 per minggu selama 4 minggu
Asam folat 1mg/hari
Pertahankan pasien dalam keadaan hangat
Lini kedua Rituximab 375 mg/m2 hari 1, 29, 57, 85
dengan
Fludarabine 40 mg/m2 peroral hari 1-5, 29-34, 57-61, dan
85-89
Lini ketiga Bortezomib
Eculizumab
Sumber: Berentsen dkk, 2011

Penatalaksanaan pada AIHA tipe campuran memiliki respons yang baik

pada terapi AIHA tipe hangat. Pasien pada umumnya respons terhadap steroid dan

imunosupresan lain dan splenektomi dilaporkan sukses. Pengobatan pada penyakit

dasar sangat dibutuhkan untuk mengoptimalisasi terapi (Gehrs dan Frienberg,

2002).

2.2 Retikulosit

2.2.1 Definisi Retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda dan tidak berinti.

Retikulosit berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang yang

akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam

sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit (Suega, 2010).

2.2.2 Eritropoiesis

Pembentukan sel darah merah berasal dari sum-sum tulang. Sel tersebut

disebut sebagai Pluripotent Hematopoietic Stem Cell (PHSC) yang merupakan

asal dari berbagai sel darah. Sebagian besar sel tersebut akan bereproduksi dan

berdiferensiasi membentuk commited stem cells. Suatu commited stem cells yang

menghasilkan eritrosit disebut sebagai Colony Forming Units Erythrocyte (CFU –

E) (Guyton, 2006).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


Gambar 2.4 Hemopoiesis
Sumber : Guyton, 2006

Sel pertama yang terbentuk dari bagian rangkaian sel darah merah adalah

proeritroblas, kemudian proeritroblas akan membelah sehingga membentuk

eritroblas basofil yang dapat dipulas dengan zat warna basa dimana masih sangat

sedikit terdapar hemoglobin. Pada tahap selanjutnya, sel tersebut sudah dipenuhi

oleh hemoglobin dan nukleus memadat menjadi kecil sehingga sisa akhirnya

didorong keluar dari sel dan selanjutnya terbentuklah retikulosit. Retikulosit

berjalan dari sum-sum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara

diapedesis. Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


menghilang dalam 1-2 hari dan sel kemudian menjadi eritrosit matur (Guyton,

2006).

Gambar 2.5 Eritropoiesis


Sumber : Guyton, 2006

Eritrosit membawa hemoglobin didalam sirkulasi. Eritrosit berbentuk

cakram bikonkaf dengan diameter 7 μm (Bakta, 2003). Eritrosit harus dapat

secara berulang melewati mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 μm

sehingga dapat mengangkut hemoglobin agar sampai ke jaringan, untuk

pertukaran gas, untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi

(ferro), dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi

protein (hemoglobin) tinggi dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa

hidup eritrosit yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


memenuhi fungsi tersebut, eritrosit yang bersifat fleksibel meimiliki kemampuan

menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur glikolisis

anaerob (Embden-meyerhof) dan menghasilkan kekuatan pereduksi sebagai

NADH. Melalui jalur pintas heksosa monofosfat, eritrosit berperan sebagai

nikotinamida adenine dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) (Hoffbrand, Pettit,

Moss, 2005).

2.2.3 Pemeriksaan Retikulosit

Sejak tahun 1940 sampai awal 1980 pemeriksaan retikulosit seluruhnya

ditentukan dengan pemeriksaan mikroskop pada hapusan darah tepi, dimana

retikulosit diwarnai dengan pewarna supravital walaupun metode ini relatif tidak

akurat, lambat dan lebih merepotkan. Sejak tahun 80an mulai dikembangkan

pemeriksaan yang lebih canggih, lebih cepat, lebih akurat yaitu flowcytometer

yang menggunakan pewarna yang berfloresensi spesifik dengan RNA (Suega,

2010).

Hitung retikulosit merupakan komponen esensial dari pemeriksaan darah

lengkap (CBC = Complete Blood Count) dan berperan penting pada klasifikasi

jenis anemia. Ada dua cara untuk menghitung retikulosit di darah tepi. Pertama,

cara manual yaitu dengan menghitung retikulosit pada gambaran darah tepi yang

diwarnai dengan pewarna methylene blue. Pewarna ini akan mengendapkan dan

mewarnai RNA sehingga sel retikulosit dapat dikenal diantara sel darah merah

matang lainnya dan retikulosit dihitung dengan membandingkan jumlah

retikulosit dengan sekitar 1000 sel darah merah. Cara lainnya adalah dengan

memakai alat fowcytometer. Cara ini selain untuk menghitung retikulosit juga

dapat digunakan untuk mengenali tingkat pematangan retikulosit yaitu dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


melihat jumlah kandungan RNA dari sel tersebut. Makin banyak jumlah RNA

maka makin muda sel retikulosit itu (Suega, 2010).

Hitung retikulosit dapat berupa persentasi dari sel darah merah, hitung

retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi atau Reticulocyte

Production Index (RPI). Faktor yang memengaruhi hitung retikulosit terkoreksi

adalah adanya pelepasan retikulosit prematur di sirkulasi pada penderita anemia.

Perhitungan hitung retikulosit dengan koreksi untuk retikulosit imatur disebut

reticulocyte production index (RPI) (Oehadian, 2012). Rumus hitung retikulosit

terkoreksi adalah:

Tabel 2.6 Faktor koreksi hitung RPI


Hematokrit penderia (%) Faktor Koreksi
45 – 40 1,0
35 – 39 1,5
25 – 34 2,0
15 – 24 2,5
<15 3,0
Sumber : Oehadian, 2012

Nilai RPI di bawah 2 merupakan indikasi adanya kegagalan sumsum tulang

dalam produksi sel darah merah atau anemia hipoproliferatif. Nilai RPI 3 atau

lebih merupakan indikasi adanya hiperproliferasi sumsum tulang atau respons

yang adekuat terhadap anemia (Oehadian, 2012).

2.2.4 Kadar Retikulosit Normal

Jumlah normal retikulosit dalam darah adalah 0,5-1,5 % (Hoffbrand, Pettit,

Moss, 2005). Angka normal eritrosit yang lebih spesifik adalah 0,3-2,5% pada

pria dan 0,8-4,1 % pada wanita (Bakta, 2003).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


2.2.5 Retikulosit pada Anemia Hemolitik Autoimun

Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan

sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini

dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari.

Hal ini terutama terjadi pada anemia berat yang menyebabkan peningkatan

eritropoiesis (Oehadian, 2012).

Tanda – tanda peningkatan eritropoiesis terutama dijumpai pada anemia

hemolitik kronik yang biasanya timbul 5-10 hari setelah episode hemolitik akut.

Salah satu tanda peningkatan eritropoiesis adalah munculnya retikulositosis atau

peningkatan jumlah retikulosit di dalam darah (Bakta, 2003).

Retikulositosis secara normal akan terjadi pada pasien-pasien anemia

dengan fungsi sumsum tulang yang masih bagus, termasuk pasien-pasien dengan

perdarahan, anemia hemolitik dan pasien – pasien anemia yang telah berhasil

diterapi (Suega, 2010).

Pada anemia hemolitik auto imun, peningkatan eritropoiesis terjadi akibat

memendeknya umur eritrosit yang menyebabkan peningkatan retikulosit (eritrosit

muda) didalam darah (Bakta, 2003). Peningkatan jumlah retikulosit menyebabkan

semakin parahnya anemia hemolitik. Pasien dengan anemia hemolitik dan

retikulosit jumlah normal umumnya memiliki anemia yang minimal (Stein dan

Neff, 2001).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


2.3 Hemoglobin

2.3.1 Definisi Hemoglobin

Hemoglobin merupakan protein konjugasi dengan berat molekul 64.400

yang mengandung satu atom besi dan satu protein globin; struktur globin

dibangun oleh empat rantai polipeptida (Kumar, 2013).

Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin. Heme adalah

gugus prostetik yang terdiri dari atom besi, sedangkan globin adalah protein yang

dipecah menjadi asam amino. Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen

pada sel darah merah yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung)

terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel

darah merah, melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-

jaringan (Pearce, 2009).

2.3.2. Fungsi Hemoglobin

Hemoglobin di dalam darah adalah untuk membawa oksigen dari paru-

paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari

seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Mioglobin berperan

sebagai reservoir oksigen : menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam

sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin

(Almatsier, 2004).

Menurut Depkes RI adapun fungsi hemoglobin antara lain :

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-

jaringan tubuh.

2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-

jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil

metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah

seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan

pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal

berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008).

2.3.3 Pemeriksaan Hemoglobin

Penilaian hemoglobin adalah langkah pertama dalam menyelidiki anemia.

Ketika laboratorium tidak tersedia, anemia didiagnosis berdasarkan gejala klinis.

Banyak cara-cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai hemoglobin

(Hb). Diantaranya adalah teknik Sahli, HCS (Haemoglobin Color Scale),

Cyanmethemoglobin, dan lain lain.

Cara sahli paling banyak dipakai di Indonesia dengan kesalahan ± 10%.

Cara Sahli ini belum bisa dikatakan tepat 100% tetapi masih dianggap cukup

sensitif untuk mengetahui mengukur kekurangan Hb (darah). Prinsip pemeriksaan

Hb cara sahli yaitu hemoglobin oleh asam chlorida (0,1 N) diubah menjadi acid

hematin yang warnanya sawo matang. Dengan air suling warna ini diencerkan

sampai warnanya sama dengan warna standar pada hemometer. Kadar Hb dibaca

pada tabung sahli (tabung pengencer). Tiap hemometer (sahli) terdiri dari alat

pembanding warna, tabung pengencer, pipet darah (20μl), pipet pengencer darah.

Kelemahan dari metode ini adalah kenyataan bahwa kolorimetri visual tidak teliti,

bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak

dapat distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam

hemoglobin diubah menjadi hematin asam, misalnya karboxyhemoglobin,

methemoglobin dan sulfhemoglobin (Gandasoebrata, 2007)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


Menurut WHO, HCS (Haemoglobin Color Scale) memiliki sensitivitas dan

spesifisitas 95% dan 99,5% masing-masingnya. Berbeda dari yang dipaparkan

Anand dkk (2009) dalam penelitiannya di India dan sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Aldridge dkk (2012) di Afrika disimpulkan bahwa HCS tidak

boleh digunakan untuk estimasi hemoglobin yang akurat karena tidak dapat

diterima secara klinis. Berbeda dengan itu, studi lain di Zanzibar oleh Montresor

dkk (2000) dan penelitian di Indonesia oleh Timan dkk (2004) HCS

direkomendasikan untuk menilai hemoglobin. Sebuah studi baru-baru ini pada

tahun 2014 menyatakan bahwa skala warna WHO merupakan metode akurat

untuk menyaring anemia selama donor darah (Darshana & Uluwaduge, 2014).

Telah diusulkan bahwa HCS dapat menggantikan metode sulfat tembaga tua

untuk skrining donor darah untuk anemia, serta metode Sahli di pusat kesehatan

masyarakat (Puskesmas) dan cukup akurat dalam memperkirakan tingkat Hb pada

bayi antara nol dan empat bulan usia. Hal tersebut merupakan variabilitas antar

pengamat dimana terdapat keterbatasan dari HCS karena hanya dapat

membedakan tingkat anemia yang signifikan dan tidak sensitif untuk mendeteksi

perubahan hemoglobin kurang dari 1g / dl (Timan dkk, 2004; Lewis &

Emmanuel, 2001; van Rheenen & de Moor,2007).

Sebuah penelitian di donor darah telah menemukan sensitivitas dan

spesifisitas Cyanmethemoglobin lebih rendah dari HemoCue (Akhtar dkk, 2008;

Sari dkk, 2001). Cyanmethemoglobin adalah standar emas namun penggunaannya

dalam survei di daerah terpencil terbatas karena memerlukan pengenceran akurat

sampel darah dan daya listrik untuk spektrofotometer (Srivastava dkk, 2014).

Analisa hematologi otomatis telah ditemukan memiliki ketelitian yang lebih tinggi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


dari HemoCue (Adam dkk, 2012). Tapi alat ini sangat mahal dan tidak dapat

digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan di daerah pedesaan karena kebutuhan

laboratorium yang tidak memadai. HemoCue sesuai untuk survei yang dilakukan

di daerah yang luas karena memungkinkan untuk skrining anemia di daerah

terpencil tanpa fasilitas laboratorium yang memadai (Srivastava dkk, 2014).

2.3.4 Kriteria Anemia berdasarkan kadar Hemoglobin

World Health Organization, WHO (2011) menyatakan bahwa diagnosis

anemia ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <13 pada laki-laki dewasa,

<12 pada perempuan dewasa dan <11 pada ibu hamil. Semakin berat derajat

anemia maka akan semakin parah manifestasi dari anemia hemolitik autoimun.

Tabel 2.7 Kriteria Anemia berdasarkan WHO


Populasi Tidak Anemia Anemia
(Hb dalam gr/dL) (Hb dalam gr/dL)
Ringan Sedang Berat
Anak (6- 59 bulan) 11 10 - 10,9 7 - 9,9 <7
Anak (5-11 tahun) 11,5 11 - 11,4 8 - 10,9 <8
Anak (12-14 tahun) 12 11 - 11,9 8 - 10,9 <8
Perempuan tidak hamil 12 11 - 11,9 8 - 10,9 <8
( ≥15 tahun)
Perempuan hamil 11 10 - 10,9 7 - 9,9 <7
Laki–laki ( ≥15tahun) 13 11 - 12,9 8 - 10,9 <8
Sumber: WHO, 2011

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konseptual

Anemia Hemolitik Autoimun

Autoantigen
APC
Eritrosit

Kompleks
Antigen Eritrosit Limfosit B Limfosit T
+ Ig Anti Eritrosit

Ig Anti Eritrosit

Hb

Hemolisis DCT

Retikulosit ↑

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin dan


Retikulosit dengan Gradasi DCT pada pasien AIHA

3.2. Hipotesis

1. Terdapat perbedaan rerata kadar hemoglobin dengan peningkatan gradasi

DCT pada pasien AIHA .

2. Terdapat perbedaan rerata kadar retikulosit dengan peningkatan gradasi

DCT pada pasien AIHA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan peneltian analitik dengan desain potong lintang

retrospektif dengan mengambil data sekunder rekam medik, untuk melihat

hubungan kadar hemoglobin dan retikulosit dengan gradasi Anemia Hemolitik

Autoimun berdasarkan Direct Coombs Test di RSUP.Dr.M.Djamil Padang.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil

Padang. Pelaksanaan penelitian dimulai dari penyusunan proposal yaitu bulan

Februari 2016. Pengambilan data dilakukan setelah proposal disetujui dengan

mengambil data bulan Januari 2012 – Juni 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis AIHA di RSUP

Dr. M. Djamil Padang pada Januari 2012 sampai Juni 2016.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

kriteria ekskulusi.

Kriteria inklusi dan eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kriteria inklusi

a. Data rekam medik yang lengkap

b. Pasien yang baru didiagnosis AIHA


c. Usia > 12 tahun

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


2. Kriteria eksklusi

a. Sedang dalam terapi besi

b. Sedang dalam terapi imunosupresan

c. Pernah menerima transfusi darah dalam tiga bulan terakhir

4.3.3 Besar Sampel

Besar sampel ditetapkan dengan rumus :

Keterangan :

n = Besar sampel penelitian

Zα = Tingkat kemaknaan (α=0,05, Zα=1,960)

P = Proporsi populasi

Q = 1-P

d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki

Dengan menggunakan rumus di atas didapatkan jumlah sampel sebesar 96

orang. Sehingga pada penelitian ini jumlah sampel yang diperlukan adalah 106

orang.

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non probability sampling

dengan cara purposive sampling. (Sastroasmoro,2010)

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Independen : Gradasi direct coombs test (DCT)

2. Variabel dependen : 1. Hemoglobin

2. Retikulosit
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40
4.4.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Hemoglobin

a. Definisi : senyawa pembawa oksigen dalam darah dan kaya

akan zat besi yang hasilnya diperoleh dari data

rekam medik

b. Alat ukur : Rekam medik

c. Cara ukur : Observasi data rekam medik

d. Hasil ukur : g/dl

e. Skala ukur : Rasio (Febianty, 2013)

2. Retikulosit

a. Definisi : eritrosit muda yang tidak berinti yang akan masuk

ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih

selama 24 jam sebelum matang menjadi eritrosit

yang hasilnya diperoleh dari data rekam medik

b. Alat ukur : Rekam medik

c. Cara Ukur : Observasi data rekam medik

d. Hasil ukur :%

e. Skala ukur : Rasio (Suega, 2010)

3. Gradasi Direct Coombs Test

a. Definisi : pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi

adanya antibodi pada permukaan eritrosit dan anti-

ab eritrosit dalam serum

b. Cara ukur : berdasarkan reaksi antigen-antibodi pada Direct

Coombs Test (DCT) data rekam medik

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


c. Alat ukur : Rekam medik

d. Hasil ukur : berdasarkan gradasi aglutinasi

- Positif 1 (+1) : aglutinasi kecil dengan sedikit berawan

- Positif 2 (+2) : aglutinasi menengah dengan sedikit berawan

- Positif 3 (+3) : beberapa aglutinasi besar, beberapa sel bebas

- Positif 4 (+4) : satu aglutinasi, tidak ada sel-sel bebas

e. Skala ukur : Ordinal (Zarandona dan Yazer, 2006).

4.5 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yakni data rekam medis pasien

yang diidagnosis anemia hemolitik auotimun di RSUP dr. M. Djamil Padang.

4.6 Prosedur Pengambilan Data

1. Permohonan izin untuk pengambilan data rekam medik di RSUP Dr. M.

Djamil Padang.

2. Data diminta ke sub bagian Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil

Padang. Data yang diambil yaitu seluruh data sekunder pada rekam

medik pasien yang didiagnosis sebagai kasus AIHA (anemia dalam

berbagai gradasi, normositik normokrom, retikulositosis dalam berbagai

gradasi, dan Direct Coombs Test yang positif dalam berbagai gradasi)

pada Januari 2014-Juni 2016.

3. Data pasien AIHA yang didapatkan kemudian diseleksi berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan sampel yang

diinginkan.

4. Masukkan identitas (Nama, Jenis Kelamin dan Umur), keterangan

kadar hemoglobin, retikulosit dan hasil DCT ke dalam tabel

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42


5. Lakukan pengolahan dan analisis data

4.7 Pengolahan Data dan Analisis Data

4.7.1 Pengolahan Data

Langkah – langkah pengolahan data yang dilakukan adalah:

1. Data sekunder pada rekam medik pasien yang didiagnosis sebagai kasus

AIHA pada Januari 2014 -Juni 2016 dikumpulkan dan dihitung untuk

mendapatkan jumlah subyek dalam populasi yang akan dijadikan

sampel.

2. Data pasien AIHA yang didapatkan kemudian diseleksi berdasarkan

kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan sampel yang

diinginkan.

3. Dari data pasien tersebut, dipilih subyek untuk dijadikan sampel sampai

memenuhi jumlah sampel minimal yaitu 106 sampel.

4. Data yang diadapatkan kemudian diperiksa kembali

5. Data tersebut dimasukan ke dalam program komputer SPSS untuk

pengolahan dan analisis data statistik.

4.7.2 Analisis Data

Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan komputer program

SPSS (Stastitical Product and Service Solution) versi 21.0.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui karakteristik pasien AIHA

pada berbagai gradasi Coombs Test.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 43


2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan kadar

hemoglobin dan retikulosit dengan gradasi Coombs Test pada AIHA

yang dilakukan dengan ANOVA yang merupakan uji parametrik

(Sastroasmoro, 2011).

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 44


BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Data Penelitian

Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan rerata kadar hemoglobin

dan retikulosit dengan gradasi berdasarkan direct coombs test pada pasien

anemia hemolitik autoimun berdasarkan data rekam medik pasien AIHA yang

dirawat di RSUP dr. M. Djamil Padang pada bulan Januari 2012 sampai Juni

2016. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan analitik dan desain cross

sectional dengan jumlah sampel sebanyak 106 kasus.

5.2. Analisis dan Hasil Penelitian

5.2.1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel yang diteliti. Karakteristik demografi dan klinis

subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Karakteristik Demografi dan Klinis Subyek Penelitian


Karakteristik N % Rerata ± SD
Jenis Kelamin
- Laki – Laki 37 34,9
- Perempuan 69 65,1
Umur
- < 20 tahun 14 13,2
- 20-29 tahun 25 23,6
- 30-39 tahun 19 17,9
- ≥ 40 tahun 48 45,3
DCT
- +1 58 54,7
- +2 18 17,0
- +3 24 22,6
- +4 6 5,7

Hb (g/dL) 6,7 ± 2,0

Retikulosit (%) 6,1 ± 5,2

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


Berdasarkan tabel 5.1 di atas dapat dilihat bahwa dari 106 pasien

AIHA sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 69 pasien

atau 65,1 %. Kelompok umur terbanyak pasien AIHA berada pada pasien

usia ≥ 40 tahun yaitu sebanyak 51 orang atau 45,3 % dan jumlah terkecil

pada kelompok usia < 20 tahun yaitu hanya 14 orang atau 13,2 %. Pada

tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar pasien AIHA memiliki

gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1) yaitu 58 pasien atau 54,7

% dan pasien dengan DCT 4 (+4) didapatkan pada 6 pasien (5,7 %).

5.2.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan kadar

hemoglobin dengan gradasi Coombs Test pada AIHA. Pertama, dilakukan

uji normalitas data dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test,

diperoleh bahwa sebaran data hemoglobin pada berbagai gradasi DCT (+1,

+2, +3, dan +4) adalah normal (p>0,05). Kemudian dilakukan uji

homogenitas data dengan menggunakan Levene Test, diperoleh bahwa

kelompok data hemoglobin pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan

+4) memiliki varian yang sama (p>0,05).

Pengujian selanjutnya adalah untuk menguji apakah terdapat

perbedaan yang bermakna nilai rerata kadar hemoglobin pada berbagai

gradasi DCT dengan menggunakan uji One Way ANOVA dan diperoleh

perbedaan yang bermakna (p <0,05). Sesuai dengan tabel di bawah ini.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 46


Tabel 5.2 Perbedaan rerata kadar hemoglobin terhadap gradasi DCT
DCT Hb (g/dl) p
Mean±SD
+1 7,24±1,84
+2 7,18±1,65
0,01
+3 5,39±2,14
+4 6,07±1,69

Analisis bivariat untuk melihat hubungan kadar retikulosit dengan

gradasi Coombs Test pada AIHA diawali dengan dilakukan uji normalitas

data dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test, diperoleh bahwa

sebaran data retikulosit pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan +4)

adalah tidak normal (p<0,05). Kemudian dilakukan uji homogenitas data

menggunakan Levene Test yang diperoleh bahwa kelompok data

retikulosit pada berbagai gradasi DCT (+1, +2, +3, dan +4) memiliki

varian yang tidak sama (p>0,05).

Karena syarat uji One Way ANOVA tidak terpenuhi pada data

retikulosit, maka dilakukan transformasi data dan didapatkan sebaran data

tidak normal. Karena syarat tidak terpenuhi maka dilakukan uji Kruskal-

Wallis dengan kesimpulan setidaknya terdapat perbedaan rerata jumlah

retikulosit antara dua kelompok (p<0,05). Sesuai dengan tabel di bawah

ini.

Tabel 5.3. Perbedaan rerata kadar retikulosit terhadap gradasi DCT


DCT Ret (%) p
Median (min-max)
+1 3,2 (1,7-28)
+2 4,4 (2,0-13,0)
<0,01
+3 5,8 (1,7-23,3)
+4 13,1 (4,2-21,7)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 47


BAB 6

PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Subyek Penelitian

Penelitian terhadap 106 data rekam medis pasien AIHA menunjukkan

bahwa distribusi terbanyak pasien anemia hemolitik autoimun berada pada

kelompok umur di atas 40 tahun (45,5%). Data ini berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Alwar dkk (2010) dengan insiden AIHA tertinggi terdapat

pada usia 21-30 tahun. Sementara itu, menurut Baek dkk (2011) rerata usia pasien

AIHA adalah 48 tahun yang sesuai dengan penelitian ini.

Dari hasil penelitian ini didapatkan sebagian besar penderita AIHA berjenis

kelamin perempuan yaitu 69 orang (65,1%) dan laki laki sebanyak 37 orang

(34,9%). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Chaudhary dkk (2009) dimana

didapatkan sebagian besar pasien yang menderita AIHA adalah perempuan

(76,47%). Pada penelitian ini didapatkan perbandingan kejadian AIHA pada laki-

laki dan perempuan adalah 1:1,5. Sedikit berbeda dengan penelitian menurut

Alwar dkk (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dari 175 kasus,

perbandingan kejadian AIHA adalah 1:2,2 pada laki-laki dan perempuan. Hal ini

terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Ngo dkk (2014) menyebutkan

bahwa terdapat perbedaan gender pada penyakit autoimun. Jenis kelamin

perempuan ditemukan lebih rentan terhadap penyakit autoimun.

Sebagian besar pasien AIHA pada penelitian ini terdiri dari pasien dengan

gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1) yaitu 54,7 % dan paling sedikit

pada pasien dengan DCT positif 4 (+4) yaitu sebanyak 5,7%. Hal tersebut tidak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2014) yang

didapatkan 50% AIHA memiliki gradasi DCT +1.

Penelitian ini agak berbeda dengan penilitian yang dilakukan oleh

Chaudhary dkk (2009) yang mendapatkan frekuensi AIHA terbanyak dari hasil

DCT adalah positif 2 (+2) atau sebanyak 53,13%. Selain itu, Ridwan (2014)

dalam penelitiannya mendapatkan frekuensi pasien AIHA dengan gradasi DCT

positif 2 (+2) sebanyak 33,3% dan jumlah pasien AIHA dengan gradasi DCT

positif 3 (+3) dan positif 4 (+4) sebanyak 16,7%. Akan tetapi penelitian oleh

Chaudhary dan Ridwan juga mendapatkan varian kekuatan DCT pada pasien

AIHA yang berkisar dari positif 1 (+1) hingga positif 4 (+4), yang tidak jauh

berbeda dari penelitian ini.

Adanya perbedaan jumlah imunglobulin antieritrosit pada permukaan

eritrosit yang digambarkan dari DCT ini dipengaruhi oleh beberapa hal,

diantaranya kemampuan sel plasma untuk memproduksi immunoglobulin dan

adanya peranan genetik. Kemampuan sel plasma untuk memproduksi

immunoglobulin adalah 2000 molekul per detik, tetapi sel plasma memiliki usia

hidup hanya beberapa hari (Playfair dan Chain, 2012).

6.2. Kadar Hemoglobin dan Retikulosit pada Anemia Hemolitik Autoimun

Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar hemoglobin dengan rerata

6,74 ± 2,01 g/dL. Hal ini tidak jauh berbeda dari beberapa penelitian yang pernah

dilakukan sebelumnya. Baek dkk (2011) mendapatkan rerata kadar hemoglobin

adalah 6,5 ± 2,4 g/dl, sedangkan Bussone dkk (2009) mendapatkan kadar

hemoglobin rerata adalah 5,93 mg/dL.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 49


Penurunan kadar hemoglobin pada pasien anemia hemolitik autoimun

disebabkan oleh penghancuran eritrosit oleh sistem RES pada lien dan hati serta

melalui lisis intravaskular. Kadar hemoglobin saat pasien AIHA ditemukan dapat

berbeda-beda. Penurunan kadar hemoglobin ini sangat dipengaruhi oleh beratnya

derajat hemolisis dan lamanya pasien mulai memeriksakan penyakitnya (De

Loughery, 2013; Ghers & Friedberg, 2002).

Pada penelitian ini didapatkan median kadar retikulosit adalah 4,17 %

dengan kadar minimum 1,7% dan kadar maksimum 28%. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Chaudhary dkk (2009) mendapatkan median

retikulosit adalah 2,6 %. Alwar dkk (2010) mendapatkan 27 dari 40 pasien AIHA

terjadi peningkatan kadar retikulosit. Pada penelitian oleh Baek dkk (2011)

didapatkan rerata retikulosit adalah 4,9 ± 3,9 %.

Peningkatan kadar retikulosit pada penelitian ini sesuai dengan proses

tingginya proses hemolitik yang terjadi pada AIHA dimana terjadi peningkatan

retikulosit karena pendeknya umur eritrosit sehingga terjadi peningkatan aktivitas

sumsum tulang dalam memproduksi eritrosit sebagai kompensasi dari hancurnya

eritrosit. Keadaan retikulositosis dapat dilihat pada gambaran darah tepi pasien

anemia hemolitik autoimun (DeLoughery, 2013).

Sebagian besar pasien AIHA pada penelitian ini terdiri dari pasien dengan

DCT +1 yaitu 54,7 % namun jika dikelompokkan berdasarkan derajat anemia

sebagian besar berada pada kelompok anemia berat. Derajat hemolisis dapat

dipengaruhi oleh penyakit yang mendasari terjadinya anemia hemolitik autoimun.

Pada penelitian terhadap 106 data rekam medis pasien AIHA ini ditemukan

adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) nilai rerata kadar hemoglobin pada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 50


berbagai gradasi DCT. Selain itu juga ditemukan adanya perbedaan yang

bermakna (p <0,05) nilai rerata kadar retikulosit pada berbagai gradasi DCT.

Dalam sebuah penelitian oleh Wheeler dkk (2004), 25 dari 29 pasien AIHA

mengalami hemolisis pada gradasi Combs Test +2 atau lebih. Dari 45 dari 71

pasien AIHA yang tidak mengalami hemolisis memiliki gradasi Coombs Test +1.

Dengan demikian, tampak bahwa semakin tinggi gradasi Coombs Test maka akan

semakin berat derajat hemolisis yang dapat dilihat melalui penurunan kadar

hemoglobin dan peningkatan kadar retikulosit.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara penurunan

kadar hemoglobin pada berbagai derajat beratnya gradasi DCT dan terdapat

hubungan bermakna antara peningkatan retikulosit pada berbagai derajat beratnya

gradasi DCT pada pasien anemia hemolitik autoimun.

6.3. Keterbatasan Peneltian

Terdapat keterbatasan pada penelitian ini antara lain penelitian ini tidak

membedakan tipe pada masing-masing pasien AIHA. Terdapat penelitian yang

menyebutkan bahwa 70-80% kasus AIHA adalah AIHA tipe hangat, 15-20%

adalah tipe dingin dan kurang dari 10% adalah tipe campuran (Michel, 2011).

Pada penelitian ini, tipe AIHA tidak bisa ditentukan karena data tersebut tidak

terdapat dalam rekam medik, namun data ini bisa diperoleh melalui pemeriksaan

skrining antibodi.

Keterbatasan lainnya adalah jumlah sampel yang didapatkan pada

penelitian ini tidak sama banyak untuk masing-masing kelompok gradasi DCT

(+1, +2, +3, dan +4), sehingga tidak bisa ditentukan kelompok gradasi mana yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 51


paling mempengaruhi peningkatan kadar retikulosit dan penurunan kadar

hemoglobin.

Pada penelitian ini juga tidak bisa dipastikan penyebab dari AIHA yaitu

AIHA primer, AIHA sekunder dan AIHA pasca infeksi. Hal ini disebakan karena

untuk menentukan penyebab AIHA secara pasti membutuhkan pemeriksaan

laboratorium spesifik terhadap penyebab dari AIHA dan data tersebut tidak

ditemukan dalam rekam medik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 52


BAB 7

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

1. Kadar rerata hemoglobin pada pasien anemia hemolitik autoimun adalah

6,74 ± 2,01 g/dl.

2. Median kadar retikulosit pada pasien anemia hemolitik autoimun adalah

4,17 %.

3. Pasien AIHA dengan gradasi Direct Coombs Test (DCT) positif 1 (+1)

adalah sebanyak 54,7 %, DCT positif 2 (+2) sebanyak 17%, DCT positif 3

(+3) sebanyak 22,6 %, dan pasien dengan DCT 4 (+4) sebanyak 5,7 %.

4. Terdapat perbedaan rerata kadar hemoglobin dengan gradasi DCT pada

pasien anemia hemolitik autoimun.

5. Terdapat perbedaan rerata kadar retikulosit dengan gradasi DCT pada

pasien anemia hemolitik autoimun.

7.2 Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hemoglobin dan

retikulosit terhadap beratnya gradasi DCT pada pasien anemia hemolitik

autoimun dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih banyak.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada pasien AIHA untuk

menentukan tipe AIHA (hangat, dingin, dan campuran) dan penyebab

AIHA agar tatalaksana lebih optimal.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


DAFTAR PUSTAKA

Adam I, Ahmed S, Mahmoud MH, Yassin MI (2012). Comparison of HemoCue®


hemoglobin-meter and automated hematology analyzer in measurement of
hemoglobin levels in pregnant women at Khartoum hospital, Sudan. Diagn
Pathol, 7: 30.

Akhtar K, Sherwani RK, Rahman K, Hasan J, Shahid M (2008). HemoCue


photometer: a better alternative of hemoglobin estimation in blood donors?
Indian J Hematol Blood Transfus, 24: 170-172.

Aldridge C, Foster HM, Albonico M, Ame SM, Montresor A (2012). Evaluation


of the diagnostic accuracy of the Haemoglobin Colour Scale to detect
anaemia in young children attending primary healthcare clinics in
Zanzibar. Trop Med Int Health, 17: 423-429. 


Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
pp: 132-150.

Alwar V, Shanthala DAM, Sitalakshmi S, Karuna RK (2010). Clinical patterns


and haematological spectrum in autoim- mune haemolytic anemia. Journal
of Laboratory Physicians. 2(1):17-20 


Anand H, Mir R, Saxena R (2009). Hemoglobin color scale a diagnostic dilemma.


Indian J Pathol Microbiol, 52: 360-362.

Baek SW, Lee MW, Ryu HW, Lee KS, Song IC, Lee HJ, et al (2011). Clinical
features and outcomes of autoimmune hemolytic anemia: A retrospective
analysis of 32 cases.Korean J Hematol. 2011 Jun;46(2):111-7

Bakta IM (2003). Hematologi klinik ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC, pp: 50-80.

Baratawidjaja K, Rengganis I (eds) (2014). Imunologi dasar. Edisi ke 11. Jakarta:


Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, pp: 583-599.

Barcellini W, Zaja F, Zaninoni A, Imperiali FG, Battista ML, Bona ED, Fattizzo
B, et al (2012). Low-dose rituximab in adult patients with idiopathic
autoimmune hemolytic anemia: clinical efficacy and biologic studies.
Blood, 119 (6):3691-3696.

Barnes BC, Hertenstein EG (2015). Immunohematology and blood transfusion


medicine, Dalam: Graeter LJ, Hartenstein EG, Accurso CE, Labiner GH
(eds). Medical laboratory science examination review. Missouri: Elsvier
saunders, p: 207.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 54


Berentsen S (2011). How I manage cold agglutinin disease. British Journal
Haematology, 153:309–317.

Berentsen S, Randen U, Vagan AM, Hjorth-Hansen H, Vik A, Dalgaard J,


Jacobsen EM, et al (2010). High response rate and durable remissions
following fludarabine and rituximab combination therapy for chronic cold
agglutinin disease. Blood, 116:3180–3184.

Beutler E, Bull BS, Herrmann PC (2010). Hemolytic anemia resulting from


chemical and physical agents. Dalam: Kaushansky K, Lichtman MA,
Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U, Prchal JT (eds). Williams Hematology.
8th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2010, pp: 763-768.

Bussone G, Ribeiro E, Dechartres A, Viallard JF, Bonnotte B, Fain O, et al


(2009). Efficacy and safety of rituximab in adults’ warm antibody
autoimmune hemolyitic anemia : Retrospective analysis of 27 cases. Am.
J. Hematol, 84:153-157.

Carson KR, Beckwith LG, Mehta J (2010). Successful treatment of IgM-mediated


autoimmune hemolytic anemia with bortezomib. Blood, 115:915.

Chairlain, Lestari E (2011). Pedoman teknik dasar untuk laboratorium kesehatan.


Jakarta: Penerbit Buku EGC, p:264.

Chaudary R, Das SS (2009). Significance of quantitation of autoantibodies in the


eluate of sensitized red cells in warm autoimmune hemolytic anemia.
Labmedicine, 40(9):531-534.

Crowther M, Chan YLT, Garbett IK, Lim W, Vickers MA, Crowther MA (2011).
Evidence-based focused review of treatment of idiopathic warm
immunehemolytic anemia in adult. Blood, 118(15):4036-4040.

Darshana LG, Uluwaduge DI (2014). Validation of the WHO Hemoglobin Color


Scale Method. Anemia, 2014: 531670. 


De Loughery TG (2013). Hematology board review manual : Autoimmune


hemolytic anemia. Hematology, 8 (1): 2-9.

Dhaliwal G, Tierney LM (2004). Hemolytic anemia. American Family Physician,


69 (11) : 2599 – 2606.

Febianty N (2013). Perbandingan pemeriksaan kadar hemoglobin dengan metode


sahli dan autoanalyzer pada orang normal. Fakultas Kedokteran
Universitas Maranatha. Karya Tulis Ilmiah

Fransisca D.K. (2010). Usia produktif kerja. www.bappenas.go.id/get-


fileserver/node/2860/ - Diakses Februari 2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 55


Friedberg RC, Vandita P. Johari (2013), Autoimmune hemolytic anemia. Dalam:
Greer JP, Arber DA, Glader B, List AF, Means RT, Paraskevas F, Rodgers
GM, Foerster J (eds). Wintrobe’s clinical hematology. 13th edition.
Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins p:746.

Gehrs BC, Friedberg RC (2002). Autoimmune hemolytic anemia. American


Journal of Hematology 69 : 258-271.

Grigoriadis C, Tympa A, Liapis A, Hassiakos D, Bakas P (2013).Case report :


Alpha-methyldopa-induced autoimmune hemolytic anemia in the third
trimester of pregnancy. Hindawi. http://dx.doi.org/10.1155/2013/150278-
Diakses Februari 2016

Gandasoebrata R (2007). Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat,


p:10-12

Guyton AC, Hall JE (eds) (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 11.
Jakarta: EGC, pp: 439-449.

Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH (2001). Essential hematology. 4th edition.
Oxford: Blackwell Scientific Publications, p:15.

Huh YO, Liu FJ, Rogge K, Chakrabarty L, Lichtiger B (1988). Positive direct
antiglobuline test and high serum immunoglobuline G values. American
Journal Clinical Pathology, 90(2):197-200.

Kementerian kesehatan RI (2013). Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:


kementerian kesehatan RI, p:16.

Kumar R (2013). Dasar-dasar patofisiologi penyakit. Pamulang: Binarupa Aksara,


pp:19-21.

Lechner K, Jager U (2010). How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults.


Blood, 116:1831–1838.

Lewis SM1, Emmanuel J. Validity of the haemoglobin colour scale in blood


donor screening. Vox Sang. 2001; 80: 28-33. 


Liu B, Gu W (2013). Review article: Immunotherapy treatments of warm


autoimmune hemolytic anemia. Hindawi,
http://dx.doi.org/10.1155/2013/561852 - Diakses Februari 2016.

Michel M (2011). Classification and therapeutic approaches in autoimmune


hemolytic anemia: an update. Expert Review Hematology, 4(6): 607-612.

Michel M (2014). Warm autoimmune hemolytic anemia: advances in


pathophysiology and treatment. Presse Med, 43(4 Pt 2):e97-e104

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 56


Montresor A, Albonico M, Khalfan N, Stoltzfus RJ, Tielsch JM, Chwaya HM, et
al (2000). Field trial of a haemoglobin colour scale: an effective tool to
detect anaemia in preschool children. Trop Med Int Health, 5: 129-133.

Morgan TL, Tomich EB (2012). Overwhelming post-splenectomy infection


(OPSI): a case report and review of the literature. The Journal of
Emergency Medicine, 43:758–763.

Neff AT (2003). Autoimmune hemolytic anemias. Dalam: Greer JP, Foerster J,


Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Galder B (eds). Wintrobe’s
clinical hematology. 11th edition. Philadelphia: Lippincott-Williams &
Wilkins, pp:1157-1182.

Ngo ST, Steyn FJ, McCombe PA (2014). Gender differences in autoimmune


disease. Frontiers in Neuroendocrinology, 35:347-369.

Oehadian A (2012). Pendekatan klinis dan diagnosis anemia. Jakarta: Cermin


Dunia Kedokteran, 39(6): 409.

Packman CH (2008). Hemolytic anemia due to warm autoantibodies. Blood


review, 22:17-31.

Packman CH (2015). The Clinical Pictures of Autoimmune Hemolytic Anemia.


Transfus Med Hemother, 42:317–324.

Padget B (2003). An Educational Supplement: Direct Antiglobulin Test. ALQEP.


http://www.cpsa.ab.ca/libraries/pro_qofc_alqep/alqep_trans_DAT_Supple
ment_2003.pdf?sfvrsn=0 - Diakses Maret 2016.

Park SH (2016). Diagnosis and Treatmentt of Autoimmune Hemolytic Anemia :


classic approach and recent advances. Blood Reaserch 51(2): 69-70.

Pearce EC (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia,


pp: 134-135.

Playfair JHL, Chain BM (2012). At a glance imunologi 9th ed. Editor : Rina
Astikawati. Jakarta : Erlangga.

Prabhu R, Bhaskaran R, Shenoy V, Rema G, Sidharthan N (2016). Clinical


characteristics and treatment outcomes of primary autoimmune hemolytic
anemia: a single center study from South India. Blood Research, 51(2): 88-
94.

Ridwan M (2014). Korelasi jumlah limfosit B dan CD 20 dengan imunoglobulin


antieritrosit pada pasien anemia hemolitik otoimun. Universitas Andalas.
Tesis

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 57


Rodeghiero F, Ruggeri M (2012). Short- and long-term risks of splenectomy for
benign haematological disorders: should we revisit the indications?.
British Journal Haematology, 158:16–29.

Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, et al (2001).


Estimating the prevalence of anaemia: a comparison of three methods.
Bull World Health Organ, 79: 506-511.

Sastroatmoro S, Ismael S (2011). Dasar – dasar metodologi penelitian klinis.


Edisi ke 4. Jakarta: Sagung Seto.

Srivastava T, Negandhi H, Neogi SB, Sharma J, Saxena R (2014). Methods for


Hemoglobin Estimation: A Review of “What Works”. J Hematol Transfus,
2(3): 1028.

Stein RS, Neff AT (2001). Hematology board review manual : Immune hemolytic
anemia. Hematology, 1(4): 2-12.

Suega K (2010). Aplikasi klinis retikulosit. Jurnal Penyakit Dalam, 11(3):191-


201.

Taroeno-Hariadi KW, Pardjono E (2014). Anemia Hemolitik Imun. Dalam:


Setiati S, Alwi A, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF
(eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi VI jilid II. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 2607-2613.

Timan IS, Tatsumi N, Aulia D, Wangsasaputra E (2004). Comparison of


haemoglobinometry by WHO Haemoglobin Colour Scale and copper
sulphate against haemiglobincyanide reference method. Clin Lab
Haematol, 26: 253-258. 


van Rheenen PF, de Moor LT (2007). Diagnostic accuracy of the haemoglobin


colour scale in neonates and young infants in resource-poor countries.
Trop Doct, 37: 158-161.T

Wheeler CA, Calhoun LA, Blackall DP (2004). Warm reactive autoantibodies :


Clinical and serological correlations. Am J Clin Pathol 122:680-685.

WHO (2011). Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anemia and


assessment of severity. World Health Organization: Vitamin and Mineral
Nutrition Information System.
www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf - Diakses Februari 2016.

Widayanti S (2008). Analisis kadar hemoglobin pada anak buah kapal PT. Salam
Pacific Indonesia Lines di Belawan tahun 2007. Medan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 58


Wilczynski (2014). Haptoglobin. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/2085592-overview - Diakses
Februari 2016.

Zanella A, Barcellini W (2014). Treatment of autoimmune hemolytic anemias.


Haematologica, 99(10):1547-1554.

Zarandona JM, Yazer MH (2006). The role of the coombs test in evaluating
hemolysis in adults. Canadian Medical Association Journal, 174(3): 305.

Zeerleder (2011). Autoimmune haemolytic anaemia
– a practical guide to cope


with a diagnostic and therapeutic challenge. The Journal of Medicine
Netherlands, 59 (4): 177-183.

Zulfiqar AA, Mahdi R, Mourot-Cottet R, Pennaforte JL, Novella JL Dan Andrès


E (2015). Autoimmune Hemolytic Anemia - A Short Review Of The
Literature, With A Focus On Elderly Patients. Journal of Hematology &
Thromboembolic Diseases, 3(6): 2.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 59


Lampiran 1

MASTER TABEL

No. Nama JK Usia Hb DCT Ret


1. RR L 15 7.8 1 4.2
2. JA P 16 6.3 1 2.9
3. Fa P 22 5.5 3 7.2
4. In P 16 6.6 1 2.6
5. Ne L 44 3.4 3 6.9
6. HP L 28 7.1 3 4
7. Bm L 47 6.9 1 28
8. AI P 15 6,0 3 4.2
9. NL P 34 6.6 4 6
10. Rt P 80 4.6 1 2.7
11. Dl P 19 7.9 1 2.2
12. BA L 64 7.6 1 2.8
13. ME L 29 5,0 1 3.3
14. YI L 43 2.3 3 5
15. Yr L 53 6.1 1 1.7
16. ND P 28 8.2 1 4.3
17. Wn P 27 4.4 1 1.7
18. IN L 60 9.8 1 3.3
19. Sw L 55 6.8 1 3.2
20. Im P 51 5.9 3 21.2
21. HF L 45 6.4 3 15.8
22. Jn P 25 4.3 1 10.3
23. AR L 21 6,0 2 3.6
24. AN P 30 3.8 2 6.7
25. EO P 19 5,0 4 14.5
26. Lt P 26 6.6 2 10.1
27. DP P 21 9,0 4 12
28. DY P 30 7.4 1 2.4
29. En P 22 4.3 3 8
30. SE P 29 5.4 3 4
31. Rs P 65 4.8 1 8.4
32. Sr P 38 10.2 1 2
33. Tl L 45 10.5 1 3.5
34. SS P 18 6,0 4 21.7
35. Sn L 52 2.8 1 2.8

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 60


36. Wr L 32 8,0 1 4.6
37. Nr L 57 6.7 1 3
38. MR P 26 8,0 1 10.4
39. Zl L 46 5.9 3 15.4
40. MS L 73 7.5 1 15.2
41. Dr P 64 7.8 1 3.5
42. ZY L 69 5.3 2 8
43. Mn P 18 4.1 3 8
44. AR L 33 9.9 1 4.3
45. Vv P 36 7.7 1 2
46. DC L 27 9.7 1 1.9
47. Sr P 62 5.3 3 13.6
48. Ry P 54 4.6 3 6.7
49. EY P 40 2.9 1 4.5
50. DD L 68 8,0 1 3.3
51. YW P 41 6.3 2 8
52. GM P 17 7.6 3 4.4
53. ED L 70 5,0 1 12.9
54. SDA P 31 2.5 3 3.5
55. Hr P 17 8.5 3 1.7
56. HR P 16 10.5 2 6
57. Ls P 29 1.7 3 9.9
58. DR P 32 5,0 3 4.7
59. Mr P 60 7.1 1 3.3
60. Ds L 70 8.4 1 3
61. Rm P 28 5.8 1 9
62. Ml L 39 3.2 3 4.7
63. EN P 42 8.1 1 3.1
64. Sw P 58 5.1 2 13
65. DA P 18 11.8 3 2.2
66. Mt P 60 4.7 1 1.7
67. DH P 39 8.9 1 3.1
68. Jn P 19 7.4 1 2
69. LR P 30 6.5 2 6.9
70. DY P 29 4,0 1 2.2
71. Ft P 66 5.2 3 23.3
72. El P 58 6.5 1 5.4
73. Ad L 38 8.7 1 3.2
74. Bh L 80 4.9 1 2.9
75. Wl L 29 9.9 1 4.1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 61


76. Jl L 40 7.6 1 4.6
77. SY P 53 5.8 3 3.1
78. LE P 27 6.7 2 2.6
79. RH P 69 7.7 1 8.9
80. ZR P 55 8.8 1 3.6
81. NB P 50 9,0 2 5.1
82. DM P 33 9.5 1 2.2
83. DES P 50 8.7 2 2.5
84. NI L 19 8.3 2 4.1
85. TF P 21 5.9 3 4.3
86. YM P 37 6.9 2 3.7
87. MW P 29 4.5 1 5.2
88. SEY P 25 8.6 1 3.2
89. MUS L 65 8.8 2 4.1
90. NM P 65 7.7 1 2.5
91. PW P 51 7,0 1 2.6
92. WEN L 46 8.1 2 2.7
93. IWP P 22 5.8 4 4.2
94. GUS P 48 8,0 1 7.7
95. SL P 38 7.6 2 2
96. WAR L 31 8.5 2 4.6
97. RA L 22 8.1 1 4.2
98. HF P 45 4,0 4 14.3
99. RAS P 63 6.5 2 2.1
100. SA P 29 8.9 1 8.6
101. ZAR P 38 9.4 1 1.9
102. DAR P 64 7.8 1 3.5
103. YM L 34 8.7 1 16
104. YL P 46 7.7 1 2.6
105. YA L 50 5.9 3 20
106. AK L 25 6,3 1 2,6

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 62


Lampiran 2

HASIL SPSS

Frequencies
Statistics

JK Kelompok usia Kelompok Hb DCT


N Valid 106 106 106 106
Missing 0 0 0 0
Percentiles 25 2,00 1,00 1,00
50 3,00 1,00 1,00
75 4,00 2,00 3,00

JK
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid L 37 34,9 34,9 34,9
P 69 65,1 65,1 100,0
Total 106 100,0 100,0

Kelompok usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 14 13,2 13,2 13,2
2 25 23,6 23,6 36,8
3 19 17,9 17,9 54,7
4 48 45,3 45,3 100,0
Total 106 100,0 100,0

Kelompok Hb
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 74 69,8 69,8 69,8
2 28 26,4 26,4 96,2
3 4 3,8 3,8 100,0
Total 106 100,0 100,0

DCT
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid +1 58 54,7 54,7 54,7
+2 18 17,0 17,0 71,7
+3 24 22,6 22,6 94,3
+4 6 5,7 5,7 100,0
Total 106 100,0 100,0

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 63


Bar Chart

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 64


Descriptive Statistics

N Range Minimum Maximum Sum Mean

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 65


Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error
usia 106 65 15 80 4243 40,03 1,676

Hb 106 10,10 1,70 11,80 714,80 6,7434 ,19516

Ret 106 26,30 1,70 28,00 651,23 6,1436 ,50810

Valid N (listwise) 106

Descriptive Statistics

Std. Deviation Variance Skewness Kurtosis


Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Std. Error
usia 17,256 297,780 ,425 ,235 -,893 ,465

Hb 2,00931 4,037 -,175 ,235 -,277 ,465

Ret 5,23125 27,366 1,980 ,235 3,931 ,465

Valid N (listwise)

Oneway
ANOVA
Hb
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 64,551 3 21,517 6,107 ,001
Within Groups 359,369 102 3,523
Total 423,920 105

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
Dependent Variable: Hb
Bonferroni
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) DCT (J) DCT (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
+1 +2 ,06188 ,50644 1,000 -1,3008 1,4245
+3 1,85216* ,45557 ,001 ,6264 3,0780
+4 1,17299 ,80495 ,889 -,9929 3,3389
+2 +1 -,06188 ,50644 1,000 -1,4245 1,3008
+3 1,79028* ,58527 ,017 ,2155 3,3650
+4 1,11111 ,88484 1,000 -1,2697 3,4919
+3 +1 -1,85216* ,45557 ,001 -3,0780 -,6264
+2 -1,79028* ,58527 ,017 -3,3650 -,2155
+4 -,67917 ,85674 1,000 -2,9844 1,6261
+4 +1 -1,17299 ,80495 ,889 -3,3389 ,9929
+2 -1,11111 ,88484 1,000 -3,4919 1,2697
+3 ,67917 ,85674 1,000 -1,6261 2,9844

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 66


Explore DCT
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
DCT N Percent N Percent N Percent
Hb +1 58 100,0% 0 0,0% 58 100,0%
+2 18 100,0% 0 0,0% 18 100,0%
+3 24 100,0% 0 0,0% 24 100,0%
+4 6 100,0% 0 0,0% 6 100,0%

Descriptives
DCT Statistic Std. Error
Hb +1 Mean 7,2397 ,24197
95% Confidence Interval for Lower Bound 6,7551
Mean Upper Bound 7,7242
5% Trimmed Mean 7,2987
Median 7,7000
Variance 3,396
Std. Deviation 1,84276
Minimum 2,80
Maximum 10,50
Range 7,70
Interquartile Range 2,20
Skewness -,533 ,314
Kurtosis -,257 ,618
+2 Mean 7,1778 ,38903
95% Confidence Interval for Lower Bound 6,3570
Mean Upper Bound 7,9986
5% Trimmed Mean 7,1809
Median 6,8000
Variance 2,724
Std. Deviation 1,65051
Minimum 3,80
Maximum 10,50
Range 6,70
Interquartile Range 2,33
Skewness -,034 ,536
Kurtosis -,056 1,038
+3 Mean 5,3875 ,43640
95% Confidence Interval for Lower Bound 4,4847
Mean Upper Bound 6,2903
5% Trimmed Mean 5,2611
Median 5,4500
Variance 4,571
Std. Deviation 2,13792
Minimum 1,70
Maximum 11,80
Range 10,10
Interquartile Range 1,83

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 67


Skewness ,901 ,472
Kurtosis 2,530 ,918
+4 Mean 6,0667 ,69218
95% Confidence Interval for Lower Bound 4,2874
Mean Upper Bound 7,8460
5% Trimmed Mean 6,0185
Median 5,9000
Variance 2,875
Std. Deviation 1,69548
Minimum 4,00
Maximum 9,00
Range 5,00
Interquartile Range 2,45
Skewness ,944 ,845
Kurtosis 1,684 1,741

Hb
Stem-and-Leaf Plots
Hb Stem-and-Leaf Plot for
DCT= +1
Frequency Stem & Leaf
2,00 Extremes (=<2,9)
8,00 4 . 03456789
3,00 5 . 008
8,00 6 . 13356789
15,00 7 . 014456677778889
14,00 8 . 00001124677899
6,00 9 . 457899
2,00 10 . 25
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)

Hb Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +2
Frequency Stem & Leaf
1,00 3 . 8
,00 4 .
2,00 5 . 13
7,00 6 . 0355679
1,00 7 . 6
5,00 8 . 13578
1,00 9 . 0
1,00 10 . 5
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)

Hb Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +3
Frequency Stem & Leaf
1,00 1 . 7
2,00 2 . 35
2,00 3 . 24
3,00 4 . 136
10,00 5 . 0234589999
2,00 6 . 04

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 68


2,00 7 . 16
1,00 8 . 5
1,00 Extremes (>=11,8)
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)

Hb Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +4
Frequency Stem & Leaf
1,00 4 . 0
2,00 5 . 08
2,00 6 . 06
1,00 Extremes (>=9,0)
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 69


Oneway
Descriptives

Ret
95% Confidence Interval for
Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound


+1 58 4,8417 4,48720 ,58920 3,6619 6,0216

+2 18 5,3272 3,00377 ,70799 3,8335 6,8210

+3 24 8,4094 6,33333 1,29279 5,7350 11,0837

+4 6 12,1150 6,36152 2,59708 5,4390 18,7910

Total 106 6,1436 5,23125 ,50810 5,1362 7,1511

Descriptives

Ret

Minimum Maximum
+1 1,70 28,00

+2 2,00 13,00

+3 1,70 23,30

+4 4,20 21,70

Total 1,70 28,00

Test of Homogeneity of Variances


Ret
Levene Statistic df1 df2 Sig.
3,343 3 102 ,022

ANOVA
Ret
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 447,455 3 149,152 6,271 ,001
Within Groups 2425,976 102 23,784
Total 2873,431 105

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 70


Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Ret
Bonferroni
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) DCT (J) DCT (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
+1 +2 -,48550 1,31583 1,000 -4,0260 3,0550
+3 -3,56765* 1,18367 ,020 -6,7525 -,3828
+4 -7,27328* 2,09143 ,004 -12,9007 -1,6459
+2 +1 ,48550 1,31583 1,000 -3,0550 4,0260
+3 -3,08215 1,52064 ,272 -7,1737 1,0094
+4 -6,78778* 2,29899 ,023 -12,9736 -,6019
+3 +1 3,56765* 1,18367 ,020 ,3828 6,7525
+2 3,08215 1,52064 ,272 -1,0094 7,1737
+4 -3,70563 2,22599 ,594 -9,6951 2,2838
+4 +1 7,27328* 2,09143 ,004 1,6459 12,9007
+2 6,78778* 2,29899 ,023 ,6019 12,9736
+3 3,70563 2,22599 ,594 -2,2838 9,6951

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.


NPar Tests
Kruskal-Wallis Test
Ranks
DCT N Mean Rank
Ret +1 58 43,39
+2 18 54,72
+3 24 68,92
+4 6 85,92
Total 106

Test Statisticsa,b
Ret
Chi-Square 19,014
df 3
Asymp. Sig. ,000

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: DCT
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +1 58 36,42 2112,50
+2 18 45,19 813,50
Total 76

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 401,500
Wilcoxon W 2112,500
Z -1,473
Asymp. Sig. (2-tailed) ,141

a. Grouping Variable: DCT

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 71


NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +1 58 35,74 2073,00
+3 24 55,42 1330,00
Total 82

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 362,000
Wilcoxon W 2073,000
Z -3,404
Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

a. Grouping Variable: DCT


NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +1 58 30,22 1753,00
+4 6 54,50 327,00
Total 64

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 42,000
Wilcoxon W 1753,000
Z -3,041
Asymp. Sig. (2-tailed) ,002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,001b

a. Grouping Variable: DCT


b. Not corrected for ties.

NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +2 18 18,11 326,00
+3 24 24,04 577,00
Total 42

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 155,000
Wilcoxon W 326,000
Z -1,551
Asymp. Sig. (2-tailed) ,121

a. Grouping Variable: DCT

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 72


NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +2 18 10,42 187,50
+4 6 18,75 112,50
Total 24

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 16,500
Wilcoxon W 187,500
Z -2,501
Asymp. Sig. (2-tailed) ,012
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,009b

a. Grouping Variable: DCT


b. Not corrected for ties.

NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
DCT N Mean Rank Sum of Ranks
Ret +3 24 14,46 347,00
+4 6 19,67 118,00
Total 30

Test Statisticsa
Ret
Mann-Whitney U 47,000
Wilcoxon W 347,000
Z -1,296
Asymp. Sig. (2-tailed) ,195
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,210b

a. Grouping Variable: DCT


b. Not corrected for ties.
Explore
DCT
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
DCT N Percent N Percent N Percent
Ret +1 58 100,0% 0 0,0% 58 100,0%
+2 18 100,0% 0 0,0% 18 100,0%
+3 24 100,0% 0 0,0% 24 100,0%
+4 6 100,0% 0 0,0% 6 100,0%

Descriptives
DCT Statistic Std. Error
Ret +1 Mean 4,8417 ,58920
95% Confidence Interval for Lower Bound 3,6619

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 73


Mean Upper Bound 6,0216
5% Trimmed Mean 4,1790
Median 3,2350
Variance 20,135
Std. Deviation 4,48720
Minimum 1,70
Maximum 28,00
Range 26,30
Interquartile Range 2,01
Skewness 3,140 ,314
Kurtosis 12,368 ,618
+2 Mean 5,3272 ,70799
95% Confidence Interval for Lower Bound 3,8335
Mean Upper Bound 6,8210
5% Trimmed Mean 5,0858
Median 4,3850
Variance 9,023
Std. Deviation 3,00377
Minimum 2,00
Maximum 13,00
Range 11,00
Interquartile Range 4,51
Skewness 1,128 ,536
Kurtosis 1,030 1,038
+3 Mean 8,4094 1,29279
95% Confidence Interval for Lower Bound 5,7350
Mean Upper Bound 11,0837
5% Trimmed Mean 7,9697
Median 5,8500
Variance 40,111
Std. Deviation 6,33333
Minimum 1,70
Maximum 23,30
Range 21,60
Interquartile Range 8,61
Skewness 1,213 ,472
Kurtosis ,321 ,918
+4 Mean 12,1150 2,59708
95% Confidence Interval for Lower Bound 5,4390
Mean
Upper Bound 18,7910
5% Trimmed Mean 12,0222
Median 13,1450
Variance 40,469
Std. Deviation 6,36152
Minimum 4,20
Maximum 21,70
Range 17,50

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 74


Interquartile Range 10,75
Skewness ,210 ,845
Kurtosis -,344 1,741

Extreme Valuesb
DCT Case Number Value
Ret +1 Highest 1 7 28,00
2 103 16,04
3 40 15,20
4 53 12,90
5 38 10,42
Lowest 1 66 1,70
2 17 1,70
3 15 1,73
4 46 1,86
5 101 1,90
+2 Highest 1 64 13,00
2 26 10,10
3 42 8,00
4 51 8,00
5 69 6,90
Lowest 1 95 2,00
2 99 2,14
3 83 2,50
4 78 2,64
5 92 2,68
+3 Highest 1 71 23,30
2 20 21,20
3 105 20,00
4 21 15,80
5 39 15,36
Lowest 1 55 1,70
2 65 2,20
3 77 3,15
4 54 3,50
5 30 4,00a
+4 Highest 1 34 21,70
2 25 14,50
3 98 14,29
Lowest 1 93 4,20
2 9 6,00
3 27 12,00

a. Only a partial list of cases with the value 4,00 are shown in the
table of lower extremes.
b. The requested number of extreme values exceeds the number of
data points. A smaller number of extremes is displayed.
Ret
Stem-and-Leaf Plots
Ret Stem-and-Leaf Plot for
DCT= +1
Frequency Stem & Leaf
5,00 1 . 77789
7,00 2 . 0002223
11,00 2 . 56666778999
12,00 3 . 011112223344
2,00 3 . 56

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 75


5,00 4 . 12233
3,00 4 . 566
2,00 5 . 24
11,00 Extremes (>=7,7)
Stem width: 1,00
Each leaf: 1 case(s)

Ret Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +2
Frequency Stem & Leaf
10,00 0 . 2222233444
6,00 0 . 566688
2,00 1 . 03
Stem width: 10,00
Each leaf: 1 case(s)

Ret Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +3
Frequency Stem & Leaf
11,00 0 . 12334444444
7,00 0 . 5667889
1,00 1 . 3
2,00 1 . 55
2,00 2 . 01
1,00 Extremes (>=23)
Stem width: 10,00
Each leaf: 1 case(s)

Ret Stem-and-Leaf Plot for


DCT= +4
Frequency Stem & Leaf
2,00 0 . 46
3,00 1 . 244
1,00 2 . 1
Stem width: 10,00
Each leaf: 1 case(s)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 76


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Hb Ret
N 106 106
Normal Parametersa,b Mean 6,7434 6,1436
Std. Deviation 2,00931 5,23125
Most Extreme Differences Absolute ,080 ,237
Positive ,036 ,237
Negative -,080 -,198
Test Statistic ,080 ,237
Asymp. Sig. (2-tailed) ,090c ,000c

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 77

Anda mungkin juga menyukai