PENDAHULUAN
1
kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis di negara yang sudah berkembang menurun
hingga 9% namun, tingkat mortalitas pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
masih tinggi yaitu 50-70% dan apabila terdapat syok septik dan disfungsi organ multiple, angka
mortalitasnya bisa mencapai 80%.
Abses adalah penimbunan nanah yang terjadi akibat infeksi bakteri. Abses dapat terjadi
di mana saja pada bagian tubuh kita. Abses dapat terlihat karena berada di bagian luar tubuh
(pada lapisan kulit) atau terjadi pada organ dalam tubuh, yang tidak terlihat. Abses (Latin:
abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah
kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena
adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).ini abses yang berupa
nanah tersebut terdiri atas sel darah putih dan jaringan yang nekrotik dan mencair. Abses
biasanya disebabkan oleh kuman potogen misalnya bisul. Abses gluteus merupkan abses yang
terdapat pada area gluteus.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
diagnosis dini KAD.
Tabel 2.1. Jumlah Kasus dan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetik di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo
4
Gambar 2.1 Patofisiologi KAD
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem homeostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat, sehingga
terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama
adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal kadar
3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting.
Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus
memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel, member signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen , menghambat lipolisis pada sel lemak
(menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta
mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi
tersebut akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif.
5
Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.
2.1.5 Peran Hormon
1. Peranan Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra regulasi
yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin
dapat disebabkan oelh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang
berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata
pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan
metabolisme lemak dan karbohidrat.
2. Peranan Glukagon
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CoA adalah suatu penghambat cartnitine acyl transferase (CPT 1 dan 2) yang bekerja
pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon
akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan baik, bila kadar
insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi
kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.
3. Hormon kontra regulator insulin lain
Kadar epinefrin dan kortisol darah menngikat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH)
pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan
pemberian insulin.
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada akhirnya akan
menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukonoegenesis serta potensial sebagai pencetus
KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress berkepanjangan.
2.1.6 Gejala Klinis
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat
dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak
terlalu mudah tercium.
6
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri, dan
polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Infeksi merupakan faktor
pencetus yang paling sering. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien
tidak mengalami demam.bila dijumpai nyeri abdomen perlu dipikirkan kemungkinan kolesistisis,
iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan
respons yang baik terhadap pengobatan KAD maka perlu dicari kemungkinan infeksi
tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).
2.1.7 Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia
hiperosmolar nenketotik. Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-
langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera
dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah
dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan
glucose sticks dan pemeriksaan urin dengan mengunakan urine strip untuk melihat secara
kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urin. Pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3,
anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.
7
2.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1) Penggantian cairan dan garam yang hilang
2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian insulin
3) Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit, ada 6 hal yang perlu diberikan: 5 diantaranya ialah:
cairan, garam ,insulin, kalium dan glukosa. Sedangkan yang terakhir terapi sangat menentukan
adalah asuhan keperawatan. Di sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD
teratasi dan stabil.
Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama
diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter dan selanjutnya sesuai protokol.
Tujuannya ialah untuk memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator
insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan yang
mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).
Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan ,menurunkan hormon glukagon sehingga dapat menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam
8
amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian
insulin ini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal tetapi untuk mengatasi keadaan
ketonemia. Oleh karena itu bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% insulin diteruskan dan untuk
mencegah hipoglikemia diberikan cairan yang mengandung glukosa sampai asupan kalori oral
pulih kembali.
Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat
jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektro
kardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
mengatsi keaadan hiperkalemia tersebut.
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.
Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg
%/ jam. Bila kadar glukosa mencapai kurang dari 200 mg% maka dapat dimulai infus yang
mengandung glukosa. Perlu ditekankan tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar
glukosa tapi untuk menekan ketogenesis.
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama beberapa tahun. Pemberian
bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Hal ini disebabkan karena pemberian
bikarbonat dapat :
-Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat
-Menimbulkan efek negatif pada disosiasi oksigen di jaringan
-Hipertonis dan kelebihan natrium
-Meningkatkan insiden hipokalemia
-Gangguan fungsi serebral
-Terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto
Saat ini bikarbonat diberikan bila pH kurang dari 7,1 namun walaupun demikian
komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.
Disamping hal tersebut diatas pengobatan umum tak kalah penting yaitu :
9
1. antibiotik yang adekuat
2. oksigen bila tekanan O2 kurang dari 80 mmHg
3. heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (lebih dari 380 mOsm/liter)
2.1.9 Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan : 1). Konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer, 2). Elektrolit
setiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan, 3). Analisis gas darah bila pH<7
waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH>7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil, 4).
Tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperature setiap jam, 5). Keadaan hidrasi,
balance cairan, 6). Waspada terhadap kemungkinan DIC.
2.1.10 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai
berikut edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenik.
Komplikasi iatrogenic tersebut ialah hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan
hipokalsemia.
2.1.11 Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada system
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka).
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa
sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri. Di sinilah
pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan
sulit.
2.1.12 Prognosis
Prognosis baik selama terapi adekuat dan selama tidak ada penyakit lain yang fatal
(sepsis, syok septik, infark miokard akut, thrombosis serebral, dll).
2.2 Sepsis
10
2.2.1 Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi sebagai manifestasi proses inflamasi
imunologi karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Sepsis adalah suatu respon sistemik terhadap infeksi. Pada sepsis gejala klinis
yang terdapat pada SIRS diikuti oleh adanya bukti infeksi. Dalam terminology yang baru, sepsis
mewakili subgroup dalam Systemic Inflamatory response syndrome (SIRS).
2.2.2 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh berbagai macam organism infeksius, yaitu bakteri gram negative,
bakteri gram positif, fungi, parasit, dan virus. Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram
negative dengan presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella,
dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan
pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan.
11
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infuse atau kateter telah dimasukkan
ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.Sistem pendekatan sepsis
dikembangkan dengan menjabakan menjadi dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons
tubuh dan disfungsi organ atau disingkat menjadi PIRO (Predisposing, Insult, Response And
Organ Dysfunction)
12
perubahan metabolik sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis jaringan, gagal organ multipel,
syok sepsis serta kematian. Proses patologik utama pada sepsis adalah apoptosis dari sel-sel
efektor imunologi, termasuk limfosit dan sel dendrit serta apoptosis saluran pencernaan. Sepsis
dan SIRS berhubungan dengan perusakan dan disfungsi mukosa saluran pencernaan. Disfungsi
saluran pencernaan adalah suatu masalah umum yang sering terjadi akibat sepsis, yang akan
mengakibatkan hilangnya pertahanan mukosa, peningkatan permeabilitas mukosa dan translokasi
produk-produk bakteri kedalam sirkulasi darah, yang kemudian lebih lanjut akan meningkatkan
respon inflamasi pada organ-organ yang lebih jauh, sehingga akan terjadi MODS serta kematian.
Salah satu mekanisme yang mendukung perusakan mukosa saluran cerna yang diinduksi oleh
endotoksin adalah apoptosis yang meningkat. Peningkatan apoptosis saluran cerna yang sering
terjadi pada sepsis dan kematian sel mukosa yang berlebihan akan mendukung adanya atrofi,
perusakan dan gangguan fungsi pertahanan mukosa saluran pencernaan. Saat ini berkembang
pula istilah yang mengacu pada pemahaman mengenai hipotesis dari patogenesis terjadinya
sepsis. Pada SIRS diduga respons sel proinflamasi sangat berperan, sedangkan bila respons sel
proinflamasi tidak berjalan atau sel anti inflamasi lebih berperan. sehingga menimbulkan
imunosupresi disebut sindrom respons anti inflamasi terkompensasi (Compensatory Anti
Inflammatory Response Syndrome / CARS) Akibat yang ditimbulkan juga dipengaruhi dari sel
proinflamasi atau anti inflamasi yang berperan lebih dominan. Pada CARS, HLA-DR pada
monosit < 30% dan berkurangnya kemampuan monosit untuk memproduksi sitokin inflamasi
seperti TNF-α atau IL-6. Pada suatu keadaan tertentu terdapat keseimbangan antara sel
proinflamasi dan sel anti inflamasi (Mixed Antagonist Response Syndrome / MARS) sehingga
terjadi homeostasis.
13
gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan dengan
manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang
mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita
takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Tempat
infeksi yang paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan
lunak dan system saraf pusat. Gejala sepsis semakin berat pada penserita usia lanjut, penderita
diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti dengan syok.
2.2.5 Diagnosis
Berdasarkan kriteria Bone (1992), menurut gejala dan tanda klinisnya, pasien sepsis
ditandai dengan manifestasi dua atau lebih keadaan sebagai berikut :
disertai terbukti adanya infeksi seperti pneumonia, infeksi abdomen, infeksi saluran kencing atau
infeksi pada jaringan kulit dan subkutis. Paru adalah organ yang paling sering ditemukan
mengalami infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran kemih, tetapi pada 20-30% penderita lokasi
pasti terjadinya infeksi tidak dapat ditentukan. Pada sepsis, pemeriksaan mikrobiologi tidak
selalu menunjukkan adanya kuman positif. Kultur darah positif hanya terdapat pada kurang lebih
30% (Wheeler and Bernard, 1999). Jika selain tanda2 diatas terpenuhi, ditemukan juga adanya
gangguan fungsi salah satu organ misalnya ditemukan gangguan fungsi ginjal yang akut, atau
ditemukan gangguan fungsi paru dengan gejala sesak nafas sampai memerlukan terapi oksigen,
atau ditemukan adanya gangguan sistim pembekuan darah akut seperti perdarahan spontan
biasanya dari saluran cerna atau kulit, maka stadium ini disebut sepsis berat (Severe Sepsis).
Sepsis berat akan berkembang lagi menjadi syok sepsis (Septic Shock), yaitu kriteria sepsis berat
tadi disertai dengan hipotensi yaitu tekanan sistolik < 90 mmHg meski telah di berikan resusitasi
cairan, dan atau di temukan kadar laktat darah > 4 mmol/L.
14
Gambar 2.3. Derajat Sepsis
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis,
gambaran koagulasi, glukosa, urea darah , nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar
asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin,
dan tempatlain yang terinfeksi harus dilakukan. Tergantung pada status klinis pasien dan resiko
terkait, penelitian dapat juga menggunkan foto ronsen abdomen, CT scanning, MRI,
ekokardiografi, dan atau lumbal puncture. Tabel 2.1. Indikator Laboratorium Sepsis
15
2.2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah menghilangkan sumber infeksi, memperbaiki dan mengembalikan
perfusi jaringan, memperbaiki dan mempertahankan fungsi ventrikel dan upaya suportif lain.
Penanganan renjatan septik terdiri atas langkah-langkah :
A. Stabilitas pasien langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation). Pemberian
resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid
untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac
output (arterial pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor
epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine. Bila resusitasi cairan adekuat,
kebanyakan pasien syok septik mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium
yang dinilai dari ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami
penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan
epinephrine.
Pemberian antibiotik yang adekuat, Perlu segera diberikan terapi empiric dengan
antimicrobial, artinya bahwa diberikan antibiotika sebelum hasil kulturdan sensitivitas tes
terhadap kuman didapatkan. Pemberian antimicrobial secara dini diketahui menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensitivitas didapatkan
maka terapi empiric dirubah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur dan
sensitivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah antibiotic yang diberikan
sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen antimicrobial dengan spectrum aktivitas luas
sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimicrobial hampir selalu diberikan
sebelum organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi. Obat yang digunakan tergantung
sumber sepsis:
- Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat yaitu
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan
aminoglikosida (gentamisin).
- Pneumonia nosokomial: sefipim dan aminoglikosida
- Kulit/jaringan lunak: vankomisin
- Infeks traktus urinariu: siprofloksasin dan aminoglikosida
16
- Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem
- Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin.
Pemberian nutrisi yang adekuat, pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat
penting berupa makro dan mikronutrien. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan
nukleutida yaitu glutamine sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.
B. Terapi suportif
- Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal
- Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin
- Regulasi ketat gula darah
- Heparin sesuai indikasi
- Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI
- Transfuse komponen darah bila diperlukan
- Kortikosteroid dosis rendah (masih controversial)
- Recombinant human activated protein C:
- Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis phase III menunjukan drotrecogin
alfa yang dapat menurunkan resiko relative kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ
akut yang terkait sebesar 19,4% yang dikenal dengan nama zovant.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin
terjadi meliputi:
a) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut (acute
respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan
terutama pada paru. Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran
gas, mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil
akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada
banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah
terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten dengan
edema paru.
b) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai
bagian respons inflamasi.
17
c) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan mekanisme yang
diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul inflamasi ketimbang
penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang
berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium
(MCI), terutama pada pasien usia lanjut.
d) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan
bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak
berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam
waktu yang lama.
e) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal ginjal pada
keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan
pada urinalisis
2.3 ABSES
2.3.1. Definisi
adalah penimbunan nanah yang terjadi akibat infeksi bakteri. Abses dapat terjadi di mana saja
pada bagian tubuh kita. Abses dapat terlihat karena berada di bagian luar tubuh (pada lapisan
kulit) atau terjadi pada organ dalam tubuh, yang tidak terlihat. Abses (Latin: abscessus)
merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas
jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya
benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).ini abses yang berupa nanah
tersebut terdiri atas sel darah putih dan jaringan yang nekrotik dan mencair. Abses biasanya
disebabkan oleh kuman potogen misalnya bisul. Abses gluteus merupkan abses yang terdapat
pada area gluteus.
2.3.2. Etiologi
1. Infeksi microbial Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik
mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding
18
sel.
2. Reaksi hipersentivitas Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. 3.
Agen fisik Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,
ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite). 4. Bahan kimia iritan
dan korosif Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu,
agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung
mengakibatkan radang. 5. Nekrosis jaringan Aliran darah yang tidak mencukupi akan
menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan
mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang
kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons,
radang akut.
Nyeri tekan
Nyeri lokal
Bengkak
Kenaikan suhu
Leukositosis
Rubor ( kemerahan ).
Dolor ( nyeri ).
2.3.4. Patofisiologi
Terjadinya abses dikarenakan masuknya bakteri melalui luka atau infeksi di bagian tubuh lain
maupun bakteri dalam tubuh yang tidak menimbulkan gangguan, lama kelamaan bagian yang
terkena terjadi infeksi. Infeksi ini menyebabkan sebagian sel mati dan hancur sehingga bagian
tersebut berongga berisi bakteri, sedangkan sebagian sel darah putih melakukan perlawanan dan
akhirnya mati, karena jumlah sel tersebut sedikit. Sel tersebut menjadi pus dan akhirnya
terdorong seperti benjolan yang disebut abses lalu terjadi peradangan yang menimbulkan nyeri,
membuat tidak nafsu makan. Peradangan tersebut akhirnya pecah terjadi perdarahan sehingga
menimbulkan kecemasan .
19
2.3.5.Pemeriksaan penunjang.
Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel
darah merah.
Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di
dalam abdomen/organ pelvis.
EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang
menyerupai infak miokard.
2.3.6 Penatalaksanaan
20
selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya
apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila
tidak disebabkan oleh benda
asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian
obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang
didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan doxycycline.
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Ny.E
Umur : 66 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
21
Tanggal Masuk : 20 November 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Batuk sejak 3 hari SMRS.batuk Berdahak batuk hilang timbul.tidak disertai darah.
Demam sejak 1 hari SMRS.demam yang dirasakan naik turun,demam tidak disertai dengan
menggigil dan tidak berkeringat malam.
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.
- Riwayat hipertensi disangkal.
22
- Riwayat DM disangkal.
- Riwayat penyakit paru disangkal.
- Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Pasien seorang perempuan berusia 66 tahun. Pasien seorang IRT, tidak merokok, suka
minum kopi, dan tidak mengkonsumsi minuman keras.
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit berat
2. Vital Signs
a. Kesadaran : sopor.
b. Tekanan Darah : 110/60 mmHg
c. Frekuensi Nadi :120 x/ menit
d. Frekuensi Napas : 21 x/menit
e. Suhu : 38.0ºC
23
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
c. Perkusi
Batas kiri : 2 jari di RIC V sejajar linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks biseps -/- -/-
Refleks triseps -/- -/-
Refleks -/- -/-
brachioradialis
Refleks patologis
Kanan Kiri
Refleks Hoffman- + +
24
Tromer
Inferior
1. Inspeksi : edema tungkai (+/+), edema pada
pergelangan kaki (+/+), sianosis (-/-)
2. Palpasi : perabaan hangat, pulsasi A. femoralis,
A.dorsalis pedis, A.tibialis posterior, dan
A.poplitea kuat angkat.
3. Tes sensibilitas : sulit dinilai.
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Patella ++ ++
Refleks Cremaster ++ ++
Refleks Achilles ++ ++
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Refleks babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks chaddoks - -
25
3. Pemeriksaan gula darah
- Gula Darah Random :634 mg%
4. Urinalisa
- keton : 1+
- protein : 1+
- glukosa : 2+
Farmakologi
IVFD Nacl 8 jam/kolf
Cefriaxon 1x2
Paracetamol 3x500
Drip insulin sesuai protap KAD 50 unit dalam 50cc Nacl 0.9%
26
3.7 Pemeriksaan Anjuran
-EKG
3.8 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
4.9 Follow Up
Tanggal Subject Objektif Assessment Planing
20- -penurunan KU: Tampak Sakit Ketoasidosis Non farmakologi:
novemb kesadaran berat. diabetikum + - Istirahat
er 2019 -batuk Kes: coma syok sepsis Farmakologi:
berdahak sukar TD: 90/60 mmHg +abses bokong - IVFD infus pump Nacl
dikeluarkan Nadi : 90 x/menit 0.9%
-demam (+) Napas : 22 x/menit - Terpasang O2
-mual dan Suhu : 41,0 ºC 3liter/menit
muntah tidak -terpasang syringe
ada insulin 7cc/jam
-bokong -terpasang dobutamin 2
tampak meg
kemerahan. -Terpasang syringe dopa
Pus (+) 7 meg
-badan masih -Terpasang NGT
terasa lemas(+) alir,berwarna cairan
27
-BAK seperi hitam.pasien puasa.
biasa. -terpasang kateter.
-BAB seperti
biasa.
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 66 tahun dirawat di RSUD solok masuk
ruangan HCU penyakit dalam dengan diagnosa KAD + syok sepsis + abses gluteal. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak dibokong sejak 15 hari SMRS,awalnya bengkak hanya bisul kecil,lama-
kelamaan membesar sehingga menimbulkan nyeri,kemerahan dan menimbulkan
luka,mengeluarkan pus Pasien hanya berbaring ditempat tidur sejak 15 hari SMRS.Batuk sejak 3
hari SMRS.batuk Berdahak batuk hilang timbul.tidak disertai darah.Demam sejak 1 hari
SMRS.demam yang dirasakan naik turun,demam tidak disertai dengan menggigil dan tidak
berkeringat malam.BAK seperti biasa.BAB seperti biasa.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos mentis
kooperatif, Tekan Darah:110/60 ,Frekuensi Nadi: 120 x/menit, Frekuensi Nafas: 21 x/menit.
Suhu: 38.0oC.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb : 12,3 g/dl, Ht: 34,5 % Leukosit: 16,200/ul,
Trombosit : 518.000/ul, ureum: 159 mg/dL, kreatinin: 1.65 mg/dL, gula darah random : 634 mg
28
%, dan keton : + protein : + glukosa : ++
Pasien diberikan terapi non farmakologi yaitu istirahat, IVFD Nacl 8 jam/kolf,Cefriaxon
1x2,Paracetamol 3x500,Drip insulin sesuai protap KAD 50 unit dalam 50cc Nacl 0.9% IVFD
infus pump Nacl 0.9%,Terpasang O2 3liter/menit,terpasang syringe insulin 7cc/jam,terpasang
dobutamin 2 meg,Terpasang syringe dopa 7 meg.Terpasang NGT alir,berwarna cairan
hitam.pasien puasa.terpasang kateter.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adi, Pangestu. Pengelolaan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
2. Bakta, I Made dkk. Anemia Defisiensi Besi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
3. Supandiman, Iman. Anemia pada Penyakit Kronis. dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Aru W Sudoyo (Editor). Balai Penerbit UI. Jakarta, 2010
4. Davey , Patrick. Medicine at a Glance. Blackwell Science. 2002
5. Tjokroprawiro, Asnandar, dkk. Buku Ajar Penyakit Dalam . Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga University Press.
2007.
6. Sudoyo, Aru W dkk. Gastritis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V jilid 1.
InternaPublishing: Jakarta, 2009 hal 509-512
29