Anda di halaman 1dari 57

PENGELOLAAN RISIKO KETIDAKSTABILAN KADAR GLUKOSA

DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH


Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Metoda Penulisan Karya Ilmiah

Yuwana Oktaviani Fajri


NIM. P1337420219063

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO PROGRAM


DIPLOMA III
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2021
PENGELOLAAN RISIKO KETIDAKSTABILAN KADAR GLUKOSA
DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

Disusun untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Metoda Penulisan Karya


Ilmiah
Pada Program Studi Keperawatan Purwokerto Program Diploma III

Yuwana Oktaviani Fajri


NIM. P1337420219063

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO PROGRAM


DIPLOMA III
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2021

1
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Yuwana Oktaviani Fajri


NIM : P1337420219063
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa KTI saya yang berjudul “Pengelolaan
Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe II” ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri; bukan
merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai
hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan pengelolaan


kasus ini adalah hasil bajakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, 20 Oktober 2021

Yang membuat Pernyataan,

Yuwana Oktaviani Fajri

2
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh Yuwana Oktaviani Fajri, NIM.


P1337420219063, dengan judul Pengelolaan Risiko Ketidakstabilan Kadar
Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II ini telah diperiksa dan
disetujui untuk diuji.

Purwokerto, 20 Oktober 2021

Pembimbing

Widjijati, MN
NIP. 19730525 199803 2 003
Tanggal: 20 Oktober 2021

3
LEMBAR PENGESAHAN

Proposal Karya Tulis Ilmiah oleh Yuwana Oktaviani Fajri, NIM.


P1337420219063, dengan judul Pengelolaan Risiko Ketidakstabilan Kadar
Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II ini telah dipertahankan di
depan dewan penguji pada tanggal 27 November 2021.

Dewan Penguji

Widjijati, MN Ketua ( )
NIP. 19730525 199803 2 003

Widjijati, MN Ketua ( )
NIP. 19730525 199803 2 003

Widjijati, MN Ketua ( )
NIP. 19730525 199803 2 003

Mengetahui,
a.n Direktur
Ketua Program Studi Keperawatan Purwokerto
Program Diploma III

Walin, SST., M.Kes.

4
NIP. 198604231988032002

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,


atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis mampu menyelesaikan Proposal Karya
Tulis Ilmiah tentang Pengelolaan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Penulis menyadari bahwa kegiatan penulisan ini dapat diselesaikan berkat


adanya dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Marsum, BE., S.Pd., MHP, selaku Direktur Politeknik


Kesehatan Kemenkes Semarang
2. Bapak Suharto, S.Pd., MN, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang
3. Ibu Walin SST., M.Kes, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
Purwokerto Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang
4. Ibu Widjijati, MN, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
saran, kritik, bantuan, arahan dan kesempatan waktu selama penulis
menyusun dan menyelesaikan laporan studi kasus ini.
5. Bapak dan ibu dosen serta tenaga kependidikan Politeknik Kesehatan
Kemenkes Semarang Program Studi Keperawatan Purwokerto Program
Diploma III yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama
mengikuti perkuliahan dan penulisan laporan studi kasus ini.
6. Keluarga tercinta terutama orang tua saya, Bapak Masirin dan Ibu Rutimah
yang telah mendukung, memberikan doa, semangat dan nasehat.
7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2018, 2019, 2020 Program Studi
Keperawatan Purwokerto Program Diploma III
8. Teman-teman kelas 3B yang sudah senantiasa saling memberikan
dukungan untuk mencapai kesuksesan.
9. Pihak-pihak yang telah memberikan saran dan bantuan dalam penyelesaian
laporan studi kasus ini.

5
Peneliti berharap semoga hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat
khususnya untuk Pengelolaan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe II. Penulis menyadari bahwa laporan Karya Tulis
Ilmiah masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan dan kritik untuk
perbaikan karya ilmiah pada masa mendatang sangat penulis harapkan.

Purwokerto, 20 Oktober 2021

Penulis

6
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
LEMBAR PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR TABEL x
BAB 1 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
D. Manfaat Penelitian 5
BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
A. 6
1. Definisi Diabetes Melitus 6
2. Etiologi 7
3. Manifestasi Klinis 7
4. 8
5. Pathway 10
6. Komplikasi 11
7. Pencegahan 11
8. Pemeriksaan Penunjang 12
B. 18
1. Definisi Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah 18
2. Faktor Risiko 18
3. Batasan Karakteristik 18
4. Pengelolaan 18

7
C. 24
1. Pengkajian 24
2. Diagnosis 30
3. Intervensi 32
d. Implementasi 35
e. Evaluasi 35
BAB III 36
METODOLOGI PENELITIAN 36
A. Rancangan Penelitian 36
B. 37
C. Fokus Studi 37
D. Definisi Operasional 37
E. Tempat dan Waktu 37
F. Pengumpulan Data 37
G. Cara Pengelolaan Data 38
H. Analisa Data dan Penyajian Data 38
I. Etika Penelitian 39
DAFTAR PUSTAKA 40

8
DAFTAR GAMBAR

Gambar Pathway Diabetes Melitus Tipe II............................................................10

9
DAFTAR TABEL

Kadar Glukosa Darah.............................................................................................13

Tanda dan Gejala Hiperglikemia dan


Hipoglikemia...............................................28

Intervensi Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah......................................29

Intervensi ketidakstabilan kadar glukosa darah (hiperglikemia dan


hipoglikemia).........................................................................................................30

Intervensi resiko terhadap infeksi ditandai dengan kadar glukosa tinggi dan
penurunan fungsi leukosit......................................................................................32

10
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menua adalah proses fisiologis yang akan berlangsung pada seluruh orang

dengan mekanisme yang berbeda-beda tiap orang. Pada proses fisiologis ini organ

tubuh akan mengalami penurunan fungsi sehingga akan memunculkan berbagai

masalah terutama pada orang lanjut usia. Pada orang lanjut usia dapat mengalami

berbagai kemunduran dalam sistem fisiologisnya seperti turunnya berat badan,

kekuatan otot melemah, daya lihat menurun, daya dengar menurun, kulit jadi

keriput, serta penurunan fungsi organ terhadap fungsi homeostasis glukosa

sehingga penyakit Diabetes Melitus bisa lebih mudah terjadi.

Pada umumnya Diabetes Melitus ( DM) menggambarkan kasus yang

sering terjadi di rumah sakit yang biasa dikenal dengan penyakit gula. Diabetes

Melitus termasuk penyakit keturunan yang bisa menurunkan ke generasi

berikutnya yaitu jika ibunya yang terdiagnosa Diabetes Melitus maka akan

menurunkan ke anak laki– lakinya dan apabila bapaknya yang terdiagnosa

Diabetes Melitus maka akan menurunkan ke anak perempuannya. Diabetes

Melitus rata- rata sering terjadi di usia remaja sampai dewasa. Tidak hanya

termasuk penyakit keturunan Diabetes Melitus juga dapat dipengaruhi oleh salah

satu faktor yaitu gaya hidup yang tidak sehat misalnya, suka makan dan minum

yang banyak mengandung gula, kurang beraktifitas, serta kegemukan atau

obesitas. Diabetes Melitus juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

keturunan, obesitas, kurang olahraga, makan secara berlebihan dan gaya hidup

kurang sehat (Kusnanto, 2013 dalam Nurul 2018). Tanpa disadari banyak orang

1
yang sudah terkena Diabetes Melitus karena penyakit Diabetes Melitus jarang

diketahui secara spontan dengan berlangsung lama tanpa keluhan sampai beberapa

tahun (Tandra, 2017).

Diabetes Melitus Tipe II sudah dijadikan penyebab kematian urutan ke

tujuh di dunia (ADA, 2018). Prevalensi Diabetes Melitus Tipe II di dunia yaitu

sebanyak 371 juta jiwa disebutkan oleh International Diabetes Federation (IDF).

Di Asia terutama Indonesia, China, Pakistan dan India terdapat 96 juta jiwa.

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2018, menunjukkan prevalensi

hiperglikemia yang menderita Diabetes Melitus Tipe II di Indonesia adalah

sebanyak 57% dari jumlah total 8,2 juta pasien menderita Diabetes Melitus Tipe

II. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan bahwa

angka kejadian Diabetes Melitus di Jawa Tengah dengan persentase sebanyak 7,

8% ( Riskesdas, 2018).

Diabetes Melitus Tipe I mutlak terjadi karena rusaknya sel islet di dalam

pankreas sehingga muncul defisiensi insulin. Diabetes Melitus Tipe II termasuk

dalam penyakit kronis yang terjadi pada saat pankreas sedikit menghasilkan

hormon insulin sehingga tubuh tidak optimal menggunakan insulin yang

dihasilkan ( WHO, 2017). Hormon insulin yaitu hormon yang dapat membantu

masuknya gula darah ke tubuh (WHO, 2016). Diabetes Melitus Tipe II mengalami

penurunan fungsi pada beta pankreas perihal tersebut bisa menimbulkan kendala

sekresi hormon insulin yang berdampak pada menurunnya produksi hormon

insulin, ketidakseimbangan produksi urine dan penurunan sekresi intrasel. Insulin

tidak berkaitan khusus dengan reseptor khusus di permukaan sel oleh karena itu

sel tidak dapat membawa masuk glukosa yang ada di dalam darah sehingga dapat

2
mengakibatkan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Metabolisme tubuh

hormon insulin bekerja sama untuk mengatur kadar glukosa darah yang

diproduksi dalam pankreas sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi (IDF,

2015).

Ada pula pengobatan Diabetes Melitus Tipe II secara non farmakologi

yaitu berolahraga secara teratur, memulai pola hidup yang sehat serta mengurangi

mengkonsumsi gula pada makanan dan minuman. Resiko Ketidakstabilan kadar

glukosa darah dalam Diabetes Melitus Tipe II disebabkan oleh pengobatan dan

kontrol yang tidak teratur serta ketidakpatuhan dalam diet. Secara farmakologi

pasien Diabetes Melitus dianjurkan untuk rutin dan teratur minum obat yang

diresepkan oleh dokter sesuai dengan petunjuk yang diberikan, meliputi dosis,

jumlah dan jenis obat. Obat Diabetes Melitus Tipe II dikonsumsi 2 kali sehari

yaitu pagi dan malam hari (Niven, 2012 dalam Adelaide 2019).

Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah pada pasien Diabetes

Melitus Tipe II yang dibiarkan terus- menerus atau tidak rutin diobati akan

berakibat buruk bahkan hingga menyebabkan kematian. Diabetes Melitus Tipe II

menimbulkan komplikasi angka kematian bukan angka kesakitan (Permana, 2013

dalam Lathifah 2017). Dampak buruk yang bisa terjadi yaitu masalah mulut dan

gigi bisa menyebabkan glukosa dalam mulut tidak terkontrol, kerusakan saraf

melanda pada kaki dan tangan, kerusakan mata dapat menimbulkan kebutaan,

kerusakan ginjal yang dapat menurunkan fungsi ginjal, dan kaki diabetik dapat

menyebabkan kaki diamputasi hipoglikemia ( kadar glukosa darah rendah) dan

hiperglikemia ( kadar glukosa darah tinggi) . Hiperglikemia dapat menyebabkan

kemampuan sel fagosit menurun sehingga akan menimbulkan infeksi. Infeksi paru

3
merupakan salah satu yang biasa terjadi pada pasien Diabetes Melitus Tipe II

(Wijaya, 2015 dalam Lathifah 2017).

Berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik untuk melakukan studi

kasus dengan judul “ Pengelolaan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

pada pasien Diabetes Melitus Tipe II“.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran Pengelolaan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

pada pasien Diabetes Tipe II?

C. Tujuan

Tujuan Umum :

1. Menerapkan dan melaksanakan Pengelolaan Resiko Ketidakstabilan Kadar

Glukosa Darah pada pasien Diabetes Tipe II.

Tujuan Khusus :

1. Melakukan pengkajian Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa

Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

2. Menetapkan diagnosis Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa

Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

3. Melaksanakan penyusunan rencana Keperawatan Resiko Ketidakstabilan

Kadar Glukosa Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

4. Melaksanakan tindakan Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa

Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

5. Melakukan evaluasi Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa

Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

4
6. Melakukan dokumentasi Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa

Darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe II.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi dunia pendidikan dalam

mengembangkan ilmu keperawatan medikal bedah khususnya mengenai

pengelolaan keperawatan medikal bedah pada pasien Diabetes Melitus Tipe

II.

2. Manfaat Praktis

1) Bagi Peneliti

Sebagai sarana untuk mengaplikasikan karya tulis ilmiah keperawatan dan

meningkatkan keterampilan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah

berkaitan dengan pemberian asuhan keperawatan pada pasien Diabetes

Melitus Tipe II.

2) Bagi Pasien dan Keluarga

Sebagai tambahan pengetahuan bagi pasien dan keluarga tentang penyakit

Diabetes Melitus Tipe II agar mampu merawat penyakit tersebut sehingga

tercipta peningkatan status dan derajat kesehatan pasien dan keluarga

yang optimal.

3) Bagi Institusi Pendidikan

Untuk menambah acuan dalam bidang ilmu keperawatan khususnya

dalam pelaksanaan asuhan keperawatan Diabetes Melitus Tipe II.

5
6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Diabetes Melitus Tipe II

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh

masyarakat negara berkembang, ditandai dengan adanya kadar glukosa darah

yang tinggi sehingga dapat menyebabkan tubuh tidak bisa melepaskan atau

menggunakan insulin secara adekuat, (Putri, 2016). Diabetes Melitus

tergolong ke dalam suatu kelompok penyakit metabolik di mana jumlah gula

dalam darah mengalami peningkatan yang signifikan dan tubuh terserang

hiperglikemia sehingga mengakibatkan hormon insulin berkurang atau

menurun baik secara absolut maupun relatif, (Rudi, 2019). Karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

dua-duanya, (Dewi, 2016).

Diabetes Melitus Tipe I yaitu kondisi dimana tubuh mengalami defisiensi

insulin secara absolut yang disebabkan oleh penyakit autoimun ditandai

dengan rusaknya sel beta di pankreas. Tipe ini sering disebut dengan diabetes

tergantung insulin yang disebabkan oleh suatu kondisi kelenjar ludah atau

pankreas tidak dapat menghasilkan insulin ke dalam darah normal dan tubuh

tidak bisa efektif menggunakan insulin sehingga pankreas dalam tubuh selalu

bergantung dengan insulin hingga kekurangan, (Rudi, 2019).

Diabetes Melitus Tipe II adalah kondisi di mana kenaikan gula darah yang

diakibatkan oleh sel beta pankreas karena memproduksi insulin dalam jumlah

7
yang sedikit dan adanya gangguan fungsi insulin atau resistensi urine, (Rudi,

2019). Serangkaian disfungsi ditandai dengan hiperglikemia dan akibat

8
kombinasi resistensi terhadap aksi insulin, sekresi insulin yang tidak

adekuat, dan sekresi glukagon yang berlebihan atau tidak tepat, (Rudi, 2019).

Resistensi insulin yaitu suatu keadaan menurunnya kemampuan insulin dalam

melakukan rangsangan terhadap glukosa di jaringan perifer dan menghambat

produksi glukosa oleh hati sehingga menyebabkan glukosa tidak bisa

memasuki sel yang pada akhirnya berujung di dalam peredaran darah dan

tertimbun di sana.

Berdasarkan pengertian tersebut maka penulis dapat memberikan batasan

bahwa dia Diabetes Melitus Tipe II merupakan keadaan terjadinya resistensi

insulin dan defisiensi insulin secara relatif pada organ pankreas.

2. Etiologi

Diabetes Melitus Tipe II disebabkan adanya penurunan produksi jumlah

insulin oleh sel beta pankreas. Penyakit Diabetes Melitus Tipe II berasal dari

adanya gangguan pada metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk

heterogen. Berikut beberapa faktor pemicu Diabetes Melitus Tipe II ialah

usia, riwayat keluarga, obesitas, distribusi lemak, jarang melakukan aktivitas

fisik, tidak mengatur pola makan dan minum, dan stres yang berlebihan

(Rudy, 2019).

3. Manifestasi Klinis

Beberapa manifestasi klinis yang muncul pada Diabetes Melitus Tipe II

yaitu kadar glukosa darah yang tinggi, sering buang air kencing di malam

hari, merasa haus dan lapar terus-menerus, gangguan penglihatan kabur,

penurunan berat badan yang drastis, mudah lelah meski sudah cukup istirahat,

mulut terasa kering, pingsan, dan infeksi yang mudah kambuh (Rudy, 2019).

9
4. Patofisiologi

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II berbeda dengan Diabetes Melitus

Tipe I. Respons terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi

faktor mayor dalam perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis

terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi progresif kurang efisien ketika

merespons peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini dinamai

desensitisasi, dapat kembali dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio

proinsulin (prekursor insulin) terhadap insulin disekresi juga meningkat

(Black, M. Joyce, 2014 dalam Rudy, 2019).

Diabetes Melitus Tipe II adalah suatu kondisi hiperglikemia puasa yang

terjadi meski tersedia insulin endogen. Kadar insulin yang dihasilkan pada

DM Tipe II berbeda-beda tiap orang, fungsinya dirusak oleh resistensi insulin

di jaringan perifer. Hati memproduksi glukosa lebih dari normal, karbohidrat

dalam makanan tidak dimetabolisme dengan baik sehingga pankreas

mengeluarkan jumlah insulin yang kurang dari yang dibutuhkan oleh tubuh

(LeMone, Priscilla, 2016 dalam Rudy, 2019).

Faktor utama perkembangan DM Tipe II adalah resistensi seluler terhadap

efek insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak beraktivitas,

penyakit, dan obat-obatan serta pertambahan usia. Pada kegemukan, insulin

mengalami penurunan kemampuan untuk mempengaruhi absorpsi dan

metabolisme glukosa oleh hati, otot rangka, dan jaringan adiposa.

Hiperglikemia meningkat secara perlahan dan dapat berlangsung lama

10
sebelum DM Tipe II yang baru didiagnosis sudah mengalami komplikasi

(LeMore, Priscilla, 2016 dalam Rudy, 2019).

Proses patofisiologi dalam DM Tipe II adalah resistensi terhadap aktivitas

insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer. Orang dengan DM Tipe

II memiliki penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa yang

mengakibatkan produksi glukosa hepatik berlanjut, bahkan sampai dengan

kadar glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot

dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme

penyebab resistensi insulin perifer tidak jelas, namun dapat terjadi setelah

insulin berikatan terhadap reseptor pada permukaan sel.

Insulin merupakan hormon pembangun (antibiotik). Tanpa adanya insulin

tiga masalah metabolik mayor terjadi seperti penurunan pemanfaatan glukosa,

peningkatan mobilisasi lemak, dan peningkatan pemanfaatan protein (Black,

M. Joyce, 2014 dalam Rudy, 2019).

11
5. Pathway

Faktor obesitas, kurang beraktivitas fisik, usia dan genetik

Produksi insulin normal berkurang namun terdapat kerusakan reseptor

Penurunan pengikatan insulin pada reseptor

Resistensi insulin

Penurunan efektivitas insulin dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh

jaringan dan sel

Glukosa beredar di dalam tubuh

Peningkatan glukosa darh

Diabetes Melitus Tipe II

Kepatuhan pada rencana manajemen diabetes Terjadi trauma tumpul/tajam

Kegagalan mengikuti aturan Luka


Manajemen diabetes dalam
kehidupan sehari-hari Media berkembangnya bakteri

KETIDAKEFEKTIFAN RISIKO INFEKSI


MANAJEMEN KESEHATAN

Apabila tidak ditangani

RESIKO
KETIDAKSTABILAN KADAR
GLUKOSA DARAH

Gambar 2.1 Pathway Diabetes Melitus Tipe II

Sumber: Abata, 2014, Brunner dan Suddarth 2010, Sadiyah, 2016 dalam

12
Saputri, 2018

13
6. Komplikasi

Diabetes Melitus yang tidak tertangani dengan baik atau tidak terkontrol

lama-kelamaan akan menyebabkan beberapa komplikasi antara lain penyakit

jantung, stroke, penyakit ginjal (nefropati diabetik), kerusakan saraf

(neuropati diabetik), kerusakan mata (retinopati diabetik), gastroparesis dan

masalah perut lainnya, disfungsi ereksi, masalah kulit, infeksi, masalah gigi

dan gusi, serta depresi.

7. Pencegahan

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2015) ada

tiga pencegahan Diabetes Melitus Tipe II antara lain :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok

yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi

berpotensi untuk mendapat diabetes melitus dan kelompok intoleransi

glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan

pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai

risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan pencegahan

primer diabetes melitus tipe II antara lain program penurunan berat badan,

latihan jasmani, menghentikan kebiasaan merokok, pada kelompok

dengan resiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosa diabetes melitus.

Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar

14
glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang

lain dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini

adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan

ini dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit diabetes melitus. Program

penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan

pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target

terapi yang diharapkan.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes

yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya

kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya

rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan

menetap.

Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada

pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang

dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan

tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegrasi

antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama

yang baik antara ahli di berbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf,

bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,

podiatrist, dan lain-lain) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan

pencegahan tersier.

8. Pemeriksaan Penunjang

15
Pemeriksaan fisik, riwayat medis dan uji laboratorium dilakukan untuk

mengkaji pasien dengan Diabetes Melitus. Manifestasi klinis menyakinkan

adanya Diabetes Melitus, akan tetapi uji laboratorium dibutuhkan

menegakkan diagnosis pasti (Black, M. Joyce, 2014). Pemeriksaan diagnostik

dilakukan untuk tujuan penapisan guna mendiagnosis Diabetes Melitus dan

pemeriksaan laboratorium berkelanjutan dilakukan untuk mengevaluasi

efektivitas penatalaksanaan diabetes. Defisit kadar glukosa darah normal

berbeda-beda di praktik klinik, bergantung pada laboratorium yang dilakukan

pemeriksaan (LeMone, Priscilla, 2016).

a. Pemeriksaan Diagnostik Wajib Diabetes Melitus

Tiga pemeriksaan diagnostik dapat digunakan untuk mendiagnosis

Diabetes Melitus dan masing-masing harus diperhatikan, di hari

berikutnya dengan salah satu dari ketiga pemeriksaan tersebut. Kriteria

diagnostik yang direkomendasikan American Diabetes Association

(ADA) adalah sebagai berikut:

1) Manifestasi hiperglikemia (poliuria, polidipsia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan) dan konsentrasi glukosa plasma

(plasma glucose, PC) kasual >200 mg/dl (11,1 mmol/L). Kasual

diartikan sebagai sewaktu-waktu tanpa mempertimbangkan waktu

makan terakhir (LeMone, Priscilla, 2016).

2) Glukosa Plasma Puasa (fasting plasma glucose, FPG) >126 mg/dl (7,0

mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori selama

8 jam.

16
3) PG dua jam >200 mg/dl (11,1 mmol/L) selama pemeriksaan toleransi

glukosa oral (oral glucose tolerance test, OGTT). Pemeriksaan ini

terus harus dilakukan dengan muatan glukosa yang isinya setara

dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan dalam air (LeMone,

Priscilla, 2016).

Ketika menggunakan kriteria ini, kadar berikut digunakan untuk FPG:

a) Glukosa puasa normal: 100 mg/dl (6,1 mmol/L).

b) Glukosa puasa terganggu (impaired fasting glucose, IFG) = > 100

(6,1 mmol/L) dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/L

c) Diagnosis DM = > 126 mg/dl (7,0 mmol/L), (LeMone, Priscilla,

2016).

Ketika menggunakan kriteria ini, kadar berikut digunakan untuk

OGTT:

a) Toleransi glukosa normal = PG 2 jam: <140 mg/dl (7,8 mmol/L)

b) Toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance, IGT) =

PG 2 jam: 2140 (7, 8 mmol/L) dan < 200 mg/dl (11,1 mmol/L).

c) Diagnosis DM = PG 2 jam: 2200 mg/dl (11,1 mmol/L) (LeMone,

Priscilla, 2016)

d) Selain itu, ADA (2010) merekomendasikan pengukuran kadar

hemoglobin terglikosilasi (AIG), dengan kadar 65% cukup untuk

menegakkan diagnosis diabetes. Kadar 5,7%-6,49%

mengindikasikan risiko tinggi terjadinya diabetes dan penyakit

17
kardiovaskular dan merupakan penanda prediabetes (LeMone,

Priscilla, 2016)

b. Uji Laboratorium lainnya terkait Diabetes Melitus

1) Pemeriksaan HbA1c (hemoglobin HbA1c)

Merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

mendiagnosa dan mengontrol kondisi diabetes. Pemeriksaan HbA1c

berfungsi untuk mengukur jumlah hemoglobin A1c yang berkaitan

dengan gula darah (glukosa) selama tiga bulan terakhir. Durasi ini

sesuai dengan siklus hidup sel darah merah, termasuk hemoglobin,

yaitu tiga bulan.

Hasil Normal: jumlah HbA1c di bawah 5,7%

Prediabetes: jumlah HbA1c antara 5,7-6,4%

Diabetes: jumlah HbA1c mencapai 6,5% atau lebih (Alert Benedicto

Ieuan Noya, 2020)

2) Kadar Albumin Glikosilase

Glukosa juga melekat pada protein, albumin secara primer.

Konsentrasi albumin glikosilase (fruktosamin) mencerminkan kadar

glukosa darah rata-ratanya lebih dari 7-10 hari sebelumnya.

Pengukuran ini bermanfaat ketika penentuan glukosa darah rata-rata

jangka pendek diperlukan. Aplikasi klinis dan reliabilitas secara terus

menerus dapat dievaluasi (Black, M. Joyce, 2014).

3) Kadar Connecting Peptide (C-Peptide)

Ketika proinsulin diproduksi oleh sel beta pankreas sebagian

dipecah oleh enzim, 2 produk terbentuk, insulin dan connecting

18
peptide, umumnya disebut C-peptide. Oleh karena C-Peptide dan

insulin dibentuk dalam jumlah yang sama, pemeriksaan ini

mengindikasikan jumlah produksi insulin endogen. Pasien dengan

Diabetes Melitus Tipe I biasanya memiliki konsentrasi C-peptide

rendah atau tidak ada. Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe II

cenderung memiliki kadar normal atau peningkatan C-peptide (Black,

M. Joyce, 2014).

4) Ketonuria

Kadar keton urine dapat dites dengan tablet atau distrip oleh

pasien. Adanya keton dalam urine (disebut ketonuria)

mengindikasikan bahwa tubuh memakai lemak sebagai sumber utama

energi, yang mungkin ketoasidosis. Hasil pemeriksaan yang

menunjukan perubahan warna, mengindikasikan adanya keton. Semua

pasien dengan Diabetes Melitus seharusnya memeriksakan keton

dalam urine selama mengalami sakit akut atau stres, ketika kadar

glukosa darah naik (>240 mg/dl) dan ketika hamil atau memiliki bukti

ketoasidosis (misal, mual, muntah, nyeri perut). Beberapa strip

mendeteksi keton seperti halnya mendeteksi glukosa. Walaupun

pemeriksaan urine penting untuk mengetahui keberadaan keton,

pemeriksaan glukosa di dalam urine bukanlah metode yang reliabel

untuk pemantauan (Black, M. Joyce, 2014).

5) Proteinuria

Mikroalbuminuria mengukur jumlah protein di dalam urine

(proteinuria) secara mikroskopis. Adanya protein (mikroalbuminuria)

19
dalam urine adalah gejala awal dari penyakit ginjal. Pemeriksaan

urine untuk mikroalbuminuria menunjukkan nefropati awal, lama

sebelum hal ini akan terbukti pada pemeriksaan urine

microalbuminuria setiap tahun. Namun beberapa pasien perlu

pemeriksaan lebih sering untuk mendeteksi perjalanan penyakit ginjal

terkait efek yang tidak diinginkan dari obat-obatan tertentu pada ginjal

(Black, M. Joyce, 2014).

20
B. Konsep Dasar Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

1. Definisi Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

Risiko ketidakstabilan kadar gula darah adalah rentang terhadap variasi

kadar glukosa/gula darah dari rentang normal, yang dapat mengganggu

kesehatan (Herdman & Kamitsuru, 2015).

2. Faktor Risiko

Rata-rata aktivitas harian kurang dari yang dianjurkan menurut gender dan

usia, tidak menerima diagnosis, stres berlebihan, penambahan berat badan

berlebihan, penurunan berat badan berlebihan, pemantauan glukosa darah

tidak adekuat, manajemen medikasi tidak efektif, manajemen diabetes tidak

tepat, asupan diet kurang, kurang pengetahuan tentang manajemen penyakit,

kurang pengetahuan tentang faktor yang dapat diubah, kurang kepatuhan pada

rencana manajemen diabetes (Herdman dan Kamitsuru, 2015).

3. Batasan Karakteristik

Secara subjektif batasan karakteristiknya yaitu mengungkapkan

ketidaktahuan secara verbal tentang diit diabetes melitus untuk mencegah

ketidakstabilan kadar gula darah. Sedangkan secara objektif, batasan

karakteristiknya yaitu tidak mengikuti instruksi penatalaksanaan diit, perilaku

diet tidak sesuai atau berlebihan, hasil pemeriksaan gula darah yang tidak

stabil (Wilkinson dan Ahem, 2013).

4. Pengelolaan

Tujuan utama terapi diabetes melitus adalah menormalkan aktivitas insulin

dan kadar glukosa darah untuk mengurangi komplikasi yang ditimbulkan

akibat diabetes melitus. Caranya yaitu menjaga kadar glukosa dalam batas

21
normal tanpa terjadi hipoglikemia serta memelihara kualitas hidup yang baik.

Ada lima komponen dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II, yaitu

terapi nutrisi (diit), latihan fisik, pemantauan, terapi farmakologi dan

pendidikan (Damayanti, 2015).

a. Terapi Nutrisi (Diit)

Menjaga menu makan sangat penting bagi pasien penderita

diabetes, terutama dalam memastikan bahwa jumlah asupan

karbohidratnya tidak berlebihan yang dapat mempengaruhi kadar gula

seseorang dibandingkan lemak atau protein. Memperbanyak serat juga

sangat membantu pasien diabetes dalam memperbaiki kadar gula darah

(Safira, 2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Bistara

(2018) didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang kuat antara pola

makan dengan kadar gula darah. Apabila pola makan yang tidak baik

seperti yang dianjurkan prinsip 3J maka akan terjadi ketidakstabilan kadar

gula darah. Penderita diabetes melitus tetap diperbolehkan makan seperti

orang normal tetapi harus mampu mengendalikannya baik dalam hal

jadwal makan, jumlah, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami

hiperglikemia (45%). Berdasarkan berat badan hampir sebagian

responden memiliki kategori obesitas. Hal ini dikarenakan penderita

diabetes melitus cenderung mengkonsumsi makanan yang banyak

mengandung gula dan berindeks glikemik tinggi sehingga akan memicu

22
seseorang terkena diabetes. Selanjutnya, hal ini juga bisa memicu adanya

resistensi insuline.

Seseorang yang tidak bisa mengatur pola makan dengan

pengaturan 3 J (jadwal, jenis dan jumlah) maka hal ini akan menyebabkan

penderita mengalami peningkatan kadar gula darah. Oleh karena itu,

penderita diabetes melitus perlu menjaga pengaturan pola makan dalam

rangka pengendalian kadar gula darah sehingga kadar darahnya tetap

terkontrol.

b. Latihan Fisik

Selain mengatur pola makan, penderita diabetes juga perlu

melakukan aktivitas fisik, terutama olahraga secara teratur. Berolahraga

membantu penderita mengontrol gula darah dan bahkan menurunkan

risiko terserang penyakit kardiovaskular. Ketika tubuh bergerak aktif,

otot-otot yang digunakan untuk menggerakan badan pun menggunakan

lebih banyak glukosa dibandingkan otot yang sedang beristirahat. Maka,

sel-sel dapat menerima gula dengan lebih baik dan kadar gula pun lantas

menurun (Safira, 2018).

Wahyuningsih dan Utami (2017) menyatakan bahwa dalam hasil

penelitiannya rata-rata pada kelompok kontrol kadar gula darahnya tidak

terkendali dan rata-rata kadar gula darah terkendali pada kelompok

intervensi. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan ada perbedaan kadar

gula darah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada

kelompok perlakuan diberikan olahraga berupa senam lansia 3 kali

seminggu dan setiap senam dilaksanakan lebih dari 30 menit. Pada

23
kelompok kontrol diberikan senam lansia sesuai jadwal puskesmas yang

dilaksanakan satu bulan sekali pada saat kegiatan prolanis.

Olahraga akan menyebabkan seseorang menghancurkan ATP yang

tersimpan dalam otot yang digunakan sebagai sumber energi.

Metabolisme yang dominan pada saat olahraga adalah metabolisme

anaerobik sehingga menyebabkan glikolisis otot. Pada saat olahraga

dengan intensitas tinggi akan menyebabkan penggunaan glukosa darah

dan glikogen otot, dengan demikian pada seseorang dengan diabetes

melitus apabila melakukan olahraga rutin dan intensitas tinggi dapat

menurunkan kadar gula darah. Dengan olahraga rutin meningkatkan

aktivitas reseptor insulin sehingga terjadi sensitivitas insulin terhadap gula

darah dan membantu penurunan kadar gula darah.

c. Pemantauan

Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self-

monitoring blood glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan

mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia, pada akhirnya akan

mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Beberapa hal yang harus

dimonitoring secara berkala adalah glukosa darah, glukosa urine, keton

darah, keton urine. Selain itu, pengkajian tambahan seperti cek berat

badan secara reguler, pemeriksaan fisik teratur dan pendidikan tentang

diit, kemampuan monitoring diri, injeksi, pengetahuan umum tentang

diabetes dan perubahan-perubahan dalam diabetes (Dunning, 2003 dalam

Damayanti, 2015).

24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratna (2016)

menyatakan bahwa bagi penderita diabetes melitus tipe II pemantauan

kadar gula darah sangat penting karena membantu penanganan medis

yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi yang berat dan dapat

meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Pemeriksaan pemantauan

kadar glukosa darah dapat dilakukan kapan saja, sebelum makan, sesudah

makan, sewaktu puasa atau ketika diabetesi memang memerlukan

pemeriksaan khusus.

Ditambahkan sebuah studi yang dilakukan oleh Stephen, dkk (2013

dalam Dewi Ratna 2016) untuk mengamati manfaat pemantauan gula

darah mandiri oleh setiap pasien diabetes melitus tipe II diperoleh hasil

pemantauan gula darah mandiri dapat menurunkan resiko munculnya

komplikasi 32% lebih rendah dan risiko kematian 52% lebih rendah pada

pasien diabetes melitus tipe II. Pemantauan gula darah mandiri yang

terstruktur dapat dilakukan secara mandiri di rumah. Dengan begitu

pasien dapat menyesuaikan makanan, aktivitas fisik, dan dosis obat untuk

mencapai kontrol glikemik yang lebih baik.

d. Terapi Farmakologi

Obat tablet juga dapat membantu penderita diabetes untuk

mengontrol gula darahnya. Pada dasarnya, obat dapat membantu tubuh

untuk menekan nafsu makan ataupun membantu tubuh menghasilkan

insulin. Terdapat beberapa jenis obat yang dapat dikonsumsi penderita

diabetes. Obat-obatan tersebut memiliki fungsi dan manfaat berbeda-beda.

Beberapa obat tersebut adalah sulphonylureas,biguanides,

25
thiazolidinediones, alpha glukosidase, inhibitor, dan prandial glukosa

regulator (Fox dan Kilvert, 2010).

Rusnoto (2018) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada

hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar glukosa darah.

Semakin tinggi tingkat kepatuhan minum obat makan tingkat kadar

glukosa darah rendah atau semakin rendah tingkat kepatuhan minum obat

maka tingkat kadar glukosa darah tinggi. Hasil penelitian didapatkan

bahwa sebagian besar responden tingkat kepatuhannya rendah.

e. Pendidikan

Penderita diabetes sebaiknya mendapatkan pengetahuan dan

wawasan yang cukup tentang penyakit. Dengan demikian, penderita dapat

melakukan banyak hal untuk mengontrol dan mengurangi risiko diabetes

(Fox dan Kilvert, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Novyanda dan

Hadiyani (2017) didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang

signifikan antara edukasi diabetes melitus dengan kejadian komplikasi.

Edukasi merupakan dasar utama untuk pengobatan dan pencegahan

diabetes melitus yang sempurna. pengetahuan yang minum tentang

diabetes melitus akan lebih cepat menjurus ke arah timbulnya komplikasi

dan hal ini merupakan beban bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat

pengetahuan yang rendah akan dapat mempengaruhi pola makan yang

salah sehingga menyebabkan kegemukan, yang akhirnya mengakibatkan

kenaikan kadar glukosa darah.

26
C. Asuhan Keperawatan Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Pada

Pasien Dengan Diabetes Melitus Tipe II

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahapan dasar yang paling utama, serta menjadi bagian

awal dari sebuah proses keperawatan yang meliputi pengumpulan informasi

mengenai data-data pasien. Difokuskan pada respon pasien mengenai masalah

kesehatan yang abnormal berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar

(Bulan Sinulingga, 2019). Pengkajian pada pasien Diabetes Melitus Tipe II

meliputi :

a. Identitas

1) Identitas Pasien

Di dalam identitas terdapat pengkajian nama, umur, jenis kelamin,

agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, tanggal masuk RD,

tanggal pengkajian, nomor rekam medik, diagnosa medis, alamat

pasien ( Wulandari dan Erawati, 2016 dalam I Nyoman Sudiarta

Kusuma, 2020).

2) Identitas Penanggung Jawab

Adapun meliputi pengkajian nama, umur, jenis kelamin, agama,

pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga dengan pasien, dan alamat.

3) Keluhan Utama

Pasien Diabete Melitus Tipe II mengalami berat badan berkurang,

luka sukar sembuh dan bau, intensitas BAK di malam hari tinggi, haus

meski cukup dan lelah meski cukup istirahat, adanya rasa kesemutan

pada kaki atau tungkai bawah.

27
4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Mengkaji riwayat penyakit yang pernah dialami pasien di masa lalu

yang memungkinkan ada hubungan dengan penyakit sekarang.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Dalam keluarga adakah yang sebelumnya pernah terdiagnosa Diabetes

Melitus Tipe II atau ada faktor keturunan.

6) Riwayat Penyakit Sekarang

Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta

upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya

(Bararah, 2013).

b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Aktivitas

a) Gejala: lemah, letih, sulit bergerak, sulit berjalan, terjadi kram

dan tonus menurun.

b) Tanda: takikardi dan takipnea ketika beraktivitas,

letargi/disorientasi dan penurunan kekuatan otot.

2) Pola Istirahat

a) Gejala: gangguan tidur/istirahat

b) Tanda: takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat

3) Pola Sirkulasi

a) Gejala: adanya riwayat hipertensi, MCI, kesemutan pada

ekstremitas, ulkus pada kaki dan penyembuhan luka atau penyakit

yang lama.

28
b) Tanda: takikardia, hipertensi, nadi yang menurun, kulit terasa

panas, kering, kemerahan, dan bola mata cekung.

4) Pola Eliminasi

a) Gejala: perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa

nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK, baru/berulang,

nyeri saat abdomen ditekan dan diare.

b) Tanda: urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang

menjadi oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia berat), urine

berkabut dan berbau busuk (terjadi infeksi), abdomen keras,

adanya asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare).

5) Pola Asupan Nutrisi dan Cairan

a) Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah, tidak mengikuti diet,

peningkatan pemasukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat

badan dari periode beberapa hari/minggu, haus berlebihan,

penggunaan diuretik (tiazid).

b) Tanda: kulit kering/bersisik, turgor terlihat jelek, pembesaran

tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula

darah), kekakuan/distensi abdomen, muntah, bau halitosis, bau

buah (napas aseton).

c. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Badan lemas, lemas, pucat, gemetaran, tremor, gelisah, kesadaran

composmentis, hipoglikemia/hiperglikemia akibat reaksi penggunaan

29
insulin yang kurang tepat, takikardia (60-100 x/menit). (Black, M.

Joyce, 2014).

Tanda-tanda Vital: pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, turgor kulit

dan frekuensi pernapasan (Black, M. Joyce, 2014).

2) Sistem Pernapasan

Inspeksi: lihat apakah pasien mengalami sesak napas

Palpasi: mengetahui vocal fremitus dan mengetahui adanya massa, lesi

atau bengkak.

Auskultasi: mendengarkan suara nafas normal dan nafas tambahan

(abnormal: wheezing, ronchi, pleural friction rub) (Black, M. Joyle,

2014).

a) Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum.

Bisa karena adanya infeksi atau tidak.

b) Tanda: lapar udara atau kekurangan udara, batuk dengan/tanpa

sputum purel (infeksi), frekuensi pernapasan yang tidak teratur.

3) Sistem Kardiovaskular

Inspeksi: amati ictus cordis terlihat atau tidak.

Palpasi: takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, nadi perifer

melemah atau berkurang.

Perkusi:

Auskultasi: mendengar detak jantung, bunyi jantung dapat

dideskripsikan dengan S1, S2, tunggal (Black, M. Joyce, 2014).

4) Sistem Persarafan

30
Terjadi penurunan sensoris, paresthesia, anesthesia, letargi,

mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi. Pasien dengan

kadar glukosa darah tinggi sering mengalami nyeri saraf. Nyeri saraf

sering dirasakan seperti mati rasa, menusuk, kesemutan, atau sensasi

terbakar yang membuat pasien terjaga waktu malam atau berhenti

melakukan tugas harian (Black, M. Joyce, 2014).

5) Sistem Perkemihan

Poliuria, retensi urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat

proses miksi (Black, M. Joyce, 2014).

6) Sistem Pencernaan

Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, penurunan berat badan,

diare, konstipasi, dehidrasi, peningkatan lingkar abdomen (Bararah,

2013). Neuropati autonomi sering mempengaruhi Gl. Pasien mungkin

dysphagia, nyeri perut, mual, muntah, penyerapan terganggu,

hipoglikemia setelah makan, diare, konstipasi dan inkontinensia alvi

(Black, M. Joyce, 2014).

7) Sistem Integumen

Inspeksi: melihat warna kulit, kuku, cacat warna, batuk,

memperhatikan jumlah rambut, distribusi dan teksturnya.

Palpasi: meraba suhu kulit, tekstur (kasar atau halus), mobilitas,

meraba tekstur rambut (Bararah, 2013).

8) Sistem Muskuloskeletal

Penyebaran lemak, penyebaran massa otot, perubahan tinggi badan,

cepat lelah, lemas dan nyeri (Bararah, 2013).

31
9) Sistem Endokrin

Autoimun aktif menyerang sel beta pankreas dan produknya

mengakibatkan produksi insulin yang tidak adekuat yang

menyebabkan DM Tipe I. Respons sel beta pankreas terpapar secara

kronis terhadap kadar glukosa darah yang tinggi menjadi progresif

kurang efisien yang menyebabkan DM Tipe II (Black, M. Joyce,

2014).

10) Sistem Reproduksi

Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ

reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seks, gangguan

kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi

(Bararah, 2013).

11) Sistem Penglihatan

Retinopati diabetic merupakan penyebab utama kebutaan pada pasien

diabetes melitus (Black, M. Joyce, 2014).

12) Sistem Imun

Pasien dengan DM rentan terhadap infeksi. Sejak terjadi infeksi,

infeksi sangat sulit untuk pengobatan. Area terinfeksi sembuh secara

perlahan karena kerusakan pembuluh darah tidak membawa cukup

oksigen, sel darah putih, zat gizi dan antibodi ke tempat luka. Infeksi

mengakibatkan kebutuhan insulin dan mempertinggi kemungkinan

ketoasidosis (Black, M. Joyce, 2014).

2. Diagnosis

a. Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

32
Definisi: risiko terhadap variasi kadar glukosa darah naik/turun dari

rentang normal.

Tanda dan Gejala

a) Minor

Subyektif: memiliki riwayat gula darah tinggi

Objektif : -

b) Mayor

Subyektif: pusing, lemas

Objektif: GDA 325 mg/dl

b. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (hiperglikemia dan hipoglikemia)

berhubungan dengan resistensi insulin dan atau penurunan sekresi insulin

yang berdampak pada defisit nutrisi (glukosa) di tingkat selular, efek

terapi farmakologi: OHO dan insulin

Definisi: variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal.

Tabel Tanda dan Gejala Hiperglikemia dan Hipoglikemia

Tanda dan Gejala Hiperglikemia Tanda dan Gejala Hipoglikemia

a. Minor a. Minor

Subjektif: Subjektif:

1. Mulut kering 1. Palpitasi

2. Rasa haus meningkat Objektif:

Objektif: 1. Gemetar

1. Jumlah urine meningkat 2. Kesadaran menurun

b. Mayor 3. Sulit bicara

33
Subjektif: b. Mayor

1. Mudah lelah Subjektif:

2. Sering lapar dan sering 1. Lapar


makan (polifagia)
2. Pusing
Objektif:
3. Sering mengantuk
1. Kadar gula darah sewaktu,
4. Keringat dingin
puasa dan 2 jam PP tinggi
Objektif:

1. Gangguan koordinasi

2. Kadar gula darah sewaktu


dan puasa rendah

c. Risiko terhadap infeksi ditandai dengan kadar glukosa tinggi dan

penurunan fungsi leukosit.

Definisi: berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogen.

Faktor Risiko

1) Penyakit kronis, misalnya diabetes melitus

2) Efek prosedur invasif

3) Malnutrisi

4) Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan

5) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer: gangguan peristaltik

Kondisi Klinis Terkait

1) AIDS

2) Luka bakar

3) Penyakit paru obstruktif kronis

4) Diabetes melitus

34
5) Tindakan invasif

6) Kondisi penggunaan terapi steroid

7) Penyalahgunaan obat

3. Intervensi

a. Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC: Hyperglycemia Management

1. Blood Glucose, Risk For a. Memantau kadar glukosa darah


Unstable
b. Pantau tanda-tanda dan gejala
2. Diabetes Self Management hiperglikemia: poliuria,
polidipsia, polifagia, lemah,
kelesuan, malaise, mengaburkan
Kriteria Hasil: visi atau sakit kepala

a. Penerimaan: kondisi kesehatan c. Memantau keton urine

b. Kepatuhan perilaku: diet sehat d. Memantau abg, elektrolit dan

c. Dapat mengontrol kadar tingkat beta hydroxybutyrate


glukosa darah e. Memantau tekanan darah dan

d. Dapat mengontrol stres denyut nadi ortostatik

e. Dapat memanajemen dan f. Mengelola insulin

mencegah penyakit semakin g. Mendorong asupan cairan oral


parah
h. Menjaga akses IV
f. Pemahaman pencegahan
i. Memberikan cairan IV sesuai
komplikasi meningkat
kebutuhan
g. Dapat meningkatkan istirahat
j. Mengelola kalium
h. Mengontrol perilaku berat
k. Merawat kebersihan mulut

35
badan l. Konsultasikan dengan dokter
jika tanda dan gejala
i. Pemahaman manajemen
hiperglikemia menetap atau
diabetes melitus meningkat
memburuk.
j. Status nutrisi adekuat
m. Mengidentifikasi kemungkinan
k. Olahraga teratur penyebab hiperglikemia

n. Membantu pasien untuk


menafsirkan kadar glukosa
darah

b. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (hiperglikemia dan hipoglikemia)

berhubungan dengan resistensi insulin dan atau penurunan sekresi insulin

yang berdampak pada defisit nutrisi (glukosa) di tingkat selular, efek

terapi farmakologi: OHO dan insulin

Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC: Hyperglycemia Management


dan Survival Skill
1. Blood Glucose, Risk For
Unstable 1. Manajemen hiperglikemia dan
survival skill yang diperlukan
2. Diabetes Self Management
penyandang diabetes agar aman
saat mereka berada di rumah:

Kriteria Hasil: a. Jelaskan pengaruh intake

Tercapainya kadar glukosa darah karbohidrat terhadap kadar

baik puasa dan 2 jam PP dalam glukosa darah

kriteria pengendalian baik: b. Jelaskan pengaruh

a. DG puasa: 80-109 mg/dL aktivitas/olahraga terhadap


kadar glukosa darah
b. DG 2 jam pp: 110-144
mg/dL c. Ajarkan monitoring glukosa

36
darah secara mandiri

d. Identifikasi tanda dan gejala


hipoglikemia/hiperglikemia
dan penanganannya

e. Jelaskan aturan yang harus


diikuti ketika sedang sakit

f. Ajarkan dan anjurkan untuk


diet diabetes 3J (jumlah
kalori, jadwal makan, serta
jenis makanan yang
dianjurkan dan yang
dibatasi).

37
c. Risiko terhadap infeksi ditandai dengan kadar glukosa tinggi dan

penurunan fungsi leukosit.

Kriteria Hasil Intervensi

NOC: NIC:

1. Immune Status 1. Pertahankan teknik aseptik

2. Knowledge: Infection Control 2. Batasi pengunjung bila perlu

3. Risk Control 3. Cuci tangan setiap sebelum


dan sesudah tindakan
keperawatan
Setelah dilakukan tindakan
4. Gunakan baju, sarung tangan
keperawatan selama ... pasien
sebagai alat pelindung
tidak mengalami infeksi dengan
kriteria hasil: 5. Ganti letak IV perifer dan
dressing sesuai dengan
a. Pasien bebas dari tanda dan
petunjuk umum
gejala infeksi
6. Gunakan kateter intermiten
b. Menunjukan kemampuan
untuk menurunkan infeksi
untuk mencegah timbulnya
kandung kencing
infeksi
7. Monitor tanda dan gejala
c. Jumlah leukosit dalam batas
infeksi sistemik dan lokal
normal
8. Inspeksi kulit dan membran
d. Menunjukkan perilaku hidup
mukosa terhadap kemerahan,
sehat
panas dan drainase
e. Status imun, gastrointestinal,
9. Monitor adanya luka
genitourinaria dalam batas
normal 10. Dorong masukan cairan

11. Dorong istirahat

12. Ajarkan pasien dan keluarga

38
tanda dan gejala infeksi

13. Kaji suhu badan pada pasien


neutropenia setiap 4 jam.

d. Implementasi

Menurut Resmini dkk (2017) implementasi adalah tindakan perawat untuk

membantu kepentingan pasien, keluarga maupun komunitas dengan tujuan

untuk meningkatkan kondisi fisik, emosional, psikososial, budaya dan

lingkungan dimana mereka mencari bantuan. Implementasi pada asuhan

keperawatan dapat dilakukan pada individu dalam keluarga dan pada anggota

keluarga lainnya.

Penatalaksanaan yang akan dilakukan dapat berupa penyuluhan untuk

pasien dalam manajemen hiperglikemia, program diet dan keterampilan

psikomotor, penyuluhan untuk keluarga berupa informasi mengenai diabetes

melitus, penerapan diet dan latihan fisik, obat-obatan dan mengenai

penatalaksanaan diabetes selama sakit, serta pemantauan secara mandiri kadar

glukosa darah dan keton, jika perlu (Wilkinson dan Ahern, 2021)

e. Evaluasi

Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, penilaian dalam

evaluasi diperlukan untuk melihat keberhasilans selama perawatan. Bila tidak

atau belum berhasil, perlu disusun rencana baru yang sesuai. Semua tindakan

keperawatan mungkin tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali kunjungan,

39
untuk itu dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai waktu dan kesediaan

pasien (Riasmini dkk, 2017).

40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu mendeskripsikan

peristiwa yang terjadi pada masa kini, dengan rancangan penelitian studi kasus.

Studi kasus pada karya tulis ilmiah ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah

asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Diabetes Melitus Tipe II

dengan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah di RSUD Goeteng

Taroenadibrata Purbalingga.

B. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan pada studi kasus dengan pendekatan asuhan

keperawatan ini ada 2 pasien atau 2 kasus dengan diagnosa medis yang sama dan

masalah keperawatan yang sama. Pada studi kasus ini subyek penelitian yang

digunakan adalah 2 pasien dengan resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah di

RSUD Goeteng Taroenadibrata Purbalingga yang memiliki kriteria subjek :

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien menderita Diabetes Melitus Tipe II

b. Pasien yang mengalami ketidakstabilan kadar glukosa darah

c. Pasien yang berusia 30 sampai 60 tahun

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien tidak Menderita Diabetes Melitus Tipe II

b. Pasien yang kadar glukosanya stabil

c. Pasien menolak menjadi responden

C. Fokus Studi

41
Fokus studi penelitian ini adalah asuhan keperawatan pada pasien yang

mengalami diabetes melitus tipe II dengan masalah resiko ketidakstabilan kadar

glukosa darah di RSUD Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

D. Definisi Operasional

1. Diabetes Melitus Tipe II adalah diabetes melitus yang biasanya di diagnosis

pada usia lebih dari 30 tahun, bisa diobati tanpa atau dengan tablet maupun

injeksi insulin tapi tidak tergantung insulin.

2. Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah adalah keadaan kadar

glukosa/gula darah yang tidak stabil dari rentang normal bisa naik maupun

turun dan tidak patuh pada diet yang dapat mengganggu kesehatan

E. Tempat dan Waktu

Lokasi studi kasus yang penulis lakukan yaitu di RSUD Goeteng

Taroenadibrata Purbalingga. Waktu penyelenggaraan asuhan keperawatan studi

kasus selama 5 kali kunjungan pada tanggal 13 Januari – 28 Januari 2020.

F. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis yaitu :

1. Wawancara

Penulis melakukan pengamatan secara langsung kepada pasien untuk

mendapat data subjektif mengenai risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah.

2. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan IPPA (Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi)

pada sistem tubuh pasien dan pemeriksaan GDS (Gula Darah Sewaktu).

Pengamatan dilakukan oleh penulis secara langsung untuk mencari hal-hal

42
mengenai asuhan keperawatan dalam membantu proses pengamatan sebagai

alat pendokumentasian yang akan diteliti.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan penulis untuk mengumpulkan semua data

hasil dari pemeriksaan diagnostik dan data lain yang mendukung kegiatan

yang dilakukan dalam asuhan keperawatan resiko ketidakstabilan kadar

glukosa darah pada Diabetes Melitus Tipe II.

G. Cara Pengelolaan Data

Cara pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan pengkajian melalui

anamnesa secara langsung kepada pasien yang sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan oleh penulis. Dari hasil anamnesa tersebut nantinya akan diolah

menjadi sebuah analisa data yang memunculkan diagnosa keperawatan. Dari

diagnosa keperawatan akan dibuat intervensi keperawatan kemudian

diimplementasikan yang hasilnya akan dievaluasi ke dalam evaluasi keperawatan.

H. Analisa Data dan Penyajian Data

Analisa data dilakukan apabila penulis selesai melakukan pengumpulan data

mengenai pasien yang mengalami Diabetes Melitus Tipe II dengan risiko

ketidakstabilan kadar glukosa darah untuk membandingkan antara teori dengan

studi pustaka dengan data yang diperoleh. Teknik analisis data yang digunakan

yaitu analisis deskriptif, penulis menganalisa data berdasarkan data yang telah

didapat melalui tahap pengkajian sampai dengan evaluasi. Data yang diperoleh

dapat berupa data objektif maupun data subyektif dan disajikan secara narasi

sesuai desain penelitian laporan kasus. Teknik analisa data kemudian

diinterpretasikan dan dikomparasikan (perbandingan) antar kasus.

43
I. Etika Penelitian

Etika yang mendasari dalam penyusunan studi kasus yang dibuat peneliti adalah :

1. Informed Consent (lembar persetujuan menjadi responden)

Peneliti memberikan lembar persetujuan penelitian kepada responden.

Kemudian peneliti memberikan informasi yang adekuat mengenai tujuan dari

asuhan keperawatan yang akan dilakukan dan memberikan informasi terkait

dengan hak dan kewajiban responden. Peneliti memberikan kesempatan

kepada responden untuk mengambil keputusan apakah bersedia ataupun

menolak berpartisipasi secara sukarela.

2. Anonimity (tanpa nama)

Penulis menjamin dan menjaga kerahasiaan responden dan cara

mencantumkan inisial nama pada laporan kasus.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Penulis menjamin kerahasiaan dari hasil laporan kasus baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Data yang ditampilkan bersifat umum dan

data terkait informasi responden disimpan di laptop pribadi penulis.

44
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanti, M. (2021). Menu Sehat Asdiakol. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.


Apriyanti, M. (2021). Meracik Sendiri Obat & Menu Sehat Bagi Penderita.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Aquarista, N. C. (2017). PERBEDAAN KARAKTERISTIK PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN DAN TANPA PENYAKIT
JANTUNG KORONER . Jurnal Berkala Epidemiologi, 38-47.
Bararah, T. 2013. Asuhan Keperawatan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Black, M. Joyce. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Elsevier. Jakarta: Salemba Medika.Haryono, R.
(2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Yogyakarta: PUSTAKA BARU PRESS.
Black, M. Joyce. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Elsevier. Jakarta: Salemba Medika.
Bulu, A. (2019). HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEPATUHAN
MINUM OBAT DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE II. Jurnal Nursing News, 181-189.
Darmayuda, Dkk. (2014). Efektivitas Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
Novergicus) yang diinduksi aloksan. Vol 6 No 1 Februari 2014

LeMone, Priscilla. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan


Integumen, Gangguan Endokrine, Gangguan Gastrointestinal. Jakarta:
EGC.
Kamitsuru, T. H. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. 2014. Jakarta : Kemenkes RI ; 2015

Bandung: Division of Endocrinology and Metabolism Department of Internal


Medicine Padjadjaran University Medical School/Hasan Sadikin
Hospital.

Kurniawati, D. M. (2016). Perbedaan perubahan berat badan, aktifitas fisik, dan


kontrol glukosa darah antara anggota organisasi penyandang diabetes
melitus dan non anggota. Jurnal Gizi Indonesia, 125-130.

45
Maria, I. (2021). Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus dan Asuhan
Keperawatan Stroke. Yogyakarta: DEEPUBLISH.
Nurarif A.H, dan Kusuma H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa (Kamitsuru, 2018) Medis & NANDA NIC NOC. Jogjakarta:
Media Action.

Niven, N. (2012). Psikologi kesehatan dan pengantar untuk perawat dan


profesional kesehatan Lain. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Patriani, P. (2016). TINGKAT PENGETAHUAN PADA PASIEN DIABETES


MELITUS (DM) TIPE 2 . Jurnal Abdimas Saintika, 4-50.

Pernama, H. (2013). Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes.

PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim


Pokja SDKI DPP PPNI .

Soedarsono. (2016). Cara Alami mencegah dan Mengobati Diabetes . Surabaya:


Penerbit Stomata.

Subroto, I. (2015). Hidup Bahagia dengan Diabetes. Yogyakarta: Penerbit


Bangkit.

Wijaya, A.S & Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2. Bengkulu :
Nuha Medika.

Wilkinson, J. M. (2017). Diagnosis Keperawatan. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J. M. (2013). Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC.

46

Anda mungkin juga menyukai