Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Diabetes Melitus Tipe II

1. Definisi

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh

masyarakat negara berkembang, ditandai dengan adanya kadar glukosa darah

yang tinggi sehingga dapat menyebabkan tubuh tidak bisa melepaskan atau

menggunakan insulin secara adekuat, (Putri, 2016). Diabetes Melitus

tergolong ke dalam suatu kelompok penyakit metabolik di mana jumlah gula

dalam darah mengalami peningkatan yang signifikan dan tubuh terserang

hiperglikemia sehingga mengakibatkan hormon insulin berkurang atau

menurun baik secara absolut maupun relatif, (Rudi, 2019). Karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelaian sekresi insulin, kerja insulin atau

dua-duanya, (Dewi, 2016).

Diabetes Melitus Tipe I merupakan kondisi di mana tubuh mengalami

defisiensi insulin secara absolut yang disebebkan oleh penyakit autonium

ditandai dengan rusaknya sel beta di pankreas. Tipe ini sering disebut dengan

diabetes bergantung insulin yang disebabkan oleh suatu kondisi kelenjar

ludah atau pankreas tidak dapat menghasilkan insulin ke dalam darah normal

dan tubuh tidak bisa efektif menggunakan insulin sehingga pankreas dalam

tubuh selalu bergantung dengan insulin hingga kekurangan, (Rudi, 2019).

Diabetes Melitus Tipe II adalah kondisi di mana kenaikan gula darah yang

diakibatkan oleh sel beta pankreas karena memproduksi insulin dalam jumlah

yang sedikit dan adanya gangguan fungsi insulin atau resistensi urine, (Rudi,
2019). Serangkaian disfungsi ditandai dengan hiperglikemia dan akibat

kombinasi resistensi terhadap aksi insulin, sekresi insulin yang tidak adekuat,

dan sekresi glukogen yang berlebihan atau tidak tepat, (Rudi, 2019).

Resistensi insulin yaitu suatu keadaan menurunnya kemampuan insulin dalam

melakukan rangsangan terhadap glukosa di jaringan perifer dan menghambat

produksi glukosa oleh hati sehingga menyebabkan glukosa tidak bisa

memasuki sel yang pada akhirnya berujung di dalam pereadaran darah dan

tertimbun di sana.

Berdasarkan pengertian tersebut maka penulis dapat memberikan batasan

bahwa dia Diabetes Melitus Tipe II merupakan keadaan terjadinya resistensi

insulin dan defisiensi insulin secara relatif pada organ pankreas.

2. Etiologi

Diabetes Melitus Tipe II disebabkan adanya penurunan produksi jumlah

insulin oleh sel beta pankreas. Penyakit Diabetes Melitus Tipe II berasal dari

adanya gangguan di metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk

heterogen. Berikut beberapa faktor pemicu Diabetes Melitus Tipe II ialah

usia, riwayat keluarga, obesitas, distribusi lemak, jarang melakukan aktivitas

fisik, tidak mengatur pola makan dan minum, dan stres yang berlebihan

(Rudy, 2019).

3. Manifestasi Klinis

Beberapa manifestasi klinis yang muncul pada Diabetes Melitus Tipe II

yaitu kadar glukosa darah yang tinggi, sering buang air kencing di malam

hari, merasa haus dan lapar terus-menerus, gangguan penglihatan kabur,


penurunan berat badan yang drastis, mudah lelah meski sudah cukup istirahat,

mulut terasa kering, pingsan, dan infeksi yang mudah kambuh (Rudy, 2019).

4. Pathofisiologi

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe II berbeda dengan Diabetes Melitus

Tipe I. Respons terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi

faktor mayor dalam perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis

terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi progresif kurang efisien ketika

merespons peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini dinamai

desensitisasi, dapat kembali dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio

proisulin (prekursor insulin) terhadap insulin tersekresi juga meningkat

(Black, M. Joyce, 2014 dalam Rudy, 2019).

Diabetes Melitus Tipe II adalah sutau kondisi hiperglikemia puasa yang

terjadi meski tersedia insulin endogen. Kadar insulin yang dihasilkan pada

DM Tipe II berbeda-beda tiap orang, fungsinya dirusak oleh resistensi insulin

di jaringan perifer. Hati memproduksi glukosa lebih dari normal, karbohidrat

dalam makanan tidak dimetabolisme dengan baik sehingga pankreas

mengeluarkan jumlah insulin yang kurang dari yang dibutuhkan oleh tubuh

(LeMone, Priscilla, 2016 dalam Rudy, 2019).

Faktor utama perkembangan DM Tipe II adalah resistensi seluler terhadap

efek insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak beraktivitas,

penyakit, dan obat-obatan serta pertambahan usia. Pada kegemukan, insulin

mengalami penurunan kemampuan untuk memengaruhi absorpsi dan

metbaolisme glukosa oleh hati, otot rangka, dan jaringan adiposa.


Hiperglikemia meningkat secara perlahan dan dapat berlangsung lama

sebelum DM Tipe II yang baru didiagnosis sudah mengalami komplikasi

(LeMore, Priscilla, 2016 dalam Rudy, 2019).

Proses patofisiologi dalam DM Tipe II adalah resistensi terhadap aktivitas

insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer. Orang dengan DM Tipe

II memiliki penurunan sensitivitas isnulin terhadap kadar glukosa yang

mengakibatkan produksi glukosa hepatik berlanjut, bahkan sampai dengan

kadar glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot

dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme

penyebab resistensi insulin perifer tidak jelak, namun dapat terjadi setelah

insulin berikatan terhadap reseptor pada permukaan sel.

Insulin merupakan hormon pembangun (antibiotik). Tanpa adanya insulin

tiga masalah metabolik mayor terjadi seperti penurunan pemanfaatan glukosa,

peningkatan mobilisasi lemak, dan peningkatan pemanfaatan protein (Black,

M. Joyce, 2014 dalam Rudy, 2019).


5. Pathway

Faktor obesitas, kurang beraktivitas fisik, usia dan genetik

Produksi insulin normal berkurang namun terdapat kerusakan reseptor

Penurunan pengikatan insulin pada reseptor

Resistensi insulin

Penurunan efektivitas insulin dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh

jaringan dan sel

Glukosa beredar di dalam tubuh

Peningkatan glukosa darh

Diabetes Melitus Tipe II

Kepatuhan pada rencana manajemen diabetes Terjadi trauma tumpul/tajam

Kegagalan mengikuti aturan Luka


Manajemen diabetes dalam
kehidupan sehari-hari Media berkembangnya bakteri

KETIDAKEFEKTIFAN RISIKO INFEKSI


MANAJEMEN KESEHATAN

Apabila tidak ditangani

RESIKO
KETIDAKSTABILAN KADAR
GLUKOSA DARAH

Gambar 2.1 Pathway Diabetes Melitus Tipe II


6. Komplikasi

Diabetes Melitus yang tidak tertangani dengan baik atau tidak terkontrol

lama-kelamaan akan menyebabkan beberapa komplikasi antara lain penyakit

jantung, stroke, penyakit ginjal (nefropati diabetik), kerusakan syaraf

(neuropati diabetik), kerusakan mata (retinopati diabetik), gastroparesis dan

masalah perut lainnya, disfungsi ereksi, masalah kulit, infeksi, masalah gigi

dan gusi, serta depresi.

7. Pencegahan

Menurut Pekumpulan Endokironolgi Indonesia (PERKENI, 2015) ada tiga

pencegahan Diabetes Melitus Tipe II antara lain :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok

yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi

berpotensi untuk mendapat diabetes melitus dan kelompok intoleransi

glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan dan

pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai

risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan pencegahan

primer diabetes melitus tipe II antara lain program penurunan berat badan,

latihan jasmani, menghentikan kebiasaan merokok, pada kelompok

dengan risiko tinggi diperlukan intervensi farmakologis.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat

timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis diabetes melitus.

Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian kadar


glukosa susuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang

lain dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini

adanya penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan

ini dilakukan sejak awal pengelolaan penyakit diabetes melitus. Program

penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan

pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target

terapi yang diharapkan.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes

yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya

kecatatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya

rehabilitasi pada psien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecatatan

menetap.

Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada

psien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang

dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan

tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan terinterogasi

antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama

yang baik antara ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf,

bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi,

podiatris, dan lain-lain) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan

pencegahan tersier.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nuratif dan Kusuma (2015) ada beberapa pemeriksaan penunjang

diabetes melitus, diantaranya :

a. Kadar Glukosa Darah

Tabel 2.1
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode ensimatik sebagai
patokan penyaring

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dl)


Kadar Glukosa Darah Belum Pasti DM
DM
Sewaktu
Plasma vena >200 100-200
Darah kapiler >200 80-100
Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dl)
Kadar Glukosa Darah Belum Pasti DM
DM
Puasa
Plasma vena >120 110-120
Darah kapiler >110 90-110

b. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes melitus pada sedikitnya 2 kali

pemeriksaan :

1) Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2) Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah

mengkonsumsi 75 g karbohidrat (2 jam post prandial (pp) >200

mg/dl)

c. Tes Laboratorium Diabetes Melitus

Jenis tes pada pasien diabetes melitus dapat berupa tes saring, tes

diagnositik, tes pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.

d. Tes Saring
1) GDP, GDS

2) Tes Glukosa Urin :

a) Tes konvensional (metode reduksi/Benedict)

b) Tes carik celup (metode glucose oxidase/hexokinase)

e. Tes Diagnostik

Tes-tes diagnostik pada diabetes melitus adalah : GDP, GDS, GD2PP

(Glukosa Darah 2 Jam Post Prandial), Glukosa jam ke-2 TTGO)

f. Tes Monitoring Terapi

1) GDP : plasma vena dan dara kapiler

2) GD2PP : plasma vena

3) Alc : darah vena dan darah kapiler

g. Tes untuk mendeteksi komplikasi

1) Mikroalbuminuria : Urin

2) Ureum, Kreatinin, Asam Urat

3) Kolestrol Total : plasma vena (puasa

4) Kolestrol LDL : plasma vena (puasa)

5) Kolestrol HDL : plasma vena (puasa)

6) Trigliserida : plasma vena (puasa)


B. Konsep Dasar Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

1. Pengertian

Risiko ketidakstabilan kadar gula darah adalah rentang terhadap variasi

kadar glukosa/gula darah dari rentang normal, yang dapat mengganggu

kesehatan (Herdman dan Kamitsuru, 2015).

2. Faktor Risiko

Rata-rata aktivitas harian kurang dari yang dianjurkan menurut gender dan

usia, tidak menerima diagnosis, stres berlebihan, penambahan berat badan

berlebihan, penurunan berat badan berlebihan, pemantauan glukosa darah

tidak adekuat, menajemen medikasi tidak efektif, menajemen diabetes tidak

tepat, asupan diet kurang, kurang pengetahuan tentang menajemen penyakit,

kurang pengetahuan tentang faktor yang dapat diubah, kurang kepatuhan pada

rencana menajemen diabetes (Herdman dan Kamitsura, 2015).

3. Batasan Karakteristik

Secara subjektif batasan karakteristiknya yaitu mengungkapkan

ketidaktahuan secara verbal tentang diit diabetes melitus untuk mencegah

ketidakstabilan kadar gula darah. Sedangkan secara objektif, batasan

karakteristiknya yaitu tidak mengikuti instruksi penatalaksanaan diit, perilaku

diit tidak sesuai atau berlebihan, hasil pemeriksaan gula darah yang tidak

stabil (Wilkinson dan Ahem, 2013).

4. Pengelolaan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

Tujuan utama terapi diabetes melitus adalah menormalkan aktivitas insulin

dan kadar glukosa darah untuk mengurangi komplikasi yang ditimbulkan

akibat diabetes melitus. Caranya yaitu menjaga kadar glukosa dalam batas
normal tanpa terjadi hipoglikemia serta memelihara kualitas hidup yang baik.

Ada lima komponen dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe II, yaitu

terapi nutrisi (diit), latihan fisik, pemantauan, terapi farmakologi dan

pendidikan (Damayanti, 2015).

a. Terapi Nutrisi (Diit)

Menjaga menu makan sangat penting bagi pasien penderita

diabetes, terutama dalam memastikan bahwa jumlah asupan

karbohidratnya tidak berlebihan yang dapat mempengaruhi kadar gula

seseorang dibandingkan lemak atau protein. Memperbanyak serat juga

sangat membantu pasien diabetes dalam memperbaiki kadar gula darah

(Safira, 2018).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Bistara

(2018) didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang kuat antara pola

makan dengan kadar gula darah. Apabila pola makan yang tidak baik

seperti yang dianjurkan prinsip 3J maka akan terjadi ketidakstabilan kadar

gula darah. Penderita diabetes melitus tetap diperbolehkan makan seperti

orang normal tetapi harus mampu mengendalikannya baik dalam hal

jadwal makan, jumlah, dan jenis makanan yang dikonsumsi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami

hiperglikemia (45%). Berdasarkan berat badan hampir sebagian

responden memiliki kategori obesitas. Hal ini dikarenakan penderita

diabetes melitus cenderung mengonsumsi makanan yang banyak

mengandung gula dan berindeks glikemik tinggi sehingga akan memicu


seseorang terkena diabetes. Selanjutnya, hal ini juga bisa memicu adanya

resistensi insuline.

Seseorang yang tidak bisa mengatur pola makan dengan

pengaturan 3J (jadwal, jenis dan jumlah) maka hal ini akan menyebabkan

penderita mengalami peningkatan kadar gula darah. Oleh karena itu,

penderita diabetes melitus perlu menjaga pengaturan pola makan dalam

rangka pengendalian kadar gula darah sehingga kadar darahnya tetap

terontrol.

b. Latihan Fisik

Selain mengatur pola makan, penderita diabetes juga perlu

melakukan aktivitas fisik, terutama olahraga secara teratur. Berolahraga

membantu penderita mengontrol gula darah dan bahkan menurunkan

risiko terserang penyakit kardiovaskular. Ketika tubuh bergerak aktif,

otot-otot yang digunakan untuk menggerakan badan pun menggunakan

lebih banyak glukosa dibandingkan otot yang sedang beristirahat. Maka,

sel-sel dapat meneima gula dengan lebih baik dan kadar gula pun lantas

menurun (Safira, 2018).

Wahyuningsih dan Utami (2017) menyatakan bahwa dalam hasil

penelitiannya rata-rata pada kelompok kontrol kadar gula darahnya tidak

terkendali dan rata-rata kadar gula darah terkendali pada kelompok

intervensi. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan ada perbedaan kadar

gula darah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada

kelompok perlakuan diberikan olhraga berupa senam lansia 3 kali

seminggu dan setiap senam dilaksanakan lebih dari 30 menit. Pada


kelompok kontrol diberikan senam lansia sesuai jadwal puskesmas yang

dilaksanakan satu bulan sekali pada saat kegiatan prolanis.

Olahraga akan menyebbakan seseorang menghancurkan ATP yang

tersimpan dalam otot yang digunakan sebagai sumber energi.

Metabolisme yang dominan pada saat olahraga adalah metabolisme

anaerobik sehingga menyebabkan glikolisis otot. Pada saat olahraga

dengan intensitas tinggi akan menyebabkan penggunaan glukosa darah

dan glikogen otot, dengan demikian pada seseorang dengan diabetes

melitus apabila melakukan olahraga rutin dan instensitas tinggi dapat

menurunkan kdar gula darah. Dengan olahraga rutin meningkatkan

aktivitas reseptor insulin sehingga terjadi sensitifitas insulin terhadap gula

darah dan membantu penurunan kadar gula darah.

c. Pemantauan

Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self-

monitoring blood glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan

mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia, pada akhirnya akan

mengurangi komplikasi diabetik jangka panjang. Beberapa hal yang harus

dimonitoring secara berkala adalah glukosa darah, glukosa urine, keton

darah, keton urine. Selain itu, pengkajian tambahan seperti cek berat

badan secara reguler, pemeriksaan fisik teraturn dan pendidikan tentang

diit, kemampuan monitoring diri, injeksi, pengetahuan umum tentang

diabetes dan perubahan-perubahan dalam diabetes (Dunning, 2003 dalam

Damayanti, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratna (2016)

menyatakan bahwa bagi penderita diabetes melitus tipe II pemantauan

kadar gula darah sangat penting karena membantu penanganan medis

yang tepat sehingga mengurangi resiko komplikasi yang berat dan dapat

meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Pemeriksaan pemantauan

kadar glukosa darah dapat dilakukan kapan saja, sebelum makan, sesudah

makan, sewaktu puasa atau ketika diabetesi memang memerlukan

pemeriksaan khusus.

Ditambahkan sebuah studi yang dilakukan oleh Stephen, dkk

(2013dalam Dewi Ratna 2016) untuk mengamati manfaat pemantauan

gula darah mandiri oleh setiap pasien diabetes melitus tipe II diperoleh

hasil pemantauan gula darah manadiri dapat menurunkan risiko

muncunya komplikasi 32% lebih rendah dan risiko kematian 52% lebih

rendah pada pasien diabetes melitus tipe II. Pemantauan gula darah

mandiri yang terstruktur dapat dilakukan secara mandiri di rumah.

Dengan begitu pasien dapat menyesuaikan makanan, aktivitas fisik, dan

dosis obat untuk mencapai control glikemik yang lebih baik.

d. Terapi Farmakologi

Obat tablet juga dapat membantu penderita diabetes untuk

mengontrol gula darahnya. Pada dasarnya, obat dapat membantu tubuh

untuk menekan nafsu makan ataupun membantu tubuh menghasilkan

insuli. Terdapat beberapa jenis obat yang dapat dikonsumsi penderita

diabetes. Obat-obatan tersebut memiliki fungsi dan manfaat berbeda-beda.

Beberapa obat tersebut adalah sulphonylureas,biguanides,


thiazolidinedianoes, alphaglukosidae, inhibitor, dan prandial glukosa

reglator (Fox dan Kilvert, 2010).

Rusnoto (2018) menyatakan dalam penelitiannya bahwa ada

hubungan tingkat kepatuhan minum obat dengan kadar glukosa darah.

Semakin tinggi tingkat kepatuan minum obat makan tingkat kadar

glukosa darah rendah atau semakin rendah tingkat kepatuhan minum obat

maka tingkat kadar glukosa darah tinggi. Hasil penelitian di dapatkan

bahwa sebgaian besar responden tingkat kepatuhannya rendah.

e. Pendidikan

Penderita diabetes sebaiknya mendapatkan pengetahuan dan

wawasan yang cukup tentang penyakit. Dengan demikian, penderita dapat

melakukan banyak hal untuk mengontrol dan mengurangi risiko diabetes

(Fox dan Kilvert, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Novyanda dan

Hadiyani (2017) didapatkan hasil bahwa adanya hubungan yang

signifikan antara edukasi diabetes melitus dengan kejadian komplikasi.

Edukasi merupakan dasar utama untuk pengobatan dan pencegahan

diabetes melitus yang sempurna. pengetahuan yang minum tentang

diabetes melitus akan lebih cepat menjurus ke arah timbulnya komplikasi

dan hal ini merupakan beban bagi keluarga dan masyarakat. Tingkat

pengetahuan yang rendah akan dapat mempengaruhi pola makan yang

salah sehingga menyebabkan kegemukan, yang akhirnya mengakibatkan

kenaikan kadar glukosa darah.


C. Asuhan Keperawatan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Pada

Pasien Dengan Diabetes Melitus Tipe II

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahapan dasar yang paling utama, serta menjadi

bagian awal dari sebuah proses keperawatan yang meliputi pengumpulan

informasi mengenai data-data pasien. Difokuskan pada respon pasien

mengenai masalah kesehatan yang abnormal berhubungan dengan pemenuhan

kebutuhan dasar (Bulan Sinulingga, 2019). Pengkajian pada pasien Diabetes

Melitus Tipe II meliputi :

a. Identitas

1) Identitas Pasien

Di dalam identitas terdapat pengkajian nama, umur, jenis kelamin,

agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, tanggal masuk RD,

tanggal pengkajian, nomor rekam medik, diagnosa medis, alamat

pasien ( Wulandari dan Erawati, 2016 dalam I Nyoman Sudiarta

Kusuma, 2020).

2) Identitas Penanggungjawab

Adapun meliputi pengkajian nama, umur, jenis kelamin, agama,

pendidikan, pekerjaan, hubungan keluarga dengan pasien, dan alamat.

3) Keluhan Utama

Pasien Diabete Melitus Tipe II mengalami berat badan berkurang,

luka sukar sembuh dan bau, intensitas BAK di malam hari tinggi, haus

meski cukup dan lelah meski cukup istirahat, adanya rasa kesemutan

pada kaki atau tungkai bawah.


4) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Mengkaji riwayat penyakit yang pernah dialami pasiien di masa lalu

yang memungkinkan ada hubungan dengan penyakit sekarang.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Dalam keluarga adakah yang sebelumnya pernah terdiagnosis

Diabetes Melitus Tipe II atau adakah faktor keturunan.

6) Riwayat Penyakit Sekarang

Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta

upaya yang telah dilakukan olen penderita untuk mengatasinya

(Bararah, 2013).

b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Aktivitas

a) Gejala: lemah, letih, sulit bergerak, sulit berjalan, terjadi kram

dan tonus menurun.

b) Tanda: takikardia dan takipnea ketika beraktivitas,

letargi/disorientasi dan penurunan kekuatan otot.

2) Pola Istirahat

a) Gejala: gangguan tidur/istirahat

b) Tanda: takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat

3) Pola Sirkulasi

a) Gejala: adanya riwayat hipertensi, MCI, kesemutan pada

ekstremitas, ulkus pada kaki dan penyembuhan luka atau penyakit

yang lama.
b) Tanda: takikardia, hipertensi, nadi yang menurun, kulit terasa

panas, kering, kemerahan, dan bola mata cekung.

4) Pola Eliminasi

a) Gejala: perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa

nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK, baru/berulang,

nyeri saat abdomen ditekan dan diare.

b) Tanda: urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang

menjadi oliguria/anuria jika terjadi hipovoemia berat), urine

berkabut dan berbau busuk (terjadi infeksi), abdomen keras,

adanya asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare).

5) Pola Asupan Nutrisi dan Cairan

a) Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah, tidak mengikuti diit,

peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan

dari periode beberapa hari/minggu, haus berlebihan, penggunaan

diuretik (tiazid).

b) Tanda: kulit kering/berisik, turgor terlihat jelek, pembesaran

tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula

darah), kekakuan/distensi abdomen, muntah, nau halitosis, bau

buah (napas aseton).

c. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Badan lemah, lemas, pucat, gemetaran, tremor, gelisah, kesadaran

komposmentis, hipoglikrmia/hiperglikemia akibat reaksi penggunaan


insulin yang kurang tepat, takikardia (60-100 x/menit). (Black, M.

Joyle, 2014).

Tanda-tanda Vital: pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, turgor kulit

dan frekuensi pernapasan (Black, M. Joyle, 2014).

2) Sistem Pernapasan

Inspeksi: lihat apakah pasien mengalami sesak napas

Palpasi: mengetahui vocal premitus dan mengetahui adanya massa,

lesi atau bengkak.

Auskultasi: mendengarkan suara napas normal dan napas tambahan

(abnormal: wheezing, ronchi, pleural friction rub) (Black, M. Joyle,

2014).

a) Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum.

Bisa karena adanya infeksi atau tidak.

b) Tanda: lapar udara atau kekurangan udara, batuk dengan/tanpa

sputum purulum (infeksi), frekuensi pernapasan yang tidak

teratur.

3) Sistem Kardiovaskular

Inspeksi: amati ictus kordis terlihat atau tidak.

Palpasi: takikardia/bradikardi, hipertensi/hipotensi, nadi perifer

melemah atau berkurang.

Perkusi:

Auskultasi: mendengar detak jantung, bunyi jantung dapat

dideskripsikan dengan S1, S2, tunggal (Black, M. Joyle, 2014).


4) Sistem Persarafan

Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, latergi, mengantuk,

reflex lambat, kacau mental, disorientasi. Pasien dengan kadar glukosa

darah tinggi sering mengalami nyeri saraf. Nyeri saraf sering

dirasakan seperti mati rasa, menurusk, kesemutan, atau sensari

terbakar yang membuat pasien terjaga waktu malam atau berhenti

melakukan tugas harian (Black, M. Joyle, 2014).

5) Sistem Perkemihan

Poliuri, retensi urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat

proses miksi (Black, M. Joyle, 2014).

6) Sistem Pencernaan

Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, penurunan berat badan,

diare, konstipasi, dehidrasi, peningkatan lingkar abdomen (Bararah,

2013). Neuropati autonomi sering mempengaruhi Gl. Pasien mungkin

dysphagia, nyeri perut, mual, muntah, penyerapan terganggu,

hipoglikemi setelah makan, diare, konstipasi dan inkontinensia alvi

(Black, M. Joyle, 2014).

7) Sistem Integument

Inspeksi: melihat warna kulit, kuku, cacat warna, batuk,

memperhatikan jumlah rambut, distribusi dan teksturnya.

Palpasi: meraba suhu kulit, tekstur (kasur atau halus), mobilitas,

meraba tekstur rambut (Bararah, 2013).


8) Sistem Muskuluskeletal

Penyebaran lemak, penyebaran massa otot, perubahan tinggi badan,

cepat lelah, lemah dan nyeri (Bararah, 2013).

9) Sistem Endokrin

Autoimun aktif menyerang sel beta pankreas dan produknya

mengakibatkan produksi insulin yang tidak adekuat yang

menyebabkan DM Tipe I. Respons sel beta pankreas terpapar secara

kronis terhadap kadar hlukosa darah yang tinggi menjadi progresif

kurang efisien yang menyebabkan DM Tipe II (Black, M. Joyle,

2014).

10) Sistem Reproduksi

Anginopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ

reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seks, gangguan

kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi

(Bararah, 2013).

11) Sistem Penglihatan

Retinopati diabetic merupakan penyebab utama kebutaan pada pasien

diabetes melitus (Black, M. Joyle, 2014).

12) Sistem Imun

Pasien dengan DM rentan terhadap infeksi. Sejak terjadi infeksi,

infeksi sangat sulit untuk pengobatan. Area terinfeksi sembuh secara

perlahan karena kerusakan pembuluh darah tidak membawa cukup

oksigen, sel darah putih, zat gizi dan antibodi ke tempat luka. Infeksi
mengakibatkan kebutuhan insulin dan mempertinggi kemungkinan

ketoasidosis (Black, M. Joyle, 2014).

2. Diagnosis Keperawatan

a. Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

Definisi: risiko terhadap variasi kadar glukosa darah naik/turun dari

rentang normal.

Tanda dan Gejala

a) Minor

Subyektif: memiliki riwayat gula darah tinggi

Objektif : -

b) Mayor

Subyektif: pusing, lemas

Objektif: GDA 325 mg/dl

b. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (hiperglikemia dan hipoglikemia)

berhubungan dengan resistensi insulin dan atau penurunan sekresi insulin

yang berdampak pada defisit nutrisi (glukosa) di tingkat selular, efek

terapi farmakologi: OHO dan insulin

Definisi: variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal.

Tabel Tanda dan Gejala Hiperglikemia dan Hipoglikemia

Tanda dan Gejala Hiperglikemia Tanda dan Gejala Hipoglikemia


a. Minor a. Minor
Subjektif: Subjektif:
1. Mulut kering 1. Palpitasi
2. Rasa haus meningkat Objektif:
Objektif: 1. Gemetar
1. Jumlah urine meningkat 2. Kesadaran menurun
b. Mayor 3. Sulit bicara
Subjektif: b. Mayor
1. Mudah lelah Subjektif:
2. Sering lapar dan sering 1. Lapar
makan (polifagia) 2. Pusing
Objektif: 3. Sering mengantuk
1. Kadar gula darah seaktu, 4. Keringat dingin
puasa dan 2 jam PP tinggi Objektif:
1. Gangguan koordinasi
2. Kadar gula darah sewaktu
dan puasa rendah

c. Risiko terhadap infeksi ditandai dengan kadar glukosa tinggi dan

penurunan fungsi leukosit.

Definisi: berisiko mengalami peningkatan terserang organisme

patogenik.

Faktor Risiko

1) Penyakit kronis, misalnya diabetes melitus

2) Efek prosedur invasif

3) Malnutrisi

4) Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan

5) Ketidakedekuatan pertahanan tubuh primer: gangguan peristatik

Kondisi Klinis Terkait

1) AIDS

2) Luka bakar

3) Penyakit paru okstruktif kronis

4) Diabetes melitus
5) Tindakan invasif

6) Kondisi penggunaan terapi steroid

7) Penyalahgunaan obat

3. Intervensi Keperawatan

a. Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah

Kriteria Hasil Intervensi


NOC: NIC: Hyperglycemia Management
1. Blood Glucose, Risk For a. Memantau kadar glukosa darah
Unstable b. Pantau tanda-tanda dan gejala
2. Diabetes Self Management hiperglikemia: poliuria,
polidipsia, polifagia, lemah,
Kriteria Hasil: kelesuan, malaise, mengaburkan
a. Penerimaan: kondisi kesehatan visi atau sakit kepala
b. Kepatuhan perilaku: diet sehat c. Memantau keton urine
c. Dapat mengontrol kadar d. Memantau abg, elektrolit dan
glukosa darah tingkat betahydroxybutyrate
d. Dapat mengontrol stres e. Memantau tekanan darah dan
e. Dapat memanajemen dan denyut nadi ortostatik
mencegah penyakit semakin f. Mengelola insulin
parah g. Mendorong asupan cairan oral
f. Pemahaman pencegahan h. Menjaga akses IV
komplikasi meningkat i. Memberikan cairan IV sesuai
g. Dapat meningkatkan istirahat kebutuhan
h. Mengontrol perilaku berat j. Mengelola kalium
badan k. Merawat kebersihan mulut
i. Pemahaman manajemen l. Konsultasikan dengan dokter
diabetes melitus meningkat jika tanda dan gejala
j. Status nutrisi adekuat hiperglikemia menetap atau
k. Olahraga teratur memburuk.
m. Mengidentifikasi kemungkinan
penyebab hiperglikemia
n. Membantu pasien untuk
menafsirkan kadar glukosa
darah

b. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (hiperglikemia dan hipoglikemia)

berhubungan dengan resistensi insulin dan atau penurunan sekresi insulin

yang berdampak pada defisit nutrisi (glukosa) di tingkat selular, efek

terapi farmakologi: OHO dan insulin

Kriteria Hasil Intervensi


NOC: NIC: Hyperglycemia Management
1. Blood Glucose, Risk For dan Survival Skill
Unstable 1. Manajemen hiperglikemia dan
2. Diabetes Self Management survival skill yang diperlukan
penyandang diabetes agar aman
Kriteria Hasil: saat mereka berada di rumah:
Tercapainya kadar glukosa darah a. Jelaskan pengaruh intake
baik puasa dan 2 jam PP dalam karbohidrat terhadap kadar
kriteria pengendalian baik: glukosa darah
a. DG puasa: 80-109 mg/dL b. Jelaskan pengaruh
b. DG 2 jam pp: 110-144 aktivitas/olahraga terhadap
mg/dL kadar glukosa darah
c. Ajarkan monitoring glukosa
darah secara mandiri
d. Identifikasi tanda dan gejala
hipoglikemia/hiperglikemia
dan penanganannya
e. Jelaskan aturan yang harus
diikuti ketika sedang sakit
f. Ajarkan dan anjurkan untuk
diet diabetes 3J (jumlah
kalori, jadwal makan, serta
jenis makanan yang
dianjurkan dan yang
dibatasi).
c. Risiko terhadap infeksi ditandai dengan kadar glukosa tinggi dan

penurunan fungsi leukosit.

Kriteria Hasil Intervensi


NOC: NIC:
1. Immune Status 1. Pertahankan teknik aseptif
2. Knowledge: Infection Control 2. Batasi pengunjung bila perlu
3. Risk Control 3. Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
keperawatan selama ... pasien 4. Gunakan baju, sarung tangan
tidak mengalami infeksi dengan sebagai alat pelindung
kriteria hasil: 5. Ganti letak IV perifer dan
a. Pasien bebas dari tanda dan dressing sesuai dengan
gejala infeksi petunjuk umum
b. Menunjukkkan kemampuan 6. Gunakan kateter intermiten
untuk mencegah timbulnya untuk menurunkan infeksi
infeksi kandung kencing
c. Jumlah leukosit dalam batas 7. Monitor tanda dan gejala
normal infeksi sistemik dan lokal
d. Menunjukkan perilaku hidup 8. Inspeksi kulit dan
sehat membranmukosa terhadap
e. Status imun, gastrointestinal, kemerahan, panas dan
genitourinaria dalam batas drainase
normal 9. Monitor adanya luka
10. Dorong masukan cairan
11. Dorong istirahat
12. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
13. Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam.
4. Implementasi Keperawatan

Menurut Riasmini dkk (2017) implementasi adalah tindakan perawat

untuk membantu kepentingan pasien, keluarga maupun komunitas dengan

tujuan untuk meningkatkan kondisi fisik, emosional, psikososial, budaya dan

lingkungan dimana mereka mencari bantuan. Implementasi pada asuhan

keperawatan dapat dilakukan pada individu dalam keluarga dan pada anggota

keluarga lainnya.

Penatalaksanaan yang akan dilakukan dapat berupa penyuluhan untuk

pasien dalam manajemen hiperglikemia, program diit dan ketrampilan

psikomotor, penyluhan untuk keluarga berupa informasi mengenai diabetes

melitus, penerapan diet dan latihan fisik, obat-obatan dan mengenai

penatalaksanaan diabetes selama sakit, serta pemantauan secara mandiri kadar

glukosa darah dan keton, jika perlu (Wilkinson dan Ahern, 2021)

5. Evaluasi Keperawatan

Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, penilaian dalam

evaluasi diperlukan untuk melihat keberhasilans selama perawatan. Bila tidak

atau belum berhasil, perlu disusun rencana baru yang sesuai. Semua tindakan

keperawatan mungkin tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali kunjungan,

untuk itu dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai waktu dan kesediaan

pasien (Riasmini dkk, 2017).

Anda mungkin juga menyukai