Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN STROKE HEMORAGIK

Dosen Pengampu : Esti Dwi Widiyanti, S.Kep., Ns., MH

Disusun Oleh :

1. Yuwana Oktaviani Fajri (P1337420219063)


2. Anggun Roro Utami (P1337420219064)
3. Dwi Nursiva Ahya Widiyanti (P1337420219065)
4. Ikhwan Zulfa Rahmawan (P1337420219066)
5. Suci Maulita Sari (P1337420219067)
6. Luqman Hakim (P1337420219068)
7. Fadila Rizki Rahma Dani (P1337420219069)
8. Samuel Titis Elpriyanto (P1337420219070)
9. Vinda Ervina (P1337420219071)
10. Siwi Bagus Kusuma Wardhana (P1337420219072)
11. Dimas Tri Pandari (P1337420219073)
12. Aulia Nurul Fajri (P1337420219074)
13. Rizqi Nugrahani (P1337420219075)
14. Ayunda Swastanti (P1337420219076)
15. Laila Rahmawati (P1337420219077)
Tingkat 3B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PURWOKERTO


PROGRAM DIPLOMA III
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Keperawatan Kritis mengenai “MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN
KRITIS DENGAN STROKE HEMORAGIK”. Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Ibu Esti Dwi Widiyanti, S.Kep., Ns., MH yang telah memberikan bimbingannya
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
sumbangan pikiran, saran, dan kritikan yang konstruktif untuk ke depannya. Semoga
dengan makalah yang sederhana ini dapat memenuhi harapan kami dan memberikan
manfaat bagi pembaca, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan. Terima kasih.

Purwokerto, 24 Agustus 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian.........................................................................................................5
B. Etiologi..............................................................................................................5
C. Klasifikasi.........................................................................................................7
D. Patofisiologi......................................................................................................8
E. Manifestasi Klinis...........................................................................................11
F. Penatalaksanaan..............................................................................................13
G. Pemeriksaan penunjang..................................................................................13
H. Komplikasi......................................................................................................14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN STROKE
HEMORAGIK
A. Pengkajian.......................................................................................................26
B. Diagnosa Keperawatan...................................................................................32
C. Implementasi Keperawatan.............................................................................32
D. Evaluasi...........................................................................................................33
E. Discharge Planning.........................................................................................33
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.....................................................................................................35
B. Saran...............................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi
masyarakat modern saat ini. Stroke menjadi masalah serius yang dihadapi di
seluruh dunia. Hal ini dikarenakan stroke adalah penyebab kematian ketiga
terbanyak setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Stroke merupakan suatu
keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang
menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
seseorang menderita kelumpuhan bahkan kematian (Batticaca B Fransisca,
2011). Pada tahun 2013, diperkirakan 6,4 juta kematian (11,8% dari semua
kematian) disebabkan oleh stroke (Kim, Cahill, & Cheng, 2015).
Stroke dibagi dalam dua kategori mayor yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Stroke non hemoragik terjadi karena aliran darah ke otak terhambat
akibat aterosklorosis atau pembekuan darah. Sedangkan stroke hemoragik terjadi
karena pecahnya pembuluh darah otak sehingga menyebabkan terhambat aliran
darah ke otak, darah merembas ke area otak dan merusaknya (Batticaca B
Fransisca, 2011).
Otak sangat bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena thrombus dan
embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan
oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosisi
mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark, hal ini
menyebabkan terjadinya infark pada otak yang akan mempengaruhi kontrol
motorik karena neuron dan jalur medial atau venteral berperan dalam kontrol
otot-otot (Wijaya & Putri, 2013)
Di Amerika serikat, stroke merupakan penyebab utama kecacatan orang
dewasa jangka panjang dan penyebab kematian nomor lima dengan 795.000
peristiwa setiap tahun. Diperkirakan akan meningkat prevalensi stroke oleh 3,4
juta orang antara tahun 2012 dan 2030 (A. Boehme, C. Esenwa, 2018).

1
Prevalensi penyakit stroke tertinggi didunia adalah china dengan
prevalensi stroke 69,6%, perdarahan intraserebral 23,8% dan 15,8%, perdarahan
subarachnoid 4,4% dan 4,4%, dan tipe yang tidak ditentukan 2,1% dan 2,0%,
dengan hipertensi 88%, merokok 48%, dan penggunaan alcohol 44% (Wang et
al., 2017).
Penyakit Stroke di Indonesia merupakan terbanyak dan menduduki
urutan pertama di Asia. Jumlah kematian yang disebabkan oleh stroke
menduduki urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia
15-59 tahun. Wilayah Kalimantan Timur merupakan wilayah tertinggi pengidap
penyakit stroke dengan (14,7%), diikuti Di Yogyakarta (14,3%) Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing (11,4%) dan Bali berada pada posisi
17 dengan (10,8%) (RISKESDAS, 2018).
Hasil studi pendahuluan di RSUD klungkung menunjukkan bahwa data
pasien stroke hemoragik menduduki posisi pertama selama 2 tahun terakhir,
pasien stroke hemoragik yang rawat jalan pada tahun 2017 berjumlah 265 orang
dan meningkat di tahun 2018 dengan jumlah 413 orang. Sejalan dengan
kunjungan pasien stroke hemoragik rawat jalan, prevalensi pasien stroke
hemoragik yang mendapatkan perawatan inap juga tidak mengalami penurunan
yang berarti pada tahun 2017 terdapat 68 orang, pada tahun 2018 terdapat 51
orang pasien stroke hemoragik dan terjadi peningkatan di tahun 2019 sebanyak
70 pasien stroke hemoragik yang rawat inap. Dari data yang terdapat di ruang
Jambu RSUD Klungkung tanggal 28 januari 2020 menunjukkan bahwa 7 pasien
rawat inap yang menderita stroke hemoragik terdapat 4 pasien dengan masalah
keperawatan gangguan mobilitas fisik.
Stroke menempati posisi pertama sebagai penyebab kematian di rumah
sakit. Stroke tidak hanya menyerang masyarakat berkecukupan tapi juga warga
sosial ekonomi rendah. Di Indonesia diperkirakan tiap tahun terjadi 500.000
penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang
meninggal sedangkan sisanya mengalami kecacatan (Ratna, 2011).
Begitu banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stroke, faktor
risiko terjadinya stroke terbagi lagi menjadi faktor risiko yang dapat dirubah dan
faktor risiko yang tidak dapat dirubah.

2
Faktor risiko yang tidak dapat dirubah dan dikontrol pengaruhnya
terhadap kejadian stroke, diantaranya yaitu faktor keturunan, ras, umur dan jenis
kelamin. Sedangkan faktor risiko yang dapat dirubah yaitu hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, diabetes mellitus, merokok, alcohol, peningkatan kolestrol, dan
obesitas (Wijaya & Putri, 2013).
Sebagian besar penderita stroke hemoragik cenderung akan mengalami
gangguan mobilitas fisik, pasien stroke dengan gangguan mobilisasi hanya
berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut
yang menyebabkan munculnya masalah keperawatan yaitu gangguan mobilitas
fisik (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015).
Menurut PPNI, gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih esktremitas secara mandiri. Menurut PPNI,
kriteria mayor untuk diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik adalah
mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, kekuatan otot menurun dan rentang
gerak (ROM) menurun (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Berdasarkan uraian
di atas maka penulis mengangkat kasus stroke ini dikarenakan melihat dari
penderita stroke yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan tergolong
penyakit yang beresiko tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari stroke hemorogik?
2. Apa saja penyebab dan faktor resiko stroke hemoragik?
3. Apa saja klasifikasi stroke hemoragik?
4. Bagaimana patofisiologi dan pathway stroke hemoragik?
5. Bagaimana penatalaksanaan terhadap stroke hemoragik?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan?
7. Apa saja komplikasi yang muncul?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kritis terhadap pasien stroke
hemoragik?

3
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari stroke hemorogik
2. Mengetahui penyebab dan faktor resiko stroke hemoragik
3. Mengetahui klasifikasi stroke hemoragik
4. Mengetahui patofisiologi dan pathway stroke hemoragik
5. Mengetahui penatalaksanaan terhadap stroke hemoragik
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
7. Mengetahui komplikasi yang muncul
8. Mengetahui konsep asuhan keperawatan terhadap pasien stroke hemoragik

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Stroke merupakan kondisi terhentinya aliran darah di otak secara
mendadak, sehingga sel otak kekurangan oksigen dan mengalami kematian.
Stroke hemoragik merupakan kondisi yang berbahaya dan butuh penanganan
secepatnya. Perdarahan yang terjadi di otak dapat menyebabkan tekanan di
dalam otak meningkat tiba-tiba. Hal ini akan menyebabkan gangguan fungsi
otak yang sangat berisiko menyebabkan kematian (klikdokter.com, 2021)

Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi gawat darurat, yang


disebabkan oleh pecahnya salah satu pembuluh darah di dalam otak, yang
memicu perdarahan di sekitar otak. Akibatnya, aliran darah pada sebagian otak
berkurang atau terhenti, yang kemudian menyebabkan pasokan oksigen ke otak
berkurang, sehingga memicu kematian sel otak dan dapat mengganggu fungsi
otak secara permanen. Jika perdarahan terjadi di dalam otak disebut dengan
perdarahan intraserebral, sedangkan jika perdarahan terjadi pada ruang di antara
selaput pembungkus otak bagian tengah dan dalam disebut dengan perdarahan
subarachnoid (halodoc.com, 2021)

B. Etiologi

Penyebab stroke hemoragik adalah terhalangnya suplai darah ke otak


pada stroke perdarahan (stroke hemoragik) disebabkan oleh arteri yang
mensuplai darah ke otak pecah. Penyebabnya misalnya tekanan darah yang
mendadak tinggi dan atau oleh stress psikis berat. Peningkatan tekanan darah
yang mendadak tinggi juga dapat disebabkan oleh trauma kepala atau
peningkatan tekanan lainnya, seperti mengedan, batuk keras, mengangkat beban,
dan sebagainya. Pembuluh darah pecah umumnya karena arteri tersebut
berdinding tipis berbentuk balon yang disebut aneurisma atau arteri yang lecet
bekas plak aterosklerotik (Junaidi, 2011) dalam Geofani (2017).

5
Faktor resiko terjadinya stroke hemoragik di antaranya yaitu;
1. Usia
Respons terhadap syok hemoragik dapat berbeda, tergantung dari
kondisi fisiologis dan usia pasien. Anak-anak dan lanjut usia lebih rentan
mengalami dekompensasi awal setelah kehilangan volume intravaskular
akibat kehilangan darah atau perdarahan akut. Pada anak-anak, total volume
darah lebih kecil sehingga risiko kehilangan persentase darah lebih besar
dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu, ginjal pada anak di bawah 2
tahun belum matur sehingga kemampuan mengkonservasi volume saat terjadi
perdarahan tidak seefektif anak yang lebih tua. Area permukaan tubuh juga
meningkat secara relatif terhadap berat badan sehingga memungkinkan untuk
kehilangan panas dengan cepat dan risiko hipotermia dini yang dapat
mengarah ke koagulopati.
Sedangkan pada individu lanjut usia terjadi perubahan fisiologi dan
kondisi medis yang mempengaruhi kemampuan kompensasi terhadap
kehilangan darah akut. Aterosklerosis dan penurunan elastin menyebabkan
penurunan kemampuan kompensasi vaskuler, vasodilatasi arteriol jantung,
infark ketika kebutuhan oksigen miokard meningkat, serta atrofi ginjal terkait
usia menurunkan creatinine clearance.
2. Trauma
Cedera traumatik menjadi penyebab tersering syok hemoragik.
Trauma yang terjadi dapat menyebabkan cedera pembuluh darah, fraktur pada
tulang panjang, pelvis, serta ruptur organ seperti limpa, hepar, renal yang
dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada fraktur tulang panjang dapat
menyebabkan perdarahan sebesar 1000-2000 ml, pada fraktur pelvis sebesar
1500-2000 ml serta perdarahan pada kavum abdomen akibat ruptur organ
dapat menyebabkan syok hemoragik dan kematian jika tidak tertangani segera
karena kavum abdomen dapat distensi dan menampung volume darah sebesar
5 liter pada dewasa.

6
C. Klasifikasi
Menurut Indrawati dkk., (2016) klasifikasi stroke hemoragik dibedakan atas dua
kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan Intra Serebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah
intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk
ke dalam jaringan otak. Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah
dan darah membasahi jaringan otak. Darah ini sangat mengiritasi jaringan
otak sehingga menyebabkan spasme atau menyempitnya arteri di sekitar
tempat perdarahan. Sel- sel otak yang berada jauh dari tempat perdarahan
juga akan mengalami kerusakan karena aliran darah terganggu. Selain itu,
jika volume darah yang keluar lebih dari 50 ml maka dapat terjadi proses
desak ruang yakni rongga kepala yang luasnya tetap, “diperebutkan” oleh
darah “pendatang baru” dan jaringan otak sebagai “penghuni lama”. Biasanya
pada proses desak ruang ini, jaringan otak yang relatif lunak mengalami
kerusakan akibat penekanan oleh jendela darah.
2. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang
subarachnoid baik dari tempat lain (perdarahan subarachnoid sekunder) dan
sumber perdarahan berasal dari rongga subarachnoid itu sendiri/perdarahan
subarachnoid primer. Perdarahan yang terjadi di pembuluh darah yang
terdapat pada pembungkus selaput pembungkus otak. Selanjutnya, darah
mengalir keluar mengisi rongga antara tulang tengkorak dan otak. Sama
seperti perdarahan intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan
spasme arteri sekitar tempat perdarahan, mengiritasi jaringan sekitar, serta
menyebabkan proses desak ruang.

Adapun menurut (Junaidi, 2011), klasifikasi stroke hemoragik dibedakan atas


dua kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Perdarahan intra serebral (PIS)
Perdarahan Intra Serebral diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian
masuk ke dalam jaringan otak (Junaidi, 2011).

7
Penyebab PIS biasanya karena hipertensi yang berlangsung lama lalu
terjadi kerusakan dinding pembuluh darah dan salah satunya adalah terjadinya
mikroaneurisma. Faktor pencetus lain adalah stress fisik, emosi, peningkatan
tekanan darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.
Sekitar 60-70% PIS disebabkan oleh hipertensi. Penyebab lainnya adalah
deformitas pembuluh darah bawaan, kelainan koagulasi. Bahkan, 70% kasus
berakibat fatal, terutama apabila perdarahannya luas (masif) (Junaidi, 2011).
2. Perdarahan ekstra serebral/perdarahan subarachnoid (PSA)
Perdarahan subarachnoid adalah masuknya darah ke ruang
subarachnoid baik dari tempat lain (perdarahan subarachnoid sekunder) dan
sumber perdarahan berasal dari rongga subarachnoid itu sendiri (perdarahan
subarachnoid primer) (Junaidi, 2011) Penyebab yang paling sering dari PSA
primer adalah robeknya aneurisma (51-75%) dan sekitar 90% aneurisma
penyebab PSA berupa aneurisma sakuler congenital, angioma (6-20%),
gangguan koagulasi (iatronik/obat anti koagulan), kelainan hematologic
(misalnya trombositopenia, leukemia, anemia aplastik), tumor, infeksi (missal
vaskulitis, sifilis, ensefalitis, herpes simpleks, mikosis, TBC), idiopatik atau
tidak diketahui (25%), serta trauma kepala (Junaidi, 2011). Sebagian kasus
PSA terjadi tanpa sebab dari luar tetapi sepertiga kasus terkait dengan stress
mental dan fisik. Kegiatan fisik yang menonjol seperti : mengangkat beban,
menekuk, batuk atau bersin yang terlalu keras, mengejan dan hubungan intim
(koitus) kadang bisa jadi penyebab (Junaidi, 2011).

D. Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan
nadi. Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium.
Dengan berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang
simpatis. Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi,
dan penurunan distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit,
saluran pencernaan, dan ginjal.

8
Pada perdaharan, terjadi respon-responhormonal. Corticotropin-
releasinghormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan
glukokortikoid dan beta- endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas
vasopressin, menyebabkan retensi air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh
kompleks juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean Arerial
Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resoprsi natrium dan
air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut karena glukagon dan
growthhormone meningkat pada gluconeogenesis dan glikogenosis. Peredaran
katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relative
sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan
perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang
luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara
konstan melalui MAP. Ginjal juga mentoleransi penuruunan aliran darah sampai
90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran darah pada saluran cerna akan
turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada kondisi tubuh
seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan
organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.

9
10
11
E. Manifestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi
atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya
sirkulasi kolateral. Pada stroke hemoragik, gejala klinis meliputi:
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparise) atau hemiplegia
(paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan terjadi akibat adanya
kerusakan pada area motorik di korteks bagian frontal, kerusakan ini bersifat
kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada hemisfer kanan maka
kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan kehilangan kontrol otot
vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan ekstensi
maupun fleksi.
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.gangguan
sensibilitas terjadi karena kerusakan system saraf otonom dan gangguan saraf
sensorik.
3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma), terjadi
akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak atau
terjadinya gangguan metabolic otak akibat hipoksia.
4. Afasia (kesulitan dalam bicara) adalah defisit kemampuan komunikasi bicara,
termasuk dalam membaca, menulis dan memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada hemisfer
kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan pada arteri middle
sebelah kiri.
Afasia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Afasia motorik
Afasia motorik atau ekspresif terjadi jika area pada area broca,
yang terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara.
b. Sensorik
Afasia sensorik terjadi karena kerusakan pada area wernicke, yang
terletak pada lobus temporal.

12
Pada afasia sensori pasien tidak dapat menerima stimulasi
pendengaran tetapi pasien mampu mengungkapkan pembicaraan. Sehingga
respon pembicaraan pasien tidak nyambung atau koheren.
c. Afasia global
Pada afasia global pasien dapat merespon pembicaraan baik
menerima maupun mengungkapkan pembicaraan.
5. Disatria (bicara cedel atau pelo)
Merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi sehingga
ucapannya menjadi tidak jelas. Namun demikian, pasien dapat memahami
pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun membaca. Disartria terjadi
karena kerusakan nervus cranial sehingga terjadi kelemahan dari otot bibir,
lidah dan laring. Pasien juga terdapat kesulitan dalam mengunyah dan
menelan.
6. Gangguan penglihatan, diplopia
Pasien dapat kehilangan penglihatan atau juga pandangan menjadi
ganda, gangguan lapang pandang pada salah satu sisi. Hal ini terjadi karena
kerusakan pada lobus temporal atau parietal yang dapat menghambat serat
saraf optik pada korteks oksipital. Gangguan penglihatan juga dapat
disebabkan karena kerusakan pada saraf cranial III, IV, dan VI.
7. Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus
cranial IX. Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glottis menutup
kemudian makanan masuk ke esophagus.
8. Inkontinensia
Inkontinensia baik bowel maupun badder sering terjadi karena
terganggunya saraf yang mensarafi bladder dan bowel.
9. Vertigo, mual, muntah, nyeri kepala, terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebri.

13
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk stroke hemoragik, antara lain:
1. Menurunkan kerusakan iskemik cerebral
Infark cerebral terdapat kehilangan secara mantap inti central jaringan otak,
sekitar daerah itu mungkin ada jaringan yang masih bisa di selematkan,
tindakan awal difokuskan untuk menyelematkan sebanyak mungkin area
iskemik dengan memberikan O2, glukosa dan aliran darah yang adekuat
dengan mengontrol/memperbaiki disritmia (irama dan frekuensi) serta
tekanan darah.
2. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala
yang berlebihan, pemberian dexamethasone.
3. Pengobatan
a. Anti koagulan: Heparin untuk menurunkan kecederungan perdarahan pada
faseakut.
b. Obat anti trombotik: Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik/emobolik.
c. Diuretika: untuk menurunkan edema serebral.
4. Penatalaksanaan Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darah otak.
Penderita yang menjalani tindakan ini sering kali juga menderita beberapa
penyulit seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas.
Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan
dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark
2. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan
atau obstruksi arteri

14
3. Pungsi Lumbal
- Menunjukan adanya tekanan normal
- Mekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan
adanya perdarahan
4. MRI: Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik
5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena

H. Komplikasi
Komplikasi stroke hemoragik yang mucul diantaranya ;
1. Hipoksia serebral
Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral dan luasnya area cedera
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung,
dan itegritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena)
harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah
serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi luasnya area cedera.
3. Embolisme serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard. Embolisme
akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran
darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten
dan penghentikan thrombus lokal. Selain itu disritmia dapat menyebabkan
embolus serebral dan harus diperbaiki. (Suddarth, 2010)
4. Embolisme Serebral
Dapat terjadi setelah infrak miokard atau fibrilasi atrium atau dapat
berasal dari katup jantung prostetik. (Sudoyo, 2009)
5. Distritmia
Dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian
trombus lokal. (Sudoyo, 2009)

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA KLIEN DENGAN STROKE
HEMORAGIK

A. Pengkajian
1. Pengkajian Pasien
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal
lahir, agama, pendidikan, golongan darah, tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian, No.RM, diagnosa medis, pekerjaan, dan alamat.
Identitas penanggung jawab: nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat.
b. Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, tidak dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan
atau penyakit dirasakan pasien dan yang sedang pasien rasakan saat
itu.
d. Riwayat Penyait Dahulu
Riwayat kesehatan yang pernah diderita pasien dahulu seperti
apakah pasien pernah mengalami penyakit menular seperti TBC dan
penyakit keturunan seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes
mellitus, asma dan penyakit kelainan atau abortus.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya riwayat penyakit keluarga seperti jantung, asma, DM
yang akan menimbulkan komplikasi.

16
2. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan
sekret akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka
lakukan;
 Chin lift/jaw trust
 Suction/hisap
 Guedel airway
 Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi
netral

Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan


peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat
kesadaran koma. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos
mentis, pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan.

b. Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan atau tak teratur, suara nafas terdengar
ronchi/aspirasi, whezing, sonor, stidor/ngorok, ekspansi dinding
dada.
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas
tambahan.
c. Circulation
Tekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut.
Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi
hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg).

17
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon
terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah :
 Awake
 Respon bicara
 Respon nyeri
 Tidak ada respon
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan.
3. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesis
Dapat meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes,
Last meal, dan Event/Environment yang berhubungan dengan
kejadian).
b. Pemeriksaan fisik
Dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan
pemeriksaan diagnostik. Dengan empat prinsip kardinal pemeriksaan
fisik meliputi : melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk
(perkusi) dan mendengarkan (auskultasi) pada semua system (B1
S.D B6) : B1 (Breathing, B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5
(Bowel), B6 (Bone).
4. Pengkajian Tingkat Kesadaran
Pengkajian tingkat kesadaran meliputi pemeriksaan syaraf kranial dan
pemeriksaan sistem motorik :
a. Pemeriksaan Syaraf
1) Saraf I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif.

18
Subyektif hanya ditanyakan apakah penderita masih dapat membaui
bermacam-macam bau dengan betul.
Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh
penderita dan biasanya bersifat aromatik dan tidak merangsang. seperti :
golongan minyak wangi, sabun, tembakau, kopi, vanili, dan sebagainya.
Bahan yang merangsang mukosa hidung tidak dipakai karena akan
merangsang saraf V. Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan
yang diperiksa dari yang normal.
Cara Pemeriksaan :
 Kedua mata ditutup
 Lubang hidung ditutup
 Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
 Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang
terbuka dan penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian
diminta mengidentifikasi bahan tersebut.
2) Saraf II (N. Opticus)
Pemeriksaan meliputi :
a) Penglihatan sentral
Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan
retina digunakan PIN HOLE (apabila penglihatan menjadi lebih
jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi). Lebih
tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi
memakai jari-jari tangan dimana secara normal dapat dilihat pada
jarak 60 m dan gerakan tangan dimana secara normal dapat dilihat
pada jarak 300 m.
b) Penglihatan Perifer
Diperiksa dengan :
i. Tes Konfrontasi.
1. Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap
mata pemeriksa sisi lain.
2. Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai
dengan lapang pandang pasien.

19
3. Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang
pandang pasien dari 8 arah.
4. Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang
pemeriksa.
5. Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus
normal.
ii. Perimetri/kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti
daripada tes konfrontasi.
a. Melihat warna
Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk
mengetahui adanya polineuropati pada N II.
b. Pemeriksaan Fundus Occuli
Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk melihat apakah pada papilla N II terdapat
:
1. Stuwing papil atau protusio N II
Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla
tersebut mencembung atau menonjol oleh karena adanya
tekanan intra cranial yang meninggi dan disekitarnya
tampak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan adanya
bendungan.
2. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya
udema tetapi papilla tidak menyembung dan bial neuritis
tidak acut lagi akan terlihat pucat.
Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :
 Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.
 Warnanya
 Pembuluh darah
 Keadaan retina

20
3) Saraf III (N. Oculo-Motorius)
Pemeriksaan meliputi :
a. Retraksi kelopak mata atas didapatkan pada keadaan :
1. Hidrosefalus (tanda matahari terbit)
2. Dilatasi ventrikel III/aquaductus sylvii
3. Hipertiroidisme
b. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong iris lebih
rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan
kepala ke belakang/ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
1. False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan
kelopak mata (chalazion)
2. Disfungsi simpatis (sindroma horner)
3. Kelumpuhan N. III
4. Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
5. Miopati (miastenia gravis)
c. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
 Bentuk dan ukuran pupil.
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada
kemungkinan bekas operasi mata. Pada sifilis bentuknya
menjadi tidak teratur atau lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang
normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang mengecil
disebut Meiosis, yang biasanya terdapat pada Sindroma Horner,
pupil Argyl Robertson (sifilis, DM, multiple sclerosis).
Sedangkan pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya
terdapat pada parese/paralisa m. sphincter dan kelainan psikis.

21
 Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggap normal.
Bila antara pupil kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut
isokor. Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada penderita
tidak sadar maka harus dibedakan apakah anisokor akibat lesi
non neurologis (kelainan iris, penurunan visus) atau neurologis
(akibat lesi batang otak, saraf perifer N. III, herniasi tentorium.
 Refleks pupil terdiri atas :
 Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata
ditutup dan penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada
akomodasi dan supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian
diberi cahaya dari samping mata. Pemeriksa tidak boleh berada
ditempat yang cahayanya langsung mengenai mata. Dalam
keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka
ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---
N. Oculomotorius

 Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan
disuruh mengikuti gerak benda tersebut dimana benda tersebut
digerakkan pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata
penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil
Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif namun reflek
akomodasi positif

 Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga
akan terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung
terkena cahaya, diantara kedua mata diletakkan selembar
kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang
lain akan kontriksi juga

22
d. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)
Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi
oleh nervus III, IV dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq
inferior (yang menarik bala mata keatas), m. rectus superior, m.
rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi m. Obliq
Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis N III selain
menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot
sphincter pupil. Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu
penderita disuruh mengikuti suatu benda ke delapan jurusan.
Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu
otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala
jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang atau tidak bisa
sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang
parese otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut
opthalmoplegic interna. Jika hanya ada salah satu gangguan maka
disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan kalau ada gangguan
kedua macam otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis.
e. Sikap Bola Mata
Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat.
Kelainan-kelaian yang tampak di antaranya adalah:
- Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses
mekanis retroorbital
- Strabismus yang dapat divergen atau convergen. Secara
subyektif ditanyakan apakah ada diplopia. Pemeriksaan
subyektif ini penting karena kadang-kadang strabismus yang
ringan tak kelihatan pada pemeriksaan obyektif.
- Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini
tidak hanya memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola mata
saja, tetapi sekaligus melihat adanya kelainan dalam
keseimbangan atau N VIII.

23
- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan
istirahat menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh
kesadaran, dengan sumbu kedua mata tetap sejajar secara terus-
menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di batang
otak, bisa lesi destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks
post trauma/epilepsi fokal & perdarahan)
4) Saraf V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi:

a. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis
- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
- bagian dagu, keluar dari foramen mentale
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan
dengan kiri.
b. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan
pemeriksa ditruh kira-kira didaerah otot maseter. Jika kedua otot
masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan pemeriksa.
Kalau ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras.
c. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari arah
lain tepi kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek
kornea mata positif, maka mata akan ditutupkan.

5) Saraf VII (N. Facialis)


a. Dalam keadaan diam, perhatikan :
- asimetri muka (lipatan nasolabial)
- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang
tetanus/rhesus sardonicus, tremor, dsb)
b. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian

24
pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan
kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-
masing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot
platisma kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-
kadang tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis
pada stadium dini.
c. Sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)
Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang
mempunyai rasa:
- Manis, dipakai gula
- Pahit, dipakai kinine
- Asin, dipakai garam
- Asam, dipakai cuka
Paling sedikit menggunakan 3 macam. Penderita tidak boleh
menutup mulut dan mengatakan perasaannya dengan menggunakan
kode-kode yang telah disetujui bersama antara pemeriksa dan
penderita. Penderita diminta membuka mulut dan lidah dikeluarkan.
Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan lidah. Kanan dan kiri
diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang normal.
6) Saraf VIII (N. Acusticus)
Pemeriksaan pendengaran
a. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi
sedikit, sampai tak mendengar lagi, dibandingkan kanan dan kiri.
b. Gesekan jari
c. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi.
Dibandingkan mana yang lebih keras, kanan/kiri.

25
d. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus.
Sesudah tak mendengar lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar
lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik daripada tulang.
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus
deafness atau tranmission deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih
baik kalau penderita ditutup matanya untuk menghindari
kebohongan.
7) Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)
Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang
rongga mulut atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan
pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.
a. Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang,
sementara itu pemeriksa melihat gerakan uvula dan arcus
pharyngeus. Uvula akan berdeviasi kearah yang normal
(berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu
pemeriksaan N XII).
b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik
Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan
refleks muntah kanan dengan kiri. Refleks ini mungkin menhilang
oada pasien lanjut usia.
c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk
8) Saraf XI (N. Accesssorius)
Hanya mempunyai komponen motorik. Pemeriksaan :
a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan
gerakan fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya
pemeriksa yang melawan/ mendorong sedangkan penderita yang
menahan pada posisi lateral fleksi).
b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua
bahu penderita kebawah, sementara itu penderita berusaha
mempertahankan posisi kedua bahu terangkat.

26
9) Saraf XII (N. Hypoglossus)
Pada lesi LMN, maka akan tampak adanya atrofi lidah dan fasikulasi
(tanda dini berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya
papil lidah) Pemeriksaan:
a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell’s
palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif palsu.
b. Menggerakkan lidah kelateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerakkan ke
arah samping kanan dan kiri.
c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer
maka tremor dan atropi papil positip

d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat parese maka
didapatkan dysarthria.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di
harapkan jalan nafas klien dapat efektif dan adekuat dengan
kriteria hasil :
Bersihan jalan nafas (L.01001)
Kriteria Hasil Awal Akhir
Produksi Sputum 3 5
Mengi 3 5
Wheezing 3 5
Dispnea 2 5
Keterangan :
1 : meningkat
2 : cukup memburuk
3 : sedang

27
4 : cukup membaik
5 : menurun
Intervensi keperawatan : Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Tindakan
Observasi :
 Monitor pola nafas (frekuensi,kedalaman,usaha napas )
 Monitor bunyi napas tambahan (misal gurgling, mengi,
wheezing, dan ronki kering )
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma )

Terapeutik :
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt dan chin
lift
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisoterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang lebih 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi :
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik ,
jika perlu

28
2. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cidera
kepala
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di
harapakan risiko perfusi serebral dapat efektif dan adekuat
dengan kriteria hasil:
Perfusi serebral (L.02014)

Kriteria Hasil Awal Akhir


Kesadaran 2 5
Nilai rata rata 3 5
tekanan darah
Tekanan 3 5
darah sistolik
Tekanan 2 5
darah
diastolik
Reflek saraf 2 5
Keterangan :
1 : memburuk
2 : cukup memburuk
3 : sedang
4 : cukup membaik
5 : membaik

Intervensi keperawatan : pencegahan syok (I.02068)


Tindakan
Observasi
 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
frekuensi napas, tekanan darah, dan MAP)
 Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
 Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit,
CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil )
 Periksa riwayat alergi

29
Teraupik
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturnasi oksigen >
94 %
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanisme, jika perlu
 Pasang jalur IV, jika perlu
 Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine, jika perlu
 Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan
gejala syok
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari cairan alergen
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberikan IV, jika perlu
 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamsi, jika perlu
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat
pernafasan
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam di
harapkan pola napas klien dapat efektif dan adekuat dengan
kriteria hasil:
Pola napas (L.01003)
Kriteria Hasil Awal Akhir
Dispnea 2 5
Penggunaan otot 2 5
bantu napas
Pemanjangan 2 5
fase ekspirasi
Pernafasan 2 5
cuping hidung
Keterangan :

30
1 : meningkat
2 : cukup memburuk
3 : sedang
4 : cukup membaik
5 : menurun
Intervensi Keperawatan : Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Tindakan
Observasi :
 Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (misal gurgling, mengi,
wheezing, dan ronki kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt dan chin
lift
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisoterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang lebih 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

31
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam di
harapkan pasien dapat melakukan aktivitas dengan normal
dengan kriteria hasil:
Toleransi aktivitas (L.05047)

Kriteria Hasil Awal Akhir


Frekuensi nadi 3 5
Saturnasi oksigen 2 5
Kemudahan dalam 2 5
melakukan aktivitas
sehari hari
Kekuatan tubuh 2 5
bagian atas
Kekuatan tubuh 2 5
bagian bawah
Keterangan :
1 : menurun
2 : cukup menurun
3 : sedang
4 : cukup meningkat
5 : meningkat

Intervensi Keperawatan : Manajemen Energi (I.05178)


Tindakan
Observasi
 Indentifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
 monitor pola tidur dan jam tidur
 monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
 sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misal
cahaya, suara, kunjungan)
 lakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif

32
 berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
 anjurkan tirah baring
 anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
 ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Klaborasi
 kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan

C. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan
klien. Faktor – faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Mulyanti,
2017).

Implementasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen:


a. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan.
b. Diagnosis keperawatan.
c. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan.
d. Tanda tangan perawat pelaksana.

D. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Posisi kepala dan badan 15-30 derajat. Posisi miring apabila muntah dan
boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat.

33
3. Tanda-tanda vital usahakan stabil
4. Bedrest
5. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
6. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction yang berlebih

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang
didasarkan pada tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan
suatu asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dan kriteria hasil
yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2008).
Evaluasi keperawatan dilakukan dalam bentuk pendekatan SOAP. Evaluasi
keperawatan terdiri dari beberapa komponen, seperti tanggal dan waktu
dilakukan evaluasi keperawatan, diagnosis keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.

F. Discharhe Planning
Discharge planning merupakan serangkaian keputusan dan aktivitas-
aktifitas yang terlibat dalam pemberian asuhan keperawatan yang berlanjut dan
terkoordinasi ketika pasien akan pulang dari pelayanan kesehatan.
Indikator pasien pulang:

1. Melakukan pendidikan kesehatan pada klien dan keluarga berkaitan dengan


(1) informasi tentang penyakit seperti tanda dan gejala, komplikasi, (2)
informasi tentang obat-obatan dirumah, (3) informasi tentang pengobatan dan
perawatan lanjutan seperti perawatan diri (makan dan minum, kebersihan diri,
penggunaan kamar mandi, latihan fisik, cara berpindah) dan pengendalian
faktor resiko (hipertensi, diet, aktivitas fisik, merokok, kolesterol, dan
sebagainya) serta pengontrolan/pemeriksaan kesehatan ulang, (4) sumber
pelayanan kesehatan di masyarakat yang dapat digunakan (Potter & Perry,
2005)
2. Memberikan kesempalan klien dan keluarga untuk bertanya atau berdiskusi
tentang isu yang berkaitan dengan perawatan di rumah.

34
3. Melakukan evaluasi pada klien dan keluarga terhadap demonstrasi yang telah
dilakukan seperti cara penggunaan alat bantu berjalan.
4. Melakukan dokumentasi terhadap informasi yang diberikan meliputi
diagnosis penyakit, pengkajian yang dilakukan dan hasilnya, obat-obatan dan
masa pengobatan, pengajuan atau perkembangan penyakit, kemampuan dan
pemulihan, tim perencana perawatan, investigasi lain yang dibutuhkan
pelayanan kesehatan utama dan rumah sakit, waktu, rencana pemindahan,
nama pasien, dokter dan perawat, nomor telepon yang dapat dihubungi dan
kapan informasi serta pemulangan dilakukan (Beg et al, 2002, dalam Yaslina,
2012).

Discharge planning yang dapat diberikan:


1. Memastikan keamanan bagi pasien setelah pemulangan
2. Memilih peralatan bantuan atau peralatan khusus yang dibutuhkan
3. Merancang untuk pelayanan rehabilitasi lanjut atau tindakan lainnya di rumah
(misal kunjungan rumah oleh tim kesehatan)
4. Menunjukkan health care provider yang akan memonitor status kesehatan
pasien
5. Menentukan pemberi bantuan yang akan bekerja sebagai partner dengan
pasien untuk memberikan peralatan dan bantuan harian di rumah dan
mengajarkan tindakan yang dibutuhkan

35
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan teori, tinjauan kasus, dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada pengkajian berdasarkan kasus yang ada tidak semua data terdapat pada
teori ditemukan dalam kasus nyata.
2. Dalam literatur tidak semua diagnosa keperawatan ditemukan dalam kasus
nyata, hanya empat diagnosa keperawatan yang muncul.
3. Antara tim kesehatan dan pasien atau keluarga sangat diperlukan adanya
kerjasama dan komunikasi untuk keberhasilan asuhan keperawatan pada
pasien stroke hemoragik.
4. Setelah melakukan asuhan keperawatan secara langsung, melalui
pendekatan proses keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi,
yang kemudian penulis dokumentasikan dalam bentuk asuhan keperawatan

B. Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan kesimpulan yang telah
penulis susun seperti diatas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Dalam pemberian asuhan keperawatan perlu adanya keikutsertaan keluarga
karena keluarga merupakan orang terdekat pasien yang tahu akan
perkembangan dan kebiasaan pasien.
2. Dalam memberikan implementasi tidak harus sesuai dengan apa yang
terdapat pada teori, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pasien serta menyesuaikan dengan kebijakan dari rumah sakit.
3. Diharapkan perawat dapat terus menggali ilmu pengetahuan untuk
menambah wawasan dan ketrampilan sebagai seorang perawat professional.
4. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang stroke hemoragik.
Tujuannya untuk menambah ilmu keperawatan di masa depan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M., 2009. Cara Mudah Memahami Dan Menghindari Hipertensi Jantung,

Dan Stroke. Yogyakarta: Dianloka Printika.

Anonym. 2021. https://www.halodoc.com/kesehatan/stroke-hemoragik (diakses

pada tanggal 16 Agustus 2021).

Anonym. 2021. https://www.klikdokter.com/penyakit/stroke-hemoragik (diakses

pada tanggal 16 Agustus 2021).

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta.

Arum. 2015. STROKE, Kenali, Cegah dan Obati. Yogyakarta:Notebook.

Geofani, P. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Deangan Stroke

Hemoragic Di Bangsal Syaraf Rdup Dr. M. Djamil Padang. Jurusan


Keperawatan Program Studi D III Keperawatan Padang Tahun 2017, 66.

Indrawati, L.,W. Sari., dan C. S Dewi. 2016. Care Your Self Stroke Cegah Dan

Obati Sendiri. Jakarta : Penebar Plus (Penebar Swadaya Grup). Interna


Publishing.

Junaidi, I. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: PT.Andi.

Susanto, Karina. 2020. Etiologi Syok Hemoragic-Alomedika.

https://www.alomedika.com/penyakit/kegawatdaruratan-medis/syok-
hemoragik/etiologi diakses pada 14/08/2021 pukul 18.55

37

Anda mungkin juga menyukai