Anda di halaman 1dari 91

HUBUNGAN USIA DAN PARITAS DENGAN KEJADIAN

KETUBAN PECAH DINI


DI RSUD BANDUNG KIWARI
TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Kebidanan

AI DANILAH
6221383

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2022
PERSETUJUAN SIDANG PROPOSAL

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan kasih Nya yang melimpah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hubungan Usia dan Paritas dengan Kejadian Ketuban Pecah
Dini di RSUD Bandung Kiwari Tahun 2022” Proposal Skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Kebidanan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, karena pengalaman dan pengetahuan penulis yang terbatas. Akan
tetapi penulis banyak mendapatkan masukan dan bimbingan dari pihak-pihak terkait,
oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak- pihak
yang telah membantu penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Tonika Tohri, S.Kp., M. Kes., selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali.

2. Erni Hernawati, S.S.T., Bd., M.M., M. Keb selaku Dekan Institut Kesehatan
Rajawali

3. Lia Kamila, S.S.T., Bd., M. Keb selaku penanggung jawab program studi
kebidanan

4. Dr.Eny Kusmiran, S. Kp, M. Kes. selaku pembimbing utama yang telah


memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan proposal ini.

5. Maria A.D. Barbara, S.S.T., M. Kes, selaku pembimbing pendamping yang


telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbimgan, arahan, ide dan
bantuan selama penyusunan proposal ini.

6. Segenap Dosen Institut Kesehatan Rajawali Bandung yang telah memberikan


ilmu sebagai bekal dalam melakukan penelitian.

iii
7. Orang tua, Kakak kakak, Suami penulis Yana Supriyatna S. Kom, anak-anak
penulis, Muhammad Zhafir Rifqiansyah dan Fathir Alfian Rizki atas
bantuannya baik moril maupun materil serta dorongan positif dan semangat
bagi penulis.

8. Direktur RSUD Bandung Kiwari dr. Yorisa Sativa, M. Kes yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. Kepala Ruangan Andromeda dan Teman-teman di ruang Andromeda RSUD


Bandung Kiwari yang telah memberi semangat dan motivasi dalam penyusunan
tugas akhir ini.

10. Serta rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Sarjana Kebidanan Angkatan


2021/2022 Institut Kesehatan Rajawali Bandung yang selalu memberikan
dukungan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk menjadi
lebih baik lagi. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
dalam ilmu kebidanan.

Bandung, November 2022

Ai Danilah

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
PERSETUJUAN SIDANG PROPOSAL ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 6

1.3 Rumusan Masalah 7

1.4 Tujuan penelitian 7

1.4.1 Tujuan umum 7

1.4.2 Tujuan khusus 7

1.5 Hipotesis Penelitian 8

1.6 Manfaat Penelitian 8

1.6.1 Manfaat Teoritis 8

1.6.2 Manfaat Praktis 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

2.1 Persalinan 9

2.1.1 Pengertian 9

2.1.2 Sebab - Sebab Mulainya Persalinan 10

2.1.3 Tanda-Tanda Persalinan 11

2.1.4 Tahapan Persalinan 13

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persalinan 16

v
2.1.6 Mekanisme Persalinan 17

2.2 Selaput Ketuban 20

2.2.1 Membran Amnion 20

2.2.2 Struktur Amnion 21

2.2.3 Fungsi Amnion 23

2.3 Ketuban Pecah Dini 26

2.3.1 Pengertian 26

2.3.2 Patofisiologi 27

2.3.3 Penyebab dan Faktor Risiko KPD 32

2.3.4 Penentuan Diagnostik KPD 37

2.3.5 Komplikasi 41

2.3.6 Penatalaksanaan 42

2.4 Usia 46

2.4.1 Pengertian 46

2.4.2 Klasifikasi 46

2.4.3 Pengaruh Usia terhadap Ketuban Pecah Dini 47

2.5 Paritas 47

2.5.1 Pengertian 47

2.5.2 Klasifikasi 48

2.5.3 Pengaruh Paritas terhadap Ketuban Pecah Dini 48

2.6 Gemelli 50

2.6.1 Pengertian 50

2.6.2 Patofisiologi 50

2.6.3 Jenis kehamilan Gemelli 51

2.6.4 Komplikasi 51

vi
2.6.5 Diagnosis 51

2.6.6 Pengaruh Gemelli terhadap KPD 52

2.7 Peran dan Kewenagan bidan dalam asuhan ketuban pecah dini 53

2.7.1 Pengertian peran 53

2.7.2 Pengertian Bidan 53

2.7.3 Peran bidan 53

2.7.4 Asuhan kebidanan 56

2.7.5 Kewenangan Bidan 57

2.7.6 Manajemen asuhan kebidanan 58

2.7.7 Peran Bidan dalam asuhan Ketuban Pecah Dini 58

2.8 Kerangka Teori 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 60

3.1 Rancangan Penelitian 60

3.2 Kerangka Penelitian 60

3.3 Variabel Penelitian 61

3.3.1 Variabel Independen 61

3.3.2 Variabel Dependent 61

3.4 Definisi Operasional 61

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian 63

3.5.1 Populasi Penelitian 63

3.5.2 Sampel Penelitian 63

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel 65

3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian 65

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data 65

3.6.2 Prosedur Penelitian 66

vii
3.7 Pengolahan dan Analisis Data 67

3.7.1 Pengolahan Data 67

3.7.2 Analisis Data 69

3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian 70

3.8.1 Lokasi Penelitian 70

3.8.2 Waktu Penelitian 70

DAFTAR PUSTAKA 72

LAMPIRAN 75

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persalinan adalah proses fisiologis dimana janin, plasenta, dan
selaput dikeluarkan melalui jalan lahir. Tahap pertama persalinan adalah
dari awal kontraksi uterus teratur sampai pembukaan lengkap. Persalinan
normal adalah persalinan spontan, terjadi antara usia kehamilan 37 dan 42
minggu, puncaknya adalah kelahiran normal bayi yang hidup dan sehat,
selesai dalam 24 jam dan tidak ada komplikasi maternal (Medforth, 2017).

Adapun tanda-tanda dimulainya persalinan yaitu terjadinya his


persalinan, pengeluaran lendir darah, pelunakan dan pembukaan serviks serta
pecahnya ketuban. Sebagian besar ketuban pecah terjadi menjelang
pembukaan lengkap, bila ketuban pecah sebelum pembukaan mencapai 5 cm
pada multipara dan 3 cm pada primipara disebut Ketuban Pecah Dini
(Wiknjosastro, 2010).

Ketuban Pecah Dini dapat didefinisikan sebagai pecah ketuban


sebelum awitan persalinan, tanpa memperhatikan usia gestasi. Namun, dalam
praktik dan dalam penelitian, Ketuban Pecah Dini didefinisikan sesuai dengan
jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai awitan persalinan. Interval ini
disebut periode laten dan dapat terjadi kapan saja dari 1 sampai 12 jam atau
lebih (Varney, 2022).

Ketuban Pecah Dini dapat disebabkan oleh beberapa faktor meliputi


korioamnionitis, malposisi dan malpresentasi janin, inkompetensi Serviks,
Paritas, Riwayat KPD sebelumnya, merokok dan Usia ibu (Morgan, 2009).
Insiden Ketuban Pecah Dini lebih tinggi pada wanita dengan serviks
inkompeten, polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar atau
infeksi vagina atau serviks (vaginosis bakteri, trikomonas, klamidia, gonore,
streptokokus grup B. Hubungan signifikan juga telah ditemukan antara

1
2

keletihan karena bekerja dan peningkatan risiko KPD sebelum cukup bulan
diantara wanita nulipara (Varney, 2022).

Kehamilan pada usia muda (<20 tahun) sering terjadi penyulit/


komplikasi bagi ibu maupun janin. Hal ini disebabkan belum matangnya alat
reproduksi untuk hamil dimana rahim belum bisa menahan kehamilan dengan
baik, selaput ketuban belum matang dan mudah mengalami robekan sehingga
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Sedangkan pada iu dengan
usia lebih dari 35 tahun juga memiliki risiko karena otot otot dasar panggul
tidak elastis lagi. Sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan.
Salahsatunya adalah perut ibu menggantung dan serviks mudah berdilatasi
sehingga dapat menyebabkan terjadinya Ketuban Pecah Dini (Manggiasih,
2014).

Ibu yang telah melahirkan beberapa kali lebih berisiko mengalami


KPD, oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang
mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya
pecah spontan (Nugroho, 2011). Suatu penelitian menunjukkan hasil analisis
hubungan paritas ibu bersalin dengan kejadian ketuban pecah dini
menunjukkan bahwa pada kasus paritas multipara lebih besar mengalami
ketuban pecah dini sebesar 87,9% sedangkan pada ibu bersalin yang tidak
mengalami kejadian ketuban pecah dini (KPD) sebesar 73,2%. Dari hasil uji
statistik dan analisis multivariat adanya hubungan antara paritas dengan
ketuban pecah dini, paritas multipara memiliki peluang 2,418 kali
dibandingkan dengan paritas primipara (Manuaba, 2009).

Salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini adalah ketegangan


rahim berlebihan seperti kehamilan ganda/kembar. Kehamilan ganda
merupakan kehamilan dengan ukuran uterus yang lebih besar dibanding umur
kehamilannya, sehingga terjadi keregangan rahim berlebihan. Hal tersebut
akan meningkatkan tekanan intrauterin, dengan tekanan yang berlebihan ini,
vaskularisasi tidak berjalan dengan lancar yang dapat mengakibatkan selaput
ketuban kekurangan jaringan ikat. Sehingga menyebabkan selaput ketuban
3

tidak kuat atau lemah dan bila terjadi sedikit pembukaan serviks saja maka
selaput ketuban akan mudah pecah (Manuba, 2012).

Kejadian ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada 10- 12% dari semua
kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya 6- 19%, sedangkan pada
kehamilan preterm 2-5%. Laporan lain mendapatkan ketuban pecah dini
terjadi pada sekitar 6 % sampai 8 % wanita sebelum usia kehamilan 37
minggu dan secara langsung mendahului 20% sampai 50% dari semua
kelahiran prematur. Insiden KPD di seluruh dunia bervariasi antara 5- 10%
dan hampir 80% terjadi pada usia kehamilan aterm. Sementara itu, insiden
KPD preterm diperkirakan sebesar. Dalam keadaan normal, 8- 10% wanita
hamil aterm akan mengalami KPD dan hanya 1% terjadi pada usia kehamilan
preterm. Prevalensi dari KPD preterm di dunia adalah 3 - 4,5 % kehamilan
dan merupakan penyumbang dari 6 - 40 % persalinan preterm atau
prematuritas (Negara, 2017).

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada
ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia,
omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini preterm, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum
insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan
lamanya periode laten. Kriteria klinis infeksi yang digunakan pada KPD yaitu;
adanya febris, uterine tenderness (di periksa setiap 4 jam), takikardia (denyut
nadi maternal lebih dari 100x/mnt), serta denyut jantung janin yang lebih
dari 160 x/mnt (Wiknjosastro, 2010).

Dampak ketuban pecah dini terhadap ibu dan bayi yaitu persalinan
premature, Infeksi, hipoksia janin, asfiksia dan sindrom deformitas janin.
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Dengan
pecahnya ketuban terjadi oligohidamnion sehingga bagian kecil janin
menempel erat dengan dinding uterus yang dapat menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat
janin dan derajat oligohidamnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin
4

gawat (Wiknjosastro ,2010). Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi
muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonary (HKFM, 2016).

Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah


mortalitas dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat
karena infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37
minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang mencurigai
tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian
melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan
dengan proses kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan
mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun tokolisis (HKFM, 2016).

Adapun penatalaksanaan KPD di RSUD Bandung Kiwari dibagi


menurut usia kehamilan <37 minggu dan > 37 minggu. Pada kehamilan <37
minggu dilakukan perawatan konservatif bila pada ibu tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi (suhu >38°c, tachicardi ibu, lekositosis, tanda-tanda
infeksi intrauterine, rasa nyeri pada rahim, sekret vagina purulen dan kondisi
janin baik. Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan
kepada perempuan dengan persalinan prematur sebelumnya pada 24 -<34
minggu untuk mencegah sindrom distres pernapasan, perdarahan
intraventrikel, enterokolitis nekrotikans dan mortalitas neonatal. Pemberian
magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30 menit, diikuti
dosis pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-<32 minggu segera dalam 12 jam
sebelum persalinan prematur untuk menurunkan kejadian serebral palsi pada
bayi. Tokolitik sebaiknya digunakan serentak dengan kortikosteroid untuk
maturasi paru-paru. Bila usia kehamilan > 37 minggu dilakukan terminasi
kehamilan.

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai Ketuban Pecah Dini.


Penelitian oleh Aprilia tahun 2017 menyebutkan bahwa sebagian besar ibu
bersalin yang mengalami KPD terdapat pada kategori beresiko yaitu umur
5

<20 dan > 35 tahun. Penelitian oleh Idaman tahun 2019 menunjukkan ada
hubungan bermakna umur ibu, paritas, kelainan letak dengan KPD. Penelitian
oleh Zamilah tahun 2016 mengatakan ibu yang berumur beresiko mempunyai
persentase mengalami kejadian KPD lebih tinggi yaitu 81,1 % dibandingkan
ibu yang berumur tidak beresiko hanya sebesar 18,9 %. Penelitian Rohmatin
tahun 2019 mengatakan terdapat hubungan antara umur, gemelli dan
malpresentasi dengan kejadian KPD.

Pada tahun 2022 terjadi kenaikan kasus KPD di RSUD Bandung


Kiwari yaitu sebesar 5,1 % dibandingkan kasus KPD tahun 2021. Angka
kejadian KPD di RSUD Bandung Kiwari tahun 2022 sebanyak 814 kasus dari
4.264 ibu bersalin atau sebesar 19,09 %. Angka ini bertambah dari tahun
2021 yaitu sebanyak 638 kasus dari 4.559 ibu bersalin atau sebesar 13,99 %.

Selama tahun 2021 dan 2022 KPD menjadi kasus terbanyak di RSUD
Bandung Kiwari, penyebabnya masih belum jelas, maka tindakam preventif
tidak dapat dilakukan, penatalaksanaan dan asuhan yang baik diharapkan
dapat menekan tingkat infeksi dan komplikasi lainnya. Oleh sebab itu, penulis
ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Hubungan Usia dan Paritas
dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung
Kiwari Tahun 2022.

1.2 Identifikasi Masalah


Masalah yang berkaitan dengan penelitian yaitu tingginya kejadian
KPD di Rumah Sakit Umum Bandung Kiwari Pada tahun 2022. Perlu
diketahui angka kejadian KPD di Rumah Sakit Umum Bandung Kiwari Pada
tahun 2022 sebanyak 814 ibu dari 4.264 ibu bersalin atau sebesar 19.09%.
Sejauh ini masalah yang sudah timbul dari KPD di Rumah Sakit Umum
Daerah Bandung Kiwari untuk bayi yaitu meningkatnya angka BBLR, Infeksi
6

perinatal dan respiratory distress sedangkan bagi ibu yaitu meningkatnya


kejadian infeksi intrauterine yaitu sebanyak 64 kasus dan persalinan dengan
sectio dikarenakan gawat janin sebanyak 243 kasus.

Berdasarkan survey awal register ibu bersalin di RSUD Bandung


Kiwari tahun 2022 didapatkan angka kejadian KPD yang terjadi pada umur
kurang dari 20 tahun sebanyak 43 kasus dari 211 ibu bersalin berumur
kurang dari 20 tahun atau sebanyak 20,38 %, pada ibu berumur lebih dari 35
tahun sebanyak 115 kasus dari 816 ibu bersalin berumur lebih dari 35 tahun
atau sebanyak 14,09 %. Pada primipara sebanyak 444 kasus dari 1711
persalinan anak pertama atau sebesar 25,95 % sedangkan pada
grandemultipara terdapat 16 kasus KPD dari 164 persalinan pada ibu
grandemultipara atau sebesar 9,76 %. Sedangkan kejadian Gemelli dengan
KPD sebanyak 11 kasus dari 88 persalinan Gemelli atau sebesar 12.5 %.

Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari sendiri merupakan


rumah sakit milik Pemerintah Kota Bandung yang sebelumnya bernama
Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung dan beralamat di
Jl. Astanaanyar No. 224. Pada tanggal 30 Desember 2020 RSKIA berpindah
ke gedung baru di Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 311 dan diresmikan oleh Bapak
Wali Kota Bandung dan mulai beroperasi pada tanggal 16 Januari 2021.
RSKIA berubah status menjadi RSUD Bandung Kiwari pada tanggal 11
Januari 2022. Saat ini RSUD Bandung Kiwari memiliki 11 lantai yang di
dalamnya terdapat 12 poli pemeriksaan ditambah 6 poli spesialis lainnya,
seperti ortopedi dan fertility center, laboratorium, NICU, PICU, ICU, Poli
eksekutif, MRI, CT-scan, generator oksigen serta ruang rawat inap terstandar.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang di
atas maka dirumuskan masalah: “Apakah Terdapat Hubungan antara Usia
dan Paritas dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di Rumah Sakit Umum
7

Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022?”

1.4 Tujuan penelitian


1.4.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui Hubungan Usia dan Paritas dengan
Kejadian Ketuban Pecah Dini di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung
Kiwari Tahun 2022.

1.4.2 Tujuan khusus


1.4.2.1 Untuk Mengetahui Distribusi Frekuensi Ketuban Pecah Dini Pada
Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari
Tahun 2022.

1.4.2.2 Untuk Mengetahui Distribusi Frekuensi Usia Ibu Bersalin di Rumah


Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.4.2.3 Untuk Mengetahui Distribusi Frekuensi Paritas Ibu Bersalin di


Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.4.2.4 Untuk Mengetahui Hubungan Usia dengan Ketuban Pecah Dini di


Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.4.2.5 Untuk Mengetahui Hubungan Paritas dengan Ketuban Pecah Dini


di Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.5 Hipotesis Penelitian


1.5.1 Terdapat hubungan Usia dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di Rumah
Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.5.2 Terdapat hubungan Paritas dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di


Rumah Sakit Umum Daerah Bandung Kiwari Tahun 2022.

1.6 Manfaat Penelitian


8

1.6.1 Manfaat Teoritis


Hasil penelitian ini di harapakan menjadi referensi atau
masukan bagi perkembangan ilmu kebidanan dan menambah kajian
ilmu tentang kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin.

1.6.2 Manfaat Praktis


1.6.2.1 Bagi Peneliti

Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam penerapan


ilmu yang pernah diikuti selama perkuliahan.

1.6.2.2 Bagi Tempat Penelitian

Sebagai bahan masukan dan sarana informasi bagi RSUD


Bandung Kiwari untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan terhadap ibu bersalin khususnya bagi ibu yang
mengalami kejadian ketuban pecah dini.

1.6.2.3 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai informasi atau bahan bacaan dan masukan mahasiswa


diperpustakaan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persalinan
2.1.1 Pengertian
Pada akhir kehamilan ibu dan janin mempersiapkan diri untuk
menghadapi proses persalinan. Janin bertumbuh dan berkembang dalam
proses persiapan menghadapi kehidupan diluar rahim. Ibu menjalani
berbagai adaptasi fisiologis selama masa hamil dalam persiapan
menghadapi proses persalinan dan untuk berperan sebagai ibu.
Persalinan dan kelahiran adalah akhir kehamilan dan titik dimulainya
kehidupan di luar rahim bagi bayi baru lahir (Bobak, 2017).

Persalinan adalah proses fisiologis dimana janin, plasenta, dan


selaput dikeluarkan melalui jalan lahir. Tahap pertama persalinan
adalah dari awal kontraksi uterus teratur sampai pembukaan lengkap.
Persalinan normal adalah persalinan spontan, terjadi antara usia
kehamilan 37 dan 42 minggu, puncaknya adalah kelahiran normal bayi
yang hidup dan sehat, selesai dalam 24 jam dan tidak ada komplikasi
maternal (Medforth, 2017).

Persalinan merupakan suatu proses dimana seorang wanita


melahirkan bayi, yang diawali dengan kontraksi uterus yang teratur
dan memuncak pada saat pengeluaran bayi sampai dengan pengeluaran
placenta dan selaputnya dimana proses persalinan ini akan berlangsung
selama 12-14 jam (Myles, 2014).

Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi


(janin dan uri) yang telah cukup bulan dan dapat hidup di luar uterus
melalui vagina secara spontan (Manuaba, 1998; Wiknjosastro dkk,
2005). Pada akhir kehamilan, uterus secara progresif lebih peka
sampai akhirnya timbul kontraksi kuat secara ritmis sehingga bayi

9
10

dilahirkan (Hall, 2018).

2.1.2 Sebab - Sebab Mulainya Persalinan


Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang sebab terjadinya
persalinan:

a. Teori Penurunan Progesteron

Villi koriales mengalami perubahan-perubahan, sehingga kadar


estrogen dan progesterone menurun. Menurunnya kadar kedua hormon
ini terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai (Wiknjosastro,
2010). Selanjutnya otot rahim menjadi sensitif terhadap oksitosin.
Penurunan kadar progesteron pada tingkat tertentu menyebabkan otot
rahim mulai kontraksi (Manuaba, 2007).

b. Teori Oksitosin

Menjelang persalinan, terjadi peningkatan reseptor oksitosin


dalam otot rahim, sehingga mudah terangsang saat disuntikkan
oksitosin dan menimbulkan kontraksi. Diduga bahwa oksitosin dapat
meningkatkan pembentukan prostaglandin dan persalinan dapat
berlangsung terus (Manuaba, 2007).

c. Teori Keregangan Otot Rahim

Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang


mengakibatkan iskemia otot-otot uterus. Hal ini merupakan faktor
yang dapat mengganggu sirkulasi uteroplasenter sehingga plasenta
mengalami degenerasi (Wiknjosastro, 2010). Otot rahim mempunyai
kemampuan meregang sampai batas tertentu. Apabila batas tersebut
sudah terlewati, maka akan terjadi kontraksi sehingga persalinan
dapat dimulai (Manuaba, 2007).

d. Teori Prostaglandin
11

Prostaglandin sangat meningkat pada cairan amnion dan


desidua dari minggu ke-15 hingga aterm, dan kadarnya meningkat
hingga ke waktu partus (Wiknjosastro, 2010). Diperkirakan terjadinya
penurunan progesteron dapat memicu nterleukin-1 untuk dapat
melakukan “hidrolisis gliserofosfolipid”, sehingga terjad pelepasan dari
asam arakidonat menjadi prostaglandin, PGE2 dan PGF2 alfa.
Terbukti pula bahwa saat mulainya persalinan, terdapat penimbunan
dalam jumlah besar asam arakidonat dan prostaglandin dalam cairan
amnion. Di samping itu, terjadi pembentukan prostasiklin dalam
miometrium, desidua, dan korion leave. Prostaglandin dapat
melunakkan serviks dan merangsang kontraksi, bila diberikan dalam
bentuk infus, per os, atau secara intravaginal (Manuaba, 2007).

e. Teori Janin

Terdapat hubungan hipofisis dan kelenjar suprarenal yang


menghasilkan sinyal kemudian diarahkan kepada maternal sebagai
tanda bahwa janin telah siap lahir. Namun mekanisme ini belum
diketahui secara pasti (Manuaba, 2007).

2.1.3 Tanda-Tanda Persalinan


Ada 3 tanda yang paling utama yaitu:

a. Kontraksi (His)

Ibu merasa perut sering kencang, teratur dengan nyeri menjalar


dari pinggang ke paha. Hal ini disebabkan karena pengaruh hormon
oksitosin yang secara fisiologis membantu dalam proses pengeluaran
janin. Ada 2 macam kontraksi yang pertama kontraksi palsu (Braxton
hicks) dan kontraksi yang sebenarnya. Pada kontraksi palsu
berlangsung sebentar, tidak terlalu sering dan tidak teratur, semakin
lama tidak ada peningkatan kekuatan kontraksi. Sedangkan kontraksi
yang sebenarnya bila ibu hamil merasakan kencang-kencang makin
sering, waktunya semakin lama, dan makin kuat terasa, diserta mulas
12

atau nyeri seperti kram perut. Perut bumil juga terasa kencang.
Kontraksi bersifat fundal recumbent/nyeri yang dirasakan terjadi pada
bagian atas atau bagian tengah perut atas atau puncak kehamilan
(fundus), pinggang dan panggul serta perut bagian bawah. Tidak
semua ibu hamil mengalami kontraksi (His) palsu. Kontraksi ini
merupakan hal normal untuk mempersiapkan rahim untuk bersiap
menghadapi persalinan (Yulizawati, 2019).

b. Pembukaan Serviks

Biasanya pada kehamilan pertama, terjadinya pembukaan ini


disertai nyeri perut. Sedangkan pada kehamilan anak kedua dan
selanjutnya, pembukaan biasanya tanpa diiringi nyeri. Rasa nyeri
terjadi karena adanya tekanan panggul saat kepala janin turun ke area
tulang panggul sebagai akibat melunaknya rahim. Untuk memastikan
telah terjadi pembukaan, tenaga medis biasanya akan melakukan
pemeriksaan dalam (Yulizawati, 2019).

c. Keluarnya Bloody Show dan pecahnya ketuban

Dalam bahasa medis disebut bloody show karena lendir ini


bercampur darah. Itu terjadi karena pada saat menjelang persalinan
terjadi pelunakan, pelebaran, dan penipisan mulut rahim. Bloody show
seperti lendir yang kental dan bercampur darah. Menjelang persalinan
terlihat lendir bercampur darah yang ada di leher rahim tersebut akan
keluar sebagai akibat terpisahnya membran selaput yang menegelilingi
janin dan cairan ketuban mulai memisah dari dinding rahim
(Yulizawati, 2019).

Di dalam selaput ketuban (korioamnion) yang membungkus


janin, terdapat cairan ketuban sebagai bantalan bagi janin agar
terlindungi, bisa bergerak bebas dan terhindar dari trauma luar.
Cairan ketuban umumnya berwarna bening, tidak berbau, dan akan
terus keluar sampai ibu akan melahirkan. Keluarnya cairan ketuban
13

dari jalan lahir ini bisa terjadi secara normal namun bisa juga karena
ibu hamil mengalami trauma, infeksi, atau bagian ketuban yang tipis
(locus minoris) berlubang dan pecah. Setelah ketuban pecah ibu akan
mengalami kontraksi atau nyeri yang lebih intensif. Terjadinya pecah
ketuban merupakan tanda terhubungnya dengan dunia luar dan
membuka potensi kuman/bakteri untuk masuk. Karena itulah harus
segera dilakukan penanganan dan dalam waktu kurang dari 24 jam
bayi harus lahir apabila belum lahir dalam waktu kurang dari 24 jam
maka dilakukan penanganan selanjutnya (Yulizawati, 2019).

2.1.4 Tahapan Persalinan


Secara klinis dapat dinyatakan partus dimulai bila timbul his
dan wanita tersebut mengeluarkan lendir yang disertai darah (bloody
show). Lendir yang disertai darah ini berasal dari lendir kanalis
servikalis karena serviks mulai membuka atau mendatar. Sedangkan
darahnya berasal dari pembuluh-pembuluh kapiler yang berada di
sekitar kanalis servikalis itu pecah karena pergeseranpergeseran ketika
serviks membuka (Wiknjosastro, 2010).

a. Kala I (Pembukaan Jalan Lahir)

Kala I persalinan dimulai dengan kontraksi uterus yang teratur


dan diakhiri dengan dilatasi serviks lengkap. Dilatasi lengkap dapat
berlangsung kurang dari satu jam pada sebagian kehamilan multipara.
Pada kehamilan pertama, dilatasi serviks jarang terjadi dalam waktu
kurang dari 24 jam. Rata-rata durasi total kala I persalinan pada
primigravida berkisar dari 3,3 jam sampai 19,7 jam. Pada
multigravida ialah 0,1 sampai 14,3 jam (Bobak, 2017). Ibu akan
dipertahankan kekuatan moral dan emosinya karena persalinan masih
jauh sehingga ibu dapat mengumpulkan kekuatan (Manuaba, 2007).

Proses membukanya serviks sebaga akibat his dibagi dalam 2


fase, yaitu:
14

1) Fase laten: berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi


sangat lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. Fase
laten diawali dengan mulai timbulnya kontraksi uterus yang
teratur yang menghasilkan perubahan serviks.

2) Fase aktif: dibagi dalam 3 fase lagi yakni:

Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi


menjadi 4 cm.

Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan


berlangsung sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.

Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam


waktu 2 jam, pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.

Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada


multigravida pun terjadi demikian akan tetapi terjadi dalam
waktu yang lebih pendek (Wiknjosastro dkk, 2010).

b. Kala II (Pengeluaran)

Kala II persalinan adalah tahap di mana janin dilahirkan.


Pada kala II, his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2
sampai 3 menit sekali. Saat kepala janin sudah masuk di ruang
panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar
panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita
merasakan tekanan pada rektum dan hendak buang air besar.
Kemudian perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan anus
membuka. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala
janin tampak dalam vulva pada waktu his. Dengan his dan kekuatan
mengedan maksimal, kepala janin dilahirkan dengan presentasi
suboksiput di bawah simfisis, dahi, muka dan dagu. Setelah istirahat
sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan badan dan anggota badan
bayi (Wiknjosastro, 2010).
15

Masih ada banyak perdebatan tentang lama kala II yang tepat


dan batas waktu yang dianggap normal. Batas dan lama tahap
persalinan kala II berbeda-beda tergantung paritasnya. Durasi kala II
dapat lebih lama pada wanita yang mendapat blok epidural dan
menyebabkan hilangnya refleks mengedan. Pada Primigravida, waktu
yang dibutuhkan dalam tahap ini adalah 25-57 menit (Bobak, 2017).

c. Kala III (Kala Uri)

Kala III persalinan berlangsung sejak janin lahir sampai


plasenta lahir (Bobak, 2017). Setelah bayi lahir, uterus teraba keras
dengan fundus uteri agak di atas pusat. Beberapa menit kemudian,
uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya.
Biasanya plasenta lepas dalam 6 sampai 15 menit setelah bayi lahir
dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri
(Wiknjosastro, 2010).

Pada tahap ini dilakukan tekanan ringan di atas puncak rahim


dengan cara Crede untuk membantu pengeluaran plasenta. Plasenta
diperhatikan kelengkapannya secara cermat, sehingga tidak
menyebabkan gangguan kontraksi rahim atau terjadi perdarahan
sekunder (Manuaba, 2007).

d. Kala IV (2 Jam Setelah Melahirkan)

Kala IV persalinan ditetapkan berlangsung kira-kira dua jam


setelah plasenta lahir. Periode ini merupakan masa pemulihan yang
terjadi segera jika homeostasis berlangsung dengan baik (Bobak, 2017).
Pada tahap ini, kontraksi otot rahim meningkat sehingga pembuluh
darah terjepit untuk menghentikan perdarahan. Pada kala ini
dilakukan observasi terhadap tekanan darah, pernapasan, nadi,
kontraksi otot rahim dan perdarahan selama 2 jam pertama. Selain itu
juga dilakukan penjahitan luka episiotomi. Setelah 2 jam, bila keadaan
baik, ibu dipindahkan ke ruangan bersama bayinya (Manuaba, 2007).
16

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persalinan


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persalinan antara lain:

1. Passenger

Malpresentasi atau malformasi janin dapat mempengaruhi


persalinan normal. Pada faktor passenger, terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap
dan posisi janin. Karena plasenta juga harus melalui jalan lahir, maka
ia dianggap sebagai penumpang yang menyertai janin (Bobak, 2017).

2. Passage away

Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang yang
padat, dasar panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina).
Meskipun jaringan lunak khususnya lapisan-lapisan otot dasar panggul
ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih berperan
dalam proses persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya
terhadap jalan lahir yang relatif kaku (Bobak, 2017).

3. Power

His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang menyebabkan


serviks membuka dan mendorong janin ke bawah. Pada presentasi
kepala, bila his sudah cukup kuat, kepala akan turun dan mulai masuk
ke dalam rongga panggul (Wiknjosastro, 2010). Ibu melakukan
kontraksi involunter dan volunteer secara bersamaan (Bobak, 2017).

4. Position

Posisi ibu mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi


persalinan. Posisi tegak memberi sejumlah keuntungan. Mengubah
posisi membuat rasa letih hilang, memberi rasa nyaman, dan
memperbaki sirkulasi. Posisi tegak meliputi posisi berdiri, berjalan,
duduk dan jongkok (Bobak, 2017).
17

5. Psychologic Respons

Proses persalinan adalah saat yang menegangkan dan


mencemaskan bagi wanita dan keluarganya. Rasa takut, tegang dan
cemas mungkin mengakibatkan proses kelahiran berlangsung lambat.
Pada kebanyakan wanita, persalinan dimulai saat terjadi kontraksi
uterus pertama dan dilanjutkan dengan kerja keras selama jam- jam
dilatasi dan melahirkan kemudian berakhir ketika wanita dan
keluarganya memulai proses ikatan dengan bayi. Perawatan ditujukan
untuk mendukung wanita dan keluarganya dalam melalui proses
persalinan supaya dicapai hasil yang optimal bagi semua yang terlibat.
Wanita yang bersalin biasanya akan mengutarakan berbagai
kekhawatiran jika ditanya, tetapi mereka jarang dengan spontan
menceritakannya (Bobak, 2017).

2.1.6 Mekanisme Persalinan


Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian
gerakan untuk melewati panggul (seven cardinal movements of labor)
yang terdiri dari:

1. Engagement: Terjadi ketika diameter terbesar dari presentasi


bagian janin (biasanya kepala) telah memasuki rongga panggul.
Engagement telah terjadi ketika bagian terendah janin telah
memasuki station nol atau lebih rendah. Pada nulipara,
engagement sering terjadi sebelum awal persalinan. Namun, pada
multipara dan beberapa nulipara, engagement tidak terjadi
sampai setelah persalinan dimulai.

2. Descent: Terjadi ketika bagian terbawah janin telah melewati


panggul. Descent/ penurunan terjadi akibat tiga kekuatan yaitu
tekanan dari cairan amnion, tekanan langsung kontraksi fundus
pada janin dan kontraksi diafragma serta otot-otot abdomen ibu
pada saat persalinan, dengan sumbu jalan lahir:
18

• Sinklitismus yaitu ketika sutura sagitalis sejajar dengan


sumbu jalan lahir

• Asinklistismus anterior: Kepala janin mendekat ke arah


promontorium sehingga os parietalis lebih rendah.

• Asinklistismus posterior: Kepala janin mendekat ke arah


simfisis dan tertahan oleh simfisis pubis.

Gambar 2. 1 Proses Descent

Sumber: Cunningham, 2018

3. Fleksi (flexion): Segera setelah bagian terbawah janin yang turun


tertahan oleh serviks, dinding panggul, atau dasar panggul, dalam
keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan ke arah dada
janin. Fleksi ini disebabkan oleh Persendian leher, dapat berputar
ke segala arah termasuk mengarah ke dada. Letak leher bukan di
garis tengah, tetapi ke arah tulang belakang sehingga kekuatan
his dapat menimbulkan fleksi kepala. Terjadi perubahan posisi
tulang belakang janin yang lurus sehingga dagu lebih menempel
pada tulang dada janin. Kepala janin yang mencapai dasar
panggul akan menerima tahanan sehingga memaksa kepala janin
mengubah kedudukannya menjadi fleksi untuk mencari lingkaran
kecil yang akan melalui jalan lahir.

4. Putaran paksi dalam (internal rotation): Putaran paksi dalam


19

dimulai pada bidang setinggi spina ischiadika. Setiap kali terjadi


kontraksi, kepala janin diarahkan ke bawah lengkung pubis dan
kepala berputar saat mencapai otot panggul.

5. Ekstensi (extension): Saat kepala janin mencapai perineum,


kepala akan defleksi ke arah anterior oleh perineum. Mula-mula
oksiput melewati permukaan bawah simfisis pubis, kemudian
kepala keluar mengikuti sumbu jalan lahir akibat ekstensi.

6. Putaran paksi luar (external rotation): Putaran paksi luar terjadi


ketika kepala lahir dengan oksiput anterior, bahu harus memutar
secara internal sehingga sejajar dengan diameter anteroposterior
panggul. Rotasi eksternal kepala menyertai rotasi internal bahu
bayi.

7. Ekspulsi: Setelah bahu keluar, kepala dan bahu diangkat ke atas


tulang pubis ibu dan badan bayi dikeluarkan dengan gerakan
fleksi lateral ke arah simfisis pubis (Cunningham, 2018).

Gambar 2. 2 Proses penurunan kepala janin


Sumber: Cunningham,
Cunningham, 2018
201 8

2.2 Selaput Ketuban


2.2.1 Membran Amnion
Terdapat dua tipe sel utama pada amnion manusia. Pada awal
embriogenesis, sebelum usia kehamilan 8 minggu, amnion terdiri dari
20

sebuah lapisan sel epitelium (diduga berasal dari ektodermjanin) dan


sebuah lapisan terpisah dari sel mesenkim (diduga berasal dari
mesoderm janin) yang terletak berdekatan dengan sel epitelium (Negara,
2017).

Pada tahap awal embriogenesis ini, amnion merupakan


membran dengan dua lapisan sel. Seiring dengan kantong amnion yang
semakin besar, sel epitelium melakukan replikasi agar dapat
mempertahankan epitelium yang terdiri dari lapisan sel berdekatan
yang dihubungkan oleh desmosom. Laju replikasi dari sel mesenkim
nampaknya tidak dapat mengimbangi ekspansi kantong amnion;
dimulai pada usia kehamilan 10-14 minggu, sel yang serupa dengan
fibroblas mulai terburai, yang pada mulanya hanya dihubungkan oleh
jaringan ikat longgar (Negara, 2017).

Pada tahap awal kehamilan ini, deposit kolagen diletakkan


antara sel epitelium dan mesenkim, sehingga tercipta pembatas antara
dua sel tersebut yang tersusun oleh zona aselular dari kolagen
interstisial, yang disebut zona compacta atau lapisan padat dari
amnion. Pada trimester ketiga, terdapat sekitar sepersepuluh sel
mesenkim bila dibandingkan dengan sel epitelium. Terdapat pula
beberapa makrofag (berasal dari janin) pada amnion manusia, namun
jaringan ini tidak memiliki vaskuler, otot halus, sistem limfatik, atau
jaringan saraf (Negara, 2017).

Membran ketuban merupakan suatu struktur membran yang


lunak yang mengelilingi fetus selama kehamilan. Kehamilan normal
memerlukan kekuatan integritas dari membran ketuban hingga
kehamilan aterm, dimana pada saat terjadinya pecahnya membran
ketuban merupakan bagian yang saat vital pada saat persalinan.
Membran ketuban terdiri dari struktur dua lapis yang terdiri dari
lapisan amnion dan lapisan chorion. Lapisan korion lebih tebal dan
lebih selular, dan sedangkan lapisan amnion lebih kaku dan kuat.
21

Ketebalan lapisan amnion + 20% dari ketebalan membran ketuban.


Telah dikonfirmasi bahwa amnion dan lapisan- lapisan korion
mengandung kolagen tipe I dan III di samping jenis. kolagen IV dan V
(Negara, 2017).

2.2.2 Struktur Amnion


Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda tidak
mengandung pembuluh darah atau saraf, nutrisi yang dibutuhkan
dipasok oleh cairan ketuban. Lapisan paling dalam, yang terdekat
dengan janin, adalah epitel amnion. Sel epitel amnion mensekresikan
kolagen tipe III dan IV dan glikoprotein nonkolagen (laminin, nidogen,
dan fibronektin) yang membentuk membran basal, lapisan berikutnya
dari amnion (Negara, 2017).

Lapisan kompakta jaringan ikat yang dekat dengan membran


basal membentuk kerangka fibrosa utama amnion. Kolagen lapisan
padat tersebut disekresikan oleh sel mesenkim pada lapisan fibroblas.
Kolagen interstisial (tipe I dan III) predominan dan membentuk ikatan
paralel yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe
V dan VI membentuk penghubung filamentosa antara kolagen
interstisial dan membran basal epitel. Tidak ada penempatan substansi
dasar amorf antara fibril kolagen dalam jaringan ikat amnion aterm,
sehingga amnion mempertahankan daya regangnya sepanjang tahap
akhir kehamilan normal (Negara, 2017).

Lapisan fibroblast adalah lapisan yang paling tebal diantara


lapisan amnion, mengandung sel-sel mesenkim dan makrofag dalam
suatu matriks ekstraselular. Kolagen pada lapisan ini membentuk
jaringan longgar dengan pulau-pulau glikoprotein nonkolagen. Lapisan
intermediat (lapisan spons, atau zona spongiosa) terletak di antara
amnion dan korion. Kandungan yang melimpah dari proteoglikan
terhidrasi dan glikoprotein memberikan sifat "kenyal" lapisan ini dalam
preparat histologis, dan mengandung jaringan nonfibrillar sebagian
22

besar kolagen tipe III. Lapisan intermediat menyerap tekanan fisik


dengan membuat amnion bergeser di korion dasarnya, yang melekat
kuat pada desidua maternal (Negara, 2017).

Lapisan korion lebih tebal dari pada lapisan amion dan berisi
sublapisan jaringan ikat dan sitotrofoblas. Sel-sel sitotrofoblas
dikelilingi oleh kolagen tipe IV dan lapisan korion berikatan kuat
dengan lapisan decidua, di mana sel-sel desidua dikelilingi oleh kolagen
tipe III, IV, dan V. Ketika membran janin terpisah dari rahim saat
melahirkan, beberapa jaringan rahim yang melekat, bagian dari
desidua tersebut, tetap melekat pada korion (Negara, 2017). Korion
terdiri dari 4 lapisan yang tersusun sebagai berikut:

1. Trofoblast, terdiri dari sel – sel trofoblast dari yang bulat sampai
polygonal.

2. Pseudobasement membrane, merupakan lapisan tebal sel – sel


cytotrophoblastic polygonal dengan 2 tipe sel yang berbeda
morfologinya.

3. Lapisan reticular, terdiri dari jaringan serabut – serabut


fusiformis dan sel –sel stellata.

4. Lapisan seluler, merupakan lapisan sel – sel bervakuola dan


melekat satu dengan yang lain secara erat dengan ruang
intraseluler yang sempit (basal sitotrofoblast).

Membran amnion adalah struktur biologis yang transparan


yang tidak memiliki saraf, otot atau pembuluh limfe. Sumber nutrisi
dan oksigen adalah cairan chorionic, cairan amnion dan permukaan
pembuluh darah janin, menjadi penyedia nutrisi melalui cara difusi.
Energi utamanya diperoleh melalui proses glikolitik anaerobik karena
pasokan oksigen terbatas. Transporter protein Glukosa 1 dan 3 telah
ditemukan di permukaan apikal sel epitel membran amnion (Negara,
2017).
23

Gambar 2. 3 Lapisan Membran Amnion

Sumber : Negara, 2017

2.2.3 Fungsi Amnion


Ketebalan membran amnion bervariasi dari 0,02 mm sampai
0,5 mm dan terdiri dalam tiga lapisan histologis utama: lapisan epitel,
membran basal yang tebal dan jaringan avascular mesenchymal.
Lapisan dalam, berdekatan dengan cairan amnion, didasari oleh
lapisan homogen tunggal dari sel-sel epitel kuboid yang terfiksasi pada
membran basal yang melekat pada lapisan aseluler yang kental yang
terdiri dari kolagen tipe I, II dan V. Sel epitel amnion memiliki banyak
mikrovili di permukaan apikal mereka dan mungkin memiliki fungsi
sekresi aktif dan fungsi transportasi intra dan transseluler. Sel-sel ini
memiliki inti besar yang ireguler dengan nucleolus homogen yang besar
dan banyak organel intrasitoplasmik dan vesikula pinoctic. Sel epitel
amnion yang mengekspresikan penanda epidermal, seperti glikoprotein
CA125 dan reseptor oksitosin. Erythropoietin dan reseptornya
24

diekspresikan dalam sel epitel amnion manusia. Erythropoietin, yang


fungsinya masih belum diketahui di membran amnion, merangsang
diferensiasi, proliferasi dan kelangsungan hidup prekursor eritroid dan
produksi diatur oleh konsentrasi oksigen dalam darah (Negara, 2017).

Membran basal mengandung sejumlah besar proteoglikan yang


kaya sulfat heparan dan yang berfungsi sebagai penghalang permeabel
untuk makromolekul amnion dan beberapa molekul dengan fungsi
struktural sehingga memungkinkan pemeliharaan integritas membran.
Molekul-molekul ini adalah aktin, α-actinin, spectrin, Ezrin, beberapa
cytokeratins, vimentin, desmoplakin dan laminin. Ekspresi laminin
telah banyak diteliti, karena molekul ini memberikan kontribusi
terhadap kelangsungan hidup sel, diferensiasi, bentuk dan gerakan dan
terlibat dalam pemeliharaan fenotipe jaringan (Negara, 2017).

Lapisan luar dari membran amnion terdiri dari sel-sel seperti


fibroblast mesenchymal yang diduga berasal dari lempeng embrionik
mesoderm dan yang tersebar di membran full term. Isi dari lapisan
mesenchymal kaya kolagen meningkatkan kekuatan tarik. Beberapa
penulis menyebut lapisan terluar dari amnion dengan zona spongiosa,
karena kandungan melimpah dariproteoglikan dan glikoprotein
menghasilkan penampilan spons dalam preparat histologis. Lapisan ini
berada berdekatan dengan korion laeve yang merupakan struktur
hampir aselular dan berisi jaringan nonfibrillar sebagian besar dari
kolagen tipe III (Negara, 2017).

Lapisan spons, berhubungandekat dengan membran korionik,


terdiri dalam bundel yang bergelombang dari retikulum yang
bermandikan musin; maka, membran amnion mudah lepas dari korion
dengan cara diseksi tumpul. Seperti yang diharapkan, amnion
bervariasi dalam penampilan histologis dari konsepsi hingga maturitas
dan beberapa pola yang berbeda sering ditemukan, bahkan pada aterm
(Negara, 2017).
25

Membran amnion bukan hanya struktur avaskular sederhana,


tetapi memiliki beberapa fungsi metabolisme seperti transportasi air
dan bahan-bahan larut dan produksi faktor bioaktif, termasuk peptida
vasoaktif, growth factor dan sitokin (Cunningham, 2018).

Salah satu fungsi dasar dari membran amnion adalah untuk


menjaga perkembangan embrio dengan melindungi terhadap
pengeringan dan lingkungan suspensi, di mana embrio dapat tumbuh
bebas dari tekanan dari struktur yang mengelilingi tubuhnya. Memang,
resistensi tractional dari membran amnion utamanya terkait dengan
lapisan kental interstitial kolagen tipe I, II dan elastin. Di sisi lain,
elastisitas amnion utamanya disebabkan oleh kolagen tipe III. Karena
kehadiran kolagen interstitial, satu sifat penting dari membran amnion
adalah ketahanan terhadap faktor proteolitik. Membran amnion juga
memiliki peran penting selama kelahiran, karena zat yang dihasilkan
oleh epitel membran amnion memungkinkan inisiasi dan pemeliharaan
kontraktilitas uterus. Prostaglandin, terutama prostaglandin E2 dan
enzim yang diintegrasikan ke dalam sintesis prostaglandin, seperti
phospholipases dan prostaglandin synthase, adalah beberapa molekul
yang diproduksi di epitel amnion dan yang memiliki peran dalam
fisiologi kontraksi. Human chorionic gonadotropin, corticotrophin
releasing hormon dan glukokortikoid mengatur produksi prostaglandin.
Interleukin (IL) 4 juga telah menunjukan dapat menekan aktivitas
prostaglandin-H synthase-2 pada sel epitel amnion. Selama kehamilan,
epitel amnion sangat aktif secara metabolik dan memiliki peran penting
dalam menjaga pH cairan amnion, menjaganya agar tetap pada nilai
konstan. Karbonat anhidrase isoenzim CA-1 dan CA-2 yang ditemukan
di sel-sel epitel amnion. Enzim ini, yang terlibat dalam metabolisme
bikarbonat / karbon dioksida, diduga memiliki peran regulasi dalam
menjaga pH cairan amnion yang konstan (Negara, 2017)
26

2.3 Ketuban Pecah Dini


2.3.1 Pengertian
Ketuban Pecah Dini dapat didefinisikan sebagai pecah ketuban
sebelum awitan persalinan, tanpa memperhatikan usia gestasi. Namun,
dalam praktik dan dalam penelitian, Ketuban Pecah Dini didefinisikan
sesuai dengan jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai awitan
persalinan. Interval ini disebut periode laten dan dapat terjadi kapan
saja dari 1 sampai 12 jam atau lebih (Varney, 2022).

Ketuban Pecah Dini diidentifikasi sebagai pecahnya kondisi


selaput ketuban ketika persalinan belum berlangsung. Sementara itu
KPD dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu disebut KPD pada
kehamilan prematur. Penelitian menunjukkan bahwa KPD normalnya
dialami 8 hingga 10 % perempuan hamil (Saifuddin, 2018).

Ketuban pecah dini dapat berpengaruh terhadap kehamilan dan


persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan
disebut periode laten atau dengan sebutan Lag Period. Ada beberapa
perhitungan yang mengukur Lag Period, diantaranya 1 jam atau 6 jam
sebelum intrapartum, dan diatas 6 jam setelah ketuban pecah. Bila
periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah, maka dapat
terjadi infeksi pada ibu dan juga bayi (Fujiyarti, 2016).

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya


tanpa disertai tanda inpartu dan setelah satu jam tetap tidak diikuti
dengan proses inpartu sebagaimana mestinya. Klasifikasi Ketuban
Pecah Dini dibagi atas usia kehamilan yaitu:

1) Ketuban Pecah Dini atau disebut juga Premature Rupture of


Membrane atau Prelabour Rupture of Membrane (PROM),
adalah pecahnya selaput ketuban pada saat usia kehamilan
aterm.

2) Ketuban pecah prematur yaitu pecahnya membran


27

korioamniotik sebelum usia kehamilan yaitu kurang dari 37


minggu atau disebut juga Preterm Premature Rupture of
Membrane atau Preterm Prelabour Rupture of Membrane
/PPROM (Manuaba, 2009).

2.3.2 Patofisiologi
Studi terbaru menunjukkan bahwa peristiwa molekuler
yang menyebabkan persalinan prematur dan KPD secara fundamental
berbeda, hal ini mungkin menjelaskan mengapa beberapa wanita
mengalami persalinan prematur tanpa pecah ketuban, sementara yang
lain mengalamiKPD tanpa persalinan. Studi pada membran (in vivo
dan in vitro) menunjukkan bahwa unsur-unsur dari kematian sel
terprogram (apoptosis) yang didominasi terlihat pada selaput ketuban
dari wanita dengan KPD tapi bukan mereka dari wanita dengan
persalinan preterm. Infeksi dan endotoksin mampu merangsang
banyak faktor-faktor proapoptotik selama KPD preterm. Agen
proapoptotik meningkat pada KPD yang berasal dari membran amnion
dan bukti kematian sel terprogram terlihat. Beberapa penelitian
lainnya juga telah melaporkan hubungan yang kuat antara apoptosis
dan KPD (Negara, 2017).

Pecahnya selaput ketuban tidak hanya berkaitan dengan faktor


mekanis dan kimia namun di dalamnya berperan serta juga adanya
proses kematian sel terprogram atau apoptosis dari sel-sel yang
terdapat pada selaput ketuban. Berbagai penelitian
memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput ketuban dari ibu hamil
dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan
aterm maupun preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh
(Negara, 2017).

Melemahnya selaput ketuban di daerah supra servik


dihubungkan dengan gambaran histologi dan proses biokimia dimana
28

terdapat gambaran remodeling kolagen dan apoptosis. Gambaran ini


tampak pada daerah supra servik membran janin baik dari membran
yang didapat dari persalinan sesar atau setelah persalinan normal.
Jaringan amnion dan korion pada kehamilan aterm setelah
mengalami pecah ketuban dini mengandung banyak sel-sel
apoptosis di area sekitar ruptur membran dan sedikit sel apoptosis di
area yang lain dari membran. Pada kasus dengan korioamnionitis,
apoptosis sel epitel amnion tampak dalam granulosit, yang
menunjukkan bahwa respon imun mempercepat kematian sel pada
membran amnion (Negara, 2017).

Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang berasal


dari protein ekstraseluler dan intraseluler. Faktor
ekstraseluler sangat dipengaruhi oleh infeksi yang telah lama dikenal
sebagai pencetus ketuban pecah dini, sedangkan faktor intraseluler
diperankan oleh p53 yang merupakan suatu protein yang berperan
dalam apoptosis intraseluler melalui pengaktifan protein Bax yang
memacu pelepasan sitokrom C. Fungsi n ormal p53 adalah sebagai
penjaga proteinom. Pada keadaan di mana jumlah p53 rendah maka
p53 akan berperan sebagai penjaga sel, sedangkan dalam jumlah
banyak akan menyebabkan pengaktifan apoptosis. Ditemukan adanya
peningkatan ekspresi gen yang bersifat proapoptosis, yaitu p53
dan Bax disertai penurunan ekspresi gen antiapoptosis Bcl-2 pada
kasus ketuban pecah dini, baik aterm maupun preterm (Negara,
2017).

Proses apoptosis dipercepat di tempat terjadinya robekan


selaput ketuban pada kehamilan dengan ketuban pecah dini baik
melalui jalur caspase dependent dan caspase independent. Sinyal
apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan ekstraseluler. Jalur
ekstrinsi (ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor
kematian (death receptor pathway) sedangkan jalur intrinsik
29

diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel


(Negara, 2017).

Suatu zona dari morfologi yang sangat berubah, ditandai


dengan pembengkakan dan gangguan jaringan ikat, penipisan lapisan
trofoblas, mungkin terkait dengan peningkatan regional pada
apoptosis trofoblas, dan penipisan atau tidak adanya desidua,
telah diidentifikasi pada membran janin di lokasi ruptur pada
kehamilan aterm dan pada KPD preterm. Ciri-ciri morfologi dari zona
morfologi yang sangat berubah berkorelasi dengan kelemahan
struktural. Ciri-ciri ini terlihat pada membran janin saat persalinan
normal pada daerah di atas serviks (Negara, 2017).

Rata-rata kekuatan untuk terjadinya ruptur dalam zona ini


dilaporkan 60% dari membran yang tersisa. Hilangnya susunan
fibrillar pada struktur kolagen terlihat deka daerah ruptur. Ada
peningkatan jarak fibril dan penurunan 50% pada susunan fibrillar.
Zona lemah di atas serviks juga mengalami peningkatan MMP-9,
peningkatan level dari faktor transkripsi tertentu, dan jalur
transkripsi termasuk NF-kB, Fox03, dan Fox04, yang mengatur
gen yang terlibat dalam inflamasi, remodeling dan apoptosis
matriks ekstraseluler.Juga meningkatkan pembelahan poly (ADP- ribose)
polymerase I (penanda apoptosis), menurunkan inhibitor jaringan
metaloproteinase 3 (TIMP-3), dan ciri-ciri histologis yang konsisten
dengan remodeling dan apoptosis seluler (Negara, 2017).

Pecahnya selaput ketuban adalah sebagai hasil dari proses


remodeling dan pematangan servik. Pada servik dan amnion terjadi
perubahan pada tipe kolagen dan menyebabkan kelemahan
struktur dari matriks ekstraseluler yang diikuti oleh apoptosis seluler.
Peningkatan apoptosis sel amnion terutama pada lapisan sel epitel
amnion diikuti oleh peningkatan transkripsi MMP yang selanjutnya
akan menyebabkan degradasi kolagen. Pada selaput ketuban terdapat
30

daerah fokal dari fetal membran yang disebut dengan high morphology
change, di dalamnya terdapat proses remodeling dan apoptosis (Negara,
2017).

Malak dan Bell pada tahun 1994, pertamakali menemukan


adanya sebuah area yang disebut dengan high morphological change
pada selaput ketuban pada daerah di atas serviks. Daerah ini
merupakan 2- 10% dari keseluruhan permukaan selaput ketuban.
Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa area
ini ditandai dengan adanya peningkatan MMP-9, peningkatan
apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan
myofibroblas (Negara, 2017).

Setelah ruptur spontan dari membran pada kehamilan


aterm, terdeteksi daerah membran fetus yang menunjukkan
gambaran morfologi unik yang hanya ditemukan dalam area terbatas
sepanjang garis pecahnya selaput ketuban. Area terbatas ini telah
disebut 'zone altered morphology' (ZAM) dan gambaran yang diuraikan
konsisten dengan potensi kelemahan struktural dari membran amnion.
Keadaan ini termasukgangguan dari lapisan jaringan ikat dan
pengurangan ketebalan, dan selularitas, baik dari sitotrofoblas dan
lapisan desidua. Mengingat gambaran struktural dari ZAM dan yang
lokalisasinya terbatas di dae rah dalam garis rupturnya amnion, telah
disepakati bahwa ZAM mewakili lokasi awal ruptur selaput ketuban
dalam respon terhadap peningkatan tekanan intra amnion yang terjadi
selama persalinan (Negara, 2017).

Penelitian lain oleh Rangaswamy dkk, mendukung konsep


paracervical weak zone tersebut. Mereka menemukan bahwa selaput
ketuban daerah paraservikal pecah dengan hanya 20-50% dari
kekuatan yang dibutuhkan untuk menimbulkan robekan di area
selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian tersebut
mendukung konsep adanya perbedaan zona pada selaput
31

ketuban, khususnya zona di sekitar serviks yang secara signifikan lebih


lemah dibandingkan dengan zona lainnya seiring dengan terjadinya
perubahan pada susunan biokimia dan histologi. Paracervical
weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban
dan berperan sebagai titik awal terjadinya ruptur membran amnion
(Negara, 2017).

Proses yang menyebabkan pembentukan paracervical weak


zone selain proses remodeling, ini berkaitan erat dengan proses
apoptosis, dimana beberapa penelitian yang telah dilakukan
mendukung teori ini. Penelitian oleh El Khwad menemukan
adanya peningkatan MMP-9 dan cleaved PARP, serta penurunan TIMP-
3 pada weak zone. Penelitian lain oleh Reti dan kolega menunjukkan
bahwa selaput ketuban di daerah supraservikal
menunjukkan peningkatan aktivitas petanda apoptosis yaitu
cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2 (Negara,
2017).

Metode lain untuk membuktikan adanya proses apoptosis


dilakukan oleh Kataoka tahun 2002, dengan cara mengukur derajat
fragmentasi DNA dengan densitometer. Didapatkan hasil laju
apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien dengan
ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan
laju apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks
dibandingkan dengan daerah fundus (Negara, 2017).

2.3.3 Penyebab dan Faktor Risiko KPD


Etiologi merupakan studi yang mempelajari tentang kausalitas
(penyebab) dan asal muasal sesuatu (Rothman, 2008). Sedangkan
faktor risiko atau determinan adalah variable-variabel yang
berhubungan dengan peningkatan risiko suatu penyakit atau infeksi
tertentu (Parritz, 2018). Determinan seringkali digunakan sebagai
sinonim faktor risiko karena kurangnya harmonisasi lintas disiplin
32

ilmiah. Dalam konteks kebijakan kesehatan, determinan adalah risiko


kesehatan yang bersifat umum, abstrak, berkaitan dengan
ketidaksetaraan dan sulit dikendalikan oleh individu (WHO, 2021).

Ketuban pecah dini terjadi setelah terdapat aktivasi dari


multifaktorial dan berbagai mekanisme. Faktor epidemiologi dan faktor
klinis dipertimbangkan sebagai pencetus dari ketuban pecah dini.
Faktor ini termasuk infeksi traktus reproduksi pada wanita (Bakterial
vaginosis, Trikomoniasis, Gonorrhea, Chlamydia, dan korioamnionitis
subklinis), faktor-faktor perilaku (merokok, penggunaan narkoba,
status nutrisi, dan koitus), komplikasi obstetri (kehamilan multipel,
polihidramnion, insufisiensi servik, operasi servik, perdarahan dalam
kehamilan, dan trauma antenatal), dan kemungkinan karena
perubahan lingkungan (tekanan barometer). Sinyal biokimia dari fetus
termasuk sinyal apoptosis dan sinyal endokrin dari fetus, juga
merupakan implikasi dalam inisiasi dari terjadinya ketuban pecah dini
(Negara, 2017).
33

Gambar 2. 4 Berbagai Mekanisme yang Berperan pada KPD

Sumber : Negara, 2017

Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, khususnya


pada kehamilan preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien kulit putih. Pasien lain
yang juga berisiko adalah pasien dengan status sosioekonomi rendah,
perokok, mempunyai riwayat infeksi menular seksual, memiliki riwayat
persalinan prematur, riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan
sebelumnya, perdarahan pervaginam, atau distensi uterus (misalnya
pasien dengan kehamilan multipel dan polihidramnion). Prosedur yang
dapat berakibat pada kejadian KPD aterm antara lain sirklase dan
amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal yang
menyebabkan KPD. Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga
dapat menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari
membran amnion juga diduga merupakan faktor predisposisi KPD
preterm (HKFM, 2016).

Insiden Ketuban Pecah Dini lebih tinggi pada wanita dengan


serviks inkompeten, polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan
kembar atau infeksi vagina atau serviks (vaginosis bakteri, trikomonas,
klamidia, gonore, streptokokus grup B). Hubungan signifikan juga
telah ditemukan antara keletihan karena bekerja dan peningkatan
risiko KPD sebelum cukup bulan diantara wanita nulipara (Varney,
2022).

Penyebab Ketuban Pecah Dini (Morgan, 2009):

1) Persalinan prematur

Studi yang dilakukan di Denmark oleh Vogel dkk (2004),


menggunakan subjek wanita sehat dengan kehamilan tunggal yang
mengalami gejala inpartu sebelum usia kehamilan 34 minggu,
mendapatkan bahwa kadar s-relaksin secara signifikan lebih
34

tinggi pada wanita yang melahirkan pada usia kehamilan kurang


dari 34 minggu dibandingkan wanita yang melakukan persalinan
pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu. Pada persalinan
preterm, juga didapatkan ekspresi gen reseptor relaksin (LGR7)
dan proteinnya dalam desidua dan plasenta jumlahnya
meningkatsecara signifikan pada pasien dengan persalinan
preterm akibat PPROM (Negara, 2017).

2) Korioamnionitis

Goldenberg (2008), mengemukakan peranan jalur infeksi untuk


terjadinya ketuban pecah dini. Infeksi bakteri pada lapisan
koriodesidua akan merangsang pelepasan endotoksin, eksotoksin,
juga mengaktifkan desidua dan membran janin untuk
menghasilkan berbagai sitokin, seperti TNF- α, IL-α, IL- 1β, IL-6,
IL-8 dan granulocyte colony-stimulating factor (GCSF). Dengan
terbentuknya sitokin, endotoksin, dan eksotoksin akan merangsang
pembentukan selanjutnya pelepasan prostaglandin serta terjadi
pembentukan dan pelepasan metalloprotease dan substansi
bioaktif lainnya. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus
dan penipisan servik, serta adanya metalloprotease pada membran
korioamnion menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Negara,
2017).

3) Malposisi dan malpresentasi janin

Pada ibu bersalin dengan kelainan letak sangat rentan terhadap


kejadian ketuban pecah dini. Faktanya ibu bersalin dengan
kelainan letak yang mengalami ketuban pecah dini cukup banyak
yaitu sebesar 28,7%. Kelainan letak merupakan suatu penyulit
persalinan yang sering terjadi karena keadaan atau posisi janin
dalam rahim yang tidak sesuai dengan jalan lahir yang
menyebabkan terjadinya ketidakteraturan bagian terendah janin
35

untuk menutupi atau menahan Pintu Atas Panggul (Morgan,


2009).

Seorang ibu hamil yang mengalami kelainan letak janin


menyebabkan permukaan tidak rata dengan presentasi terendah
pada PAP, kondisi ini menyebabkan peregangan berlebihan pada
uterus. Perengangan berlebihan pada uterus tersebut
memungkinkan untuk mendesak selaput ketuban pecah sebelum
persalinan dimulai (Fraser, 2009).

4) Peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks


selama kelahiran sebelumnya.

5) Inkompetensi serviks

Inkompetensia serviks yaitu kelainan pada otot-otot leher rahim


(serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan
janin yang semakin besar. Serviks yang tidak lagi mengalami
kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya
ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan.
Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan
pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan
kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis.
Sebagian besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada
serviks pada konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi
berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi
obstetrik. (Saifuddin, 2009).

6) Riwayat KPD sebelumnya

Ibu bersalin dengan pengalaman kejadian ketuban pecah dini


dapat berpengaruh besar dalam menghadapi kondisi kehamilan.
Ibu yang memiliki riwayat ketuban pecah dini sebelumnya berisiko
2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Resiko tersebut
36

dapat terjadi karena komposisi membran yang menjadi rapuh dan


kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya. (Sari, 2016).

7) Faktor - faktor yang berhubungan dengan berat badan ibu

Kelebihan berat badan sebelum kehmilan

Penambahan berat badan yang sedikit selama kehamilan

8) Merokok selama kehamilan

Merokok meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini


dihubungkan dengan penurunan konsentrasi dari asam askorbat.
Pemberian cigarette smoke extract (CSE) dapat menginduksi stress
oksidatif dan apoptosis. Ketika fetal membran distimulasi dengan
cigarette smoke extract maka F2-isoprostane sebagai biomarker
dari stress oksidatif akan meningkat. Juga terjadi penurunan dari
antiapoptosis protein Bcl-2 dan peningkatan death effector caspase
-3 aktif, terjadi fragmentasi DNA pada sel amnion dan korion.
Proses ini sebagai jalur terjadinya apoptosis pada selaput ketuban
dan degradasi dari matrik ektraseluler yang berperan terhadap
tejadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Hubungan
respon dosis antara merokok dan PPROM telah dilaporkan bahwa
merokok lebih dari 10 batang per hari merupakan faktor risiko
untuk PPROM (Negara, 2017).

9) Usia

ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat


daripada ibu muda. Usia sangat berpengaruh terhadap kesiapan
ibu selama kehamilan maupun menghadapi persalinan. Usia untuk
reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35
tahun. Di bawah atau di atas usia tersebut akan meningkatkan
resiko kehamilan dan persalinan. Usia seseorang sedemikian
37

besarnya akan mempengaruhi sistem reproduksi, karena organ-


organ reproduksinya sudah mulai berkurang kemampuannya dan
keelastisannya dalam menerima kehamilan (kemenkes, 2014).

2.3.4 Penentuan Diagnostik KPD


Ibu hamil di diagnosis mengalami KPD berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan inspekulo. Akan tetapi pemeriksaan inspekulo
dilakukan hanya jika ibu hamil tersebut akan dilakukan penanganan
aktif. / melahirkan bayi (Kemenkes RI, 2013). Terdapat tiga hal yang
menjadi dasar penilaian awal dari ibu hamil yang mengalami KPD
yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi
janin serta penilaian kesejahteraan maternal dan fetal (HKFM, 2016).

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa adanya ruptur


selaput ketuban terdiri dari tes nonvasif dan invasif.

1. Tes Nonvasif meliputi:

a. Observasi langsung yaitu terlihatnya rembesan / aliran cairan


amnion dari vagina. Lakukan penekanan ringan pada uterus
atau minta pasien untuk batuk (valsava) yang dapat
memperlihatkan adanya aliran cairan amnion pada vagina.
Observasi langsung pada serviks yang menunjukkan bagian
janin pada pemeriksaan inspekulo.

b. Tes nitrazin merupakan tes menggunakan kertas nitrazin atau


kertas lakmus yang dicelupkan ke cairan amnion dan berubah
menjadi biru. Cairan amnion menunjukkan rentang pH 7,1 -
7,3. Akan tetapi hasil dapat menunjukkan positif palsu yang
disebabkan karena cairan antiseptik, urin, darah, semen, lendir
serviks dan infeksi vagina. Keakuratan tes nitrazin ini 90-97 %,
namun memiliki angka positif palsu sekitar 16 % dan angka
negatif palsu 12,7 %.
38

c. Tes Ferning, cairan amnion diambil dan diletakkan pada objek


glass hingga mengering dan diobservasi menggunakan
mikroskop. Gambaran pakis terlihat jika terdapat cairan
amnion. Keakuratan alat ini sekitar 88-98 % dan mendekati
100 % jika dikombinasikan dengan tes nitrazin.

d. USG, pemeriksaan USG dilakukan pada kasus dengan hasil


yang tidak jelas pada pemeriksaan penunjang sebelumnya dan
hasil negatif pada pemeriksaan inspekulo. Hasil USG dengan
cairan amnion yang normal dapat menyingkirkan diagnosa
selaput ketuban yang telah pecah.

e. Fetal fibronectin, Fibronectin merupakan molekul glikoprotein


yang jumlahnya scukup banyak pada cairan amnion, dapat
dideteksi pada cairan endoserviks atau vagina. Hasil positif
palsu juga dapat terjadi karena adanya perdarahan, urin,
hubungan seksual.

f. Tes diamin oksidasi, diamin oksidasi merupakan enzim yang


diproduksi desidua yang terdapat pada cairan amnion. Deteksi
dilakukan dengan menempelkan kertas strip pada dinding
vagina tetapi jarang dilakukan.

2. Prosedur untuk tes invasif terdiri dari:

a. Tes Flouresensi intra amnion, dilakukan dengan menyuntikan 1


-5 % sodium flouresensi kedalam rongga amnion disertai
pemasangan tampon pada vagina, tunggu 2 jam dan dievaluasi.
Jika terdapat material flouresensi maka tampon akan berwarna
biru yang mengindikasikan adanya pecah ketuban.

b. Amnioskopi, jarang dilakukan (Norwitz, 2008).

Berrdasarkan pedoman nasional pelayanan kedokteran untuk


kasus KPD, terdapat beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu:
39

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Secara klinis KPD dapat didiagnosis berdasarkan hasil


anamnesis pasien dan visualisasi adanya cairan amnion pada
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan
kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi dan taksiran persalinan,
riwayat KPD sebelumnya dan faktor risikonya. Pemeriksaan digital
vagina yang terlalu sering dan tanpa indikasi sebaiknya dihindari
karena hal ini akan meningkatkan risiko infeksi neonatus.
Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu dengan lubrikan
yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak
menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian
terbawah janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi
dan pendataran serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis
KPD aterm secara visual. Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya
prolaps tali pusat harus diperhatikan denganbaik. Semua presentasi
bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus
dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan
kemungkinaan adanya prolaps tali pusat (HKFM, 2016).

2. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis


untuk menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan
amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya
abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin
terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar,
walaupun normalnya volume cairan ketuban tidak menyingkirkan
diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk menilai taksiran
berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital
janin (HKFM, 2016).
40

3. Pemeriksaan laboratorium

Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk


menyingkirkan kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/
perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah
menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat
dipertimbangkan. Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor
binding protein 1 (IGFBP- 1) sebagai penanda dari persalinan preterm,
kebocoran cairan amnion, atau infeksi vagina terbukti memiliki
sensitivitas yang rendah. Penanda tersebut juga dapat dipengaruhi
dengan konsumsi alkohol. Selain itu, pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan vagina tidak memprediksi
infeksi neonatus pada KPD preterm (HKFM, 2016).

2.3.5 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang seringkali ditimbulkan dari KPD
sangat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas bayi serta
dampak terhadap ibunya sendiri, diantaranya adalah:

1. Persalinan prematur

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.


Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%
terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28
-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang
dari 26 minggu persalinan seringkali terjadi dalam 1 minggu
(Wiknjosastro ,2010)

2. Infeksi

Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini.
Pada ibu terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia,
pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin
terinfeksi. Pada ketuban pecah dini preterm, infeksi lebih sering
daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada
41

ketubanpecah dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.


Kriteria klinis infeksi yang digunakan pada KPD yaitu; adanya febris,
uterine tenderness (di periksa setiap 4 jam), takikardia (denyut nadi
maternal lebih dari 100x/mnt), serta denyut jantung janin yang lebih
dari 160 x/mnt (Wiknjosastro ,2010)

3. Hipoksia dan asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidamnion sehingga


bagian kecil janin menempel erat dengan dinding uterus yang dapat
menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat
hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidamnion,
semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat (Wiknjosastro ,2010)

4. Sindrom deformitas janin

Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan


pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan
anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonary (HKFM, 2016).

2.3.6 Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD
adalah; memastikan diagnosis, menetukan umur kehamilan,
mengevaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin,
serta apakah dalam keadaan inpartu atauterdapat kegawatan janin.
Prinsip penanganan Ketuban Pecah Dini adalah memperpanjang
kehamilan sampai paru-paru janin matang atau dicurigai adanya atau
terdiagnosis khorioamnionitis.

a) KPD Dengan Kehamilan Aterm

1) Diberikan antibiotika profilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg


selama 7 hari

2) Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis


dilakukan terminasi kehamilan
42

3) Observasi temperatur setiap 3 jam, bila ada kecenderungan


meningkat lebih atau sama dengan 37,6°C, segera dilakukan
terminasi Bila temperatur tidak meningkat, dilakukan
observasi selama 12 jam. Setelah 12 jam bila belum ada tanda
-tanda inpartu dilakukan terminasi.

4) Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan


indikasi obstetric

5) Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS):

Bila PS ≥ 5, dilakukan induksi dengan oksitosin drip.

Bila PS < 5, dilakukan pematangan servik dengan


Misoprostol50 μ gr setiap 6 jam per oral maksimal 4 kali
pemberian.
Tabel 2. 1Pelvic Score (PS) menurut Bishop

SKOR 0 1 2 3

Pembukaan serviks Tertutup 1-2 3-4 ≥5


(cm)
Pendataran Serviks 0-30 40-50 60-70 > 80
(%)
Stasion -3 -2 -1 +1,+2

Konsistensi serviks Kaku Medium Lunak

Posisi serviks Posterior Pertengahan Anterior

b) KPD Dengan Kehamilan Pre Term

1) Penanganan di rawat di RS

Diberikan antibiotika: Ampicillin 4 x 500 mg selama 7


hari.

Untuk merangsang maturasi paru diberikan


kortikosteroid (untuk UK kurang dari 35 minggu):
Deksametason 5 mg setiap 6 jam.
43

2) Observasi di kamar bersalin:

Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat


diruang obstetri.

Dilakukan observasi temperatur tiap 3 jam, bila ada


kecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal
lebih atau sama dengan 37,6° C, segera dilakukan
terminasi.

3) Di ruang Obstetri:

Temperatur diperiksa setiap 6 jam.

Dikerjakan pemeriksaan laboratorium: leukosit dan


laju endap darah (LED) setiap 3 hari.

4) Tata cara perawatan konservatif:

Dilakukan sampai janin viable

Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan


melakukan pemeriksaan dalam

Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan


pemeriksaan USG untuk menilai air ketuban: Bila air
ketuban cukup, kehamilan diteruskan, bila air ketuban
kurang dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan.

5) Pada perawatan konservatif, pasen dipulangkan pada hari


ke-7 dengan saran sebagai berikut: tidak boleh koitus,
tidak boleh melakukan manipulasi vagina, segera kembali
ke RS bila ada keluar air ketuban lagi.

6) Bila terdapat leukositosis atau peningkatan LED, lakukan


terminasi.

c) Terminasi Kehamilan
44

1) Induksi persalinan dengan drip oksitosin. Seksio sesaria


bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau bila
drip oksitosin gagal

2) Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi


persalinan dengan Misoprostol 50 μ gr oral tiap 6 jam,
maksimal 4 kali pemberian.
45
46

Gambar 2. 5 Algoritma penanganan KPD

Sumber HKFM, 2016

2.4 Usia
2.4.1 Pengertian
Usia adalah lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan sampai
sekarang (Lukman, 2008). Usia adalah umur yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai saat akan berulang tahun, semakin cukup umur,
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berpikir dan bekerja, dari segi kepecayaan, masyarakat yang lebih
dewasa akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi
kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari penglaman dan kematangan
jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berpikir semakin matang
(Depkes,2008).

2.4.2 Klasifikasi
Menurut (Depkes RI,2001), klasifikasi usia reproduksi dibagi:

1) Usia kurang dari 20 tahun

Kehamilan pada usia ibu kurang dari 20 tahun merupakan risiko


pada ibu dan janin karena organ reproduksi belum matang dan
berfungsi secara optimal termasuk endometrium tempat implantasi
dan perkembangan buah kehamilan untuk pemberian nutrisi dan
oksigen janin yang menyebabkan ganguan bertumbuhan dan
perkembangan.

2) Usia 20-35 tahun

Masa kehamilan yang baik terjadi pada saat ibu yang berusia
antara 20-35 tahun, karena pada usia tersebut sangat produktif
untuk terjadi kehamilan dengan jarak lebih dari 2 tahun.

3) Usia lebih dari 35 tahun

Usia lebih dari 35 tahun adalah usia untuk mengakhiri kehamilan


47

karena pada usia tersebut alat-alat reproduksi sudah menurun


sehingga tempat insersi plasenta menjadi kurang baik.

2.4.3 Pengaruh Usia terhadap Ketuban Pecah Dini


Usia reproduksi yang aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20- 35 tahun. Pada usia ini alat kandungan telah matang dan
siap untuk dibuahi. Kehamilan pada usia muda (<20 tahun) sering
terjadi penyulit/ komplikasi bagi ibu maupun janin. Hal ini disebabkan
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim belum
bisa menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban belum matang
dan mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Sedangkan pada ibu dengan usia > 35 tahun juga
memiliki resiko karena otot dasar panggul tidak elastis lagis ehingga
mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salahsatunya adalah
perut ibu menggantung dan serviks mudah berdilatasi sehingga dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini (Manggiasih, 2014).

2.5 Paritas
2.5.1 Pengertian
Paritas adalah jumlah persalinan yang mencapai viabilitas
yang telah dilalui oleh seorang wanita (Cunningham, 2006). Paritas
adalah kelahiran bayi yang mampu bertahan hidup. Paritas dicapai
pada usia kehamilan 20 minggu atau berat janin 500 gram (Morgan,
2009).

Salah satu komponen dari status paritas yaitu jumlah paritas


merupakan yang sering dituliskan dengan notasi G-P-A, dimana G
menyatakan jumlah kehamilan (gestasi), P menyatakan jumlah paritas,
dan A menyatakan jumlah abortus. Sebagai contoh, seorang perempuan
dengan status paritas G3P1A1, berarti perempuan tersebut telah
pernah mengandung sebanyak dua kali, dengan satu kali paritas dan
satu kali abortus, dan saat ini tengah mengandung untuk yang ketiga
kalinya (Nugroho, 2011).
48

2.5.2 Klasifikasi
Beberapa istilah yang berkaitan dengan paritas, yaitu:
(Cunningham, 2006)

1. Nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan


bayi viabel.

2. Primipara adalah wanita yang pertama kali melahirkan bayi viabel.

3. Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi viabel


beberapa kali. Dan digolongkan paritas sedang pada hamil dan
bersalin 2-4 kali. Pada paritas sedang ini sudah masuk kategori
rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik jelek. Ibu hamil yang
paritasnya lebih dari 3 kali perlu diwaspadai, karena semakin
banyak anak keadaan rahim semakin lemah. (Manuaba, 2010).

4. Grande multipara atau paritas tinggi adalah kehamilan persalinan


pada paritas 5 atau lebih, paritas tinggi merupakan paritas rawan
oleh karena paritas tinggi banyak kejadian obstetrik yang
menyebabkan angka kematian lebih tinggi (Manuaba, 2010).

2.5.3 Pengaruh Paritas terhadap Ketuban Pecah Dini


Wanita yang belum pernah melahirkan atau baru pertama kali
melahirkan biasanya mengalami kondisi fisiologis seperti sakit pada
waktu hamil, selain itu juga gangguan psikologis seperti emosi dan
kecemasan akan kehamilan, sehingga lebih mudah mengalami KPD oleh
karena pada wanita yang sakit kondisi tubuhnya tidak prima sehingga
tidak mampu untuk merawat kehamilannya, yang memungkinkan
terjadiya infeksi pada korion amnion. Terjadiya korioamnitis/
amnionitis akan memudahkan pecahnya selaput ketuban. Pada wanita
yang mengalami stress psikologis akan memungkinkan terjadiya
kontraksi uterus akibat adanya rangsangan hormon prostaglandin atau
oksitosin yang dapat memicu pecahnya selaput ketuban (Bobak, 2004).

Pada ibu yang mengalami kecemasan, emosi saat hamil akan


49

mengganggu kondisi ibu, karena kelenjar adrenal akan menghasilkan


hormon kortisol. Sehingga ketika ibu mengalami kecemasan bagian
otak yang bernama amygdala akan mengirim sinyal ke hipotalamus,
kemudian dari hipothalamus memproduksi hormon CRH yang
berhubungan dengan ACTH (adenokortikotropik hormon), kemudian
ACTH akan mengirim sinyal kepada kelenjar adrenal untuk melepaskan
kortisol. Tetapi apabila produksi kortisol berlebih akan menekan sistem
kekebalan tubuh, sehingga dimungkinkan ibu akan mudah terkena
infeksi atau inflamasi yang dapat menyebabkan peningkatan aktifitas
iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga
terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion atau amnion,
menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan sehingga
terjadi ketuban pecah dini (Nugroho, 2011).

Paritas kedua dan ketiga merupakan keadaan yang relative


lebih aman untuk hamil dan melahirkan pada masa reproduktif, karena
pada keadaan tersebut dinding uterus belum banyak mengalami
perubahan, dan serviks belum terlalu sering mengalami pembukaan
sehingga dapat menyanggah selaput ketuban dengan baik. Ibu yang
telah melahirkan beberapa kali lebih berisiko mengalami KPD, oleh
karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang
mengakibatkan jaringan ikat selaput ketuban mudah rapuh dan
akhirnya pecah spontan (Varney, 2022).

Wanita yang tergolong multipara dan grandemultipara akan


mempuyai banyak risiko terhadap kehamilan. Wanita yang telah
melahirkan beberapa kali dan jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih berisiko mengalami KPD. Hal ini disebabkan menurunnya
kapasitas sirkulasi darah ke uterus dan menurunnya fungsi
myometrium. Sehingga, vaskulerisasi ke uterus tidak adekuat terutama
pada bagian bawah uterus yang mengakibatkan jaringan ikat selaput
ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan (Cunningham,
50

2018).

Suatu penelitian menunjukkan hasil analisis hubungan paritas


ibu bersalin dengan kejadian ketuban pecah dini menunjukkan bahwa
pada kasus paritas multipara lebih besar mengalami ketuban pecah dini
sebesar 87,9% sedangkan pada ibu bersalin yang tidak mengalami
kejadian ketuban pecah dini (KPD) (kontrol) sebesar 73,2%. Dari hasil
uji statistik dan analisis multivariat adanya hubungan antara paritas
dengan ketuban pecah dini, paritas multipara memiliki peluang 2,418
kali dibandingkan dengan paritas primipara (Manuaba, 2009).

2.6 Gemelli
2.6.1 Pengertian
Kehamilan gemeli adalah suatu kehamilan dengan dua janin
atau lebih yang ada di dalam kandungan selama proses kehamilan.
Bahaya bagi ibu tidak begitu besar, tetapi wanita dengan kehamilan
kembar memerlukan perhatian dan pengawasan khusus bila diinginkan
hasil yang memuaskan bagi ibu dan janin (Wiknjosastro, 2010).

2.6.2 Patofisiologi
Kehamilan kembar dibagi menjadi dua. Monozigot, kembar
yang berasal dari satu sel telur dan dizigot kembar yang berasal dari
dua telur. Dari seluruh jumlah kehamilan kembar, sepertiganya adalah
monozigot. Kembar dizigot berarti dua telur matang dalam waktu
bersamaan, lalu dibuahi oleh sperma. Akibatnya, kedua sel telur itu
mengalami pembuahan dalam waktu bersamaan. Sedangkan kembar
monozigot berarti satu telur yang dibuahi sperma. Lalu membelah dua.
Masa pembelahan inilah yang akan berpengaruh pada kondisi bayi
kelak (Manuaba, 2007)

2.6.3 Jenis kehamilan Gemelli


Kehamilan kembar ada 2 macam yakni kembar 2 telur dan
kembar 1 telur. Pada kehamilan kembar 2 telur (kehamilan kembar
51

dizigotik/ kembar fraternal) 2 buah sel telur dibuahi oleh dua buah
sperma. Kedua sel telur dapat berasal dari 1 ovarium atau masing –
masing ovarium yang berlainan. Kehamilan kembar 1 telur (kehamilan
kembar monozigotik/ kembar identik) terjadi dari sebuah sel telur dan
sebuah sperma. Sel telur yang telah dibuahi kemudian membagi diri
menjadi 2 bagian yang masing – masing tumbuh menjadi janin
(Rosyidah, 2019).

2.6.4 Komplikasi
 Hidramnion, sering menyertai kehamilan kembar. Hidramnion
mungkin meningkatkan kematian bayi karena menyebabkan
persalinan kurang bulan.

 Hipertensi dalam kehamilan, lebih sering terjadi pada kehamilan


kembar bila dibandingkan dengan kehamilan biasa.

 Anemia, lebih banyak ditemukan pada kehamilan kembar karena


kebutuhan anak lebih banyak dan mungkin juga karena ibu kurang
nafsu makan.

 Persalinan kurang bulan, selalu mengancam kehamilan kembar


akibat regangan rahim yang berlebihan (Rosyidah, 2019).

2.6.5 Diagnosis
 Anamnesis

Dapat diketahui adanya anak kembar dalam keluarga. Umur dan


paritas juga harus diperhatikan. Ibu juga mungkin merasa bahwa
perutnya lebih besar daripada kehamilan biasa dan pergerakan anak
mungkin lebih sering terasa. Keluhan subjektif ibu, yaitu rasa berat,
sesak napas, bengkak kaki.

 Inspeksi

Perut ibu tampak lebih besar daripada kehamilan biasa.


52

 Palpasi

Fundus uteri teraba lebih tinggi daripada usia kehamilan. Diperut ibu,
teraba 3 bagian besar atau lebih, atau teraba 2 bagian besar
berdampingan. Pada tiap kehamilan dengan hidramnion,
kemungkinan kehamilan kembar harus senantiasa diingat.

 Auskultasi

Terdengar bunyi jantung di 2 tempat yang sama jelasnya, apalagi


bila ada perbedaan frekuensi, sekurang – kurangnya 10/ menit
dihitung pada saat yang sama.

 Pemeriksaan dalam

Dapat teraba kepala yang sudah masuk ke dalam rongga panggul,


sedangkan diatas simfisis teraba bagian besar.

 Ultrasonografi

Kehamilan kembar sudah dapat didiagnosis sejak usia kehamilan


mencapai 6 – 7 minggu (Rosyidah, 2019).

2.6.6 Pengaruh Gemelli terhadap KPD


Gemelli biasanya terjadi akibat pembuahan dua ovum terpisah
atau disebut kembar dizigot atau fraternal. Meskipun lebih jarang,
kembar dua dapat berasal dari satu ovum yang dibuahi yang kemudian
terbelah disebut kembar monozigot atau identik (Cunningham, 2013).

Salah satu penyebab terjadinya ketuban pecah dini adalah


ketegangan rahim berlebihan seperti pada Gemelli. Gemelli merupakan
kehamilan dengan ukuran uterus yang lebih besar dibanding umur
kehamilannya, sehingga terjadi keregangan rahim berlebihan. Hal
tersebut akan meningkatkan tekanan intrauterin, dengan tekanan yang
berlebihan ini vaskularisasi tidak berjalan dengan lancar yang dapat
mengakibatkan selaput ketuban kekurangan jaringan ikat. Sehingga
53

menyebabkan selaput ketuban tidak kuat atau lemah dan bila terjadi
sedikit pembukaan servik saja maka selaput ketuban akan mudah pecah
(Manuaba, 2012).

2.7 Peran dan Kewenagan bidan dalam asuhan ketuban pecah dini
2.7.1 Pengertian peran
Peran adalah suatu pekerjaan yang dilakukan dengan dinamis
sesuai dengan status atau kedudukan yang disandang. Status dan
kedudukan ini sesuai dengan keteraturan sosial, bahkan dalam
keteraturan tindakan semuanya disesuaikan dengan peran yang berbeda
(Soekanto, 2009).

2.7.2 Pengertian Bidan


Menurut WHO Bidan adalah seseorang yang telah diakui
secara reguler dalam program pendidikan kebidanan sebagaimana yang
diakui yuridis, dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan
pendidikan kebidanan dan telah mendapatkan kualifikasi serta
terdaftar disahkan dan mendapatkan ijin melaksanakan praktik
kebidanan.

Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


nomor hk.01.07/menkes/320/2020 tentang standar profesi bidan,
Bidan adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program
pendidikan kebidanan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
diakui secara sah oleh Pemerintah Pusat dan telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan praktik Kebidanan.

2.7.3 Peran bidan


2.7.3.1 Peran sebagai pelaksana

a. Tugas mandiri

1. Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan


54

yang diberikan

2. Memberikan pelayanan dasar pada anak, remaja dan wanita


pranikah dengan melibatkan klien

3. Memberikan asuhan kebidanan pada klien selama kehamilan


normal

4. Memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa persalinan


dengan melibatkan klien dan keluarga

5. Memberikan asuhan kebidanan pada BBL

6. Memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas


dengan melibatkan klien dan keluarga.

7. Memberikan asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang


membutuhkan pelayanan KB

8. Memberikan asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan


sistem reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium dan
menopause

9. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi balita dengan melibatkan


keluarga

b. Tugas Kolaborasi atau kerjasama

1. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan


sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga

2. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan resiko tinggi


dan pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan
tindakan kolaborasi

3. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan


dengan resiko tinggi dan keadaan kegawatan yang memerlukan
pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan
55

melibatkan klien dan keluarga

4. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan


resiko tinggi dan pertolongan pertama dalam keadaan
kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan
klien dan keluarga.

5. Memberikan asuhan kebidanan pada BBL dengan resiko tinggi dan


yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang
memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi
dengan melibatkan klien dan keluarga

6. Memberikan asuhan kebidanan kepada balita dengan resiko tinggi


dan mengalami komplilkasi serta kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi dengan melibatkan keluarga.

c. Tugas ketergantungan atau rujukan

1. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan


sesuai dengan ungsi keterlibatan klien dan keluarga

2. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan


pada ibu hamil dengan resiko tinggi dan kegawat daruratan.

3. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan


pada masa

4. persalinan dengan penyulit tertentu dengan kegawatdaruratan


dengan melibatkan klien dan keluarga

5. Memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan


pada ibu dalam masa nifas dengan penyulit tertentu dengan
kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga

6. Memberikan asuhan kebidanan pada BBL dengan kelainan tertentu


dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi dan rujukan
dengan melibatkan keluarga
56

7. Memberikan asuhan kebidanan pada anak balita dengan kelainan


tertentu dan kegawatan yang memerluakan konsultasi dan rujukan
dengan melibatkan keluarga dan klien

2.7.3.2 Peran sebagai pengelola

1. Mengembangakan pelayanan dasar kesehatan terutama pelayanan


kebidanan untuk individu, keluarga, kelompok khusus dan mesyarakat
di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat dan klien.

2. Berpartisipasi dalam melaksanakan program kesehatan dan sektor lain


di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi,
kader kesehatan, dan tenaga kesehatan lain yang berada di bawah
bimbingan dalam wilayah kerjanya.

2.7.3.3 Peran sebagai pendidik

1. Memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada individu,


keluarga, kelompok dan masyarakat tentang penanggulangan masalah
kesehatan khususnya yang berhubungan dengan pihak terkait kesehatan
ibu anak dan KB

2. Melatih dan memilih kader termasuk siswa bidan dan keperawatan


serta membina dukun di wilayah atau tampat kerjanya

2.7.3.4 Peran sebagai peneliti dan investigator

Melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan


baik secara mandiri maupun secara kelompok (Yulizawati, 2021)

2.7.4 Asuhan kebidanan


Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
hk.01.07/menkes/320/2020 tentang standar profesi bidan, Asuhan
Kebidanan adalah rangkaian kegiatan yang didasarkan pada proses
pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Bidan sesuai
dengan wewenang dan ruang lingkup praktiknya berdasarkan ilmu dan kiat
57

Kebidanan. Prinsip asuhan kebidanan adalah sebagai berikut:

1. Memahami bahwa kehamilan, persalinan dan kelahiran anak


merupakan suatu roses alamiah dan fisiologis.

2. Menggunakan cara-cara yang sederhana, tidak melakukan intervensi


tanpa adanya indikasi sebelum menggunakan teknologi canggih.

3. Aman, berdasarkan fakta, dan memberi kontribusi pada keselamatan


jiwa ibu.

4. Terpusat pada ibu, bukan terpusat pada pemberi asuhan kesehatan /


lembaga (Sayang Ibu).

5. Menjaga privasi serta kerahasiaan ibu.

6. Membantu ibu agar merasa aman, nyaman, dan didukung secara


emosional.

7. Memastikan bahwa kaum ibu mendapatkan informasi, penjelasan dan


konseling yang cukup

8. Mendorong ibu dan keluarga agar menjadi peserta aktif dalam


membuat keputusan setelah mendapat penjelasan mengenai asuhan
yang akan mereka dapatkan.

9. Menghormati aspek budaya setempat, kebiasaan, praktik-praktik adat,


dan keyakinan agama.

10. Memantau kesejahteraan fisik, psikologis, spiritual dan sosial


ibu/keluarganya selama kehamilan, persalinan / kelahiran anak dan
sampai 40 hari pasca salin.

11. Memfokuskan perhatian pada peningkatan kesehatan dan pencegahan


penyakit (Yulizawati, 2021).

2.7.5 Kewenangan Bidan


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2019
58

tentang Kebidanan, Bidan bertugas memberikan pelayanan yang meliputi:

1. Pelayanan kesehatan ibu;

Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan ibu Bidan


berwenang:

a. memberikan Asuhan Kebidanan pada masa sebelum hamil;

b. memberikan Asuhan Kebidanan pada masa kehamilan normal;

c. memberikan Asuhan Kebidanan pada masa persalinan dan


menolong persalinan normal;

d. memberikan Asuhan Kebidanan pada masa nifas;

e. melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan ibu hamil,


bersalin, nifas, dan rujukan; dan

f. melakukan deteksi dini kasus risiko dan komplikasi pada masa


kehamilan, masa persalinan, pascapersalinan, masa nifas, serta
asuhan pascakeguguran dan dilanjutkan dengan rujukan.

2. Pelayanan kesehatan anak;

3. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;

4. Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang

Pelimpahan wewenang terdiri atas: pelimpahan secara mandat


dan pelimpahan secara delegatif. Pelimpahan wewenang secara mandat
diberikan oleh dokter kepada Bidan sesuai kompetensinya, harus
dilakukan secara tertulis, tanggung jawab berada pada pemberi
pelimpahan wewenang dan Dokter yang memberikan pelimpahan
wewenang harus melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala.

5. Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

2.7.6 Manajemen asuhan kebidanan


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
59

Hk.01.07/Menkes/320/2020 tentang Standar Profesi Bidan, Manajemen


Asuhan Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan Bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan mulai dari pengkajian, perumusan diagnosis
kebidanan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan pencatatan asuhan
kebidanan.

2.7.7 Peran Bidan dalam asuhan Ketuban Pecah Dini


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2019
tentang Kebidanan, dalam memberikan asuhan pada klien dengan Ketuban
pecah Dini, Bidan berperan sebagai pelaksana tugas mandiri dan kolaborasi.
Sebagai pelaksana mandiri, Bidan bertugas memberikan asuhan kebidanan
pada klien dalam masa persalinan dengan melibatkan klien dan keluarga.
Sebagai pelaksana tugas kolaborasi Bidan berperan dalam menerapkan
manajemen kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan resiko tinggi
dan keadaan kegawatan yang memerlukan pertolongan pertama dengan
tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga. Peran sebagai
pendidik yaitu memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada
individu, keluarga.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


Hk.01.07/Menkes/320/2020 tentang Standar Profesi Bidan, salah satu
keterampilan yang yamg harus dimiliki oleh seorang Bidan yaitu: Tata laksana
awal pada persalinan dengan penyulit obstetri ketuban pecah dini.

2.8 Kerangka Teori

Faktor ibu:
Serviks inkompeten
Riwayat KPD
Hidramnion
Infeksi
Paritas Ketuban Pecah Dini
Usia
60

Faktor janin:
Gemelli
Kelainan letak janin

Gambar 2. 6 Bagan kerangka Teori

Sumber: Morgan, 2009, Negara,2017, Varney, 2022


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode survey analitik dengan pendekatan
cross sectional. Crosss sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point
time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja
dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada
saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2010). Variabel sebab atau risiko dan akibat
atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara
simultan, dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui hubungan antara usia dan
paritas dengan kejadian KPD pada ibu bersalin, maka peneliti melakukan
pendekatan, pengukuran atau pengamatan dan pengumpulan data terhadap
variabel bebas (usia dan paritas) diukur saat bersamaan dengan variabel
terikat (kejadian KPD pada ibu bersalin).

3.2 Kerangka Penelitian

Variabel Independen:
Variabel Dependen:
Usia
Ketuban Pecah Dini
Paritas

Gambar 3. 1 Skema Kerangka Penelitian

61
62

3.3 Variabel Penelitian


Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda
terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain). Variabel adalah ukuran
atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang
dimiliki oleh kelompok yang lain (Notoatmodjo,2010).

3.3.1 Variabel Independen


Variabel independent/bebas adalah variabel yang nilainya menentukan
variabel lain (Notoatmodjo, 2012). Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah usia dan paritas.

3.3.2 Variabel Dependent


Variabel dependent/terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan
oleh variabel lain (Notoatmodjo,2010). Variabel terikat dalam
penelitian adalah kejadian KPD.

3.4 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati (diukur) dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang
dapat diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional.
Dapat diamati artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi
atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang
kemudian dapat diulangi oleh orang lain (Nursalam, 2017). Merupakan
uraian tentang batasan variable yang dimaksud, atau tentang apa yang
diukur oleh variable yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

Cara ukur adalah metode yang digunakan peneliti untuk mengukur dan
memperoleh data untuk variable yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

Hasil ukur adalah mengelompokkan hasil pengukuran variable yang


bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).

Skala ukur dikelompokkan menjadi empat yaitu:


63

1. Skala nominal. Data ditetapkan atas dasar proses penggolongan. Data


tersebut hanya mempunyai sifat membedakan.

2. Skala ordinal. Data disusun atas dasar jenjang dalam atribut tertentu.

3. Skala interval. Data dihasilkan dari pengukuran yang bersifat kontinyu


dan dalam pengukuran tersebut diasumsikan terdapat pengukuran yang
sama.

4. Skala rasio adalah skala yang mencakup nominal, ordinal dan interval
ditambah dengan sifat lain yaitu bahwa ukuran ini memiliki nilai nol
yang sama dan dapat diperbandingkan (Nursalam, 2015).

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Cara Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil Ukur
ukur Ukur

1. KPD Pecahnya ketuban Lembar Mengisi 1. KPD Ordinal


sebelum waktunya 2. Tidak KPD
Checklist lembar
tanpa disertai tanda
persalinan dan di dan rekam Checklist
diagnosa oleh dokter
medik
KPD yang tercatat
dalam rekam medis.

2. Usia Lamanya hidup Lembar Mengisi 1. <20 tahun Ordinal


seseorang sejak Checklist lembar 2. >35 tahun
dilahirkan sampai dan rekam Checklist
saat persalinan. medik

3. Paritas Jumlah anak yang Lembar Mengisi 1. >5 Ordinal


dilahirkan dengan Checklist lembar 2. 2-4
berat > 500 gram. dan rekam Checklist 3. 1
medik
64

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan element yang akan dijadikan wilayah
generalisasi. Elemen populasi adalah keseluruhan subjek yang akan
diukur, yang merupakan unit yang diteliti. Dalam hal ini populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiyono,2018). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu
bersalin di RSUD Bandung Kiwari. Menurut register RSUD Bandung
Kiwari pada bulan Januari-Desember Tahun 2022, data ibu bersalin
berjumlah 4.264 orang.

3.5.2 Sampel Penelitian


Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2011).
Sampel dalam penelitian adalah sebagian ibu bersalin di RSUD Bandung
Kiwari tahun 2022 yang memiliki kriteria yang ditentukan oleh peneliti.

Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka


sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi,
maupun kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri
yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil
sebagai sampel. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota
populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,2010).
Kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini yaitu:

a. Kriteria Inklusi

 Rekam medik ibu bersalin selama periode Januari-Desember


2022 di RSUD Bandung Kiwari.

 Rekam Medik ibu bersalin dengan usia < 20 tahun dan >35
tahun
65

b. Kriteria Eksklusi

 Rekam medik yang tidak terisi secara lengkap.

 Rekam medis ibu bersalin dengan diagnosis Gemelli

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus


slovin:

N
n = 1+N(d 2)

Keterangan:

n: Jumlah sampel

N: Jumlah populasi

d: Tingkat kepercayaan yang diinginkan/ketepatan yang diinginkan 95%


(yang digunakan adalah 0, 05).

1.000
n = 1+1.000 (0,052)
1.000
n = 1+1.000 (0,0025)
1.000
n = 1+2,5

n = 1.000
3,5
n = 285,7

Dari hasil perhitungan tersebut, maka didapatkan jumlah sampel


sebesar 285,7. Dibulatkan menjadi 286 responden.

3.5.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Simple
Random Sampling. Simple Random Sampling adalah teknik untuk
mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling.
Dengan demikian setiap unit sampling sebagai unsur populasi yang
terpencil memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau
untuk mewakili populasi. Cara demikian dilakukan bila anggota
66

populasi dianggap homogen (Margono, 2004). Prosedur atau langkah-


langkah dalam teknik sampling acak sederhana ini adalah:

1. Susun “sampling frame”

2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil

3. Tentukan alat pemilihan sampel

4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi (statistikian,


2018)

Jenis Metode Simple Random Sampling ada 2 yaitu metode


lotere dan metode bilangan acak. Dengan metode lotere, setiap anggota
populasi diberi nomor kemudian setelah itu nomor dipilih secara acak.
Pemilihan acak ini bisa menggunakan cara seperti undian atau arisan.
Nomor yang terpilih secara acak tersebut mewakili anggota populasi
yang terpilih. Dengan menggunakan metode bilangan acak, para
peneliti dapat menggunakan alat bantu yaitu tabel bilangan acak.
Dengan tabel bilangan acak itulah didapatkan sampel secara acak arau
random.

3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian


3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data


sekunder yang diambil dari SIMRS dan rekam medik ibu bersalin
di RSUD Bandung Kiwari tahun 2022.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan


mengambil data dari SIMRS dan rekam medik RSUD Bandung
Kiwari pada bulan Januari-Desember 2022. Setelah didapatkan
data lalu dipilih sampel yang memenuhi kriteria. Setelah itu,
67

ditentukan banyaknya sampel, dan di ambil sampel secara acak


menggunakan microsoft excel. Instrumen yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah lembar checklist yang meliputi nomor
responden, nomor rekam medik, KPD, umur dan paritas.

3.6.2 Prosedur Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan prosedur penelitian sebagai
berikut:

1. Perencanaan

Memilih masalah penelitian: peneliti memilih masalah


berdasarkan kejadian yang ada dilapangan.

Studi pendahuluan: studi pendahuluan perlu dilakukan oleh


peneliti untuk mencari informasi yang diperlukan agar
masalahnya menjadi lebih jelas kedudukannya.

Merumuskan masalah: setelah masalah menjadi lebih jelas


karena telah mendapat data dari studi pendahuluan, peneliti
mulai merumuskan masalah mengenai penentuan variable yang
akan diteliti dan proses pengumpulan data.

Pembuatan proposal penelitian.

Permohonan surat izin penelitian di RSUD Bandung Kiwari.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah peneliti mendapatkan surat izin penelitian dari Direktur


RSUD Bandung Kiwari, peneliti melakukan koordinasi dengan
Instalasi Rekam Medik. Dalam pelaksanaan penelitiannya peneliti
menggunakan data sekunder dengan mengambil data dari SIMRS
register ibu bersalin dan rekam medik RSUD Bandung Kiwari bulan
Januari-Desember 2022. Peneliti menyiapkan instrument penelitian.

3. Pelaporan
68

Pada tahap ini, peneliti melakukan pelaporan yang didalamnya


mengenai pengolahan data, analisis data, dan penyelesaian laporan.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data


3.7.1 Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2018), pengolahan data merupakan salah satu
langkah penting, dalam hal ini disebabkan karena data yang diperoleh
langsung dari penelitian masih mentah, belum memberikan informasi
apa-apa dan belum siap untuk disajikan. Dalam pengumpulan data
digunakan alat pengumpulan data atau sering disebut instrument
penelitian. Dalam melakukan analisa data terlebih dahulu harus diolah
dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam proses ini
pengolahan data pada penelitian terdapat langkah-langkah yang
ditempuh diantaranya

a. Editing

Yaitu upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang


diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, 2011). Tahap ini dilakukan
kegiatan penyuntingan data yang terkumpul dengan memeriksa
kelengkapan dan kebenaran data yang dicatat dalam lembar
checklist penelitian.

b. Coding

Yaitu memberi kode pada data dengan cara memberi angka terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori (Hidayat, 2011). Memberi
kode terhadap variasi variabel yang diteliti, yaitu:

Kejadian KPD

1 = KPD

2 = Tidak KPD
69

Usia

1. <20 tahun

2. >35 tahun

Paritas

1 = >5

2 = 2-4

3=1

c. Tabulating

Yaitu menyusun data hasil pengkodean untuk disajikan dalam


tabel.

d. Data entri

Pada tahap ini peneliti memasukan data dalam bentuk kode


(angka atau huruf) kedalam program atau “software” komputer.
Dalam proses ini, dituntut ketelitian dari peneliti untuk
melakukan “data entry” supaya tidak terjadi bias.

e. Cleaning

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang


sudah di entri apakah ada kesalahan atau tidak. Peneliti dalam
penelitian ini melakukan kembali data yang sudah dientri apakah
ada kesalahan atau tidak, apabila tidak ada kesalahan, maka
dapat diperoleh data yang sebenar-benarnya.

3.7.2 Analisis Data


Analisis data merupakan sebuah proses untuk mencari tahu
bagaimana kebenaran dari sebuah informasi melalui metodologi
penelitian ilmiah. Dengan melakukan analisis data, seorang peneliti
bisa mengetahui dengan valid apakah data yang diperoleh mampu
70

menjawab tujuan penelitian (Yuvalianda, 2020). Berdasarkan jumlah


variabel yang digunakan, analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau


mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk
analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya
dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan
presentasi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2012).

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah Analisis yang digunakan untuk


mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat
dengan menggunakan uji statistik (Dahlan, 2014).

Hubungan paritas (kategorik) dengan KPD (kategorik) adalah


analitik komparatif kategorik tidak berpasangan. Sehingga digunakan
uji Chi-square 3x2. Hubungan usia (kategorik) dengan KPD
(kategorik).

Dengan menggunakan data secara bivariat, pengujian data


dilakukan dengan menggunakan uji statistic Chi square (X2) dengan
nilai kemaknaan (a = 0,05).

3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.8.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan di lakukan di RSUD Bandung Kiwari.

3.8.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan bulan Januari 2023.
71
DAFTAR PUSTAKA

Adriaanz G, Adjie S. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan


neonatal. 2nd ed. Jakarta: PT Bina Sarana Sarwono Prawirohardjo; 2019.
Aprilla, N. Faktor risiko ibu bersalin yang mengalami ketuban pecah dini di RSUD
Bangkinang tahun 2017. Riau: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 2, Nomor
1, 48-57; 2018.
Bobak IM, Lowdermilk DL, Jensen MD, Perry SE. Buku ajar keperawatan
maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2017.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams
obstetric. 25th ed. New York: Mc Graw-Hill; 2018.
Dahlan, Sopiyudin. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Edisi 6. Jakarta:
Salemba Medika; 2014.
DeCherney AH, Nathan L. Multiple pregnancy in current obstetrics and gynecologic
diagnosis and treatment. New york: McGraw Hill Companies; 2003.
Fraser DM, Cooper MA. Myles’ textbook for midwives. Edisi ke-15. Singapur:
Elsevier; 2009.
Hall JE. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 13. Singapur:
Elsevier; 2018.
Hidayat A. Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. Jakarta:
Salemba Medika; 2011.
Hidayat A. Pengertian simpel random sampling. 2018; Available from:
URL:https://www.statistikian.com/2018/02/pengertian-simple-random
sampling.html
Idaman M, Darma IY, Zaimy S. Hubungan faktor risiko dengan ketuban pecah
dini. Jurnal Kesehatan Medika Saintika, Volume 11, Nomor 1; 2019.
Kurniarum A. Asuhan kebidanan persalinan dan bayi baru lahir. Jakarta: Pusdik
SDM Kesehatan: 2016.
Lowdermilk DL, Perry SE, Cashion K. Keperawatan maternitas buku I. 8th ed.
Singapura: Elsevier; 2013.
Lowdermilk DL, Perry SE, Cashion K. Keperawatan maternitas buku II. 8th ed.
Singapura: Elsevier; 2013.
Manggiasih. Hubungan umur dengan kejadian ketuban pecah dini ditinjau dari
paritas ibu di Rumah Sakit Rahman Rahim Sidoarjo. Volume 7. No.1. Sidoarjo:
Akbid Mitra Sehat Sidoarjo; 2014.

72
73

Manuaba IAC. Gadar obstetri & ginekologi & obstetri ginekologi sosial untuk
profesi bidan. Jakarta: EGC; 2009.
Manuaba IAC. Ilmu kebidanan penyakit kandungan dan KB. 2nd ed. Jakarta: EGC;
2014.
Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstertri. Jakarta: EGC; 2007.
Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta; 2004.
Marshall J, Raynor M. Myles textbook for midwives. 16th ed. Singapura: Elsevier;
2014.
Maryunani A, Buku praktik kehamilan dan persalinan patologis dalam kebidanan.
Jakarta: Trans Info medika; 2016.
Maryunani A. Manajemen kebidanan terlengkap. Jakarta: Egc. 2016.
Medforth J, Ball L, Walker A, Battersby S, Stables S. Oxford handbook for
midwifery. 3rd Edition. New York: Oxford University press; 2017.
Metti E. Asuhan keperawatan ibu hamil dengan ketuban pecah dini aplikasi teori
keperawatan need for help wiedenbach. Pekalongan: Nasya Expanding
Management; 2021.
Morgan G, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi panduan praktis. Jakarta: Egc;
2009.
Negara KS, Mulyana RS, Pangkahila ES. Buku ajar ketuban pecah dini. Denpasar:
RS Sanglah; 2017.
Norwitz E, John S. At a glance obstetri & ginekologi. Jakarta: Eriangga; 2008.
Nugroho. Patologi kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
Nursalam. Metodologi penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktis. 4th ed.
Jakarta: Salemba Medika; 2015.
Parritz, Robin H. Disorders of childhood development and psychopathology. Edisi ke
-3. Boston: MA: Cengage Learning; 2018.
Pogi Hkfm. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini. Jakarta:
Himpunan Kedokteran Feto Maternal; 2016.
Rosyidah R, Azizah N. Obstetri patologi. Sidoarjo: Umsida Press; 2019.
Rothman, Kenneth J. Modern epidemiology. Edisi 3. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008.
Saifuddin Ab, Adriaansz G, Wiknjosastro Gh. Buku acuan nasional pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal. 1st ed. Jakarta: Pt Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2018.
Sakriawati M, Rahmawati R. Faktor risiko usia dan paritas ibu hamil terhadap
74

kejadian ketuban pecah dini. Nursing Arts, 14(2), 90– 97.; 2020
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alvabeta; 2014.
Syarwani TI, Tendean HM, & Wantania, J. J. E. Gambaran kejadian ketuban pecah
dini (KPD) di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado Tahun 2018. Medical
Scope Journal (MSJ, Volume 1, Nomor 2, 24-29; 2020.
Tahir S. Faktor determinan ketuban pecah dini. Bandung: Medsan; 2021.
Varney H, Kriebs JM, Gegor CL. Buku ajar asuhan kebidanan volume 2. 4th ed.
Jakarta: EGC; 2022.
Wiknjosastro GH, Saifuddin Ab, Rachimhadi T. Ilmu kebidanan. 4th ed. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010.
Yulizawati, Insani AA, Sinta LE, Andriani F. Buku ajar asuhan kebidanan
pathologi persalinan. Sidoarjo: Indomedika Pustaka; 2019.
Yulizawati. Konsep kebidanan. Sidoarjo: Indomedika Pustaka; 2021.
Yuvalianda. Analisis univariat. 2020; Available from: URL
:https://yuvalianda.com/analisis-univariat/
LAMPIRAN

75
76
77
78
79
80
81
82

Anda mungkin juga menyukai