Anda di halaman 1dari 100

v

HUBUNGAN FAKTOR MATERNAL DENGAN KEJADIAN


KETUBAN PECAH DINI PADA IBU BERSALIN
DI RSUD OTO ISKANDAR DI NATA
DI KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2020-2021

PROPOSAL SKRIPSI

Dajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh


Gelar Sarjana Kebidanan

DEDE SRI MEGAWATI


6221447

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
BANDUNG
2022
ii
iii
iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal yang berjudul “Hubungan Faktor Maternal dengan Kejadian Ketuban
Pecah Dini pada Ibu Bersalin Di RSUD Oto Iskandar Di nata Di kabupaten
Bandung Tahun 2020-2021”. Yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan Sarjana Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali
Bandung.
Tidak sedikit rintangan yang saya hadapi dalam penyusunan skripsi ini,
baik dalam teknik penulisan maupun dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Berkat dorongan dan bantuan dari segala pihak, akhirnya penulis dapat mengatasi
berbagai kesulitan tersebut, saya banyak mendapatkan pengarahan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali
Bandung.
2. Erni Hernawati, S.S.T., Bd., M.M., M.Keb. selaku Dekan Fakultas Kebidanan
Institut Kesehatan Rajawali Bandung.
3. Intan Karlina S.S.T.,Bd., M.Keb. selaku Penanggung jawab program
program studi Sarjana Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali sekaligus
pembimbing utama skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, pengarahan dan bantuan selama penyusunan skripsi.
4. Wulan Nurasyriani Saputra.,S.S.T., M.Keb., AIFO. selaku pembimbing
pendamping skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, pengarahan dan bantuan selama penyusunan skripsi.
5. Seluruh dosen Institut Kesehatan Rajawali Bandung yang telah memberikan
ilmu dan bimbingannya dalam pelaksanaan penyusunan skripsi.
6. dr. Riantini ., MMRS Selaku Direktur RSUD Oto Iskandar Di Nata
v

7. Kedua orang tua, Suami, anak tercinta yang dengan penuh kasih sayangnya
telah banyak memberikan doa, dukungan dan motivasi secara materil maupun
moril guna kelancaran penyelesaian skripsi
8. Seluruh Bidan RSUD Oto Iskandar Di Nata yang telah membantu dalam
melakukan pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian.
9. Rekan-rekan sepejuangan mahasiswa Sarjana Kebidanan Institut Kesehatan
Rajawali Bandung yang senantiasa selalu memberikan doa, dukungan dan
semangat.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu
memberikan dukungan, Doa, serta semangat kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi banyak pihak serta
dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menambah wawasan
pengetahuan serta pengalaman.

Bandung, Desember 2022

Penulis
vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN . .. ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah.................................................................... 4
1.3 Rumusan Masalah....................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
1.5 Hipotesis Penelitian .................................................................... 7
1.6 Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 9
2.1 Persalinan ................................................................................... 9
2.2 Ketuban Pecah Dini ................................................................... 13
2.3 Umur Kehamilan ....................................................................... 25
2.4 Anemia ....................................................................................... 27
2.5 Infeksi Menular Seksual ............................................................. 37
2.6 Riwayat KPD Sebelumnya ......................................................... 66
2.7 Kerangka Teori ........................................................................... 67
viii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 68


3.1 Rancangan Penelitian ............................................................... 68
3.2 Kerangka Penelitian ................................................................. 68
3.3 Variabel Penelitian ................................................................... 69
3.4 Definisi Operasional Variabel ................................................... 70
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 71
3.6 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 73
3.7 Pengolahan dan Analisa Data ................................................. 74
3.8 Lokasi dan Waktu penelitian .................................................. 78
DAPTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN
x

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Struktur Selaput Ketuban ............................................................ 14
Gambar 2 Penyakit Sifilis ............................................................................. 41
Gambar 3 Bakteri Neisseria Gonnorhoeae ..................................................... 43
Gambar 4 Bakteri Chlamydia ........................................................................ 54
Gambar 5 Kondiloma Akuminata ................................................................ 63
Gambar 6 Herpes Genital .............................................................................. 65
xi

DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mortalitas dan morbiditas ibu hamil dan bersalin masih merupakan
menjadi permasalahan penting di Negara Indonesia yang perlu mendapatkan
penanganan serius. kematian pada saat persalinan merupakan faktor utama
penyumbang angka mortalitas wanita pada masa reproduksi. Angka kematian
ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di suatu negara sebagai ukuran
untuk menentukan atau menilai kualitas pelayanan kesehatan dalam
kebidanan.
Menurut World Health Organization (WHO) 2019 AKI merupakan
jumlah kematian ibu akibat dari proses kehamilan, persalinan, dan pasca
persalinan yang dijadikan indikator derajat kesehatan perempuan. Kematian
ibu terjadi pada perempuan meliputi 4 terlalu yaitu terlalu muda untuk hamil,
terlalu tua untuk hamil, jarak kehamilan yang terlalu dekat, dan kehamilan
yang terlalu sering, serta 3 terlambat yaitu terlambat memberikan pertolongan
pertama, terlambat mencari pertolongan, terlambat membawa ketempat
rujukan.
Menurut WHO 2019 AKI di dunia yaitu sebanyak 303.000
jiwa/100.000 KH. AKI di Association of Southeast Asian Nation (ASEAN)
yaitu sebesar 235 per 100.000 kelahiran hidup (ASEAN Secretariat, 2020).
Angka kejadian AKI di Indonesia tahun 2020 sebanyak 4.627
kasus/ 100.000 KH. Bedasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
mencatat di tahun 2020 besar kematian ibu yang melahirkan terlaporkan
sebanyak 479 jiwa (579.037 kelahiran hidup). Tahun 2020 kematian ibu
terjadi 39 kasus dengan 66.902 kelahiran hidup, Adapun pada tahun 2021
kematian ibu mengalami kenaikan menjadi 61 kasus dengan 62.940 kelahiran
hidup.

1
2

Adapun penyebab kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (27%),


hipertensi atau preeklampsia (14%), Infeksi (11%), Abortus (8%), Emboli
(3%), kematian tidak langsung (28%) dan kematian langsung (10%).
UNICEF (2020). Salah satu dari penyebab langsung infeksi pada ibu bersalin
dapat disebabkan oleh Ketuban Pecah Dini (KPD).
Ketuban pecah dini terjadi pada 3 % kehamilan. Sepertiga kelahiran
prematur disebabkan oleh ketuban pecah dini. Masalah ini juga terkait dengan
komplikasi lain seperti paru-paru bayi yang tidak berkembang normal, bayi
terlilit tali pusar, hingga kematian janin. Karena itu, dalam persiapan
melahirkan, ibu dan keluarga mesti memahami soal ketuban pecah dini agar
tahu apa tindakan yang harus diambil ketika mengalami hal tersebut.
Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian KPD di
dunia pada tahun 2017 sebanyak 50- 60%. Berdasarkan data di Indonesia
sebanyak 65%, terjadinya ketuban pecah dini terjadi pada tahun 2020 angka
kejadian ketuban pecah dini di jawa barat sebanyak 230 kasus dari 4834
(4,75%) kebanyakan kasus kematian ibu itu disebabkan pada saat persalinan
juga masa nifas (Wulandari, 2019).
Kejadian ketuban pecah dini pada kehamilan aterm insidensinya
bervariasi antara 6% sampai 19%, sedangkan pada kehamilan preterm
insidensinya 2% dari semua kehamilan. Sebagian besar ketuban pecah dini
pada kehamilan preterm akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi
dalam satu minggu setelah selaput ketuban pecah.
Penyebab ketuban pecah dini (KPD) belum diketahui secara pasti.
Faktor – faktor penyebab KPD adalah usia, paritas, umur kehamilan, anemia,
IMS, riwayat KPD, serviks yang inkompetensik dan peningkatan intra uterm
yang meninggi atau meningkat secara berlebihan. Selain itu fisiologi selaput
ketuban yang abnormal, serviks inkompetensia, kelainan letak janin, faktor
golongan darah, merokok, keadaan social ekonomi, perdarahan antepartum,
riwayat abortus dan persalinan preterm sebelumnya, kesempitan panggul,
3

kelelahan ibu dalam bekerja, serta trauma yang didapat misalnya hubungan
seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis dan paritas (Tahir, 2012).
Dampak dari ketuban pecah dini dapat menimbulkan beberapa
masalah bagi ibu maupun bagi janin. Bagi ibu dapat menyebabkan infeksi
intrapartal (dalam persalinan), infeksi puerparalis (masa nifas), partus lama,
perdarahan postpartum, morbiditas, dan mortalitas maternal. Sedangkan bagi
bayi dapat menyebabkan prematuritas, prolaps funiculli (penurunan tali
pusar, hipoksia, asfiksia ringan sampai dengan asfiksia berat, sindrom
deformitas janin, morbiditas, dan mortalitas perinatal (Habibah, 2018).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya ketuban
pecah dini yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan pada ibu
hamil tentang kehamilan, persalinan dan juga menganjurkan agar ibu hamil
secara rutin melakukan ANC (Ante Natal Care) ke tempat pelayanan
kesehatan selama kehamilan berlangsung.
Ketuban Pecah dini di pengaruhi beberapa faktor maternal yang
salah satunya yaitu umur kehamilan dibagi dalam 3 kelompok yaitu preterm,
aterm, posterm. Menjelang usia kehamilan cukup bulan kelemahan focal
terjadi pada selaput janin di atas serviks internal yang memicu robekan di
lokasi ini.(Saifuddin, 2008).
Faktor kedua adalah Anemia pada kehamilan juga merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya KPD. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Huda (2013) Anemia merupakan faktor yang dominan yang
menjadi penyebab ketuban pecah dini, sedangkan menurut Kadek (2013)
mengatakan adanya hubungan antara kadar hemoglobin dengan kejadian
ketuban pecah dini.
Faktor ketiga yaitu Infeksi menular seksual yang merupakan
penyebab tersering dari persalinan preterm dan ketuban pecah dini, dimana
bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga memicu
terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan preterm dan ketuban
pecah dini. Terdapat beberapa macam bakteri yang dihubungkan dengan
4

persalinan preterm dan ketuban pecah dini yaitu : Gardrenella vaginalis,


Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium,
Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan
Hemophilus vaginalis (Samuel dan Jerome, 2006; Sohail, 2012). Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nakubulwa, (2015) menyimpulkan
bahwa Trichomonas Vaginalis, T. vaginalis dengan koinfeksi C, trachomatis
dan keputihan abnormal ditemukan sebagai faktor risiko KPD di rumah sakit
Mulago, Uganda.
Faktor ibu yang ke empat adalah Riwayat KPD sebelumnya yang
berisiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Wanita yang
mengalami KPD pada kehamilan sebelumnya, maka pada kehamilan
berikutnya akan lebih berisiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami KPD sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya (Tahir, 2012).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka saya
tertarik untuk mengambil judul “Hubungan faktor maternal dengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata di
kabupaten Bandung tahun 2020-2021”.

1.2 Identifikasi Masalah


RSUD Oto Iskandar Di Nata atau dahulu di nama kan dengan RSUD
Soreang merupakan salah satu fasilitas rujukan yang terdapat di kabupaten
Bandung. Rumah Sakit Daerah Soreang adalah salah satu rumah sakit
pemerintah yang berada di wilayah kerja Kabupaten Bandung. Berdiri pada
tahun 1996 merupakan pengembangan dari Puskesmas DTP Soreang. Rumah
Sakit Umum Daerah Oto Iskandar Di Nata secara geografis terletak di
Kabupaten Bandung dan beralamatkan di Jl. Gading Tutuka Kampung
Cingcin Kolot RT.01 RW.01 Desa Cingcin Kecamatan Soreang Kabupaten
Bandung. Kegiatan pelayanan RSUD Oto Iskandar Di Nata disesuaikan
5

melalui instalasi-instalasi pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia saat ini


adalah Pelayanan Rawat Jalan, Pelayanan Rawat Inap, Pelayanan Instalasi
Gawat Darurat, dan Pelayanan Penunjang.
Pelayanan Obstetri Neonatal Komperensif (PONEK) telah dapat
dilakukan di fasilitas ini. Sebagai rumah sakit rujukan kasus kasus resiko
tinggi dan komplikasi dari wilayah sekitarnya. Di rumah sakit ini berdasarkan
informasi yang di peroleh langsung pengelola pelayanan medik ada
peningkatan kecenderungan rujukan ibu hamil dan bersalin dengan KPD.
Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, dimana
berdasarkan Data Rekam medis angka kejadian ketuban pecah dini pada ibu
bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata menunjukan Peningkatan kasus KPD
dengan Angka Kejadian KPD pada tahun 2020 terdapat 266 kasus (11,64%)
dari 2.285 ibu bersalin, sedangkan pada tahun 2021 terdapat peningkatan
kasus KPD sebanyak 308 kasus (17,32%) dari 1.778 kasus ibu bersalin dari
data yang didapatkan factor maternal yang didapat pada kejadian ketuban
pecah dini selain usia dan paritas umur kehamilan juga mempengaruhi
kejadian KPD (Data rekam medis RSUD Oto Iskandar Di Nata, 2022).
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan faktor
maternal dengan kejadian ketuban pecah dini di RS Oto Iskandar Di Nata di
kabupaten Bandung tahun 2020-2021”.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas yang telah diuraikan di atas maka
rumusan masalah dalam penulisan ini adalah “Apakah terdapat hubungan
faktor maternal dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di
RSUD Oto Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021”.
6

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor maternal dengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata
di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.

1.4.2 Tujuan Khusus


1) Untuk mengetahui distribusi frekuensi antara umur kehamilan
dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD
Oto Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
2) Untuk mengetahui distribusi frekuensi antara anemia dengan
kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto
Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
3) Untuk mengetahui distribusi frekuensi IMSdengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di
Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
4) Untuk mengetahui distribusi frekuensi riwayat KPD sebelumnya
kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto
Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
5) Untuk mengetahui hubungan antara umur kehamilan dengan
kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto
Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
6) Untuk mengetahui hubungan antara anemia dengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di
Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
7) Untuk mengetahui hubungan antara IMS dengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di
Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021.
7

8) Untuk mengetahui hubungan antara Riwayat KPD sebelumnya


dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD
Oto Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021
9) Untuk mengetahui hubungan faktor maternal dengan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di
Nata di kabupaten Bandung tahun 2020-2021

1.5 Hipotesa Penelitian


1. Ada hubungan berdasarkan Umur kehamilan dengan kejadian ketuban
pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata di kabupaten
Bandung tahun 2020-2021
2. Ada hubungan berdasarkan Anemia dengan kejadian ketuban pecah dini
pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung
tahun 2020-2021
3. Ada hubungan berdasarkan IMS dengan kejadian ketuban pecah dini
pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata di kabupaten Bandung
tahun 2020-2021
4. Ada hubungan berdasarkan Riwayat KPD sebelumnya dengaan kejadian
ketuban pecah dini pada ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata di
kabupaten Bandung tahun 2020-2021

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Manfaat teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya bukti empiris bahwa
hubungan factor ibu dengan kejadian ketuban pecah dini pada ibu
bersalin di RSUD Otto Iskandar Di Nata dan dapat dijadikan sebagai
inspirasi untuk peneliti selanjutnya.
8

1.6.2 Manfaat praktis


1. Bagi RSUD Oto Iskandar Di Nata
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan dalam upaya deteksi dini faktor risiko yang dapat
berpengaruh terhadap kejadian ketuban pecah dini, sehingga
menekan kejadian infeksi pada ibu dan bayi, khususnya yang
disebabkan oleh Ketuban Pecah Dini.
2. Bagi Bidan di RSUD Oto Iskandar Di Nata
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan motivasi dan kinerja
bidan dalam melaksanakan deteksi dini terhadap Ketuban Pecah
Dini, sehingga mampu berkolaborasi secara efektif dengan tim
medis untuk menyusun penatalaksanaan preventif yang adekuat.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya.
Merupakan tambahan bacaan dan sebagai bahan masukkan
tentang pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
sumber informasi dan pengetahuan mengenai hubungan umur
kehamilan, Anemia, IMS dan Riwayat ketuban pecah
sebelumnya terhadap kejadian ketuban pecah dini sehingga
dapat memberikan edukasi kepada ibu hamil dan melakukan
pencegahan kejadian ketuban pecah dini. Penelitian ini
diharapkan juga memberikan ilmu pengetahuan terhadap
kejadian ketuban pecah dini. Hasil ini dapat digunakan sebagai
salah satu referensi untuk peneliti selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persalinan
2.1.1 Definisi
Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan
pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi
persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progesif pada seviks, dan
diakhiri dengan pelahiran plasenta. Kala satu persalinan didefinisikan
sebagai permulaan kontraksi persalinan, yang ditandai oleh perubahan
serviks yang progresif dan diakhiri dengan pembukaan lengkap (10
centimeter). Hal ini dikenal sebagai tahap pembukaan serviks (Varney,
2017).
Persalinan adalah fungsi seorang wanita, dengan fungsi ini
produk konsepsi (janin, air ketuban, plasenta dan selaput ketuban) dilepas
dan dikeluarkan dari uterus melalui vagina ke dunia luar (Harry &
William, 2010). Persalinan dan kelahiran normal adalah proses
pengeluaran janin pada kehamilan cukup bulan yaitu sekitar 37-42 minggu
dan lahir secara spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung selama 18-24 jam tanpa komplikasi baik pada ibu ataupun
janin (Prawirohardjo, 2016).
Partus normal atau disebut juga partus spontan adalah proses
lahirnya bayi pada letak belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri, tanpa
bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi berlangsung kurang dari
24 jam. Sedangkan partus abnormal adalah persalinan pervaginam dengan
bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesarea.
Menurut usia kehamilan, partus dibagi menjadi 6 yaitu:
1. Abortus atau keguguran Ialah terhentinya kehamilan sebelum janin
dapat hidup (viable) dan usia kehamilan di bawah 28 minggu.
2. Partus prematurus dari hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu,
9
10

janin dapat hidup tetapi prematur, berat janin antara 1000-2500 gram.
3. Partus maturus atau aterm Ialah partus pada kehamilan 37-40 minggu,
janin matur, berat badan di atas 2500 gram.
4. Partus postmaturus (serotinus) Persalinan yang terjadi 2 minggu atau
lebih dari waktu partus yang ditaksir; janin disebut post matur.
5. Partus presipitatus Partus yang berlangsung cepat kurang dari 3 jam.
Mungkin terjadi di kamar mandi, di atas becak dan sebagainya.
6. Partus percobaan Penilaian kemajuan persalinan untuk memperoleh
bukti tentang ada atau tidaknya disproporsi sepalopelvik.
2.1.2 Permulaan Persalinan
A. Causa mulainya persalinan
Sebab-sebab mulainya persalinan dan kenapa persalinan terjadi lebih
kurang pada umur kehamilan 40 minggu tidak diketahui dengan
pasti. Beberapa teori dikemukakan untuk menjelaskan fenomena ini :
1. Diduga persalinan mulai apabila uterus telah teregang sampai pada
derajat tertentu. Dengan demikian dapat diterangkan terjadinya
persalinan yang awal ada kehamilan kembar dan hydramnion.
2. Tekanan bagian terendah janin pada cervix dan segmen bawah
rahim, demikian pula pada plexus vervosus di sekitar cervix dan
vagina, merangsang permulaan persalinan.
3. Siklus menstruasi berulang sampai 4 minggu, dan persalinan
biasanya mulai pada akhir minggu ke 40 atau 10 siklus menstruasi.
4. Begitu kehamilan mencapai cukup bulan, setiap factor emosional
dan fisik dapat memulai persalinan.
5. Beberapa orang percaya bahwa ada hormone khusus yang
dihasilkan oleh plasenta apabila kehamilan sudah cukup bulan
yang bertanggung jawab atas mulainya persalinan.
6. Bertambah tuanya plasenta yang mengakibatkan penurunan kadar
estrogen dan progesterondalam darah diduga menyebabkan
dimulainya persalinan.
11

B. Tanda- Tanda Permulaan Persalinan


Beberapa minggu sebelum persalinan, wanita hamil akan mengalami
tanda-tanda permulaan persalinan. Misalnya:
1. Ligthening/ settling/ dropping di mana kepala bayi turun memasuki
pintu atas panggul terutama pada primigravida. Namun pada
multipara tidak begitu kentara.
2. Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun.
3. Perasaan sering atau malah susah kencing (polakisuria) karena
kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin.
4. Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi-
kontraksi lemah dari uterus, kadang disebut “false labour pains
5. Serviks menjadi lembek, mulai mendatar dan sekresinya
bertambah bisa bercampur darah.
Sedangkan pada persalinan akan didapat tanda-tanda sebagai berikut:
1. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan
teratur.
2. Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena karena
robekan- robekan kecil pada serviks.
3. Kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
4. Pada pemeriksaan dalam: serviks mendatar, pembukaan telah ada
Terdapat 3 faktor penting yang memegang peranan pada
persalinan, antara lain:
a. Kekuatan-kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan
kekuatan mengedan
b. Keadaan jalan lahir;
c. Janinnya sendiri (Prawirohardjo, 2016).
12

2.1.3 Tanda Tanda Persalinan Sungguhan


Tanda-tanda persalinan sungguhan adalah sebagai berikut :
 Kontraksi uterus terjadi dengan interval yang teratur. Mula-mula
timbul setiap 20 atau 30 menit. Makin lama makin sering. Dengan
semakin lanjutnya persalinan maka kontraksi menjadi tambah kuat
dan tambah lama.
 Kontraksi uterus dirasakan nyeri.
 Dapat diraba uterus yang mengeras.
 Nyeri dirasakan baik di belakang maupun di depan abdomen.
 Persalinan sungguhan secara efektif menyebabkan pembukaan
cervix.
 Bagian terendah janin turun.
 Pada waktu tidak ada his kepala terfixasi.
 Sering kali mengakibatkan penonjolan ketuban.
2.1.4 Berlangsungnya persalinan normal
Umumnya berdasarkan atas alasan klinis maka persalinan dibagi
menjadi 4 kala yaitu :
A. Kala I (Kala Pembukaan)
Dimulai saat didapat kontraksi uterus dengan frekuensi, intensitas
dan lama yang memadai sehingaa terjadi perlunakan dan
pembukaan serviks. Kemudian lendir bercampur darah keluar dari
serviks yang membuka. Darah yang keluar berasal dari pembulah
darah kapiler di sekitar kanalis servikalis yang pecah karena
pergeseran ketika serviks mendatar dan terbuka. Kala I persalinan
berakhir bila serviks sudah membuka dengan lengkap.
B. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)
Pada kala ini his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama. Kepala
janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan
pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan
rasa mengedan. Pada waktu his kepala janin mulai kelihatan, vulva
13

membuka dan perineum meregang. Kala II berakhir saat bayi


dilahirkan.
C. Kala III (Kala Pengeluaran Uri)
Kala III dimulai dengan kelahiran bayi dan berakhir pada kelahiran
plasenta serta selaput janin. Setelah bayi lahir, kontraksi rahim
beristirahat sebentar. Namun beberapa saat kemudian datang his
pelepasan dan pengeluaran uri. Dalam waktu 5-15 menit seluruh
plasenta terlepas didorong ke dalam vagina dan akan lahir spontan
maupun dengan sedikit dorongan.
D. Kala IV
Merupakan kala pengawasan 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk
mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya pendarahan
postpartum. Pada persalinan normal biasanya ketuban pecah sendiri
pada akhir kala I atau permulaan kala II. Bila ketuban belum pecah,
maka harus dipecahkan (Prawirohardjo, 2016).

2.2 Ketuban Pecah Dini


2.2.1 Pengertian
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah suatu kejadian dimana
pecahnya membran ketuban pada waktu persalinan Maupun jauh
sebelum proses persalinan. Ketuban Pecah Dini juga dapat diartikan
kondisi dimana ketuban pecah sebelum pembukaan <4 cm (fase laten),
yang terjadi pada akhir kehamilan atau jauh sebelum waktu melahirkan.
Ketuban Pecah Dini Preterm (Preterm Premature rupture of Membrane)
merupakan ketuban yang pecah sebelum usia kehamilan < 37 minggu,
KPD yang memanjang merupakan KPD yang terjadi lebih dari 12 jam
sebelum adanya tanda persalinan. Dan ketuban yang pecah setelah usia
kehamilan 37 .minggu disebut premature rupture of membrane (Farid
Husin, 2014).
14

Wanita yang mengalami ketuban pecah dini akan mengalami


selubung cairan yang bocor melalui vagina tanpa rasa sakit (Maknee,
2014). Ketuban Pecah Dini akan memiliki risiko yang tinggi apabila
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu yang mana akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Sedangkan
pada usia kehamilan > 37 minggu memiliki risiko kecil untuk ibu
mengalami komplikasi. Disebabkan oleh masuknya bakteri kedalam
rahim pada saat ketuban pecah (Manuaba, 2009), sehingga
mengakibatkan tekanan pada tali pusar meningkat dan menganggu
perkembangan paru pada awal pembentukkannya, yang mana
disebabkan karena rendahnya cairan ketuban ( Mochtar R, 2007).
2.2.2 Struktur Selaput Ketuban
Selaput membran ketuban terdiri dari lapisan amnion dan
lapisan chorion, tidak mengandung pembuluh darah dan saraf, sehingga
kebutuhan nutrisinya disuplai melalui cairan ketuban. Lapisan chorion
lebih tebal dan lebih seluler namun lapisan amnion lebih kaku dan kuat
karena memiliki daya regang yang 13 lebih besar. Ketebalan lapisan
amnion + 20% dari ketebalan selaput membran ketuban yakni rata – rata

Gambar 1 Struktur Selaput Ketuban

tebalnya 0,08 - 0,12 mm (Prawirohardjo S, 2008). Selaput ketuban terdiri


dari beberapa lapisan yang berbeda secara morfologi yang tersusun dari
lima lapisan yang terpisah, yakni lapisan epitel amnion, lapisan membran
basal, lapisan kompak, lapisan firoblas dan lapisan spongiosum.
15

Lapisan yang paling dalam, yang terdekat dengan janin, terdiri


dari sel epitel amnion yang tersusun di atas membran basal yang kaya
kolagen IV dan glikoprotein non-kolagen. Di bawah membran basal
terdapat lapisan kompakta tersusun atas kolagen tipe I, III dan V yang
dihasilkan oleh sel mesenkim pada lapisan fibroblas, lapisan yang paling
tebal. Lapisan intermediet/berongga (spongy) terdapat di bawah lapisan
fibroblas, terdiri dari proteoglikan dan glikoprotein serta kolagen tipe III.
Lapisan ini memisahkan amnion dengan korion. Korion terdiri dari
tropoblast, pseudobasement membrane, lapisan reticuler dan lapisan
seluler. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan desidua uterus
(Prawirohardjo S. 2010). Telah dikonfirmasi bahwa kolagen tipe I, III,
IV, V, VI ditemukan pada berbagai lapisan amnionkorion. Kolagen
(interstisial) tipe I dan III predominan dan membentuk ikatan parallel
yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe V dan
VI membentuk penghubung filamentosa antara kolagen interstitial dan
membran basal epitel. Sel mesenkim merupakan tempat sintesis kolagen
pada amnion di mana mencapai puncaknya pada amnion di awal
kehamilan, mulai menurun setelah usia kehamilan 12 -14 minggu dan
mencapai kadar terendahnya pada saat aterm.(Ketut surya negara, 2017).
2.2.3 Patofisiologi
KPD biasanya terjadi karena berkurangnya kekuatan
membran atau penambahan tekanan intrauteri ataupun oleh sebab
kedua-duanya. Kemungkinan tekanan intrauteri yang kuat adalah
penyebab independen dari Ketuban Pecah Dini dan selaput ketuban
yang tidak kuat akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasiakan
mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban (Wulandari. 2016).
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan
oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah
karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
16

selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan


degradasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah (Manuaba, 2009).
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis Ketuban Pecah Dini, yaitu sebagai berikut:
1. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina. Jika tidak ada dapat dicoba dengan
menggerakkan sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien
untuk batuk atau mengejan.
2. Penentuan cairan kebutuhan dapat dilakukan dengan tes lakmus
(Nitrazin Testi) merah yang menjadi biru.
3. Menentukan usia kehamilan, jika perlu dilakukan pemeriksaan
dengan USG.
4. Menentukan ada atau tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi adalah
apabila suhu ibu lebih dari 38 o C serta air ketuban keruh dan
berbau. Leukosit darah >15.000/ mm3 (Manuaba, 2009).
Janin yang mengalami takikardia, mungkin mengalami infeksi
intrauterin.
1. Menentukan tanda-tanda persalinan dan skoring pelvik.
2. Menentukan adanya kontraksi yang teratur dan melakukan periksa
dalam apabila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi
kehamilan).
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Ketuban Pecah Dini (KPD), yaitu:
1. Premature Rupture of the Membranes (PROM)
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes
(PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti
dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+)
17

pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.(Pedoman Obstetri dan ginekologi


pelayanan kedokteran, 2016).
Ketuban Pecah Dini pada saat usia kehamilan >37 minggu.
Penyebab PROM dikarenakan melemahnya membran amnionsecara
fisiologis. Kondisi klinis seperti inkompetensi serviks dan
polihidramnion telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang jelas
dalam beberapa kasus ketuban pecah dini.
2. Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM)
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang
terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau
IGFBP-1 (+) pada usia < 37 minggu sebelum onset persalinan. KPD
sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara
24 sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat
umur kehamilan ibu antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu.
Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang
paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan kurang
dari 37 minggu.(Pedoman Obstetri dan ginekologi pelayanan
kedokteran, 2016)
Ketuban Pecah Dini yang terjadi sebelum usia kehamilan
37minggu dan sebelum persalinan. Penyebabnya adalah penurunan
dalam kekuatan peregangan membran amnion, cacat lokal pada
membran amnion, penurunan kolagen cairan ketuban
danperubahan dalam struktur kolagen, iritabilitas uterus, apoptosis,
degradasi kolagen, dan peregangan membran. Pada jaringan
Maternal-Fetal Medicine Unit (MFMU) menemukan bahwa faktor
risiko PPROM adalah PPROM sebelumya. Fibronektin janin positif
pada kehamilan 23 minggu dan leher rahim pendek (<25 mm) pada
umur kehamilan 23 minggu.
18

3. Prolonged Premature Rupture of the Membranes


Ketuban pecah yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya
melahirkan (Manuaba, 2009).
2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketuban Pecah Dini
Faktor penyebab Ketuban Pecah Dini mempunyai
dimensimulti-faktoral, yaitu sebagai berikut:
A. Factor maternal
1. Infeksi Infeksi disini terdiri dari:
a. Infeksi Genetalia.
Infeksi genetalia yang dapat mempengaruhi lemahnya kekuatan
selaput membran sehingga mengakibatkan selaput ketuban
pecah adalah candida candidiasis vaginalis, bakteri vaginosis,
dan trikomonas.Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi
trikomonas Vaginalis yaitu dengan nilai OR 2,98 CI 1,18-7,56.
Dan hasil kesimpulan penelitian menunjukan bahwa
Trichomonas vaginalis, T vaginalis dengan C. trachomatis co-
infection merupakan faktor risiko yang mempengaruhi Ketuban
Pecah Dini (Prawiroharjo 2009).
b. Infeksi Korioamnionitis/ Amnionitis
Infeksi ini merupakan keadaan dimana cairan ketuban terinfeksi
oleh bakteri. Penyebab infeksi ini adalah adanya streptococcus
microorganisme, selain bakteri tadi ada bacteroide fragilis,
laktobatili dan Stapilococus. Bakteri tersebut merupakan bakteri
yang sering ditemukan dalam cairan ketuban, yang mana jika
bakteri tersebut melepaskan mediator inflamasi dapat
menyebabkan kontraksi uterus sehingga mengakibatkan
pembukaan serviks sehingga menyebabkan ketuban pecah dini
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
19

c. Infeksi saluran Kencing


Infeksi saluran kemih dibagi menjadi ISK bagian bawah
(bakteriuria asimtomatik, sistitis akut), dan ISK bagian atas
(pielonefritis). ISK tidak bergejala (bakteriuria asimtomatik)
dan ISK bergejala (sistitis akut dan pielonefritis) masing-masing
ditemukan pada 2-13% dan 1-2% ibu hamil. 21 Sesuai
penelitian yang telah dilakukan oleh Rahman MN, dkk
menunjukan Prevalensi bakteriuria adalah 55,17%. Bakteriuria
simtomatik vs asimtomatik menunjukkan perbedaan yang
signifikan secara statistik (p <0,001, OR = 0,409; CI = 0287-
0584)
2. Inkompatibilitas Servik
Merupakan penyebab kehilangan kehamilan pada trimester dua,
kelainan yang disebabkan oleh kelainan septum uterus dan
bikornis, atau dapat disebabkan oleh kasus bedah konisasi,
produksi eksisi electrosurgical, dilatasi berlebihan yang dilalui
servik pada terminasi kehamilan sebelumnya atau akibat dari bekas
luka laserasi servik.
3. Trauma
Trauma ini dapat disebabkan oleh hubungan koitus saat hamil yang
mana frekuensi koitus 3 kali seminggu atau lebih, kemudian posisi
penetrasi yang terlalu dalam sehingga memicu ketuban pecah
(Prawirohardjo S, 2008).
Kemungkinan kesempitan panggul: perut gantung, bagian terendah
belum masuk PAP, disproporsi sefalopelvik
4. Paritas
Paritas merupakan keadaan frekuensi ibu telah mengalami
persalinan, terdiri dari 2 macam yaitu:
a. Primipara: Wanita yang baru sekali mengalami kehamilan
dengan janin yang dapat mancapai titik hidup. Berkaitan dengan
20

psikologis dan mencakup keadaan hamil dan gangguan


fisiologis.
b. Multipara: Wanita yang telah mengalami kehamilan beberapa
kali, dan mengalami ketubah pecah dini, dapat diyakini bahwa
wanita ini memiliki risiko ketuban pecah dini kembali. Sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sakinah
menunjukan bahwa paritas memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian Ketuban Pecah Dini yaitu didapatkan nilai P
value 0,001.(Sari, 2014).
5. Usia
Ibu kurang 20 tahun dan atau > 35 tahun Prawirohardjo
mendefinisikan bahwa usia ibu hamil yang aman melakukan
persalinan adalah pada rentan usia 20 – 30 tahun. Dan menurut
rosmawati usia ibu yang baik dalam melakukan persalinan adalah
usia 20 -35 tahun dikarenakan usia ibu pada rentan tersebut telah
memiliki kesiapan fisik, emosional dan psikologis yang lebih
matang.15 Ibu hamil dengan usia yang terlalu muda keadaan uterus
kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan untuk mengalami
ketuban pecah dini dan pada ibu hamil dengan usia lebih 35 tahun
tergolong usia terlalu tua untuk melahirkan (primitua) sehingga
berisiko tinggi untuk terjadi ketuban pecah dini.(Manggiasih,
2014).
B. Factor fetal / janin
1. Kelainan Posisi
kelainan letak janin yaitu letak lintang ataupun sungsang dapat
mempengaruhi terjadinya pecahnya membran selaput ketuban
dikarenakan tidak adanya bagian terendah yang menutupi pintu
atas panggul sehingga tidak ada bagian yang menahan tekanan
terhadap bagian terbawah.
21

2. Gemeli
Kehamilan kembar dapat meningkatkan risiko rupture membrane
dikarenakan rongga rahim membesar secara maksimal, apabila
tidak diseimbangi dengan nutrisi yang baik kemungkinan pecah
ketuban akan meningkat karena adanya peningkatan tekanan dari
kedua janin.
3. Makrosomia
Makrosomia atau berat badan bayi ≥ 4000 gram. Kehamilan
dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat
atau over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin
bertambah sehingga dapat menekan selaput ketuban, menyebabkan
selaput ketuban menjadi tegang dan tipis dan kekuatan membrane
menjadi berkurang sehingga, menimbulkan selaput ketuban mudah
pecah (Winkjosastro, 2009)
C. Factor lain
1. Merokok: ibu hamil yang merokok akan meningkatkan risiko
ketuban pecah dini dikarenakan dalam rokok mengandung zat 18
kimia yang berbahaya yang menyebabkan lemahnya selaput
membran ketuban
2. Sosial Ekonomi: Pendapatan keluarga merupakan faktor yang
menentukan kualitas dan kuantitas kesehatan keluarga, pendapatan
yang tinggi dapat menunjang kondisi kesehatan yang berjalan
dengan baik, sedangkan pendapatan yang rendah dapat
memberikan rintangan dalam keluarga dalam mencapai
kesejahteraan kesehatan.
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada
usia kehamilan, yaitu :
A. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah biasanya disusul dengan persalinan. Periode
22

laten tergantung dari umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90%


terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan 28-34
minggu persalinan terjadi lebih dari 24 jam, pada kehamilan < 28
minggu terjadi dalam 1 minggu setelah ketuban pecah
(Manuaba,2009).
B. Infeksi
Ketuban Pecah Dini menyebabkan hubungan langsung antara
dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan
terjadinya infeksi ascenden. Salah satu fungsi selaput ketuban
adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan
dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Semakin
lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian
kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim
(Strauss, 2003). Tanda adanya infeksi apabila suhu ibu 380C, air
ketuban yang keruh dan bau serta leukosit darah > 15.000/ mm .
C. Asfiksia
Ketuban pecah dini dapat mengakibatkan pengurangan jumlah
air ketuban dalam rahim atau disebut oligohidramnion, sehingga
mengakibatkan penekanan pada tali pusar yang mengakibatkan
sirkulasi dalam tali pusar tidak baik dan menimbulkan hipoksia,
sehingga terjadi gawat janin.
D. Sindrom deformitas janin
Komplikasi yang sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum
kehamilan 37 minggu adalah sindrom distres pernafasan, ini terjadi
pada 10-40% bayi baru lahir,risiko infeksi akan meningkat pada
kejadian ketuban pecah dini, semua ibu hamil dengan ketuban
pecah dini prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan
terjadinya korioamnionitis. Selain itu kejadian prolaps atau
keluarnya tali pusat bisa terjadi pada ketuban pecah dini. Risiko
23

kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban pecah dini


preterm, kejadiannya hampir 100%, apabila ketuban pecah dini
preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang 23 minggu.
2.2.8 Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini
A. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada kehamilan preterm
berupa penanganan konservatif, yaitu:
1. Pasien dirawat dalam posisi tredelenberg, tidak perlu
dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya
infeksi dan kehamilan dipertahankan sampai usia kehamilan
37 minggu.
2. Memberikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin
bila tidak tahan ampisilin) dan metronidazol 2x500 mg selama
7hari.
3. Jika umur kehamilan <32-34 minggu dirawat selama air
ketuban masih keluar, atau sampai air ketuban tidak keluar
lagi.
4. Pada usia kehamilan 32-34 minggu diberikan steroid untuk
memacu kematangan paru janin dan apabila memungkinkan
periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Pada
pasien dapat diberikan kortikosteroid seperti betamethasone
12 mg setiap 24 jam selama 2 hari, atau dexamethasone 6 mg
setiap 12 jam selama 2 hari untuk membantu kematangan paru
janin (Kemenkes. 2013).
5. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada
infeksi, tes busa (-), diberikan deksametason, observasi tanda-
tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi kehamilan
pada usia kehamilan 37 minggu.
6. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi, diberikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan
induksi sesudah 24 jam.
24

7. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, diberikan


antibiotik dan melakukan induksi.
8. Nilai tanda-tanda infeksi, seperti suhu, leukosit, dan tanda-
tanda infeksi intrauterin (Manuaba, 2009).
B. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada kehamilan aterm
berupa penanganan aktif, yaitu:
1. Apabila usia kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin
dan apabila gagal dilakukan seksio sesaria. Dapat pula
diberikanmisoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal
6 kali.
2. Apabila ada tanda-tanda infeksi, diberikan antibiotik dosis
tinggidan persalinan di akhiri. Jika pembukaan serviks <5 cm
dilakukan pematangan serviks kemudian induksi dan jika
tidak berhasil dilakukan seksio sesarea. Jika pembukaan
serviks >5cm induksi persalinan kemudian partus pervaginam
(Manuaba, 2009).
2.2.9 Angka Insidensi Ketuban Pecah
Dini Perempuan hamil aterm dalam keadaan normal akan
mengalami ketuban pecah dini 8- 10%.Ketuban pecah dini sebelum
kehamilan preterm (KPD preterm) terjadi 3-10% kehamilan, dan
berhubungan dengan sekitar sepertiga persalinan preterm . Sedangkan
menurut Prawirohardjo, ketuban pecah dini preterm terjadi 1% dari
seluruh kehamilan. Angka Insidensi Ketuban Pecah Dini Perempuan
hamil aterm dalam keadaan normal akan mengalami ketuban pecah
dini 8- 10%.Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm (KPD
preterm) terjadi 3-10% kehamilan, dan berhubungan dengan sekitar
sepertiga persalinan preterm (Sihotang AL, 2016).
25

2.3 Umur kehamilan


2.3.1 Pengertian
Definisi khusus terkait usia kehamilan yang disampaikan
menurut badan keseahatan dunia atau WHO sejauh ini tidak belum
dapat ditemukan. Definisi usia kehamilan dapat beragam dari beberapa
teori yang ada namun pastinya saling berkaitan dan memiliki penjelasan
yang sama. Kehamilan menurut Federasi Obstetri Ginekologi
Internasional, kehamilan merupakan proses fertilisasi atau penyatuan
dari spermatozoa dan ovum yang dilanjutkan dengan proses nidasi
atau implantasi dimana bakal janin menempel di dinding rahim.
Kehamilan adalah masa dimulai saat terjadinya konsepsi
sampai lahirnya janin di dalam kandungan ibu hamil melalui proses
persalinan, lamanya hamil normal 280 hari (40 minggu / 9 bulan 7 hari)
di hitung dari triwulan/ trimester pertama dimulai dari konsepsi sampai
3 bulan, trimester/ trimester ke-2 dari bulan ke- 4 sampai 6 bulan,
triwulan/trimester ke-3 dari bulan ke-7 sampai ke-9. (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Dari pemaparan definisi kehamilan menurut Departemen
Keseahtan Republik Indonesia pada tahun 2007 diketahui bahwa, usia
kehamilan adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat
kelahiran janin setelah mengalami perkembangan janin di dalam
kandungan yang dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Lamanya
kehamilan mulai dari proses ovulasi hingga bayi terlahir kira kira 280
hari atau 40 minggu dan tidak boleh lebih dari 40 minggu. Kehamilan
40 minggu disebut sebagai kehamilan matur, sedangkan kehamilan 42
minggu keatas disebut postmatur serta kehamilan 28 – 36 minggu
disebut dengan prematur.
2.3.2 Cara Menentukan Usia Kehamilan.
Menentukan usia kehamilan yang sedang dijalani oleh ibu
hamil tentu sangat penting untuk keberlangsungan kehamilannya. Usia
26

kehamilan menjadi patokan bagi ibu dan tenaga medis untuk


memastikan kapan bayi di dalam kandungan terlahir dan apakah
perkembangan janin di dalamnya berlangsung normal sesuai dengan
usia yang sudah di jalani ibu hamil. Berikut beberapa cara menghitungn
usia kehamilan yang dapat dilakukan dengan metode metode yang
berbeda di bawah ini :
A. Metode HPHT
Metode dengan kepanjangan hari pertama haid terakhir merupakan
cara menentukan usia kehamilan yang paling banyak digunakan.
Prinsip dasar dalam cara mengitung usia kehamilan dari hpht adalah
dengan mengetahui hari pertama hair terakhir sebagai hari pertama
kehamilan dan kemudian tentunya lamanya sesuai dengan
banyaknya hari yang sudah dilewati ibu hamil.
B. Melalui Pemeriksaan USG
Selain HPHT, ada cara lainnya yang dapat digunakan sebagai upaya
untuk mengetahui dan menghitung usia kehamilan adalah melalui
pemeriksaan USG. Melalui pemeriksaan USG maka usia kehamilan
dapat terdeteksi lebih akurat untuk ibu hamil yang memiliki masa
haid tidak teratur. Pemeriksaan USG memiliki kelemahan dimana
tidak cukup akurat perhitungannya dan tidak bisa diterapkan pada
pertengahan kehamilan.
C. Tes HCG
Selain kedua cara yang disebutkan diatas, tes HCG juga daat
membantu prediksi usia kehamilan. Pemeriksaan HCG dilakukan
dengan cara mengamati kadar hormon HCG. Bukan hanya untuk
memastikan kehamilan dan usia kehamilan, HCG juga dapat
digunakan untuk pengetesan kondisi hamil yang tidak terdeteksi
ataupun kehamilan ektropik.
27

2.4 Anemia
2.4.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin
(Hb) dalam darah lebih rendah dari normal (WHO, 2011). Hemoglobin
adalah salah satu komponen dalam sel darah merah/eritrosit yang
berfungsi untuk mengikat oksigen dan menghantarkannya keseluruh
jaringan tubuh. Oksigen diperlukan oleh jaringan tubuh untuk
melakukan fungsinya. Kekurangan oksigen dalam jaringan otak dan
otot akan menyebabkan gejala antara lain kurangnya konsentrasi dan
kurang bugar dalam melakukan aktivitas. Hemoglobin dibentuk dari
gabungan protein dan zat besi dan membentuk sel darah merah/eritrosit.
Anemia merupakan suatu gejala yang harus dicari penyebabnya dan
penanggulangannya dilakukan sesuai penyebabnya (Kementrian
Kesehatan RI, 2018).
Pengertian anemia secara umum adalah suatu keadaan dimana
tubuh memiliki jumlah sel darah merah yang terlalu sedikit, yang mana
sel darah merah itu mengandung hemoglobin yang berfungsi untuk
membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh (Astriana, 2017). Anemia
adalah penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi
hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Kadar hemoglobin kurang dari 12
gram/dl untuk wanita tidak hamil dan kurang dari 11 gram/dl untuk
wanita hamil (Padmi, 2018).
Anemia dalam kehamilan adalah suatu keadaan penurunan
kadar hemoglobin darah akibat kekurangan zat besi dengan kadar
hemoglobin pada trimester I dan trimester III <11 gr/dl dan kadar
hemoglobin pada trimester II <10,5 gr/dl. Nilai batas tersebut dan
perbedaanya dengan kondisi wanita tidak hamil adalah karena
terjadinya hemodilusi, terutama pada ibu hamil trimester II (Rahmi,
2019).
28

2.4.2 Etiologi Anemia


Anemia pada kehamilan secara umum disebabkan oleh
kekurangan zat besi. Pada saat hamil tubuh akan mengalami
perubahan yang signifikan dan jumlah darah dalam tubuh meningkat
sekitar 20% - 30%, sehingga memerlukan peningkatan kebutuhan
pasokan zat besi dan vitamin untuk membuat hemoglobin. Pada saat
hamil tubuh ibu akan membuat lebih banyak darah untuk berbagi
dengan bayinya. Tubuh memerlukan darah hingga 30% lebih banyak
dari pada sebelum hamil (Astriana, 2017).
Anemia pada ibu hamil salah satu penyebabnya adalah
adanya proses fisiologis saat hamil, yaitu adanya penambahan volume
darah ibu yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi darah
ke plasenta, uterus, dan payudara yang membesar dengan pembuluh
yang membesar pula. Bertambahnya volume darah ini sayangnya
tidak diikuti dengan kenaikan pembentukan sel darah merah yang
memadai, sehingga konsentrasi atau kadar hemoglobin ibu hamil
menjadi rendah. Anemia dalam kehamilan biasanya berhubungan
dengan defisiensi zat besi. Jumlah zat besi yang diabsorbsi dari
makanan dan cadangan dalam tubuh biasanya tidak mencukupi
kebutuhan ibu selama kehamilan sehingga penambahan asupan zat
besi dapat membantu mengembalikan kadar hemoglobin (Fatmasari,
2013).
Defisiensi zat besi merupakan penyebab tersering (90%)
anemia dalam kehamilan karena kehamilan meningkatkan kebutuhan
zat besi sebanyak dua hingga tiga kali lipat (Verrayanti, 2018).
2.4.3 Penyebab Anemia
Anemia terjadi karena berbagai sebab, seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat, vitamin B12 dan protein. Secara langsung anemia
terutama disebabkan karena produksi/kualitas sel darah merah yang
kurang dan kehilangan darah baik secara akut atau menahun.
29

Ada 3 penyebab anemia, yaitu:


1. Defisiensi zat gizi
 Rendahnya asupan zat gizi baik hewani dan nabati yang
merupakan pangan sumber zat besi yang berperan penting
untuk pembuatan hemoglobin sebagai komponen dari sel
darah merah/eritrosit. Zat gizi lain yang berperan penting
dalam pembuatan hemoglobin antara lain asam folat dan
vitamin B12.
 Pada penderita penyakit infeksi kronis seperti TBC,
HIV/AIDS, dan keganasan seringkali disertai anemia, karena
kekurangan asupan zat gizi atau akibat dari infeksi itu sendiri.
2. Perdarahan (Loss of blood volume)
 Perdarahan karena kecacingan dan trauma atau luka yang
mengakibatkan kadar Hb menurun.
 Perdarahan karena menstruasi yang lama dan berlebihan
3. Hemolitik
 Perdarahan pada penderita malaria kronis perlu diwaspadai
karena terjadi hemolitik yang mengakibatkan penumpukan zat
besi (hemosiderosis) di organ tubuh, seperti hati dan limpa
 Pada penderita Thalasemia, kelainan darah terjadi secara
genetik yang menyebabkan anemia karena sel darah
merah/eritrosit cepat pecah, sehingga mengakibatkan
akumulasi zat besi dalam tubuh. (Kemeterian Kesehatan RI,
2018)
2.4.4 Diagnosis anemia
Penegakkan diagnosis anemia dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium kadar hemoglobin/Hb dalam darah dengan menggunakan
metode cyanmethemoglobin (WHO, 2001). Hal ini sesuai dengan
Permeknes Nomor 37 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat. Rematri dan WUS
30

menderita anemia bila kadar hemoglobin darah menunjukkan nilai


kurang dari 12 g/dL.(Kementerian Kesehatan RI, 2018)
Untuk menegakkan diagnosa anemia dalam kehamilan yaitu
1. Dapat dilakukan dengan cara anamnesa. Pada anamnesa akan
didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-
kunang, nafsu makan berkurang, dan keluhan hamil bertambah
(Verrayanti, 2018).
2. Dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai adanya tanda-tanda anemia yaitu diantaranya konjungtiva
pucat, ikterus, hipotensi ortostatik, edema perifer, membran
mukosa dan bantalan kuku pucat, lidah halus, papil tidak
menonjol, splenomegali, takikardi atau aliran murmur, takipnea,
dan dyspnea saat beraktifitas (Verrayanti, 2018).
3. Hasil yang lebih akurat dapat dilakukan dengan cara pengambilan
sampel darah. Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali
selama kehamilan, yaitu pada trimester I dan trimester III dengan
pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil mengalami anemia
pada trimester tersebut, maka dilakukan pemberian preparat
tambah darah sebanyak 90 tablet pada ibu hamil di puskesmas.
Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode seperti metode visual, metode
gasometric, metode spectrophotometric dan otomatis
hemoglobinometry (Verrayanti, 2018).
2.4.5 Klasifikasi Anemia
A. Menurut Depkes RI secara umum anemia dalam kehamilan
diklasifikasikan menjadi :
1. Tidak anemia : ≥ 11 gr/dl
2. Anemia : < 11gr/dl
31

b) Sedangkan klasifikasi anemia menurut WHO adalah :


1. Normal : ≥ 11 gr/dl
2. Anemia ringan : 9-10 gr/dl
3. Anemia sedang : 7-8 gr/dl
4. Anemia berat : < 7 gr/ dl
c) Klasifikasi anemia dilihat dari trimester kehamilan yaitu
1. Trimester I dan trimester III apabila <11 gr/dl
2. Trimester II apabila <10,5 gr/dl (Rahmi, 2019).
2.4.6 Anemia Fisiologis Dalam Kehamilan
Anemia secara umum adalah kondisi dengan kadar
hemoglobin dalam darah kurang dari 12 gr%, sedangkan anemia
fisiologis adalah istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan
penurunan konsentrasi hemoglobin yang terjadi pada kehamilan
normal.
Perubahan fisiologis alami yang terjadi selama kehamilan
akan mempengaruhi jumlah sel darah merah normal pada kehamilan.
Peningkatan volume darah ibu terutama terjadi akibat peningkatan
plasma bukan akibat peningkatan sel darah merah, walaupun ada
peningkatan jumlah sel darah merah di dalam sirkulasi, tetapi
jumlahnya tidak seimbang dengan peningkatan volume plasma.
Ketidakseimbangan ini akan terlihat dalam bentuk penurunan kadar
hemoglobin. Peningkatan jumlah sel darah merah ini juga merupakan
salah satu faktor penyebab peningkatan kebutuhan akan zat besi
selama kehamilan sekaligus untuk janin (Padmi, 2018).
Ketidakseimbangan jumlah sel darah merah dan plasma
mencapai puncaknya pada trimester kedua sebab peningkatan volume
plasma terhenti menjelang akhir kehamilan, sementara produksi sel
darah merah terus meningkat. Anemia didefinisikan sebagai
penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi
hemoglobin di dalam sirkulasi darah. Pada kehamilan relatif terjadi
32

anemia karena ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran)


dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada
kehamilan 32 sampai 34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18%
sampai 30% dan hemoglobin sekitar 19% (Padmi, 2018).
2.4.7 Anemia Patologis Dalam Kehamilan
Anemia dalam kehamilan yang disebabkan kekurangan zat
besi mencapai kurang lebih 95%. Wanita hamil sangat rentan terjadi
anemia defisiensi besi karena pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih
tinggi sehingga memicu peningkatan produksieritropoietin, akibatnya
volume plasma bertambah dan sel darah merah meningkat.
Peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar
jika dibandingkan dengan peningkatan sel darah merah sehingga
terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.
Kehamilan dapat meningkatkan kebutuhan zat besi sebanyak dua atau
tiga kali lipat. Kebutuhan zat besi janin yang paling besar terjadi
selama empat minggu terakhir dalam kehamilan, dan kebutuhan ini
akan terpenuhi dengan mengorbankan kebutuhan ibu (Padmi, 2018).
Kebutuhan zat besi selama kehamilan tercukupi sebagian
karena tidak terjadi menstruasi dan terjadi peningkatan absorbsi besi
dari diet oleh mukosa usus walaupun juga bergantung hanya pada
cadangan besi ibu. Zat besi yang terkandung dalam makanan hanya
diabsorbsi kurang dari 10% dan diet biasa tidak dapat mencukupi
kebutuhan zat besi ibu hamil. Kebutuhan zat besi yang tidak terpenuhi
selama kehamilan dapat menimbulkan konsekuensi anemia defisiensi
besi sehingga dapat membawa pengaruh buruk pada ibu maupun janin.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan dan
persalinan (Padmi, 2018).
33

2.4.8 Dampak Anemia


Anemia dapat menyebabkan berbagai dampak buruk pada
rematri dan WUS, diantaranya:
1. Menurunkan daya tahan tubuh sehingga penderita anemia mudah
terkena penyakit infeksi
2. Menurunnya kebugaran dan ketangkasan berpikir karena
kurangnya oksigen ke sel otot dan sel otak.
3. Menurunnya prestasi belajar dan produktivitas kerja/kinerja.
Dampak anemia pada rematri dan WUS akan terbawa hingga
dia menjadi ibu hamil anemia yang dapat mengakibatkan :
1. Meningkatkan risiko Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT),
prematur, BBLR, dan gangguan tumbuh kembang anak
diantaranya stunting dan gangguan neurokognitif.
2. Perdarahan sebelum dan saat melahirkan yang dapat mengancam
keselamatan ibu dan bayinya.
3. Bayi lahir dengan cadangan zat besi (Fe) yang rendah akan
berlanjut menderita anemia pada bayi dan usia dini.
4. Meningkatnya risiko kesakitan dan kematian neonatal dan bayi.
(kementerian Kesehatan RI, 2018)
Anemia dalam kehamilan dapat memberikan pengaruh buruk
terhadap janin, meskipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai
kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi
kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan janin dalam rahim. Gangguan tersebut dapat
mengakibatkan persalinan prematur, bayi berat lahir rendah, dan
kelahiran dengan anemia (Fatmasari, 2013).
Pengaruh anemia dalam kehamilan dapat berakibat fatal jika
tidak segera diatasi, diantaranya dapat menyebabkan keguguran,
partus prematus, partus lama, atonia uteri, dan menyebabkan
perdarahan serta syok. Pengaruh anemia terhadap hasil konsepsi
34

diantaranya dapat menyebabkan keguguran, kematian janin dalam


kandungan, kematian janin waktu lahir, kematian perinatal tinggi,
prematuritas, dan cacat bawaan (Hariati, 2019).
Ibu hamil yang mengalami anemia gizi besi rentan terhadap
kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir kurang. Hal ini karena
selama kehamilan dibutuhkan peningkatan produksi sel darah merah
yang komposisinya relatif pada lingkungan hypoxintrauterine dan
suplai oksigen ke janin yang dibutuhkanuntuk perkembangan. Zat besi
yang adekuat dibutuhkan pada perjalanan melintasi plasenta untuk
memastikan kelahiran sesuai dengan usia kehamilan penuh. Zat besi
juga dibutuhkan untukpertumbuhan postnatal pada peningkatan sel
darah merah dan sebagai unsur pembangun masa tubuh bayi
(Widyaningrum, 2018).
2.4.9 Cara Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Rematri dan
WUS
Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia dilakukan
dengan memberikan asupan zat besi yang cukup ke dalam tubuh untuk
meningkatkan pembentukan hemoglobin. Upaya yang dapat dilakukan
adalah:
1. Meningkatkan asupan makanan sumber zat besi Meningkatkan
asupan makanan sumber zat besi dengan pola makan bergizi
seimbang, yang terdiri dari aneka ragam makanan, terutama
sumber pangan hewani yang kaya zat besi (besi heme) dalam
jumlah yang cukup sesuai dengan AKG. Selain itu juga perlu
meningkatkan sumber pangan nabati yang kaya zat besi (besi non-
heme), walaupun penyerapannya lebih rendah dibanding dengan
hewani. Makanan yang kaya sumber zat besi dari hewani
contohnya hati, ikan, daging dan unggas, sedangkan dari nabati
yaitu sayuran berwarna hijau tua dan kacang-kacangan. Untuk
meningkatkan penyerapan zat besi dari sumber nabati perlu
35

mengonsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C, seperti


jeruk, jambu. Penyerapan zat besi dapat dihambat oleh zat lain,
seperti tanin, fosfor, serat, kalsium, dan fitat.
2. Fortifikasi bahan makanan dengan zat besi Fortifikasi bahan
makanan yaitu menambahkan satu atau lebih zat gizi kedalam
pangan untuk meningkatkan nilai gizi pada pangan tersebut.
Penambahan zat gizi dilakukan pada industri pangan, untuk itu
disarankan membaca label kemasan untuk mengetahui apakah
bahan makanan tersebut sudah difortifikasi dengan zat besi.
Makanan yang sudah difortifikasi di Indonesia antara lain tepung
terigu, beras, minyak goreng, mentega, dan beberapa snack. Zat
besi dan vitamin mineral lain juga dapat ditambahkan dalam
makanan yang disajikan di rumah tangga dengan bubuk tabur gizi
atau dikenal juga dengan Multiple Micronutrient Powder.
3. Suplementasi zat besi Pada keadaan dimana zat besi dari makanan
tidak mencukupi kebutuhan terhadap zat besi, perlu didapat dari
suplementasi zat besi. Pemberian suplementasi zat besi secara rutin
selama jangka waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kadar
hemoglobin secara cepat, dan perlu dilanjutkan untuk
meningkatkan simpanan zat besi di dalam tubuh.
Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) pada rematri dan WUS
merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk
memenuhi asupan zat besi. Pemberian TTD dengan dosis yang
tepat dapat mencegah anemia dan meningkatkan cadangan zat besi
di dalam tubuh
2.4.10 Tata Laksana
A. Tata Laksana Umum
1. Apabila diagnosis Anemia telah ditegakkan lakukan
pemeriksaan apusan darah tepi untukmelihat morfologi untuk
sel darah merah.
36

2. Bila pemeriksaan apusan tepi sel darah merah tidak tersedia,


Berikan suplementsi besi dan asam folat. Tablet yang saat ini
yang banyak tersedia di puskesmas berisi 60 mgbesi elemental
dan 250 µg asam folat. Pada ibu hamil dengan anemia, tablet
tersebut dapat diberika 3 kali sehari. Bila dalam 90 hari terlihat
perbaikan, lanjutkan pemberian selama 42 hari pasca salin.
Apabila setelah 90 hari tidak ada perbaikan atau tidak
meningkat rujuk pasien ke fasilitas Kesehatan ke yang lebih
tinggi untuk mencari penyebab anemia.
B. Tata Laksana Khusus
1. Bila tersedia fasilitas pemeriksaan penunjang, tentukan
penyebab anemia berdasarkan hsil pemeriksaan darah perifer
lengkap dan apus darah tepi.
2. Anemia mikroskopik hipokrom dapat ditemukan dalam
keadaan :
 Defisiensi besi : lakukan pemeriksaan ferittin. Apabila
ditemukan kadar ferittin < 15 ng/ml, berikan terapi besi
dengan dosi setara 180 mg besi elemental perhari. Apabila
kadar ferittin normal lakukan pemeriksaan SI dan TIBC.
 Thalassemia : pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu
dilakukan tatalaksana Bersama dokter spesialis penyakit
dalam untuk perawatan yang lebih spesifik.
3. Anemia normositik normokrom dapat ditemukan dalam
keadaan :
 Perdarahan : tanyakan Riwayat dan cari tanda dan gejala
aborsi , mola, kehamilan ektopik atau perdarahan pasca
salin.
 Infeksi kronik
4. Anemia makrositik hiperkrom dapata ditemukan pada keadaan
: defisiensi asam folat dan vitamin B12 : berikan asam folat 1
37

x 2 mg dan vitamin B 12 1 x 250 µg – 1000 µg.


5. Tranfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan kondisi
berikut :
 Kadar Hb < 7 gr% atau kadar hematokrit < 20%
 Kadar Hb > 7 gr% dengan keluhan pusing , pandangan
berkunang kunang atau takhi kardi (frekuensi denyut nadi
> 100x permenit ).
6. Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin
dengan memantau tinggi fundus, melakukan pemeriksaan
USG dan memeriksa denyut jantung bayi secara berkala.
(Kementerian Kesehatan RI, 2018).

2.5 Infeksi Menular Seksual


2.5.1 Pengertian
Infeksi menular seksual didefinisikan sebagai suatu akibat yang
ditimbulkan karena aktivitas seksual yang tidak sehat sehingga
menyebabkan timbulnya penyakit menular bahkan pada beberapa kasus
PMS membahayakan. Pertama kali penyakit ini dinamakan penyakit
kelamin atau veneral disease tetapi sekarang sebutannya yang paling tepat
adalah penyakit hubungan seksual atau Sexually Transmitted Disease atau
secara umum disebut penyakit menular seksual (Marmi, 2014)
Penyakit menular seksual atau Infeksi menular seksual adalah
infeksi yang menular melalui hubungan intim. Penyakit ini umumnya
ditandai dengan ruam atau lepuh, keputihan.
Ada banyak jenis penyakit menular seksual, di
antaranya chlamydia, gonore, sifilis, herpes, HPV, dan HIV. Sesuai
namanya, penyakit menular seksual menyebar melalui hubungan intim,
baik secara vaginal, anal (melalui dubur), atau oral (melalui mulut).
Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah atau berbagi pakai
jarum suntik dengan penderita.Jika dibiarkan, infeksi menular seksual
38

dapat menyebabkan komplikasi berupa kemandulan hingga kanker


leher rahim. Apabila terjadi pada ibu hamil, penyakit menular seksual
dapat menyebabkan keguguran atau bayi lahir cacat.
2.5.2 Gejala Gejala IMS
IMS seringkali tidak menampakan gejala, terutama pada Wanita
namun adapula IMS yang menunjukan gejala gejala umum sebagai
berikut :
 Keluarnya cairan dari vagina , penis atau dubur yang bebeda dari
biasanya. Pada Wanita terjadi peningkatan keputihan. Warnanya
bisa jadi lebih putih, kekuningan, kehijauan atau ke merah mudaan.
Keputihanan bisa memiliki bau yang tidak sedap dan berlendir.
 Rasa perih, nyeri atau panas saat kencing ayau setelah kencing atau
menjadi sering kencing.
 Adanya luka terbuka, luka basah disekitar kemaluan atau sekitar
mulut (nyeri ataupun tidak)
 Tumbuh jengger ayam atau kutil disekitar alat kelamin , tonjolan
tonjolan kecil atau lecet disekitar alat kelamin.
 Gatal gatal disekitar alat kelamin.
 Terjadi pembengkakan kelenjar limfa yang terdapat pada lipatan
paha,
 Pada pria, kanung pelir menjadi bengkak, kemerahan dan nyeri
 Pada Wanita, sakit perut bagian bawah yang kambuhan (tetapi tidak
ada hubungannya dengan haid), vagina bengkak dan kemerahan ,
perdarahan diluar siklus haid.
 Sakit saat berhubungan sex.
 Mengeluarkan darah saat berhubungan sex dan,
 Secara umum merasa tidak enak badan, lemah, kulit menguning,
nyeri disekujur tubuh atau demam.(Marmi, 2014. Departemen
Kesehatan RI, 2008).
39

2.5.3 Pencegahan IMS


Pencegahan penyebarluasan IMS hanya dapat dilakukan dengan cara :
 Hindari sexs bebas, tidak melakukan hubungan sexs (abstinensi).
 Bersikap saling setia, tidak berganti ganti pasangan
sexs(monogami).
 Cegah dengan memakai kondom, tidak melalukan sexs
berisiko(harus selalu menggunakan kondom).
 Tidak saling meminjamkan pisau cukur dan gunting kuku,
 Edukasi, saling bebagi informasi mengenai HIV atau AIDS dan
IMS.
2.5.4 Penularan IMS
A. Penularan IMS dapat melalui hubungan seks yang tidak aman :
1. Hubungan sexs lewat liang senggama tanpa kondom (zakar
masuk ke vagina atau liang senggama).
2. Hubungan seks lewat dubur tanpa kondom (zakar masuk ke
dubur)
3. Seks oral (zakar di masukan ke mulut tanpa ditutupi kondom)
B. Penularan IMS dapat juga terjadi dengan cara lain yaitu : Melalui
darah :
1. Transfuse darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV.
2. Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba,
3. Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja ataupun
tidak sengaja,
4. Menindik telinga atau tao dengan jarum yang tidak steril,
5. Penggunakan alat pisau cukur secara Bersama-sama (khususnya
jika terluka dan menyisakan darah pada alat)
C. Pada ibu hamil kepada bayi : bisa terjadi saat hamil, saat
melahirkan dan saat menyusui.
40

2.5.5 Jenis jenis Infeksi Menular Seksual Berdasarkan Penyebab nya.


A. Penyebab bakteri : bacterial vaginosis (BV) – not officially an STD
but affected by sexual activity, chancroid (ulkus mole),
Donovanosis (granuloma inguinale or calimmatobacterium
granulomatis), gonorrhea ( GO atau kencing nanah ) Klamidia,
Lymphogranuloma venereum(LGV) (Chlamidia thracomatis
serotypes L1,L2,L3), non gonococcal urethritis (NGU) , shypilis,
sipilis Raja Singa.
B. Penyebab fungi atau jamur : Thricophyton rubrum, Candidiasis ,
yeast infection.
C. Penyebab virus : Adenoma viruses, cervical cancer, kanker serviks.
condilomata akuminata, jengger ayam, Hepatitis A, Hepatitis B,
hepatitis C hepatitis E ( tranmisi via fecal oral), Herpes simpleks-
herpes 1,2 dan HIV atau AIDS, Human T-lymphotropic virus
(HTLV)- 1, Human T-lymphotropic virus (HTLV)- 2, Human
papilloma Virus (HPV), molluscum contagiosum virus (MCV). -
Herpes
D. Penyebab parasite : pubic lice, colloquially know as “crabs”
(phthirius pubis), scabies (sarcptes scabiei).
E. Penyebab protozoa : Trichomoniasis. (Marni 2014).
2.5.6 Macam macam penyakit menular seksual
A. Sifilis
1. Pengertian
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema
pallidum merupakan penyakit kronis yang bersifat sistemik.
41

Gambar 2 Penyakit Sifilis

2. Klasifikasi trafonema.
 Treponema pallidum sub spesies pallidum yang
menyebabkan sifilis
 Treponema pallidum sub spesies partenue yang
menyebabkan frambusia
 Travelling my pallidum sub spesies endemicum yang
menyebabkan bejel.
 Treponema caratium menyebabkan pinta
3. Gejala tahapan penyakit sifilis
A. Sifilis Primer
Tanda pertama sifilis primer adalah luka kecil, yang disebut
chancre. Luka muncul di tempat bakteri masuk ke
tubuh.Umumnya orang yang terinfeksi sifilis hanya
mengembangkan satu chancre, namun tak menutup
kemungkinan beberapa orang dapat mengembangkan
beberapa di antaranya.Chancre biasanya berkembang
sekitar tiga minggu setelah terpapar Banyak orang yang
menderita sifilis tidak memperhatikan chancre karena
42

biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, dan mungkin


tersembunyi di dalam vagina atau rektum. Chancre akan
sembuh dengan sendirinya dalam waktu tiga sampai enam
minggu
B. Sifilis sekunder
Sifilis jenis ini ditandai dengan munculnya ruam pada tubuh
dalam beberapa minggu setelah penyembuhan chancre
asli.Ruam yang mungkin dimulai pada organ intim tubuh
tetapi akhirnya menutupi seluruh tubuh, bahkan telapak
tangan dan telapak kaki.Ruam ini biasanya tidak gatal dan
bisa disertai dengan luka seperti kutil di mulut atau area
genital. Beberapa orang juga mengalami kerontokan
rambut, nyeri otot, demam, sakit tenggorokan dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Tanda dan gejala ini
dapat hilang dalam beberapa minggu atau berulang kali
datang dan pergi selama setahun.
C. Sifilis laten
Sifilislaen tidak menimbulkan gejala, tapi bakteri ada di
dalam tubuh penderita. Tahap laten dapat berlangsung
selama bertahun-tahun. Tanda dan gejala mungkin tidak
pernah kembali, atau penyakit dapat berkembang ke tahap
ketiga (tersier).
D. Sifilis tersier
Sekitar 15% hingga 30% orang yang terinfeksi sifilis yang
tidak mendapatkan pengobatan akan mengalami
komplikasi yang dikenal sebagai sifilis lanjut (tersier). Pada
tahap akhir ini, penyakit infeksi sifilis dapat merusak otak,
saraf, mata, jantung, pembuluh darah, hati, tulang, dan
persendian.
43

D. Gonore
a) Pengertian
Gonore, atau yang dikenal juga dengan kencing nanah,
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang bersifat
diplococcus. Bakteri ini dapat memasuki selaput lendir yang
utuh dan berkembang biak intra dan subepitel.
Infeksi terjadi oleh koitus dengan pria yang mengandung
Neisseria gonorrhoeae Neisseria gonorrhoeae dalam alat
kelamin nya atau saluran kencingnya. Jarang sekali terjadi
infeksi dengan perantara alat, handuk dan lain lain.

Gambar 3 Bakteri Neisseria Gonnorhoeae


b) Gejala
a. Pada koitus maka ejakulat yang mengandung gonococcus
berhubungan dengan vulva, vagina dan portio. Gonococcus
dapat memasuki muara uretra, saluran bartholini, canalis
cervikalis dan rectum.
b. Pada Wanita biasa nya tidak sanggup memasuki selaput
lendir epitel gepeng berlapis banyak dari vulva dan vagina.
Hanya anak anak . pada Wanita tua dan dalam kehamilan
dapat menimbulkan vaginitis dan vulvutis. Mula mula
terjadi infeksi rendah , tetapi sesudah menstruasi, abortus
persalinan, kuman tersebut dapat naik keatas dan
menimbulkan infeksi tinggi.
44

c. Beberapa jam setelah koitus maka Maka pada wanita yang


kena infeksi GO timbul perasaan panas waktu kencing
disebabkan radang uretra dan kelenjar parauretralis
kemungkinan infeksi di tempat-tempat ini terutama terjadi
pada Virgo karena introitusnya sempit sehingga emission
penis agak sukar
d. Kalau serviks yang terserang yang terutama terjadi pada
multipara karena introtusnya longgar maka setelah
beberapa hari timbul telur yang bersifat nanah dan berwarna
hijau kuning telur ini kemudian dapat menginfeksi uretra
dan kelenjar para uretralis.
e. Kalau radang naik maka terjadi endometritis gonorrhoika
salvinitis gonorrhoica dengan dengan gejala sakit di perut
bagian bawah demam tinggi dan gejala perangsangan
peritonium lainnya biasanya tertutup sehingga peritonitis
gonoreka jarak terjadi selanjutnya dapat terjadi pyosalping
dan tuba ovarial abses.
f. Pada anak-anak dapat terjadi vaginitis gonorrhoica
infantum sedang pada wanita dalam menopause dapat
terjadi vaginitis gonorrhoika senilis.
g. Kalau flour berlangsung lama data terjadi kondilomata
akuminate pada vagina vulva dan sekitarnya.
h. Anak yang lahir dari ibu yang menderita gonorrhoicka
dapat menderita konjungtivitis gonorrhoicka yang dulu
merupakan sebab penting dari kebutaan dengan profilaksi
dari crede infeksi ini dapat dicegah.
c) Diagnose
Wanita yang mengeluh tentang perasaan panas waktu
kencing harus diperiksa alat kemaluannya biasanya terdapat
kemerahan pada sekitar orifisium uretrae dan pada muara
45

kelenjar bartholin dari uretra terlihat keluarnya sekret bernanah


terutama kalau uretra dipijat dengan jari dari atas ke bawah.
Dalam vagina terdapat banyak telur yang berwarna
hijau kuning dan dari serviks yang berwarna merah menyala
keluar nanah dengan lidi waton yang steril dibuat sediaan apus
dari secret uretra dan serviks dengan diwarnai secara gram.
Kalau terdapat diplococcus seperti buah kopi yang letaknya
intraseluler maka besar kemungkinan GO yang kita hadapi.
Kadang-kadang untuk diagnosa pasti diperlukan pembiakan
gonore dapat menjadi kronis tetapi tidak menimbulkan
kekebalan diagnosa gonore yang menahun hanya dapat
ditegakkan dengan pembiakan.
d) Diagnosis dan pengobatan
Diagnosis penyakit gonore didasarkan pada hasil
pemeriksaan mikroskopi terhadap nanah dimana ditemukan
bakteri penyebab gonore jika pada pemeriksaan mikroskopik
tidak ditemukan bakteri maka dilakukan pembiakan di
laboratorium.konore biasanya diobati dengan suntikan tunggal
septriaxone intramuscular melalui otot atau dengan pemberian
antibiotik peroral atau melalui mulut selama 1 minggu biasanya
diberikan doksisiklin. Jika gonore telah menyebar melalui aliran
darah biasanya penderita dirawat di rumah sakit dan
mendapatkan antibiotik intravena melalui pembuluh darah atau
infus.
E. Human papillomavirus (HPV)
1. Pengertian
Infeksi menular seksual ini disebabkan oleh virus
dengan nama yang sama, yaitu HPV. Virus HPV dapat menular
melalui kontak langsung atau hubungan seksual dengan
penderita. Pada perempuan, virus HPV dapat
46

menyebabkan kutil kelamin hingga kanker leher rahim (kanker


serviks). Sebagian besar infeksi HPV tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala. Namun, diperkirakan sekitar 70% dari
kasus kanker serviks di dunia disebabkan infeksi virus ini
2. Penyebab dan factor risiko HPV
Virus HPV hidup dalam sel permukaan kulit yang masuk
melalui luka di kulit. Penyebaran infeksi HPV dapat terjadi
melalui kontak langsung dengan kulit penderita. Sebagian
besar virus HPV menimbulkan kutil di kulit, sedangkan
sebagian lainnya dapat memasuki tubuh melalui hubungan
seksual. Ibu hamil juga bisa menularkan virus ini pada bayinya
saat persalinan. Ada beberapa kondisi yang dapat
meningkatkan risiko infeksi virus HPV, yaitu:
 Sering berganti pasangan seksual
 Memiliki daya tahan tubuh yang lemah
 Memiliki luka terbuka di kulit
 Menderita penyakit menular seksual,
seperti gonore atau chlamydia
 Berhubungan seksual secara anal (melalui dubur)
3. Gejala
Berikut ini adalah ciri-ciri kutil di kulit sesuai dengan area
tumbuhnya:
a. Kutil di bahu, lengan, dan jari tangan
Kutil yang tumbuh di area ini berbentuk benjolan yang
terasa kasar dan dapat terasa sakit serta rentan mengalami
perdarahan.
b. Kutil di telapak kaki (plantar wardst) kutil di telapak kaki
berbentuk bejolan keras dan terasa kasar sehingga
menimbulkan rasa tidak nyaman saat menapak.
c. Kutil di daerah wajah , kutil di wajah memiliki permukaan
47

yang datar (flat warts). Pada anak-anak, kutil di wajah lebih


sering muncul di daerah rahang bawah.
d. Kutil kelamin. Berbentuk seperti kembang kol dan bisa
tumbuh pada kelamin wanita atau laki-laki. Selain di
kelamin, kutil juga bisa tumbuh di dubur dan menimbulkan
rasa gatal.
4. Diagnosa.
Infeksi HPV dapat dilihat melalui munculnya kutil di kulit.
Namun, seperti telah disebutkan di atas, kutil bisa saja tidak
tumbuh di kulit.
Infeksi HPV pada kelamin wanita berisiko menyebabkan
kanker leher rahim atau kanker serviks. Untuk melihat adanya
infeksi HPV yang berisiko mengakibatkan kanker serviks,
dokter dapat melakukan pemeriksaan berikut:
a. Tes inspeksi visual asam asetat (IVA)
Prosedur IVA dilakukan dengan meneteskan cairan khusus
asam asetat pada area kelamin. Jika mengalami infeksi
HPV, warna kulit akan berubah menjadi putih.
b. Pap smear
Pap smear bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi
serviks yang mengarah pada kanker akibat infeksi
HPV. Pap smear dilakukan dengan mengambil sampel sel
serviks untuk selanjutnya diperiksa di laboratorium.
c. Tes HVP DNA
Tes HPV DNA dilakukan untuk mendeteksi adanya unsur
genetik (DNA) dari virus HPV yang berisiko tinggi
menimbulkan kanker serviks.
48

5. Pengobatan
Sebagian besar kasus HPV dapat hilang dengan sendirinya
tanpa diobati. Namun, bagi yang telah terdiagnosis mengalami
infeksi HPV, terutama wanita yang mengalami kutil kelamin,
a. Dokter Kandungan akan menganjurkan pemeriksaan
kembali dalam waktu 1 tahun.
b. Kunjungan ulang ke dokter ini bertujuan untuk
mengetahui apakah penderita masih terinfeksi HPV dan
adakah perubahan sel pada serviks (leher rahim) yang
berisiko menimbulkan kanker serviks.
c. Sedangkan untuk mengobati kutil yang muncul akibat
infeksi HPV, tindakan yang dapat dilakukan oleh dokter
adalah:
d. Pemberian obat oles.
e. Untuk kutil di kulit, dokter dapat memberikan obat oles
yang berisi asam salisilat. Asam salisilat sebagai obat
kutil kelamin berfungsi mengikis lapisan kutil secara
bertahap.
f. Pengangkatan kutil. Jika obat oles tidak berhasil
menghilangkan kutil,.
6. Komplikasi
Meski demikian, upaya penanganan wajib dilakukan. Jika
tidak ditangani dengan baik, infeksi HPV dapat menyebabkan
komplikasi berupa:
a. Luka di mulut dan saluran pernapasan atas
Luka ini dapat timbul di lidah, tenggorokan, laring, atau
hidung.
b. Kanker
Beberapa jenis kanker yang dapat timbul adalah kanker
serviks, kanker anus, dan kanker pada saluran pernapasan
49

atas. Perlu diketahui, gejala kanker serviks pada stadium


awal biasanya tidak khas, bahkan bisa tidak bergejala
sama sekali.
c. Gangguan kehamilan dan persalinan. Komplikasi ini bisa
terjadi pada Wanita hamil
yang menderita infeksi HPV dengan kutil kelamin. Selain
itu, infeksi HPV juga berisiko menyebabkan kondisi lain,
seperti erosi serviks.
Perubahan hormon dapat membuat kutil kelamin menyebar
dan menghalangi jalan lahir. Pada beberapa kasus, kutil
tersebut juga dapat mengalami perdarahan dan menularkan
infeksi HPV ke bayi saat dilahirkan.
7. Pencegahan HPV
Langkah utama untuk mencegah infeksi HPV adalah
melakukan vaksinasi HPV. Vaksin HPV menjadi salah satu
vaksin wajib dalam program imunisasi nasional, untuk
mencegah infeksi HPV yang bisa menyebabkan kanker
serviks. Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan, berikut ini
adalah anjuran pemberian vaksin HPV:
a. Anak perempuan usia di bawah 9–13 tahun dianjurkan
untuk menjalani dua kali vaksinasi HPV dengan selang
waktu 12 bulan
b. Perempuan usia di atas 13–45 tahun disarankan untuk
menjalani tiga kali vaksinasi HPV, dengan jarak waktu 2
bulan antara vaksinasi pertama dan kedua, serta 6 bulan
antara vaksinasi kedua dan ketiga
Perlu diketahui, pemberian vaksin ini digratiskan khusus bagi
anak perempuan usia 9–13 tahun. Pemberian vaksin dilakukan
tiap bulan Agustus melalui program Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
50

Tidak hanya pada wanita, vaksinasi juga perlu dilakukan pada


pria untuk mencegah penyebaran HPV. Pria dan wanita usia
27–45 tahun yang belum pernah menerima vaksin HPV juga
dapat melakukan vaksinasi yang berjenis 9-valen.
F. HIV
1. Pengertian
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus
yang menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia( Kementrian Kesehatan RI,
2020).Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis
virus yang menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan
turunnya kekebalan tubuh manusia.
2. Gejala HIV/AIDS
A. Stadium 1
Fase ini disebut sebagai infeksi HIV asimtomatik dimana
gejala HIV awal masih tidak terasa. Fase ini belum masuk
kategori sebagai AIDS karena tidak menunjukkan gejala.
Apabila ada gejala yang sering terjadi adalah
pembengkakan kelenjar getah bening di beberapa bagian
tubuh seperti ketiak, leher, dan lipatan paha. Penderita
(ODHA) pada fase ini masih terlihat sehat dan normal
namun penderita sudah terinfeksi serta dapat menularkan
virus ke orang lain.
B. Stadium 2
Daya tahan tubuh ODHA pada fase ini umumnya mulai
menurun namun, gejala mulai muncul dapat berupa:
1) Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Penurunan ini dapat mencapai kurang dari 10 persen dari
berat badan sebelumnya
51

2) Infeksi saluran pernapasan seperti siunusitis, bronkitis,

radang telinga tengah (otitis), dan radang tenggorokan


3) Infeksi jamur pada kuku dan jari-jari

4) Herpes zoster yang timbul bintil kulit berisi air dan

berulang dalam lima tahun


5) Gatal pada kulit

6) Dermatitis seboroik atau gangguan kulit yang


menyebabkan kulit bersisik, berketombe, dan berwarna
kemerahan
7) Radang mulut dan stomatitis (sariawan di ujung bibir)

yang berulang
C. Stadium 3
Pada fase ini mulai timbul gejala-gejala infeksi primer yang
khas sehingga dapat mengindikasikan diagnosis infeksi
HIV/AIDS. Gejala pada stadium 3 antara lain:
1) Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan
tanpa penyebab yang jelas
2) Penurunan berat badan kurang dari 10% berat badan
sebelumnya tanpa penyebab yang jelas
3) Demam yang terus hilang dan muncul selama lebih dari
satu bulan
4) Infeksi jamur di mulut (Candiasis oral)
5) Muncul bercak putih pada lidah yang tampak kasar,
berobak, dan berbulu
6) Tuberkulosis paru
7) Radang mulut akut, radang gusi, dan infeksi gusi
(periodontitis) yang tidak kunjung sembuh
8) Penurunan sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit
52

D. Stadium 4
Fase ini merupakan stadium akhir AIDS yang ditandai
dengan pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh dan
penderita dapat merasakan beberapa gejala infeksi
oportunistik yang merupakan infeksi pada sistem kekebalan
tubuh yang lemah. Beberapa gejala dapat meliputi:
1) Pneumonia pneumocystis dengan gejala kelelahan berat,
batuk kering, sesak nafas, dan demam
2) Penderita semakin kurus dan mengalami penurunan
berat badan lebih dari 10%
3) Infeksi bakteri berat, infeksi sendi dan tulang, serta
radang otak
4) Infeksi herpes simplex kronis yang menimbulkan
gangguan pada kulit kelamin dan di sekitar bibir
5) Tuberkulosis kelenjar
6) Infeksi jamur di kerongkongan sehingga membuat
kesulitan untuk makan
7) Sarcoma Kaposi atau kanker yang disebabkan oleh
infeksi virus human herpesvirus 8 (HHV8)
8) Toxoplasmosis cerebral yaitu infeksi toksoplasma otak
yang menimbulkan abses di otak
9) Penurunan kesadaran, kondisi tubuh ODHA sudah
sangat lemah sehingga aktivitas terbatas dilakukan di
tempat tidur
3. Diagnose
Apabila menyadari perilaku kita berisiko, segera melakukan
pemeriksaan ke dokter untuk mendapatkan penanganan.
Penanganan awal yaitu dengan diagnosa untuk mendeteksi
apakah seseorang tersebut terinfeksi HIV. Diagnosis HIV
53

ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis


pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
4. Pengobatan
Penderita yang telah terdiagnosis HIV harus segera
mendapatkan pengobatan berupa antiretroviral (ARV) yang
bekerja untuk mencegah virus HIV menggandakan diri dan
menghancurkan sel CD4. Pengobatan ini dapat digunakan untuk
ibu hamil agar mencegah penularan HIV ke janin. Namun perlu
diingat bahwa pengobatan ini harus dilakukan rutin dan
diminum sesuai jadwal, di waktu yang sama setiap hari agar
perkembangan virus dapat dikendalikan.
5. Cara Penularan
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh
dari orang yang terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu),
semen dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan dari
seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan persalinan.
Orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti
mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda
pribadi, makanan, atau air. (WHO, 2019)
6. Cara menghindari penularan HIV
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE”
sebagai berikut:
A = Abstinence
B = Be faithful
C = Condom
D = Drug No
E = Education
artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah. artinya Bersikap saling setia kepada satu
pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).(Gulardi, 2008).
54

Cegah penularan HIV Penularan HIV dapat dicegah melalui


langkah-langkah sebagai berikut:
 Saling setia terhadap pasangan, hindari berganti-ganti
pasangan
 Hindari penggunaan narkoba terutama melalui jarum suntik
 Edukasi HIV yang benar mengenai cara penularan,
pencegahan, dan pengobatannya, dapat membantu
mencegah penularan HIV di masyarakat.
G. Chlamydia
1. Pengertian
Chlamydia adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Jika tidak segera diobati,
chlamydia dapat meningkatkan risiko kemandulan, terutama pada
wanita. Chlamydia dapat dialami oleh pria atau wanita. Pada
pria, penyakit ini dapat menyerang saluran kencing (uretritis).
Sedangkan pada wanita, chlamydia bisa terjadi di organ
panggul.

Gambar 4 Bakteri Chlamydia

Selain organ kelamin, chlamydia dapat menyerang


dubur, tenggorokan, dan mata. Penularan terjadi bila bagian
tersebut terkena cairan yang dihasilkan oleh organ kelamin.
55

Chlamydia sering kali tidak menimbulkan gejala. Oleh


sebab itu, banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya telah
terinfeksi penyakit ini.
2. Penyebab
Chlamydia disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis,
yang menyebar melalui cairan pada organ kelamin. Seseorang
dapat tertular penyakit ini bila berhubungan seksual dengan
penderita, terutama bila tidak menggunakan kondom.
Selain hubungan seksual melalui vagina, chlamydia juga dapat
menular melalui hubungan seksual secara oral atau anal,
sehingga menyebabkan chlamydia pada tenggorokan atau
dubur.
Dilihat dari cara penularannya, chlamydia lebih mudah terjadi
pada orang-orang yang memiliki faktor risiko berikut:
 Pernah menderita penyakit menular seksual
 Sering bergonta-ganti pasangan seksual
3. Gejala
Chlamydia biasanya tidak menimbulkan gejala. Meski
demikian, penderita chlamydia tetap dapat menularkan
penyakit ini kepada orang lain. Bila muncul gejala, biasanya
baru terjadi 1–3 minggu setelah penderita terinfeksi.
Karena organ yang terinfeksi berbeda, gejala chlamydia pada
pria dan wanita juga bisa berbeda. Berikut ini adalah
penjelasannya:
A. Gejala chlamydia pada wanita:
 Keputihan yang sangat berbau
 Rasa terbakar ketika buang air kecil
 Sakit saat sedang berhubungan seksual dan dapat
mengalami perdarahan di vagina sesudahnya
56

Bila infeksi sudah menyebar, penderita akan merasakan


mual, demam, atau sakit pada perut bagian bawah.
B. Gejala chlamydia pada pria:
 Keluar cairan dari penis
 Luka di penis terasa gatal atau terbakar
 Rasa terbakar ketika buang air kecil
 Rasa sakit atau bengkak pada salah satu atau kedua
buah zakar
Baik pada pria maupun wanita, chlamydia yang
menginfeksi dubur akan menimbulkan sakit yang dapat
disertai dengan keluarnya cairan atau darah dari dubur.
C. Kapan harus ke dokter
Seseorang yang berisiko menderita chlamydia, misalnya
orang yang suka bergonta-ganti pasangan seksual dan tidak
menggunakan kondom, perlu menjalani skrining penyakit
chlamydia. Skrining dilakukan setiap tahun untuk
mendeteksi chlamydia atau penyakit menular
seksual lainnya. Pasangan dari penderita chlamydia juga
perlu diperiksa. Bila terkena chlamydia, baik penderita
maupun pasangannya harus segera diobati agar tidak
menularkan penyakit ini kepada orang lain.
Ibu hamil juga perlu menjalani skrining untuk mencegah
penularan chlamydia ke bayi. Skrining dilakukan saat
pemeriksaan kehamilan pertama kali dan pada trimester
ketiga.
Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif menderita
chlamydia, ibu hamil perlu diobati dan kontrol ke dokter
kandungan dalam waktu 3 minggu dan 3 bulan setelah
pengobatan.Tiga bulan sejak pengobatan, semua penderita
chlamydia perlu menjalani tes ulang. Hal ini diperlukan
57

karena seseorang yang menderita chlamydia lebih berisiko


untuk terinfeksi kembali.
4. Diagnose
Dokter akan menanyakan gejala yang dialami pasien dan
riwayat hubungan seksualnya, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik, terutama pada organ kelamin.
Untuk mendeteksi chlamydia, dokter akan mengambil sampel
urine dan sampel cairan dari organ kelamin pasien. Sampel
cairan kelamin diambil dengan mengusapkan cotton bud pada
organ kelamin.Selain di organ kelamin, pengusapan (swab) juga
dapat dilakukan di tenggorokan atau dubur, untuk mendeteksi
bakteri Chlamydia.
5. Pengobatan
Chlamydia dapat diobati dengan antibiotik,
seperti azithromycin atau doxycycline. Pasien perlu minum
antibiotik selama 7 hari, atau cukup minum antibiotik dosis
tunggal sesuai anjuran dokter. Penting untuk diingat, pasien
tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai 7 hari setelah
pengobatan selesai.
Ibu hamil yang menderita chlamydia perlu segera diobati
dengan antibiotik agar tidak menularkan penyakit ini ke janin
dan bisa melahirkan secara normal. Pengobatan chlamydia pada
ibu hamil baru dimulai setelah diagnosis dipastikan lewat
pemeriksaan laboratorium. Jika ibu hamil tetap berisiko terkena
chlamydia, akan dilakukan pemeriksaan ulang pada trimester
ketiga kehamilan. Bila hasilnya kembali positif, ibu hamil akan
diobati lagi. Bila ibu hamil masih menderita chlamydia saat
mendekati waktu persalinan, maka dokter akan menyarankan
persalinan dengan operasi caesar. Tujuannya adalah untuk
58

mengurangi risiko penularan chlamydia pada bayi yang


dilahirkan.
6. Komplikasi
1. Pada Wanita
Pada wanita, infeksi chlamydia yang tidak diobati dapat
menyebar ke rahim dan saluran telur (tuba falopi), sehingga
menyebabkan radang panggul atau pelvic inflammatory
disease (PID). Radang panggul dapat menyebabkan
kerusakan sistem reproduksi wanita secara permanen.
Kondisi ini bisa membuat penderita
mengalami kemandulan, nyeri berkepanjangan di daerah
panggul, dan kehamilan di luar rahim (kehamilan ektopik).
Wanita yang pernah terkena infeksi chlamydia lebih dari
satu kali akan lebih berisiko mengalami komplikasi yang
parah pada organ reproduksi.
D. Pada Laki-laki
Sementara pada pria, chlamydia biasanya tidak
menyebabkan komplikasi. Meski begitu, bakteri
chlamydia bisa menginfeksi saluran sperma (epididimis)
sehingga menimbulkan nyeri di testis dan perut bagian
bawah, serta menyebabkan demam dan kemandulan.
E. Pada Ibu Hamil dan Janin
Janin lebih berisiko lahir secara prematur, karena
chlamydia meningkatkan risiko ibu hamil
mengalami ketuban pecah dini. Bayi yang lahir dari
penderita chlamydia cenderung memiliki berat badan yang
rendah, serta berisiko terkena pneumonia dan trakhoma,
yaitu infeksi pada mata yang dapat menyebabkan kebutaan.
Pada pria dan wanita, infeksi chlamydia juga dapat
mengakibatkan radang sendi reaktif (reactive arthritis),
59

akibat reaksi tubuh terhadap infeksi. Chlamydia yang tidak


segera diobati akan memperbesar risiko penderita untuk
tertular penyakit gonore atau HIV/AIDS.
7. Pencegahan
Pencegahan chlamydia dapat dilakukan dengan tidak bergonta-
ganti pasangan seksual, menggunakan kondom dengan benar
saat berhubungan intim, dan rutin menjalani skrining
chlamydia. Penderita chlamydia perlu menghindari hubungan
seksual sampai diizinkan oleh dokter, untuk menghindari
penularan penyakit ke pasangannya.
Orang yang berisiko terinfeksi chlamydia perlu rutin menjalani
skrining chlamydia agar penyakit ini dapat dideteksi dan diobati
sejak dini sehingga risiko penularannya ke orang lain juga akan
lebih rendah.
Orang-orang yang berisiko terinfeksi chlamydia adalah:
 Ibu Hamil.
Ibu hamil perlu menjalani skrining chlamydia di awal
masa kehamilan dan trimester ketiga kehamilan.
 Pekerja seks komersial dan orang yang suka bergonta-ganti
pasangan, orang yang memiliki beberapa pasangan seksual
atau sering bergonta-ganti pasangan perlu menjalani
skrining chlamydia setidaknya 1 tahun sekali.
 Lelaki seks lelaki (LSL) dan biseksual
Kelompok LSL dan biseksual perlu menjalani skrining
chlamydia setidaknya 1 kali dalam setahun. Namun, bila
memiliki beberapa pasangan seksual, LSL dan biseksual
perlu menjalani skrining chlamydia lebih rutin, yaitu setiap
3 atau 6 bulan sekali.
60

H. Trikomoniasis
1. Pengertian
Trikomoniasis jenis penyakit menular seksual (PMS) yang
dapat menimbulkan berbagai gejala. Contohnya rasa gatal atau
perih, dan keluarnya cairan berbau tidak sedap dari bagian
intim. Penyakit ini dapat terjadi pada pria maupun wanita,
dengan risiko lebih tinggi pada wanita. Sementara itu, pria
dapat terkena penyakit ini dan menularkannya kepada pasangan
melalui hubungan intim. Trikomoniasis disebabkan oleh parasit
yang disebut Trichomonas vaginalis (TV). Tidak semua
pengidap akan menunjukkan gejala. Sebagian orang yang
terinfeksi parasit ini tidak mengalami gejala apa pun.
2. Penyebab
Penyebab trikomoniasis yaitu parasit berukuran kecil
bernama Trichomonas vaginalis. Parasit ini biasanya
menyebar dan ditularkan melalui hubungan intim yang
dilakukan tanpa menggunakan kondom, atau saling berbagi
pemakaian alat bantu seksual. Meski demikian, trikomoniasis
ini tidak bisa ditularkan melalui hubungan intim oral, anal,
ciuman, dan berbagi peralatan makan atau peralatan pribadi
bersama.
3. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang
mengalami trikomoniasis, yaitu:
 Memiliki banyak pasangan seksual.
 Memiliki riwayat infeksi menular seksual lainnya.
 Berhubungan intim tanpa menggunakan kondom.
4. Gejala
Gejala trikomoniasis berkembang secara bertahap dalam
waktu kira-kira satu bulan setelah terjadi paparan. Pada
61

wanita, trikomoniasis memberi dampak pada vagina dan


saluran pembuangan urine atau uretra. Sedangkan pada pria,
trikomoniasis menyerang uretra, area penis seperti kulup dan
kelenjar prostat. Adapun gejala trikomoniasis yang umum
dialami oleh wanita, antara lain:
 Bagian perut bawah terasa sakit.
 Muncul rasa sakit atau tidak nyaman saat buang air kecil
atau berhubungan intim.
 Cairan vagina yang diproduksi dalam jumlah lebih banyak
dan bisa bertekstur kental, encer, atau berbusa. Keputihan
bisa berwarna kekuningan atau kehijauan dan berbau
amis.
 Timbul rasa nyeri, bengkak dan gatal di area kewanitaan.
Kadang gatal juga muncul di bagian paha dalam.
Sementara itu, gejala trikomoniasis yang bisa dialami oleh pria
meliputi:
 Frekuensi buang air kecil lebih sering dari biasanya, dan
disertai rasa sakit.
 Muncul cairan putih dari penis.
 Muncul rasa sakit, bengkak, dan kemerahan di area ujung
penis, bahkan dapat muncul saat ejakulasi.
5. Diagnose
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan
 Memeriksa organ intim pengidap.
 Mengambil sampel cairan vagina pada wanita atau urine
pada pria untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di
laboratorium.
 Dibutuhkan waktu selama beberapa hari sampai akhirnya
diperoleh hasil pemeriksaan laboratorium.
62

 Tetapi tes antigen dan amplifikasi asam nukleat lebih


umum digunakan untuk mendiagnosis trikomoniasis di
masa sekarang.
6. Pengobatan
Trikomoniasis ditangani dengan pemberian obat,
 Metronidazole. Obat tersebut bisa dikonsumsi sebanyak
satu kali sehari untuk dosis yang besar, bisa juga sebanyak
dua kali sehari untuk dosis yang lebih kecil selama kurang
lebih 5 sampai 7 hari.
 Guna mencegah terjadinya infeksi berulang, dokter juga
menganjurkan penanganan yang sama untuk pasangan
yang sudah melakukan hubungan seksual dengan
pengidap, tanpa harus melakukan pengambilan sampel.
 Dokter juga menyarankan pengidap untuk tidak
melakukan hubungan seksual selama menjalani
pengobatan, hingga dinyatakan sembuh sepenuhnya.
 Pengidap tetap perlu rutin melakukan pemeriksaan ke
dokter dalam waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah
menjalani perawatan. Hal ini dilakukan guna memastikan
bahwa pengidap tidak mengalami infeksi berulang.
7. Komplikasi
Wanita hamil yang terkena trikomoniasis mungkin akan
mengalami beberapa komplikasi berikut ini:
 Melahirkan sebelum waktunya atau prematur.
 Melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah.
 Menularkan infeksi tersebut pada bayi saat melahirkan.
 Membuat wanita lebih rentan terkena HIV.
8. Pencegahan
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah
trikomoniasis, antara lain:
63

 Tidak berganti-ganti pasangan seksual.


 Gunakan kondom saat berhubungan intim agar terhindar
dari penyakit menular seksual.
 Pastikan alat bantu seksual yang digunakan bersih dan
terbungkus kondom, serta hindari berbagi dengan orang
lain.
 Jika curiga telah terinfeksi, langsung hubungi dokter untuk
menjalani pemeriksaan.
I. Kondilomata Akuminata
a) Pengertian
Kondilomata Akuminata adalah Infeksi Menular Seksual yang
disebabkan Human Pappiloma virus risiko rendah terutama
HPV 6 dan 11.

Gambar 5 Kondiloma Akuminata

b) Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan hasil pengamatan visual
berupa lesi yang khas di daerah genitalia eksterna sewarna
kulit atau keabuan, Hiperkeratotik, eksopitik, dengan
permukaan yang tidak rata dan ukuran yang bervariasi .
c) Biopsi Dilakukan bila :
 Diagnosis Meragukan
 Lesi tidak berespon pada pengobatan Standar
64

 Penyakit memburuk selama pengobatan


 Pasien imunokompromais.
 Lesi kutil berpigmen, terdapat indurasi, terfiksasi , berdarah
atau terdapat ulkus.
d) Faktor Predisposisi
 Pasangan seksual multiple
 Memiliki infeksi menular seksual lainnya,
 Berhubungan seksual aktip sejak muda.
e) Tata Laksana
1. Tatalaksana umum tidak ada
2. Tata laksana khusus . pilihan terapi meliputi
 TCA 80-90 % dioleskan pada lesi seminggu sekali
 Bedah listrik atau elektrokauterisasi
 Krioterapi dengan nitrogen cair
 Krioterapi dengan CO2 padat
 Pembedahan (bedah Scapel).
 Persalinan dengan SC dapat Dipertimbangkan .
podofilin dikontra indikasikan pada ibu hamil karena
bersifat toksik pada janin.
J. Herpes genital
a) Pengertian
Herpes genital disebabkan oleh infeksi virus herpes simplex
(HSV). Virus ini bersifat tidak aktif atau bersembunyi di dalam
tubuh tanpa menyebabkan gejala. Penyebaran virus terjadi
melalui kontak langsung dengan pasangan yang telah terinfeksi.
Herpes kelamin atau herpes genital adalah penyakit menular
seksual pada pria dan wanita, yang ditandai dengan luka lepuh di
area kelamin.
65

Gambar 6 Herpes Genital

b) Gejala
Herpes genital sering kali tidak menimbulkan gejala. Jika
muncul, keluhannya adalah luka lepuh di area kelamin yang
disertai rasa sakit dan gatal. Gejala ini bisa kambuh beberapa
kali dalam setahun. Namun, seiring terbentuknya sistem
kekebalan tubuh terhadap virus herpes, frekuensi
kekambuhannya akan berkurang. Jika dibiarkan, herpes genital
atau herpes kelamin dapat menyebabkan komplikasi lain yang
berbahaya. Selain penyakit menular seksual lain, seperti HIV,
penderita herpes genital juga dapat terkena peradangan pada
ujung usus besar (rektum) atau kandung kemih.
c) Pengobatan
Penderita herpes genital perlu diberikan obat antivirus.
Pemberian obat ini bertujuan untuk memperpendek lama
kemunculan gejala dan mencegah penularan penyakit ini kepada
orang lain. Pencegahan herpes genital adalah dengan
melakukan hubungan seksual yang aman, misalnya dengan
tidak bergonta-ganti pasangan. (Pittara, 2022)
66

2.6 Riwayat KPD Sebelumnya


Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian
ketuban pecah dini dapat berpengaruh besar terhadap ibu jika menghadapi
kondisi kehamilan. Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah
akibat penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah preterm. Wanita yang
pernah mengalami KPD pada kehamilan menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya akan lebih berisiko dari pada wanita yang tidak pernah
mengalami KPD sebelumnya karena komposisi membran yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya. (Ketut Surya Negara, 2017).
67

2.7 Kerangka Teori

Faktor Ibu
1. Usia
2. Paritas
3. Umur
Kehamilan
4. Anemia
5. Infeksi menular
Seksual
6. Riwayat KPD
sebelumnya
7. Pendidikan
8. Servik
Inkompeten
9. Korio amnio
sinteris

Faktor Janin
1. Kelainan letak Ketuban Pecah
2. Gemeli
Dini
3. Makrosomia

Faktor Lain
1. Merokok
2. Sosial Ekonomi
3. Trauma

Gambar. Modifikasi Kerangka Teori


(Sumber: 1.Cunningham, 2014, 2. Myles, 2011, 3. Manuaba 2012 )
68

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan yakni observasional analitik dengan
pendekatan. Observasional analitik adalah penelitian yang mencari hubungan
antara variabel yang satu dengan variabel lainnya. Jenis penelitian ini adalah
observasional menggunakan rancangan cross sectional dengan pendekatan
kuantitatif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh
antara variabel satu dengan variabel lain (Susila dan Suyanto, 2014). Studi
cross sectional adalah variabel bebas (faktor risiko) dan variabel tergantung
(efek) diobservasi secara bersamaan hanya satu kali (Susila dan Suyanto,
2014). Cross sectional adalah sebagai suatu penelitian untuk mempelajari
suatu dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dan dengan
suatu pendekatan, observasi ataupun dengan teknik pengumpulan data pada
suatu waktu tertentu (point time approach) (Notoatmodjo (2018).
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis
hubungan antara umur kehamilan, Anemia, Infeksi menular seksual dan
Riwayat KPD sebelumnya.

3.2 Kerangka Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka yang telah
disampaikan sebelumnya memberikan arahan pada pengembangan kerangka
konsep disamping itu mengembangkan pula karakteristik hubungannya dengan
kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin adalah Umur kehamilan,
Anemia, IMS dan Riwayat KPD sebelumnya karakteristik tersebut diharapkan
dapat mengetahui hubungan Faktor ibu dengan kejadian ketuban pecah dini
pada ibu bersalin RSUD Oto Iskandar Di Nata.
69

1. Umur kehamilan.
2. Anemia
Ketuban Pecah Dini
3. IMS
4. Riwayat KPD
sebelumnya

3.3 Variabel Penelitian


Variabel adalah suatu ukuran, sifat atau ciri yang berbeda dalam suatu
konsep yang digunakan dalam suatu penelitian (Notoadmojo, 2018).
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2019)
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Independen
Variabel Independen adalah Variabel bebas dapat dikatakan juga
sebagai variabel independen. Dinamakan variabel bebas karena variabel
ini memang bebas, maksudnya adalah dapat berdiri sendiri tanpa
dipengaruhi oleh variabel lainnya. Variabel ini juga dikatakan sebagai
variabel pengaruh karena akan memberikan pengaruh terhadap variabel
lainnya. Jadi biasanya variabel bebas ini terletak di depan di dalam suatu
judul penelitian. variabel resiko atau sebab (Notoadmojo, 2018).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah Umur
Kehamilan, Anemia, IMS dan Riwayat KPD sebelumnya.
2. Variabel Dependen
Variabel Dependen atau Variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas. Oleh sebab itu, variabel terikat juga
dikatakan sebagai variabel terpengaruh. Variabel terikat biasanya terletak
di akhir judul suatu penelitian. (Notoadmojo, 2018). Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah Ketuban Pecah Dini .
70

3.4 Definisi Operasional Variabel


No Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala
1 Ketuban Ketuban pecah dini Rekam 1. KPD Ordinal
pecah dini adalah pecahnya Medis 2. Tidak KPD
selaput ketuban
sebelum terjadinya
kelahiran. yang
sudah di diagnosa
tercatat dalam
rekam medis
2 Umur Umur kehamilan Rekam 1. Risiko tinggi Ordinal
kehamilan dihitung dari Medis (Umur
HPHT.tercatat kehamilan < 37
dalam data minggu )
subjektip di rekam 2. Risiko Rendah
medis. (umur
kehamilan ≥ 37
minggu )
3 Anemia Kadar hemoglobin Rekam 1. Anemia Ordinal
ibu yang Medis 2. Tidak anemia
didapatkan dari
data objektip
diperiksa oleh Lab
RSUD Oto
Iskandar di nata
atau tercatat pada
Rekam Medis
pasien
4 IMS Terdapat penyakit Rekam 1. Risiko Tinggi Ordinal
infeksi menular Medis (jika ibu
seksual yang Menderita IMS
tercatat dalam 2. Risiko Rendah
hasil laboratorium (Jika tidak ibu
dan dicatat dalam Menderita
diagnose di rekam IMS)
medis pasen
5 Riwayat Pengalaman KPD Rekam 1. Ya Ordinal
KPD pada persalinan Medis 2. Tidak
sebelumnya sebelumnya yang
dilihat dari catatan
rekam medis
71

3.5 Populasi dan Sampel


3.5.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Morgan G, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu bersalin yang melahirkan Di RSUD Oo Iskandar Di Nata
Dengan KPD yang tercatat dalam rekam medis RSUD Otto Iskandar
Di Nata tahun 2020-2021 yang seluruhnya berjumlah 574 orang.
3.5.2 Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih
dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya.
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang diambil dari
populasi (Sugiyono, 2008). Besarnya sampel dalam penelitian ini
menggunakan rumus slovin sebagai berikut :
𝑁
𝑛 = 1+𝑁𝑒 2

Keterangan :
Dalam rumus tersebut, terlihat unsur-unsur rumus seperti n, N, dan e.
Berikut adalah penjelasannya:
 n adalah jumlah sampel yang dicari
 N adalah jumlah populasi
 e adalah margin eror yang ditoleransi 5 %
n= 574
1+(574x (0.05)2 )
= 574/ 2.435
= 235,728
= 236
Berdasarkan rumus diatas sampel didapatkan total sampel dalam
penelitian ini sebanyak 236 responden yang diambil dari data
rekam medis pasien .
72

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑲𝑷𝑫 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒙


𝑹𝒖𝒎𝒖𝒔 = 𝒙 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑲𝑷𝑫
Jumlah sampel .
No Tahun Jumlah KPD Jumlah Sampel
1 2020 266 266/574 x 236 = 109 sampel
2 2021 308 308/574 x 236 = 127 sampel

3.5.3 Tekhnik Pengambilan Sampling


Pengambilan sampel secara random atau acak disebut random
sampling, dan sampel yang diperoleh disebut sampel random. Teknik
random sampling ini hanya boleh digunakan apabila setiap unit atau
anggota populasi itu bersifat homogen atau diasumsikan homogen. Hal
ini berarti setiap anggota populasi itu mempunyai kesempatan yang
sama untuk diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2018).
1. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi
oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2018). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Ibu bersalin dengan diagnosa KPD yang di rawat di RSUD
Oto Iskandar Di Nata dan tercatat dalam buku register dan
catatan rekam medis.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2018). Kriteria eksklusi
dalam penelitian ini adalah :
1) Ibu bersalin yang mempunyai komplikasi penyakit yang lain.
2) Ibu dengan catatan rekam medis tidak lengkap.
73

3.6 Tekhnik pengumpulan data dan Prosedur Penelitian


3.6.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
Menurut Sugiyono (2018:456) data sekunder yaitu sumber data yang
tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya
lewat orang lain atau lewat dokumen. Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data sekunder adalah catatan Buku register dan rekam
medis ibu bersalin di RSUD Oto Iskandar Di Nata tahun 2020 -2021.
3.6.2 Cara Pengumpulan Data
1) Melihat buku register persalinan untuk mencari nomor rekam
medis seluruh ibu bersalin meliputi ibu bersalin yang terdiagnosa.
2) Mencari data rekam medis sesuai dengan daftar nomor rekam
medis yang diperoleh.
3) Melakukan skrining sampel berdasar kriteria inklusi dan eksklusi
4) Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan kriteria yang
sudah ditentukan
5) kemudian dilihat apakah terdapat ketuban pecah dini .
6) Memasukkan data pada lembar pengumpulan data.
3.6.3 Instrumen dan Bahan Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini lembar pengumpulan
data. Data yang diperoleh dari rekam medis RSUD Oto Iskandar Di
Nata kemudian dimasukkan dalam lembar pengumpulan data yang
berisi nomor, nomor rekam medis, Nama inisial, usia, alamat, diagnose,
status gravida, umur kehamilan, anemia/ tidak , IMS,
3.6.4 Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini adalah
1. Tahap Persiapan Penelitian
a. Mengurus dan menyerahkan surat izin studi pendahuluan ke
bagian diklat RSUD Oto Iskandar Di Nata
b. Melakukan studi pendahuluan di rekam medik RSUD Oto
Iskandar Di Nata
74

c. Membuat proposal penelitian


d. Mengurus ethical clereance
e. Mengurus dan menyerahkan surat izin penelitian ke Direktur
RSUD Oto Iskandar di nata
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a. Peneliti melihat jumlah ibu bersalin dan melihat nomor rekam
medis persalinan pasien di RSUD Oto Iskandar Di Nata
b. Nomor rekam medis yang telah diperoleh oleh peneliti
selanjutnya dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
oleh peneliti
c. Melakukan penelitian dari catatan rekam medis persalinan
pasien dengan memasukkan data yang diperlukan ke dalam
master tabel
3. Tahap Penyelesaian
a. Mengolah data dan mengintepretasikan hasil penelitian
b. Konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing dan revisi
hasil penelitian
c. Melakukan sidang penelitian, revisi hasil penelitian, dan
pengesahan hasil penelitian

3.7 Pengolahan dan Analisa Data


3.7.1 Pengolahan Data
Proses pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:
1. Seleksi data (Editing) Pada tahap ini dimaksudkan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap data yang dikumpulkan, memeriksa
kelengkapan data dan kesalahan.
2. Pemberian kode (Coding) Data yang sudah terkumpul kemudian di
edit dengan memberi kode pada tiap-tiap data untuk memudahkan
analisis data.
75

3. Transferring
Transfering yaitu memasukkan atau memindahkan data-data dimana
data tersebut sebelumnya sudah di koding ke dalam master tabel
dengan bantuan komputer sehingga mempermudah dalam
penjumlahan dan tabulasi.
4. Tabulating
Tabulating yaitu membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan
penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti. Tabulating dalam
penelitian ini adalah dengan membuat tabel-tabel kemudian didapat
hasil sesuai dengan tujuan peneliti.
3.7.2 Analisis Data
Data yang sudah diperoleh dari hasil data rekam medis akan
diolah menggunakan SPSS versi 22. Data yang diperoleh dalam peneitian
berupa data kuantitatif. Data yang telah terkumpul, diteliti dan dianalisis
secara komputerisasi yang meliputi analisis univariate dan analisis
bivariate.
1. Analisis Univariate
Analisis univariate digunakan untuk mendeskripsikan setiap
variabel dan menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari
setiap variabel. Analisis ini digunakan agar dapat memberikan
gambaran umum terhadap data hasil dari penelitian. Data akan
ditampilkan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi.
Distribusi frekuensi adalah penyusunan data ke dalam kelas-
kelas tertentu dimana setiap data dimasukkan kedalam salah satu kelas
tertentu (Pengelompokkan data). Tujuannya adalah untuk mengatur
data mentah yang acak (belum dikelompokkan) ke dalam bentuk yang
rapi dengan tetap mempertahankan informasinya
Analisis data yang diperoleh dari rekam medis pasien
dilakukan dengan cara peneliti melakukan tabulasi hasil rekam medis
pasien kemudian melakukan coding dan kategorisasi beberapa
jawaban yang memiliki makna yang sama akan dikelompokkan
76

menjadi satu, kemudian menghitung jumlah ataupun frekuensi yang


muncul dari jawaban tersebut dan diurutkan berdasarkan jumlah
terbanyak.
P = F x 100
N
Keterangan :
P = Persentase
F = Frekuensi
N = Jumlah Responden
Untuk pembahasan hasil selanjutnya data dinterprestasikan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut (Arikunto, 2016):
0% = Tidak satupun
1-25% = Sebagian kecil
26-49% = Kurang dari setengahnya
50% = Setengahnya
51-75% = Lebih dari setengahnya
76-99% = Sebagian besar
100% = Seluruhnya
2. Analisis Bivariate
Analisis bivariate digunakan untuk menyatakan analisis
terhadap 2 variabel, yakni 1 variabel dependen dan 1 variabel
independen. Analisis bivariate dilakukan setelah ada perhitungan
analisis univariate. Analisis bivariate dilakukan dua tahap yang diduga
berhubungan atau berkolerasi. Untuk membuktikan ada tidaknya
hubungan tersebut, dilakukan uji statistik chi-square dengan derajat
kepercayaan 95% (α = 0,05). Selanjutnya data tersebut akan disajikan
dalam bentuk tabel.
Pada penelitian ini bila uji normalitas terdistribusi normal
maka menggunakan uji korelasi Koefisien Kontengensi atau Lambda
karena skala pengukuran pengujian yang akan diuji yaitu Nominal-
Nominal dan Nominal-Ordinal. Bila uji normalitas tidak terdistribusi
77

normal, maka menggunakan uji Chi Square dengan rumus sebagai


berikut :

∑ Keterangan:
X2 = Chi Square
fo= Frekuensi hasil observasi dari sampel
fh = Frekuensi harapan dalam sampel
Taraf signifikan yang digunakan adalah 95% dengan menggunakan
kemaknaan atau p sebesar 5%. Analisis bivariat dilakukan terhadap
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi.
Bila uji korelasi dinyatakan < 0,05 maka dilanjutkan dengan uji
koefisien korelasi untuk mengetahui keeratan suatu hubungan dari uji
korelasi. Kekuatan koefisien korelasi digolongkan menjadi 5 tingkat
(Sugiyono, 2012) , yaitu :
1.) 0,000 – 0,199 : Sangat lemah
2.) 0,200 – 0,399 : Lemah
3.) 0,400 – 0,599 : Sedang
4.) 0,600 – 0,799 : Kuat
5.) 0,800 – 1,000 : Sangat Kuat
Pengambilan Keputusan berdasarkan :
1. Kriteria pengujian Jika x2 hitung < x2 tabel = H0 diterima (tidak
terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat). Jika
x2 hitung > x2 tabel = H0 ditolak atau H1diterima (terdapat
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat).
2. P Value P > 0,05 , maka H0 diterima P < 0,05 , maka H0 ditolak
atau H1 diterima
78

3.8 Lokasi dan Waktu penelitian


3.8.1 Lokasi Penelitian
Tempat Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Otto Iskandar DI Nata

3.8.2 Waktu penelitian


Waktu Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Desember 2022.
Pengambilan data penelitian akan dilakukan pada rekam medis. Data
berdasarkan rekam medis ibu bersalin tahun 2020-2021
.
79

DAFTAR PUSTAKA

Agatha, Maria. Hubungan Usia Kehamilan dan Paritas Ibu Bersalin dengan
Kejadian Ketuban Pecah Dini. 2016.
Ai Yeyeh,. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan).Jakarta:Trans Info Media;
2019.
American College of Obstetrics and Gynecology. ACOG Practice Bulletin No. 80:
Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines for
obstetrician- gynecologists. Obstet Gynecol. 2007 Apr;109(4):1007-19
Arsita EP. Kesehatan Ibu dan Anak Dalam Millenium Development Goals. Jakarta:
EGC; 2018:98-103.
Astriana, Willy. Kejadian anemia pada ibu hamil ditinjau dari paritas dan usia.
Aisyah : Jurnal Ilmu Kesehatan 2(2) 2017, 123-230
Briawan, D. Anemia Masalah Gizi Pada Remaja Wanita. Jakarta : EGC; 2014.
Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and
management of preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet
Gynecol. 2008 Winter;1(1):11-22.
Cherney D. Lange Current .Diagnosis & treatment Obstetrics & Gynecology 10th
edition: Premature Rupture of Membranes; McGrawHill. 2007.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams (Ed.23). Jakarta : EGC; 2017.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., &
Wenstrom, K. D.. Preterm Premature Ruftur Of Membranes. Dalam F. G.
Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, L. Gilstrap, & K. D.
Wenstrom (Penyunt.), Williams Obstetrics (24th Edition ed.). New York:
The McGraw-Hill Companies: 2014.
Dahlan, M. Sopiyudin. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
Epidemiologi Indonesia. 2020.
Departemen Kesehatan RI. Yang perlu diketahui petugas tentang: Kesehatan
Reproduksi. Jakarta. 2008.
80

Dewi. Hubungan Paritas dan Anemia dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini di
RSUD Bangkinang Tahun 2018. 2020. Available from : URL :
https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jkt/article/view/1108
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Laporan Kinerja Instansi Pemerintahan Jawa
Barat. 2021
Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. Profil kesehatahan Kabupaten Bandung
2019.
Dini dan Lia. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban Pecah
Dini Di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2011. Program
Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
YPIB Majalengka; 2011.
Fatmasari, Yulia. Hubungan Pengetahuan Dan Paritas Dengan kejadian Anemia
Pada Ibu hamil Di PKM Balai Agung Kab. Muba Tahun 2013.
Fetrisia, Wiwit. Faktor - Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban
Pecah Dini di RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukit tinggi Tahun 2013.
Habibah, W. N., & Supanji Raharja, S. O.. Hubungan Usia Ibu, Paritas, dan Kadar
Hemoglobin terhadap Kejadian Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan
Aterm di RSU. Cilacap : Aghisna Medika; 2018.
Hellen, Varney. Buku ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta: EGC; 2006.
Hermmiyanti, Sri (red). Buku Saku Infeksi Saluran Reproduksi dan Infeksi Menular
Sekksual. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2009.
Ikrawanty Ayu W, Melisa Febrianti, Ana Octaviani. Faktor yang Berhubungan
Terhadap Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSIA Sitti Khadijah I
Makassar Tahun 2019.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri Dan Wanita Usia subur.
Yogjakarta : Pustaka Pelajar ; 2018.
Krisnadi. Sofie, Adhi Pribadi. Obstetri Fisiologi Ilmu Kesehatan Reproduksi.Unpad
edisi 3. Segung Seto. 2019.
Lameshow, S. & David W.H.jr,. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan
(Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University press; 1997.
81

Laporan kinerja Instansi Pemerintahan Propinsi Jawa Barat .2021.


Mahjabeen., “The Prevalence of Premature Rupture of Membranes (PROM) in
Anemic and Non-anemic Pregnant Women at a Tertiary Level Hospital.
2021.
Manuaba, IBG. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. EGC. Jakarta.
2012.
Manuaba, Chandranita IA. Gadar Obstetri Dan Ginekologi Dan Obstetri Ginekologi
Sosial Untuk Profesi Bidan. EGC: Jakarta; 2009
Manggiasih, V.A. Hubungan Umur dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini Ditinjau
dari Paritas Ibu di Rumah Sakit Rahman Rahim Sidoarjo.Volume 7. No
1.sidoarjo: Akbid Mitra Sehat Sidoarjo. 2014.
Marmi. Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar: yogyakarta; 2013.
Menon R, Fortunato SJ. Infection and the role of inflammation in preterm
premature rupture of the membranes. Best Practice Rest Clinical Obstetri
Gynecology. 2007.
Merti, Demiarti. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketuban Pecah Dini di
RSU PKU Muhammadiyah Bantul Tahun 2016. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. 2016.
Morgan G, Hamilton C. Obstetri & Ginekologi : Panduan Praktik. Jakarta: EGC;
2009.
Mousa, dkk. Management of Premature Rupture of Membranes. Internasional
journal of academic scientife research. 2016.
M. U, Bram et al. Hubungan Kejadian IMS Dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini
Di RS Bhayangkara Kota Kediri . Java Health Jounal, [S.l.], v. 7, n. 2, nov.
2020.
Nakubulwa et al.,. “Genital infections and risk of premature rupture of membranes
in Mulago Hospital, Uganda: a case control study. 2015.
Notoatmodjo,S, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta; 2018.
Nugroho, Taufan. Patologi Kebidanan. Yogyakarta :Nuha Medika; 2012.
Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika; 2008.
82

Oxorn, H William R.F. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan . Edisi I.
Yogyakarta: CV andi Offset; 2010.
Padmi, D.R.K.N., 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia
Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Tegalrejo Tahun 2017.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran “Ketuban Pecah Dini”.Jakarta. 2016
Pratiwi, “The Effect Of Anemia On The Incidence Of Premature Rupture Of
Membrane (PROM) In Kertha Usada Hospital. 2018. Available from :
URL : https://www.belitungraya.org/BRP/index.php/bnj/article/view/391
Pribadi. Adhi. Obstetri Patologi Unpad edisi 4.Bandung: Sagung Seto; 2019.
Profil kesehatan kabupaten Bandung tahun 2019 . available from URL :
https://ppid.bandungkab.go.id/image/document/dinas-kesehatan-profil-
dinas-kesehatan-2018-edisi-2019.
Prawirohardjo. Ilmu Kandungan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2013.
Purwaningtyas DK, Galuh NP. Faktor Kejadian Anemia pada Ibu Hamil. HIGEIA;
2017.
Purwanti, E.. Faktor-faktor yang berhubung dengan kejadian ketubaan pecah dini
di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. 2014. Available from : URL :
https://journal.binawan.ac.id/impuls/article/download/40/41/
Ridwan,. Hubungan Kehamilan Ganda Dan Kelainan Letak Janin Dengan Kejadian
Ketuban Pecah Dini Di RSUD Demang Sepulau Raya Lampung Tengah.
Jurnal Kesehatan. 2014.
Riset Kesehatan Dasar (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013.
Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature
rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.
Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus
Saifudin, Abdul Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008.
Sohail, R. Etiology of Preterm Premature Ruptur of Membranes. In: Desai S.V.,
Tank P., editors. Hand Book On Preterm Prelabor Rupture of Membranes
83

in a Low Resource 139 | B u k u A j a r K e t u b a n P e c a h D i n i Setting.


1 stEd : New Delhi.Jaypee Brothers Medical Publisher. 2012. P 10-21.
Sudarto, Risiko Terjadinya Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Hamil Dengan Infeksi
Menular Seksual, 2016. Available from : URL : https://ejournal.poltekkes-
pontianak.ac.id/index.php/JVK/article/download/67/59 .
Sunarti. “Manajemen Asuhan Kebidanan Intranatal pada Ny “R” gestasi 37-38
minggu dengan Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD Syekh Yusuf Gowa.
2017.
Tahir, Suriani. Faktor Determinan Ketuban Pecah Dini Di RSUD Syekh Yusuf
Kabupaten Gowa. 2012. Internet available from
http://pasca.unhas.ac.idjurnalfile
Verrayanti, R. M. D. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Perilaku Konsumsi
Tablet Tambah Darah Dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Trimester
Iii Di Puskesmas Mantrijeron Kota Yogyakarta Tahun 2017. 2018.
Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayaan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009.
World Health Organization (WHO). Haemoglobin concentrations for the diagnosis
of Anemia and Assessment of Severity. Geneva: World Health
Organization; 2011
World Health Organization (WHO). Maternal Mortality. Amerika : World Health
Organization. 2014.
Wulandari, Ellen. Analisis Faktor resiko Terhadap kejadian Ketuban pecah Dini
Pada Ibu Melahirkan di RSUD Tugu Rejo Semarang. 2016.
84
85
86
87
88

LEMBAR PENGUMPULAN DATA


Umur Kehamilan Anemia IMS Riwayat
No KPD
No NAMA Umur 1.Anemia 2.Tidak anemia
Medrek 1.Resiko Tinggi 2.Resiko rendah 1.Resiko tinggi 2. Resiko Rendah sebelumnya
1. 2.
(HB < 11 gr%) Hb > 11 gr%
( < 37 Minggu ) (> 37 minggu) Menderita IMS Tidak menderita IMS YA Tidak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Anda mungkin juga menyukai