Anda di halaman 1dari 84

MATERI KUALIFIKASI

MODEL KESEHATAN MENTAL GUNA MENCEGAH KEKERASAN


EMOSIONAL ORANG TUA TERHADAP ANAK
BERBASIS DUKUNGAN SOSIAL

SILVIA NOVA

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2022
MATERI KUALIFIKASI

MODEL KESEHATAN MENTAL GUNA MENCEGAH KEKERASAN


EMOSIONAL ORANG TUA TERHADAP ANAK
BERBASIS DUKUNGAN SOSIAL

HALAMAN JUDUL

SILVIA NOVA

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Kajian Masalah 9
1.3 Rumusan Masalah 12
1.4 Tujuan Penelitian 12
1.4.1 Tujuan Umum 12
1.4.2 Tujuan Khusus 12
1.5 Manfaat Penelitian 13
1.5.1 Manfaat Teoritis 13
1.5.2 Manfaat Praktis 14
1.6 Rencana Temuan Baru (Novelty) 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15
2.1 Defenisi Kesehatan Mental 15
2.1.1Teori Model Kesehatan Transdomain
2.1.2Teori Kesehatan Mental Maslaw dan Mittlemenn
2.2 Ciri-ciri Orang yang memiliki Kesehatan Mental 23
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental 26
2.4 Kegiatan untuk Meningkatkan Kesehatan Mental 26
2.5 Dukungan Sosial 27
2.5.1 Definisi dukungan sosial 27
2.5.2 Bentuk Dukungan Sosial 33
2.5.3 Sumber-sumber Dukungan Sosial 39
2.5.4 Pentingnya Dukungan Sosial 40
2.5.5 Faktor-faktor yang menghambat pemberian Dukungan Sosial 41
2.5.6 Fungsi Dukungan Sosial 41
2.5.7 Dukungan sosial sebagai kognisi atau fakta sosial 42
2.6 Kekerasan terhadap anak 42
2.6.1 Pengertian Kekerasan terhadap anak 42
2.7 Pengertian Kekerasan Emosional 44
2.8 Bentuk emotional abuse 45
2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse 46
2.10 Tanda dan gejala yang mengalami emotional abuse 48
2.11 Dampak emotional abuse 48
2.12 Pengukuran emotional abuse 50
2.13 Pengertian Anak 51
2.14 Konsep Perilaku
2.15 Perilaku Menurut Berbagai Aliran
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 56
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 56
3.2 Hipotesis 57
BAB IV METODE PENELITIAN 58
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian 58
4.1.1 Tahap I 58
4.1.2 Tahap II
4.2 Lokasi dan waktu Penelitian 58
4.3 Populasi, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian 59
4.3.1 Populasi dan Sampel Penelitian 59
4.3.2 Besar Sampel 59
4.3.3 Teknik pengambilan sampel Error! Bookmark not defined.
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 59
4.5 Instrumen yang digunakan 61
4.6 Kerangka Operasional 62
4.7 Pengolahan Data dan Analisa Data 63
4.8 Metode Analisis Data 64
DAFTAR PUSTAKA 66
Lampiran 69
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Data Kekerasan 3

Tabel 4. 1 Definisi Operasional 60


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Skema Kajian Masalah Skema Kajian Masalah 10

Gambar 2. 1 Model Kesehatan Transdomain 17

Gambar 2. 2 Stages of Maslow’s hierarchy of needs 18

Gambar 2. 3 Model Dukungan Sosial Cohen dan Wiils 28

Gambar 2. 4 Dukungan Sosial Cobb 29

Gambar 2. 5 Dukungan Sosial Hobfoll&Stoktes 56

Gambar 2. 6 Teori Ekologi 56

Gambar 3. 1 Kerangka Konsep Penelitian 56

Gambar 4. 6 Kerangka Operasional 62


DAFTAR LAMPIRAN

Theoretical Mapping 69
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena yang tidak ada habisnya,

selalu menjadi topik utama dalam pemberitaan di berbagai media massa yang

cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Kasus kekerasan anak yang

dilaporkan pada tahun 2019 sejumlah 27.266 kasus, dan tahun 2020 meningkat

menjadi 27.479 kasus. Sedangkan tahun 2021 dilaporkan terdapat 33.876 kasus

(Hasanah & Raharjo, 2016; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI, 2022).

Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan. Kesengsaraan dan

penderitaan bisa secara fisik, psikis, seksual dan atau penelantaran termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan dengan cara melawan hukum. Jenis kekerasan terhadap anak

meliputi kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, pengabaian

dan penelantaran dan kekerasan ekonomi(Pusdatin Kemenkes RI, 2018).

Kekerasan dalam bentuk fisik maupun non fisik (verbal) terhadap anak

akan berdampak pada perkembangan anak. Ibu yang menggunakan

kekerasan verbal dalam pengasuhan dapat berimplikasi pada masalah

perilaku dan emosi anak. Anak yang tumbuh dengan kekerasan verbal orang

tua cenderung akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri,

menyalahkan diri sendiri dan memiliki emosi yang labil (Muarifah et al.,

2020).

1
2

Pelaku kekerasan sering kali berasal dari orang-orang yang seharusnya

menjadi pelindung bagi anak itu sendiri, misalnya orang tua, kerabat dekat,

tetangga, hingga guru. Beberapa alasan orangtua melakukan kekerasan pada

anak antara lain adanya riwayat orangtua mengalami kekerasan saat kecil,

imaturasi emosi, kepercayaan diri rendah, kurangnya dukungan sosial,

memiliki banyak anak hingga ketidaktahuan mengenai pengasuhan.

Padahal orangtua adalah sosok yang paling bertanggung jawab dalam

mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan

hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak (Muarifah et al., 2020).

Orang tua menganggap kekerasan pada anak hal yang wajar,

merupakan bagian dari mendisiplinkan anak. Tindakan anak yang melanggar

perlu dikontrol dan dihukum, dari hukuman tersebut banyak tindakan orang

tua yang dimasukkan dalam kategori kekerasan. Terdapat berbagai macam

bentuk kekerasan pada anak salah satunya adalah kekerasan emosional berupa

kata-kata yang banyak didapatkan oleh anak dari orang tua. Kekerasan kata-

kata akan berdampak negatif, khususnya pada mental anak. Begitu pentingnya

peran orang tua terhadap perkembangan anak usia sekolah. Dampak

kekerasan kata-kata oleh orang tua pada anak usia sekolah mengakibatkan

gangguan psikologis juga terkait dalam proses belajar mereka (Lestary, 2016).

Dalam The social Work Dictionary, Barker mendefinisikan verbal

sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara

fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.

Ricard J. Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta, mengartikan child

abuse sebagai kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja


3

menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun

emosional. Kekerasan pada anak yang sering kali tidak disadari oleh orang tua

yaitu kekerasan emosional. Kekerasan emosional terhadap anak menumbuhkan

sakit hati hingga membuat anak berfikir seperti yang kerap diucapkan oleh

orang tuanya. Anak akan meniru perilaku dari orang yang lebih dewasa dan hal

itu akan selalu diingat (Huraerah, 2018). Berikut data kekerasan pada semua

kelompok umur:

Tabel 1. 1 Data Kekerasan


Tahun

Jenis 2018 2019 2020 2021


Kekerasan

Fisik 9857 9081 7920 9064


Psikis 6090 6018 6481 7906
Seksual 7933 7752 8216 10328
Eksploitasi 160 140 164 338
Trafficking 276 226 422 683
Penelantaran 2628 2258 2239 2514
Lainnya 1884 1791 2037 3043
Total 28828 27266 27479 33876
Sumber: (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2022)

Menurut data kependudukan jumlah anak di Indonesia adalah sepertiga

dari jumlah penduduk Indonesia, yaitu sekitar 85 juta jiwa. Masih banyak

orang dewasa yang memandang anak sebagai objek kekerasan yang tentunya

bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Tingkat

pengetahuan orang tua tentang perlindungan anak di Provinsi Riau

termasuk dalam kategori yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada

dasarnya masyarakat terutama orang tua mengetahui tentang prinsip

perlindungan anak, namun pada kenyataannya masih banyak orang tua yang

melakukan kekerasan pada anak dengan dalih merupakan bagian dari


4

pendidikan anak. Seringkali orang tua menganggap bahwa memberi hukuman

pada anak selama tidak berlebihan dan tidak melukai anak secara fisik adalah

hal yang wajar dan dibolehkan dalam pendidikan anak. Hal ini menyebabkan

kasus kekerasan terhadap anak terus menerus terjadi secara berulang (Risma et

al., 2020).

Dari data Official Journal of The American Academy of Pediatrics

dengan judul Global Prepalance of Past-year Violence Against Chilldren: A

Systematic Review and Minimum Estimatis, 2016. Rata-rata 50% atau

diperkirakan lebih dari 1 miliyar anak-anak didunia berusia 2-17 tahun,

mengalami kekerasan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran di Kawasan

Afrika, Asia, dan Amerika Utara mengalami kekerasan dalam satu tahun

terakhir(Pusdatin Kemenkes RI, 2018).

Survei sosial ekonomi nasional modul ketahanan sosial yang

dilakukan Badan Pusat Statistic (BPS) yang dilaksanakan diseluruh

kabupataen/ kota dengan sampel 75.000 rumah tangga yang hasilnya disajikan

untuk tingkat nasional dan provinsi hasil surveinya yang terkait dengan

kekerasan terhadap anak diantaranya usia 13 – 17 tahun yang mengalami

kekerasan dalam 12 bulan terakhir ada 47,74 % dan kekerasan emosional 13,35

%. yang mengalami kekerasan sebelum usia 18 tahun 47,74 % dan 13,35 %.

Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak

selalu meningkat setiap tahun hasil pemantauan KPAI dari 2015 sampai 2017,

terjadi peningkatan yang signifikan tahun 2015 kekerasan terhadap anak terjadi

6000 kasus kekerasan terhadap anak, 2016 ada 1.314 danpada 2017 ada 1.403

kasus kekerasan terhadap anak (Pusdatin Kemenkes RI, 2018).


5

Hasil penelitian yang dilakukan Musdalifah (2016) menyatakan bahwa

ada hubungan kekerasan verbal orang tua dengan gangguan perilaku pada

remaja di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar. Semakin

tinggi kekerasan verbal yang dilakukan maka semakin tinggi gangguan

perilaku yang terjadi pada remaja dan semakin rendah kekerasan verbal maka

semakin rendah gangguan perilaku yang terjadi pada remaja (Musdalifah,

2016).

Penganiayaan emosional melalui pelecehan verbal kepada seorang anak

akan menyebabkan tekanan emosional (Mahmud, 2019). Anak akan

mendapatkan perkembangan buruk, hubungan sosial yang bermasalah,

membuat anak menjadi lebih agresif, dan orang dewasa menjadi musuh.

Menurut UNICEF (United for Children) tahun 2016, 80% anak usia 2 hingga

14 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun mental, 62% kekerasan

terjadi di lingkungannya (keluarga dan sekolah), sisanya 38% di publik

(Fitriana et al., 2015).

Kekerasan emosional dapat diartikan sebagai sikap atau

perilaku yang dapat menganggu perkembangan sosial ataupun

kesehatan mental anak. Kekerasan emosional juga disebut sebagai kekerasan

verbal, mental ataupun kekerasan psikologis. Menurut Moffat (2003).

Terdapat efek jangka panjang dari kekerasan emosional yang dapat

berakibat buruk bagi perkembangannya pada masa remaja dan dewasa nanti

dan perilaku anak mungkin akan menjadi antisosial. Kemungkinan lain adalah

anak akan terlibat dalam penganiayaan baik secara fisik maupun emosional

(Moffat, 2003).
6

Penelitian yang dilakukan oleh Vivi Wulandari (2018), menunjukkan

bahwa semakin tinggi kekerasan emosional yang diterima oleh seorang anak,

maka semakin besar pula risiko anak tersebut pada kecenderungan

kenakalan remaja. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah perlakuan

Kekerasan emosional yang diterima anak, maka makin kecil risikonya dalam

kecenderungan kenakalan remaja (Wulandari & Nurwati, 2018).

Berdasarkan KPAI dari data pengaduan masyarakat pada 2019 terdapat

4.369 kasus, pada 2020 ada 6.519 kasus dan 2021 mencapai 5.953 kasus.

Tahun 2021 dengan rincian kasus pemenuhan hak anak 2.971 kasus dan

perlindungan khusus anak 2.982 kasus. Di Indonesia pada masa pandemi covid

19 kekerasan pada anak terus bertambah. Sistem Informasi Online Perlindungan

Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menerima lebih dari 4.600 laporan

kekerasan terhadap anak selama Januari-Juni 2020, dari jumlah tersebut 1.111

anak yang mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis,

2556 anak mengalami kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban perdagangan

anak dan 346 anak mejadi korban penelantaran. Kekerasan tersebut, 58,80%

terjadi dalam rumah tangga (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI, 2022).

Sebuah survey menunjukan bahwa orang tua perempuan (ibu) 60%

kerap kali melakukan kekerasan terhadap anak dibandingkan orang tua laki-

laki (ayah) (Maknun, 2016). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga

melakukan survey terpisah antara orang tua laki-laki dan perempuan, yang

menunjukan bahwa orang tua laki-laki melakukan kekerasan sebesar 25,6%,


7

sedangkan orang tua perempuan melakukan kekerasan sebesar 74,4% (KPAI,

2020).

Pendidikan kesehatan masyarakat memiliki ruang lingkup dari berbagai

dimensi atau tempat pelaksanaan diantaranya adalah keluarga. Keluarga

merupakan suatu komunitas sistem sosial yang berperan penting dalam

pendidikan dan kesehatan di dalam keluarga terutama pada anak. Sebagai suatu

sistem sosial, keluarga memberikan kenyamanan, keselamatan, kesejahteraan

ekonomi, material, kesejahteraan psikologis, fisik, emosional, dan kebutuhan-

kebutuhan spiritual. (Wulandari & Nurwati, 2018b).

Kesehatan mental pada anak bukan hanya diartikan sebagai kondisi mental

anak yang tidak mengalami penyakit mental, namun juga mencakup

kemampuan berfikir secara jernih, mengendalikan emosi, dan bersosialisasi.

Anak dengan kesehatan mental yang baik akan memiliki karakteristik positif,

dapat beradaptasi dengan keadaan, menghadapi stress, menjaga hubungan baik

dan bangkit dari keadaan sulit. Jika kesehatan mental pada masa anak-anak

kurang baik dapat menyebabkan gangguan perilaku yang lebih serius akibat

ketidak seimbangan mental dan emosional serta kehidupan sosial anak yang

kurang baik.(I Putu Adi Saskara, 2020)

Dukungan sosial yang mereka dapat terutama dukungan dari orang tua yang

membuat mereka dengan mudah dapat menyesuakan diri. Mereka

mempunyai teman-teman akrab yang membuat mereka sedikit melupakan

kerinduan terhadap keluaraga di rumah. Dukungan sosial keluarga merupakan

sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap individu. Anggota keluarga


8

memandang bahwa orang yang mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Hanson dalam Achjar, 2010).

Program pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak pada

sektor kesehatan, terpadu dalam Program Penanggulangan Kekerasan terhadap

Perempuan dan Anak (KtPA). Adapun Standar Pelayanan Kesehatan bagi

Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA), antara lain:

1. Promotif dan Preventif: KIE, Konseling, Pemberdayaan keluarga dan

masyarakat

2. Kuratif: Medis, Pemeriksaan medis Anamnesis, Pemeriksaan fisik,

Pemeriksaan status Mental, Pemeriksaan Penunjang, Penatalaksanaan

medik, Medikolegal

3. Rehabilitatif: mengembalikan fungsi biologis tubuh, Mencegah terjadinya

gangguan fisik dan mental lebih lanjut, Penaganan masalah kejiwaan

korban dan pelaku, Psikososial

4. Rujukan: Jejaring multisektoral dan multidisiplin

Penelitian tentang kekerasan emosional pada anak sudah banyak

dilakukan, namun angka kekerasan pada anak tidak serta merta menurun dari

tahun ke tahun. Di sisi lain sosialisasi tentang pencegahan kekerasan pada anak

sebagai upaya promotif dan preventif terjadinya kekerasan pada anak sudah

banyak dilakukan oleh pemerintah melalui Program Penanggulangan

Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA). Salah satu langkah yang

dilakukan adalah promosi layanan masyarakat terkait pencegahan kekerasan

pada anak yang ditampilkan di media elektronik, maupun poster. Namun

edukasi tersebut terlalu singkat, sehingga praktik kekerasan pada anak yang
9

dilaporkan masih tinggi. Oleh karena itu pada penelitian ini peneliti ingin

mengembangkan model kesehatan mental orang tua guna mencegah kekerasan

emosional pada anak berbasis dukungan sosial.

1.2 Kajian Masalah

Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan

Anak (Simfoni PPA) menerima lebih dari 4.600 laporan kekerasan terhadap

anak selama Januari-Juni 2020, dari jumlah tersebut 1.111 anak yang

mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis, 2.556 anak

mengalami kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban perdagangan anak dan

346 anak menjadi korban penelantaran. Kekerasan tersebut, 58,80% terjadi

dalam rumah tangga.

Tingginya angka tersebut disebabkan oleh beberapa faktor penyebab

sebagai berikut:
10

FAKTOR INTERNAL

BIOLOGIS:
1. Otak
2. Endokrin
3. Genetik
4. Sensori
5. Kehamilan

PSIKOLOGIS:
1. Pengalaman
2. Proses
Belajar
3. Kebutuhan

KEKERASAN
KESEHATAN MENTAL
EMOSIONAL PADA
ORANG TUA
ANAK:
FAKTOR EKSTERNAL
1. Angka kejadian
kekerasan
SOSIAL BUDAYA:
emosional: 7906
1. Stratifikasi
sosial Kasus (23,33 % )
2. Keluarga (Riskesdes, 2021)
3. Perubahan
sosial

LINGKUNGAN:

1. Lingkungan
fisik
2. Lingkungan
biologis
3. Lingkungan
Sosial

Gambar 1. 1 Skema Kajian Masalah

1.2.1 Faktor Penyebab Kekerasan pada Anak


Penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga diteliti

oleh Praditama, Sandhi, Nurhadi, dan Atik Catur Budiarti (2016). Penelitian

yang dilakukan di Kabupaten Wonogiri, Solo ini mereka menemukan faktor

penyebab kekerasan, yaitu: pewarisan kekerasan antargenerasi (pengalaman),

kekerasan terhadap anak sulit diungkap ke ruang publik, dan latar belakang
11

budaya keluarga yang menempatkan anak dalam posisi terbawah. Cicchetti

dan Toth mengatakan bahwa perlakuan keras orangtua terhadap anak tidak

hanya disebabkan oleh satu faktor saja (Santrock, 2007). Faktor lain seperti

budaya, keluarga maupun perkembangan juga berkontribusi terhadap

perlakuan tersebut.

Berdasarkan penelitian Fitriana (2015) tentang Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Perilaku Orang Tua dalam Melakukan Kekerasan Verbal

terhadap Anak Usia Pra-Sekolah di Dusun Pendowoharjo faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian kekerasan verbal pada anak usia pra-sekolah

adalah umur, pengetahuan, sikap, pengalaman, dan lingkungan.

Lebih menyedihkan lagi sebuah survey menunjukan bahwa orang tua

perempuan (ibu) 60% kerap kali melakukan kekerasan terhadap anak

dibandingkan orang tua laki-laki (ayah) (Maknun, 2016). Selanjutnya, Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga melakukan survey terpisah antara

orang tua laki-laki dan perempuan, yang menunjukan bahwa orang tua laki-laki

melakukan kekerasan sebesar 25,6%, sedangkan orang tua perempuan

melakukan kekerasan sebesar 74,4% (KPAI, 2020a).

Secara psikologis, anak yang tumbuh dengan kekerasan verbal

cenderung mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, menyalahkan diri

sendiri dan emosi labil (Moore & Pepler, 2013). Kekerasan pada anak

merupakan masalah kompleks. Bentuk, penyebab, dan dampak kekerasan

sangat bervariasi, melakukan identifikasi terhadap kekerasan merupakan salah

satu langkah awal untuk memahami kondisi pengasuhan dan digunakan

sebagai dasar untuk melakukan intervensi pencegahan kekerasan. Kekerasan


12

bukan menjadi perlakuan untuk diterapkan pada anak usia dini mengingat

dampak yang akan dirasakan terbawa hingga dewasa. Dengan memahami

faktor penyebab kekerasan, semestinya perilaku tersebut dapat dicegah

untuk menjaga pengasuhan yang berkualitas serta membentuk anak-anak

tumbuh yang bahagia.

1.3 Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat pengaruh faktor psikologis terhadap kesehatan mental

orang tua?

2. Apakah terdapat pengaruh faktor sosial budaya terhadap kesehatan mental

orang tua?

3. Apakah terdapat pengaruh faktor lingkungan terhadap kesehatan mental

orang tua?

4. Apakah terdapat pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan mental orang

tua

5. Apakah terdapat pengaruh kesehatan mental orang tua terhadap perilaku

orang tua sebagai pencegahan emosional pada anak?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Menyusun model kesehatan mental guna mencegah kekerasan emosional

orang tua terhadap anak berbasis dukungan sosial

1.4.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum, maka tujuan khusus yang ingin dicapai pada

penelitian ini adalah untuk mengetahui:


13

1. Menganalisis pengaruh faktor psikologis terhadap kesehatan mental

orang tua.

2. Menganalisis pengaruh faktor sosial budaya terhadap kesehatan

mental orang tua.

3. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kesehatan mental

orang tua.

4. Menganalisis pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan mental

orang tua

5. Menganalisis pengaruh kesehatan mental orang tua terhadap Perilaku

orang tua sebagai pencegahan emosional pada anak.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan informasi tentang kesehatan mental adalah kondisi diri

kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat

kemampuan-kemampuan untuk mengelola stress kehidupan yang

wajar, untuk bekrja secara produktif dan meghasilkan, serta berperan

di komunitasnya (K. S. Dewi, 2012).

2. Memberikan informasi tentang Dukungan sosial keluarga merupakan

sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap individu. Anggota

keluarga memandang bahwa orang yang mendukung selalu siap

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Hanson

dalam Achjar, 2010)

3. Memberikan informasi kekerasan emosional atau kekerasan berupa

kata-kata yang menakut-nakuti, mengancam, menghina, mencaci dan


14

memaki dengan kasar dan keras. Adalah perbuatan yang dapat

menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik

maupun emosional serta dampak jangka panjang pada anak-anak.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Menjadi referensi yang digunakan sebagai pertimbangan dalam

mencegah kekerasan emosional orang tua terhadap anak berbasis

dukungan sosial

2. Menjadi referensi bagi peneliti lain

1.6 Rencana Temuan Baru (Novelty)

Rencana temuan baru pada penelitian ini yaitu pengaruh model

kesehatan mental guna mencegah kekerasan emosional orang tua terhadap anak

berbasis dukungan sosial. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

membahas tentang hubungan antara dukungan sosial dengan kesehatan mental

dalam mencegah kekerasan pada anak. Serta faktor-faktor penyebab terjadinya

kekerasan orang tua terhadap anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Kesehatan Mental

Menurut Darajat, kesehatan mental merupakan keharmonisan dalam

kehidupan yang terwujud antara fungsi -fungsi jiwa, kemampuan

menghadapi problematika yang dihadapi serta mampu merasakan

kebahagiaan dan kemampuan dirinya secara positif (Daradjat 1988). Ia juga

menekankan bahwa kesehatan adalah kondisi dimana individu terhindar dari

gejala-gejala jiwa (neurose) dan dari gejala penyakit jiwa (psychose).

Kesehatan mental adalah suatu keadaan kejiwaan atau keadaan

psikologis yang menunjukan kemampuan seseorang untuk mengadakan

penyesuaian diri atau pemecahan masalah terhadap masalah-masalah yang

ada dalam diri sendiri (internal) dan masalah-masalah yang ada di

lingkungan luar dirinya (eksternal). Kesehatan mental mengacu pada cara

berfikir, berperasaan dan bertindak individu yang efisien dan efektif dalam

menghadapi tantangan hidup dan stres hidup (Hanurawan, 2012).

Menurut WHO (world health organization) kesehatan mental adalah

kondisi diri kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya

terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stress kehidupan yang

wajar, untuk bekerja secara produktif dan meghasilkan, serta berperan di

komunitasnya (K. S. Dewi, 2012).

15
16

Kesehatan mental yang baik dalam diri seseorang menunjukan pada

bekerjanya fungsi-fungsi mental dalam diri seseorang secara optimum.

bekerjanya fungsi-fungsi mental dalam diri seseorang secara optimum pada

kesempatan berikutnya akan menyebabkan orang tersebut:

1. Mampu melakukan aktivitas-aktivitas yang produktif dalam wilayah

hidupnya;

2. Mampu untuk melakukan hubungan interpersonal yang efektif dan efisien

dengan orang lain;

3. Mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan

hidup yang dialami, baik perubahan hidup yang berskala kecil,

menengah maupun tinggi;

4. Mampu mensiasati kegagalan-kegagalan hidup yang dialami untuk

bangkit beraktivitas kembali.

Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwasanya kesehatan

mental adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, beradaptasi

dan mengontrol sres dan emosi di dalam kehidupan agar tetap bisa

bekerja secara produktif dan mengasilkan di dalam lingkungan sosialnya.

2.1.1 Teori Model Kesehatan Transdomain. Model ini dibangun di atas tiga

domain kesehatan seperti yang dijelaskan oleh WHO dan Huber et al dan

memperluas definisi ini untuk memasukkan empat bidang spesifik yang

tumpang tindih dan pertimbangan empiris, moral, dan hukum yang dibahas

dalam penelitian ini. Ada tiga domain kesehatan (yaitu, fisik, mental, dan

sosial), yang masing-masing akan didefinisikan berdasarkan standar fungsi


17

dan adaptasi dasar (hak asasi manusia). Ada empat bidang integrasi atau

sinergi dinamis antara domain dan contoh bagaimana konsep inti kesehatan

mental dapat digunakan untuk mendefinisikannya.

Gambar 2.1 Model kesehatan Transdomain

2.1.2 Teori Kesehatan Mental Maslow dan Mittlemenn

Sejarah singkat Maslow dan Mittlemenn Abraham Maslow adalah seorang

psikolog yang dianggap sebagai bapak psikologi humanistik. Kontribusi

terbesarnya pada gerakan humanis adalah teori hierarki kebutuhannya yang

mengatakan bahwa kebutuhan fisik pada dasar harus dipenuhi terlebih dahulu

sebelum seorang individu dapat menyadari potensi penuhnya atau disebut sebagai

aktualisasi diri. Salah satu kritik yang ada pada teori Abraham Maslow adalah

tidak adanya basis atas batasan-batasan aktualisasi diri yang dimaksud olehnya

sehingga Mittlemenn mengkaji ulang serta menyempurnakan teori yang

dikembangkan oleh Maslow dengan menyertakan penggambaran karakter ideal

seorang individu.
18

Gambar 2.2 stages of Maslow’s hierarchy of needs

a. Manifestation of Psychological Health

Maslow dan Mittlemenn memaparkan pandangannya terkait prinsip-prinsip

kesehatan mental. Prinsip-prinsip kesehatan mental yang dikembangkan oleh

Maslow dan Mittlemenn disebut sebagai manifestation of psychological health.

Menurut Maslow, puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan yang

disusunnya merupakan kondisi yang sehat secara psikologis atau dalam istilah self

actualization. Manifestasi mental secara sehat menurut pandangan Maslow dan

Mittlemenn tercermin dalam sebelas dimensi kesehatan mental, yaitu sebagai

berikut:
19

a. Adequate feeling of security atau rasa aman yang memadai, merupakan

perasaan aman yang dialami individu dalam hubungannya dengan pekerjaan,

sosial, keluarga dan lainnya.

b. Adequate self evaluation atau kemampuan menilai diri sendiri yang memadai.

Kemampuan dalam menilai diri sendiri ini mencakup beberapa hal, yaitu:

1. Memiliki harga diri yang memadai

2. Merasa ada nilai yang sebanding antar kondisi diri sebenarnya tau disebut

dengan potensi diri dengan prestasinya.

3. Memiliki perasaan berguna akan diri sendiri dengan bentuk perasaan yang

secara moral masuk akal

4. Tidak diganggu oleh rasa bersalah yang berlebihan

5. Mampu mengenal beberapa hal secara sosial dan personal tidak dapat diterima

oleh khalayak umum yang harus selalu ada di sepanjang kehidupan

bermasyarakat

c. Adequate spontanity and emotionality atau memiliki spontanitas dan perasaan

yang memadai dengan orang lain. Hal ini ditandai oleh beberapa hal yaitu:

1. kemampuan membentuk ikatan emosional yang secara kuat seperti hubungan

persahabatan serta hubungan percintaan.

2. Mampu mengekspresikan ketidaktertarikan atau ketidaksetujuan tanpa

kehilangan kontrol diri.

3. Mampu memahami dan membagikan perasaan yang dimiliki kepada orang

lain.
20

4. Mampu membahagiakan diri sendiri dan tertawa.

5. Memiliki alasan yang kuat terhadap hal-hal yang sedang dirasakan.

d. Efficient contact with reality atau memiliki kontak yang efisien dengan realitas

yang ada. Dalam hal ini, kontak terbagi dalam tiga aspek, yaitu fisik, sosial dan

internal yang mana ditandai dalam beberapa hal, antara lain:

1. Tidak adanya fantasi, khayalan atau angan-angan yang berlebihan

2. Memiliki pandangan yang luas dan realistis terhadap dunia dengan disertai

kemampuan dalam menghadapi masalah hidup sehari-hari seperti sakit atau

kegagalan.

3. Memiliki kemampuan untuk mengubah diri sendiri ketika kondisi lingkungan

tidak dapat diubah atau dimodifikasi serta dapat bekerjasama tanpa merasa

berada di dalam tekanan atau cooperation with the inevitable.

e. Adequate bodyly desires and ability to gratify them atau keinginan jasmani

yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya. Ini ditandai oleh beberapa

hal, yaitu:

1. Sikap yang sehat terhadap fungsi fisik yang dimaksudkan dengan menerima

fungsi fisik yang ada dan bukan dikuasai oleh fungsi fisik tersebut.

2. Memiliki kemampuan untuk mendapatkan kebahagiaan dari dunia fisik dalam

kehidupan seperti makan, tidur, dan kondisi pulih setelah mengalami kelelahan.

3. Kehidupan seksual yang wajar dan keinginan yang sehat untuk memuaskan diri

tanpa ada rasa takut maupun konflik dalam diri.

4. Memiliki kemampuan dalam bekerja.


21

5. Tidak memiliki kebutuhan yang berlebihan dalam mengikuti berbagai aktivitas

yang diinginkan.

f. Adequate self knowledge atau memiliki kemampuan pengetahuan yang wajar.

Pengetahuan yang wajar dalam hal ini mencakup:

1. Memiliki pengetahuan yang cukup mengenai motif, keinginan, tujuan,

ambisi, hambatan, kompetensi, pembelaan serta perasaan rendah diri.

2. Memiliki penilaian yang realistis kepada diri sendiri baik penilaian mengenai

kekurangan maupun penilaian mengenai kelebihan.

3. Memiliki kemampuan untuk menilai diri sendiri secara jujur dengan mampu

menerima kondisi yang ada pada diri sendiri secara apa adanya serta

mengakui dan menerima bahwa hasrat atau pikiran yang ada meskipun

beberapa diantara hasrat-hasrat maupun pikiran-pikiran tersebut bersifat

sosial atau personal yang tidak dapat diterima.

g. Integration and consistency of personality atau kepribadian yang utuh dan

konsisten. Maksud dari kepribadian untuh dan konsisten adalah :

1. Memiliki kemampuan yang baik dalam perkembangan diri, kepribadian,

kepandaian serta berminat dalam beberapa aktivitas.

2. Memiliki prinsip moral serta pendapat pribadi yang tidak terlalu berbeda

dengan pandangan kelompok.

3. Memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi dan fokus dalam suatu hal.

4. Tidak memiliki konflik-konflik besar dalam kepribadiannya serta tidak

mengalami disosiasi dalam kepribadian yang dimiliki oleh individu tersebut.


22

h. Adequate of life goal atau memiliki tujuan hidup yang wajar. Tujuan hidup

yang wajar adalah sebagai berikut :

1. Memiliki tujuan hidup yang sama atau sesuai dengan dirinya sendiri serta

tujuan hidup tersebut dapat untuk dicapai.

2. Memiliki usaha yang tekun dalam meraih tujuan tersebut

3. Tujuan tersebut bersifat baik untuk sendiri serta masyarakan secara luas.

i. Ability to learn from experience atau kemampuan untuk belajar dari

pengalaman. Kemampuan untuk belajar dari pengalam hidup yang dialami oleh

individu tersebutyang ditentukan dengan bertambahnya pengetahuan, kemahiran

serta keterampilan dalam mengerjakan sesuatu berdasarkan hasil pembelajaran

dari pengalaman yang dimiliki. Selain itu, kemampuan belajar dari pengalaman

juga mencakup kemampuan untuk belajar secara spontan oleh individu.

j. Ability to satisfy to requirements of the group atau kemampuan memuaskan

tuntutan kelompok. Dalam memuaskan tuntutan kelompok maka ada beberapa hal

yang harus dimiliki oleh seorang individu yaitu:

1. Memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan kelompok serta mampu

menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang lain tanpa harus

kehilangan identitas pribadi maupun diri sendiri.

2. Memiliki kemampuan untuk menerima norma-norma maupun aturan yang

berlaku dalam kelompoknya.

3. Memiliki kemampuan untuk menghambat dorongan maupun hasrat diri

sendiri yang dilarang oleh kelompoknya.


23

4. Memiliki keinginan untuk berusaha memenuhi tuntutan dan harapan dari

kelompoknya seperti ambisi, persahabatan, ketepatan, rasa tanggung jawan

serta kesetiaan.

5. Memiliki minat dalam melakukan aktivitas atau kegiatan yang disukai oleh

kelompoknya.

k. Adequate emancipation from the group or culture atau memiliki emansipasi

yang memadai dari kelompok maupun budaya. Emansipasi yang memadai yang

dimaksud disini dimaknai sebagai:

1. Kemampuan individu dalam menilai sesuatu merupakan hal baik sedangan

hal lainnya merupakan buruk berdasarkan dari penilaian diri sendiri tanpa

adanya pengaruh yang besar dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam

kelompok maupun budaya tertentu.

2. Mampu bergantung pada pandangan kelompok dalam beberapa hal yang ada.

3. Tidak memiliki kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk atau melakukan

tindakan persuasif, mendorong ataupun menyetujui kelompok.

4. Mampu menghargai perbedaan budaya yang ada.

2.2 Ciri-ciri Orang yang memiliki Kesehatan Mental

Pada prinsipnya, kesehatan mental tidak bisa disama ratakan dari satu

tempat dengan tampat yang lain, setiap kebudayaan memiliki standarnya masing-

masing dalam menentukan kesehatan mental. Namun demikian pada umumnya

terdapat beberapa beberapa ciri seseorang dapat dikatergorikan sebagai seseorang

yang mememiliki kesehatan mental yang baik. Ciri-ciri itu sebagai berikut:
24

1. Memiliki perasaan senang dan kepuasan dalam keseharinya.

2. Memiliki antusiasme dalam menjalani keseharinya (cakap dalam memaknai

kehidupan, keceriaan, dan kebahagiaan-kebahagian yang lain).

3. Memiliki kemampuan dalam memenej stress hidup dan bangkit dari

keterpurukan hidup yang dihadapi.

4. Memiliki kemampuan dalam mengaktualisasikan diri. Mampu

mengaktualisasikan diri yang berarti cakap berpartisipasi dalam kehidupan

sesuai dengan bakat yang dimilikinya melaui kegiatan- kegiatan yang

bermakna dalam kehidupan sosial yang positif.

5. Memiliki fleksibielitas, kemampuan flesibilitas adalah kemampuan untuk

menyesuaikan diri untuk berkembang kearah yang lebih baik dengan

menghadapi perubahan-perubahan kondisi kehidupan.

6. Memiliki ekuilibrium, yaitu memiliki keseimbangan antara bekerja,

bermain, belajar, istirahat dst, didalam kehidupan.

7. Memiliki well-roundedness, yaitu pandangan tentang spiritual, jiwa, tubuh,

kreativitas dan perkembangan kognitif.

8. Memiliki perhatian terhadap diri sendiri daripada orang lain.

9. Memiliki keyakinan diri dan assessment diri yang baik kepada diri sendiri.

Pinsip dasar untuk memahami kesehatan mental pernah dijelaskan oleh

Schneder pada tahun 1964. Prinsip kesehatan mental menurut Schneiders

meliputi 3 bagian penting. Prinsip pertama meliputi 11 prinsip yand dilandasi atas

sifat manusia. Secara komprehensif di dalamnya terdiri kesehatan dan

penyesuaian mental yang tidak terlepas dari kesehatan fisik dalam menjaga
25

kesehatan mental seseorang harus tampil sebagai individu berkarakter dan

agamis serta kemampuan sosial, membutuhkan integritas dan control diri,

meningkatkan intelektual, meningktan relisasi diri dan harga diri yang sehat,

memelihata stabilitas mental, berpegang teguh pada kebaikan, mampuan

beradaptasi, cakap mengatasi konflik mental, dan kematangan pemikiran dan

emosional (Lubis et al., 2019).

Kemudian prinsip kedua meliputi tiga (3) hal yang berlandaskan

hubungan manusi dengan lingkungan, yaitu, 1) kesehatan mental dipengaruhi

hubungan sosial dengan sesama, 2) kemampuan beradptasi yang baik dangan

ketenangan pikiran sangat dipengaruhi oleh kemampuan sesorang untuk merasa

cukup dalam berkativitas, baik belajar maupun menalankan peran lain di

dalalam kehidupan

sosial, dan 3) kesehatan mental memerlukan pembentukan karakter yang

berlandaskan kepada keyataan; ralistis, yaitu kemampuan menerima keadaa tanpa

penyimpangan, hamun tetap bersikap objektif dalam menilai kenyataan.

Prinsip terakhir meliputi dua hal yang berlandaskan pada hubungan antara

hamba dan tuhan, yaitu 1) kestabilan mental memerlukan pengembangan

kesadaran terhadap keberadaan tuhan sebagai zat yang dimana semua harapan

digantungkan, dan 2) kesehatan mental dan ketentraman hati pada seseorang

membutuhkan hubungan yang istiqamah antara manusia dengan tuhan. Semua

psinsip diatas sebaiknya dimplementasikan di dalam lembaga Pendidikan.


26

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental

Drajat menyimpulkan dalam Susilawati (Susilawati, 2017), bahwasanya ada

2 faktor secara umum yang mempengaruhi kesehatan mental yaitu internal dan

eksternal. Faktor internal antara lain mancangkup: personal, kondisi fisik,

perkemgangan dan kematangan, keadaan kejiwaan seseorang, keberagaman, sikap

dalam mengahadapi permasalahan, makna hidup, dan keseimbangan dalam

berfikir. Sedangkan: yang termasuk faktor eksternal diantaranya: sosial, finansial,

politik, adat kebiasaan, lingkungan. Diantara kedua faktor utama diatas, yang

paling mendominasi adalah faktor internal seseorang. Yaitu faktor ketenangan

dalam hidup, kebahagian jiwa. Notosoedirdjo dan Latipun (Notosoedidjo, 2005)

mengungkpakan bahwa kesehatan mental adalah hal entitas yang dipengaruhi

oleh beberapa faktor baik internal ataupun eksternal. Kesehatan mental sangat

dipengaruhi kedua faktor tersebut, karena semua faktor-faktor yang ada

memainkan peranya dengan sangat signifikan dalam menciptakan kesehatan

mental. Faktor internal seperti biologis dan psikologis, sedangkan eksternal

seperti sosial budaya.

2.4 Kegiatan untuk Meningkatkan Kesehatan Mental

Jodi (Richardson, 2016) mengatakan setidaknya ada 5 hal yang bisa

menjaga kesehatan mental khususnya kesehatan mental para remaja. 1)

Kegiatan fisik. Aktifitas fisik sangat penting untuk menjaga kesehatan

mental. 2) waktu luang untuk tatap muka. Tatap muka yang dimaksud adalah

tatap muka dengan menjalin hubungan dengan orang lain dalam hal yang
27

positive. Kegiatan ini bisa mengangkat kesejahteraan psikis dan

kebahagiaan. 3) Pembatasan waktu untuk gadget. Para orang tua hendaknya

membuat aturan Bersama dengan anak-anak mereka dalam membatasi

penggunaan gadget. Ini dilakukan supaya waktu mereka lebih banyak

digunakan untuk kegiatan fisik, sosial dan relaksasi. 4) waktu cukup untuk

beristirahat. Bagi para remaja setidaknya membutuhkan waktu 9-10 jam

untuk beristirahat. Jika waktu istirahat mereka kurang dari itu maka

mereka akan tidak merasa bersemangat untuk bersekolah. Rasa kantuk yang

dibawa ke sekolah akan berakibat buruk pada konsentrasi, prestasi akademik,

dan kesiagaan mereka. 5) Miningkatkan kesadaran penuh. Para remaja perlu

dilatih untuk meningkatan kemampuan kesadaran penuh mereka. Jika

mereka benar- benar terlatih mereka kan menjadi lebih tenang dan relak.

Kegiatan kesadaran penuh yang bisa dilakukan seperti latihan pernafasan.

Disamping kegiatan diatas, kegiatan-kegiatan rohani juga sangat membantu

untuk menjaga kesehatan mental (Lubis et al., 2019).

2.5 Dukungan Sosial

2.5.1 Definisi dukungan sosial

Dukungan Sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang

menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai, dan

dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal

balik (King, 2012: 226). Sedangkan menurut Ganster, dkk., (dalam Apollo &

Cahyadi, 2012: 261) dukungan sosial adalah tersedianya hubungan yang bersifat
28

menolong dan mempunyai nilai khusus bagi individu yang menerimanya.

Selanjutnya, dukungan sosial menurut Cohen & Syme (dalam Apollo &

Cahyadi, 2012: 261) adalah sumber-sumber yang disediakan orang lain terhadap

individu yang dapat mempengaruhi kesejahteraan individu bersangkutan. Lebih

lanjut dukungan sosial menurut House & Khan (dalam Apollo & Cahyadi, 2012:

261) adalah tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi,

pemberian informasi, bantuan istrumen, dan penilaian positif pada individu

dalam menghadapi permasalahannya. Menurut Cohen & Hoberman (dalam

Isnawati & Suhariadi, 2013: 3) dukungan sosial mengacu pada berbagai sumber

daya yang disediakan oleh hubungan antar pribadi seseorang.

Gambar 2.3 Model Dukungan Sosial Cohen dan Wills (1985)

Cohen dan Wills (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai

pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan

orang lain. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang

orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang

dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat

menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan
29

psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga

berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.

Dukungan sosial bisa didefinisikan sebagai informasi yang membuat

seseorang meyakini bahwa ia dipedulikan, disayangi, dihargai dan termasuk

anggota suatu jaringan yang memiliki beberapa kewajiban timbal balik (Cobb,

1976). Dukungan sosial juga bisa dilihat sebagai kegiatan sehari-hari yang

dilakukan berasama dalam ikatan keluarga dan pertemanan (Vaux, 1988).

Terdapat dua jenis dukungan sosial, ditinjau dari cara pengukurannya, yaitu

dukungan

sosial struktrual dan fungsional.

Gambar 2.3 Model Dukungan Sosial Cobb

Dukungan sosial fungsional diukur dengan sejauh mana kebutuhan

psikologis dan tujuan seseorang dipenuhi oleh jejaring sosialnya (Berscheid &

Regan, 2005). Jenis dukungan sosial fungsional yang sering digunakan ialah

dukungan emosional seperti ekspresi yang menenangkan atau membuat seseorang

merasa berharga; dukungan appraisal, misalnya memberikan nasihat, informasi


30

dan panduan; serta dukungan instrumental, dalam bentuk materi seperti uang

(Berscheid & Reis, 1998).

Gambar 2.3 Model Dukungan Sosial Hobfoll&Stoktes

Aspek penting lainnya dari dukungan sosial ialah perceived support, yaitu

persepsi mengenai dukungan yang diterima. Perceived support tidak berhubungan

dengan enacted support atau dukungan yang diberikan secara aktual oleh sang

pemberi dukungan (Cutrona, 1990). Artinya, meskipun seseorang merasa telah

memberi dukungan, belum tentu si penerima merasa didukung. Faktor yang

mempengaruhi perceived support antara lain ialah atribusi mengenai perilaku

pasangan (atribusi: pikiran mengenai alasan perilaku tersebut, apakah perilaku

tersebut dilakukan secara sukarela dan dilandasi oleh motif yang tidak

egois), mood, dan kepuasan pernikahan (Fincham & Bradburry, 1990; Cutrona &

Suhr, 1994). Oleh karena itu, untuk dapat memahami proses dukungan sosial,

maka perlu memperjelas peran hubungan personal dalam pemberian, penerimaan

dan evaluasi dari dukungan sosial (Sarason, Sarason, Gurung, 2001). Seperti yang
31

dilakukan Cutrona (1996) dengan mendefinisikan dukungan sosial sebagai

perilaku yang mengkomunikasikan rasa peduli, memvalidasi keberhargaan diri,

perasaan, dan perilaku orang lain; atau memfasilitasi cara mengatasi masalah

yang adaptif melalui penyediaan informasi, bantuan, atau sumberdaya lainnya

(Cutrona, 1996). Definisi dari Cutrona tersebut memperjelas kaitan antara

dukungan yang diberikan atau diterima dengan konsep lainnya seperti rasa

percaya, cinta dan komitmen (Berscheid & Regan, 2005).

Adapun kekerasan terhadap anak dilihat dari perspektif ekologi.

Bronfenbrenner (1979) dalam studinya mengenai perkembangan anak,

menjelaskan adanya lapisan-lapisan sistem ekologi yang mempengaruhi

perkembangan anak. Belsky (1980) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kekerasan pada anak disusun menurut lapisan tertentu. Bagaimana

lapisan lapisan tersebut saling mempengaruhi dapat dilihat pada gambar di bawah

ini:

ontogenics

mikrosystem

exosystem

makrosystem

Gambar 2.3 Teori Ekologi

Pada lapisan ontogenics menjelaskan tentang bagaimana faktor individu

berkaitan dengan kekerasan pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain masa
32

lalu orangtua, tahap perkembangan orangtua, perasaan terhadap anak, pemahaman

terhadap perkembangan anak, dan kesehatan mental orangtua (Zigler dan Hall,

1989). Salah satu isu yang cukup berkembang adalah mengenai sejarah masa kecil

orangtua. Orangtua yang mengalami pola asuh dengan kekerasan apakah ketika

dewasa akan menjadi pelaku kekerasan. Cicchetti dan Barnett (dalam Scannapieco

dan ConnellCarrick, 2005) menyatakan salah satu konstruk yang dapat

menjelaskan adalah kelekatan (attachment). Anak yang mengalami kekerasan

mengalami kelekatan yang tidak aman atau tipe D (disorganized-disoriented).

Bowlby (1982) menjelaskan bahwa representasi mental dari bagaimana seseorang

menjalin hubungan interpersonal berakar dari kelekatan dengan primary caregiver

di masa kecil. Representasi mental meliputi sistem afek, kognitif, dan harapan

mengenai bagaimana interaksi social yang ingin dibentuk.

Pada lapisan microsystem adalah mengenai faktor yang berpengaruh

secara langsung terhadap anak. Contohnya adalah kondisi keluarga, banyaknya

anggota keluarga, hubungan suami-istri, kondisi kesehatan anak (Zigler dan Hall,

1989). Anak-anak dengan karakteristik tertentu seperti lahir dengan kondisi

premature, berpenampilan kurang menarik, atau memiliki kekurangan fisik atau

mental lebih beresiko untuk menjadi korban kekerasan orangtua. Anak yang

mengalami kekerasan adalah anak yang lebih sering menampilkan perilaku

negatif dibandingkan kelompok kontrol, anak yang tidak mengalami kekerasan

orangtua (Burgess dan Conger dalam Scannapieco dan Connell-Carrick, 2005).

Kemudian, dalam sistem keluarga, faktor anak dan keluarga saling berinteraksi.

Anak dapat menjadi penyebab utama orangtua melakukan kekerasan, namun


33

faktor ini tidak berdiri sendiri. Anak dapat mempengaruhi orangtua tetapi kondisi

orangtua juga dapat berpengaruh.

Lapisan exosystem mengaitkan anak dan keluarga pada sistem yang lebih

luas. Faktor-faktornya antara lain keluarga besar, status sosial ekonomi,

komunitas, dan system pendukung lainnya. Sistem pendukung menjadi sumber

stress bagi orangtua yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua (Zigler dan

Hall, 1989). Hubungan dengan tetangga juga dapat mempengaruhi perilaku

kekerasan terhadap anak. Lapisan macrosystem adalah lapisan terluar yang terus-

menerus saling berinteraksi dengan lapisan ontogenics, microsystem, dan

exosystem. Faktor-faktor yang masuk kategori ini adalah sikap masyarakat

terhadap kekerasan, harapan masyarakat terhadap pola pendisiplinan di rumah dan

sekolah, dan kekerasan yang terjadi di masyarakat (Zigler dan Hall, 1989).

Lapisan-lapisan dalam pendekatan ekologi tersebut saling berkaitan satu

sama lainnya. Sehingga dalam penanganan masalah kekerasan terhadap kekerasan

perlu dilakukan secara holistik dan keterlibatan semua pihak yang ada di

lingkungan sekitar. Dukungan sosial juga merupakan suatu umpan balik dari

orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan perhatikan, dihargai,

dan dihormati. Pentingnya pemahaman tentang pendidikan kesehatan juga

merupakan suatu peranan yang sangat besar guna mewujudkan sumber daya

manusia yang berkualitas.

2.5.2 Bentuk Dukungan Sosial

Beberapa bentuk sosial menurut Cohen & Hoberman (dalam Isnawati &

Suhariadi, 2013: 3) yaitu:


34

1. Appraisal Support

Yaitu adanya bentuan yang berupa nasehat yang berkaitan dengan

pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stressor

2. Tangiable support

Yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan fisik dalam

menyelesaikan tugas

4 Self esteem support Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap

perasaan kompeten atau harga diri individu atau perasaan seseorang sebagai

bagian dari sebuah kelompok diamana para anggotanya memiliki dukungan

yang berkaitan dengan self-esteem seseorang

5 Belonging support

Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa

kebersamaan.

Dukungan sosial memiliki tiga jenis manfaat, yaitu bantuan yang nyata,

informasi, dan dukungan emosional menurut Taylor (dalam King 2012: 226-227):

1) Bantuan yang nyata

Keluarga dan teman dapat memberikan berbagai barang dan jasa dalam

situasi yang penuh stres. Misalnya, hadiah makanan seringkali diberikan setelah

kematian keluarga muncul, sehingga anggota keluarga yang berduka tidak akan

memasak saat itu ketika energi dan motivasi mereka sedang rendah. Bantuan

instrumental itu bisa berupa penyediaan jasa atau barang selama masa stres.

Sedangkan menurut Apollo & Cahyadi (2012: 261) bantuan yang nyata disebut

dengan bentuk bantuan instrumental, yaitu berupa bantuan uang dan kesempatan.
35

2) Informasi

Individu yang memberikan dukungan juga dapat merekomendasikan tindakan

dan rencana spesifik untuk membantu seseorang dalam copingnya dengan

berhasil. Teman-teman dapat memerhatikan bahwa rekan kerja mereka kelebihan

beban kerja dan menganjurkan cara-cara beginya untuk mengelola waktu lebih

efisien atau mendelegasikan tugas lebih efektif. Bantuan informasi ini bisa

berupa memberikan informasi tentang situasi yang menekan, seperti

pemberitahuan tentang informasi mengenai pelaksanaan tes, dan hal tersebut akan

sangat membantu. Informasi mungkin sportif jika ia relevan dengan penilaian diri,

seperti pemberian nasehat tentang apa yang harus dilakukan. (Taylor, dkk., 2009:

555). Sedangkan menurut Apollo & Cahyadi (2012: 261) dukungan informatif

yang dimaksudkan adalah berupa nasehat, sugesti, arahan langsung, dan

informasi.

3) Dukungan emosional

Dalam situasi penuh stres, individu seringkali menderita secara emosional dan

dapat mengembangkan depresi, kecemasan, dan hilang harga diri. Teman-teman

dan keluarga dapat menenangkan seseorang yang berada dibawah stres bahwa ia

adalah orang yang berharga yang dicintai oleh orang lain. Mengetahui orang lain

peduli memungkinkan seseorang untuk mendekati stres dan mengatasinya dengan

keyakinan yang lebih besar. Dukungan emosional berupa penghargaan, cinta,

kepercayaan, perhatian, dan kesediaan untuk mendengarkan. (Apollo &

Cahyadi, 2012: 261). Perhatian emosional yang diekspresikan melalui rasa suka,

cinta atau empati, misalnya ketika dalam pertengkaran dengan seorang yang
36

dicintai, maka ekspresi perhatian darai kawan sangatlah membantu. (Taylor, dkk.,

2009: 555). Kemudian terdapat satu tambahan lagi dari bentuk-bentuk dari

Dukungan Sosial, yaitu:

1) Modifikasi lingkungan

Modifikasi lingkungan berupa bantuan penilaian positif berupa umpan balik

dan membandingkan dengan orang lain. (Apollo & Cahyadi, 2012: 261) Menurut

Smet, (1994: 136) terdapat empat jenis atau dimensi dukungan sosial, yaitu

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Dukungan emosional yaitu mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik dan

penegasan)

2. Dukungan pengahargaan yaitu terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan)

positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan ata

perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain,

misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya

(menambah harga diri)

3. Dukungan instrumental: mencangkup bantuan langsung, seperti kalau

orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan

pekerjaan pada waktu mengalami stres.

4. Dukungan informatif: mencangkup memberi nasehat, petunjuk- petunjuk,

saran-saran atau umpan balik. Sarafino (dalam Purba, dkk., 2007: 82-83)

mengungkapkan pada dasarnya ada lima jenis dukungan sosial, adalah sebagai

berikut:
37

a. Dukungan emosi

Dukungan emosi meliputi ungkapan rasa empati, kepedulian, dan perhatian

terhadap individu. Biasanya, dukungan ini diperoleh dari pasangan atau keluarga,

seperti memberikan pengetian terhadap masalah yang sedang dihadapi atau

mendengarkan keluhannya. Adanya dukungan ini akan memberikan rasa

nyaman, kepastian, perasaan memiliki dan dicintai kepada individu.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan positif atau pengahargaan

yang positif pada individu, dorongan untuk maju, atau persetujuan akan gagasan

atau perasaan individu dan perbandingan yang positif individu dengan orang lain.

Biasanya dukungan ini diberikan oleh atasan atau rekan kerja. Dukungan jenis ini,

akan membangun perasaan berharga, kompeten dan bernilai.

c. Dukungan instrumental atau konkrit

Dukungan jenis ini meliputi bantuan secara langsung. Biasanya dukungan ini,

lebih sering diberikan oleh teman atau rekan kerja, seperti bantuan untuk

menyelesaikan tugas yang menumpuk atau meminjamkan uang atau lain-lain

yang dibutuhkan individu. Adanya dukungan ini, menggambarkan tersedianya

barang-barang (materi) atau adanya pelayanan dari orang lain yang dapat

memabantu individu dalam menyelesaikan masalahnya. Selanjutnya hal tersebut

akan memudahkan individu untuk dapat memenuhi tanggung jawab dalam

menjalankan perannya sehari-hari.

d. Dukungan informasi
38

Dukungan jenis ini meliputi pemberian nasehat, saran atau umpan balik

kepada individu. Dukungan ini, biasanya diperoleh dari sahabat, rekan kerja,

atasan atau seorang profesional seperti dokter atau psikolog. Adanya dukungan

informasi, seperti nasehat atau saran yang pernah mengalami keadaan yang serupa

akan membantu individu memahami situasi dan mencari alternatif pemecahan

masalah atau tindakan yang akan diambil.

e. Dukungan jaringan sosial

Dukungan jaringan dengan memberikan perasaan bahawa individu adalah

anggota dari kelompok tertentu dan memiliki minat yang sama rasa kebersamaan

dengan anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu yang

bersangkutan. Adanya dukungan jaringan sosial akan membantu indidivu untuk

mengurangi stres yang dialami dengan cara memenuhi kebutuhan akan

persahabatan dan kontak sosial dengan orang lain. Hal tersebut juga akan

membantu individu untuk mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran terhadap

masalah yang dihadapinya atau dengan meningkatkan suasana hati yang positif.

Menurut Apollo & Cahyadi (2012: 261) manfaat dukungan sosial adalah

mengurangi kecemasan, depresi, dan simtom-simtom gangguan tubuh bagi orang

yang mengalami stress dalam pekerjaan. Orang-orang yang mendapat dukungan

sosial tinggi akan mengalami hal-hal positif dalam hidupnya, mempunyai self

esteem yang tinggi dan self concept yang lebih baik, serta kecemasan yang lebih

rendah.
39

2.5.3 Sumber-sumber Dukungan Sosial

Sumber-sumber dukungan sosial menurut Goldberger & Breznitz (dalam

Apollo & Cahyadi, 2012: 261) adalah orang tua, saudara kandung, anak-anak,

kerabat, pesangan hidup, sahabat rekan sekerja, dan juga tetangga. Hal yang sama

juga diungkapkan oleh Wentzel dalam (Apollo & Cahyadi, 2012: 261) bahwa

sumber-sumber dukungan sosial adalah oarang- orang yang memiliki hubungan

yang berarti bagi individu, seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan

sekerja, saudara, dan tetangga, teman- teman dan guru disekolah.

Dukungan sosial dapat berasal dari pasangan atau patner, anggota keluarga,

kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompk, jamaah gereja atau

masjid, dan teman kerja atau atasan anda di tempat kerja. (Taylor, dkk., 2009:

555). Sedangkan menurut Tarmidi & Kambe (2010: 217-218) dukungan sosial

dapat diaplikasikan ke dalam lingkungan keluarga, yaitu orang tua. Jadi

dukungan sosial orang tua adalah dukungan yang diberikan oleh orang tua

kepada anaknya baik secara emosional, penghargaan, informasi atau pun

kelompok. Dukungan orang tua berhubungan dengan kesuksesan akademis

remaja, gambaran diri yang positif, harga diri, percaya diri, motivasi dan

kesehatan mental. Dukungan sosial orang tua dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu

dukungan yang bersifat positif dan dukungan yang bersifat negatif. Dukungan

positif adalah perilaku positif yang ditunjukkan oleh orang tua, dukungan yang

bersifat negatif adalah perilaku yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada

perilaku negatif anak.


40

2.5.4 Pentingnya Dukungan Sosial

Sosial bisa efektif dalam mengatasi tekanan psikologis pada masa sulit dan

menekan. Misalnya, dukungan sosial membantu mahasiswa mengatasi stresor

dalam kehidupan kampus. Dukungan sosial juga membantu memperkuat fungsi

kekebalan tubuh, mengurangi respons fisiologis terhadap stres, dan memperkuat

fungsi untuk merespons penyakit kronis. (Taylor, dkk., 2009: 555-556).

Hubungan sosial dapat membantu hubungan psikologis, memperkuat praktik

hidup sehat, dan membantu pemulihan dari sakit hanya ketika hubungan itu

bersifat sportif. Dukungan sosial mungkin paling efektif apabila ia “tidak

terlihat”. Ketika kita mengetahui bahwa ada orang lain yang akan membantu kita,

kita merasa ada beban emosional, yang mengurangi efektivitas dukungan sosial

yang kita trima. Tetapi ketika dukungan sosial itu diberikan secara diam-diam,

secara otomatis, berkat hubungan baiik kita, maka ia dapat mereduksi stres dan

meningkatkan kesehatan. (Taylor, dkk., 2009: 555-556). Menurut Kumalasari &

Ahyani (2012: 25) dukungan sosial selalu mencakup dua hal yaitu sebagai berikut:

1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi

individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu

membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).

2. Tingkat kepuasan akan dukungan sosial yang diterima yaitu berkaitan

dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan

berdasarkan kualitas).

Dukungan sosial bukan sekedar pemberian bantuan, tetapi yang penting

adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan tersebut.


41

Hal itu erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan,

dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi

dirinya karena sesuatu yangaktual dan memberikan kepuasan.

2.5.5 Faktor-faktor yang menghambat pemberian Dukungan Sosial

Faktor-faktor yang menghambat pemberian dukungan sosial adalah

sebagai berikut (Apollo & Cahyadi, 2012: 262):

1. Penarikan diri dari orang lain, disebabkan karena harga diri yang rendah,

ketakutan untuk dikritik, pengaharapan bahwa orang lain tidak akan menolong,

seperti menghindar, mengutuk diri, diam, menjauh, tidak mau meminta bantuan.

2. Melawan orang lain, seperti sikap curiga, tidak sensitif, tidak timbal balik,

dan agresif.

3. Tindakan sosial yang tidak pantas, seperti membicarakan dirinya secara terus

menerus, menganggu orang lain, berpakaian tidak pantas, dan tidak pernah merasa

puas.

2.5.6 Fungsi Dukungan Sosial

Segi-segi fungsional juga digaris bawahi dalam menjelaskan konsep

dukungan sosial. Misalnya, Rook (dalam Smet 1994: 134) menganggap

dukungan sosial sebagai salah satu di antara fungsi pertalian (atau ikatan) sosial.

Segi-segi fungsional mencakup: dukungan emosional, mendorong adanya

ungkapan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, pemberian bantuan

material. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari

hubungan interpersonal. Selain itu, dukungan sosial harus dianggap sebagai

konsep yang berbeda, dukungan sosial hanya menunjuk pada hubungan


42

interpersonal yang melindungi orang-orang terhadap konsekuensi negatif dari

stres.

2.5.7 Dukungan sosial sebagai kognisi atau fakta sosial

Penelitian menegaskan bahwa adanya jaringan sosial yang kuat (bersifat

mendukung) itu berhubungan secara positif dengan kesehatan. Hal ini akan

menguatkan hipotesis bahwa dukungan sosial itu merupakan variabel lingkungan.

Definisi operasional tentang dukungan sosial dalam konteks ini berasal dari

Gottieb (dalam Smet 1994: 135):

“ .... Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal adan/atau non

verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau

didapat karfena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek

perilaku bagi pihak penerima....” Orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa

dukungan sosial itu terdiri atas informasi yang menuntut orang meyakini bahwa ia

diurus dan disayangi setiap infromasi apapun dari lingkungan sosial yang

mempersiapkan persepsi subyek bahwa ia penerima efek positif, penegasan, atau

bantuan, menandakan ungkapan dukungan sosial.

2.6 Kekerasan terhadap anak

2.6.1 Pengertian Kekerasan terhadap anak

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 kekerasan terhadap

anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau pen


43

elantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum. (Infodatin, 2018)

Jenis kekerasan terhadap anak menurut Kantor Pusat Layanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang juga merupakan defenisi

dari the UN Convention on the Rights of the Child and the World Report

onViolence and Health, World Health Organization, 2002:

1. Kekerasan Fisik: pukul, tampar, tendang, cubit, dsb

2. Kekerasan Emosional: kekerasan berupa kata-kata yang menakut-nakuti,

mengancam, menghina, mencaci dan memaki dengan kasar dan keras.

3. Kekerasan Seksual: pornografi, perkataan-perkataan porno, tindakan tidak

senonoh/ pelecehan organ seksual anak.

4. Pengabaian dan penelantaran: segala bentuk kelalaian yang melanggar hak anak

dalam pemenuhan gizi dan pendidikan.

5. Kekerasan Ekonomi (Eksploitasi): mempekerjakan anak di bawah umur dengan

motif ekonomi, prostitusi anak.

Pelaku kekerasan yang berasal dari orang-orang yang seharusnya

menjadi pelindung bagi anak itu sendiri, minsalnya orang tua, kerabat dekat,

tetangga, hingga guru. Kekerasan terhadap anak menjadikan anak tidak berdaya

sehingga memiliki dampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak.

Salah satu kekerasan yang tidak disadari orang tua adalah menyalahkan anak

dengan kalimat menyakiti hati dan perasaan anak berulang-ulang. Merupakan

awal terjadinya kekerasan verbal pada anak.


44

2.7 Pengertian Kekerasan Emosional

Kekerasan emosional tidak begitu mudah dikenali. Namun, wujud

konkret kekerasan atau pelanggaran jenis ini yaitu; penggunaan kata-kata kasar,

penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau

di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata dan sebagainya

(Suyanto, 2019).

Emotional abuse atau penyiksaan emosi terjadi ketika orang

tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta

perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena

ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan

kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi (Huraerah, 2012).

Menurut Moffat dikutip oleh Wulandari (2018) kekerasan emosional

dapat diartikan sebagai sikap atau perilaku yang dapat menganggu

perkembangan sosial ataupun kesehatan mentak anak. Kekerasan emosional

juga disebut sebagai kekerasan verbal, mental ataupun kekerasan

psikologis. Terdapat efek jangka panjang dari kekerasan emosional yang

dapat berakibat buruk bagi perkembangannya pada masa remaja dan dewasa

nanti dan perilaku anak mungkin akan menjadi antisosial. Kemungkinan lain

adalah anak akan terlibat dalam penganiayaan baik secara fisik maupun

emosional.

Kekerasan emosional atau kekerasan verbal adalah kekerasan dalam

bentuk memarahi, mengomel, membentak, dan memaki anak dengan cara

berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata


45

yang tidak patut didengar oleh anak (Huraerah, 2018).

Kekerasan verbal adalah penganiayaan emosi maupun perlakuan

menyakiti emosional anak secara terus menerus sehingga menyebabkan

pengaruh buruk dan terus menerus pada perkembangan emosional anak, yang

meliputi penggunaan bahasa yang mengandung arti bahwa anak tidak beharga

atau tidak disayang, tidak cakap, dan semua yang menggambarkan harapan

orang tua yang tidak sesuai dengan usia anak dan perkembangan anak, sampai

pengabdian dan penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Armiyanti, Aini,

& Apriana, 2017).

2.8 Bentuk emotional abuse

Huraerah (2007) mengemukakan bentuk-bentuk emotional abuse,

diantaranya:

1) Penolakan

Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir

anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan.

2) Tidak diperhatikan

Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat

merespon kebutuhan anak-anak mereka, menunjukkan sikap tidak tertarik pada

anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran

anaknya.

3) Ancaman

Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak.

4) Isolasi
46

Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengizinkan anak mengikuti semua

kegiatan, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya terus.

5) Pembiaran

Membiarkan anak terlibat penyalah gunaan obat dan alkohol, berlaku kejam

terhadap binatang, melihat tayangan porno atau tindak kejahatan seperti

mencuri, berjudi, berbohong.

2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse

Menurut Soetjiningsih dikutip oleh Fitriana, dkk (2015) mengemukakan

beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan emotional abuse,

diantaranya:

1) Faktor Intern

a) Faktor pengetahuan orang tua

Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi

mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan

untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak

dipaksa melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi

marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan-

harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar

tindakan kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang

pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi

kekerasan pada anak.

b) Faktor pengalaman orang tua


47

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah merupakan

situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Semua tindakan kepada anak

akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada

masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan

menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.

Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada

gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula. Gangguan mental

(mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima

manusia ketika dia masih kecil.

2) Faktor Ekstern

a) Faktor ekonomi

Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan, dan

tekanan hidup atau ekonomi. Pengangguran, PHK, dan beban hidup lain kian

memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu

meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena

ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua

mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai

makhluk lemah, rentan, dan dianggap sepenuhnya milik orang tua, sehingga

menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya.

Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak

karena bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka

mempunyai jalan yang terbatas dalam mencari sumber ekonomi.

b) Faktor lingkungan
48

Faktor lingkungan juga mempengaruhi tindakan kekerasan pada anak.

Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban perawatan pada anak. Munculnya

masalah lingkungan yang mendadak juga turut berperan untuk timbulnya

kekerasan verbal. Televisi sebagai suatu media yang paling efektif dalam

menyampaikan berbagai pesan-pesan pada masyarakat luas yang merupakan

berpotensial paling tinggi untuk mempengaruhi perilaku kekerasan orang tua pada

anak.

2.10 Tanda dan gejala yang mengalami emotional abuse

Anak yang mengalami emotional abuse memiliki tanda dan gejala seperti

gambaran diri yang buruk, tingkah laku agresif, depresi, menarik diri, merusak

diri, mengalami masalah dalam belajar, mengalami masalah dalam bersosialisasi,

kehilangan minat pada sekitarnya (APA, 2010)

2.11 Dampak emotional abuse

Menurut Soetjiningsih (2007) dampak-dampak psikologis akibat

emotional abuse, diantaranya yaitu:

1) Gangguan emosi

Terdapat beberapa gangguan emosi pada korban kekerasan orang tua, seperti

terhambatnya perkembangan konsep diri yang positif, lambat dalam mengatasi

sifat agresif, gangguan perkembangan hubungan sosial dengan orang lain,

termasuk kemampuan untuk percaya diri. Dapat pula terjadi pseudomaturitas

emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa,

sedang yang lainnya menjadi menarik/menjauhi pergaulan.

2) Konsep diri rendah


49

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai,

tidak dikendaki, muram, tidak bahagia dan tidak mampu menyenangi aktifitas.

3) Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap teman sebayanya.

Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau

mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil rendahnya

konsep diri.

4) Hubungan sosial

Pada anak-anak dengan gangguan hubungan sosial sering kurang dapat

bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang-orang dewasa. Mereka

mempunyai teman sedikit dan suka mengganggu orang dewasa.

5) Bunuh diri

Tindak kekerasan pada anak akan menyebabkan stres mental yang dialami

oleh remaja. Stres mental ini apabila tidak tertangani maka akan berkembang

menjadi percobaan bunuh diri sehingga akan menyebabkan perilaku bunuh diri

oleh remaja.

6) Akibat lain

Menurut Lidya (2009) mengemukakan akibat lainnya adalah kecemasan

berat atau panik, depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah disekolah

Selain itu Rini (2011) berpendapat bahwa dampak dari emotional abuse

seperti kesulitan untuk menjalin hubungan atau persahabatan, merasa kesepian,

mudah curiga, kesulitan dalam menyesuaikan diri, lebih suka menyendiri,


50

merasa bersalah atau malu, depresi atau ansietas, penilaian rendah terhadap

kemampuan diri, dan sulit berkonsentrasi.

2.12 Pengukuran emotional abuse

Emotional abuse akan diukur menggunakan skala tingkat kekerasan emosi

dimana skor yang semakin tinggi menunjukkan bahwa subyek cenderung

mengalami tingkat emotional abuse yang rendah, sebaliknya semakin renda skor

yang diperoleh menujukkan semakin tinggi tingkat pengalaman mengalami

emotional abuse. Alat ukur ini dibuat oleh Wayanwiriawan. Dalam angket

tersebut, terdapat yang berisi 18 pertanyaan yang terdiri dari 8 pertanyaan

favorable dan 10 pertanyaan unfavorable.

Sistem penilaian skala emotional abuse menggunakan alternatif 4 jawaban

yaitu: Selalu (SS), Sering (S), Kadang-kadang (KK), dan Tidak Pernah (TP). Nilai

total dihitung dengan menjumlahkan nilai jawaban dari pertanyaan, setelah

dilakukan penelitian nantinya akan menghasilkan kategori tidak mengalami

emotional abuse di hasil skor > 55, mengalami emotional abuse jika hasil skor

≤ 55.

Tidak sayang dan dingin misalnya menunjukan sedikit atau tidak sama

sekali rasa sayang anak (seperti pelukan), kata-kata sayang.

1. Intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam anak, mengomel,

memerahi anak dan menggeretak anak.

2. Mengecilkan atau mempermalukan anak tindakan ini dapat berupa seperti:

merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif antara anak,


51

menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu didapat

dari kesalahan.

3. Kebiasaan mencela anak tindakan ini bisa dicontohkan seperti mengatakan

semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

Tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa: tidak memperhatikan anak,

memberi respon dingin, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak dikursi

untuk waktu lama dan meneror.

2.13 Pengertian Anak

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak secara

etimologi diartikan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum

dewasa (Kemdigbud, 2019). Menurut R.A Koesnan “anak-anak yaitu manusia

muda dalam umur muda dalam jiwa dan pejalanan hidupnya karena mudah

terpengaruh untuk keadaan sekitarnya. Secara nasional definisi anak menurut

perundang- undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang

belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum menikah. ada juga

yang mengatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun (Juwita, 2017).

Definisi anak sendiri terdapat beberapa pengertian, dari beberapa

penraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia antara lain:

1. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45

KUHP memberi batasan mengenai anak, yaitu apabila belum berusia 16

(enam belas) tahun, oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara

pidana hakim boleh memerintahkan supaya terdakwa dikembalikan kepada


52

orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu

hukuman, atau memerintahkan supaya dikembalikan kepada pemerintah

dengan tidak dikenakan.

2. Menuru Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2.14. Konsep Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain, berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Menurut skinner, perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari

luar. Perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu (Sujarwanto & Rofiah, 2019):

1. Perilaku tertutup

Perilaku tertutup merupakan respons seseorang terhadap stimulus dalam

bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini

masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap

yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat

diamati atau dilihat secara jelas orang lain.

2. Perilaku terbuka

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan

terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh

orang lain.
53

2.15.1. Perilaku Menurut Berbagai Aliran

1. Menurut Aliran Psikoanalisis

Menurut aliran yang dipelopori oleh Sigmund Freud ini adalah makhluk

yang digerakan oleh suatu keinginan yang terpendam dalam jiwanya.

Fokus aliran ini adalah totalitas kepribadian manusia bukan pada bagian-

bagian yang terpisah. Menurut aliran ini perilaku manusia dianggap

sebagai hasil interaksi sub system dari kepribadian yaitu bagian

kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia

merupakan pusat insting yang bergerak berdasarkan prinsip kesenangan

dan cenderungan memenuhi kebutuhannya. Bersifat egoistis, tidak

bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan.

2. Menurut Aliran Behaviorisme

Menurut aliran ini perilakunya digerakkan oleh lingkungannya.Manusia

berperilaku sebagai hasil belajar yaitu perubahan perilaku akibat pengaruh

dari lingkungannya.Dari sini timbul teori belajar dan teori tabula

rasa.Manusia dalam teori tersebut dianggap sebagai kertas putih atau meja

lilin ketika lahir artinya manusia belum memiliki mental.Pada

perkembangannya yang menyebabkan berubahnya dan bertambahnya

warna mental tersebut adalah pengalaman.Secara singkat maka aliran ini

menekankan bahwa perilaku manusia, kepribadian manusia, serta

tempramen didasarkan pada pengalaman inderawi.Menurut Bloom, seperti

dikutip Notoatmojo (2003), membagi perilaku itu didalam tiga domain

(ranah/kawasan), pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan


54

tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan ketiga

domain perilaku. Oleh parah ahli pendidikan dan untuk

kepentinganpengukuran hasil, ketiga domain itu diukur dari:

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa

pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil

keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

Berdasarkan penelitian Leony Manggivera Indika (2017), orang tua yang

berpengetahuan kurang dengan perilakukekerasan verbal tinggi sebanyak

20 orang(28,9%). Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang:

1) Faktor internal; faktor dari dalam diri sendiri, misalnya

intelegensia, minat, kondisi fisik.

2) Faktor Eksternal; faktor dari luar diri, misalnya keluarga,

masyarakat, sarana.

3) Faktor pendekatan belajar; faktor upaya belajar, misalnya strategi

dan metode dalam pembelajaran

2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mempunyai tiga kompenen

1) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

2) Kecenderungan untuk bertindak


55

3) Kepercayaan (keyakinan), ide, f, dan menyelesaikan tugas yang

diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

1. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

2. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih nya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Purwoastuti &

Walyani, 2015).

2.16. Theorical Mapping

Faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada

anak diantaranya faktor intern dan ekstern. Faktor intern terdiri dari

tingkat pengetahuan orang tua dan pengalaman orang tua. Faktor

ekstern terdiri dari tingkat ekonomi dan faktor lingkungan. (fitriani,dkk,

2020) Sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan menyusun modul

dan mengkaji tentang kesehatan mental orang tua serta adanya dukungan

sosial dalam mencegah kekerasan emosional pada anak.


56

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konseptual Penelitian adalah keterkaitan antara teori–teori atau

konsep yang mendukung dalam penelitian yang digunakan sebagai pedoman

dalam menyusun sistematis penelitian. Kerangka konseptual menjadi pedoman

peneliti untuk menjelaskan secara sistematis teori yang digunakan dalam

penelitian. Penelitian ini memiliki kerangka konseptual yang akan dijelaskan

pada gambar dibawah ini:

Gambar 3. 1 Kerangka Konseptual Penelitian


57

Gambar 3.1 menjelaskan kerangka konsep kesehatan mental orang tua

guna mencegah kekerasan emosional terhadap anak berbasis dukungan sosial.

penelitian ini dibangun dengan menggunakan beberapa teori antara variable-

variabel penelitian yaitu, antara variable dependen yang akan diamati atau

diukur melalui penelitian yang akan di laksanakan (Sugiyono,2017). Maslow

dan Mittlemenn memaparkan pandangannya terkait prinsip-prinsip kesehatan

mental. Prinsip-prinsip kesehatan mental yang dikembangkan oleh Maslow dan

Mittlemenn disebut sebagai manifestation of psychological health. Menurut

Maslow, puncak kebutuhan dari teori hierarki kebutuhan yang disusunnya

merupakan kondisi yang sehat secara psikologis atau dalam istilah self

actualization. Manifestasi mental secara sehat menurut pandangan Maslow dan

Mittlemenn tercermin dalam sebelas dimensi kesehatan mental.(Mittelman, W,

1991)

3.2 Hipotesis

1. Ada pengaruh faktor psikologis terhadap kesehatan mental orang tua.

2. Ada pengaruh faktor sosial budaya terhadap kesehatan mental orang tua.

3. Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap kesehatan mental orang tua.

4. Ada pengaruh dukungan sosial terhadap kesehatan mental orang tua

5. Ada pengaruh kesehatan mental orang tua terhadap Perilaku orang tua

sebagai pencegahan emosional pada anak.


58

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan 2 tahap yaitu sebagai berikut

4.1.1 Tahap 1

Tahap pertama jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam

penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan analitik,

menggunakan desain cross sectional yaitu satu penelitian untuk

mengetahui hubungan antara faktor-faktor tertentu dan penyakit atau

masalah kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesehatan

mental orang tua guna mencegah kekerasan emosional orangntua terhadap

anak berbasis dukungan sosial.

4.1.2 Tahap 2

Tahap kedua bertujuan untuk menyusun model dan Modul.

Penelitian ini bertujuan untuk diskusi pakar dan menyusun modul tentang

mengetahui kesehatan mental orang tua guna mencegah kekerasan

emosional orangntua terhadap anak berbasis dukungan sosial.

4.2 Lokasi dan waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya karena merupakan

salah satu kota yang tertinggi angka kekerasan emosional/psikologis pada

anak. Waktu yang diperlukan untuk penelitian November 2023-Juni 2024.


59

4.3 Populasi, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang tua siswa/i dan anak

usia 3 sampai 11 tahun diKota Surabaya tahun 2023.

Sampel penelitian ditentukan dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut:

1) Kriteria inklusi:

a. Ibu yang memiliki anak usia 3 sampai 11 tahun karena ibu lebih dominan

melakukan kekerasan emosional.

b. Anak yang mengalami kekerasan emosional

c. Kooperatif

4.3.2 Besar Sampel

Rumus yang digunakan untuk menghitung besar sampel pada penelitian

adalah teori menurut Roscoe (1975) mengajukan aturan umum (rule of thumb)

yaitu 5-10 kali jumlah variabel bebas yang diteliti. Adapun variabel bebas yang

diteliti pada penelitian ini sebanyak 12 variabel x 10 = 120 responden (rosecoe,

1975)

4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti

untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek atau fenomena (A, Aziz, 2011). Adapun definisi operasional dalam

penelitian ini adalah:


60

Tabel 4. 1 Definisi Operasional

Variabel Defenisi Cara Hasil ukur Skala Data


Operasional Pengukuran
Kekerasan Kekerasan Kuesioner Ordinal Melakukan
Emosional Emosional atau Tidak
Orang Tua tindakan yang melakukan
dilakukan orang
tua dalam bentuk
memarahi,
memaki,
mengomel,
membentak, dan
mengeluarkan
kata-kata kasar.
Kesehatan kondisi diri Nominal Sehat
Mental kesejahteraan Kuesioner Tidak sehat
yang disadari
individu, yang di
dalamnya terdapat
kemampuan-
kemampuan untuk
mengelola stress
kehidupan yang
wajar, untuk
bekerja secara
produktif dan
meghasilkan, serta
berperan di
komunitasnya
Dukungan Informasi atau Kuesioner Ordinal Ada
Sosial umpan balik dari Tidak ada
orang lain yang
menunjukkan
bahwa seseorang
dicintai dan
diperhatikan,
dihargai, dan
dihormati, dan
dilibatkan dalam
jaringan
komunikasi dan
kewajiban yang
timbal balik
61

Dukungan Ekspresi dari Kuesioner Ordinal Ada


Emosional afeksi, Tidak
kepercayaan,
perhatian, dan
perasaan
didengarkan
Dukungan Bantuan langsung, Kuesioner Ordinal Ada
Instrumen dapat berupa jasa, Tidak
waktu, atau uang

Dukungan Pemberian Kuesioner Ordinal Ada


Informatif Nasehat, petunjuk- Tidak
petunjuk, saran-
saran, informasi
atau umpan balik
Psikologis Pengalaman, Kuesioner Ordinal Ada
orang tua proses belajar, Tidak
kebutuhan

Sosial Stratifikasi sosial, Kuesioner Ordinal Ada


Budaya keluarga, Tidak
perubahan sosial

Lingkungan Fisik, biologis, Kuesioner Ordinal Ada


sosial Tidak

Prilaku Bentuk tindakan Kuesioner Ordinal Baik


pencegahan yang dilakukan Cukup
kekerasan responden berupa Kurang
emosional tindakan
mencegah
kekerasan
emosional

4.5 Instrumen yaPenelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkna data adalah dengan

kuesioner, Teknik pengumpulan data yang dipilih peneliti yaitu data primer,

dimana data yang diperoleh dengan mengumpulkan respon den dan

memberikan lembar obserfasi dan kuesioner, daftar pertanyaan yang peneliti


62

buat berisi tentang model kesehatan mental guna mencegah kekerasan verbal

orang tua terhadap anak berbasis dukungan sosial, lembar observasi dan

kuisioner di isi langsung oleh responden.

4.6 Kerangka Operasional

Gambar 4. 1 Kerangka Operasional


Berdasarkan gambar 4.1 ada lima variabel yaitu tentang Kesehatan Mental

dan Dukungan Sosial mempengaruhi kekerasan emosional orang tua terhadap

anak. Kekerasan emosional dan dukungan sosial merupakan variable

independen sedangkan kekerasan emosional orang tua terhadap anak sebagai

variable dependen.
63

4.7 Pengolahan Data dan Analisa Data

Pengolah data dilakukan dengan beberapa tahap. Langkah-langkah

pengolahan data sebagai berikut:

1. Editing

Proses editing dilakukan bersamaan dengan pengambilan data. Pada

waktu pengambilan data, nama dan alamat tidak dimasukan dalam table

hasil pengumpulan data. Editing juga merupakan kegiatan untuk

melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawabanya

sudah lengkap, jelas, relavan, dan konsisten.

2. Coding

Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng” kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk angka.

Coding atau pemberian kode ini sangat berguna dalam memasukan data

(data entri).

3. Entriatauprocessing

Memasukan data-data hasil penelitian kedalam computer untuk proses

analisis meliputi, umur responden, kelas, jenis kelamin, kekerasan verbal

dan prilaku remaja.

4. Tabulating

Data yang diperoleh kemudian di masukkan kedalam table sesuai

kategori, untuk umur, kekerasan verbal dan perilaku remaja.


64

4.8 Metode Analisis Data

1. Analisi Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variable penelitian. Peneliti memiliki dua variable yaitu

kekerasan verbal dan prilaku remaja,

1. Kesehatan Mental, dikatagorikan menjadi 2 hasil ukur yaitu:

1) Positif apabila nilai median >

2) Negatif apabila nilai median <

2. Dukungan Sosial

1) Positif apabila nilai median >

2) Negatif apabila nilai median <

3. Kekerasan emosional, dikatagorikan menjadi 2 hasil ukur yaitu:

1) Positif apabila anak mendapat kekerasan emosional dan diberi

kode 1 dengan nilai median >

2) Negatif apabila anak tidak mendapatkan perlakuan kekerasan

emosional dan diberi kode 2 dengan nilai median <

2. Analisis Bivariat

Apabila telah dilakukan analisis univariat, hasilnya akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variable, dan dapat dilanjutkan analisis

bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkolerasi, analisa data digunakan untuk

melihat interaksi antara Kekerasan emosional dan dukungan sosial

merupakan variable independen sedangkan kekerasan emosional orang tua


65

terhadap anak sebagai variable dependen. Tabel yang digunakan lebih dari

2x2 sehingga uji yang dianalisis adalah dengan ujichi-square.


66

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, N. D. (2019). Hubungan Kekerasan Verbal Orang Tua Dengan


Perkembangan Kognitif Anak. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699. Retrieved from http://repo.stikesicme-
jbg.ac.id/811/15/143210086 Nirwana Dewi A Artikel.pdf

Apollo & Cahyadi, Andi. (2012). Konflik Peran Ganda Perempuan Menikah
Yang Bekerja Ditinjau Dari Dukungan Sosial Keluarga Dan Penyesuaian
Diri. Widya Warta. No. 02. ISSN 0854-1981. 254-271.

Armiyanti, I., Aini, K., & Apriana, R. (2017). Pengalaman Verbal Abuse Oleh
Keluarga Pada Anak Usia Sekolah Di Kota Semarang. Jurnal Keperawatan
Soedirman, 12(1), 12. https://doi.org/10.20884/1.jks.2017.12.1.714

Cohen, S., Hoberman, H. (1983). Positive Events And Social Support As Buffers
Of Life Change Stress. Journal of Apllied Social Psychology. 13. 99-125

Diananda, A. (2019). Psikologi Remaja Dan Permasalahannya. Journal


ISTIGHNA, 1(1), 116–133. https://doi.org/10.33853/istighna.v1i1.20

Fakhriyani Vidya Diana. (2019). Kesehatan Mental. Duta Media Publishing. ISSN
978-623-7161-34-9

Fitriana, Y., Pratiwi, K., & Sutanto, A. V. (2015). Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Perilaku Orang Tua Dalam Melakukan Kekerasan
Verbal Terhadap Anak Usia Pra-Sekolah. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81–
93. https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.81-93

Firdaus, M. (2017). Gambaran Status Perkembangan Psikososial Anak Sd Usia 8-


10 Tahun Di Desa Purbo Kecamatan Bawang Kabupaten
Batang. Skripsi. Program Sarjana Universitas Muhammadiyah Semarang.
Semarang.

Juwita, Risma Reni (2017) Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan


Nomor1/PID.SUS.Anak/2015/PN.Malang. Other thesis, University of
Muhammadiyah Malang.

Hanurawan, F. (2012). Strategi Pengembangan Kesehatan Mental Di Lingkungan


Sekolah. PSIKOPEDAGOGIA Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 1(1).

Hasanah, U., & Raharjo, S. T. (2016). Penanganan Kekerasan Anak Berbasis


Masyarakat. SHARE: SOCIAL WORK JURNAL, 6(1), 80–92.

Huraerah, A. (2018). Kekerasan Terhadap Anak (cetakan 1; M. A. Elwa, Ed.).


67

Bandung: Nuansah Cendikia.

I Putu Adi Saskara, U. (2020). Peran Komunikasi Keluarga dalam Mengatasi


“Toxic Parent” bagi Kesehatan Mental Anak. 5, 125–134.

Julia, P., & Anwar, F. (2021). Analisis Strategi Pembinaan Kesehatan Mental
Oleh Guru Pengasuh Sekolah Berasrama Di Aceh Besar Pada Masa Pandemi.
Jurnal Edukasi Bimbingan Konseling, Vol. 7, No. 1, 2021 Hal : 64 s.d 83.
https://jurnal.ar-raniry.ac.id

Kemdigbud, KBBI Daring. https://kbbi.kemdigbud.go.id. D

Kemenkes RI. (2018). Data KPAI tentang Kekerasan Pada Anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. (2022). Data


Kekerasan Pada Anak.

KEMENPPPA. (2020). Angka Kekerasan Terhadap Anak Tinggi di


MasaPandemi KEMENPPPA Sosialisasikan Protokol Perlindungan
Anak. In
www.kemenpppa.go.id.https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29
/2738/angka-kekerasan- terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-ppa-
sosialisasikan-protokol- perlindungan-anak

King, Laura A. (2010). Psikologi umum sebuah pandangan apresiatif. Jakarta:


Salemba Humanika.
Kumalasari, Fani & Ahyani, Latifah Nur. (2012). Hubungan Antara Dukungan
Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja Dipanti Asuhan. Jurnal Psikologi
Pitutur. No. 1. Vol. 1. 21-31.

KPAI. (2020a). Hasil Survei KPAI Soal Kekerasan Fisik dan Psikis Terhadap
Anak Sama Pandemi Covid 19.
www.kompas.com.https://amp.kompas/nasional/read/2020/11/19/23214821/h
asil-survei-kpai-soal- kekerasan-fisik-dan-psikis-terhdap-anak-selama

Dewi, K. S. (2012). Buku Ajar Kesehatan Mental.

Eijgermans, D. G. M., Fang, Y., Jansen, D. E. M. C., Bramere, W. M., Raat, H. &
Jansen, W. (2021). Individual and contextual determinants of children’s and
adolescents’ mental health care use: A systematic review. Elsevier: Children
and Youth Services Review. 131,
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2021.106288, sitasi 7 September 2022.

Lestari, K. P. (2010). Hubungan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga


Dengan Prestasi Belajar DI Sekolah. Journal of Chemical Information and
Modeling. Retrieved from
68

http://ejurnal.stikeseub.ac.id/index.php/jkeb/article/view/94

Lestary, T. (2016). Verbal Abuse Dampak buruk dan Solusi Penanganannya pada
Anak (Cetakan pe). Yogyakarta: Psikosain.

Masturoh, I., & Anggita, N. T. (2018). Metode Penelitian Kesehatan. Kemenkes.

Maknun, L. (2016). Kekerasan Terhadap Anak Oleh Orang Tua yang Stress.
Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 12(2), 117-124.
https://doi.org/10.15408/harkat.v12i2.7565

Mittelman, W. (1991). Maslow’s Study of Self-Actualization. Journal of


Humanistic Psychology, 31(1), 114–135. doi:10.1177/0022167891311010

Muarifah, A., Wati, D. E., & Puspitasari, I. (2020). Identifikasi Bentuk dan
Dampak Kekerasan pada Anak Usia Dini di Kota Yogyakarta. Jurnal
Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 757.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v4i2.451

Musdalifah, N. (2016). Hubungan kekerasan verbal orangtua dengan gangguan


perilaku pada remaja di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota
Makassar. Retrieved from http://eprints.unm.ac.id/2352/

Notoatmojo, soekidjo.2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan.jakarta ;RINEKA


CIPTA

Purwoastuti, T. E., & Walyani, E. S. (2015). Perilaku Dan Softskills Kesehatan


Panduan Untuk Tenaga Kesehatan (cetakan pe). Yogyakarta:
pustakabarupress.

Pusdatin Kemenkes RI. (2018a). Data KPAI tentang Kekerasan Pada Anak.

Pusdatin Kemenkes RI. (2018b). Kekerasan Terhadap Anak dan Remaja.

Risma, D. (2020). Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas Pahlawan


Tuanku Tambusi, Vol. 2, pp. 448–455.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v4i1.322

Septiawan, H. (2016). Hubungan Antara Verbal Abuse Oleh Orang Tua dengan
Perilaku Agresif Pada Remaja DI SMK Negeri 1 Sedayu Bantul Yogyakarta.
Retrieved from http://repository.unjaya.ac.id/603/

Setiawati, Dermawan. 2008. Proses Pembelajaran Dalam Pendidikan


Kesehatan. Jakarta; TRANS INFO MEDIA

Smet, Bart. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana


69

Indonesia.

Stephens, T. & Aparicio, E. M. (2017). “It’s just broken bramches”: Child


welfare-affected mothers’ dual experiences of insecurity and striving for
resilience in the aftermath of complex trauma and familial substance abuse.
Elsevier: Children and Youth Service Review. 73, 248-256,
http://dx.doi.org/10.1016/j.childyouth.2016.11.035, sitasi 1 September 2022.

Sujarweni, W. (2014). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Gava


Media.

Sujatwanto, & Rofiah, K. (2019). Manajemen Pendidikan Anak Dengan


Gangguan Emosi Perilaku. Surabaya: Jakad Media Publishing.

Taylor, Shelley E, dkk. (2009). Psikologi Sosial. Ed. 12. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Tarmidi & Rambe, Ade Riza Rahma. (2010). Korelasi Antara Dukungan Sosial
Orang Tua dan Sel-derected Learning pada siswa SMA. Jurnal Psikologi.
No. 2. Vol. 37. 216-223.

Ulfatimah, S. (2019). Hubungan Kekerasan Verbal Dengan Kepercayaan Diri


Pada Anak Usia Remaja Di SMPN 2 Bangorejo Banyuwangi. Retrieved from
http://repository.unmuhjember.ac.id/7465/2/

Wulandari.s. (2019). Perilaku menyimpang dapat terjadi dimanapun dan


kapanpun termasuk remaja (p. 17 25). p. 17 25. Yogjakarta.

Wulandari, V., & Nurwati, N. (2018). Hubungan Kekerasan Emosional Yang


Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap Perilaku Remaja. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 132.
https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18364

Zigler, E & Hall, N. W. 1989. Physical child abuse in America: past, present, and
future. In
Zhang, L., Cai, C., Wang, Z., Tao, M., Liu, X., & Craig, W. (2019). Adolescent-to-
mother psychological aggression: The role of father violence and maternal
parenting style. Elsevier: Child Abuse & Neglect. 98,
https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2019.104229, sitasi 31 Agustus 2022.
70

Lampiran

THEORETICAL MAPPING

Source: Jurnal

No. Judul dan Penulis Metode Hasil Penelitian Keterangan


(Tahun)
1. Penganiayaan Emosional Anak Penelitian pustaka (library 1.
Orang tua yang Pengalaman dan
Usia Dini melalui Bahasa research) yaitu penelitian pustaka berkarakter keras pengetahuan orangtua
Negatif dalam Kekerasan Verbal, dengan data yang diperoleh dari cenderung lebih sering merupakan faktor
2020 perpustakaan, seperti: melakukan kekerasan dominan orangtua yang
ensiklopedia, skripsi, skripsi, verbal terhadap anak. melakukan kekerasan
disertasi, buku, jurnal, dokumen, Karakter ini verbal terhadap
kamus dan majalah (Khahtibah, dipengaruhi dengan anaknya. Dampaknya,
2013). latar belakang Anak mudah
keluarganya. menggunakan bahasa-
2. Anak yang menjadi bahasa yang negatif
korban penganiayaan dalam kehidupan
emosional akan sosialnya dan
menjadi manusia yang melakukan tindakan-
tidak berakhlak, baik tindakan yang
dari segi perbuatan menyimpang.
maupun ucapan. Anak
tersebut akan dengan
mudahnya
menggunakan bahasa-
bahasa yang negatif
dalam kehidupan
sosialnya dan
melakukan tindakan-
tindakan yang
menyimpang. Anak
juga dapat besar
menjadi karakter yang
tidak peduli pada
sekitar. Mereka akan
susah bergaul dan
cenderung lebih
tertutup
2. Penanganan Kekerasan anak kekerasan terhadap anak dilihat 1. Anak yang menjadi Mata rantai tindak
berbasis Masyarakat dari perspektif ekologi korban kekerasan perlu kekerasan terhadap
ditangani secara anak perlu diputus
khusus karena korban karena anak dengan
kekerasan akan masa lalu mengalami
mengalami trauma kekerasan
baik fisik maupun kencenderungan
mental. menimbulkan trauma
2. Penanganan kekerasan untuk melakukan
terhadap anak kekerasan pula ketika
memerlukan kerjasama mereka dewasa
dari orang tua,
keluarga, masyarakat
71

dan pemerintah.
3. Perilaku Kekerasan Ibu terhadap Deskriptif kualitatif dengan 1. Salah satu dampak Kekerasan yang
Anak Selama Pandemi Covid 19, pendekatan studi kasus negatif pandemi covid dialkukan ibu dengan
2021 terjadinya kekerasan berbagai alasan dan
pada anak dalam faktor
berbagai bentuk
seperti emosional
2. Pengetahuan ibu yang
kurang tentang
kekerasan Verbal
4. Kekerasan Verbal pada Anak, Jenis tulisan ini tulisan yang 1. Kekerasan verbal yang Penyebab terjadinya
2019 bersifat literatur review dan studi dilakukan secara lisan kekerasan verbal
pustaka. secara terus menerus pendapatan orang tua,
hingga menyebabkan pengetahuan,
terhambatnya lingkungan
perkembangan pada
anak usia dini
2. Penganiayaan secara
emosional dengan
kekerasan verbal akan
menyebabkan
gangguan emosi pada
anak
5. Pengaruh Pola Asuh dan Jenis penelitian yang digunakan 1. Adanya pengaruh Pola asuh dan kekerasan
Kekerasan Verbal terhadap dalam penelitian ini adalah langsung pola asuh verbal pada anak
kepercayaan Diri, 2019 penelitian Kuantitatif Asosiatif. terhadap kepercayaan berpengaruh terhadap
diri kepercayaan diri
2. Terdapatnya pengaruh
kekerasan verbal
dengan kepercayaan
diri
6. Gambaran Verbal Abuse Orang Penelitian yang digunakan adalah 1. Mayoritas responden Verbal Abuse yg
Tua pada Anak Usia Sekolah deskriptif. mengalami Verbal didapatkan yaitu
Abuse dibentak, dipanggil dgn
teriakan dan nada keras
serta kata-kata kasar,
menjelekkan anak, dan
menghukum
7. Identifikasi Bentuk dan Dampak Peneliti menggunakan angket 1. Kesadaran orang tua Alasan orang tua
Kekerasan pada Anak Usia Dini untuk melakukan pengambilan bahwasanya melakukan kekerasan
dikota Yogyakarta data lalu menganalisanya secara seharusnya kekerasan terhadap anak untuk
statistik dan menguraikna secara terhadap anak tidak mendisiplinkan anak.
deskriptif. dilakukan
2. Namun responden
masih melakukan
kekerasan terhadap
anak dalam berbagai
bentuk
8. Hubungan Perilaku Verbal Abuse Jenis penelitian yang digunakan 1. Orang tua yg tidak Adanya hubungan
Orang Tua dengan Perilaku dalam penelitian ini adalah melakukan Verbal Verbal Abuse orang tua
Bullying pada Anak Usia Sekolah penelitian Kuantitatif (deskriptif Abuse memiliki anak dengan perilaku
korelasional) dengan prilaku bullying pada anak
bullying ringan
2. Sedangka orang tua
yang melakukan
72

Verbal Abuse
memiliki anak dengan
perilaku bullying berat
9. Hubungan Verbal Abuse orang tua Jenis penelitian yang digunakan 1. Adanya pengaruh Besarnya peran orang
dengan Perkembangan Kognitif dalam penelitian ini adalah Verbal Abuse dengan tua dalam
pada Anak Usia Sekolah Di SD penelitian Kuantitatif dengan perkembangan kognitif perkembangan kognitif
Inpres Tempok Kecamatan studi deskriptif korelasi pada anak anak
Tompaso
10. Children of divorce evaluate Data dianalisis menggunakan 1. Semakin sering konflik Semakin banyak
their quality of life: The pemodelan linier hierarkis orang tua yang intensitas konflik
moderating effect of dengan model campuran dirasakan pada waktu semakin rendah
psychological processes yang lama, semakin evaluasi anak terhadap
The Hebrew University, JDC rendah evaluasi anak- kualitas hidup mereka
Hill, POB, 3886, Jerusalem anak terhadap kualitas Kualitas Anak-anak dari
9103702, Israel hidup mereka. orang tua yang
2. Karena konflik orang bercerai kualitas hidup
tua dan bercerai dapat mereka mengacu pada
berimplikasi kepada berbagai faktor risiko
kesejahteraan anak. dan ketahanan.
11. Hubungan Persepsi Siswa Siswi penelitian kuantitatif 1. Persepsi siswa dan Siswa-siswi mengetahui
Sekolah Dasar Terhadap Perilaku siswi kelas 6 terhadap dan memahami tentang
Kekerasan Oleh Orang Tua Di kekerasan anak adalah perilaku kekerasan oleh
Kota Jambi, Iis Hartini, Suandi & siswa- siswi tersebut orang tua, siswa-siswi
Fuad Muchlis, 2020 memahami aspek tersebut merasa sedih
kognisi, afeksi dan apabila mengalami
konasi (>80%) perilaku kekerasan oleh
orang tua. Tidak setuju
kegiatan/perbuatan
kekerasan baik secara
fisik, psikis maupun
seksual oleh orang tua.
Jenis kekerasan yang
paling banyak dialami
adalah kekerasan psikis
karena masalah
ekonomi.
12. Faktor-faktor penyebab orang tua Metode penelitian ini adalah 2. Faktor-faktor yang Faktor yang
melakukan kekerasan verbal pada penelitian kepustakaan (library berhubungan dengan menyebabkan orang tua
anak usia Dini, Erniwati, Wahidah research) yang disebut dengan kejadian kekerasan melakukan kekerasan
Fitriani, 2020 penelitian kepustakaan dengan verbal pada anak usia pada anak diantaranya
data-data yang didapat dari pra-sekolah adalah faktor intern dan
perpustakaan baik berupa umur, pengetahuan, ekstern. Faktor intern
ensklopedia, skripsi, tesis, sikap, pengalaman, dan terdiri dari tingkat
disertasi, buku, jurnal, dokumen, lingkungan. pengetahuan orang tua
kamus, dan majalah. Sumber dan pengalaman
data penelitian ini diperoleh dari orang tua. Faktor
literature berupa jurnal yang ekstern terdiri dari
relevan yang terdiri dari 5 jurnal tingkat ekonomi dan
yang memiliki variable yang faktor lingkungan.
sesuai dengan topik penelitian.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dokumentasi
yaitu mencari data mengenai
variable berupa artikel atau jurnal.
13. Faktor – faktor Yang Penelitian kuantitatif dengan 3. Hasil penelitian Faktor yang
73

Mempengaruhi Orang Tua menggunakan metode menunjukkan bahwa mempengaruhi


Melakukan Verbal Abuse pendekatan deskriptif analitik terdapat lebih dari kekerasan verbal oleh
Pada Anaknya Di Desa Surodadi 50% responden yang orang tua yaitu
Kecamatan Gajah Demak, memiliki pengetahuan pengetahuan,
Yulisetyaningrum, Tri Suwarto, baik, pengalaman pengalaman orang tua,
2018 mendapatkan keluarga, ekonomi,
kekerasan verbal saat sosial, lingkungan.
masih kecil, status
ekonomi rendah,
karakteristik keluarga
yang rendah untuk
terjadinya kekerasan
verbal, dan lingkungan
yang sedang untuk
mendukung terjadinya
kekerasan verbal pada
anak.
14. Psychological and physical Stratified random sampling the 1. Results indicated Findings highlight the
intimate partner violence and analytic sample that neither importance of
young children’s mental physical nor maternal PTSD
health: The role of maternal psychological IPV symptoms and
posttraumatic stress symptoms experienced by parenting behavior on
and parenting behaviors, mothers was young children’s
Carolyn A. Greene, 2018 directly associated symptoms of psy-
with children’s chopathology
symptoms. following IPV
2. Both types of exposure, and
victimization were underscores the need
associated with for further
maternal PTSD examination and
symptoms. refinement of the
3. Examination of mechanisms of
indirect pathways transmission of risk.
suggested that Supporting parents in
maternal PTSD recovering from the
symptoms sequelae of their own
mediated the traumatic experiences
relationship is critical, for their
between mothers’ own emotional
psychological and health, as well as that
physical IPV of their children.
experiences and
children’s
4. internalizing and
externalizing
symptoms and
mothers’
restrictive/punitive
parenting mediated
the relationship
between mothers’
psychological IPV
and children’s
externalizing
symptoms
74

15. Pelecehan Verbal Anak dan Efek Menggunakan desain retrospektif 1. Individu yang telah Mengidentifikasi
psikologinya pada Orang Dewasa, dilecehkan secara beberapa kemungkinan
Lani Thomason, 2018 verbal mengalami efek jangka panjang
rasa tidak aman dan dari kekerasan verbal
mempengaruhi pada masa kanak-
keadaan emosional kanak. Pentingnya
dan kesehatan pendidikan kepada
mental. orang tua tentang
pengaruh jangka
panjang dari kata-kata
orang tua
16. “It's just broken branches”: phenomenological studies Phenomenological penelitian ini
Child welfare-affected mothers' analysis of the life mengungkapkan bukti
dual experiences of insecurity histories of child welfare trauma kompleks yang
and striving for resilience in the af- fected mothers didapat dari
aftermath of complex trauma uncovered evidence of pengalamannya diasuh
and familial substance abuse complex trauma and dalam keluarga dengan
familial substance penyalahgunaan
abuse history, through obat/zat (narkoba). Para
which resilience in the ibu juga mengalami
midst of im- mense banyak trauma dalam
insecurity emerged. kehidupan mereka,
Mothers experienced mulai dari pelecehan
multiple traumas in dan penelantaran, serta
their lives, from abuse kekerasan yang mereka
and neglect to intimate terima dari pasangan.
partner violence. lahir dan diasuh dalam
keluarga dengan
penyalahgunaan obat
terlarang menambah
dampak signifikan bagi
ibu dalam menjalankan
perannya dalam
mengasuh anak-anaknya
17. Adolescent to Mother Methods: Participants were Hasil dalam penelitian ini Hasil dalam penelitian
Psychological Aggression: The 1134 students from 7 to 12 menunjukkan bahwa ini menunjukkan bahwa
Role of Father Violence and grade (M = 14 years, SD = langkah pertama untuk langkah pertama untuk
Maternal Parenting Style 1.5) in Qingdao located in mengakhiri agresi mengakhiri agresi
Shandong Province in east side psikologis remaja psikologis remaja
of China where the Confucian terhadap ibu dimulai dari terhadap ibu dimulai
Culture began. The ayah menunjukkan rasa dari ayah menunjukkan
instruments used were a hormat kepada kakek- rasa hormat kepada
demographics questionnaire, nenek dan memiliki kakek-nenek dan
adolescent-to-mother hubungan yang sehat memiliki hubungan
psychological aggression dengan kakek-nenek, yang sehat dengan
questionnaire, father’s violent yang akan memberikan kakek-nenek, yang akan
behavior questionnaire and contoh bagaimana anak memberika1n contoh
maternal parenting style berinteraksi dengan ibu bagaimana anak
questionnaire. mereka dan bagaimana berinteraksi dengan ibu
berperilaku dengan tradisi mereka dan bagaimana
moral . Langkah kedua berperilaku dengan
adalah menghentikan tradisi moral . Langkah
perilaku kekerasan fisik kedua adalah
ayah kepada ibu. Langkah menghentikan perilaku
ketiga adalah membangun kekerasan fisik ayah
75

hubungan yang sehat kepada ibu. Langkah


antara ibu dan remaja ketiga adalah
melalui pengasuhan yang membangun hubungan
lebih hangat dan yang sehat antara ibu
pengertian, dan dengan dan remaja melalui
lebih sedikit kontrol dan pengasuhan yang lebih
penolakan. hangat dan pengertian,
dan dengan lebih sedikit
kontrol dan penolakan.

Anda mungkin juga menyukai