Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GANGGUAN SISTEM RESPIRASI DENGAN MASALAH KESEHATAN


COVID-19 KOMORBID HIPERTENSI DIPUKESMAS PEGANDAN SEMARANG
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik
Dosen Pembimbing : Ns. Novita Wulan Sari., M.Kep

Disusun Oleh :
GABRILIA DIAN PERTIWI
20101440119050

PRODI DIII KEPERAWATAN


STIKES KESDAM IV/ DIPONEGORO SEMARANG
TA 2021 / 2022
I. KONSEP GANGGUAN SISTEM RESPIRASI
A. DEFINISI SISTEM RESPIRASI
Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di dalam
tubuh. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan
membuang karbon dioksida ke lingkungan.
Respirasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :
 Respirasi Luar merupakan pertukaran antara O2 dan CO2 antara darah dan
udara.
 Respirasi Dalam merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran darah ke sel-
sel tubuh.
Dalam mengambil nafas ke dalam tubuh dan membuang napas ke udara
dilakukan dengan dua cara pernapasan, yaitu :
1. Respirasi / Pernapasan Dada
 Otot antar tulang rusuk luar berkontraksi atau mengerut
 Tulang rusuk terangkat ke atas
 Rongga dada membesar yang mengakibatkan tekanan udara dalam dada
kecil sehingga udara masuk ke dalam badan.
2. Respirasi / Pernapasan Perut
 Otot difragma pada perut mengalami kontraksi
 Diafragma datar
 Volume rongga dada menjadi besar yang mengakibatkan tekanan udara
pada dada mengecil sehingga udara pasuk ke paru-paru.
B. GANGGUAN PADA SISTEM RESPIRASI
pernapasan manusia yang terdiri atas beberapa organ dapat mengalami
gangguan. Gangguan ini biasanya berupa kelainan atau penyakit. Penyakit atau
kelainan yang menyerang sistem pernapasan ini dapat menyebabkannya proses
pernapasan. Berikut adalah beberapa contoh gangguan pada system pernapasan
manusia.
1. Emfisema, merupakan penyakit pada paru-paru. Paru- paru mengalami
pembengkakan karena pembuluh darah nya kemasukan udara.
2. Asma, merupakan kelainan penyumbatan saluran pernapasan yang disebabkan
oleh alergi, seperti debu,bulu, ataupun rambut. Kelainan ini dapat diturunkan.
Kelainan ini juga dapat kambuh jika suhu lingkungan.
3. Tuberkulosis (TBC), merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut menimbulkan bintil- bintil pada
dinding alveolus. Jika penyakit ini menyerang dan dibiarkan semakin
luas,dapat menyebabkan sel-sel paru-paru mati. Akibatnya paru- paru akan
kuncup atau mengecil. Hal tersebut menyebabkan para penderita TBC
napasnya sering terengah-engah.
4. Infuenza (flu), merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus infuenza.
Penyakit ini timbul dengan gejala bersin-bersin, demam, dan pilek.
5. Kanker paru-paru. Penyakit ini merupakan salah satu paling berbahaya. Sel-
sel kanker pada paru-paru terus tumbuh tidak terkendali. Penyakit ini lama-
kelamaan dapat menyerang seluruh tubuh. Salah satu pemicu kanker paru-
paru adalah kebiasaan merokok. Merokok dapat memicu terjadinya kanker
paru- paru dan kerusakan paru-paru.
6. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernapasan dan jaringan paru-paru. Misalnya, sel mukosa membesar (disebut
hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (disebut hiperplasia). Dapat
pula terjadi radang ringan, penyempitan saluran pernapasan akibat
bertambahnya sel sel dan penumpikan lendir, dan kerusakan alveoli.
Perubahan anatomi saluran pernapasan menyebabkan fungsi paru-paru
terganggu.

II. KONSEP COVID


A. DEFINISI CORONAVIRUS
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-
2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit akibat infeksi virus ini
disebut COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem
pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau yang
lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari Coronavirus yang
menular ke manusia. Virus ini dapat menyerang siapa saja, mulai
dari lansia (golongan usia lanjut), orang dewasa, anak-anak dan bayi, sampai ibu
hamil dan ibu menyusui.
Wabah penyakit ini begitu sangat mengguncang masyarakat dunia, hingga
hampir 200 Negara di Dunia terjangkit oleh virus ini termasuk Indonesia. Berbagai
upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 pun dilakukan oleh pemerintah di
negara-negara di dunia guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini, yang
disebut dengan istilah lockdown dan social distancing (Supriatna, 2020)
B. ETIOLOGI
Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan SarsCoV-2. Virus corona adalah
zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa
SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta
ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID19 ini masih
belum diketahui (Kemenkes, 2020)
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus baru,
‘CO’ diambil dari corona, ‘VI’ virus, dan ‘D’ disease (penyakit). Sebelumnya,
penyakit ini disebut ‘2019 novel coronavirus’ atau ‘2019-nCoV.’ Virus COVID-19
adalah virus baru yang terkait dengan keluarga virus yang sama dengan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS) dan beberapa jenis virus flu biasa (WHO, 2020).
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi COVID-19 diawali dengan interaksi protein spike virus dengan
sel manusia. Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi dan memfasilitasi
ekspresi gen yang membantu adaptasi virus SARS-CoV-2 (severe acute respiratory
syndrome virus corona 2) pada inang. Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen, atau
delesi, akan menyebabkan perubahan genom yang menyebabkan outbreak di
kemudian hari.
1. Peran Reseptor ACE2
SARS-CoV-2 menggunakan reseptor angiotensin converting enzyme 2
(ACE2) yang ditemukan pada traktus respiratorius bawah manusia dan enterosit
usus kecil sebagai reseptor masuk. Glikoprotein spike (S) virus melekat pada
reseptor ACE2 pada permukaan sel manusia. Subunit S1 memiliki fungsi sebagai
pengatur receptor binding domain (RBD). Sedangkan subunit S2 memiliki fungsi
dalam fusi membran antara sel virus dan sel inang.
2. Replikasi Virus di Dalam Sel
Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan dikeluarkan dalam sitoplasma
sel inang. RNA virus akan mentranslasikan poliprotein pp1a dan pp1ab dan
membentuk replication/transcription complex (RTC). Selanjutnya, RTC akan
mereplikasi dan menyintesis subgenomik RNA yang mengodekan pembentukan
protein struktural dan tambahan.
Gabungan retikulum endoplasma, badan golgi, genomik RNA, protein
nukleokapsid, dan glikoprotein envelope akan membentuk badan partikel virus.
Virion kemudian akan berfusi ke membran plasma dan dikeluarkan dari sel-sel
yang terinfeksi melalui eksositosis.
3. Penyebaran Virus ke Seluruh Organ
Virus-virus yang dikeluarkan kemudian akan menginfeksi sel ginjal, hati,
intestinal, dan limfosit T, dan traktus respiratorius bawah, yang kemudian
menyebabkan gejala pada pasien. Gejala dan tanda COVID-19 terutama berupa
infeksi saluran napas, tetapi dapat juga menyebabkan di saluran pencernaan seperti
diare, mual, dan muntah, jantung seperti miokarditis, saraf seperti anosmia bahkan
stroke, serta mata dan kulit.
D. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan
pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6
hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat
dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan
kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus
adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil
rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemenkes, 2020).
Berdasarkan uraian diatas, untuk itu Institut Informasi dan Bisnis Darmajaya
Jurusan Teknik Informatika, Akuntasi, Managemen Dan SIStem Informasi
Menerapkan program PKPM. Program Pkpm ini Untuk mengetahui gejala apa saja
yang mengakibatkan Orang terkena VIRUS Covid-19, Dengan cara mengetahui gejala
awal infeksi virus Corona atau COVID-19 bisa menyerupai gejala flu, yaitu demam,
pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Setelah itu, gejala dapat
hilang dan sembuh atau malah memberat. Maka dengan ini penulis akan
menggunakan CT-Scan Citra Dada supaya gejala lain apa saja yang bisa
mengakibatkan orang terkena virus CORONA atau COVID-19.
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis.
1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia.
Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit
kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan
(ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan.
Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan
kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada
demam.
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >
93% dengan udara Pedoman Tatalaksana COVID-19 7 ruangan ATAU Anak-
anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas
+ napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.
E. PATHWAY
Alur diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia covid-19

Pasien dengan gejala:


 Demam atau riwayat demam
 Batuk atau pilek atau sakit tenggorokan
 Sesak atau kesulitan bernapas
 Riwayat bepergian ke Tiongkok atau daerah
yang sudah terjangkit lainnya dalam 14 hari
terakhir
Orang dalam
pemantauan
 Gambaran Pneumonia pada foto toraks    ATAU  (rawat jalan)
 Kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19 ATAU  Bila tidak
 Bekerja/mengunjungi fasilitas kesehatan yang merawat 
kasus konfirmasi COVID‐19 ATAU 
 Riwayat kontak hewan penular (jika sudah teridentifikasi) 
Bila iya
Hubungi Dinkes
Pasien Dalam Pengawasan
dan Posko KLB

Rujuk ke RS Rujukan yang telah


ditunjuk oleh Kemkes / Dinkes

 Masuk ruang isolasi


 Periksa : DPL, Fungsi hepar, fungsi ginjal, Laktat dan PCT
 Pemeriksaan swab nasofaring, sputum, cairan BAL untuk
pemeriksaan Coronavirus (spesimen dikirim ke Lab di
Litbangkes)

Bila hasil swab tenggorok / sputum / BAL Bila hasil swab tenggorok /
terkonfirmasi positif, diagnosis COVID- sputum / BAL bukan virus SARS
19 Tatalaksana: CoV-2, maka tatalaksana seperti
 Terapi simptomatik  pneumonia pada umumnya
 Terapi cairan 
 Terapi oksigen 
 Ventilator mekanik (bila gagal napas)  Pasien dapat dipulangkan bila:
 Serial foto toraks sesuai indikasi  Klinis membaik dan pemeriksaan
 Tatalaksana syok sepsis (bila terjadi)  PCR menunjukkan hasil negatif 2
 Pemberian antibiotik empiris kali berturut - turut
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Tanpa gejala
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP)
 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
b. Non-farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke
rumah):
 Pasien :
 Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan
anggota keluarga
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering
mungkin.
 Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing) - Upayakan kamar tidur
sendiri / terpisah
 Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis) - Alat makan-
minum segera dicuci dengan air/sabun
 Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum
jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore). 10 Pedoman Tatalaksana COVID-19
 Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik /
wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya
sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci - Ukur dan catat suhu
tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
 Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi
peningkatan suhu tubuh > 38o C
 Lingkungan/kamar:
 Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara - Membuka jendela kamar secara
berkala
 Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar
(setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
 Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering
mungkin.
 Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan
lainnya
 Keluarga:
 Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya
memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.
 Anggota keluarga senanitasa pakai masker - Jaga jarak minimal 1 meter
dari pasien
 Senantiasa mencuci tangan
 Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
 Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
 Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien misalnya
gagang pintu dll
c. Farmakologi
 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin Pedoman Tatalaksana COVID-19 11
dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan
golongan obat ACE-inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu
berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis
Jantung .
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; - Tablet Vitamin C non acidic 500
mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) - Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral
(selama 30 hari) - Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24
jam (selama 30 hari), - Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin
C,B, E, Zink
 Vitamin D - Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,
sirup) - Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan
tablet kunyah 5000 IU)
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli
Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis
pasien.
 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
2. Derajat ringan
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak
muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga
gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan
mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
12 Pedoman Tatalaksana COVID-19
 Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa
gejala).
c. Farmakologis
 Vitamin C dengan pilihan:
 Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
 Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
 Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30
hari),
 Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E, zink.
 Vitamin D
 Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,
sirup)
 Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet
kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
 Antivirus :
 Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5- 7 hari (terutama bila
diduga ada infeksi influenza) ATAU
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral
hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
 Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern
Asli Indonesia (OMAI) yang Pedoman Tatalaksana COVID-19 13
teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan
tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
3. Derajat sedang
a. Isolasi dan Pemantauan
 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit
Darurat COVID-19
 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat
COVID-19
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi
cairan, oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung
jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi
hati dan foto toraks secara berkala.
c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Diberikan terapi farmakologis berikut:
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau
sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi
bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah
 Salah satu antivirus berikut :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12
jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau 14
Pedoman Tatalaksana COVID-19
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip
(hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 66-
75)
 Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. Derajat berat atau kritis


a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
 Pengambilan swab untuk PCR
b. Non farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi
cairan), dan oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis,
bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati,
Hemostasis, LDH, D-dimer.
 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
 Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
 Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
 Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
 PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
 Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada
pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
 Limfopenia progresif,
 Peningkatan CRP progresif,
 Asidosis laktat progresif.
 Monitor keadaan kritis
 Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal
multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
 Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan
ventilator mekanik
 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu
sebagai berikut
 Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive
mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi
paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV.
 Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema
paru.
 Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone
position).
 Terapi oksigen:
 Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas
dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai
target SpO2 92-96%.
 Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High Flow
Nasal Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi
perburukan klinis.
 Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40%
sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target
SpO2 92 - 96%.
 Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
 Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan fraksi
oksigen, jika
 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
 Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu
nafas aktif)
 Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari dapat
memperbaiki 16 Pedoman Tatalaksana COVID-19 oksigenasi dan
mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
 Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan indeks
ROX.
 Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman
(indeks ROX >4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien
tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX >3.85 menandakan
risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi.
 Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi oksigen
dengan HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien,
pertimbangkan untuk menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.
 De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC, dimulai
dengan menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%,
selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1-2 jam) hingga mencapai 25 L.
 Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional ketika flow
25 L/menit dan FiO2 < 30%.
Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju
napas

c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
 Vitamin D - Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk,
sirup) Pedoman Tatalaksana COVID-19 21 - Obat: 1000-5000 IU/hari
(tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari) atau sebagai
alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri:
dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).
 Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri,
pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan
faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus
dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus)
patut dipertimbangkan.
 Antivirus :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral
hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari
ke 2-5 atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 66-
75)
 Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid
lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi
oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
 Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana
syok yang sudah ada (lihat hal. 55).
 Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
 Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis
pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing
apabila terapi standar tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian
dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim COVID-19
rumah sakit. Contohnya anti-IL 6 (tocilizumab), plasma konvalesen.
G. KOMPLIKASI
Berbagai gejala dirasakan oleh pengidap COVID-19 mulai dari gejala ringan,
hingga berat dan menimbulkan komplikasi diantaranya yaitu:
1. Pneumonia
2. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
3. Gangguan hati
4. Gagal ginjal akut
5. Gangguan neurologis
6. Gangguan jantung
H. DATA PENUNJANG
1. X-Ray toraks: hazy opacities yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru.
2. CT Scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral yang terdistribusi di
bagian basal dan perifer paru.
3. USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifocal, diskret, atau konfluens),
pola konsolidasi dengan atau tanpa air bronchograms
4. Pemeriksaan RT-PCR (Swab Test)
Pemeriksaan RT PCR merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi
materi genetik virus. Pemeriksaan PCR dapat menggunakkan sampel swab
nasofaring (melalui hidung) dan swab orofaring (melalui tenggorokan).
5. Pemeriksaan Serologis (Rapid Test)
Rapid test lebih berperan sebagai cara penyaringan awal terhadap kasus positif
Covid-19. Hasil rapid test tak bisa dijadikan penopang diagnosis pasien Covid-19.
Sebab, pemeriksaan serologis ini hanya bertujuan melihat ada atau tidaknya
sistem kekebalan tubuh yang muncul sebagai respons terhadap masuknya virus.
Virus ini tidak selalu SARS-CoV-2 atau penyebab Covid-19. Waktu pemeriksaan
juga mempengaruhi hasil rapid test. Bisa jadi belum ada respons dari sistem imun
karena virus corona baru saja masuk.Karena itu, hasil rapid test yang positif atau
reaktif tidak selalu menandakan orang yang dites positif corona. Diperlukan tes
berulang hingga swab test untuk menegakkan diagnosis. Walau demikian, orang
dengan hasil rapid test positif bisa disaring dan diisolasi sebagai langkah antisipasi
penularan Covid-19 sembari menunggu kepastian diagnosis.
I. REHABILITASI PASCA COVID
Program rehabilitasi pada pasien Covid-19 secara umum ditujukan untuk
mengatasi gejala yang timbul, mencegah dekondisi pada saluran napas dan sistem
organ lain dan membantu keberhasilan proses penyapihan ventilasi mekanik yang
menjadi kunci untuk mencegah terjadinya berbagai macam gangguan fungsi. Pada
prinsipnya program rehabilitasi pasien Covid-19 yang diberikan antara lain
pembersihan jalan nafas, pencegahan dekondisi dan latihan mobilisasi dini serta
program untuk gangguan fungsi lain yang dialami pasien. Sehingga tindakan
rehabilitasi bila diberikan lebih awal akan memiliki peranan yang sangat penting
untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi atau kecacatan yang mungkin timbul.
Program rehabilitasi bisa diberikan dalam beberapa tahapan, dimulai dari
tahap rawat akut (rawat inap) sampai tahap rawat jalan. Untuk rehabilitasi pada rawat
jalan, sebuah studi di Italia pada 143 orang pasien didapatkan bahwa setelah 7 minggu
setelah pasien keluar dari rumah sakit ditemukan 53% mengalami fatigue, 43%
mengalami sesak napas, dan 27% mengalami nyeri sendi 7. Tindakan rehabilitasi rawat
jalan atau rehabilitasi di rumah diberikan dalam rangkaian program sebagai home
exercise program yang bisa dievaluasi berkala di unit pelayanan rawat jalan atau
dievaluasi lebih inten melalui layanan telerehabilitasi. Perlu juga diberdayakan
masyarakat sekitar pasien dalam menunjang atau membantu tercapainya program
rehabilitasi melalui program rehabilitasi berbasis masyarakat. Program yang diberikan
juga sangat tergantung kondisi pasien dan perbaikan kemampuan fungsinya yang bisa
dinilai dari pemeriksaan atau assesment uji fungsi. Beberapa uji fungsi bisa digunakan
untuk mendapatkan data kemapuan pasien diantaranya Time Up and Go test atau 6
Minute Walking Test. Hasil uji fungsi dengan tes tersebut yang akan digunakan
sebagai penentu program yang akan diberikan. Program yang lainnya juga
menyesuaikan dengan problem gangguan fungsi yang dialami seperti gangguan
kelemahan, gangguan menelan, gangguan fungi berpikir dan lain lain.

III.  KONSEP PENYAKIT HIPERTENSI


1. Definisi Hipertensi
Hipertensi terjadi jika tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Hipertensi
adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara abnormal
dan terus menerus pada beberapa kali pemeriksaan tekanan darah yang
disebabkan satu atau beberapa faktor risiko yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya dalam mempertahankan tekanan darah secara normal.
Defenisi Hipertensi adalah tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih
dari suatu periode. Hal ini terjadi bila arteriole-arteriole konstriksi. Konstriksi
arteriole membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan
dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila
berlanjut dapat dan arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan kerusakan
jantung dan pembuluh darah. Hipertensi juga didefenisikan sebagai tekanan
darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg
(Udjianti, 2013).
Penyakit hipertensi merupakan gejala peningkatan tekanan darah yang
kemudian berpengaruh pada organ yang lain, seperti stroke untuk otak atau
penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan otot jantung.
Penyakit ini salah satu masalah utama dalam kesehatan masyarakat di Indonesia
maupun dunia. Diperkirakan, sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama
terjadi di negara berkembang pada tahun 2025 ; dari jumlah total 639 juta kasus
di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di
tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi dan
pertambahan penduduk saat ini (Ardiansyah, 2012).
Wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi terkena terkanan darah tinggi dari
pada pria. Dari kasus - kasus tadi, ternyata 68,4% diantaranya termasuk
hipertensi ringan (diastolik 95,104 mmHg), 28,1% hipertensi sedang (diastolik
105,129 mmHg), dan hanya 3,5% yang masuk hipertensi berat (diastolik sama
atau lebih besar dengan 130 mmHg). Hipertensi pada penderita penyakit jantung
iskemik ialah 16,1%. Persentase ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan
prevalensi seluruh populasi (33,3%), sehingga merupakan faktor risiko yang
kurang penting
2. Etiologi
Dari seluruh kasus hipertensi 90% adalah hipertensi primer. Beberapa faktor
yang diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi primer seperti berikut
ini. (Udjianti, 2013).
a. Genetik individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,
beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.
b. Jenis kelamin dan usia Laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita menopause
tinggi untuk mengalami hipertensi.
c. Diet Konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi.
d. Berat badan (obesitas).
e. Berat badan > 25% diatas ideal dikaitkan dengan berkembang nya
hipertensi.
f. Gaya hidup Merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan
darah.
Etiologi hipertensi sekunder pada umumnya diketahui, berikut ni
beberapa kondisi yang menjadi penyebab hipertensi sekunder (Udjianti, 2013).
a. Penggunaan kontrasepsi hormonal Obat kontrasepsi yang berisi esterogen
dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-
mediated volume expansion. Dengan penghentian obat kontrasepsi, tekanan
darah normal kembali secara beberapa bulan.
b. Penyakit parenkim dan vaskuler ginjal Ini merupakan penyebab utama
hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskuler berhubungan dengan
penyempitan atu atau lebih arteri renal pada klien dengan hipertensi
disebabkan oleh aterosklorosis atau fibrous displasia (pertumbuhan
abnormal jaringan fibrus). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi,
inflamasi dan perubahan struktur serta fungsi ginjal.
c. Gangguan endokrin Disfungsi medula adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-medited hypertention di
sebabkan kelebihan primer aldosteron, koristol dan katekolamin. Pada
aldosteronisme primer, kelebihan aldosteron menyebabkan hipertensi dan
hipokaemia.
d. Coaretation aorta (penyempitan pembuluh darah aorta) Merupakan
penyempitan aorta kongenital yang mungkin terjadi beberapa tingkat pada
aorta torasik atau abdominal. Penyempitan penghambat aliran darah melalui
lengkung aorta dan mengakibatkan peningkatan darah diatas area kontriksi.
e. Kehamilan naiknya tekanan darah saat hamil ternyata dipengaruhi oleh
hormon estrogen pada tubuh. Saat hamil kadar hormon estrogen di dalam
tubuh memang akan menurun dengan signifikan. Hal ini ternyata biasa
menyebabkan sel-sel endotel rusak dan akhirnya menyebabkan munculnya
plak pada pembuluh darah. Adanya plak ini akan menghambat sirkulasi
darah dan pada akhirnya memicu tekanan darah tinggi.
f. Merokok Merokok dapat menyebakan kenaikan tekanan darah karena
membuat tekanan darah langsung meningkat setelah isapan pertama,
meningkatkan kadar tekanan darah sistolik 4 milimeter air raksa (mmHg).
Kandungan nikotin pada rokok memicu syaraf untuk melepaskan zat kimia
yang dapat menyempitkan pembuluh darah sekaligus meningkatkan tekanan
darah.
3. Manifestasi Klinik
Gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak sama
pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa gejala. Secara umum gejala
yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut :
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh
d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahuntahun berupa :
a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intracranial
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler
4. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat
vasomotor inibermula saraf simpatis, yang berlanjut berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Smelttzer, 2014).
Pada saat bersamaan dimana sistemsimpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsangan emosi. Kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan streoid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yanng
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, mengakibatkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin 1 yang
kemudian diubah menjadi angiotensin 2, saat vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air di tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut
cenderung mengakibatkan keadaan hipertensi (Price).
5. Pathway
6. Komplikasi
Komplikasi hipertensi menurut Triyanto (2014) adalah :
a. Penyakit jantung Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, dan
gagal jantung
b. Ginjal Terjadinya gagal ginjal dikarenakan kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler - kapiler ginjal glomelurus. Rusaknya membran
glomelurus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema
c. Otak Komplikasi berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronik apabila arteri - arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal sehingga aliran darah ke daerah yang
diperdarahi berkurang.
d. mata Komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan,hingga
kebutaan.
e. kerusakan pada pembuluh darah arteri Jika hipertensi tidak terkontrol, dapat
terjadi kerusakan dan penyempitan arteri atau yang sering disebut dengan
ateroklorosis dan arterosklerosis (pengerasan pembuluh darah).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemerikaan penunjang menurut (Nur arif dan kusuma, 2015) a
a. Pemerikaan Laboratorium
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko seperti
hipokoagubilita, anemia.
2) BUN /kreatinin : memberikaan informasi tentang perfusi / fungsi
ginjal.
3) Glukosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
b. CT scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
c. EKG : dapat menunjukkan pola rengangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
d. IUP : mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal, perbaikan
ginjal.
e. Photo dada : menujukkan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran
jantung
8. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Menurut Triyatno (2014) penanganan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
secara nonfarmakologis dan farmakologi.
a. Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat,terapi
non farmakologi diantaranya memodifikasi gaya hidup dimana termasuk
pengelolaan stress dan kecemasan merupakan langkah awal yang harus
dilakukan. Penanganan non farmakologis yaitu menciptakan keadaan rileks,
mengurangi stress dan menurunkan kecemasan. Terapi non farmakologi
diberikan untuk semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan
darah dan mengendalikan faktor resiko serta penyakit lainnya.
b. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi yaitu yang menggunakan senyawa obat obatan
yang dalam kerjanya dalam mempengaruhi tekanan darah pada pasien
hipertensi seperti : angiotensin receptor blocker (ARBs), beta blocker,
calcium chanel dan lainnya. Penanganan hipertensi dan lamanya pengobatan
dianggap kompleks karena tekanan darah cenderung tidak stabil.

IV. ASUHAN KEPERAWATAN


1) PENGKAJIAN
Pada pasien yang dicurigai COVID-19 (memiliki 3 gejala utama demam,
batuk dan sesak) perlu dilakukan pengkajian:
1. Riwayat perjalanan: Petugas kesehatan wajib mendapat secara rinci riwayat
perjalanan pasien saat ditemukan pasien demam dan penyakit pernapasan
akut.
2. Pemeriksaan fisik: Pasien yang mengalami demam, batuk dan sesak napas
dan telah melakukan perjalanan ke Negara atau Daerah yang telah ditemukan
COVID-19 perlu dilakukan isolasi kurang lebih 14 hari.
2) DP DAN FOKUS INTERVENSI
DIAGNOSA
1. Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya nafas (D.0005)
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif (D.00170) berhubungan dengan
hipertensi
INTERVENSI
Berikut intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
COVID-19
 Monitor vital sign: Pantau suhu pasien; infeksi biasanya dimulai dengan suhu
tinggi; monitor juga status pernapasan pasien karena sesak napas adalah gejala
umum covid-19. Perlu juga untuk dipantau saturasi oksigen pasien karena
sesak napas berhubungan dengan kejadian hipoksia
 Maintain respiratory isolation: Simpan tisu di samping tempat tidur pasien;
buang sekret dengan benar; menginstruksikan pasien untuk menutup mulut
saat batuk atau bersin (menggunakan masker) dan menyarankan pengujung
(siapa saja yang memasuki ruang perawatan) tetap menggunakan masker atau
batasi/hindari kontak langsung pasien dengan pengunjung.
 Terapkan hand hygiene: Ajari pasien dan orang yang telah kontak dengan
pasien cuci tangan pakai sabun dengan benar
 Manage hyperthermi: Gunakan terapi yang tepat untuk suhu tinggi untuk
mempertahankan normotermia dan mengurangi kebutuhan metabolisme

TUJUAN DAN
No. DP INTERVENSI TTD
KRITERIA HASIL
1 Pola nafas Setelah diberikan Manajemen jalan napas Gab
tidak efektif asuhan keperawatan (I.01011) rilia
b/d hambatan 3x24 jam pola nafas Observasi
upaya nafas (L.01004) membaik - monitor pola nafas (
(D.0005) dengan kriteria frekuensi,
hasil : kedalaman, usaha
- Ventilasi nafas)
semenit - monitor bunyi nafas
meningkat tambahan ( mis.
- Dispnea Gurgling, mengi,
menurun wheezing, ronkhi
- Penggunaan kering).
otot bantu nafas Terapeutik
menurun - posisiskan semi-
- pemanjangan fowler atau fowler.
fase ekspirasi - berikan minum
menurun hangat
- frekuensi nafas - lakukan fisioterapi
membaik dada, jika perlu.
- kedalaman - berikan oksigen,
nafas membaik jika perlu
Edukasi
- anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontra
indikasi
Kolaborasi
- kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

2 Resiko perfusi Tujuan perfusi ANAJEMEN Gab


serebral tidak serebral (L.02014) PENINGKATAN rilia
efektif Dengan kriteria hasil TEKANAN
(D.00170) : INTRAKRANIAL
berhubungan - Tingkat (I.09325)
dengan kesadaran Observasi
hipertensi dari skala 1
- Identikasi
menurun ke
penyebab
skala 5
peningkatan TIK
meningkat
- Monitor
- Tekanan intra
tanda/gejala
kranial dari
peningkatan TIK
skala 1
Terapeutik
meningkat ke
skala 5 - Minimalkan
menurun stimulus dengan
- Sakit kepala
menyediakan
dari skala 1
lingkungan yang
meningkat ke
tenang
skala 5
- Berikan posisi semi
menurun
fowler
- Gelisah dari
Pertahankan suhu tubuh
skala 1
norma
meningkat ke
skala 5
menurun
- Kecemasan
dari skala 1
meningkat ke
skala 5
menurun
- Tekanan
darah sistolik
dari skala 1
memburuk ke
skala 5
membaik
- Tekanan
darah distolik
dari skala 1
memburuk ke
skala 5
membaik
DAFTAR PUSTAKA

http://repo.darmajaya.ac.id/3241/4/BAB%201.pdf diakses pada tanggal 30 November 2021,


pukul 18.30 WIB
https://primayahospital.com/covid-19/jenis-pemeriksaan-untuk-diagnosis-covid-19/
-diakses pada tanggal 30 November 2021 pukul 17.30 WIB
https://www.papdi.or.id/pdfs/983/Buku%20Pedoman%20Tatalaksana%20COVID-
19%205OP%20Edisi%203%202020.pdf . diakses pada tanggal 30 November 2021
pukul 17.50 WIB
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/14702/1/385d7b9c6a60947ff4f1884689a41ae8.pdf diakses
pada 1 Desember 2021
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Corona virus Disease (COVID-19). Diakses dari
https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/REV-05_Pedoman_P2_COVID
19_13_Juli_2020.pdf diakses pada 30 November 2021 pukul 12.20 WIB
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
World Health Organization. 2020. CoronavirusDisease 2019 (COVID-19) Situation Report
[online]. Indonesia: World HealthOrganization

Anda mungkin juga menyukai