Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MANDIRI

FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN DAN SARAF

MEGA NURJANAH
2108020153

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2022
TUTORIAL 5
Farmakoterapi pada Sistem Endokrin dan Saraf

A. Topik Pembelajaran
Topik pembelajaran pada tutorial ini adalah Farmakoterapi Sistem Endokrin
dan Saraf

B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara penyakit yang dihadapi pasien
dengan faktorresiko dan patofisiologinya.
2. Mahasiswa mampu menafsirkan hasil pemeriksaan laboratorium klinik
pasien.
3. Mahasiswa mampu menilai permasalahan terapi yang dihadapi pasien.
4. Mahasiswa mampu merumuskan tujuan terapi.
5. Mahasiswa mampu memutuskan terapi farmakologi dan non-farmakologi
6. Mahasiswa mampu menyusun algoritma terapi individual berdasarkan
permasalahanyang ada.
7. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi kepada pasien

C. Skenario
Ny. W masuk ke IGD RS karena mengalami kejang. Diketahui 4 jam
sebelum masuk rumahsakit, pasien saat sedang tidur tiba-tiba kejang, pasien
tidak sadar, mata ke atas, mulut terkunci, kepala tidak menengok ke satu sisi,
tangan dan kaki kaku, durasi 15 menit. Setelah kejang pasien tidak sadar, 10
menit kemudian pasien kejang kembali dengan pola yang sama. Pasien
didagnosa Penurunan Kesadaran ec. Status Epileptikus. Pasien diketahui
memiliki dalam terapi rutin untuk Diabetes Melitus tipe 2 dan Epilepsi.

D. Learning Objektif

1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara patofisilogi dan faktor resiko yang


dialami pasien
2. Mahasiswa mampu mengetahui dari tujuan terapi pasien
3. Mahasiswa mampu menginterpretasi data lab yang tidak normal
4. Mahasiswa mampu mengetahui permasalahan terapi yang dialami oleh
pasien (Sertakan DRP dan Form Rekonsiliasi)\
5. Mahasiswa mampu mengetahui terapi farmakologi pada pasien
(Sertakan Algoritma Terapi)
6. Mahasiswa mampu monitoring dan evaluasi pada pasien
HASIL BELAJAR MANDIRI
1. Korelasi antara patofisilogi dan faktor resiko

a. Status epileptikus
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili
keadaan darurat medis dan neurologis utama. International League
Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas
kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.
Status epileptikus (SE) adalah kedaruratan neurologis yang mungkin
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan (DiPiro,
2020).
b. Kejang Tonik Klonik
Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal.
Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan
masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung
sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
c. Epilepsi
Kejang terjadi akibat eksitasi berlebihan atau gangguan
penghambatan neuron. Awalnya, sejumlah kecil neuron menyala secara
tidak normal. Konduktansi membran normal dan arus penghambatan
sinaptik kemudian rusak, dan eksitabilitas menyebar secara lokal
(kejang lokal) atau lebih luas (kejang umum).
Mekanisme yang dapat menyebabkan hipereksitabilitas meliputi:
1) Perubahan saluran ion di membran saraf
2) Modifikasi biokimia reseptor
3) Modulasi sistem pesan kedua dan ekspresi gen
4) Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler
5) Perubahan uptake neurotransmitter dan metabolisme dalam sel glial
6) Modifikasi rasio dan fungsi sirkuit inhibitor
Ketidakseimbangan antara neurotransmitter utama, glutamate
(eksitasi) dan γ-aminobutiric acid (GABA) (inhibisi), dan
neuromodulator (misal asetilkolin, NE dan 5-HT) juga memainkan
peran terhadap terjadinya kejang (DiPiro, 2015).
d. Hubungan antara Stroke Iskemik dan Epilepsi
Pada stroke iskemik yang terjadi adalah ketidak seimbangan
membran dan meningkatnya peran dari glutamat. Peninggkatan
glutamate dapat menyebabkan kematian neuron pada otak dan
perubahan pada membran menyebabkan hipereksitabilitas neuron
untung terjadinya kejang. Bagian kortek, hippocampus, dan penumbra
adalah bagian yang paling mudah untuk menyebabkan kejang (Kim, B.
S., & Sila, C. 2015)
e. Korelasi antara patofisilogi dan faktor resiko
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe
2. Hasil penelitianterbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi
lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain
yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari
ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM
tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(egregious eleven) perlu dipahami kare;;;na dasar patofisiologi ini
memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja
obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambatprogresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi
pada pasien gangguan toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang
berperan, disebut sebagai the egregious eleven (Gambar 1).

Secara garis besar patogenesis hiperglikemia disebabkan oleh


sebelas hal (egregiouseleven) yaitu:
1. Kegagalan sel beta pancreas
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, agonis glucagon-like peptide (GLP-1)
dan penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
2. Disfungsi sel alfa pancreas
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dansudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam
plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi
glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan basal
meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor
glukagon meliputi GLP-1 receptor agonist (GLP-1 RA), penghambat
DPP-4 dan amilin.
3. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak
bebas (free fatty acid/FFA) dalam plasma. Peningkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di hepar dan otot, sehingga mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoksisitas. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidinedion.
4. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan
fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam
sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin dan
tiazolidinedion.
5. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
glukoneogenesis.
6. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obese baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 RA, amilin dan
bromokriptin.
7. Kolon/Mikrobiota
Perubahan komposisi mikrobiota pada kolon berkontribusi dalam
keadaan hiperglikemia. Mikrobiota usus terbukti berhubungan
dengan DM tipe 1, DM tipe 2, dan obesitas sehingga menjelaskan
bahwa hanya sebagian individu berat badan berlebih akan
berkembang menjadi DM. Probiotik dan prebiotik diperkirakan
sebagai mediator untuk menangani keadaan hiperglikemia.
8. Usus halus
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar
dibanding bilar diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like
polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap hormon GIP.
Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang akan
memecah polisakarida menjadi monosakarida, dan kemudian diserap
oleh usus sehingga berakibat meningkatkan glukosa darah setelah
makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa
glukosidase adalah acarbosa.
9. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
patogenesis DM tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter -2
(SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10%
sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter
- 1 (SGLT-1) pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urin.
Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2,
sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus
ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat
yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-
2, Dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin adalah contoh
obatnya.
10. Lambung
Penurunan produksi amilin pada diabetes merupakan
konsekuensi kerusakan sel beta pankreas. Penurunan kadar amilin
menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan peningkatan
absorpsi glukosa di usus halus, yang berhubungan dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial.
11. Sistem Imun
Terdapat bukti bahwa sitokin menginduksi respon fase akut
(disebut sebagai inflamasi derajat rendah, merupakan bagian dari
aktivasi sistem imun bawaan/innate) yang berhubungan erat dengan
patogenesis DM tipe 2 dan berkaitan dengan komplikasi seperti
dislipidemia dan aterosklerosis. Inflamasi sistemik derajat rendah
berperan dalam induksi stres pada endoplasma akibat peningkatan
kebutuhan metabolisme untuk insulin.
DM tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin perifer dan penurunan
produksi insulin, disertai dengan inflamasi kronik derajat rendah pada
jaringan perifer seperti adiposa, hepar dan otot. Beberapa dekade
terakhir, terbukti bahwa adanya hubungan antara obesitas dan resistensi
insulin terhadap inflamasi. Hal tersebut menggambarkan peran penting
inflamasi terhadap patogenesis DM tipe 2, yang dianggap sebagai
kelainan imun (immune disorder). Kelainan metabolik lain yang
berkaitan dengan inflamasi juga banyak terjadi pada DM tipe 2.
Faktor-faktor resiko Diabetes yang perlu mendapatkan perhatian
mencakup kelebihan berat badan (obesitas), kurangnya aktivitas fisik dan
faktor keturunan. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengantisipasi
faktor resiko tersebut dan menjaga agar kadar gula darah tetap normal
(Agoes, 2010).
Pasien juga mengatakan kebanyakan mereka memiliki riwayat
keturunan DM, Diabetes juga ada hubungannya dengan faktor keturunan.
Berbicara tentang keturunan (genetik), gen adalah faktor yang
menentukan pewarisan sifat-sifa tertentu dari seseorang kepada
keturunannya. Namun, dengan meningkatnya risiko yang dimiliki
bukannya berarti orang tersebut pasti akan menderita diabetes. Faktor
keturunan merupakan factor penyebab pada resiko terjadinya Diabetes
Mellitus, kondisi ini akan diperburuk dengan adanya gaya hidup yang
buruk (Sutanto.2015)
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh riwayat keturunan terhadap
kejadian diabetes mellitus diperoleh hasil analisi bivariat menunjukkan
nilai (p). Faktor keturunan berpengaruh pada terjadinya diabetes melitus.
Keturunan orang yang mengidap diabetes lebih besar kemingkinannya
dari pada keturunan orang yang tidak diabetes. Sebagian masyarakat
dengan mudah menyalahkan keturunan sebagai penyebab diabetes
mereka, dengan mengabaikan tanggung jawab mereka untuk melakukan
pencegahan (Yunir, 2015).
Menurut Penelitian Wicaksono (2011) yang dilaksanakan di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr.Kariadi menunjukkan bahwa
Faktor resiko yang terbukti berhubungan dengan kejadian DM tipe 2
adalah usia ≥ 45 tahun (OR=9,3; 95% CI 2,8-30,6), inaktivitas (OR 3,0;
95%CI 1,04-8,60), dan riwayat keluarga (OR=42,3; 95%CI 9,5-187,2).
Regresi logistik menunjukkan riwayat keluarga dan kebiasaan merokok
mempunyai pengaruh sebesar 75% terhadap kejadian DM tipe 2.

2. Interpretasi data lab

Jenis Tanggal Pemeriksaan Keterangan


Nilai rujukan Satuan 3/2 4/2
No Pemeriksaan
1. GD2PP <140 mg/dL 221 210 Tinggi
2. GDP <200 mg/dL 250 235 (Menandakan
Pasien Diabetes
3. HbA1C 3,0-6 % 9,1 Mellitus)

3. Tujuan terapi

Tujuan terapi Epilepsi:


f. Mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup normal dan tercapai
kualitas hidup optimal.
g. Pasien bebas bangkitan dengan terapi yang efek sampingnya minimal,
menurunkan angka kesakitan dan kematian (PERDOSSI, 2014).
h. Menghilangkan terjadinya kejang dalam durasi waktu sesingkat
mungkin dan dengan dampak minimal pada kualitas hidup (DiPiro,
2020).
i. Mengontrol atau mengurangi frekuensi dan keparahan kejang,
meminimalkan efek samping, dan memastikan kepatuhan,
memungkinkan pasien untuk hidup senormal mungkin (DiPiro, 2015).
j. Meninimalkan beban pengobatan dan menjaga kualitas hidup pasien
Tujuan Diabetes Mellitus:
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
pasien diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitashidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
4. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara komprehensif.

4. Permasalahan terapi

No DRP Assesment Plan


1. Pemberian obat Nilai HbA1C Selain penggunaan insulin, disarankan
kurang lengkap pasien masih pemberian kombinasi 2 obat yaitu
diatas batas metformin dan glimepirid untuk terapi
normal (>7%), pasien dengan nilai HbA1C >9%.
yaitu 9,1% yang
seharusnya
digunakan triple
therapy.

5. Terapi farmakologi

No Nama Obat Dosis Indikasi


Riwayat Obat
Lini pertama untuk DM Tipe 2.
Menurunkan produksi glukosa hati dan
1. Metformin 2x500 mg
meningkatkan sensitivitas insulin
(PERKENI, 2021).
Meningkatkan sekresi insulin oleh sel
2. Glimepirid 1x2 mg
beta pancreas (PERKENI, 2021).
Terapi untuk epilepsi tonik klonik
3. Lamotrigine tab 2 x 25 mg (PERDOSSI, 2014).
Terapi lanjutan setalah stroke iskemik
atau sebagai terapi pecegahan stroke
4. Aspirin tab 1x80 mg berulang, diberikan aspirin 81 mg sebagai
antiplatelet
(Dipiro Ed 11th)
Masuk IGD
First line epilepsy dengan BB <70 kg,
1. Fenitoin inj 3x 100 mg diberikan 2 x 150 mg setiap 12 jam
(PERDOSSI, 2014)
First line epilepsy dengan BB 60 tahun 10
2. Diazepam inj 1 x 10 mg mg i.v. diulang 1-2 x
(PERDOSSI, 2014)
3. Aspirin 1x80 mg Terapi lanjutan setalah stroke iskemik
atau sebagai terapi pecegahan stroke
berulang, diberikan aspirin 81 mg sebagai
antiplatelet
(Dipiro Ed 11th)
Obat tambahan untuk pengobatan
4. Ondansetron 3x8 mg epilepsy dengan mekanisme antagonis 5-
HT3 (PERDOSSI, 2014).
Terapi insulin karena HbA1C >9%, maka
diperlukan triple therapy (PERKENI,
2021)
5. Humalog kwikpen 3 x 10 IU
Pertimbangkan pemebrian insulin kerja
pendek (terutama jika HbA1C >7%)
(PERKENI, 2021)
Rawat Inap
Terapi lanjutan setalah stroke iskemik
atau sebagai terapi pecegahan stroke
1. Aspirin 1x80 mg berulang, diberikan aspirin 81 mg sebagai
antiplatelet
(Dipiro Ed 11th)
Sebagai OAE tambahan
(PERDOSSI, 2014)
2. Levetiracetam 2x750 mg
Mulai 500 atau 1000/ hari , dinaikan bila
perlu setelah 2 minggu
Sebagai OAE lini pertama
(PERDOSSI, 2014)
3. Lamotrigin 1x50 mg
Mulai dari 25 mg/ hari selama 2 minggu,
dinaikan sampai 50 mg/hari.
Terapi insulin karena HbA1C >9%, maka
diperlukan triple therapy (PERKENI,
2021)
4. Humalog kwikpen 3 x 10 IU
Pertimbangkan pemebrian insulin kerja
pendek (terutama jika HbA1C >7%)
(PERKENI, 2021)

6. Monitoring dan evaluasi

Monitoring
- Monitoring kepatuhan penggunaan obat
- Monitoring gejala atau keluhan
- Monitoring HbA1c dengan target <7%.
- Monitoring G2PP dengan target <180 mg/dL
- Monitoring GDP dengan target 80-110mg/dL
- Monitoring reaksi pada tempat penyuntikan (PERKENI, 2021)

Evaluasi
Dari pemeriksaan fisik dievaluasi nadi baik secara palpasi maupun
stetoskop, evaluasi neuropati (dengan monofilament 10 gr) (Perkeni, 2021)
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar dkk. 2010. Penyakit Usia Tua. Jakarta : EGC


DiPiro Joseph T et al, 2015. Pharmacotherapy Handbook, Nineth Edition. USA:
McGraw-Hills Education.
DiPiro Joseph T et al, 2020. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach
Eleven Edition USA: McGraw-Hills Education.
Kim, B. S., & Sila, C. (2015). Seizures in ischemic stroke. In Seizures in
cerebrovascular disorders (pp. 17-29). Springer, New York, NY.
PERDOSSI, 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Edisi Kelima. Surabaya : Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair.
PERKENI, 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia. Jakarta : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Sutanto, Teguh. 2015. Diabetes, Deteksi, Pencegahan, Pengobatan. Yogyakarta :
Buku pintar
Wicaksono R.P, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Diabetes Melitus Tipe 2, Studi Kasus di Poliklinik Penyakit dalam Rumah
Sakit Dr. Kariadi, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang
Yunir, Em, dkk. 2015. Upaya Pencegahan Diabetes Tipe II. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
Yusnanda,Febri. Rochadi, R.K dan Mass, T.Linda. 2018. Pengaruh Riwayat
Keturunan terhadap Kejadian Diabetes Mellitus pada Pra Lansia di BLUD
RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh Tahun 2017. Journal of healthcare
technology and medicine vol.4 No.1 april 2018 Universitas Ubudiyah
Indonesia. e-ISSN:2615-109x
LAMPIRAN 1
LEMBAR REKONSILIASI PENGOBATAN DARI RUMAH KE IGD

Daftar Riwayat Alergi


No. ID :-
No. RM : 321XXXXX
Nama Pasien : Ny. W
Nama Ibu Kandung : -
Alamat Pasien :-

Tanggal Obat yang menyebabkan Berat alergi Reaksi Alergi


alergi Ringan/sedang/berat
- - - -
- - - -

Dosis/ Berapa IGD


No Nama Obat Alasan Mengkonsumsi obat
Frekuensi Lama Ya Tidak
First line obat DM tipe 2.
Untuk mengurangi produksi
1. Metformin 2 x 500mg - glukosa hati dan memperbaiki 
ambilan glukosa di jaringan
perifer (PERKENI, 2021)
Untuk meningkatkan sekresi
2. Glimepiride 1 x 2 mg - insulin oleh sel beta pancreas 
(PERKENI, 2021)
Sebagai OEA lini pertama
3. Lamotrigine 1 x 250 mg - 
(PERDOSSI, 2014)
Terapi lanjutan setelah stroke
iskemik atau sebagai terapi
pencegahan stroke berulang.
4. Aspirin 1 x 80 mg - 
Diberikan aspirin 81 mg
sebagai antiplatelet
(Dipiro Ed 11)
LEMBAR REKONSILIASI PENGOBATAN DARI RUMAH KE IGD

No. ID :-
No. RM : 321XXXXX
Nama Pasien : Ny. W
Nama Ibu :-
Kandung
Alamat Pasien :-
Daftar Riwayat Alergi
Tanggal Obat yang menyebabkan Berat alergi Reaksi Alergi
alergi Ringan/sedang/berat
- - - -
- - - -

Dosis/ Berapa Saat Rawat Inap


No Nama Obat Alasan Mengkonsumsi obat
Frekuensi Lama Ya Tidak
Terapi lanjutan setelah stroke
iskemik atau sebagai terapi
pencegahan stroke berulang.
1. Aspirin tab 1 x 80 mg 3 hari 
Diberikan aspirin 81 mg
sebagai antiplatelet
(Dipiro Ed 11)
First line epilepsy dengan BB
<70kg, diberikan 2 x 150mg
2. Fenitoin inj 3 x 100 mg 1 hari 
setiap 12 jam. (PERDOSSI,
2014).
First line epilepsy dengan BB
3. Diazepam inj 1 x 10 mg 1 hari 60 tahun 10 mg i.v. diulang 1- 
2kali (PERDOSSI, 2014)

4. Ondansetron 1 hari Antagonis 5-HT3 


3 x 8 mg
tab
Terapi insulin karena
HBA1C>9% maka diperlukan
5. Humalog 3 hari 
3 x 10 IU
kwikpen triple therapy ( PERKENI,
2021)
LAMPIRAN 2

Algoritma Terapi

Pasien masuk IGD RS Tinjau faktor resiko dan riwayat


kunci, kepala tidak menengok ke satu sisi, tangan dan Riwayat
kaki kaku. Durasi
pasien : kejang 15 menit, demam tidak
keluarga:
ada, kesadaran somnolen
Diabetes Mellitus tipe 2 Usia
sejak 10 tahun yang lalu Hipertensi
Stroke Iskemik 5 tahun yang lalu DM
Tonic-Clonic Seizure

Diagnosa :
Penurunan Kesadaran ec. Status Epileptikus
Diabetes Mellitus 2 Epilepsi

Epilepsi Diabetes Mellitus


Terapi Lanjutan Stroke
First line :
Fenitoin Inj 3x100 mg dan etformin 2 x 500 mg Aspirin 1 x 80 mg
azepam Inj 1 x 10 mg imepirid 1 x 2 mg
malog Kwikpen 3 x 10 IU
rapi tambahan : danseton 3 x 8 mg

ek nilai HbA1C setelah 3


bulan,

Epilepsi ka tidak mencapai target nilai HbA1C <7%, maka lanjutkan terapi
insulin.
rapi lanjutan: vetiracetam 2 x 750 mg
motrigin 1 x 50 mg

Monitoring dan evaluasi :


Monitoring kepatuhan pengunaan obat
Monitoring gejala atau keluhan
Monitoring HbA1c dengan target <7%.
Monitoring G2PP dengan target <180 mg/dL
Monitoring GDP dengan target 80-110mg/dL (PERKENI, 2021)

Anda mungkin juga menyukai