MEGA NURJANAH
2108020153
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2022
TUTORIAL 5
Farmakoterapi pada Sistem Endokrin dan Saraf
A. Topik Pembelajaran
Topik pembelajaran pada tutorial ini adalah Farmakoterapi Sistem Endokrin
dan Saraf
B. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara penyakit yang dihadapi pasien
dengan faktorresiko dan patofisiologinya.
2. Mahasiswa mampu menafsirkan hasil pemeriksaan laboratorium klinik
pasien.
3. Mahasiswa mampu menilai permasalahan terapi yang dihadapi pasien.
4. Mahasiswa mampu merumuskan tujuan terapi.
5. Mahasiswa mampu memutuskan terapi farmakologi dan non-farmakologi
6. Mahasiswa mampu menyusun algoritma terapi individual berdasarkan
permasalahanyang ada.
7. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi kepada pasien
C. Skenario
Ny. W masuk ke IGD RS karena mengalami kejang. Diketahui 4 jam
sebelum masuk rumahsakit, pasien saat sedang tidur tiba-tiba kejang, pasien
tidak sadar, mata ke atas, mulut terkunci, kepala tidak menengok ke satu sisi,
tangan dan kaki kaku, durasi 15 menit. Setelah kejang pasien tidak sadar, 10
menit kemudian pasien kejang kembali dengan pola yang sama. Pasien
didagnosa Penurunan Kesadaran ec. Status Epileptikus. Pasien diketahui
memiliki dalam terapi rutin untuk Diabetes Melitus tipe 2 dan Epilepsi.
D. Learning Objektif
a. Status epileptikus
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili
keadaan darurat medis dan neurologis utama. International League
Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas
kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.
Status epileptikus (SE) adalah kedaruratan neurologis yang mungkin
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan (DiPiro,
2020).
b. Kejang Tonik Klonik
Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal.
Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan
masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung
sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom
yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
c. Epilepsi
Kejang terjadi akibat eksitasi berlebihan atau gangguan
penghambatan neuron. Awalnya, sejumlah kecil neuron menyala secara
tidak normal. Konduktansi membran normal dan arus penghambatan
sinaptik kemudian rusak, dan eksitabilitas menyebar secara lokal
(kejang lokal) atau lebih luas (kejang umum).
Mekanisme yang dapat menyebabkan hipereksitabilitas meliputi:
1) Perubahan saluran ion di membran saraf
2) Modifikasi biokimia reseptor
3) Modulasi sistem pesan kedua dan ekspresi gen
4) Perubahan konsentrasi ion ekstraseluler
5) Perubahan uptake neurotransmitter dan metabolisme dalam sel glial
6) Modifikasi rasio dan fungsi sirkuit inhibitor
Ketidakseimbangan antara neurotransmitter utama, glutamate
(eksitasi) dan γ-aminobutiric acid (GABA) (inhibisi), dan
neuromodulator (misal asetilkolin, NE dan 5-HT) juga memainkan
peran terhadap terjadinya kejang (DiPiro, 2015).
d. Hubungan antara Stroke Iskemik dan Epilepsi
Pada stroke iskemik yang terjadi adalah ketidak seimbangan
membran dan meningkatnya peran dari glutamat. Peninggkatan
glutamate dapat menyebabkan kematian neuron pada otak dan
perubahan pada membran menyebabkan hipereksitabilitas neuron
untung terjadinya kejang. Bagian kortek, hippocampus, dan penumbra
adalah bagian yang paling mudah untuk menyebabkan kejang (Kim, B.
S., & Sila, C. 2015)
e. Korelasi antara patofisilogi dan faktor resiko
Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe
2. Hasil penelitianterbaru telah diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi
lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Organ lain
yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi
glukosa. Saat ini sudah ditemukan tiga jalur patogenesis baru dari
ominous octet yang memperantarai terjadinya hiperglikemia pada DM
tipe 2.
Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
(egregious eleven) perlu dipahami kare;;;na dasar patofisiologi ini
memberikan konsep:
1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja
obat sesuai dengan patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambatprogresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi
pada pasien gangguan toleransi glukosa.
Schwartz pada tahun 2016 menyampaikan, bahwa tidak hanya
otot, hepar, dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam
patogenesis pasien DM tipe 2 tetapi terdapat delapan organ lain yang
berperan, disebut sebagai the egregious eleven (Gambar 1).
3. Tujuan terapi
4. Permasalahan terapi
5. Terapi farmakologi
Monitoring
- Monitoring kepatuhan penggunaan obat
- Monitoring gejala atau keluhan
- Monitoring HbA1c dengan target <7%.
- Monitoring G2PP dengan target <180 mg/dL
- Monitoring GDP dengan target 80-110mg/dL
- Monitoring reaksi pada tempat penyuntikan (PERKENI, 2021)
Evaluasi
Dari pemeriksaan fisik dievaluasi nadi baik secara palpasi maupun
stetoskop, evaluasi neuropati (dengan monofilament 10 gr) (Perkeni, 2021)
DAFTAR PUSTAKA
No. ID :-
No. RM : 321XXXXX
Nama Pasien : Ny. W
Nama Ibu :-
Kandung
Alamat Pasien :-
Daftar Riwayat Alergi
Tanggal Obat yang menyebabkan Berat alergi Reaksi Alergi
alergi Ringan/sedang/berat
- - - -
- - - -
Algoritma Terapi
Diagnosa :
Penurunan Kesadaran ec. Status Epileptikus
Diabetes Mellitus 2 Epilepsi
Epilepsi ka tidak mencapai target nilai HbA1C <7%, maka lanjutkan terapi
insulin.
rapi lanjutan: vetiracetam 2 x 750 mg
motrigin 1 x 50 mg