Anda di halaman 1dari 4

Tugas Etikomedikolegal

KASUS RS MITRA KELUARGA YANG MENOLAK


BAYI

OLEH :

ABDURRAHMAN HASANUDDIN

C105211006

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
Kasus RS Mitra Keluarga yang Menolak Bayi

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan sikapnya dalam


kasus meninggalnya bayi Debora atau Tiara Debora Simanjorang karena tidak langsung
ditangani oleh Rumah Sakit Mitra Keluarga di kawasan Kalideres, Jakarta. Keterlambatan
penanganan diduga karena keluarga korban bayi Debora tidak dapat membayar uang muka
biaya pengobatan. Ketua KPAI Susanto menyesalkan peristiwa tersebut mengingat rumah
sakit seharusnya berorientasi pada kebutuhan sosial ketimbang profit. Apalagi, kata Susanto,
negara mengatur secara tegas bahwa semua anak harus dilindungi, termasuk dalam hal
layanan kesehatan dalam kondisi apapun.

"Dalam undang-undang perlindungan anak pun juga sudah menegaskan itu," ujar Susanto
di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017).

Susanto mengatakan, saat ini pihaknya sedang mendalami permasalahan secara


komprehensif. Dalam waktu dekat, kata Susanto, KPAI akan menggali informasi dari
pimpinan rumah sakit untuk mencari duduk permasalahannya. "Ini sekaligus upaya untuk
mendapatkan informasi supaya berimbang. Ini prinsip standar kami dalam menangani
masalah," ujar Susanto.

Adapun pihak yang diharapkan uluran tangannya terhadap kasus ini agar tidak berulang
adalah Kementerian Kesehatan, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, dan lainnya. Dia sudah
menemui Henny Silalahi, ibu Debora, untuk mendengar kronologi kejadiannya. Tiara Debora
meninggal pada Minggu, 3 September 2017 karena terlambat mendapat pertolongan dari
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres. Pada sekitar pukul 03.30 WIB, Rudianto
Simanjorang dan Henny Silalahi membawa anaknya ke rumah sakit tersebut karena
mengalami sesak napas.

Orangtua Debora menjelaskan, rumah sakit menolak merawat Debora di fasilitas


Pediatric Intensive Care Unit (PICU) karena tidak mampu memenuhi biaya administrasi
Rp19 juta. Saat itu, mereka baru memiliki dana Rp5 juta untuk fasilitas pelayanan PICU.
Pihak rumah sakit beralasan tidak menerima pasien BPJS. Mereka membuat surat rujukan
bagi rumah sakit lain yang menerima pasien BPJS.

Sejumlah rumah sakit ditelepon, namun tak ada satupun yang fasilitas PICU-nya kosong.
Henny mengunggah status di Facebook dan menghubungi teman-temannya untuk minta
dicarikan rumah sakit. Pada pukul 09.00 WIB orangtua Debora mendapat kabar bahwa RS

1
Koja yang memiliki PICU, bersedia menampung anaknya. Namun, ketika dokter dari RS
Mitra Keluarga Kalideres menghubungi rumah sakit RS Koja, kondisi Debora makin
memburuk. Tak lama kemudian bayi berusia 4 bulan itu meninggal dunia. Mereka membawa
pulang Debora dan menguburkan anak kelimanya itu untuk selamanya. Kisah Henny ini
sempat viral di media sosial. Henny mengaku tak mengharapkan apa-apa, selain berharap tak
ada Debora-Debora lainnya. Direktur RS Mitra Keluarga Fransisca Dewi menjelaskan
pihaknya sudah melakukan penanganan untuk kondisi emergency. “Namun untuk masuk ke
ruang PICU memang harus dikomunikasikan terlebih dulu karena biayanya sangat mahal.
Jadi alangkah lebih baik kalau dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS supaya tidak
terbebani biaya,” ujar Fransisca Dewi di kantor Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pada
Senin (11/9/22017). Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Koesmedi Priharto dan Fransisca Dewi
berbicara dengan wartawan menjelaskan kasus bayi Debora.

Pada kasus Debora diatas telah digambarkan bahwa sebenarnya dasar dari permasalahan
ini bukanlah karena tidak adanya ruangan PICU ataupun penanganan yang salah di ruang
emergensi, melainkan kesalahpahaman yang terjadi antara keluarga pasien dan dokter. Pada
pembahasan bioetik pada kasus ini jika dijabarkan :

1. Autonomi : Keluarga pasien telah dijelaskan kondisi pasien dan telah dibantukan
untuk dicarikan ruangan PICU untuk perawatan selanjutnya. Yang keluarga tidak
pahami adalah seberapa kritis dan tidak stabilnya pasien. Keluarga mendapat
pemahaman jika pasien dirawat di Ruang PICU akan menyembuhkan pasien. Kurang
edukasi mengakibatkan pemahaman keluarga salah, sehingga membuat keluarga salah
dalam mengambil pilihannya.
2. Beneficance : tidak ada pelanggaran pada kaidah bioetik, ini dokter jaga UGD telah
melakukan resusitasi awal pada pasien, membantu mencarikan RS dengan ruang
PICU.
3. Non-Maleficance : Tidak ada pelanggaran dalam bioetik ini, tidak ada tindakan medis
yang sekiranya dapat mencelakai pasien.
4. Justice : Pada kasus ini, seharusnya setelah penanganan darurat di UGD, perawatan
PICU dapat dilakukan di RS Mitra keluarga tanpa memandang apakah pihak RS
sudah berkerja sama dengan BPJS atau tidak untuk melayani pasien.

2
5. Honesty : Tidak ada pelanggaran dalam bidang bioetik ini. Dokter telah
menyampaikan kondisi pasien dan rencana perawatan kedepannya walau mungkin hal
ini kurang dikarenakan masih adanya pemahaman yang salah dari keluarga.

Anda mungkin juga menyukai