Anda di halaman 1dari 7

Tugas Etikomedikolegal

UNIT 731

OLEH :
ABDURRAHMAN HASANUDDIN
C105211006

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
UNIT 731
Seperti yang dilaporkan XInhua, Arsip Nasional Jepang telah mengungkapkan nama
asli dari 3.607 anggota unit 731 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang terkenal melakukan
eksperimen mematikan terhadap manusia selama Perang Tiongkok–Jepang Kedua (1937–
1955). Daftar ini terdiri dari nama, pangkat, dan informasi kontak dari 52 dokter militer, 49
teknisi, 38 perawat wanita, dan 1.117 petugas medis militer pada tanggal 1 Januari 1945.
Menurut Katsuo Nishiyama, profesor dari Shiga University of Medical Science di Jepang
barat, Arsip Nasional merilis daftar pada tahun 2016 sebagai tanggapan atas permintaan
aslinya, tetapi informasi kontak dari mereka yang terdaftar dihitamkan untuk menahan
identitas mereka. Daftar yang dideklasifikasi kemudian dirilis pada Januari 2018, tetapi masih
ada beberapa informasi yang dikaburkan.(1,2)
Apa itu unit 731? Apa yang mendasari terbentuknya unit tersebut? Hal ini berawal
ketika Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, negara-negara yang semula terlibat perang
dan berada di pihak yang kalah seperti Jepang dan Jerman merasa menjadi  korban yang
paling dirugikan dari kekalahan perang dunia I. Didasari perasaan kalah itu menimbulkan
rasa malu sekaligus memunculkan ambisi untuk  balas dendam kepada lawan perangnya yang
lain. Layaknya orang ingin balas dendam segala macam cara pun ditempuh tanpa
memandang hak asasi manusia. Pasca perang dunia pertama, Jepang langsung mengalami
penurunan fungsi ekonomi dan untuk bangkit dari keterpurukan itu hanya ada satu cara yang
bisa ditempuh yaitu mengobarkan kembali  semangat Bushido (Samurai). Semangat Bushido
yang bisa teruji hanya lewat peperangan mau tak mau  memaksa negara Jepang menegakkan
pilar-pilar militer dan dilanjutkan ekspansi militer secara besar-besaran ke wilayah di
sekitarnya. Hanya dengan cara itu perasaan kekalahan dan keinginan untuk balas dendam 
akibat kekalahan perang dunia I dapat diobati. Keinginan balas dendam itu kemudian
membuat baik Jepang maupun Jerman berubah menjadi negara militeristik dan secara aktif
menyerang negera-negara di sekitarnya. (3)
Jepang pada dasarnya minim dengan sumber daya alam mengalami banyak kesulitan
dikarenakan industri militer dan kebutuhan perekonomiannya sangat tergantung dari luar.
Selain minim sumber daya alam, jumlah personel militer  Jepang juga tidak besar sehingga
ketika Jepang kemudian melakukan ekspansi wilayah  kekuasaannya pasti akan mengalami
kesulitan untuk mengontrol setiap wilayah yang diduduki. Untuk menguasai wilayah
jajahannya militer Jepang selalu menerapkan disiplin, teror dan kebrutalan pada negara
jajahannya. (1)

1
Dengan tindakan brutal tersebut, negara jajahan diharapkan menjadi enggan
melakukan perlawanan. Tetapi aksi kebrutalan itu dirasa tidaklah cukup karena hanya mampu
memberikan rasa patuh pada negara jajahannya dalam jangka pendek. Maka untuk
menghemat tenaga dan mengontrol wilayah jajahan dalam jangka panjang secara efektif dan
efisien mulai muncul pemikiran ekstrem dari sejumlah pihak militer Jepang. Salah satunya
yang kemudian muncul  tidak hanya mencerminkan kebrutalan tentara Jepang tapi senjata
pemusnah massal yang dioperasikan tanpa perikemanusiaan. Untuk mengkompensasi sumber
daya personel militer yang terbatas itu harus digantikan dengan senjata yang sangat efektif
membunuh musuh , yaitu senjata biologi. (1)
Salah satu tokoh militer Jepang yang mendalami senjata biologi adalah Mayor
Teronobu Hasebe bersama dengan 40 peneliti lainnya. Tapi setelah sekian tahun memimpin,
tim pembuat senjata biologis atau kuman itu, progres dari penelitian tim Hasenebe belum
menunjukkan hasil yang signifikan sampai kemudian muncul seorang ilmuwan Jepang yang
juga dokter ahli bedah yang memiliki pemikiran ekstrim yaitu Ishii Shiro. Sebagai seorang
dokter yang gemar meneliti organ tubuh  manusia sekaligus memantau perkembangan
kuman, Shiro yang kerap membayangkan bereksperimen terhadap manusia hidup merasa
menemukan jalan terang. Maka tidak merupakan hal aneh, Shiro yang lulus dari Universitas
Kyoto pada tahun 1920, memanfaatkan betul peluangnya saat  mendapat tawaran  untuk
mengembangkan kemampuan ilmunya dan memenuhi obsesinya untuk bereksperimen
dengan manusia dari  Angkatan Darat Jepang. (1,3)
Setelah sekitar 4 tahun bekerja di departemen penelitian Angkatan darat Jepang,
sebagai seorang peneliti senjata biologi, kemampuan Shiro di bidang ilmu bakteri ternyata
sangat baik dan cemerlang. Kecerdasan Shiro itu  membuat Angaktan darat Jepang terkesima
dan kemudian memerintahkannya untuk mendalami ilmunya tentang bakteriologi  di
Universitas Kyoto. Pada tahun 1927, Shiro yang memang berotak cerdas kemudian berhasil
meraih gelar Doktor sekaligus menikahi puteri dari Torasaburo Akira yang saat itu menjabat
sebagai rektor atau presiden dari universitas Kyoto. Tak lama kemudian Shiro yang
berpangkat Kapten  telah memiliki berbagai konsep  untuk pengembangan senjata biologi 
kembali bergabung dengan militer Jepang. (1)
Kebetulan militer Jepang yang saat itu sudah bangkit Kembali, sangat bersemangat
untuk menguasai negara tetangga, yaitu China dan negara-negara di wilayah Asia Timur.
Demi kepentingan militer Jepang dan sekaligus melaksanakan misi sebagai mata-mata, Shiro
kemudian diberi kesempatan untuk pergi ke Eropa dan Amerika. Tujuan utama Shiro dan
timnya adalah mempelajari program pembuatan senjata biologi yang sedang dikembangkan
2
Amerika terutama bagaimana cara membuat hujan beracun. Agar misinya tidak menimbulkan
kecurigaan, militer Jepang menyamarkan tugas  rahasia Shiro dan timnya sebagai utusan
militer. Hanya butuh waktu dua tahun bagi Shiro untuk berjelajah di negara-negara Eropa dan
Amerika serta  mempelajari dan mengembangkan program pengembangan senjata biologi.
Sekembalinya dari Eopa dan Amerika, Shiro dan timnya  dinilai sukses oleh pihak militer
Jepang sehingga membuat pangkatnya naik menjadi Mayor, dan Shiro juga diberi keleluasaan
untuk segera membangun industri senjata biologisnya. Upaya Shiro untuk mendirikan
industri senjata biologi ternyata mendapat tanggapan positif dari militer Jepang. (1,4)
Pejabat militer Jepang yang sangat mendukung penuh program  pembuatan senjata
biologi yang dipimpin oleh Shiro antara lain, Kolonel Tetsuzan, Kolonel Yoriniichi Suzuki,
Kolonel Ryuiji Kajitsuka, dan Kolonel Chikahiko Koizumi. (1,5)
Secara kebetulan, tak lama setelah Shiro pulang dari Eropa, di kota Shikoku muncul
wabah radang selaput otak (Meningitis). Shiro pun membuktikan keahliannya meredam
wabah meningitis dengan membangun sarana penjernihan air. Berkat keberhasilan
membereskan wabah dengan efektif, nama Shiro makin popular sebagai pakar bakteriologis,
khususnya di kalangan militer Jepang. Jalan untuk menjadi peneliti dengan obyek eksperimen
berupa manusia hidup pun makin terbuka lebar. Untuk memenuhi kebutuhan sarana praktek
berupa manusia itu, pada bulan Agustus 1932 Shiro dan timnya berkunjung ke Manchuria
yang saat itu sudah dikuasai Jepang. (1)
Setelah kunjungan untuk studi banding itu, telah ditetapkan lokasi pabrik senjata
kuman di Harbin yang akan dijadikan sebagai  pusat pengembangan dan penelitian dari
senjata biologis. Sementara ajang uji praktek senjata kuman terhadap manusia akan di bangun
kamp rahasia di sepanjang sungai Peivin, yang berjarak sekitar 20 km dari Harbin. Agar tidak
mengundang kecurigaan dan ketakutan warga sekitarnya, Shiro sengaja menyamarkan pabrik
senjata kuman dan lokasi uji cobanya sebagai unit Kamo atau kadang-kadang Unit togo. (1)
Setelah kedua tempat yang nantinya menjadi neraka bagi para tawanan perang Jepang
itu  selesai dibangun, Shiro yang  mendapat dukungan banyak dari pejabat-pejabat militer dan
pemerintahan Jepang, dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Anggaran untuk Unit
Kamo pun dinaikkan secara drastis, 200 ribu yen per tahunnya. Di bawah pimpinan Shiro
yang sangat ambisius dan berdarah dingin, program pengembangan senjata biologis di
Unit Kamo berkembang pesat. Kaisar Hirohito pun turut mendukung program pengembangan
senjata biologis yang dipimpin oleh Shiro dan kemudian memerintahkan untuk membangun
dua unit lainnya. Hirohito sangat antusias karena menurut pemahamannya secara pribadi

3
program pengembangan senjata biologis akan mendukung tingkat kesehatan bagi warganya
dan bukan digunakan untuk beperang. (1,5)
Unit pertama yang kemudian dibangun kemudian disamarkan sebagai wahana untuk
pencegahan penyakit dan pemurnian air untuk kepentingan militer, yang pada awal Perang
dunia ke II diubah namanya menjadi Unit 731. Unit penjernihan air itu berlokasi di Pingfan
yang berjarak sekitar 20 km sebelah tenggara Harbin. Unit kedua yang menyusul dibangun
adalah unit Wakamatsu, dibangun di dekat kota Changchun, Mengchiatun, China dan
disamarkan sebagai wahana pencegahan penyakit hewan, dengan nama Departement of
Veterinary Desease Prevention of the Kuantung Army. Karena peran senjata biologis untuk
peperangan makin besar, pada tahun 1938, Unit 731 dipindahkan lokasinya dari Pingfan
dengan fasiltas berupa kamp tertutup yang dijaga sangat ketat. Di dalam lokasi seluas 32 km
persegi itu, kekuasaan tertinggi otomatis  berada di tangan pimpinan tertingginya, sehingga 
hidup dan mati penghuninya berada di tangan Shiro.  (6)
Sementara Shiro yang makin berkuasa dan memimpin 3000 pekerja Jepang kembali
lagi mendapat kenaikan pangkat Kolonel. Staf di bawah Shiro yang memiliki wewenang
sepenuhnya di dalam kamp yang lebih dikenal sebagai tempat pembantaian manusia itu
antara lain Letkol Ryoichi Naito, Masaji Kitano, Yoshio Shinozuka dan Yasuji Kaneko.
Sesuai fungsi dan jenis kuman yang diproduksi, Unit 731 masih terbagi ke dalam 8 divisi dan
masing-masing divisi itu mempunyai kamp tersendiri, tenaga ahli, tawanan perang dengan
jumlah ratusan dan  siap dijadikan ajang uji coba, serta wahana uji coba yang lebih
mencerminkan tempat penyiksaan, dan lainnya, yakni : (4)
a. Divisi 1 Unit 731 merupakan kamp tempat penelitian bubonic plaque atau penyakit
pes, kolera, anthrax, tipus, dan tuberculosis.
b. Divisi 2 merupakan kamp penelitian senjata biologi berupa bom atau roket.
c. Divisi 3, berupa produksi kerang yag bisa menyebarkan senjata kuman
d. Divisi 4 produksi agen senjata kimia
e. Divisi 5 pelatihan personel
f. Divisi 6,7,8 peralatan unit medis, dan adsminitrasi.
Selain memiliki 8 divisi tersebut, Unit 731 juga didukung oleh unit-unit yang lebih kecil
dan lokasinya tersebar di berbagai wilayah yang berhasil dikuasai Jepang. Unit-unit itu antara
lain, Unit 516 (Qiqihar), Unit 543 (Hailar), Unit 773 (Songo Unit), Unit 100 (Changchun),
Unit Ei 1644 (Nanjing), Unit 1855 (Beijing), Unit 8604 (Guangzhou), Unit 200 (Manchuria)
dan Unit 9420 (Singapura). Program pengembangan senjata kimia yang dilaksanakan semua
kelompok tersebut hampir sama dengan setiap penelitian bakteri yang sukses diciptakan
4
kemudian dipraktekkan kepada korbannya. Hasil uji coba pengetesan kuman yang sudah
dimasukkan ke tubuh korban setelah sekian hari lalu diperiksa dengan cara pembedahan.  
Proses pembedahan biasanya dilakukan dari dada ke perut dan dilaksanakan tanpa pembiusan
mengingat korban yang sudah terinfeksi tidak akan dibiarkan  hidup lagi.  Proses
pembedahan tanpa pembiusan itulah yang sangat terkenal pembantaian brutal karena korban
yang berteriak-teriak kesakitan dalam kondisi terikat akhirnya meninggal perlahan-lahan
secara mengenaskan.(1,4)
Menurut hemat penulis unit 731 telah melanggar kelima prinsip bioetika yaitu
1. Autonomy : Pengembangan ilmu pengetahuan tanpa persetujuan dari subjek
penelitiannya
2. Beneficence : Tidak ada manfaat yang diterima oleh subjek penelitian bahkan
penyakit dan siksaan yang mereka terima
3. Non-Maleficence : Subjek penelitian mendapat pemberian kuman dan virus,
kemudian mendapat pembedahan tanpa pembiusan yang dimana sudah pasti
merugikan manusia
4. Justice: Tidak ada keadilan yang didapat sebagai manusia walaupun mereka tawanan
perang seharusnya mendapat perlakuan yang manusiawi juga.
5. Honesty: Tidak ada kejujuran dalam mendirikan pusat pengembangan senjata biologis
dan juga kejujuran kepada subjek penelitian apa saja yang akan diterima subjek
penelitian.

5
DAFTAR PUSTAKA

1. Gold H. Unit 731: Testimony. Tuttle Publishing; 2011.


2. HHarris S. Factories of Death: Japanese Biological Warfare 1932-45 and the American
Cover-up.
3. Dickinson FR. Biohazard: Unit 731 in Postwar Japanese Politics of National “Forgetfulness.”
Dark Medicine: Rationalizing Unethical Medical Research. 2007;85.
4. Hickey D, Li SS, Morrison C, Schulz R, Thiry M, Sorensen K. Unit 731 and moral repair.
Journal of medical ethics. 2017;43(4):270–6.
5. Working R. The trial of Unit 731. The Japan Times June. 2001;5:2001.
6. Hammond S. The Experiments of Unit 731: Torture in the Name of Warfare.
 

Anda mungkin juga menyukai