Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN

FARMAKOTERAPI II
STUDI KASUS PENYAKIT GAGAL GINJAL AKUT
( GGA )

Disusun Oleh :

Kelompok 8

1. Jesika Putri ( 201901218)


2. Laila Kurnia R ( 201901219)
3. Riwonan Pujiama ( 201901234)
4. Rima Nova Atna ( 201901235)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ADILA


BANDAR LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Epidemiologi

GGA menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission patient
dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif (ICU). GGA
juga menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien dengan latar
belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan
bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United
State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden
ini bahkan lebih tinggi dari insiden stroke. 4,5 Beberapa laporan dunia menunjukkan
insiden yang bervariasi antara 0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat
di rumah sakit, hingga 36- 67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
(ICU) dan 5-6% Pasien ICU dengan GGA memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG
atau Replacement Renal Therapy (RRT)).4 Terkait dengan epidemiologi GGA, terdapat
variasi definisi yang digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi
yang luas dari laporan insiden dari GGA itu sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya
(19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui GGA terjadi pada 67 % pasien yang
di rawat di ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan
28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I
dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa AKI
yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan Hospital mortality
rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturut turut untuk maksimal kelas
RIFLER,I,danF.
1.2 Klasifikasi

1.3 Faktor Resiko

Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu untuk
mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana bisa dilakukan
penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan seperti operasi atau
adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik. Paparan dan susceptibilitas pada GGA
nonspesifik menurut KDGIO 2012.
BAB II

PATOFISIOLOGI

2.1 Patogenesis

Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan kerusakan nefron yang
mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif menghilang. Total laju filtrasi glomerolus
(GFR) dan klirens mengalami penurunan sedangkan terjadi peningkatan pada Blood urea
nitrogen dan kreatin. Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi karena fungsinya
untuk menyaring menjadi lebih banyak. Hal ini berakibat pada ginjal, dimana ginjal
kehilangan kemampuan dalam mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan
dalam jumlah besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan. Tubulus pada akhirnya
akan kehilangan kemampuan dalam menerima elektrolit dan urine yang dibuang
mengandung banyak sodium yang mengakibatkan terjadinya poliuri (Bayhakki,2013) dalam
(Khanmohamadi, 2014).

2.2 Etiologi

Etiologi GGA di bagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis GGA yakni

a. penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada


parenkim ginjal.

b. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal

c. Penyakit dengan obstruksi saluran kemih

Kondisi klinis yang dapat menyebabkan terjadinya GGA dapat dipengaruhi oleh ginjal
sendiri dan oleh faktor luar.

a. Penyakit dari ginjal

1) Glomerolusitis

2) Pyelonefritis

3) Ureteritis.

4) Nefrolitiasis
5) Polcystis kidney

6) Trauma langsung pada ginjal.

7) Keganasan pada ginjal.

8) Adanya sumbatan di dalam ginjal seperti batu, tumor, penyempitan/striktur.

b. Penyakit Umum di luar ginjal

1) Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi, kolestrol tinggi.

2) Dysplidemia

3) SLE

4) Penyakit infeksi seperti TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis,

5) Preklamsi,

6) Obat-obatan

7) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)

2.3 Gejala

Beberapa gejala gagal ginjal akut adalah:

 Penurunan output urine


 Retensi cairan yang menyebabkan pembengkakan di tungkai,
 Mata kaki dan kaki,
 Kelelahan,
 Sesak napas,
 Kebingungan,
 Mual,
 Kejang,
 Koma,
 Nyeri dada.
2.4 Manifestasi Klinik

Ada beberapa gejala yang timbul oleh adanya penyakit gagal ginjal Akut, diantaranya yaitu
(Haryono, 2013) dan (Nursalam & B, 2009):

 Kardiovaskular: Darah tinggi, perubahan elektro kardiografi (EKG), perikarditis, efusi


perikardium, dan tamponade perikardium.
 Gastrointestinal : Biasanya terdapat ulserasi pada saluran pencernaan dan pendarahan.
 Respirasi : Edema paru, efusi pleura, dan pleuritis.
 Neuromuskular : Kelemahan , gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan
muskular, neuropati perifer, bingung, dan koma.
 Metabolik/Endokrin: Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon seks
menyebabkan penurunan libido, impoten.
 Muskuloskeletal : Kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
 Integumen : Warna kulit abu-abu, mengilat, pruritis, kulit kering bersisik, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.

2.5 Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis GGA sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan GGA atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat
etiologi penyebab GGA, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
penyakit (pemulihan pada GGA) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat
dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran
normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.
Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap GGA, dan
penentuan komplikasi.

Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan
keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan
tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang
sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau
edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi 18 pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.

BAB III

SASARAN TERAPI

Sasaran terapi GGA yang utama adalah mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya kembali ke fungsi normal. Dua
jenis pengobatan dalam pengelolaan GGA, yaitu terapi konservatif (suportif) dan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT). Terapi konservatif dilakukan dengan
obat-obatan atau cairan dengan tujuan mencegah atau mengurangi progresivitas penurunan
fungsi ginjal, morbiditas, dan mortalitas akibat komplikasi GGA. Jika terapi konservatif gagal
mengatasi segala komplikasi AKI, perlu dipertimbangkan RRT (dialisis)

BAB IV

TUJUAN TERAPI

Tujuan terapi konservatif adalah mencegah progresivitas overload cairan, kelainan


elektrolit dan asam basa, uremia, hipertensi, dan sepsis.

-Terapi cairan dan kalori Pemberian cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss
(IWL)+ jumlah urin 1 hari sebelumnya ditambah dengan cairan yang keluar bersama muntah,
feses, selang nasogastrik, dll. dan dikoreksi dengan kenaikan suhu tubuh setiap 10° C
sebanyak 12% berat badan.

- Asidosis Bila hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hasil asidosis metabolik,
dikoreksi dengan cairan natrium bikarbonat sesuai dengan hasil analisis gas darah yaitu: BE x
BB x 0,3 (mEq) Atau kalau hal ini tidak memungkinkan maka dapat diberikan koreksi 2-3
mEq/kgBB/hari. Bila terapi konservatif tetap berlangsung lebih dari 3 hari harus
dipertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5-1 g/kgBB/hari
- Hiperkalemia : Hiperkalemia perlu segera ditanggulangi karena bisa membahayakan jiwa
penderita. Bila kadar K serum 5,5-7,0 mEq/L perlu diberi kayexalat yaitu suatu kation
exchange resin (Resonium A) 1 g/kgBB per oral atau per rektal 4x sehari. Bila kadar K >7
mEq/L atau ada kelainan EKG (berupa gelombang T yang meruncing, pemanjangan interval
PR dan pelebaran kompleks QRS),atau aritmia jantung perlu diberikan: Glukonas kalsikus
10% 0,5 ml/kgBB i.v. dalam 5-10 menit Natrium bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB i.v. dalam
10-15 menit Bila hiperkalemia tetap ada diberi glukosa 20% per infus ditambah insulin 0,5
unit/gram glukosa sambil menyiapkan dialisis.

- Hiponatremia: Hiponatremia <130 mEq/L sering ditemukan karena pemberian cairan yang
berlebihan sebelumnya dan cukup dikoreksi dengan restriksi cairan. Bila disertai dengan
gejala serebral maka perlu dikoreksi dengan cairan NaCl hipertonik 3% (0,5 mmol/ml).
Pemberian Natrium dihitung dengan rumus; Na (mmol) = (140 – Na) x 0,6 x BB Diberikan
hanya separuhnya untuk mencegah terjadinya hipertensi dan overload cairan. Pendapat lain
menganjurkan koreksi natrium cukup sampai natrium serum 125 mEq/L sehingga pemberian
Na = (125 – Na serum) x 0,6 x BB

- Hipertensi : Hipertensi ditanggulangi dengan diuretika, bila perlu dikombinasi dengan


kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali. Pada hipertensi krisis dapat diberikan klonidin drip atau
nifedipin sublingual (0,3 mg/kgBB/kali) atau nitroprusid natrium 0,5 mg/kgBB/menit.

- Infeksi Komplikasi : infeksi sering merupakan penyebab kematian pada GGA. Pemasangan
kateter vesika urinaria, bila tidak perlu lagi, sebaiknya segera dilepas karena merupakan
penyebab infeksi nosokomial. Antibiotika profilaksis tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan timbulnya strain kuman yang resisten dan kandidiasis.

2. Terapi dialisis Indikasi dialisis pada anak dengan GnGA6,7 :

1. Kadar ureum darah > 200 mg%

2. Hiperkalemia > 7.4 mEq/l

3. Bikarbonas serum < 12 mEq/l

4. Adanya gejala-gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi jantung dan hipertensi yang
tidak dapat diatasi dengan obat-obatan

5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan, kesadaran menurun
sampai koma.
BAB V
STRATEGI TERAPI

5.1 Tata Laksana Terapi

Dalam penatalaksanaan GGA pertama harus disingkirkan kemungkinan prerenal dan


pasca renal. Pada pre-renal, dicari dengan anamnesis yang sistematik mengenai
kemungkinan etiologi (gastroenteritis, dehidrasi, syok, luka bakar, kelainan jantung) dan
pemeriksaan fisik terhadap adanya dehidrasi dan syok. Bila ditemukan pre-renal terapi
disesuaikan dengan etiologinya. Pada gastroenteritis dehidrasi diberikan cairan ringer
laktat. Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah. Syok yang terjadi pada sindrom
nefrotik akibat hipovolemia diberi infus albumin atau plasma.

5.2 Guidline
5.3 Terapi Non Farmakologi

- Transplantasi ginjal mungkin diperlukan pada pasien GGA untuk kelebihan


volume yang menghasilkan respon terhadap diuretik, untuk meminimalkan
akumulasi produk limbah nitrogen, dan untuk memperbaiki abnormalitas
elektrolit dan asam basa sementara menunggu fungsi ginjal pulih. Gizi yang
cukup, manajemen cairan, dan koreksi kelainan hematologi merupakan terapi
suportif pada GGA .
- Pengobatan yang terkait penurunan aliran darah renal harus dihentikan,
Penggantian cairan secara tepat sebaiknya diinisiasi. Menghindari penggunsan zat
nefrotoksik penting dilakukan pada pengaturan kondisi pasien yang mengalami
ARP.
- Terapi penggantian ginjal (Renal Replacement Therapy/RRT), seperti
hemodialisis dan dialisis peritoneal, berfungsi untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit saat dilakukan ekskresi produk buangan untuk
indikasi bagi RRT pada penderita ARF (Tabel 90.4). Pilihan terapi sementara
atau berkelanjutan memiliki berbagai keuntungan dan kerugian tapi masing-
masing memberikan hasil yang mirip. Akibatnya, optimasi dari piliban terapi
(seperti dialisis efisiensi rendah dan perpanjangan dialisis barian) dikembangkan
agar diperoleh keuntungan dari keduanya.
- RRT dengan jeda (intermitten) seperti hemodialisis memiliki keuntungan yakni
ketersediaan yang meluas dan kenyomanan yang berlangsung 3 sampai 4 jam.
Kerugian terapi ini adalah sulitnya akses dialisis vena pada pasien hipotensi dan
terjadinya hipotensi akibat pengeluaran cairan dalam jumlah banyak secara cepat.
- Beberapa variasi RRT kontinu telah dikembangkan, RRT kontinu, dilakukan
sebagai hemodialisis kontinu, hemofiltrasi kontinu, atau keduanya, menjadi
sangat umum. RRT kontinu mengeluarkan cairan dengan toleransi yang lebih
baik pada pasion kritis. Kerugian metode ini adalah ketersediaan yang terbatas,
perlu perawatan penuh selama 24 jam, mahal, dan tata cara pengaturan dosis yang
belum sempurna.

5.4 Terapi Farmakologi

- Terapi dengan loop diuretik (furosemid), fenoldopam dan dopamin. Dopamin


dosis rendah dalam dosis mulai 0,5-3 mcg/kg/menit, terutama merangsang
reseptor dopamin-1, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal dan
meningkatkan aliran darah ginjal (Stamatakis, 2008).
- Manitol 20% biasanya mulai diberikan pada dosis 12.5 sampai 25 g secara IV
selama 3 sampai 5 menit. Kerugiannya termasuk pemberian harus dilakukan
secara IV, risiko hiperosmolaritas, dan kebutuhan yang tinggi akan pengawasan
karena manitol dapat berkontribusi pada terjadinya ARF.
- Dosis ekuipoten dari diuretik Ioop (furosemid, bumetanid, torsemid, agan
etakrinat) memiliki efikasi yang mirip. Asam etakrinat digunakan khusus untuk
pasien dengan alergi obat golongan sulfa. Pemberian diuretik secara kontinu
melalui infus terlihat lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan pemberian bolus secara intermiten. Dosis permulaan (loading dosa,
IV (setara dengan 40-80 mg furosemid) sebaiknya diberikan sebelum memuly
pemberian infus kontinu (setara dengan pemberian furosemid 10-20 tng/jam).
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan umum padi
pasien ARF yakni resistansi diuretik (Tabel 90.5). Obat-obatan dari berbagai
golongan farmakologi, seperti diuretik yang bekerja pada tubulus distal (tiazida)
atau pada duktus pengumpul (amilorida, triamteren, spironolakton), dapat bekerja
secara sinergis apabila digunakan bersamaan dengan diuretik loop Metolazon
umum digunakan karena berbeda dengam tiazida lain Metolazono dapat
memberikan hasil diuresis yang positif pada pasien dengan GFR kurang dari 29
mL/menit.
- Obat yang mengganggu perfusi ginjal Meliputi obat yang mengganggu otoregulasi
ginjal (ACEi/ARB, NSAID) dan oabt yang dapat menurunkan tekanan darah.
Obat antihipertensi termasuk diuretika harus distop dulu bila TDS < 90 mmHg)
atau pada pasien dengan penurunan relatif (TDS < 120 mmHg)
- Obat yang perlu dipantau Termasuk warfarin dan amnoglikosida. Gentamisin tak
boleh dihentikan bila benar-benar diperlukan untuk mengobati sepsis. Bila
dipakai, kadar harian obat dalam darah harus dipertahankan < 1 mg/l.
- Obat yang memberat hiperkalemia,Semua obat yang menghambat ekskresi kalium
seperti trimethoprin dan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) harus
dihentikan. Beta-blocker dan digoksin dapat menghambat pompa sodium /
potassium ATPase dan mengeluarkan kalium dari dalam sel dimana obat-obat ini
dapat menyebabkan resistensi terapi hiperkalemia dengan insulin/glucose.
BAB VI
PENYELESAIAN KASUS

6.1 Kasus

Seorang wanita 35 tahun datang ke RS untuk mendapatkan bantuan pernafasan. Ia


pernah mejalani transplantasi sumsum tulang belakang dan setelah itu mengalami
gangguan pernafasan sejak 2,5 bulan terakhir.Saat datang BUN-nya 20 mg/dl dan serm
creatin 0,7 mg/dl.ia diberikan nasal canula dan tidak diberikan cairan IV karena asupan
oralnya cukup.Radiografi dada menunjukkan adanya penyakit Retikulonodular. Ia
diberika antibiotik untuk terapi empiris infeksi pulmoner,karena pasien membutuhkan
peningkatan oksigen tambahan untuk menjaga oksigenasi arterialnya.Pasien mendapatkan
regimen antibiorik tersebut selama 5 hari tanpa perubahan bermakna pada fungsi
renalnya.Kemudian dilakukan CT ( Computed Tomography) dengan agen kontras untuk
mengevaluasi anatomi paru secara lebih detail karena kebutuhan oksigen masih terus
meningkat. Pagi berikutnya SCr-nya 1,2 mg/dl.walaupun semua agen nefrotoksis sudah
dihentikan pada hari ke-5 setelah prosedur CT Sce-nya 5,0 mg/dl.Sedimen urin
menunjukkan tidak ada hemoglobinuria,proterinuria,atau eosinofil.

Regimen Terapi :
Piperacilin/Tazobactam,Gentamicin,Acycloir dan Amphotericin B

6.2 Analisis kasus

A. Subject

Seorang wanita 35 tahun datang ke RS untuk mendapatkan bantuan pernafasan. Ia


pernah mejalani transplantasi sumsum tulang belakang dan setelah itu mengalami
gangguan pernafasan sejak 2,5 bulan terakhir.Saat datang BUN-nya 20 mg/dl dan serum
creatin 0,7 mg/dl.ia diberikan nasal canula dan tidak diberikan cairan IV karena asupan
oralnya cukup.Radiografi dada menunjukkan adanya penyakit Retikulonodular. Ia
diberika antibiotik untuk terapi empiris infeksi pulmoner,karena pasien membutuhkan
peningkatan oksigen tambahan untuk menjaga oksigenasi arterialnya.Pasien mendapatkan
regimen antibiorik tersebut selama 5 hari tanpa perubahan bermakna pada fungsi
renalnya.Kemudian dilakukan CT ( Computed Tomography) dengan agen kontras untuk
mengevaluasi anatomi paru secara lebih detail karena kebutuhan oksigen masih terus
meningkat. Pagi berikutnya SCr-nya 1,2 mg/dl.walaupun semua agen nefrotoksis sudah
dihentikan pada hari ke-5 setelah prosedur CT Scr-nya 5,0 mg/dl.Sedimen urin
menunjukkan tidak ada hemoglobinuria,proterinuria,atau eosinofil.
Riwayat penyakit : Pernah Transplantasi sumsum tulang belakang

B. Objectif

 Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan fisik


BUN = 20 mg/dl
Serum creatinine = 6,6 mg/dl

- Kondisi Pasien 5 hari kemudian


Serum creatinine = 5,0 mg/dl

C. Assesment

Problem Medik SO Terapi Analisis DRP

Infeksi Piperacilin/Taz Terapi kurang


Pulmoner obactam,Genta tepat -
micin,Amphot
ericin
Gagal ginjal Furosemid - Indikasi Tanpa
Akut injek dan infus Terapi
Manitol 20 %

D. Plan dan Monitoring


 Plan
Terapi Farmakologi
1. Untuk Infeksi Pulmoner diberikan Claritomycin 250 mg/12 jam dan
Meropenem 500 mg/ 8 jam.
2. Untuk Gagal ginjal Akut diberikan Terapi Furosemid 20 mg/jam dan infus
Manitol 20 % 12,5 ml/ jam

Terapi Non-Farmakologi

1. Menerapkan gaya hidup sehat


2. Melakukan olahraga ringan secara rutin
3. Diet rendah natrium
3. Menghindari konsumsi alcohol dan rokok
4. Meningkatkan konsumsi air putih .
5. Meningkatkan konsumsi susu berkalsium (Dipiro 7th ed,2008).
6. Hemodialisis
7. Transplantasi Ginjal
 Monitoring
1. Monitoring Serum Creatin
2. Monitor Kebutuhan Nutrisi.
3. Monitoring kebersihan atau gaya hidup .
4. Monitoring efek samping.
5. Monitoring Cuci Darah.
6. Monitoring keseimbangan cairan

6.3 Evaluasi obat yang terpilih

No NAMA OBAT INDIKASI DOSIS RUTE INTERAKSI ESO


PEMBERIAN

1 Claritomycin Infeksi 250 mg/12 Oral Alfuzosin dan Efek samping


saluran nafas jam klaritromisin umum yaitu diare
bagian atas keduanya mual gangguan
meningkatkan
disebabkan pengecapan
interval QTc.
oleh S. gangguan
Pneumonia klaritromisin pencernaan nyeri
infeksi ringan akan abdomen dan sakit
dan sedang meningkatkan kepala.
pada kulit kadar atau efek
dan jaringan lovastatin oleh
transporter
lunak otitis
penghabisan P-
media terapi glikoprotein
tambahan (MDR1).
untuk
eradikasi klaritromisin
helicobacter akan
pylori pada meningkatkan
kadar atau efek
tukak simvastatin
duodenum dengan
mempengaruhi
metabolisme
enzim
CYP3A4 di
hati/usus.
2 Meropenem Indikasi meropenem Efek samping
infeksi gram 500 mg/8 jam IV menurunkan mual, muntah,
positif dan kadar asam diare, nyeri perut
gram negatif
valproat ,gangguan uji
aerobik dan
anaerobik dengan Risiko fungsi hati
kejang. ,trombositopenia
Kemungkinan ,uji coombs positif
penurunan eosinofilia
absorpsi GI ,neutropenia, sakit
dan/atau kepala, parestesia
peningkatan
klirens asam
valproat ginjal.
3. Furosemid Pasien Peningkatan Hipotensi, hipot
dengan 2 mg/jam IV risiko natremia,hipokale
retensi cairan terjadinya mia hipokalsemia
yang berat
hiperkalemia, ,hiperurisemia
seperti
edema, acites jika digunakan ,ototoksisitas,hiper
,hypertensive bersama glikemia
Heart Failure, dengan obat meningkatkan LDL
edema paru diuretik hemat kolesterol dan
akut, edema kalium. menurunkan HDL.
pada sindrom Peningkatan
nefrotik
risiko
.insufisiensi
Renal kronik, terjadinya
sirosis kerusakan
hepatis jantung, jika
digunakan
bersama
dengan obat
glikosida
jantung, seperti
digoxin atau
antihistamin.
Oliguria pada IV Mannitol dapat Mannitol dapat
gagal ginjal meningkatkan menyebabkan
4 Mannitol 20 % akut yang efek ketidakseimbangan
bertujuan ototoksik.Ekskr
30 ml/Jam cairan dan
mengembalik esi lithium di
an fungsi ginjal dapat elektrolit, maka
normal meningkat perlu dimonitor
ginjal, dengan keseimbangan
Menurunkan pemberian cairan, elektrolit,
tekanan bersamaan fungsi ginjal,
intrakranial dengan
pra dan mann/Vol. volume urin, dan
pascaoperasi tanda-tanda klinis
pada pasien Mannitol lainnya. Pasien
bedah dapat
yang diberi infus
saraf,Menuru meningkatkan
nkan edema efek mann/fo/ intravena
otak/edema tubocurarine sering kali
umum dan pelumpuh mengalami rasa
(misalnya otot haus. Jika dosis
intraokuler, depolarisasi besar diberikan
asites)Memp dan kompetitif secara cepat pasien
ercepat lainnya.
dapat mengalami
bersihan
ginjal pada sakit kepala, mual,
kasus muntah, pusing,
keracunan demam, rasa
atau dingin, takikardia,
overdosis hipotensi, rasa sakit
barbiturate/se pada dada,
datif lain
hiponatremia dan
dehidrasi.

Alasan pemilihan Obat yaitu

1. Untuk penyakit Infeksi Pulmonor diberikan Claritomycin 250 mg/12 jam dan
Meropenem 500 mg/ 8 jam. Alasan pemberian obat yaitu karena si pasien
mengalami infeksi pada paru,jadi diberikan antibiotik tersebut karena aman
untuk ginjalnya,antibiotik sebelumnya di hentikan menyebabkan Crnya
meningkat sehinggal pasien mengalami gagal ginjal akut .harga Claritomycin
Rp. 37.000, Meropenem Rp.50.000
2. Untuk Gagagl ginjal akut diberikan Terapi Furosemid 20 mg/jam dan infus
Manitol 20 % 12,5 ml/ jam alasan diberikan karena serum creatin pasien
tinggi karena efek samping antibiotik sebelunya,dan menurut indikasi obat
tersebut cocok untuk penderita gagal ginjal akut .harga Furosemid Rp. 59.000
,Infus Mannitol Rp.75.000
6.4 Komunikasi,informasi,edukasi

1) KIE untuk tenaga kesehatan:


 Perlu dilakukan pengecekan rutin Ureum darah, albumin, Hb, leukosit.
 Apabila terjadi efek samping, maka dilakukan evaluasi penggunaan obat
2) KIE untuk keluarga pasien
 Cara minum obat dan frekuensinya.
 Memperhatikan dan mengingatkan jadwal minum obat pada pasien
 Memberi motivasi untuk menerapkan pola hidup sehat pada pasien
3) KIE untuk pasien
 Memberikan jadwal minum obat pada pasien
 Motivasi untuk melaksanakan pola hidup sehat
 Menginformasikan mengenai gejala gagal ginjal akut

6.5 Monitoring dan evaluasi

1. Monitoring Serum Creatin


2. Monitor Kebutuhan Nutrisi.
3. Monitoring kebersihan atau gaya hidup .
4. Monitoring efek samping.
5. Monitoring Cuci Darah.
6. Monitoring keseimbangan cairan

BAB VII
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Terapi
farmakologi untuk Infeksi Pulmoner diberikan Claritomycin 250 mg/12 jam dan Meropenem
500 mg/ 8 jam.Untuk Gagal ginjal Akut diberikan Terapi Furosemid 20 mg/jam dan infus
Manitol 20 % 12,5 ml/ jam Sedangkan terapi nonfarmakologi yaitu menyarankan pasien
selalu melakukan cuci darah,memenuhi kebutuhan nutrisi,dan selalu memonitoring
keseimbangan cairan serta efek samping obat.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. et al. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. New York US:
Mc Graw Hill Companies, Inc.
Bayhakki, 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik, Jakarta, EGC

Muttaqin, Arif., dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

NKF-KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. ISN. 2013; 3(1):1–163.

Nursalam. (2009). Manajemen Keperawatan : Aplikasi dan Praktik Keperawatan


Profesional, Edisi Kedua. Salemba Medika, Jakarta

Haryono Rudi ( 2013 ) Keperawatan Medikal Bedah ( sistem Perkemihan )


Edisi1,Yogyakarta. Rapha Publishing

Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury are
associated with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis.
Critical Care 2006; 10:R73. 9. Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in
the Intensive Care Unit according to RIFLE. Critical Care Medicine 2007;
35:1837-1843.

Stamatakis, M.K., 2008. Acute Renal Failure. In M. A. C. Burns., Wells, B. G.,


Schwinghammer, T. L., Malone, P.M., Kolesar, J.M. & J. T. Dipiro., eds.
Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill
Companies,p.361-370.

Anda mungkin juga menyukai