FARMAKOTERAPI II
STUDI KASUS PENYAKIT GAGAL GINJAL AKUT
( GGA )
Disusun Oleh :
Kelompok 8
1.1 Epidemiologi
GGA menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission patient
dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif (ICU). GGA
juga menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien dengan latar
belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan
bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United
State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden
ini bahkan lebih tinggi dari insiden stroke. 4,5 Beberapa laporan dunia menunjukkan
insiden yang bervariasi antara 0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat
di rumah sakit, hingga 36- 67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
(ICU) dan 5-6% Pasien ICU dengan GGA memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG
atau Replacement Renal Therapy (RRT)).4 Terkait dengan epidemiologi GGA, terdapat
variasi definisi yang digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi
yang luas dari laporan insiden dari GGA itu sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya
(19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui GGA terjadi pada 67 % pasien yang
di rawat di ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan
28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I
dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa AKI
yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan Hospital mortality
rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturut turut untuk maksimal kelas
RIFLER,I,danF.
1.2 Klasifikasi
Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu untuk
mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana bisa dilakukan
penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan seperti operasi atau
adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik. Paparan dan susceptibilitas pada GGA
nonspesifik menurut KDGIO 2012.
BAB II
PATOFISIOLOGI
2.1 Patogenesis
Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan kerusakan nefron yang
mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif menghilang. Total laju filtrasi glomerolus
(GFR) dan klirens mengalami penurunan sedangkan terjadi peningkatan pada Blood urea
nitrogen dan kreatin. Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi karena fungsinya
untuk menyaring menjadi lebih banyak. Hal ini berakibat pada ginjal, dimana ginjal
kehilangan kemampuan dalam mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan
dalam jumlah besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan. Tubulus pada akhirnya
akan kehilangan kemampuan dalam menerima elektrolit dan urine yang dibuang
mengandung banyak sodium yang mengakibatkan terjadinya poliuri (Bayhakki,2013) dalam
(Khanmohamadi, 2014).
2.2 Etiologi
Etiologi GGA di bagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis GGA yakni
Kondisi klinis yang dapat menyebabkan terjadinya GGA dapat dipengaruhi oleh ginjal
sendiri dan oleh faktor luar.
1) Glomerolusitis
2) Pyelonefritis
3) Ureteritis.
4) Nefrolitiasis
5) Polcystis kidney
2) Dysplidemia
3) SLE
5) Preklamsi,
6) Obat-obatan
2.3 Gejala
Ada beberapa gejala yang timbul oleh adanya penyakit gagal ginjal Akut, diantaranya yaitu
(Haryono, 2013) dan (Nursalam & B, 2009):
2.5 Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis GGA sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan GGA atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat
etiologi penyebab GGA, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan
penyakit (pemulihan pada GGA) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat
dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran
normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.
Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap GGA, dan
penentuan komplikasi.
Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar
ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu diperiksa asupan dan
keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan
tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang
sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau
edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi 18 pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi
oleh factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
BAB III
SASARAN TERAPI
Sasaran terapi GGA yang utama adalah mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan
mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya kembali ke fungsi normal. Dua
jenis pengobatan dalam pengelolaan GGA, yaitu terapi konservatif (suportif) dan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT). Terapi konservatif dilakukan dengan
obat-obatan atau cairan dengan tujuan mencegah atau mengurangi progresivitas penurunan
fungsi ginjal, morbiditas, dan mortalitas akibat komplikasi GGA. Jika terapi konservatif gagal
mengatasi segala komplikasi AKI, perlu dipertimbangkan RRT (dialisis)
BAB IV
TUJUAN TERAPI
-Terapi cairan dan kalori Pemberian cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss
(IWL)+ jumlah urin 1 hari sebelumnya ditambah dengan cairan yang keluar bersama muntah,
feses, selang nasogastrik, dll. dan dikoreksi dengan kenaikan suhu tubuh setiap 10° C
sebanyak 12% berat badan.
- Asidosis Bila hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hasil asidosis metabolik,
dikoreksi dengan cairan natrium bikarbonat sesuai dengan hasil analisis gas darah yaitu: BE x
BB x 0,3 (mEq) Atau kalau hal ini tidak memungkinkan maka dapat diberikan koreksi 2-3
mEq/kgBB/hari. Bila terapi konservatif tetap berlangsung lebih dari 3 hari harus
dipertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5-1 g/kgBB/hari
- Hiperkalemia : Hiperkalemia perlu segera ditanggulangi karena bisa membahayakan jiwa
penderita. Bila kadar K serum 5,5-7,0 mEq/L perlu diberi kayexalat yaitu suatu kation
exchange resin (Resonium A) 1 g/kgBB per oral atau per rektal 4x sehari. Bila kadar K >7
mEq/L atau ada kelainan EKG (berupa gelombang T yang meruncing, pemanjangan interval
PR dan pelebaran kompleks QRS),atau aritmia jantung perlu diberikan: Glukonas kalsikus
10% 0,5 ml/kgBB i.v. dalam 5-10 menit Natrium bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB i.v. dalam
10-15 menit Bila hiperkalemia tetap ada diberi glukosa 20% per infus ditambah insulin 0,5
unit/gram glukosa sambil menyiapkan dialisis.
- Hiponatremia: Hiponatremia <130 mEq/L sering ditemukan karena pemberian cairan yang
berlebihan sebelumnya dan cukup dikoreksi dengan restriksi cairan. Bila disertai dengan
gejala serebral maka perlu dikoreksi dengan cairan NaCl hipertonik 3% (0,5 mmol/ml).
Pemberian Natrium dihitung dengan rumus; Na (mmol) = (140 – Na) x 0,6 x BB Diberikan
hanya separuhnya untuk mencegah terjadinya hipertensi dan overload cairan. Pendapat lain
menganjurkan koreksi natrium cukup sampai natrium serum 125 mEq/L sehingga pemberian
Na = (125 – Na serum) x 0,6 x BB
- Infeksi Komplikasi : infeksi sering merupakan penyebab kematian pada GGA. Pemasangan
kateter vesika urinaria, bila tidak perlu lagi, sebaiknya segera dilepas karena merupakan
penyebab infeksi nosokomial. Antibiotika profilaksis tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan timbulnya strain kuman yang resisten dan kandidiasis.
4. Adanya gejala-gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi jantung dan hipertensi yang
tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan, kesadaran menurun
sampai koma.
BAB V
STRATEGI TERAPI
5.2 Guidline
5.3 Terapi Non Farmakologi
6.1 Kasus
Regimen Terapi :
Piperacilin/Tazobactam,Gentamicin,Acycloir dan Amphotericin B
A. Subject
B. Objectif
C. Assesment
Terapi Non-Farmakologi
1. Untuk penyakit Infeksi Pulmonor diberikan Claritomycin 250 mg/12 jam dan
Meropenem 500 mg/ 8 jam. Alasan pemberian obat yaitu karena si pasien
mengalami infeksi pada paru,jadi diberikan antibiotik tersebut karena aman
untuk ginjalnya,antibiotik sebelumnya di hentikan menyebabkan Crnya
meningkat sehinggal pasien mengalami gagal ginjal akut .harga Claritomycin
Rp. 37.000, Meropenem Rp.50.000
2. Untuk Gagagl ginjal akut diberikan Terapi Furosemid 20 mg/jam dan infus
Manitol 20 % 12,5 ml/ jam alasan diberikan karena serum creatin pasien
tinggi karena efek samping antibiotik sebelunya,dan menurut indikasi obat
tersebut cocok untuk penderita gagal ginjal akut .harga Furosemid Rp. 59.000
,Infus Mannitol Rp.75.000
6.4 Komunikasi,informasi,edukasi
BAB VII
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: Terapi
farmakologi untuk Infeksi Pulmoner diberikan Claritomycin 250 mg/12 jam dan Meropenem
500 mg/ 8 jam.Untuk Gagal ginjal Akut diberikan Terapi Furosemid 20 mg/jam dan infus
Manitol 20 % 12,5 ml/ jam Sedangkan terapi nonfarmakologi yaitu menyarankan pasien
selalu melakukan cuci darah,memenuhi kebutuhan nutrisi,dan selalu memonitoring
keseimbangan cairan serta efek samping obat.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, Joseph T. et al. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. New York US:
Mc Graw Hill Companies, Inc.
Bayhakki, 2013. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik, Jakarta, EGC
Muttaqin, Arif., dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
NKF-KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. ISN. 2013; 3(1):1–163.
Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury are
associated with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis.
Critical Care 2006; 10:R73. 9. Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in
the Intensive Care Unit according to RIFLE. Critical Care Medicine 2007;
35:1837-1843.