Anda di halaman 1dari 9

JURNAL AWAL PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL

PRAKTIKUM II
EMULSI

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 10 Desember 2019


Nama :Ni Putu Sintya Dewi
NIM : 171200152
Kelas : A2A
Kelompok :V

Dosen Pengampu
I Putu Gede Adi Purwa Hita., S.Farm., M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR
2019
PRAKTIKUM IV
EMULSI

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui dan menguasai pembuatan sediaan emulsi.
II. DASAR TEORI
2.1 Definisi Emulsi

Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispesi dalam cairan
lain dalam bentuk tetesan kecil (FI. IV). Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak
stabil secara termodinamika dengan kandungan paling sedikit dua fase cair yang tidak
dapat bercampur, satu diantaranya didispersikan sebagai globula dalam fase cair lain.
Ketidakstabilan kedua fase ini dapat dikendalikan menggunakan suatu zat
pengemulsi/emulsifier atau emulgator. (Pawlik et al., 2013).

Dalam suatu emulsi, salah satu fase cair biasanya bersifat polar sedangkan yang
lainnya relatif non polar. Penetuan tipe emulsi tergantung pada sejumlah faktor. Jika
rasio volume fasa sangat besar atau sangat kecil, maka fasa yang memiliki volume
lebih kecil seringkali merupakan fasa terdispersi (Shelbat-Othman & Bourgeat-Lami,
2009).

Tujuan pemakaian emulsi adalah:


a. Untuk dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral. Umumnya tipe emulsi tipe
O/W.
b. Untuk dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O,
tergantung pada banyak faktor, misalnya sifat atau efek terapi yang dikehendaki.
(Syamsuni, 2007).Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di
sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar
mencegahterjadinya koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase terpisah.
(Anief, 2010).
II.2 Komponen Emulsi (Syamsuni, 2006)
Komponen emulsi terdiri dari dua macam yaitu
2.1.1 Komponen Dasar : komponen dasar merupakan bahan pembentuk emulsi
yang harus terdapat di dalam emulsi yang terdiri atas :
a. fase dispers/ fase internal/ fase diskontinu/ fase terdispersi/ fase dalam,
yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil di dalam zat cair
lain.
b. fase eksternal/ fase kontinu/ fase pendispersi/ fase luar , yaitu zat cai
dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar ( bahan pendukung )
emulsi tersebut.
c. emulgator adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk menstabilkan
emulsi

2.1.2 Komponen Tambahan : merupakan bahan tambahan yang sering


ditambahkan ke dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

2.3 Tipe Emulsi

2.3.1 Oil in water (o/w): fase minyak terdispersi sebagai tetesan dalam
keseluruhan fase luar air, minyak sebagai fase internal , dan air sebagai fase
eksternal (Winarno, 1997).

2.3.2 Water in oil (w/o): fase air terdispersi sebagai tetesan dalam fase luar
minyak , air sebagai fase internal, dan minyak sebagai fase eksternal
(Winarno, 1997).

2.4 Keuntungan dan Kekurangan Sediaan Emulsi (Kale & Sharada, 2017)

2.4.1 Keuntungan sediaan emulsi

a. Untuk melarutkan obat-obatan larut lemak


b. Meningkatkan absorpsi obat
c. Meningkatkan absorpsi obat secara topika
d. Menutupi rasa dan bau yang tidak enak
e. Meningkatkan palatabilitas nutrisi minyak

2.4.2 Kekurangan sediaan emulsi

a. Kurang stabil dibandingkan dengan bentuk sediaan lain


b. Memiliki waktu simpan yang pendek
c. Dapat terjadi creaming, cracking, dan flocculation selama masa
penyimpanan
2.5 Metode Pembuatan Emulsi

a. Metode gom kering


Dalam metode ini zat pengemulai ( biasanya gom arab) dicampur
dengan minyak terlebih dahulu, kemudian ditambah air untuk
memvbentuk korpus emulsi, baru diencerkan dengan sisa air yang tersedia.
b. Metode gom basah
Zat pengemulsi ditambahkan ke dalam air agar terbentuk suatu
mucilago, kemudian perlahan-lahan minyak dicampurkan untuk
membentuk emulsi, kemudian diencerkan dengan sisa air.
c. Metode botol
Digunakan untuk minyak menguap dan zat-zat bersifat minyak dan
mempunyai viskositas rendah (kurang kental), serbuk gom dimasukkan ke
dalam botol kering, ditambahkan 2 bagian air, botol ditutup, kemudian
campuran dikocok dengan kuat. Tambahkan sisa air sedikit demi sedikit
sambil dikocok.
2.6 Faktor yang Memecah dan Mempengaruhi kestabilan Emulsi
a. Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Emulsi
1) Viskositas
2) Ukuran Partikel
3) Rasio fase volume
4) Muatan listrik pada lapisan ganda listrik
b. Faktor yang memecah emulsi:
1) Pemecahan emulsi secara kimia, dengan penambahan zat yang
mengambil air, seperti CaCl , eksikatus dan CaO.
2) Pemecahan emulsi secara fisika:
a) Kenaikan suhu menyebabkan perubahan viskositas, mengubah sifat
emulgator dan menaikkan benturan butir-butir tetesan.
b) Pendinginan menyebabkan terpisahnya air dari sistem emulsi.
c) Penambahan granul kasar
d) Pengenceran emulsi yang berlebihan
e) Penyaringan
f) Pemutaran dengan alat sentrifugasi.
3) Efek elektrolit terhadap stabilitas emulsi

2.7 Uji Kualitas Emulsi


a. Uji Kestabilan
Stabilitas sebuah emulsi adalah sifat emulsi untuk mempertahankan
distribusi halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka
waktu yang panjang (Voight, 1995). Begitupun tanpa adanya koalesen dari
fase intern, creaming, serta terjaganya rupa yang baik, bau dan warnanya
(Anief, 1999). Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya
penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan
penampilan, bau, warna, dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin, et
al., 1993). Beberapa fenomena yang menjadi parameter dalam menentukan
ketidakstabilan fisik dalam emulsi yaitu:
1) Koalesen
Koalesen merupakan proses penipisan atau terganggunya lapisan
film antardroplet sehingga menyebabkan adanya fusi dari dua atau
lebih droplet yang ukurannya menjadi lebih besar dari ukuran
semula (Martin, et al., 1993).
2) Creaming
Creaming merupakan peristiwa pembentukan agregat dari
bulatan fase dalam yang memiliki kecenderungan yang lebih besar
untuk naik ke permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi tersebut
daripada partikel-partikelnya sendiri (Martin, et al., 1993).
3) Cracking
Kerusakan yang paling besar dari emulsi adalah cracking.
Pada fenomena ini emulsi terpisah menjadi dua fase yaitu fase
minyak dan fase air dan tidak dapat bercampur meskipun dilakukan
pengocokan (Ansel, 1989). Selain uji stabilitas fisik, terdapat pula
uji stabilitas kimia pada emulsi. Uji stabilitas kimia pada emulsi
salah satunya adalah dengan cara menganalisis perolehan kembali
atau rendemen zat aktif yang terkandung dalam emulsi. Stabilitas
kimia dari molekul sediaan merupakan hal yang sangat penting
karena berhubungan dengan efektivitas dan keamanan dari suatu
produk obat. (M. Blessy, et al., 2013).

b. Uji Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan menggunakan viskometer Brookfield
dengan kecepatan geser dan nomor spindel yang sesuai. Viskometer
Brookfield adalah alat yang bekerja menggunakan gasing atau kumparan
yang dicelupkan ke dalam cairan, kemudian diukur tahanan gerak dari
bagian yang berputar. Spindel pada viskometer dicelupkan sampai tercelup
sempurna. Viskometer kemudian dinyalakan sehingga spindel akan
berputar. Baca dan catat skala yang tertera. Pada pengujian ini dilakukan 5
kali
c. Uji Organoleptis
Pengamatan organoleptis meliputi perubahan warna, bau, pemisahan
fase, dan pertumbuhan jamur secara makroskopis. Pengamatan ini
dilakukan selama tiga hari berturut-turut dengan tujuan mengamati
perubahan yang terjadi terhadap emulsi. Alat yang digunakan adalah
tabung reaksi beserta raknya.
.
d. Uji pH Sediaan
Kadar keasam-basaan cairan emulsi bisa diukur menggunakan pH
meter. pH meter yang digunakan yaitu pH meter digital. Hasilnya
diketahui dengan nilai kadar yang dimunculkan pada layar, apabila nilai
yang ditunjukkan di bawah 7 maka cairan bersifat asam, sedangkan jika
nilai yang ditunjukkan di atas 7 maka cairan bersifat basa. Sebelum
menggunakan alat pH meter terlebih dahulu elektroda dicelupkan ke dalam
cairan yang netral pH-nya. Ketika siap untuk mengukur, elektroda
dimasukkan ke dalam cairan emulsi, direndam sampai angka pH muncul
pada layar.
3 ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Cawan Porselen
2. Blender
3. Sudip
4. Mortir dan Stamper
5. Gelas ukur
6. Beaker glass
7. Batang Pengaduk
B. Bahan
1. Minyak Ikan
2. Air
3. Sirup simplex
4. Aquadest

Formulasi :

R/ Minyak ikan 20 ml
Air 10 ml
PGA 5 ml
Sirup simplex 20 %
Aqua Ad 100 ml
4 PEMERIAN BAHAN
1. Oleum Iecoris ( FI III HAL 457 )
Pemerian : Cairan,kuning pucat, bau khas, agak manis, tidak tengik, rasa khas.
Kelarutan : Sukar larut dalam etanol ( 95 %),mudah larut dalam kloroform, dalam
eter, dan dalam eter minyak tanah.
Khasiat : Sumber vitamin A dan Vitamin D.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terisi penuh, terlindung dari cahaya.

2. PGA ( FI IV HAL 718 -719 )


Pemerian : Serbuk, putih atau putih kekuningan,tidak berbau.
Kelarutan : Larut hampir sempurna dalam air,tetapi sangat lambat ,meninggalkan
sisa bagian tanaman dalam jumlah sanagt sedikit, dan memberikan
cairan seperti mucilago,tidak berwarna tau kekuingan, kental,
lengket, tranparan,bersifat asam lemah terhadap kertas lakmus
biru,praktis tidak larut dalam etanol dan dalam eter.
Khasiat : Zat tambahan (Suspending Agent ).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
3. Sirup Simplex ( FI III HAL 567 )
Pemerian : Cairan jernih,tidak berwarna.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,sukar larut dalam etanol ( 95 %), dalam
metanol dan dalam asam asetat.
Khasiat : Zat tambahan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
4. Aqua (Aqua Destillata/ Air Suling) (Depkes RI,1979)
a. Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.
b. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
c. Khasiat dan Penggunaan : Sebagai pemanis.

5 CARA KERJA
Siapkan alat bahan yang akan digunakan

Siapkan mortir lalu masukkan PGA sebanyak 5 gram / blender lalu tambahkan air
untuk PGA sebanyak 8 ml gerus/putar ad terbentuk mucilago

Tambahkan sedikit demi sedikit oleum iecoris sebanyak 20ml. Gerus cepat/ putar
dengan kecepatan tinggi , ad terbentuk corpus emulsi

Tambahkan sirup simplex , gerus/ putar ad homogen, tambahkan sisa air 50 ml

Masukkan ke dalam botol, bersihkan lalu tutup botol , kemudian kap dan beri label

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2010. Ilmu Meracik Obat . Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press
Ansel, H. C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim,
F., Edisi IV, 605-619, Jakarta, UI Press.
Depkes RI . 1979. Farmakope indonesia, edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Depkes RI . 1995. Farmakope indonesia, edisi IV. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Kale, S.N. & Sharada, L.D., 2017. Emulsion Micro Emulsion and Nano Emulsion: A

Review. Sys Rev Pharm, 8(1), pp.39-47

M, Blessy, Ruchi D. Patel, Prajesh N. Prajapati, Y.K. Agrawal. 2013. Development of


forced degradation and stability indicating studies of drugs-a review.
Departement of Pharmaceutical Analysis, Institute of Research and
Development, Gujarat, India.
Martin, A., Swarbrick, J., Commarata, A. 1993. Farmasi Fisik 2, Edisi Ketiga. Jakarta :

Universitas Indonesia Press


Pawlik et al., 2013. Bridging Benchtop Research and Industrial Processed Foods:

Structuring of Model Food Emulsion. Journal of Food Structure (1): 24-38


Shelbat-Othman, N. & Bourgeat-Lami, E., 2009. Use of Silica Particles for the

Formation of Organic−Inorganic Particles by Surfactant-Free Emulsion

Polymerization. Langmuir, 25(17), pp.10121-33


Syamsuni , H.A . 2006. Ilmu Resep. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan Oleh Soendani
N.S. Yogyakarta: UGM Press.
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka

Anda mungkin juga menyukai