Anda di halaman 1dari 5

Dalam masyarakat Bali, Topeng Sidhakarya seakan-akan disamakan dengan Topeng Pajegan.

Pengertian itu terjadi bahwa Topeng Pajegan itu dilakoni oleh hanya seorang penari (pragina),
dengan memainkan sejumlah karakter topeng. Tetapi kenyataannya dewasa ini tidak selamanya
nopeng sidhakarya itu diperankan tokoh-tokohnya hanya oleh seorang pelaku. Sering dua atau
lebih penari topeng, menarikan pada bagian lakonnya, hanya pada hadirnya topeng sidhakarya,
dilakukan oleh seorang diantara mereka itu.
Kata Topeng mempunyai pengertian, yaitu :

1. Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Di sini dimaksud tutup yang dipakai
untuk menutupi muka manusia. Topeng mengandung pengertian suatu benda yang
ditekankan pada muka, yaitu tapel. Jadi disamping tapel, make up pun bisa disebut
topeng, karena ia menimbulkan perubahan muka dari wujudnya semula.
2. Kata topeng berasal dari kata tup yang berarti tutup. Karena gejala bahasa yang disebut
pembentukan kata, kata tup ditambah saja dengan kata eng, yang kemudian menjadi
tupeng. Tupeng kemudian mengalami perubahan sehingga menjadi topeng.
3. Di Bali kata topeng berarti tutup atau tapel. Oleh karena itu pula bahwa tari topeng
dikatakan sebagai tari yang memakai tapel untuk menutupi mukanya.
Akhirnya dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa topeng di Bali
adalah suatu tarianyang penarinya memakai tapel atau topeng dan memakai sejarah atau babad
sebagai lakon.
Sedangkan istilah Sidhakarya (Sidakarya : Bali), berasal dari kata sida dan karya. Kata
sida dalam bahasa Sansekerta, dari urat kata siddh (kelas I/IV), artinya mencapai. Dalam
pembentukannya (PP) menjadi kata siddha/siddhya, yang artinya berhasil, tercapai, terlaksana,
sempurna. Sedangkan kata karya, memiliki pengertian
tugas, tujuan, kerja/pekerjaan, ritual/upacara. Kedua kata itu menjadi kosa kata dalam bahasa
Jawa Kuno (Bahasa Kawi) Siddhakarya dan dalam bahasa Bali Sidakarya, yang mempunyai
arti yang sama, yakni pekerjaan yang berhasil atau sempurna ( Mardiwarsito, 1985 : 527). Jadi
Topeng Sidakarya, merupakan sebuah pernyataan bahwa pekerjaan/karya yang digelar sudah
selesai dengan sempurna.
Kaitan Topeng Sidakarya dengan upacara Agama Hindu
Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali
Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya.
Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung
arti sebagai berikut:
1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung
serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara
berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara.
Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan
dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa
kengerian.
2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang
dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.
3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta
(sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya
sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir
pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-
hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).
Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan
dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi
dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian
spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah
seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.

Sejarah Topeng sidakarya


Kisahnya dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau
mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara
ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu,
tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan
antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan
yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya
compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf
kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling
diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan
dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem
Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana.
Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin
banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam
samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas
untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan
mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir
sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas
disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya
berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip
gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah
terutama mulut dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat
bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua
penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak
mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya beralasan lain lagi, yakni tak ingin
memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng
Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa pementasan topeng. Artinya, yang
didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual) membawakan topeng
Dalem Sidakarya itu.
Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa,
disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari
Topeng Sidakarya disebut Topeng Pajegan, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem
Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya
penari pajegan ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan
Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana,
tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu
dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk
mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang
ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada
generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam
mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tongkak untuk menguatkan kesenian di bali
khususnya seni tari wali ini.

Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak
dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan
dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa
mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual
penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan
topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan
dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi
(penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah
mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya
pun melewati tahapan mewinten. penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan
manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Karena itu, dari
pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya
dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang
dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai
tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata.
Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang
alam.
Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa
hanya tiga hari atau sebulan. Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah
pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12
jam tanpa putus. Awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu
cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Dari puluhan
tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika dan pertimbangan penuh. Inilah
seni lokal genius. Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami.
Pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang.
Karena itu, terpaksa digantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid.
Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja
disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung.
Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua
topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai
persembahan kepada Dewa Iswara.

Anda mungkin juga menyukai