Anda di halaman 1dari 3

Seni Tari Topeng di Bali

Seni Tari di Bali berkaitan erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya
bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Siwa yang
dipercaya oleh umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai. “Dewa
Tari” dengan gelar Ciwa Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan
kekuatan mengisi ruang saat menciptakan alam semesta.

Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian
sakral sebagai bagian tak terpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya dipegelarkan tatkala
diselenggarakan upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang
merupakan pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi
media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.

Salah satu tari yang terkenal di Bali adalah tari topeng. Tari Topeng merupakan seni
pentas tertua di jagat ini, karena keberadaan topeng ini diperkirakan cukup lama. Hal ini oleh
para ahli didasarkan pada kalimat yang ada dalam beberapa prasasti yang menyebutkan
Atapukan, artinya topeng dan petapukan ( perkumpulan topeng ).
Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan bahan lainnya
dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang,
setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya
mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan
Babad.
Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng
bungkulan (yang menutup seluruh muka penari), topeng sibakan (yang menutup hanya sebagian
muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung).
Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan tidak perlu berdialog langsung, sedangkan
semua tokoh yang memakai topeng sibakan memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar
(topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil),
Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali
adalah :
 Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas
yang terdapat didalam lakon yang dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang
mutlak harus ada, yakni topeng Sidhakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan
topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali.
Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali.
 Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan
peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon.
 Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari
Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan
topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu
untuk menyajikan humor-humor yang segar. Berikut gambar-gambar tari topeng di Bali.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang salah satu tari topeng legendaris yang
banyak digemari masyarakat, namun juga dapat memacu adrenalin bagi sebagian orang yang
takut melihat tarian ini. Tari topeng tersebut adalah tari "TOPENG SIDHAKARYA". Penarinya
hanya seorang, tetapi memainkan banyak tapel silih berganti. Penampilan terakhir adalah tapel
topeng sidhakarya. Tarian ini melambangkan wisnumurti. Tarian ini disebut pula Topeng
Pamuput Karya, yaitu pekerjaan yang telah mencapai kesuksesan.
Sejarah Topeng sidhakarya

Kisahnya dimulai terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau
mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara
ini.
Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi
ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara
Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang
jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-
camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan
yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir
dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan
dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem
Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana.
Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin
banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas
mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu.
Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan
menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi
masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya
berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip
gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah —
terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat
bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua
penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya. Berikut Gambar Tari Topeng Sidhakarya.

Kebanyakan masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya
beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran bertambah dengan
mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa
”pementasan topeng”. Artinya, yang didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah
berhak (secara ritual) membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Gamelan pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa,
disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini penari
Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan berbagai peran. Dalem
Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika membuat tirtha. Karena itu sebelumnya
”penari pajegan” ini melakukan improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan
Dalem Sidakarya. Penari bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana,
tergantung siapa penarinya. Sebagai seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu
dikembangkan dan dipopulerkan. Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk
mentradisikan legenda pamuput akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang
ini bukan hanya hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada
generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan dalam
mengatasi masalah moral ini dan bisa menjadi tonggak untuk menguatkan kesenian di bali
khususnya seni tari wali ini.
Sumber :
Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2010. Agama Hindu untuk SMA Kelas XII. Jakarta : Ganeca Exact.
http:// tari-topeng-bali.html, http:// SENI TARI BALI _ Ruthanggita's Blog.htm, http:// sejarah-
tari-wali-topeng-sidekarya-di.html, http://cerita-singkat-dalem-sidakarya.html.

Anda mungkin juga menyukai