Anda di halaman 1dari 6

PROBLEMATIKA WANITA DAYAN GUNUNG (KLU)

“Darah muda, darahnya para remaja yang selalu merasa gagah, tak
pernah mau mengalah”. Masih ingatkah anda dengan lagu Raja Dangdut
Indonesia ini? Walaupun sudah termakan zaman, lagu ini masih sering terngiang
di telinga kita. Kutipan lagu Bang Haji Roma Irama ini menyampaikan makna
bahwa masa remaja merupakan masa di mana seseorang memiliki emosional yang
tinggi. Emosional yang belum bisa dikendalikan dan masih sering berubah-ubah
atau yang saat ini sering disebut dengan labil. Seiring dengan terciptanya
emosional yang tinggi secara mental, masa remaja ini juga ditandai dengan
perubahan-perubahan secara fisik.

Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12-24 tahun. Namun jika
pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa atau
bukan lagi remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih
tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok
remaja, (Seno Adjie, 2013). WHO juga mendefinisikan remaja sebagai
perkembangan dari saat timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya
maturasi seksual (kematangan seksual) dan reproduksi, suatu proses pencapaian
mental dan identitas dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosioekonomi
menjadi mandiri. Maturasi seksual dan reproduksi ini juga merupakan suatu
proses matangnya organ-organ reproduksi (bagian-bagian tubuh yang berperan
dalam proses reproduksi manusia). Organ-organ reproduksi ini sangat rentan
terhadap penyakit, seperti PMS, Kanker Serviks, hingga HIV/AIDS. Oleh karena
itu, sangat diperlukan perlindungan terhadap organ reproduksi agar selalu terjaga
kesehatannya. Reproduksi itu sendiri berasal dari kata re yang artinya kembali,
dan produksi yang artinya membuat atau menghasilkan. Reproduksi adalah
sebuah proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan, (Laurike
Moeliono, BKKBN, 2004).

Seperti halnya organ-organ lain, organ reproduksi manusia juga perlu


dijaga kesehatannya dengan berbagai cara. Sebenarnya seberapa pentingnya
Kesehatan Reproduksi itu? Kesehatan Reproduksi adalah suatu kondisi sehat yang
menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi. Pengertian sehat tidak semata-

1
mata berarti bebas dari penyakit atau kecacatan fisik, melainkan juga sehat secara
mental, sosial dan kultural, (Laurike Moeliono, BKKBN 2004). Informasi
mengenai pentingnya menjaga kesehatan reproduksi remaja sangat diperlukan
agar para remaja memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk
menghadapi berbagai perubahan, gejolak dan masalah yang sering timbul pada
masa remaja. Beberapa masalah yang sering timbul pada masa remaja akibat
kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kesehatan reproduksi remaja
adalah kanker serviks, seks bebas, dan pernikahan dini.

Gambar 1. Kanker serviks dan pernikahan dini

Salah satu upaya yang paling mudah dilaksanakan untuk menjaga


kesehatan reproduksi remaja yaitu berawal dari kehidupan sehari-hari remaja itu
sendiri. Seperti yang kita ketahui, pertumbuhan remaja saat ini diwarnai dengan
kemajuan teknologi. Semua yang dulunya membutuhkan proses lebih lama
sekarang menjadi lebih praktis. Begitu juga dengan produk pembersih organ-
organ reproduksi itu sendiri. Para remaja, terutama perempuan sangat tidak
dianjurkan menggunakan produk pembersih dari bahan kimia. Produk pembersih
hendaknya dipilih yang terbuat dari bahan herbal dan memiliki pH kurang lebih
sama dengan pH organ reproduksi wanita yakni 4,5. Pada pH tersebut kuman dan
bakteri tidak dapat berkembang biak. Namun produk pembersih ini tidak baik juga
jika digunakan setiap hari. Pada dasarnya daerah organ reproduksi wanita hanya
perlu dibersihkan dengan air. Cara yang tepat untuk membersihkan vagina adalah
dengan menyiramkan air pada bagian depan vagina ke belakang anus, lalu
keringkan dengan handuk. Jika pada organ reproduksi wanita keluar cairan yang
dapat mengganggu keseimbangan pH atau sering disebut dengan keputihan, maka
remaja dapat menggunakan pantyliner yang penggunaannya juga harus diganti

2
setelah buang air kecil atau buang air besar. Sedangkan cara alami untuk
mencegah keputihan adalah dengan cara mencuci daerah organ reproduksi wanita
dengan air rebusan daun sirih setiap kali buang air kecil. Selain itu, cara lain
menjaga daerah organ reproduksi wanita yaitu rajin mengganti celana dalam
minimal tiga kali sehari agar tidak lembab, dan juga rajin membersihkan atau
mencuci daerah reproduksi wanita dengan air ataupun dengan daun sirih setiap
selesai buang air kecil maupun pada saat menstruasi. Celana dalam yang
digunakan sebaiknya celana dalam yang terbuat dari katun karena celana yang
terbuat dari katun lebih mudah menyerap keringat daripada celana yang terbuat
dari bahan lain. Rambut daerah organ reproduksi wanita juga harus sering dicukur
atau dibersihkan agar rambutnya tersebut tidak lebat yang mengakibatkan kuman
kuman penyebab keputihan dapat bersarang di rambut daerah organ reproduksi
wanita. Pada intinya, setiap wanita harus menjaga daerah organ reproduksinya
agar selalu bersih dan kering (tidak lembab).

Selain upaya-upaya di atas, remaja juga perlu mengetahui upaya lain


untuk menghadapi masalah kenakalan remaja zaman sekarang. Dewasa ini para
remaja sangat sulit dipisahkan dengan istilah “pacaran”. Pacaran merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang saling jatuh cinta. Kata cinta ini merupakan awal terjadinya
hubungan yang lebih dekat antara dua remaja atau dua insan yang sedang “mabuk
cinta” tersebut. Mereka merasa saling memiliki dan berhak untuk mengenal lebih
dalam pasangannya masing-masing. Hal ini sangat wajar terjadi pada tahap
remaja, karena pada tahap inilah mereka mengalami ketertarikan terhadap lawan
jenisnya. Namun, akan sangat tidak wajar ketika cinta yang harusnya saling
menjaga hanyalah dijadikan “kedok” dari nafsu belaka. Ketidakwajaran ini timbul
akibat para remaja yang masih dalam keadaan “labil” cenderung akan melakukan
sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. Para remaja lebih berpikir untuk menikmati
daripada mempelajari dan memikirkan hal yang akan terjadi kedepannya. Hingga
akhirnya mereka akan mengenal seks bebas dan seksualitas dalam hubungan cinta
“tidak wajar” yang mereka lakukan. Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut seksualitas (Laurike Moeliono,
BKKBN 2004). Pada akhirnya remaja rentan terhadap hal-hal yang tidak

3
diinginkan, seperti Kehamilan Tak Diinginkan (KTD), Penyakit Menular Seksual
(PMS), HIV/AIDS dan lain-lain. Minimnya pengetahuan remaja akan bahaya seks
bebas menyebabkan hal ini terus berlangsung bahkan “menjadi-jadi”. Pada saat
inilah, pengawasan orang tua dan keluarga terhadap seorang remaja yang sedang
mengalami pubertas sangat diperlukan. Karena keluarga adalah komunitas
pertama yang menjadi tempat bagi seseorang, sejak usia dini, belajar konsep baik
dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah (Raka dkk, 2011). Hendaknya
keluarga, terutama orang tua memberikan pengarahan kepada para remaja
terutama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan kepercayaannya
serta memberikan motivasi belajar bagi buah hatinya. Tetapi seorang remaja
memiliki kecenderungan canggung jika harus berbagi masalah dengan orang tua
mereka. Biasanya seorang remaja akan menceritakan keluh kesahnya pada teman
sebaya yang bisa ia percaya. Sehingga yang juga diperlukan oleh para remaja saat
ini adalah peran teman sebaya untuk saling berbagi pengalaman masing-masing
(Gunarsa, 2011). Pada masa ini, remaja tergolong berada pada tahap formal
operasional. Untuk itu, para petugas kesehatan perlu membimbing salah satu
remaja untuk dibekali pengetahuan lebih, yang nantinya akan dijadikan fasilitator
bagi teman sebayanya. Fasilitator disini berarti remaja yang telah dibimbing akan
berbagi pengetahuannya kepada teman-teman sebayanya. Hal ini dilakukan agar
para remaja mengetahui lebih dalam mengenai kesehatan reproduksi yang harus
selalu dijaga.

Secara umum, dampak dari seks bebas ini dapat menimbulkan


HIV/AIDS, PMS dan menikah di usia dini atau usia yang masih sangat muda.
Sebagian besar pernikahan dini ini terjadi saat para remaja masih menginjak usia
10-15 tahun. Padahal dalam semua ajaran agama ataupun keyakinan masyarakat
tidak dikehendaki adanya pernikahan dini.

Menurut kitab Nitisastra, V.1 disebutkan bahwa “Seorang pelajar


wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun
orang boleh kawin”. Hal ini jelas bahwa pada masa remaja, seseorang tersebut
hanya memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan.

4
Namun pada kenyataannya, pernikahan dini masih sering menjadi
terjadi. Menurut Bapak Sutiadi, Kepala Dusun Kr.Nangka, Desa Sokong,
Kec.Tanjung, sebagian besar remaja di dusun tersebut telah melakukan
pernikahan dini. Pernikahan ini terjadi tidak hanya karena Kehamilan Tak
Diinginkan (KDT) , tetapi juga banyak faktor-faktor lainnya. Entah karena tradisi
menikah muda, latar belakang ekonomi, atau pendidikan yang kurang memadai.
Beberapa kasus yang ditemukan di wilayah tersebut yakni, seorang remaja putri
kelas XI SMA mengalami putus sekolah karena menikah padahal tidak terjadi
“kecelakaan” atau Kehamilan Tak Diinginkan (KDT). Di sini terlihat jelas bahwa
belum adanya hukum (awig-awig) sekolah yang tegas tentang pernikahan anak
berstatus sekolah. Artinya bahwa sekolah harus memiliki hukum yang tegas dan
memberi sanksi (denda) yang tinggi terhadap kasus pernikahan dini diluar adanya
Kehamilan Tak Diinginkan (KDT). Selain itu sepasang muda mudi mengalami
putus sekolah dasar karena keterbatasan ekonomi dan melangsungkan pernikahan.
Setelah menjalani pernikahan, mereka dikaruniai seorang anak. Tetapi tak lama
kemudian, karena cek-cok rumah tangga, pasangan tersebut bercerai. Wanita yang
masih di bawah umur menjadi janda dan harus menghidupi anaknya. Selain
berdampak pada perceraian, banyak anak hasil pernikahan dini memiliki
kemampuan yang di bawah standar. Di sinilah peranan kesehatan reproduksi
wanita dipermasalahkan. Pada usia remaja 10-15 tahun, rahim seorang wanita
belum bisa berfungsi dengan baik, sehingga banyak di antara bayi yang
kemungkinan lahir tidak normal, cacat, kurang gizi, tidak cerdas, bahkan
berdampak pada kematian ibu dan bayi.

Gambar 2. Bayi kurang gizi akibat pernikahan dini

5
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, prevalensi anak
berkesulitan belajar diperkirakan lebih besar. Penyebabnya adalah masih cukup
tinggi angka kurang gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, angka sakit diare, angka
penyakit persalinan serta infeksi susunan saraf pusat pada bayi ( Yusuf, dkk,
2003). Jadi, diperlukan adanya sosialisasi kepada orang tua tentang perlunya
menjaga kesehatan reproduksi sehingga orang tua di desa yang biasanya memaksa
anak untuk menikah muda bisa kembali berpikir dan bertekad untuk mau
menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan jika
kesehatan reproduksi seorang ibu sehat, dan ia pun cerdas (berpendidikan) pasti
akan melahirkan generasi yang cerdas.

Referensi
Gunarsa, S.D. 2011. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Libri.
Moeliono, Lourike. 2004. Proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi Remaja.
Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Raka, dkk. 2011. Pendidikan Karakter Di Sekolah. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Yusuf, dkk. 2003. Pendidikan bagi Anak dengan Problema Belajar. Solo:
PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/kesehatan-reproduksi-
remaja-dalam-aspek-sosial.html_diakses pada tanggal 27 Oktober 2013
http://web.dinkesdki.go.id/dinkesdki/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=77:kesehatan-reproduksi-remaja&catid=61:kesehatan-
keluarga&Itemid=150_diakses pada tanggal 27 Oktober 2013

Anda mungkin juga menyukai