Sumber: SehatQ.com
Pendahuluan
Kesehatan reproduksi merupakan hal yang wajib dijaga oleh setiap gender
yang terdiri dari laki-laki dan perempun, terutama pada saat remaja yaitu di usia 10-19
tahun. Masa remaja umumnya dikenal sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Di masa ini, seseorang akan mengalami banyak perubahan
dalam dirinya mulai dari perubahan fisik, psikis dan intelektual. Lingkungan dan
pengetahuan pada remaja dapat memberikan dampak yang besar terhadap masalah-
masalah pada remaja seperti sex bebas, NAPZA dan pernikahan dini yang
mengakibatkan putus sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi merupakan bekal
bagi remaja dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Akan tetapi,
masih ditemukan berbagai kendala dalam pendidikan kesehatan reproduksi baik dari
berbagai pihak baik didalam negeri ataupun dari luar negeri. Strategi dan penanganan
yang tepat sangat dibutuhkan untuk keberhasilan penyelenggaran program tersebut.
PEMBAHASAN
Masa remaja adalah dimana saat masa itu seseorang akan mengalami
peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Tentunya banyak sekali
permasalahan yang dihadapi pada masa remaja, sebab disaat itu seseorang
mengalami pubertas. Masa pubertas pada seseorang wanita mulai umur 8-14
tahun bisa terjadi selama lebih kurang 4 tahun.
Kenaikan angka kehamilan di usia remaja pada tiap tahunnya bisa mencapai
15 juta angka kelahiran pada ibu usia muda terjadi di tahun 1988. Seperti yang
terjadi di AS dari satu juta wanita usia muda yang hamil, rata-rata dibilang
kehamilan yang tidak diinginkan, >40% mereka aborsi dan ada 38% yang
melahirkan berusia kurang 17 tahun.
Banyak para remaja yang kurangnya informasi pengetahuan terkait
kesehatan reproduksi dan tentunya membutuhkan pencegahan yang lebih baik
lagi. Flour albus merupakan salh satu masalah kespro pada perempuan paling
banyak atau besar, untuk RR lebih dari 50% perempuan disetiap dunia yang
terkena.
Selain itu, sangat kentalnya kebiasaan umum yang beranggapan jika seksual
itu larangan yang akan berpengaruh pada kuatnya perlawanan terhadap saran
supaya pembelajaran seksualitas menyatu kedalam silabus pendidikan. Ada
berbagai macam permasalahan lainnya :
1. Pemerkosaan
2. Seks Bebas
Ada berbagai mitos-mitos dan juga pendapat para kalangan remaja terkait
hubungan seks sebelum menikah yaitu itu merupakan satu bukti cinta terhadap
pasangannya serta beranggapan jika hnyak melakukan hubungan seks sekali itu
tidak menyebabkan kehamilan. Tetapi itu semua berbeda dengan kenyataannya,
karena saat perempuan masa subur itu bisa menyebabkan kehamilan. Itu
merupakan salah satu pemicu terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
4. Aborsi.
Kasus Pernikahan dini sangat sering terjadi di desa ataupun didaerah yang
masih kuat budaya perkawinan dini pada remaja perempuan. Adanya pergaulan
bebas antar remaja yang menyebabkan kehamilan serta kurangnya ekonomi yang
menjadi alasan terjadinya perkawinan dini. Remaja yang melakukan pernikahan
dini rentan mengakibatkan kematian anak ataupun ibunya pada saat melakukan
persalinan itu dikarenakan fisik dan biologis pada remaja belum cukup matang.
Berdasarkan kejadian yang tiap-tiap fase Kehidupan serta sangat tinggi nya
berbagai masalah kespro yang terjadi pada remaja tentu sangat dibutuhkan upaya
dalam mengatasi masalah kespro Remaja Antara lain :
Banyak persepsi atau sikap, baik dari masyarakat ataupun remaja itu sendiri
terkait problematika pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR). Dalam
artian lain ada pihak yang sependapat (pro) dan ada juga yang berlawanan (kontra)
terhadap PKRR. Seperti yang diketahui, PKRR erat hubungannya dengan
pendidikan seks atau sex education dimana hal itu masih bernilai sensitif di
kalangan remaja atau masyarakat awam. Namun, akhir-akhir ini sudah banyak
persepsi positif atau pendapat yang pro terkait hal tersebut. Mari kita mulai bahas
dari sudut pandang remaja.
Berdasarkan studi kasus di Desa Betungan, Bengkulu Selatan didapatkan
persepsi remaja di desa tersebut yang menganggap pentingnya diberikan sex
education, terutama pada lingkup keluarga supaya remaja tidak terjerumus ke
arah pergaulan atau seks bebas serta bisa membedakan hal baik dan buruknya.
Kemudian, disaat orang tua mereka mengajarkan tentang pendidikan seks, remaja
dapat menerima informasi tersebut dengan senang hati. Remaja juga tertarik
untuk belajar lebih banyak seputar seksualitas dari orang tua mereka (Putri, 2018).
Sementara dari pulau Jawa, ditemukan sikap positif remaja saat menerima
pendidikan kesehatan reproduksi dalam bentuk penyuluhan kesehatan di Desa
Nambakor, Kabupaten Sumenep.
Semua remaja sangat tertarik menghadiri penyuluhan dan responnya
membuktikan informasi ini sangat bermanfaat bagi remaja di masyarakat. Remaja
di balai desa berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pendidikan kesehatan
yang berlangsung. Sebagai contoh yaitu mereka tidak malu-malu mengajukan
pertanyaan saat diskusi tentang kesehatan reproduksi atau kebutuhan pada awal
haid (Permatasari and Suprayitno, 2021). Tidak hanya di Indonesia, hasil
penelitian Obach et al (2017) di Chili, pun menyatakan beberapa remaja yang
menerima Sexual and Reproductive Health (SRH) di pusat pelayanan dasar atau
puskesmas, menganggap pemberian edukasi yang dilakukan lebih tepat dan jelas
daripada saat menerimanya di sekolah. Dari berbagai sudut pandang remaja
tersebut, bisa dikatakan sudah banyak remaja yang pro terhadap pendidikan
kesehatan reproduksi dan justru lebih siap memperoleh informasi terkait secara
komperehensif.
Selanjutnya, pandangan orang tua remaja sendiri yang memihak sisi positif
dari pendidikan kesehatan reproduksi atau seksualitas tergambar seperti pada
kasus penelitian Sucia & Ekomila (2020), sebagian dari ibu-ibu beranggapan
bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi alangkah baiknya jika diberi tahu sejak
dini. Mereka menilai hal ini dapat membantu anak menyerap informasi yang
benar terutama saat memasuki masa pubertas nanti. Walaupun para ibu-ibu
dengan etnis melayu biasanya akan menyampaikan pemahaman kesehatan
reproduksi sesuai dengan kearifan local yang dimilikinya. Pendapat tersebut
dikuatkan oleh pernyataan seorang tenaga kependidikan laki-laki yang
merupakan penasehat kepala sekolah di Iran (Gelehkolaee et al, 2021), beliau
berkata:
“Education is primarily formed in the family and it is much better to be
offered by the same-sex parent...”
(Pendidikan dibentuk terutama dalam keluarga dan jauh lebih baik
ditawarkan oleh orang tua sesama jenis)
Ini mengartikan bahwa persepsi mengenai pendidikan sangat penting dari
keluarga sebagai lembaga pertama sosialisasi seksualitas anak terutama dari
orang tua sesama jenis, misal ayah kepada anak laki-lakinya.
Setelah dari lingkungan keluarga, baru kemudian diarahkan pada pusat
pendidikan atau sekolah yang menawarkan pelatihan di bidang kognitif,
emosional, dan perilaku kepada remaja, sehingga sekolah juga memainkan peran
penting dalam pendidikan seksualitas mereka. Diperlukannya peningkatan
kompetensi profesional guru termasuk dalam hal konten pendidikan atau
kurikulum yang sesuai, memilih pendekatan eksekutif dengan penguasaan bidang
yang sesuai dan pengajaran dengan cakap juga terampil agar tidak membosankan.
Lebih baik lagi jika semua guru sama dengan informan penelitian Fitriana dan
Siswantara (2018), dimana mereka sudah menyadari peran pentingnya dalam
menyampaikan pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di sekolah.
Sementara itu, persepsi pemangku kebijakan lain seperti pada lembaga
budaya dan agama pun harus secara langsung dan tidak langsung efektif dalam
melaksanakan program melalui pembentukan nilai-nilai dan keyakinan dalam
lingkungan keluarga dan teman-teman remaja. Nilai-nilai dan keyakinan yang
dimaksud ialah dari sisi positif sebagai fasilitator yang mendukung
keberlangsungan program pendidikan kesehatan reproduksi. Kemudian,
organisasi baik itu nasional maupun internasional dapat memainkan peran
penting dalam melaksanakan program dengan menyatukan konten pendidikan
dan menjamin pelaksanaan program. Sehingga pada dasarnya, diperlukan pula
kemitraan antar pemangku kepentingan.
Sebuah studi di Iran mengenai perspektif pemangku kepentingan berupa
peran kemitraan itu dibutuhkan, dengan tujuan kemungkinan adanya peningkatan
implementasi program pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja.
Caranya bisa dengan menerapkan perubahan kebijakan makro maupun
merancang dan mengevaluasi konten pendidikan berbasis konteks. Pemerintah
Iran telah menerapkan sebuah rencana baru yakni Student Social Care System
untuk mencegah bahaya sosial selama tiga tahun. Dengan dilaksanakannya
rencana ini, masalah yang ada dan kebutuhan pendidikan guru, orang tua dan
siswa telah terungkap sebagian. Konsep pemerintah Iran ini bisa diterapkan oleh
Indonesia dalam mengupayakan strategi pengedukasian remaja mengenai
kesehatan reproduksi yang lebih baik lagi.
“Es muy básica, solo hablan del cuerpo, de los genitales y esas cosas pero
no especifican nada claramente”
(Ini sangat mendasar. Mereka hanya berbicara tentang tubuh, alat kelamin
dan hal-hal lain tetapi mereka tidak merinci apa pun dengan jelas)
Kekurangan dalam pendidikan seksual yang diajarkan di sekolah
diperburuk pula oleh kurangnya komunikasi yang diklaim remaja dengan orang
tua mereka ataupun orang dewasa yang menguasai dalam bidang seksualitas.
Remaja tersebut berkata:
“....y como que les da vergüenza hablarnos sobre este tema.”
(....seolah-olah mereka malu untuk berbicara dengan kami tentang hal ini.)
Begitupun dengan persepsi beberapa sampel ibu dari remaja Indonesia yang
beranggapan bahwa pembelajaran tentang kesehatan reproduksi remaja mereka
baiknya terjadi secara alami saja, dimana hal tersebut melatih mental dan
kejiwaan remaja dalam memasuki masa pubertas atau akhil baligh (Sucia dan
Sulian, 2020). Hal Ini sama saja para orang tua masih ada yang tidak mendukung
pemberian informasi dari beragam sumber seputar kesehatan reproduksi. Seperti
pada penelitian pendahuluan di salah satu sekolah dasar di Cirebon oleh
Widyastuti and Nurcahyani (2019), mayoritas orang tua (51,8%) mempunyai
persepsi negatif terkait PKRR di sekolah dasar. Mereka masih menganggap hal
tersebut tabu, padahal pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting diberikan
pada remaja. Jangan ditanya jika pada akhirnya dalam berdiskusi terkait
reproduksi, remaja lebih memilih teman- temannya daripada orang tua sendiri.
Beranjak dari pandangan tenaga pendidik dan orangtua, para remaja
mengakui bahwa yang memegang peranan utama dalam pelayanan kesehatan
reproduksi remaja adalah sektor kesehatan. Namun, sebagian dari mereka masih
ragu untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan, apalagi ada peraturan yang
mengharuskan peserta konseling didampingi orangtuanya dimana menambah
perasaan malu bagi remaja untuk berbicara secara terbuka. Selain itu, tidak
adanya hubungan dekat antara petugas kesehatan dan remaja juga menjadi
penyebab remaja itu tidak percaya sehingga mengurangi minat dalam mengikuti
pelayanan kesehatan tersebut (Obach et al, 2017).
Sedangkan menurut penelitian Gelehkolaee et al (2021), sebagian besar
penolakan tersebut adalah karena kesalahpahaman konsep pendidikan seks, lebih
baik menggunakan istilah “sexuality education” dan mendefinisikannya dengan
benar. Karena masalah yang berkaitan dengan kesehatan seksual adalah hal yang
tabu menurut mitos kognitif, salah satu solusi yang disarankan adalah
memecahkan persoalan tabu tentang isu-isu seksual menggunakan kapasitas
pendidikan, pemimpin agama dan media. Salah satu mitos kognitif yang dipegang
oleh semua peserta pada penelitian di Iran, dari orang tua hingga pembuat
kebijakan adalah bahwa anak laki-laki cenderung tidak dirugikan dalam suatu
hubungan, sehingga kurang diperhatikannya kebutuhan kesehatan reproduksi
mereka dalam program pendidikan. Kenyataannya, jenis kelamin bukan penentu
faktor risiko, karena semua anak rentan mendapatkan masalah kesehatan
reproduksi yang harus diatasi dan dicegah melalui pendidikannya.
Berdasarkan hasil SDKI tahun 2017, didapat 21,6 % remaja yang sudah
menggunakan personal hygine yang tepat, secara nasional terdapat 21,6%, serta
28% remaja yang sudah memperoleh informasi mengenai PIK-remaja yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Seorang remaja sangat perlu
mendapatkan edukasi dan bimbingan untuk memperoleh informasi yang benar
sehingga mereka dapat mengatasi masalah pada kesehatan seksual dan
reproduksi. Informasi yang berkaitan dengan personal hygiene dapat diperoleh
dari petugas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, dari keluarga yaitu
seperti orang tua atau kakak, disekolah juga seharusnya dapat memberikan
edukasi dan bimbingan tentang personal hygiene dan juga informasi dari teman-
teman sebaya. Berdasarkan dari data BKKBN, terdapat 10.892 PIK-R yang
terdapat diseluruh Indonesia namun, hanya 3% PIK-R saja yang telah melakukan
update ke BKKBN.
Dahro, A., Destri, Y., & Astari, A. (2019). Pendidikan Kesehatan Reproduksi Pada
Remaja Terhadap Perilaku Seksual Remaja. Wellness and Healthy Magazine,
2(February), 187–192.
https://wellness.journalpress.id/wellness/article/view/v1i218wh
Drama, M., Yusran, S., & Fachlevy, A. F. (2017). Hubungan pengetahuan, vulva
hygiene, stres , dan pola makan dengan kejadian infeksi flour albus (keputihan)
pada remaja siswi sma negeri 6 kendari 2017. Jurnal Lmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 2(6), 1–9.
Fatkhiyah, N., Masturoh, M., & Atmoko, D. (2020). Edukasi Kesehatan Reproduksi
Remaja. Jurnal Abdimas Mahakam, 4(1), 84–89.
https://doi.org/10.24903/jam.v4i1.776
Fitriana, H., Siswantara, P., Masyarakat, F. K., & Airlangga, U. (2018). Pendidikan
kesehatan reproduksi remaja di smpn 52 surabaya. January, 109–120.
https://doi.org/10.20473/ijph.vl13il.2018.109-120
Gelehkolaee, K. S., Maasoumi, R., Azin, S. A., Nedjat, S., & Parto, M. (2021).
Stakeholders ’ perspectives of comprehensive sexuality education in Iranian
male adolescences. Reproductive Health, 0, 1–13.
https://doi.org/10.1186/s12978-021-01084-0
Girsang, L. (2020). STUDI KUALITATIF KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN
PADA REMAJA DI KELURAHAN SARIBUDOLOK KECAMATAN
SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN. 2, 34–46.
Jetis, K., Isni, K., Fatika, F., Saputri, N. A., & Lestari, E. (2020). Upaya
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi remaja di. 4(1), 31–36.
Juliana, M. I., Rahmayanti, M. D., & Astika, M. E. (2018). Tingkat Pengetahuan Dan
Sikap Siswa Smp Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Berdasarkan
Keikutsertaan Pada Program Pusat Informasi Dan Konseling-Remaja (Pik-R).
Dunia Keperawatan, 6(2), 97–106. https://doi.org/10.20527/dk.v6i2.5556
Obach, A., Sadler, M., & Jofré, N. (2017). Salud sexual y reproductiva de
adolescentes en Chile: el rol de la educación sexual [Sexual and reproductive
health of adolescents in Chile: the role of sexual education]. Revista de salud
publica (Bogota, Colombia), 19(6), 848–854.
https://doi.org/10.15446/rsap.V19n6.70023
Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2010). Analisis hubungan perilaku seks pertamakali
tidak aman pada remaja usia 15–24 tahun dan kesehatan reproduksi.
September, 309–320.
Widiyastuti, D., & Nurcahyani, L. (2019). Pengaruh Sapa Orangtua Remaja terhadap
Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Orangtua tentang Pendidikan Kesehatan
Reproduksi. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 6(3), 93–98.