Anda di halaman 1dari 15

Menelusuri Lebih Lanjut terkait Pro-Kontra Pendidikan Kesehatan

Reproduksi Pada Remaja (PKRR)


Alga Silvia Ulan Dari1, Annis Mahmudah2, Hanni Sandra Pratiwi3 , Sylpi Kharisma
Afrisae4

Sumber: SehatQ.com

Pendahuluan
Kesehatan reproduksi merupakan hal yang wajib dijaga oleh setiap gender
yang terdiri dari laki-laki dan perempun, terutama pada saat remaja yaitu di usia 10-19
tahun. Masa remaja umumnya dikenal sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa. Di masa ini, seseorang akan mengalami banyak perubahan
dalam dirinya mulai dari perubahan fisik, psikis dan intelektual. Lingkungan dan
pengetahuan pada remaja dapat memberikan dampak yang besar terhadap masalah-
masalah pada remaja seperti sex bebas, NAPZA dan pernikahan dini yang
mengakibatkan putus sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi merupakan bekal
bagi remaja dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Akan tetapi,
masih ditemukan berbagai kendala dalam pendidikan kesehatan reproduksi baik dari
berbagai pihak baik didalam negeri ataupun dari luar negeri. Strategi dan penanganan
yang tepat sangat dibutuhkan untuk keberhasilan penyelenggaran program tersebut.
PEMBAHASAN

A. Apa Itu Pendidikan kesehatan reproduksi ?

Kesehatan reproduksi merupakan hal yang sensitive dan sangat penting


untuk dijaga dan dirawat oleh setiap individu baik perempuan ataupun laki-laki
terutama pada saat masa pubertas atau remaja. Seseorang akan mengalami
perkembangan yang pesat saat remaja, baik dari segi fisik, psikologi dan
intelektualnya. Menurut banyak pendapat, usia yang dapat disebut remaja adalah
usia 10-19 tahun, karena pada usia ini seseorang akan mengalami banyak
perubahan pada dirinya dan biasanya mereka suka melakukan hal-hal baru tanpa
mengetahui akibat dari tindakannya. Biasanya remaja juga cenderung
terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya seperti keluarga, teman ataupun
lingkungan rumahnya. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan repduksi sangatlah
penting untuk disosialisasikan pada remaja usia 10-19 tahun agar dapat mencegah
hal yang tidak dinginkan.
Pendidikan kesehatan adalah salah satu cara untuk menambah pengetahuan
seseorang agar bisa menjaga dan menghindari hal-hal yang dapat membahayakan
kesehatannya. Dengan adanya pendidikan kesehatan atau edukasi kesehatan
reproduksi diharapakan remaja dapat menambah pengetahuan dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga remaja tidak terjerat
di jalan yang salah. Selain di sekolah pendidikan kesehatan reproduksi remaja
bisa di dapatkan dimana saja contohnya dirumah misalnya keluarga yang artinya
orang tua wajib memberikan edukasi kepada anaknya tentang kesehatan
reproduksi.

B. Sejarah pelaksanaan kesehatan reproduksi pada terhadap seks dan budaya


Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di


dunia. Berdasarkan artikel yang kami baca, terdapat 210 juta penduduknya atau
90% penduduk menganut agama lslam. Diketahui juga terdapat 20% penduduk di
indonesia yang berusia antara 15- 24 tahun. Dari data statistik pada artikel dan
jurnal yang kami baca menunjukkan remaja sangatlah membutuhkan pendidikan
kesehatan yang harus diberikan untuk memenuhi hak asasi individu mereka,
pembelajaran tentang kespro serta seksualitas merupakan satu kewajiban teramat
penting bagi setiap orang terutama remaja. Untuk pendidikan yang diberikan
pada remaja harus sesuai dengan ajaran agama lslam dan norma- sosial.

Nilai-nilai budaya dan agama yang ada sangat memberikan pengaruh


terhadap seks di Indonesia. Sejak dari mulainya masa pra kemerdekaan sampai
masa Orde Baru bahkan pada saat pemerintahan presidon Susilo Bambang
Yudhoyono, pemerintaha telah menerapkan kebijakan heteroseksual dalam
pernikahan. Para peneliti seksualitas dari Barat melihat minimnya pengetahuan
para remaja lndonesia tentang kesehatan reproduksi dan hubunganya dengan
kewajiban sebagai muslim. Misalnya banyak di antara mereka Belum sadar kalau
adanya peraturan tidak berlakunya perzinaan bagi laki-laki atau perempuan yang
belum menikah. seringkali para pemuda dibiarkan tanpa diberi sanksi apapun
jika telah menghamili teman wanitanya, sedangkan wanita selalu dibuang dan
dikucilkan oleh keluarganya.

C. Permasalahan Kesehatan Reproduksi Pada Remaja

Masa remaja adalah dimana saat masa itu seseorang akan mengalami
peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Tentunya banyak sekali
permasalahan yang dihadapi pada masa remaja, sebab disaat itu seseorang
mengalami pubertas. Masa pubertas pada seseorang wanita mulai umur 8-14
tahun bisa terjadi selama lebih kurang 4 tahun.

Kehamilan yang terjadi pada kalangan remaja adalah masalah bagi


masyarakat, sebab kehamilan yang terjadi itu semakin banyak dan bisa
mencemarkan dan menjatuhkan harga diri pada keluarga tersebut, masyarakat
sangat menyakini akan hal itu.

Kenaikan angka kehamilan di usia remaja pada tiap tahunnya bisa mencapai
15 juta angka kelahiran pada ibu usia muda terjadi di tahun 1988. Seperti yang
terjadi di AS dari satu juta wanita usia muda yang hamil, rata-rata dibilang
kehamilan yang tidak diinginkan, >40% mereka aborsi dan ada 38% yang
melahirkan berusia kurang 17 tahun.
Banyak para remaja yang kurangnya informasi pengetahuan terkait
kesehatan reproduksi dan tentunya membutuhkan pencegahan yang lebih baik
lagi. Flour albus merupakan salh satu masalah kespro pada perempuan paling
banyak atau besar, untuk RR lebih dari 50% perempuan disetiap dunia yang
terkena.

Selain itu, sangat kentalnya kebiasaan umum yang beranggapan jika seksual
itu larangan yang akan berpengaruh pada kuatnya perlawanan terhadap saran
supaya pembelajaran seksualitas menyatu kedalam silabus pendidikan. Ada
berbagai macam permasalahan lainnya :

1. Pemerkosaan

Kriminal tentang tindakan pemerkosaan sendiri, seringkali terjadi di


Indonesia dengan berbagai macam modus yang mereka gunakan. Korbannya pun
bukan hanya dari kalangan remaja wanita, tetapi juga terjadi pada laki-laki atau
disebut sodomi. Tetapi yang paling rentan terjadi pada remaja wanita sebab
termakan bujuk rayuan dari kekasihnya biasanya dengan memberikan bukti cinta
kasih. Di Indonesia,kasus pemerkosaan secara statistik di sampaikan ada rata-rata
kisaran 5-6 wanita diperkosa tiap hari, atau sudah setara dengan 1 Kasus
pemerkosaan pada stiap 4 jam ( Suryanto, 2012).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan bahwa


ditahun 2003 korban kejahatan seksual tercatat berjumlah 343 kasus. Pada tahun
2014 terjadi peningkatan kasus menjadi 565 kasus. Dan pada 2022 berdasarkan
hasil data sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak kementerian
PPPA mencatat 1.411 kasus pada periode 1 Januari 2022 sampai 21 Februari
2022.

2. Seks Bebas

Kejadian Seks bebas pada kalangan remaja dibawah usia 17 tahun


berdasarkan hasil medis bisa menambah peluang terkenanya penyakit IMS dan
Virus HIV, serta bisa memicu timbulnya sel Kanker pada rahim Remaja wanita.
Biasanya seks Bebas ini disertai pemakaian obat-obatan terlarang pada kelompok
remaja. Sehingga menyebabkan keparahan masalah yang dihadapi oleh remaja
terkait kespro.

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 yang


dilakukan per 5 tahun menyatakan kisaran 2% remaja perempuan pada usia 15-24
tahun dan 8% remaja laki-laki di usia yang sama mengakui sudah pernah
melakukan hubungan seks diluar nikah, dan diantaranya terjadi kehamilan diluar
nikah sebesar 11% (Kemenko PKM,2020).

3. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

Ada berbagai mitos-mitos dan juga pendapat para kalangan remaja terkait
hubungan seks sebelum menikah yaitu itu merupakan satu bukti cinta terhadap
pasangannya serta beranggapan jika hnyak melakukan hubungan seks sekali itu
tidak menyebabkan kehamilan. Tetapi itu semua berbeda dengan kenyataannya,
karena saat perempuan masa subur itu bisa menyebabkan kehamilan. Itu
merupakan salah satu pemicu terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.

4. Aborsi.

Aborsi adalah mengeluarkan secara paksa embrio atau janin di dalam


kandungan sebelum waktunya. Aborsi remaja yang terkait dengan KTD biasanya
termasuk dalam kategori aborsi provokatif atau disengaja. Selain itu ada juga
yang mengalami keguguran secara alami tanpa di aborsi. Penyebabnya karena
adanya kondisi yang tertekan baik psikologis ataupun kesehatan fisiknya si
remaja wanita yang mengalami kehamilan.

5. Perkawinan dan kehamilan dini.

Kasus Pernikahan dini sangat sering terjadi di desa ataupun didaerah yang
masih kuat budaya perkawinan dini pada remaja perempuan. Adanya pergaulan
bebas antar remaja yang menyebabkan kehamilan serta kurangnya ekonomi yang
menjadi alasan terjadinya perkawinan dini. Remaja yang melakukan pernikahan
dini rentan mengakibatkan kematian anak ataupun ibunya pada saat melakukan
persalinan itu dikarenakan fisik dan biologis pada remaja belum cukup matang.

6. Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS.


Penyakit Ini biasa dikenal infeksi organ vital karena hubungan seksual bisa
melalui disebut penyakit kelamin yang ditularkan melalui hubungan seksual baik
lewat vagina, oral ataupun dubur. Serta Untuk penyakit HIV sendiri dapat
ditularkan juga melalui transfusi darah dan juga bisa ditularkan ibu yang hamil ke
anaknya. Yang menimbulkan dampak yang besar mulai dari gangguan organ
reproduksi, keguguran,mandul, kanker serviks bahkan cacat pada bayi serta
kematian.

D. Pencegahan Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja

Berdasarkan kejadian yang tiap-tiap fase Kehidupan serta sangat tinggi nya
berbagai masalah kespro yang terjadi pada remaja tentu sangat dibutuhkan upaya
dalam mengatasi masalah kespro Remaja Antara lain :

1. Asupan Gizi yang teratur

2. mendapatkan Informasi mengenai kesehatan reproduksi.

3. Pencegahan kekerasan seksual dan ketergantungan terhadap NAPZA.

4. Nikah di usia yang tepat

5. Peningkatan Pendidikan dan keterampilan.

6. Meningkatkan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.

E. Pro dan Kontra Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR)


1. Pendapat Pro- PKRR

Banyak persepsi atau sikap, baik dari masyarakat ataupun remaja itu sendiri
terkait problematika pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR). Dalam
artian lain ada pihak yang sependapat (pro) dan ada juga yang berlawanan (kontra)
terhadap PKRR. Seperti yang diketahui, PKRR erat hubungannya dengan
pendidikan seks atau sex education dimana hal itu masih bernilai sensitif di
kalangan remaja atau masyarakat awam. Namun, akhir-akhir ini sudah banyak
persepsi positif atau pendapat yang pro terkait hal tersebut. Mari kita mulai bahas
dari sudut pandang remaja.
Berdasarkan studi kasus di Desa Betungan, Bengkulu Selatan didapatkan
persepsi remaja di desa tersebut yang menganggap pentingnya diberikan sex
education, terutama pada lingkup keluarga supaya remaja tidak terjerumus ke
arah pergaulan atau seks bebas serta bisa membedakan hal baik dan buruknya.
Kemudian, disaat orang tua mereka mengajarkan tentang pendidikan seks, remaja
dapat menerima informasi tersebut dengan senang hati. Remaja juga tertarik
untuk belajar lebih banyak seputar seksualitas dari orang tua mereka (Putri, 2018).
Sementara dari pulau Jawa, ditemukan sikap positif remaja saat menerima
pendidikan kesehatan reproduksi dalam bentuk penyuluhan kesehatan di Desa
Nambakor, Kabupaten Sumenep.
Semua remaja sangat tertarik menghadiri penyuluhan dan responnya
membuktikan informasi ini sangat bermanfaat bagi remaja di masyarakat. Remaja
di balai desa berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pendidikan kesehatan
yang berlangsung. Sebagai contoh yaitu mereka tidak malu-malu mengajukan
pertanyaan saat diskusi tentang kesehatan reproduksi atau kebutuhan pada awal
haid (Permatasari and Suprayitno, 2021). Tidak hanya di Indonesia, hasil
penelitian Obach et al (2017) di Chili, pun menyatakan beberapa remaja yang
menerima Sexual and Reproductive Health (SRH) di pusat pelayanan dasar atau
puskesmas, menganggap pemberian edukasi yang dilakukan lebih tepat dan jelas
daripada saat menerimanya di sekolah. Dari berbagai sudut pandang remaja
tersebut, bisa dikatakan sudah banyak remaja yang pro terhadap pendidikan
kesehatan reproduksi dan justru lebih siap memperoleh informasi terkait secara
komperehensif.
Selanjutnya, pandangan orang tua remaja sendiri yang memihak sisi positif
dari pendidikan kesehatan reproduksi atau seksualitas tergambar seperti pada
kasus penelitian Sucia & Ekomila (2020), sebagian dari ibu-ibu beranggapan
bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi alangkah baiknya jika diberi tahu sejak
dini. Mereka menilai hal ini dapat membantu anak menyerap informasi yang
benar terutama saat memasuki masa pubertas nanti. Walaupun para ibu-ibu
dengan etnis melayu biasanya akan menyampaikan pemahaman kesehatan
reproduksi sesuai dengan kearifan local yang dimilikinya. Pendapat tersebut
dikuatkan oleh pernyataan seorang tenaga kependidikan laki-laki yang
merupakan penasehat kepala sekolah di Iran (Gelehkolaee et al, 2021), beliau
berkata:
“Education is primarily formed in the family and it is much better to be
offered by the same-sex parent...”
(Pendidikan dibentuk terutama dalam keluarga dan jauh lebih baik
ditawarkan oleh orang tua sesama jenis)
Ini mengartikan bahwa persepsi mengenai pendidikan sangat penting dari
keluarga sebagai lembaga pertama sosialisasi seksualitas anak terutama dari
orang tua sesama jenis, misal ayah kepada anak laki-lakinya.
Setelah dari lingkungan keluarga, baru kemudian diarahkan pada pusat
pendidikan atau sekolah yang menawarkan pelatihan di bidang kognitif,
emosional, dan perilaku kepada remaja, sehingga sekolah juga memainkan peran
penting dalam pendidikan seksualitas mereka. Diperlukannya peningkatan
kompetensi profesional guru termasuk dalam hal konten pendidikan atau
kurikulum yang sesuai, memilih pendekatan eksekutif dengan penguasaan bidang
yang sesuai dan pengajaran dengan cakap juga terampil agar tidak membosankan.
Lebih baik lagi jika semua guru sama dengan informan penelitian Fitriana dan
Siswantara (2018), dimana mereka sudah menyadari peran pentingnya dalam
menyampaikan pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) di sekolah.
Sementara itu, persepsi pemangku kebijakan lain seperti pada lembaga
budaya dan agama pun harus secara langsung dan tidak langsung efektif dalam
melaksanakan program melalui pembentukan nilai-nilai dan keyakinan dalam
lingkungan keluarga dan teman-teman remaja. Nilai-nilai dan keyakinan yang
dimaksud ialah dari sisi positif sebagai fasilitator yang mendukung
keberlangsungan program pendidikan kesehatan reproduksi. Kemudian,
organisasi baik itu nasional maupun internasional dapat memainkan peran
penting dalam melaksanakan program dengan menyatukan konten pendidikan
dan menjamin pelaksanaan program. Sehingga pada dasarnya, diperlukan pula
kemitraan antar pemangku kepentingan.
Sebuah studi di Iran mengenai perspektif pemangku kepentingan berupa
peran kemitraan itu dibutuhkan, dengan tujuan kemungkinan adanya peningkatan
implementasi program pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja.
Caranya bisa dengan menerapkan perubahan kebijakan makro maupun
merancang dan mengevaluasi konten pendidikan berbasis konteks. Pemerintah
Iran telah menerapkan sebuah rencana baru yakni Student Social Care System
untuk mencegah bahaya sosial selama tiga tahun. Dengan dilaksanakannya
rencana ini, masalah yang ada dan kebutuhan pendidikan guru, orang tua dan
siswa telah terungkap sebagian. Konsep pemerintah Iran ini bisa diterapkan oleh
Indonesia dalam mengupayakan strategi pengedukasian remaja mengenai
kesehatan reproduksi yang lebih baik lagi.

2. Pendapat Kontra - PKRR

Disamping banyaknya persepsi pendidikan kesehatan reproduksi pada


remaja yang bersifat pro, ternyata tidak jarang pula yang memandangnya dari sisi
kontra. Seperti beberapa guru yang merasa tabu untuk memberikan pendidikan
ini kepada anak didiknya. Mereka menganggap bahwa materi kesehatan
reproduksi remaja yang diajarkan dapat membuat siswa berperilaku menyimpang
(Fitriana and Siswantara, 2018). Hal itu juga terbukti dalam pelaksanaan
pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual atau disebut juga Sexual and
Reproductive Health (SRH) di sekolah menengah yang ada di Wilayah
Metropolitan Chili. Pemberian materi masih tidak cukup menurut pandangan para
remaja. Artinya, pihak sekolah terkhusus pengajar belum mengoptimalkan
kebutuhan informasi kesehatan tersebut pada murid remajanya. Salah satu remaja
putri berkomentar dalam bahasa Spanyol :

“Es muy básica, solo hablan del cuerpo, de los genitales y esas cosas pero
no especifican nada claramente”

(Ini sangat mendasar. Mereka hanya berbicara tentang tubuh, alat kelamin
dan hal-hal lain tetapi mereka tidak merinci apa pun dengan jelas)
Kekurangan dalam pendidikan seksual yang diajarkan di sekolah
diperburuk pula oleh kurangnya komunikasi yang diklaim remaja dengan orang
tua mereka ataupun orang dewasa yang menguasai dalam bidang seksualitas.
Remaja tersebut berkata:
“....y como que les da vergüenza hablarnos sobre este tema.”
(....seolah-olah mereka malu untuk berbicara dengan kami tentang hal ini.)
Begitupun dengan persepsi beberapa sampel ibu dari remaja Indonesia yang
beranggapan bahwa pembelajaran tentang kesehatan reproduksi remaja mereka
baiknya terjadi secara alami saja, dimana hal tersebut melatih mental dan
kejiwaan remaja dalam memasuki masa pubertas atau akhil baligh (Sucia dan
Sulian, 2020). Hal Ini sama saja para orang tua masih ada yang tidak mendukung
pemberian informasi dari beragam sumber seputar kesehatan reproduksi. Seperti
pada penelitian pendahuluan di salah satu sekolah dasar di Cirebon oleh
Widyastuti and Nurcahyani (2019), mayoritas orang tua (51,8%) mempunyai
persepsi negatif terkait PKRR di sekolah dasar. Mereka masih menganggap hal
tersebut tabu, padahal pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting diberikan
pada remaja. Jangan ditanya jika pada akhirnya dalam berdiskusi terkait
reproduksi, remaja lebih memilih teman- temannya daripada orang tua sendiri.
Beranjak dari pandangan tenaga pendidik dan orangtua, para remaja
mengakui bahwa yang memegang peranan utama dalam pelayanan kesehatan
reproduksi remaja adalah sektor kesehatan. Namun, sebagian dari mereka masih
ragu untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan, apalagi ada peraturan yang
mengharuskan peserta konseling didampingi orangtuanya dimana menambah
perasaan malu bagi remaja untuk berbicara secara terbuka. Selain itu, tidak
adanya hubungan dekat antara petugas kesehatan dan remaja juga menjadi
penyebab remaja itu tidak percaya sehingga mengurangi minat dalam mengikuti
pelayanan kesehatan tersebut (Obach et al, 2017).
Sedangkan menurut penelitian Gelehkolaee et al (2021), sebagian besar
penolakan tersebut adalah karena kesalahpahaman konsep pendidikan seks, lebih
baik menggunakan istilah “sexuality education” dan mendefinisikannya dengan
benar. Karena masalah yang berkaitan dengan kesehatan seksual adalah hal yang
tabu menurut mitos kognitif, salah satu solusi yang disarankan adalah
memecahkan persoalan tabu tentang isu-isu seksual menggunakan kapasitas
pendidikan, pemimpin agama dan media. Salah satu mitos kognitif yang dipegang
oleh semua peserta pada penelitian di Iran, dari orang tua hingga pembuat
kebijakan adalah bahwa anak laki-laki cenderung tidak dirugikan dalam suatu
hubungan, sehingga kurang diperhatikannya kebutuhan kesehatan reproduksi
mereka dalam program pendidikan. Kenyataannya, jenis kelamin bukan penentu
faktor risiko, karena semua anak rentan mendapatkan masalah kesehatan
reproduksi yang harus diatasi dan dicegah melalui pendidikannya.

F. Urgensi Pendidikan Kesehatan Reproduksi Pada Remaja


Memberikan edukasi kesehatan reproduksi pada remaja sangatlah penting,
sebagai upaya untuk menghindari kekerasan dan penyimpangan seksual bagi
remaja. Kurangnya edukasi terhadap kesehatan reproduksi mampu menimbulkan
hal hal yang tak diinginkan seperti seks bebas, kekerasan seksual dan perilaku
menyimpang lainnya pada remaja sebab pada masa ini remaja mengalami
perkembangan yang sangat penting yaitu perkembangan kognitif, sosial, emosi
dan perkembangan seksual.

Program kesehatan reproduksi remaja dapat memberikan manfaat berupa


kesadaran dan pemahaman pada remaja bahwa sangat penting untuk mempelajari
ilmu kesehatan reproduksi ini karena dapat berdampak yang sangat besar
terhadap perilaku hidup sehat dan juga bertanggung jawab kepada masalah
kondisi kesehatan reproduksinya masing-masing. Saat di fase remaja atau
puberitas remaja perempuan biasanya akan mulai mengalami masa
haid/menstruasi, dan pada remaja laki-laki akan mengalami mimpi basah.
Kebersihan diri yang baik dan benar akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan
seseorang. Kebersihan diri merupakan salah satu cara untuk menjaga agar
seseorang tetap bersih dan sehat serta untuk melindungi kesejahteraan fisik dan
mental. Oleh sebab itu, remaja perlu menerapkan pola hidup yang sehat dan
bersih agar bisa sehat secara jasmani dan rohani. Kesehatan reproduksi remaja
sangat penting diperhatikan karena dapat mengakibatkan hal yang sangat fatal.
Salah satunya yaitu banyak dapat menyebabkan penyakit reproduksi pada alat
kelamin.

Berdasarkan hasil SDKI tahun 2017, didapat 21,6 % remaja yang sudah
menggunakan personal hygine yang tepat, secara nasional terdapat 21,6%, serta
28% remaja yang sudah memperoleh informasi mengenai PIK-remaja yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Seorang remaja sangat perlu
mendapatkan edukasi dan bimbingan untuk memperoleh informasi yang benar
sehingga mereka dapat mengatasi masalah pada kesehatan seksual dan
reproduksi. Informasi yang berkaitan dengan personal hygiene dapat diperoleh
dari petugas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, dari keluarga yaitu
seperti orang tua atau kakak, disekolah juga seharusnya dapat memberikan
edukasi dan bimbingan tentang personal hygiene dan juga informasi dari teman-
teman sebaya. Berdasarkan dari data BKKBN, terdapat 10.892 PIK-R yang
terdapat diseluruh Indonesia namun, hanya 3% PIK-R saja yang telah melakukan
update ke BKKBN.

G. Strategi Keberhasilan Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada Remaja (PKRR)

Dari berbagai persepsi tersebut, penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan


Reproduksi Remaja (PKRR) tetap harus dilakukan, bahkan diharapkan bisa
berhasil mengatasi permasalahan reproduksi pada remaja. Keberhasilan PKRR ini
memerlukan strategi lintas sektoral yaitu keterlibatan dari orangtua, tenaga
pendidik/guru di sekolah , pemerintah hingga masyarakatnya.
1. Orang Tua.
Lingkungan keluarga menjadi kunci utama dalam pelaksanaan PKRR ini. Jadi,
pihak sekolah perlu bersinergi dengan para orang tua remaja, supaya dapat
senantiasa mengawasi dan membimbing pergaulan anaknya selama di rumah
maupun lingkungan sekitar.
2. Sekolah.
Sekolah dalam penerapannya pun bisa bekerja sama dengan dinas pendidikan
dan tenaga kesehatan setempat untuk mengadakan sosialisasi kesehatan
reproduksi remaja terhadap tenaga pendidik (guru) sebagai fasilitator terdekat
pada remaja. Melalui guru atau pendidik serupa yang terlatih, remaja dapat
lebih percaya dan mau menerima pendidikan kesehatan reproduksi tersebut.
3. Pemerintah.
Pemerintah bisa membantu meningkatkan kinerja guru di sekolah dengan
menyiapkan wadah berupa pelatihan pendidikan kesehatan reproduksi yang
komprehensif serta menyesuaikan bahan ajar di kurikulum dengan kondisi
terkini permasalahan remaja sebagai peserta didik. Pemerintah harus
membiasakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja (PKRR) di kalangan
remaja dan masyarakat hingga ke penjuru daerah.
4. Masyarakat
Tidak hanya pemerintah, dalam hal ini masyarakat pun mempunyai peran
penting. Bentuk dukungan yang bisa dilakukan masyarakat ialah berupa
monitoring atau mengawasi remaja-remaja di sekitarnya yang mana tidak
terlepas dari peran pemangku kebijakan seperti pejabat daerah dan tokoh
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyaroh, N. (2010). Kesehatan reproduksi remaja.

Amanda, & Krisnani, H. (2019). PEMERKOSAAN INSES. 2, 120–136.

Dahro, A., Destri, Y., & Astari, A. (2019). Pendidikan Kesehatan Reproduksi Pada
Remaja Terhadap Perilaku Seksual Remaja. Wellness and Healthy Magazine,
2(February), 187–192.
https://wellness.journalpress.id/wellness/article/view/v1i218wh

Dasuki, D., & Ismail, D. (2016). PENGETAHUAN TENTANG INFEKSI


MENULAR SEKSUAL. 3(1), 50–59.

Drama, M., Yusran, S., & Fachlevy, A. F. (2017). Hubungan pengetahuan, vulva
hygiene, stres , dan pola makan dengan kejadian infeksi flour albus (keputihan)
pada remaja siswi sma negeri 6 kendari 2017. Jurnal Lmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 2(6), 1–9.

Fatkhiyah, N., Masturoh, M., & Atmoko, D. (2020). Edukasi Kesehatan Reproduksi
Remaja. Jurnal Abdimas Mahakam, 4(1), 84–89.
https://doi.org/10.24903/jam.v4i1.776

Fauziyah, Tarigan, F. L., & Hakim, L. (2021). ANALISIS FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS KABUPATEN ACEH UTARA
TAHUN 2021. 7(2), 1526–1545.

Fitriana, H., Siswantara, P., Masyarakat, F. K., & Airlangga, U. (2018). Pendidikan
kesehatan reproduksi remaja di smpn 52 surabaya. January, 109–120.
https://doi.org/10.20473/ijph.vl13il.2018.109-120

Gelehkolaee, K. S., Maasoumi, R., Azin, S. A., Nedjat, S., & Parto, M. (2021).
Stakeholders ’ perspectives of comprehensive sexuality education in Iranian
male adolescences. Reproductive Health, 0, 1–13.
https://doi.org/10.1186/s12978-021-01084-0
Girsang, L. (2020). STUDI KUALITATIF KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN
PADA REMAJA DI KELURAHAN SARIBUDOLOK KECAMATAN
SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN. 2, 34–46.

Jetis, K., Isni, K., Fatika, F., Saputri, N. A., & Lestari, E. (2020). Upaya
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi remaja di. 4(1), 31–36.

Juliana, M. I., Rahmayanti, M. D., & Astika, M. E. (2018). Tingkat Pengetahuan Dan
Sikap Siswa Smp Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja Berdasarkan
Keikutsertaan Pada Program Pusat Informasi Dan Konseling-Remaja (Pik-R).
Dunia Keperawatan, 6(2), 97–106. https://doi.org/10.20527/dk.v6i2.5556

Obach, A., Sadler, M., & Jofré, N. (2017). Salud sexual y reproductiva de
adolescentes en Chile: el rol de la educación sexual [Sexual and reproductive
health of adolescents in Chile: the role of sexual education]. Revista de salud
publica (Bogota, Colombia), 19(6), 848–854.
https://doi.org/10.15446/rsap.V19n6.70023

Permatasari, D., & Suprayitno, E. (2021). Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada


Remaja. Jurnalempathy Com, 2(1), 1–5.
https://doi.org/10.37341/jurnalempathy.v2i1.46

Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2010). Analisis hubungan perilaku seks pertamakali
tidak aman pada remaja usia 15–24 tahun dan kesehatan reproduksi.
September, 309–320.

Putri, Rahayu Enggarsi (2018) PERSEPSI REMAJA MENGENAI SEKS


EDUCATION (Studi Pada Remaja di Desa Betungan, Kecamatan Kedurang
Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan)
http://repository.iainbengkulu.ac.id/id/eprint/3157

Rini. (2022). Ketika Aborsi Menjadi Pilihan : Analisis Pengambilan Keputusan


Dalam Melakukan Aborsi. 6(74), 77–87.

Soeroso, S. (2001). Masalah Kesehatan Remaja. 3(3), 190–198.


Sucia, D., & Ekomila, S. (2020). Pendidikan Kesehatan Reproduksi Dalam Keluarga
Sebagai Penanaman Nilai-Nilai Budaya Bagi Remaja Putri Etnis Melayu Di
Kecamatan Medan Sunggal Reproductive Health Education in the Family as
an Implantation of Cultural Values for Ethnic Malay Teenage Girls in Medan
Sunggal District. 18(1), 11–23.

Susanto, T. (2010). Pengaruh terapi keperawatan keluarga terhadap tingkat


kemadirian keluarga dengan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja
di kelurahan ratujaya kecamatan pancoran mas kota depok. 190–198.

Widiyastuti, D., & Nurcahyani, L. (2019). Pengaruh Sapa Orangtua Remaja terhadap
Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Orangtua tentang Pendidikan Kesehatan
Reproduksi. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 6(3), 93–98.

Anda mungkin juga menyukai