Oleh:
Muhammad Adzka Putra Anbiar
2140312047
Preseptor:
dr. Zulfikar, Sp.An
BAGIAN ANESTESI
FAKULATAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT penulis ucapkan atas kehadirat-
Nya yang telah memberikan ilmu, akal, pikiran, dan waktu sehingga penulis dapat
menyelesaikan Referat yang berjudul “Sistem saraf otonom” sebagai satu kegiatan
ilmiah dalam pelakasanaan tahap kepaniteraan klinik bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Zulfikar, Sp.An, selaku
preseptor yang telah membimbing kami dalam penulisan referat ini. Referat ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan berbagi ilmu untuk dan oleh dokter
muda sebagai persiapan menjadi dokter umum di layanan primer nantinya.
Penulisan referat ini masih sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini. Semoga
referat ini bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................... 1
2.3 Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis pada organ target ............... 27
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2. 1 Distribusi nervus kranialis sistem saraf parasimpatis. ......................... 10
Tabel 2. 2 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya................. 21
Tabel 2. 3 Distribusi reseptor kolinergik, agonis, serta antagonisnya. ................. 25
Tabel 2. 4 Respon-respon yang terpicu pada organ-organ efektor melalui stimulasi
saraf simpattetik dan parasimpatetik. .................................................................. 32
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
sistem saraf simpatis. Sistem saraf enterik terdiri dari jalur refleks yang mengontrol
fungsi pencernaan kontraksi/relaksasi otot, sekresi/penyerapan, dan aliran darah. 1
Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna
memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis
maupun parasimpatis.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2. 2 Sistem saraf otonom5
Sistem saraf simpatis dimulai dari medula spinalis yang keluar bersama
dengan nervus spinalis diantara segmen torakolumbal (torak 1 sampai lumbal 2).
Serabut-serabut saraf ini melalui rangkaian paravertebral simpatetik yang berada
disisi lateral korda spinalis yang selanjutnya akan menuju jaringan dan organ-organ
yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. 6
4
Badan sel neuron preganglion simpatis terletak di kornu intermediolateral
dari korda medula spinalis dan kemudian Serabut presinaptik keluar dari medula
spinalis melalui radiks anterior dan masuk ke rami anterior nervus spinalis T1-L2
dan ke truncus simpatis melalui rami communicantes putih menuju saraf spinal
menjadi salah satu dari 22 pasang ganglia dari rangkaian paravertebral simpatik. 1,4
5
(gambar 2.2). Satu serabut preganglion dapat bersinapsis dengan dua lusin atau
lebih neuron ganglionik.3,4
2. Ganglia thorakalis
3. Ganglia lumbalis
6
Gambar 2. 5 Ganglia lumbalis.7
7
spinalis memiliki ramus abu-abu yang membawa serabut postganglion simpatis
untuk distribusi ke permukaan tubuh.2,8
8
2.1.1.3. Medula Adrenal
(2) efeknya berakhir lebih lama dibandingkan yang dihasilkan oleh inervasi
simpatis langsung karena hormon tetap lanjut berdifusi keluar aliran darah untuk
periode yang lebih lama dan eliminasi neurotransmitter yang lebih lama pula.
9
pada sistem saraf simpatis terdapat di dalam (ganglion intramural) atau dekat
(ganglion terminal) dengan organ target. Serabut preganglion divisi parasimpatik
tidak berbeda jauh seperti divisi simpatis, dimana satu serabut preganglion dapat
bersinaps pada enam sampai delapan neuron ganglion. Hanya berbeda dengan
serabut postganglion simpatis, serabut postganglion parasimpatis mempengaruhi
organ yang sama. Hanya saja, berbeda dengan divisi simpatis ganglion parasimpatis
memiliki target organ spesifik sehingga efek stimulasi parasimpatis lebih
terlokalisir.2
10
Gambar 2. 7 Perbedaan dasar anatomi dan respon simpatik dan parasimpatik. 7
11
2.1.3 Sistem saraf enterik
Sistem saraf enterik terdiri dari dua pleksus ganglionated: myenteric
(Auerbach) dan submucosal (Meissner). Pleksus mienterikus terletak di antara otot
polos longitudinal dan sirkular dari saluran gastrointestinal, sedangkan pleksus
submukosa terdapat di dalam submukosa. Sistem saraf enterik bekerja secara
mandiri, berfungsi melalui aktivitas refleks lokal, tetapi sering menerima masukan
dari, dan memberikan umpan balik ke sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Sistem saraf enterik dapat menerima input dari neuron simpatis postganglionik atau
neuron parasimpatis preganglionik.1
Pleksus submukosa mengatur pergerakan air dan elektrolit melintasi
dinding usus, sedangkan pleksus mienterikus mengoordinasikan kontraktilitas sel
otot sirkular dan longitudinal usus untuk menghasilkan peristaltik. Motilitas
diproduksi di sistem saraf enterik melalui sirkuit refleks yang melibatkan otot
sirkular dan longitudinal. Sinapsis nikotinik antara interneuron memediasi sirkuit
refleks.1
Ketika sirkuit diaktifkan dengan adanya bolus, neuron rangsang di otot
sirkular dan neuron penghambat di otot longitudinal menyala menghasilkan bagian
sempit usus proksimal ke bolus; ini dikenal sebagai segmen pendorong. Secara
bersamaan, neuron rangsang di otot longitudinal dan neuron penghambat di otot
sirkular menghasilkan "segmen penerima" usus di mana bolus akan berlanjut.
Proses ini berulang dengan setiap bagian usus berikutnya. 1
Sistem saraf enterik mempertahankan beberapa kesamaan dengan sistem
saraf pusat. Seperti di sistem saraf pusat, neuron enterik dapat berupa bipolar,
pseudounipolar, dan multipolar, di antaranya neuromodulasi melalui komunikasi
rangsang dan penghambatan. Demikian juga, neuron sistem saraf enterik
menggunakan lebih dari 30 neurotransmiter yang mirip dengan sistem saraf pusat,
dengan pemancar kolinergik dan nitrergik yang paling umum.1
12
2.2 Fisiologi sistem saraf otonom
Sistem saraf otonom memberikan pengaruh atas sistem organ tubuh untuk
mengatur dan menurunkan berbagai fungsi. Dua aspek sistem saraf otonom
beroperasi sebagai fungsi yang berlawanan yang bertindak untuk mencapai
homeostasis. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis mensekresikan salah
satu dari asetilkolin atau norepinefrin yang merupakan neurotransmitter.2
Serabut postganglion sistem saraf simpatis mengekskresikan norepinefrin
sebagai neurotransmitter yang dikenal dengan serabut adrenergik. Sedangkan
serabut postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan asetilkolin sebagai
neurotransmitter dikenal sebagai serabut kolinergik. 2,8
Sebagai tambahan serabut postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan
beberapa pembuluh darah juga melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter.
Semua saraf preganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai
neurotransmitter karenanya dikenal sebagai serabut kolinergik. Sedangkan
asetilkolin yang dilepaskan dari serabut preganglion mengaktivasi baik
postganglion simpatis maupun parasimpatis. 2,8
13
Beberapa ujung saraf otonom postganglionic terutama sarafparasimpatis
memang mirip dengan taut neuromuskular skeletal, namun ukurannya jauh lebih
kecil. Beberapa serat saraf parasimpatis dan hampir semua serat saraf simpatis
hanya bersinggungan dengan sel-sel efektor dari organ yang dipersarafinya, pada
beberapa contoh, serat-serat ini berakhir pada jaringna ikat yang letaknya
berdekatan dengan sel-sel yang dirangsangnya. Ditempat filamen ini berjalan atau
mendekati sel efektor, biasanya terdapat suatu bulatan yang membesar yang disebut
varikositas ; didalam varikositas ditemukan vesikel transmitter asetilkolin atau
norepinefrin. Didalam varikositas ini juga terdapat banyak sekali mitokondria untuk
mensuplai adenosin triphosphat yang dibutuhkan untuk memberi energi pada
sintesis asetilkolin atau norepinefrin.2,8,10
Bila ada penjalaran potensial aksi disepanjang serat terminal, maka proses
depolarisasi meningkatkan permeabilitas membran serat saraf terhadap ion
kalsium, sehingga mempermudah ion ini untuk berdifusi keujung saraf atau
varikositas saraf. Disini ion kalsium berinteraksi dengan vesikel sekretori yang
letaknya berdekatan dengan membran sehingga vesikel ini bersatu dengan
membran dan menggosongkan isinya keluar. Jadi, bahan transmitter akhirnya
disekresikan.8
Asetilkolin disintesis di ujung terminal serat saraf kolinergik. Sebagian
besar sintesis ini terjadi di aksoplasma di luar vesikel. Selanjutnya, asetilkolin
diangkut ke bagian dalam vesikel, tempat bahan tersebut disimpan dalam bentuk
kepekatan tinggi sebelum akhirnya dilepaskan. Reaksi kimia dasar dari sintesis ini
adalah sebagai berikut :
Asetilkolon transferase
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin
Asetilkolin begitu disekresikan oleh ujung saraf kolinergik, maka akan
menetap dalam jaringan selama beberapa detik, kemudian sebagian besar dipecah
menjadi ion asetat dan kolin oleh enzim asetilkolin esterase yang berikatan dengan
kolagen dan glikosaminoglikans dalam jaringan ikat setempat. Jadi, rupa- rupanya
mekanisme ini mirip dengan mekanisme penghancuran asetilkolin yang terjadi
pada taut neuromuskular direrat saraf skeletal. Sebaliknya, kolin yang terbentuk
14
diangkut kembali ke ujung saraf terminal, tempat bahan ini dipakai kembali untuk
sintesis asetilkolin yang baru.3,9,10
Sintesis norepinefrin dimulai di aksoplasma ujung saraf terminal dari serat
saraf adrenergik, namun disempurnakan di dalam vesikel. Tahap – tahap dasarnya
adalah sebagai berikut :13
Hidroksilasi
1. Tirosin DOPA
Dekarboksilasi
2. DOPA Dopamin
3. Pengangkutan dopamin menuju vesikel
Hidroksilasi
4. Dopamin Norepinerfrin
Pada medula adrenal, reaksi ini dilanjutkan satu tahap lagi untuk
mengalihkan sekitar 80 persen norepinefrin menjadi epinefrin, yakni sebagai
berikut :2,13
Setelah norepinefrin disekresikan oleh ujung – ujung saraf terminal, maka
kemudian dipindahkan dari tempat sekresinya melalui tiga cara berikut :
1. Dengan proses tranport aktif, diambil lagi ke dalam ujung saraf adrenergik
sendiri, yakni sebanyak 50 – 80 % dari norepinefrin yang disekresikan.
2. Berdifusi keluar dari ujung saraf menuju cairan tubuh di sekelilingnya dan
kemudian masuk ke dalam darah, yakni seluruh sisa norepinefrin yang
ada.
3. Dalam jumlah yang sedikit, dihancurkan oleh enzim (salah satu enzim
tersebut adalah monoamin oksidase, yang dapat dijumpai dalam ujung
saraf itu sendiri, dan enzim katekol-O-metil transferase yang dapat
berdifusi ke seluruh jaringan).3,9,10
Biasanya norepinefrin disekresikan secara langsung ke dalam jaringan yang
tetap aktif hanya selama beberapa detik, hal ini memperlihatkan bahwa proses
pengambilan kembali norepinefrin dan difusinya keluar dari jaringan berlangsung
dengan cepat. Namun, norepinefrin dan epinefrin yang disekresikan ke dalam darah
oleh medula adrenal masih tetap aktif sampai didifusikan ke suatu jaringan, tempat
keduanya dihancurkan oleh katekol-O- metil transferase, peristiwa ini terutama
15
terjadi di dalam hati. Oleh karena itu, bila di sekresikan ke dalam darah baik
norepinefrin dan epinefrin akan tetap sangat aktif selama 10 sampai 30 detik dan
kemudian aktivitasnya menurun, menjadi sangat lemah dalam waktu satu sampai
beberapa menit.13
Sebelum transmitter asetilkolin atau norepinefrin disekresikan pada ujung saraf
otonom untuk dapat merangsang organ efektor, transmiter ini mula-mula harus
berikatan dulu dengan reseptor yang sangat spesifik pada sel-sel efektor. Reseptor
ini terdapat di bagian dalam membran sel, terikat sebagai kelompok prostetik pada
molekul protein yang menembus membran sel. Ketika transmitter berikatan dengan
reseptor, hal ini menyebabkan perubahan konformasional ( bentuk tertentu dari
keseluruhan) pada struktur molekul protein. Kemudian molekul protein yang
berubah ini merangsang atau menghambat sel, paling sering dengan : (1)
menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel terhadap satu atau lebih ion,
atau (2) mengaktifkan atau justru mematikan aktivitas enzim yang melekat pada
ujung protein reseptor lain dimana reseptor ini menonjol ke bagian dalam sel. 2,13
Karena protein reseptor merupakan bagian integral dari membran sel, maka
perubahan konformasional pada struktur protein reseptor dari banyak sel organ
akan membuka atau menutup saluran ion melalui sela-sela molekul itu sendiri,
dengan demikian merubah permeabilitas membran sel terhadap berbagai ion.
Sebagai contoh, saluran ion natrium dan atau kalsium seringkali menjadi terbuka
dan memungkinkan influks ion – ion tersebut dengan cepat untuk masuk ke dalam
sel yang biasanya akan mendepolarisasikan membran sel dan merangsang sel. Pada
saat lain, saluran kalium terbuka sehingga memungkinkan ion kalium berdifusi
keluar dari sel dan biasanya hal ini akan menghambat sel akibat hilangnya ion
kalium elektro positif yang membentuk hipernegatifisme di dalam sel. Juga pada
beberapa sel perubahan lingkungan ion intraseluler akan menyebabkan kerja sel
internal seperti efek langsung ion kalsium dalam menimbulkan kontraksi otot
polos.2,13
Cara lain agar reseptor dapat berfungsi adalah dengan mengaktifkan atau
mematikan aktivitas suatu enzim (atau zat kimia intraseluler lainnya) di dalam sel.
Enzim seringkali terlekat pada protein reseptor dimana reseptor menonjol ke bagian
dalam sel. Sebagai contoh, pengikatan epinefrin dengan reseptornya pada bagian
16
luar sel akan meningkatkan aktivitas enzim adenilatsiklase pada bagian dalam sel,
dan hal ini kemudian menyebabkan pembentukan adenosin monofosfat siklik
(cAMP). cAMP kemudian dapat mengawali salah satu kerja dari sekian banyak
aktivitas intraseluler yang berbeda-beda, efek pastinya bergantung pada mesin
kimiawi dari sel efektor. Oleh karena itu, mudahlah untuk mengerti bagaimana
substansi transmiter otonomik dapat menyebabkan inhibisi pada beberapa organ
atau eksitasi pada organ lain. Hal ini biasanya ditentukan oleh sifatprotein reseptor
pada membran sel dan efek reseptor yang terikat pada keadaan konformasionalnya.
Pada setiap organ, efek yang dihasilkannya secara keseluruhan cenderung berbeda
dengan yang terdapat pada organ lain.2
Norepineprin dan asetilkolin berinteraksi dengan reseptor ( protein
makromolekul ) di membran lipid sel. Interaksi reseptor neurotransmitter ini akan
menyebabkan aktivasi atau inhibisi enzim-enzim efektor seperti adenilatsiklase
atau dapat merubah aliran ion-ion sodium dan potassium di membran sel melalui
protein ion chanel. Perubahan-perubahan ini akan merubah stimulus eksternal
menjadi signal intraseluler.13
Efek farmakologi katekolamin merupakan konsep awal dari reseptor-
reseptor alfa dan beta adrenergik. Penelitian dengan memakai obat-obatan yang
meniru kerja norepinefrin pada organ efektor simpatis (disebut sebagai
simpatomimetik ) telah memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis reseptor
adrenergik, reseptor-reseptor ini dibagi menjadi alfa 1 dan alfa 2. Selanjutnya
reseptor beta dibagi menjadi beta 1 dan beta 2. Norepinefrin dan epinefrin,
keduanya disekresikan kedalam darah oleh medula adrenal, mempunyai pengaruh
perangsangan yang berbeda pada reseptor alfa dan beta. Norepinefrin terutama
merangsang reseptor alfa namun kurang merangsang reseptor beta. Sebaliknya,
epinefrin merangsang kedua reseptor ini sama kuatnya. Oleh karena itu, pengaruh
epinefrin dan norepinefrin pada berbagai organ efektor ditentukan oleh jenis
reseptor yang terdapatdalam organ tersebut. Bila seluruh reseptor adalah reseptor
beta, maka epinefrin akan menjadi organ perangsang yang lebih efektif. 2,13
Reseptor dopamin juga dibagi menjadi dopamin 1 dan dopamin 2. Presinap
alfa dan dopamin 2 merupakan negative feedback karena bila diaktivasi akan
menyebabkan pelepasan neurotransmitter. Reseptor-reseptor alfa 2 juga terdapat di
17
platelet yang berfungsi sebagai mediator pada agregasi platelet yang dengan cara
mempengaruhi konsentrasi enzim platelet adenilatsiklase. Pada sistem saraf pusat,
stimulasi postsinap alfa 2 dengan menggunakan obat seperti klonidin atau
dexmetomidine akan meningkatkan konduksi dan hiperpolarisasi membran
sehingga kebutuhan zat anestesi akan menurun. Sistem signal transmembran terdiri
dari 3 bagian, yaitu : (a) sisi pengenalan, (b) sisi efektor atau katalitik, dan (c)
tranducing atau coupling protein.2,13
Reseptor-reseptor kolinergik dibagi menjadi nikotinik dan
muskarinik.Secara fisiologi masing-masing reseptor dibagi menjadi beberapa
subtipe.Reseptor nikotinik dibagi menjadi 2 yaitu reseptor N1 dan N2.N1 terdapat
di ganglia otonom sedangkan N2 terdapat di neuromuscular junction.
Hexamethonium memblok reseptor N1 sedangkan blokade ganglia otonom dalam
beberapa tingkatan walaupun efek pada reseptor N2 tetap predominan. 2,13
Reseptor muskarinik dibagi menjadi M1 dan M2.Reseptor M1 terdapat di
ganglia otonom dan sistem saraf pusat sedangkan reseptor M2 ada di jantung dan
kelenjar ludah.Pirenzepin adalah salah satu contoh obat yang merupakan antagonis
selektif pada reseptor M1 sedangkan atropine merupakan antagonis selektif pada
reseptor M1 dan M2. Perbedaan antara reseptor nikotinik dan muskarinik adalah
pada jarak reseptor antara atom-atom dalam berinteraksi dengan asetilkolin ataupun
obat-obat.2,13
2.2.1 Sistem saraf simpatis
Stimulasi neuron preganglion simpatis menghasilkan ACh yang kemudian
menstimulasi serabut postganglion simpatik. Serabut postganglionik tersebut
akhirnya akan menghasilkan NE, atau E pada medula adrenal. Terminal serabut
postsinaps berupa jaringan telodendria yang membentuk varikositas disepanjang
atau dekat permukaan sel efektor untuk kontak sinaps dengan efektor sel. Varikosa
yang menyerupai untaian mutiara ini juga merupakan tempat NE yang merupakan
neurotransmitter yang paling banyak dilepaskan oleh postganglion simpatis
disintesa dan disimpan. Ujung saraf postganglion secara aktif menangkap L-tyrosin
di celah sinaps untuk diubah menjadi dopamin dan akhirnya menjadi NE. Neuron
simpatis disebut neuron adrenergic karena neurotransmitter yang dihasilkan
kebanyakan adalah NE, meskipun demikian, terdapat sedikit neuron ganglionik
18
simpatis yang melepaskan neurotransmitter lain namun memainkan peranan yang
penting.11,13
NE dan atau E yang dilepaskan oleh neuron simpatis akan ditangkap oleh
reseptor adrenergik yang akan menyebkan efek tertentu pada sel target. NE yang di
lepaskan varikosa mempengaruhi targetnya sampai NE diabsorbsi kembali oleh
varikosa dan selanjutnya dapat digunakan kembali (70%) atau sampai NE
dihancurkan oleh enzim monoaminoksidase (MAO) ataupun catechol-O-
methyltransferase (COMT) di jaringan sekitarnya. Difusi NE dari celah sinaps ke
darah juga akan menyebabkan deaktivasi NE pada celah sinaps. Secara umum, efek
NE pada membran postsinaps menetap selama beberapa detik, lebih lama daripada
efek Ach yang hanya mencapai 20 milidetik. 11
Terdapat dua kelas reseptor simpatis yang umum yaitu reseptor alfa dan
reseptor beta. Secara umum, NE lebih menstimulasi reseptor alfa dibandingkan
dengan reseptor beta karena reseptor β2 lebih responsif terhadap E, oleh karena itu
epinefrin menstimulasi kedua kelas reseptor. Sehingga NE terlibat dalam stimulasi
terlokalisir sedangkan E mempengaruhi reseptor alfa dan beta seluruh tubuh. 2,11,13
Reseptor alfa dan beta adalah reseptor dengan protein G dimana efek
stimulasi pada reseptor tersebut tidak sama di seluruh tubuh, tergantung produksi
jenis second messengers yang dihasilkan. Stimulasi reseptor alfa (α) mengaktivasi
enzim didalam membran sel. Terdapat dua tipe reseptor alfa yaitu alfa -1(α1) dan
alfa-2 (α2). Fungsi reseptor α1 (tipe reseptor alfa yang paling banyak) adalah
pelepasan ion kalsium dari cadangan di retikulum endoplasma yang menyebabkan
efek eksitatori pada sel target. Sedangkan stimulasi reseptor α2 menghasilkan
penurunan kadar cyclic-AMP (cAMP) di sitoplasma. Cyclic-AMP adalah second
messenger yang dapat mengaktifasi sehingga penurunan cAMP umumnya memiliki
efek inhibisi sel. Umumnya reseptor α2 terdapat di presinap yang disebut
autoreseptor untuk self-inhibiting sehingga NE akan berhenti dilepaskan ke celah
sinaps. Reseptor α2 juga terdapat pada divisi parasimpatik yang berfungsi
membantu koordinasi aktivitas simpatik dan parasimpati dimana saat NE
dilepaskan akan menghambat aktivitas parasimpatis.11
Reseptor β adalah reseptor dengan protein G yang menstimulasi
peningkatan kadar cAMP intrasel setelah neurotransmitter berikatan dengan
19
reseptor. Reseptor beta (β) berlokasi di membran sel pada banyak organ, dimana
reseptor ini umumnya terdiri dari β1, dan β2. Reseptor β1 lebih dominan di jantung
sedangkan β2 lebih tersebar luas di dalam tubuh, meskipun terdapat reseptor β1
yang terdapat di organ lain selain jantung dan β2 di jantung.Umumnya stimulasi
reseptor β1 kemudian akan meningkatkan aktifitas metabolisme atau eksitasi
sedangkan, stimulasi reseptor β2 menyebabkan inhibisi sebagai contoh memicu
relaksasi otot polos sepanjang jalur pernafasan. Tipe reseptor beta yang ketiga
adalah beta-3 (β3), terdapat di jaringan lemak, stimulasinya menyebabkan lipolisis,
penghancuran trigliserid yang disimpan dalam adiposit. 11
Meskipun kebanyakan serabut postganglion simpatis adalah adrenergik,
beberapa adalah kolinergik. Serabut postganglion tersebut menginervasi kelenjar
keringat kulit dan pembuluh darah otot skeletal dan otak. Aktivasi serabut simpatis
tersebut menstmulasi sekresi kelenjar keringat dan dilatasi pembuluh darah. Hal ini
penting karena saat stimulasi simpatis terjadi, akan terjadi peningkatan panas
sehingga dibutuhkan ekskresi keringat untuk termoregulasi, dan pada saat itu juga
dibutuhkan sediaan energi yang banyak untuk otak dan otot sehingga saat stimulasi
simpatis menurunkan aliran darah pada viseral lain di tubuh dengan vasokontriksi,
vasodilatasi pembuluh darah di otak dan otot skeletal menyebabkan darah tersebut
dialihkan ke kedua organ ini.8,11
Divisi simpatis juga meliputi sinaps nitroadrenergik, yang melepaskan nitrit
oxide (NO) sebagai neurotransmitter untuk menghasilkan vasodilatasi dan
peningkatan aliran darah yang melalui daerah tersebut. Sinaps tersebut terdapat
pada neuron yang menginervasi otot polos dinding pembuluh darah pada banyak
regio, khususnya di otot skeletal dan otak. 13
20
Tabel 2. 2 Distribusi reseptor simpatis serta agonis dan antagonisnya. 8,15,16
21
Otot uterus, duktus deferen, GIT Relaksasi (isoprenaline)
Pankreas Hati Platelet Sekresi insulin meningkat Glikogenolisis Albuterol
meningkat Agregasi platelet menurun
22
Gambar 2. 10 Inervasi organ, reseptor, dan respon terhadap stimulasi sistem saraf
simpatis.17
23
disebut pseudokolinesterase, hal ini jugalah yang menyebabkan efek parasimpatis
terlokalisir.2,10
Vesikel pada presinap saraf terminal mengeluarkan ACh ke celah sinap saat Ca 2+
di sitosol meningkat yang merupakan respon terhadap adanya potensial aksi.
Meskipun pada semua sinaps (neuron ke neuron) dan sambungan neuromuscular
dan neuroglandular (neuron ke efektor) pada divisi parasimpatis menggunakan
transmitter yang sama, terdapat dua tipe reseptor ACh di membrane postsinaps: 2,10
1. Reseptor nikotinik: berlokasi di ganglia otonom pada sinaps antara neuron
preganglion dan postganglion parasimpatis dan simpatis, yang juga
terdapat pada neuromuskular junction SSS. Saat ACh berikatan dengan
reseptor terjadi influx cepat Na+ dan Ca2+ dan eksitasi potensial postsinal
yang cepat yang kemudian memicu potensial aksi postsinap.
2. Reseptor Muskarinik : dijumpai pada semua sel efektor yang dirangsang
oleh neuron kolinergik postganglion baik oleh sistem saraf simpatis
maupun parasimpatis.2 Resptor muskarinik memiliki protein G dan
stimulasinya menghasilkan efek yang lebih lama dibandingkan stimulasi
yang disebabkan oleh reseptor nikotinik. Responnya dapat berupa eksitasi
atau inhibitory.3 Reseptor Muskarinik (M) terdiri dari beberapa tipe yaitu
M1—M5 (tabel 2.3). Atropin memblok semua reseptor muskarinik dan
terdapat pula obat yang selektif memblok reseptor M (tabel 2.3).
Nama nikotik dan muskarinik berasal dari penemu yang menemukan bahwa
racun lingkungan yang berbahaya yaitu nikotin dan muskarin berikatan dengan
reseptor tersebut. Reseptor nikotinik mengikat nikotin, dimana tanda dan gejala
keracunannya menggambarkan aktivasi otonom secara luas yaitu muntah, diare,
tekanan darah yang tinggi, denyut jantung yang cepat, berkeringat, dan
hipersalivasi dan dapat terjadi konvulsi karena SSS juga terstimulasi. Sedangkan,
tanda dan gejala keracunan muskarin hampir terbatas pada divisi parasimpatis
saja.10
24
Tabel 2. 3 Distribusi reseptor kolinergik, agonis, serta antagonisnya. 18,19
Nikotinik Ganglia otonom (N2 atau NN), NN juga terdapat di Nikotin Trimetaphan
SSP
Telenzepine
Haloperidol
25
Tripitramine
Gallamine
26
2.3 Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis pada organ target
Sistem saraf otonom terdiri dari jaringan kompleks jalur yang bertanggung
jawab untuk menjaga integritas fisiologis organ, jaringan, dan sel. Mereka terdiri
dari neuron pra dan pascaganglionik yang bekerja pada organ efektor.Sistem saraf
simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh tonus
simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan perubahan-
perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan maupun
penurunan aktivitas.2
Refleks otonom adalah refleks yang mengatur organ viseral meliputi refleks
otonom kardiovaskular, refleks otonom gastrointestinal, refleks seksual, refleks
otonom lainnya meliputi refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar
pankreas, pengosongan kandung empedu, ekskresi urin pada ginjal, berkeringat,
konsentrasi glukosa darah dan sebagian besar fungsi viseral lainnya. Sistem
parasimpatis biasanya menyebabkan respon setempat yang spesifik, berbeda
dengan respon yang umum dari sistem simpatis terhadap pelepasan impuls secara
masal, maka fungsi pengaturan sistem parasimpatis sepertinya jauh lebih spesifik.2
2.3.1 Mata
Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi
pupil dan pemusatan lensa. Perangsangan aktivasi simpatik menyebabkan otot
radial iris (alpha-1) berkontraksi, yang menyebabkan midriasis, sehingga pupil
menjadi dilatasi memungkinkan lebih banyak cahaya masuk. Selanjutnya, otot
siliaris (beta-2) berelaksasi, memungkinkan penglihatan jauh membaik. 1,2
Sedangkan perangsangan parasimpatis oleh reseptor M3 menyebabkan
kontraksi otot sfingter iris yang menyebabkan konstriksi pupil (miosis). Selain itu,
ini membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan
menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata
memusatkan objeknya sehingga meningkatkan penglihatan jarak dekat.8
27
2.3.2 Kelenjar-kelenjar tubuh
Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar
dalam pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.
Rangsangan simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya.
Bila saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali
keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan
pengaruh apapun. Kelenjar ludah (alfa-1, beta-2) bekerja melalui volume kecil
kalium dan sekresi air.11
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar
gastrointestinalis terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga
mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan. Kelenjar- kelenjar saluran pencernaan
yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran
bagian atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan lambung. Kelenjar usus halus
dan usus besar terutama diatur oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus
sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf otonom. Pada
kelenjar ludah, stimulasi parasimpatis reseptor M1 dan M3 menyebabkan sekresi
volume tinggi ion kalium, air, dan amilase.10
28
dari saluran gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada perangsangan
simpatis10,11
Sistem saraf simpatis bekerja pada lambung dan usus, penurunan motilitas
(alfa-1, beta-2) dan kontraksi sfingter (alfa-1), serta kontraksi kandung empedu
(beta-2), terjadi untuk memperlambat pencernaan untuk mengalihkan energi ke
bagian lain. dari tubuh. Di Pankreas eksokrin dan endokrin (alfa-1, alfa-2)
menurunkan sekresi enzim dan insulin. 2,10,11
Sementara itu kerja sistem saraf parasimpatis di lambung dan usus, stimulasi
parasimpatis reseptor M menyebabkan peningkatan motilitas dan relaksasi sfingter.
Stimulasi reseptor M juga meningkatkan sekresi lambung untuk membantu
pencernaan. Di kandung empedu, stimulasi parasimpatis reseptor M3 merangsang
kontraksi untuk melepaskan empedu. Di pankreas, stimulasi parasimpatis reseptor
M3 menyebabkan pelepasan enzim pencernaan dan insulin. 10,11
2.3.4 Jantung
Pada umumnya, perangsangan simpatis di jantung (beta-1, beta-2)
menyebabkan peningkatan denyut jantung, kekuatan kontraksi, dan laju konduksi,
memungkinkan peningkatan curah jantung untuk memasok tubuh dengan darah
beroksigen yang akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung. Keadaan ini tercapai
dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. 11
Perangsangan parasimpatis terutama menimbulkan efek yang berlawanan.
Di jantung, stimulasi parasimpatis reseptor M2 menyebabkan penurunan denyut
jantung dan kecepatan konduksi melalui AV node yang mengakibatkan penurunan
kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan beberapa tingkatan istirahat pada
jantung di antara aktivitas kerja yang berat.10
29
rangsangan simpatis pada reseptor beta akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
pada rangsangan simpatis yang biasa, tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali setelah
diberi obat-obatan yang dapat melumpuhkan reseptor alfa simpatis yang memberi
pengaruh vasokonstriktor, yang biasanya lebih merupakan efek reseptor beta.2
2.3.6 Paru-paru
Di paru-paru, aktivitas sistem saraf simpatis menyebabkan bronkodilatasi (beta-
2) dan penurunan sekresi paru (alfa-1, beta-2) sehingga memungkinkan lebih
banyak aliran udara melalui paru-paru. Sedangkan aktivitas sistem saraf
parasimpatik yang distimulasi oleh reseptor M3 menyebabkan bronkokonstriksi.
Ini juga meningkatkan sekresi bronkial.2
30
Tindakan sistem saraf simpatis yang tidak bertentangan dengan tindakan
sistem saraf parasimpatis antara lain sebagai berikut:10,11
1. Ada penyempitan yang kuat melalui reseptor alfa-1 di arteriol kulit, jeroan
perut, dan ginjal, dan penyempitan lemah melalui reseptor alfa-1 dan beta-
2 di otot rangka.
2. Di hati, peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis (alfa-1, beta-2)
terjadi untuk memungkinkan glukosa tersedia untuk energi di seluruh
tubuh.
3. Di limpa, terjadi kontraksi (alfa-1).
4. Kelenjar keringat dan otot arrector pili (muskarinik) bekerja untuk
meningkatkan keringat dan ereksi rambut untuk membantu mendinginkan
tubuh.
5. Terakhir, medula adrenal (reseptor nikotinik) meningkatkan pelepasan
epinefrin dan norepinefrin untuk bekerja di tempat lain di tubuh.
31
Tabel 2. 4 Respon-respon yang terpicu pada organ-organ efektor melalui stimulasi saraf simpattetik dan parasimpatetik. 20
Organ efektor Respon Adrenergik(A) Reseptor yang terlibat Respon kolinergik (C) Respon dominan (A
atau C)
Jantung
Laju kontraksi Meningkat β1 Menurun C
Kekuatan kontraksi Meningkat β1 Menurun C
Pembuluh darah
Arteri (paling umum) Vasokonstriksi α1 A
Otot skeletal Vasodilasi β2 A
Vena Vasokonstriksi α1 A
Bronkial Bronkodilasi β2 Bronkokonstriksi C
Limpa Kontraksi α1 A
Uterus Kontraksi α1 Beragam A
Vas deferens Kontraksi α1 A
Kapsul prostat Kontraksi α1 A
GI Tract Relaksasi α2 Kontraksi C
Mata
Otot radial, iris Kontraksi (midriasis) α1 A
Otot sirkular, iris Kontraksi (midriasis) α1 A
Otot siliaris Kontraksi (miosis) C
Ginjal Sekresi renin β1 A
Kandung kemih
Detrusor Relaksasi β Kontraksi C
Trigon dan sfinkter Kontraksi α1 Relaksasi A,C
Ureter Kontraksi α1 Relaksasi A
Pelepasan insulin dari Menurun α2 A
pankreasi
32
Sel lemak Lipolisis β1 A
Glikogenolisis liver Meningkat α1
Folikel rambut, otot Kontraksi (pilioereksi) α1 A
polos
Sekresi hidung Meningkat C
Kelenjar ludah Meningkatkan sekresi α1 Meningkatkan sekresi C
Kelenjar keringat Meningkatkan sekresi α1 Meningkatkan sekresi C
33
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem saraf simpatis meliputi dua set rantai ganglia simpatis di setiap sisi
kolumna vertebra; tiga ganglia kolateral; dan dua medulla adrenal. Serabut
preganglion simpatis dapat menginervasi dua lusin atau lebih neuron ganglionik
pada ganglia yang berbeda, sebagai hasilnya satu neuron motor simpatis pada SSP
dapat mengontrol berbagai macam organ viseral dan dapat menghasilkan respon
yang kompleks dan terkoordinasi. Divisi parasimpatis meliputi nukleus motor
viseral yang berhubungan dengan nervus kranialis III, VII, IX dan X dan segmen
sakralis S2–S4. Neuron ganglionik parasimpatis terdapat di dalam atau dekat
dengan organ target. Hal ini menyebabkan aktivasi parasimpatis mengaktifkan
respon yang spesifik pada organ atau bagian organ tertentu.
Serabut preganglion kedua divisi SSO menghasilkan ACh untuk
menstimulasi serabut postganglion. Serabut potganglion simpatis kebanyakan
menghasilkan NE dan E sehingga simpatis disebut neuron adrenergik, sedangkan
parasimpatis tetap menghasilkan ACh sehingga disebut neuron kolinergik. Efek
stimulasi simpatis dan parasimpatis dipengaruhi oleh reseptor yang dipengaruhinya
dan secondmesengger yang dihasilkan oleh reseptor tersebut. Reseptor simpatis
terdiri dari reseptor alpha dan beta, sedangkan parasimpatis terdiri dari reseptor
nikotinik dan muskarinik, dimana persebarannya menyebabkan perbedaan efek.
Sistem saraf simpatis dan parasimpatis memiliki fungsi yang kebanyakan
adalah berlawanan namun saling berintegrasi satu dengan yang lain interaksi
tersebut dapat dilakukan dengan adanya innervasi dwirangkap organ dan adanya
tonus otonom.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
17. Edward M, Maged J, Mikhail S, Michael J, Murray. Clinical anesthesiology
international edition. McGrawHill Professional; 2006.
18. Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Moore PK (2003). "Ch. 10".Pharmacology
(5th ed.). Elsevier Churchill Livingstone. p. 139.
19. Edwards Pharmaceuticals, Inc.; Belcher Pharmaceuticals, Inc. (May
2010)."DailyMed". U.S. National Library of Medicine. Retrieved January
13, 2013.
20. Ruffolo R. Fisiologi dan biokimia sistem saraf otonom tepi. Dalam Wingard
L, Brody T, Lamer J, dkk (eds). Farmakologi Manusia: Farmakologi
Molekular hingga Klinis. St. Louis, Mosby Year Book, 1991, hal 77
36