Anda di halaman 1dari 24

PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP

NEUROPLASTISITAS

Oleh:
dr. Nindy Diananti Pamuntjak
2206143904

Pembimbing:
dr. Nurhadi Ibrahim, Ph.D

PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKER SPESIALIS-1


ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
2023
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii


Daftar Gambar ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II SISTEM SARAF ................................................................................................... 2
2.1 Klasifikasi Sistem Saraf Secara Anatomis dan Fisiologis ........................................ 2
2.2 Struktur dan Fungsi Neuron ..................................................................................... 3
2.3 Struktur Sinaps ......................................................................................................... 5
2.4 Neurotransmitter dan Penghantaran Sinyal pada Sinaps .......................................... 6
2.5 Proses Belajar, Memori, dan Peran Sinaps ............................................................... 8
BAB III NEUROPLASTISITAS ....................................................................................... 10
3.1 Definisi ..................................................................................................................... 10
3.2 Mekanisme Neuroplastisitas ..................................................................................... 10
3.2.1 Neurogenesis ............................................................................................................. 11
3.2.2 Pembentukan Spina Dendritik .................................................................................. 12
3.2.3 Long Term-Potentiation dan Long-Term Depression ............................................... 12
BAB IV PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP NEUROPLASTISITAS ............ 16
4.1 Neuroendokrin .......................................................................................................... 17
4.2 Neurotransmitter ....................................................................................................... 17
4.3 Neural Insulin Signailing .......................................................................................... 17
4.4 BDNF ....................................................................................................................... 17
4.5 Myokin dan Metabolit yang Dihasilkan pada Kontraksi Otot .................................. 18
4.6 Adipokines ................................................................................................................ 19
4.7 Mood dan Analgesia ................................................................................................. 19
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pembagian sistem saraf secara anatomik dan fungsional .............................. 2
Gambar 2.2 Struktur dan bagian Neuron ........................................................................... 3
Gambar 2.3 Lokasi dan klasifikasi neuron berdasarkan fungsinya ................................... 4
Gambar 2.4 Skema struktur dan proses yang terjadi pada sinaps ...................................... 6
Gambar 2.5 Mekanisme sinaps eksitatorik dan inhibitorik ............................................... 7
Gambar 2.6 Mekanisme habituasi dan sensitisasi .............................................................. 9
Gambar 3.1 Teori neuroplastisitas ..................................................................................... 10
Gambar 3.2 Skema Neurogenesis pada Orang Dewasa ..................................................... 11
Gambar 3.3 Mekanisme Long-Term Potentiation ............................................................. 13
Gambar 3.4 Fase lanjutan Long-Term Potentiation (LTP) ................................................ 14
Gambar 4.1 Skema efek latihan fisik terhadap otak .......................................................... 16
Gambar 4.2 Efek myokin dan adipokin pada latihan fisik terhadap otak .......................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem saraf adalah sistem yang berperan dalam menerima dan merespon stimulus yang
terjadi baik di lingkungan eksternal maupun internal. Sistem saraf bekerja dengan menerima
rangsang seperti sentuhan, nyeri, perubahan suhu, dan stimulus kimia untuk kemudian
mengirimkan informasi ke sistem saraf pusat mengenai perubahan yang terjadi di lingkungan.1
Sistem saraf pusat kita terdiri dari otak dan korda spinalis.2 Otak memiliki kemampuan yang
disebut sebagai neuroplastisitas. Neuroplastisitas memiliki definisi yaitu kemampuan otak
untuk berubah melakukan re-model dan re-organisasi untuk tujuan yang lebih baik agar dapat
beradaptasi dengan lebih baik terhadap situasi yang baru, seperti informasi baru,
perkembangan, kerusakan atau disfungsi.5 Secara garis besar, neuroplastistas dapat terjadi
secara struktural maupun fungsional. Mekanisme neuroplastisitas ini dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal, salah satunya adalah latihan fisik.

Latihan fisik sudah sejak lama secara umum diketahui dapat memberikan manfaat
terhadap kesehatan seseorang. Banyak penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik dapat
mencegah efek yang tidak diiginkan akibat gaya hidup yang monoton dan menjaga kebugaran
fisik. Latihan fisik dapat berkontribusi pada perlambatan penuaan jaringan otak, serta
membantu meningkatkan fungsi kognitif dan memori, serta memperbaiki mood.1 Latihan fisik
juga dikatakan dapat memberikan efek yang baik terhadap neuroplastisitas. Dalam makalah
kali ini, penulis akan membahas mengenai efek latihan fisik terhadap neuroplastisitas.

1
BAB II
SISTEM SARAF

2.1 Klasifikasi Sistem Saraf Secara Anatomis dan Fisiologis


Sistem saraf adalah sistem yang berperan dalam menerima dan merespon stimulus yang
terjadi baik di lingkungan eksternal maupun internal. Sistem saraf bekerja dengan menerima
rangsang seperti sentuhan, nyeri, perubahan suhu, dan stimulus kimia untuk kemudian
mengirimkan informasi ke sistem saraf pusat mengenai perubahan yang terjadi di lingkungan.
Sistem saraf pusat kemudian dapat mengolah informasi ini untuk kemudian menghasilkan
sebuah respon berupa kontrol pergerakan. Selain untuk integrasi aktivitas tubuh dan kontrol
pergerakan, sistem saraf juga bertanggunga jawab untuk menyimpan pengalaman (memori)
dan membentuk pola respon sesuai dengan pengalaman sebelumnya (learning). 1
Secara anatomis, sistem saraf dalam tubuh kita dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu (1)
Sistem saraf pusat, yang terdiri dari otak dan korda spinalis yang dilindungi oleh tulang
tengkorak dan tulang belakang, serta (2) Sistem saraf tepi, yang terdiri dari jaringan saraf di
luar sistem saraf pusat. Secara fungsional, sistem saraf dapat dibedakan menjadi bagian
aferen/sensorik dan eferen/motorik.1
Bagian sensoris bertanggungjawab untuk transmisi impuls saraf, mulai dari reseptor
sampai sistem saraf pusat. Pengalaman sensorik ini dapat menyebabkan respon langsung dari
otak, atau dapat disimpan sebagai memori di otak dalam kurun waktu menit, minggu, ataupun
tahun yang dapat menentukan reaksi tubuh selanjutnya. Rangsang sensori yang diterima dari
reseptor, memasuki sistem saraf pusat melalui sistem saraf perifer dan dikonduksikan di area

Gambar 2.1 Pembagian sistem saraf secara anatomik dan fungsional1

2
seperti korda spinalis; substansia retikularis pada medulla, pons, dan mesensefalon; serebelum;
talamus; dan area korteks serebri.2
Bagian motorik berperan utama dalam kontrol terhadap aktivitas tubuh, yang dapat
tercapai melalui kontrol terhadap (1) kontraksi otot skeletal di seluruh tubuh, (2) kontraksi otot
polos pada organ interna, serta (3) sekresi substansi kimia oleh kelenjar eksokrin dan endokrin
di seluruh tubuh. Bagian motorik terbagi menjadi sistem saraf somatik, yang menginervasi
otot-otot skeletal untuk pergerakan volunter, dan sistem saraf autonom, yang menginervasi
organ efektor involunter seperti otot polos pembuluh darah, otot jantung, dan kelenjar. Sistem
saraf autonom sendiri terbagi lagi menjadi serabut saraf simpatis dan serabut saraf
parasimpatis. Serabut saraf simpatis akan teraktivasi ketika terjadi stres yang akan
menyebabkan peningkatan kadar adrenalin dalam darah dan respon “fight or flight” dari tubuh.
Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan pelebaran
bronkus untuk membentuk aliran udara yang lebih baik ke paru-paru. Pada kondisi tenang, atau
kondisi “rest and digest”, bagian saraf parasimpatis yang mengambil alih, menyebabkan efek
yang umumnya berkebalikan dengan sistem saraf simpatis.2

2.2 Struktur dan Fungsi Neuron


Di dalam sistem saraf, terdapat dua jenis sel saraf (1) Neuron, yaitu sel yang dapat
menerima, menyampaikan, dan mengintegrasikan informasi dengan membentuk sinyal yang
terbentuk dari adanya perubahan pada membran potensial, dan pelepasan neurotransmitter. (2)
Glia, yaitu sel yang menyokong, melindungi, dan menginsulasi sel neuron.3 Dalam otak
manusia, terdapat sekitar 80-100 juta neuron,2 yang masing-masing terdiri atas komponen yang
umumnya serupa, yaitu :

Gambar 2.2 Struktur dan bagian neuron1

3
1. Dendrit, yang menerima neurotransmitter yang dilepaskan oleh neuron lain melalui
reseptor
2. Soma atau badan sel, mengandung nukleus pengaturan aktifitas sel saraf. Badan sel saraf
berlaku sebagai “central decision maker” yang menerima, mengombinasi, dan memproses
input dari dendrit.
3. Axon, aksi potensial yang terbentuk akan mengalir disepanjang akson sel saraf.1

Secara fungsional neuron dapat diklafisikan menjadi neuron aferen, neuron eferen dan
interneuron. Bagian ujung perifer dari neuron aferen memiliki bentuk yang berbeda dengan
neuron eferen dan interneuron, karena memiliki reseptor sensorik yang dapat membentuk aksi
potensial ketika menerima stimulus tertentu. Aksi potensial ini kemudian di teruskan melaui
akson perifer ke badan sel neuron aferen yang tidak memiliki dendrit dan input presinap, dan
kemudian diteruskan melaui akson sentral yang berujung di korda spinalis dan bersinaps
dengan neuron lainnya. Neuron aferen terletak terutama di sistem saraf tepi, hanya bagian kecil
dari akson sentralnya yang masuk ke dalam korda spinalis. Neuron eferen berfungsi untuk
meneruskan perintah dari saraf pusat ke target organ. Badan selnya terletak di sistem saraf
pusat dan menerima diteruskan ke organ atau kelenjar melalui aksonnya (serabut eferen) ke
organ efektor.3

Gambar 2.3 Lokasi dan klasifikasi neuron berdasarkan fungsinya3

4
Interneuron terletak di sistem saraf pusat, sebanyak 99% neuron merupakan interneuron.
Interneuron memiliki dua fungsi utama, (1) Sebagai penghubung antara neuron aferen dan
eferen, berperan dalam integrasi antara informasi yang diterima dengan respon yang diberikan
ke organ efektor. Semakin rumit suatu output yang akan disampaikan maka semakin banyak
interneuron yang akan terlibat. (2) Interkoneksi antara interneuron bertanggung jawab terhadap
fungsi otak dalam emosi, pikiran, memori, kreatifitas, intelektual, dan motivasi.3
Suatu aksi potensial akan mengalir disepanjang akson sel saraf, untuk kemudian
berkontak dengan efektor ataupun sel saraf lainnya. Titik kontak antara akson suatu neuron dan
dendrit dari neuron lain disebut sinaps. Bagian terminal dari akson (terminal presinaptik) dapat
melepaskan neurotransmitter yang kemudian dapat memberikan efek eksitasi ataupun inhibisi.1

2.3 Struktur Sinaps


Sinaps adalah perbatasan antara dua sel yang dapat dieksitasi. Terdapat dua jenis utama
sinaps, yaitu (1) sinaps kimia, dan (2) sinaps elektrik. Sinaps elektrik contohnya terdapat pada
sel miokardium, dimana sitoplasma antar sel dihubungkan secara langsung oleh kumpulan
kanal ion yang disebut dengan gap junction. Melalui gap junction ini aksi potensial dapat
ditransmisikan secara langsung antar sel. Sementara sinaps kimia banyak digunakan pada
sistem saraf, dimana sel saraf yang satu akan mengsekresikan substansi kimia yang disebut
dengan neurotransmitter dan kemudian akan melekat pada reseptor neuron lain.2
Dalam konteks neuron, sinaps merupakan perbatasan antara akson terminal suatu sel
saraf, yang disebut sebagai neuron presinaptik, dengan dendrit atau badan sel saraf lain, yang
disebut sebagai neuron post-sinaptik. Persinyalan neurokimiawi terjadi pada sinaps. Sinyal
listrik yang dihantarkan oleh dendrit, badan sel saraf, dan akson diubah menjadi sinyal kimiawi
yang kemudian dihantarkan antar sel neuron. Sinaps memiliki dua komponen yaitu membran
pre-sinaptik dan membran post-sinaptik. Ujung dari akson neuron post-sinaptik kebanyakan
memiliki bentuk yang membulat atau oval, sehingga disebut sebagai synaptic knobs/ boutons.
Synaptic knob memiliki vesikel yang menyimpan neurotransmitter spesifik. Neurotransmitter
spesifik ini, ketika dilepaskan dari vesikel, akan melekat pada reseptor yang terdapat pada
membran post-sinaptik. Synaptic knob terletak berdekatan, namun tidak langsung bersentuhan
dengan neuron post-sinaptik. Ruang diantara neuron presinaptik dan neuron post-sinaptik
disebut sebagai synaptic cleft.3

5
Gambar 2.4 Skema struktur dan proses yang terjadi pada sinaps2,3

2.4 Neurotransmitter dan Penghantaran Sinyal pada Sinaps


Terdapat lebih dari 50 neurotransmitter yang bekerja pada sinaps manusia,2 namun pada
otak terdapat dua neurotransmitter utama, yaitu Glutamat yang merupakan neurotransmitter
eksitatorik, dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang merupakan neurotransmitter
inhibitorik. Neurotransmitter lainnya seperti dopamine, noradrenalin, serotonin, dapat menjadi
eksitatorik maupun inhibitorik tergantung pada reseptor tempat melekatnya. Neurotransmitter
ini berfungsi dalam penghantaran sinyal pada celah sinaps.1
Terdapat beberapa proses yang terjadi pada sinaps (lihat gambar 2.4), diantaranya:
(1) Aksi potensial sampai di akson terminal, menyebabkan terbukanya voltage-gated
calcium channel pada synaptic knob
(2) Karena konsentrasi Ca2+ ekstraselular lebih tinggi, terjadi influx ke dalam synaptic knob
(3) Influks kalsium menginduksi terjadinya pelepasan neurotransmitter dari synaptic vesicle
ke synaptic cleft melalui eksositosis
(4) Neurotransmitter berdifusi pada synaptic cleft dan kemudian melekat dengan reseptor di
membran post-sinaptik
(5) Perlekatan tersebut menyebabkan terbukanya kanal ion spesifik pada membran post-
sinaptik dan mengubah permeabilitas ion dari neuron post-sinaptik
(6) Tergantung dari jenis reseptornya, perubahan permeabilitas ion yang dihasilkan dapat
menimbulkan efek inhibitorik maupun eksitatorik.3

Berdasarkan perubahan permeabilitas yang terjadi pada neuron post-sinaptik sebagai


akibat perlekatan neurotransmitter spesifik terhadap reseptornya, terdapat dua jenis sinaps:

6
(1) Sinaps eksitatorik
Pada sinaps eksitatorik, perlekatan neurotransmitter pada reseptor menyebabkan
peningkatan permeabilitas membrane neuron terhadap sodium, sehingga terjadi difusi ion
sodium secara cepat kedalam membrane, yang mengubah membrane potensial menjadi
lebih postif. Besarnya peningkatan positif membran potensial yang terjadi diatas resting
neuronal potential disebut sebagai Excitatory Postsynaptic Potential (EPSP). Karena
membrane potensial menjadi lebih positif dan melewati tresholdnya, terbentuklah aksi
potensial dan neuron post-sinaptik akan tereksitasi. Pelepasan neurotransmitter dari satu
terminal presinaptik tidak akan dapat meningkatkan membrane potensial melewati
tresholdnya, sehingga dibutuhkan pelepasan neurotransmitter secara simultan dari banyak
terminal presinpatik. Pelepasan secara simultan oleh banyak terminal presinaptik ini
disebut sebagai summation (Spatial summation dan temporal summation).2
(2) Sinaps inhibitorik
Pada sinaps inhibitorik, perlekatan neurotransmitter pada reseptor menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran neuron terhadap kanal klorida, sehingga terjadi influx
klorida ke dalam neuron dan membran potensial dalam neuron akan menjadi lebih negatif
menyebabkan hiperpolarisasi dan neuron akan terinhibisi. Besarnya peningkatan negatif
dibawah resting membrane potensial disebut sebagai Inhibitory Postsynaptic Potential
(IPSP).2

Gambar 2.5 Mekanisme sinaps eksitatorik dan inhibitorik2

Pada sinaps eksitatorik, elemen post-sinaptik umumnya berupa daerah penonjolan kecil
pada dendrit yang disebut sebagai dendritic spines. Pada sinaps inhibitorik, elemen post-
sinaptik adalah berupa dendrit atau sekitar badan sel saraf.4

7
2.5 Proses Belajar, Memori, dan Peran Sinaps
Proses belajar adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan sebagai hasil dari
pengalaman, instruksi, atau keduanya. Proses belajar melibatkan perubahan perilaku sebagai
hasil dari pengalaman. Sementara memori adalah proses penyimpanan pengetahuan yang
sudah didapat untuk diingat dan digunakan kemudian. Umumnya, sebagian kecil informasi
sensori yang kita terima akan menghasilkan respon motorik langsung. Sebagian besar lainnya
akan disimpan untuk kontrol aktifitas motorik di masa depan dan digunakan dalam proses
berfikir. Penyimpanan informasi ini kebanyakan terjadi di korteks serebri, namun bagian basal
dari otak dan korda spinalis juga dapat menyimpan sedikit informasi.3
Proses memori ini pada dasarnya merupakan fungsi dari sinaps. Setiap kali sinyal
sensorik melewati urutan sinaps, sinaps ini menjadi lebih cepat dalam mentransmisikan jenis
sinal yang sama di lain waktu, hal ini disebut sebagai facilitation. Bila sinyal sensori sudah
seringkali melalui suatu sekuens sinaps, bahkan sinyal yang dibuat di otak saja sudah dapat
menyebabkan transmisi impuls mengalir melalui sekuens yang sama, bahkan tanpa adanya
input sensorik. Ketika memori sudah disimpan di system saraf, mereka menjadi bagian dari
mekanisme berfikir otak untuk kemampuan berfikir di masa depan. Artinya, otak akan
membandingkan pengalaman sensori yang baru dengan memori yang tersimpan, memori
kemudian akan membantu memilah informasi sensori baru apa yang penting, dan
menyimpannya untuk kembali menjadi memori baru untuk digunakan di masa depan atau
diterjemahkan menjadi respon gerak.3
Memori disimpan di otak dengan mengubah sensitivitas dasar transmisi sinaps antar
neuron sebagai hasil dari aktivitas neural sebelumnya. Jaras yang baru atau yang terfasilitasi
disebut sebagai memory trace, yang dapat muncul pada semua level sistem saraf pusat,
terutama lobus temporal bagian medial, system limbik, serebelum, prefrontal cortex, dan
bagian korteks serebri lainnya. Kebanyakan memori yang berhubungan dengan proses
intelektual disimpan di korteks serebri.2 Jika kita ingin menyimpan semua informasi yang suatu
waktu kita terima, kapasitas otak akan dengan cepat tercapai. Oleh karena itu, otak memiliki
kemampuan untuk mengabaikan informasi yang dianggap tidak penting, dengan cara
inhibisi/penurunan respons terhadap stimulus yang disebut dengan habituasi memori (bentuk
memori negative). Sebaliknya, untuk informasi yang kita anggap penting, otak memiliki
mekanisme untuk meningkatkan respons terhadap stimulus dan menyimpan memory trace
yang disebut sebagai sensitisasi memori (memori positif).2

8
Gambar 2.6 Mekanisme habituasi
dan sensitisasi2,3

Memori dibagi menjadi tiga jenis:


1. Memori jangka pendek, yang bertahan
dalam hitungan detik sampai menit.
Secara teori disebabkan oleh aktivasi
neural kontinu sebagai hasil dari sinyal
saraf yang terus berjalan disepanjang
memory trace.
2. Memori jangka menengah, yang dapat
bertahan hari sampai minggu dan
kemudian menghilang. Memori ini akan hilang, kecuali diaktivasi secara berulang.
Memori ini disebabkan perubahan kimiawi temporer pada terminal presinaptik atau
membrane post-sinaptik selama beberapa menit sampai beberapa minggu
3. Memori jangka Panjang, yang dapat bertahan tahun hingga seumur hidup. Untuk
membuat memori jangka pendek atau menengah menjadi jangka panjang, dibutuhkan
proses konsolidasi melalui praktik aktif dan latihan. Kapasitas memori jangka Panjang
lebih besar daripada memori jangka pendek. Memori jangka panjang dapat bertahan
seumur hidup, namun beberapa dapat hilang atau berubah secara bertahap. Pembentukan
memori jangka panjang melibatkan sintesis protein untuk perubahan secara fungsional
ataupun struktural, seperti pembentukan sinaps baru atau penambahan cabang dendrit.2

Ada juga yang disebut sebagai “working memory” yaitu memori yang digunakan selama
menyelesaikan suatu masalah intelektual, dan segera dilupakan begitu masalah terselesaikan.2

9
BAB III
NEUROPLASTISITAS

3.1 Definisi
Neuroplastisitas memiliki definisi sebagai kemampuan otak untuk berubah melakukan
re-model dan re-organisasi untuk tujuan yang lebih baik agar dapat beradaptasi dengan lebih
baik terhadap situasi yang baru, seperti informasi baru, perkembangan, kerusakan atau
disfungsi.5 Neuroplastisitas dapat diamati di berbagai tingkatan kehidupan, dengan adaptasi
perilaku, pembelajaran dan memori berada di puncak hierarki, menghubungkan adanya
perubahan struktural dan fungsional.6

Gambar 3.1 Teori neuroplastisitas

Sementara plastisitas sinaps adalah kemampuan sinaps untuk mengubah kekuatan sinaps,
terasuk respon neurotransmitternya.7 Neuroplastisitas merupakan dasar dari proses belajar dan
memori. Contoh lainnya dari neuroplastisitas adalah, ketika terdapat area otak yang
berhubungan dengan fungsi tertentu rusak, area otak yang lain secara perlahan mungkin akan
dapat beradaptasi menggantikan sebagian atau seluruh fungsi bagian otak yang rusak.3

3.2 Mekanisme Neuroplastisitas


Secara garis besar, neuroplastistas dapat terjadi secara struktural maupun fungsional
melalui beberapa mekanisme :
1. Neurogenesis
2. Pembentukan spina dendrit
3. Long-term Potentiation dan Long Term Depression8

10
3.2.1 Neurogenesis
Neuroplastisitas struktural pada dewasa salah satunya terjadi melalui proses
neurogenesis, yaitu dibentuknya neuron baru sebagai hasil dari pembelahan dan diferensiasi
sel punca dan sel progenitor neuron pada otak orang dewasa. Selama puluhan tahun, dipercaya
bahwa otak orang dewasa tidak dapat membentuk neuron baru, namun peneliti menemukan
bahwa terdapat area di otak dimana terjadi aktifitas pembelahan sel. Area tersebut adalah zona
subventricular dari dinding ventrikel lateral dan gyrus dentatus hippocampus. Sel progenitor
pada zona subventricular dari dinding ventrikel lateral memproduksi neuroblast yang kemudian
bermigrasi ke bulbus olfaktori dan berdiferensiasi menjadi interneuron. Sementara
hippocampus merupakan area penting untuk proses belajar dan memori, dan adanya
pembentukan neuron baru dapat membantu penyimpanan memori.8

Gambar 3.2 Skema Neurogenesis pada Orang Dewasa9

Neurogenesis pada hippocampus terdiri dari empat fase: proliferasi, migrasi, diferensiasi,
dan maturasi. Prekursor seluler yang ditemukan pada hippocampus adalah astrosit yang
mengekspresikan marker untuk proliferasi sel. Setelah berproliferasi, selanjutnya sel akan
menjalani dvisi dan Sebagian sel akan menjalani apoptosis aatau difagosit oleh microglia.
Neuroblas yang bertahan akan berhenti mengekspresikan protein yang berhubungan dengan
proliferasi sel, dan akan mengalami diferensiasi. Neuron baru ini bermaturasi di area granular

11
dari gyrus dentata hippocampus dan merupakan neuron eksitatorik glutamatergic.
Neurogenesis ini diregulasi oleh Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), sehingga
stimulus yang mempengaruhi produksi dan aktifitas BDNF, juga akan mempengaruhi
neurogenesis di hippocampus.6 Studi terkini juga menemukan adanya proses neurogenesis
pada hipotalamus, striatum, substansia nigra, korteks, dan amigdala. Namun masih belum
diketahui secara pasti apakah sel punca dan sel progenitor berasal dari zona subventricular dan
bermigrasi ke area tersebut, ataukah memang terdapat di area tersebut dan berdiferensiasi.9

3.2.2 Pembentukan Spina Dendritik


Mekanisme struktural lainnya yang terjadi pada neuroplastisitas adalah pembentukan
spina dendrit dan adanya perubahan pada kepadatan gray dan white matter dilihat melalui
MRI.5,7 Spina dendrit merupakan protrusi dari dendrit yang menerima input melalui sinaps
dengan akson. Spina dendrit memiliki bentuk dan ukuran bervariasi, tidak stabil, dan secara
konstan dibentuk dan menghilang. Pembentukan ataupun eliminasi spina dendrit, dapat
melemahkan ataupun menguatkan koneksi antar neuron. Pembentukan koneksi antara spina
dendrit baru dengan axon yang sama akan memperkuat koneksi antar neuron, sementara
pembentukan koneksi antara spina dendrit baru dengan akson lain akan mengubah cara
memproses informasi dalam sirkuit neural.7
Sebuah studi pada hewan menunjukkan bahwa adanya peningkatan kepadatan grey
matter disebabkan oleh adanya perubahan morfologis seperti adanya pembentukan koneksi
baru melalu pertumbuhan spina dendritic dan perubahan kekuatan sinaps. Sementara
peningkatan kepadatan white matter disebabkan peningkatan myelinasi. 10

3.2.3 Long Term-Potentiation dan Long-Term Depression


Neuroplastisitas terutama tergambarkan dalam dua proses dasar, yaitu belajar dan
memori. Mekanisme neuroplastisitas fungsional dipengaruhi oleh plastisitas sinaptik yang
melibatkan peningkatan neurotransmitter yang dilepaskan, sensitivitas reseptor, dan
peningkatan efektifitas dari mekanisme aktivasi post-sinaps. Dalam proses belajar dan memori,
muncul perubahan pada koneksi sinaps antar neuron karena perubahan struktural ataupun
proses biokimia intraseluler.5,6
Neuroplastisitas tergambar dalam proses pembentukan memori jangka Panjang yang
melibatkan mekanisme long-term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD), dimana
LTP akan meningkatkan EPSP, dan LTD akan menurunkan EPSP pada neuron postsinaptik.8
LTP adalah peningkatan berkepanjangan kekuatan koneksi sinaps pada jaras yang teraktivasi
12
sebagai respon terhadap stimulasi singkat dan berulang. LTP banyak terdapat di hippocampus
yang merupakan tempat krusial untuk perubahan memori jangka pendek menjadi jangka
panjang. Pada LTP, ketika terjadi aktivasi neuron presinaptik dan post-sinaptik secara simultan
pada sinaps eksitatorik, terdapat modifikasi yang meningkatkan kemampuan neuron
presinaptik untuk mengeksitasi neuron post-sinaptik. Menguatnya aktivitas sinaps
menghasilkan EPSP yang lebih besar pada neuron post-sinaptik sebagai respon terhadap sinyal
kimia yang dihasilkan.3
Peningkatan transmisi sinaps yang terjadi secara teori dapat disebabkan oleh (1) adanya
perubahan pada neuron post-sinaptik (peningkatan responsifitas terhadap neurotransmitter),
dan (2) adanya perubahan pada neuron presinaptik (peningkatan pelepasan neurotransmitter).
Pada mekanisme yang pertama, neurotransmitter eksitatorik (glutamate) yang dilepaskan
neuron presinaptik berikatan dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) dan reseptor
AMPA. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx K+ ke dalam neuron post-sinaptik.
Masuknya K+ mengaktivasi second messenger pathway pada neuron post-sinaptik yang
menyebabkan masuknya reseptor AMPA kedalam membrane post-sinaptik. Reseptor AMP
berperan dalam menghasilkan EPSP sebagai respon terhadap aktivasi glutamat. Peningkatan
availabilitas AMPA menghasilkan respon EPSP yang lebih besar, dan membantu
mempertahankan LTP.3

Gambar 3.3 Mekanisme Long-Term Potentiation3

13
Pada mekanisme yang kedua, aktivasi K+ second messenger pada neuron post-sinaptik
menyebabkan neuron post-sinaptik untuk melepaskan factor retrograd (diduga berupa nitric
oxide) yang berdifusi ke neuron presinaptik. Faktor retrograd mengaktivasi second messenger
pada neuron presinaptik, yang kemudian akan meningkatkan pelepasan glutamat.3
Bila suatu proses belajar dilakukan terus menerus, akan terbentuk memori jangka
panjang. Penyimpanan memori jangka panjang melibatkan aktivasi gen spesifik yang
mengontrol sintesis protein yang dibutuhkan untuk mempertahankan perubahan struktural dan
fungsional pada sinaps spesifik. Contoh perubahannya seperti pningkatan jumlah terminal
presinaptik, sehingga terbentuk sinaps baru atau perubahan pada membran presinaptik dan
postsinaptik.2 CREB adalah molecular switch yang mengaktivasi gen yang diperlukan untuk
penyimpanan memori jangka panjang. Sementara CREB2 adalah repressor CREB.
Pembentukan memori jangka panjang melibatkan aktivasi terhadap CREB dan juga inhibisi
CREB2, melalui mekanisme yang belum diketahui namun diduga diaktivasi oleh cAMP.
CREB regulatory protein meregulasi sekelompok gen, yaitu Immediate Early Gene (IEGs)
yang berperan dalam konsolidasi memori.3

Gambar 3.4 Fase lanjutan Long-Term Potentiation (LTP)11

Long-Term Depression (LTD) merupakan kebalikan dari LTP, dimana terjadi penurunan
efikasi transmisi sinyal pada sinaps. LTD diduga berperan dalam pembelajaran motoric dan
formasi memori, berfungsi dengan membantu mereset perubahan sinaps dan memungkinkan
terbentuknya memori baru yang dibentuk oleh LTP.12

14
Sistem kolinergik juga berperan dalam neuroplastisitas fungsional. Reseptor nikotinat
kolinergik α7 memainkan peran penting dalam neuroplastisitas, perlindungan saraf dan
pemulihan memori, baik kondisi sehat maupun sakit. BDNF secara positif mengatur sintesis
protein yang terlibat dengan perubahan sinaptik. BDNF juga akan mempengaruhi proses
neurogenesis pada pembentukan neuron glutamatergik. Selain peran penting yang dimainkan
BDNF dalam neuroplastisitas, neurotropin lain juga berkontribusi oleh memodulasi proses ini,
seperti IGF-1, yang mampu memodulasi glutamatergik reseptor, meningkatkan efisiensi
sinapsis glutamatergik dengan mengatur voltage gated Ca2+ channel dan meningkatkan
ekspresi reseptor TRKB, membuatnya lebih mudah untuk mengikat BDNF.6

Neuroplastisitas umumnya memberikan manfaat bagi manusia, namun terkadang dapat


juga merugikan, ytiu ketika terjadi neuroplastisitas maladaptif. Plastisitas maladaptive terjadi
ketika koneksi yang dibentuk di otak malah memberikan gejala yang menyimpang atau negtaif,
misalnya pada kasus writer’s cramp dan phantom limb pain.13

15
BAB IV
PENGARUH LATIHAN FISIK TERHADAP NEUROPLASTISITAS

Latihan fisik secara umum diketahui dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan
seseorang. Latihan fisik, dari banyak bukti terkini juga diketahui dapat meningkatkan berbagai
macam fungsi kognisi otak termasuk dalam belajar dan memori, serta dapat menurunkan
depresi terutama pada lansia. Latihan fisik yang rutin juga dapat melindungi dari penyakit
Alzheimer dan stroke.1Selain itu, Latihan fisik juga dapat memperbaiki kualitas beberapa
aktivitas fisiologis dasar seperti tidur, selera makan, dan mood.14
Bagaimanakah Latihan fisik dapat meningkatkan kesehatan otak? Latihan fisik diketahui
dapat memodifikasi berbagai area di otak, salah satunya adalah hippocampus yang erat
kaitannya dengan fungsi memori dan belajar. Latihan fisik dikatakan dapat meningkatkan
volume dan juga aliran darah, serta dapat meningkatkan aktifitas neurogenesis di gyrus
dentatus hippocampus.8,14 Perubahan pada hippocampus dapat ditemukan setelah 1 minggu
melakukan latihan fisik rutin.1 Latihan fisik juga meningkatkan plastisitas sinaps,
meningkatkan pembentukan LTP dan LTD, serta meningkatkan pembentukan dan stabilitas
dari spina dendritik.8 Disamping hal tersebut, Latihan fisik juga menurunkan beberapa factor
risiko untuk penurunan kognitif seperti inflamasi, hipertensi, dan resistensi insulin.1

Gambar 4.1 Skema efek latihan fisik terhadap otak14

16
4.1 Neuroendokrin
Latihan fisik memprovokasi banyak perubahan pada konsentrasi hormon seperti
vasopressin, cortisol, β-endorfin, adreno-corticotropic hormone, dan lainnya. Latihan dengan
volume besar menyebabkan respon besar pada neuroendokrin. Latihan fisik memulai seri
koordinasi respon fisiologis termasuk hipotalamus-pituitari-adrenal axis dan aktivasi system
saraf simpatis. Tetapi stimulus ini dipengaruhi beberapa factor seperti jenis Latihan fisik
(intensitas, aerobic, durasi, kekuatan), berapa kali dalam sehari, diet, dan karakteristik
seseorang (Latihan berulang, jenis kelamin).14

4.2 Neurotransmitter
Latihan fisik mempengaruhi dopaminergic, seratonergic, noradrenergic system. Menurut
Lin dan Kuo, dopamine, noradrenalin, serotonin atau hydroxytriptamin (5-HT) adalah tiga
monoamine ttansmitter yang dimodulasi oleh latihan fisik dan diekskresi selama Latihan fisik.
Peningkatan regulasi dopamine pada otak berhubungan dengan Latihan fisik menginduksi
tingginya level serum calcium yang ditransportasi pada otak dan efek sintesis
calcium/calmodulin-dependent dopamine oleh aktivasi enzim tyrosine hydroxylase. Latihan
fisik juga meningkatkan NE pada spinal cord pons-medulla. HT system termodulasi dengan
Latihan fisik, hanya saja tergantung pada regio otak dan dipengaruhi oleh durasi dan intensitas
Latihan.14

4.3 Neural Insulin Signailing


Brain insulin signaling dibutuhkan untuk survival neuron dan maintenans dari fungsi
penting otak, serta dapat mencegah dan membalikkan defek pada transport BDNF. Insulin
reseptor dapat ditemukan pada hipotalamus, hipokampus, korteks serebral dalam konsentrasi
tinggi. Pada keadaan normal BDNF, IGF 1-2, VEGF mentransmisikan signal pada neuron
hipokampus untuk menjaga fungsi dari hipokampus. Latihan fisik terbukti mendorong efek anti
inflamasi dan meningkatkan insulin signaling pada neuron hipokampus.14

4.4 BDNF
BDNF merupakan factor penting dalam neuroplastisitas pada hipokampus, yang
berkontribusi pada promosi diferensiasi dan maturasi pada perkembangan neuron. Latihan fisik
terbukti meningkatkan ekspresi BDNF pada otak, yang mempunyai efek positif pada
neurogenesis, terutama hipokampus. Dilaporkan juga latihan fisik menyebabkan perubahan
pada peningkatan signifikan pada BDNF mRNA dan level protein, peningkatan jumlah sinaps

17
pada dentata gyrus, merubah morfologi astrosit dan orientasi astrosit pada sel-sel gyrus
dentata.14,17

4.5 Myokin dan Metabolit yang Dihasilkan pada Kontraksi Otot


Sel otot skeletal aktif secara metabolik, dan ketika melakukan latihan fisik, otot
berkomunikasi dengan organ lainnya dengan menghasilkan myokin dan metabolit. Myokin
dapat mengeksitasi kerja endokrin, parakrin ataupun autokrin.15
1. BDNF
Otot yang berkontraksi melepaskan BDNF, BDNF yang dihasilkan dari kontraksi otot
diketahui dapat melewati sawar darah otak, dan mungkin dapat mempengaruhi otak secara
langsung (walaupun belum diketahui dengan jelas).16
2. Cathepsin-B
Ketika berkontraksi saat Latihan fisik, otot juga mengeluarkan cathepsin B yang dapat
melewati sawar darah otak dan menstimulais ekspresi BDNF di Hippocampus,
neurogenesis, dan mendorong peningkatan kemampuan memori spasial.15,16
3. FGF21 and Irisin/FNDC5
FGF21 terutama diproduksi di liver dan otot skeletal, dan merupakan regulator terhadap
homeostasis nutrient. Ketika dilepaskan saat Latihan fisik, FGF21 meningkatkan
thermogenesis pada jaringan lemak dan otot, serta menginduksi diferensiasi jaringan lemak
coklat. FGF21 menyebrangi sawar darah otak, berikatan dengan reseptor di hipotalamus dan
dapat memodulasi input simpatis terhadap jaringan lemak coklat, ritmik sirkadian, dan
neuroproteksi. Irisin juga dapat memperbaiki homeostasis glukosa. Pelepasan FGF21 lebih
besar pada laihan resistensi dibandingkan HIIT.15,16
Irisin merupakan myokin turunan dari FNDC5. Irisin dapat berperan dalam pembentukan
jaringen lemak coklat, dan dapat menyebrangi sawar darah otak. Peningkatan irisin
berhubungan dengan peningkatan BDNF pada tikus, dan berperan dalam peroses
diferensiasi neural.15,16
4. Sitokin
Kontraksi otot juga melepaskan sitokin seperti IL-6, IL-8, dan IL-5 yang dapat menyebrangi
sawar darah otak. Efek IL6 dan IL8 terhadap otak masih diperdebatkan, karena keduanya
memiliki efek neuroprotektif ataupun neurotoksik, tergantung reseptor tempat
perlekatannya. IL5 diduga memiliki efek neuroprotektif dan mendorong terjadinya
neurogenesis.16

18
5. Laktat
Dalam kondisi anaerob, laktat digunakan sebagai sumber energi oleh sel, termasuk neuron.
Reseptor laktat, HCAR1 banyak terdapat di mikrovessel intraserebral, dan jika teraktivasi
meningkatkan produksi cerebral VEGFA dan cerebral angiogenesis.16

Gambar 4.2 Efek myokin dan adipokin pada latihan fisik terhadap otak16

4.6 Adipokines
Adiponektin merupakan protein yang disekresikan oleh jaringan lemak, dan diketahui
memiliki efek anti-diabetik, antiinflamatorik, dan antiatherosclerosis. Dalam sebuah studi,
adiponectin ditemukan menstimulasi proliferasi, namun tidak dengan diferensiasi, dari sel
progenitor hippocampus pada dewasa secara in vitro, dan mendorong neurogenesis.
Adiponektin ditemukan meningkat pada latihan aerobic dan resistensi instensitas sedang –
tinggi. Selain adiponectin, sel lemak juga melepaskan FNDC5/Irisin dan Interleukin IL-5.17

4.7 Mood dan Analgesia


Selain meningkatkan kebugara, latiahn fisik juga diketahui dapat meningkatkan status
mental ddan menginduksi analgesi. Mekanisme terjadinya hal tersebut diduga melalui
pelepasan beberapa substansi seperti dopamine, serta opioid endogen seperti endorphin,
enkefalin, dan dinorfin.16

19
BAB V
KESIMPULAN

Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk berubah melakukan re-model dan re-
organisasi untuk tujuan yang lebih baik agar dapat beradaptasi dengan lebih baik terhadap
situasi yang baru, seperti informasi baru, perkembangan, kerusakan atau disfungsi. Hal ini
berarti bahwa otak manusia selalu mengalami perubahan di sepanjang kehidupan, seiring
dengan pengalam dna proses belajar yang dialami. Salah satu faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi perubahan ini adalah latihan fisik. Latihan fisik diketahui dapat memberikan
efek yang bermanfaat terhadap neuroplastisitas melalui peningkatan neurogenesis,
pembentukan spina dendritik, dan melalui mekanisme Long-term Potentiation. Berdasarkan
studi literatur yang dilakukan terhadap kaitan antara latihan fisik dengan neuroplastisitas,
Latihan fisik terbukti memberikan manfaat baik terhadap neuroplastisitas, dan juga terhadap
kebugaran tubuh dan mental. Latihan fisik dapat digunakan sembagai metode rehabilitasi untuk
meningkatkan mekanisme neuroplastisitas pada pasien, agar dapat meningkatkan fungsi,
terutama fungsi kognisi seperti proses belajar dan memori, seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuan pasien.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Exercise Physiology Theory and Application to Fitness and Performance - Scott Powers,
Edward Howley, John Quindry - McGraw-Hill Education (2020).
2. Guyton Hall Medical Physiology - 2021 - 14th Edition.
3. Sherwood L, Ward C. Human physiology : from cells to systems. 778 p.
4. Citri A, Malenka RC. Synaptic plasticity: Multiple forms, functions, and mechanisms. Vol.
33, Neuropsychopharmacology. 2008. p. 18–41.
5. Demarin V, Béné R. Neuroplasticity. Clinical use of beta stiffness View project [Internet].
2014. Available from: https://www.researchgate.net/publication/289103406
6. Toricelli M, Pereira A, Souza Abrao G, Malerba H, Maia J, Buck H, et al. Mechanisms of
neuroplasticity and brain degeneration: Strategies for protection during the aging process.
Vol. 16, Neural Regeneration Research. Wolters Kluwer Medknow Publications; 2021. p.
58–67.
7. Kania BF, Wrońska D, Zięba D. Introduction to Neural Plasticity Mechanism. J Behav
Brain Sci. 2017;07(02):41–9.
8. Wackerhage, Henning. Molecular Exercise Physiology.
9. Vaz A, Ribeiro I, Pinto L. Frontiers in Neurogenesis. Vol. 11, Cells. MDPI; 2022.
10. Galván A. Neural plasticity of development and learning. Vol. 31, Human Brain Mapping.
2010. p. 879–90.
11. Pontes AH, de Sousa M V. Mass spectrometry-based approaches to understand the
molecular basis of memory. Vol. 4, Frontiers in Chemistry. Frontiers Media S. A; 2016.
12. Hirano T. Long-term depression and other synaptic plasticity in the cerebellum. Vol. 89,
Proceedings of the Japan Academy Series B: Physical and Biological Sciences. Japan
Academy; 2013. p. 183–95.
13. Neuroplasticity - StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. [cited 2023 Jun 2]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557811/
14. Mahalakshmi B, Maurya N, Lee S Da, Kumar VB. Possible neuroprotective mechanisms
of physical exercise in neurodegeneration. Int J Mol Sci. 2020 Aug 2;21(16):1–17.
15. Pedersen BK. Physical activity and muscle–brain crosstalk. Vol. 15, Nature Reviews
Endocrinology. Nature Publishing Group; 2019. p. 383–92.
16. Di Liegro CM, Schiera G, Proia P, Di Liegro I. Physical activity and brain health. Vol. 10,
Genes. MDPI AG; 2019.
17. Yau SY, Li A, Sun X, Fontaine CJ, Christie BR, So KF. Potential Biomarkers for Physical
Exercise-Induced Brain Health. In: Role of Biomarkers in Medicine. InTech; 2016.

21

Anda mungkin juga menyukai