1 Ketombe
12.1.1 Definisi ketombe
Ketombe atau dikenali juga sebapagai pitiriasis capitis, pitiriasis simpleks atau
pitiriasis sika, adalah kelainan skuamasi kulit kepala, dan dapat atau tidak berkaitan
dengan seborrhea (Del Rosso,2011). Dalam pengertian lain,ketombe merupakan suatu
kondisi abnormal terjadinya pembentukan skuama atau terlepasnya serpihan kulit,
berwarna putih kekuningan dari kulit kepala atau suatu kondisi terjadinya pelepasan
berlebihan sel kulit mati dari kulit kepala, dan biasanya disertai dengan gatal. Skuama
atau serpihan ini terlepas karena aksi mekanis dan dapat terlihat baik di rambut atau di
permukaan horizontal di bawah rambut seperti bahu dan di atas punggung (Schwartz
JR,2010).
Ketombe (pitiriasis capitis) adalah satu bentuk bukan-radang dari dermatitis seboroik
dengan adanya peningkatan sisik kulit kepala, yang merupakan spektrum akhir yang aktif
pada
proses
deskuamasi
fisiologi.
Manakala
dermatitis
seboroik
(Dermatitis
12.1.2 Epidemiologi
Belakangan ini, ketombe merupakan masalah yang cukup menonjol di kalangan
umum karena banyak ditemukan dan mempengaruhi hampir setengah populasi dunia
pada usia post-pubertas dan berbagai jenis kelamin dan etnik (Turner GA, et al, 2012).
Ketombe dapat menyebabkan rasa khawatir dan tertekan, hilangnya kepercayaan diri atau
tidak nyaman bagi penderitanya. Menurut badan konsensus Amerika Serikat, dengan
dasar data internasional pada tahun 2004, diperkirakan terdapat 50 million penderita
ketombe di Amerika Serikat dengan prevalensi sekitar 18,38 % dan terdapat 43,833,262
di Indonesia (US census bureau,2004).
Ketombe dianggap sangat kerap umumnya dan lebih kerap pada lelaki dibanding
wanita dan lebih kerap pada orang muda daripada orang yang lebih tua (Misery L, et al,
2011). Ketombe sering ditemukan pada usia dewasa muda, sedangkan pada anak relatif
jarang dan berbentuk ringan. Insiden puncak dan keparahan penyakit terjadi pada usia
sekitar 20 tahun.
12.1.3 Etiopatogenesis
Penyakit ketombe belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Namun terdapat beberapa
jalur etiopatologik dengan mekanisme yang kompleks, yang dapat menyebabkan
ketombe. Beberapa faktor dianggap berhubungan dengan terjadinya ketombe:
a. Hiperproliferasi epidermis
Stratum korneum terdiri dari korneosit yang dikelilingi oleh berbagai lapisan lipid yaitu
seramid, kolesterol, dan asam lemak. Integritas dari stratum korneum dicapai melalui
korneodesmosom yang mengunci korneosit sekitarnya bersama-sama di stratum korneum
dan antara lapisan stratum yang berdekatan. Korneodesmosom merupakan kekuatan
kohesif primer yang harus didegradasi untuk mempermudah deskuamasi, proses
pergantian kulit, yang mengalami kekacauan pada ketombe (Turner GA, et al, 2012).
Stratum korneum bertindak sebagai barier protektif untuk mencegah hilangnya air dan
mempertahankan hidrasi kulit kepala, juga sebagai barier terhadap invasi patogenik oleh
mikroorganisme termasuk Malassezia, agen toksik, oksidan, dan radiasi UV. Hilangnya
fungsi barier ini berdampak pada banyak aspek integritas dan fungsionalitas stratum
korneum. Dinyatakan bahwa, lipid struktural dari stratum korneum penderita ketombe
mengalami deplesi dan tidak beraturan yang sesuai dengan melemahnya barier yang
diindikasikan dengan meningkatnya transepidermal water loss (TEWL).Gangguan fungsi
barier yang terjadi secara kronis dapat mengganggu hidrasi yang tepat, sehingga
menyebabkan proliferasi epidermal yang tidak sesuai (hiperproliferasi), diferensiasi
keratinosit dan maturasi stratum korneum yang tidak normal, yang mendasari timbulnya
gejala ketombe. Menurunnya waktu transit, atau pergantian, keratinosit melalui epidermis
yang disebabkan oleh hiperproliferasi ini berkaitan dengan terjadinya keratinisasi yang
abnormal. Gangguan barrier menyebabkan penderita ketombe lebih rentan terhadap efek
samping toksin mikroba dan jamur, dan polutan lingkungan, dengan demikian
mengekalkan gangguan barier yang ada. Variasi struktural pada level seluler
mengakibatkan barier stratum korneum terganggu secara fungsional. Barier tidak lagi
efektif seperti kulit normal dalam mengurangi transmisi penguapan kelembaban juga
dalam mengurangi penetrasi bahan eksogen. Fungsi barier yang terganggu ini membuat
kulit kurang efektif dalam menghambat penetrasi inisiator inflamasi yang berasal dari
aktivitas metabolik Malassezia (Schwartz JR, et al, 2010).
b. Peran sebum
Kulit kepala manusia sangat sensitif terhadap androgen dan kaya dengan sebum. Peran
sebum pada ketombe terkait dengan korelasi kuat dengan aktivitas kelenjar sebasea.
Ketombe sendiri terjadi di daerah kulit dengan level sebum yang tinggi. Sebum memiliki
banyak kegunaan. Sebum terlibat dalam perkembangan epidermis dan pemeliharaan
barier, mentranspor antioksidan, proteksi, bau badan, dan munculnya feromon. Sebum
secara langsung terlibat dalam sinyal hormonal, diferensiasi epidermis, dan proteksi dari
radiasi ultraviolet (UV) (Thomas L, et al, 2007). Sebum juga melindungi kulit dari
infeksi bakteri dan jamur dermatofita melalui efek asam lemaknya yang bersifat
fungistatik. Namun pada jamur Malassezia, lipid diperlukan untuk pertumbuhannya.
Malassezia memerlukan lemak untuk tumbuh, jadi lebih banyak sebum kaya lipid di kulit
kepala sangat penting untuk makanan jamur tersebut. Sebum manusia merupakan
campuran kompleks dari trigliserida, asam lemak, wax ester, sterol ester, kolesterol,
kolesterol ester, dan skualen. Saat disekresikan, sebum terdiri dari trigliserida dan ester
yang diurai oleh mikroba menjadi digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas.
Asam lemak bebas berperan utama dalam inisiasi respon iritan, yang terlibat dalam
hiperproliferasi kulit kepala (Dawson TL, et al, 2007). Komposisi dari asam lemak
sebum sendiri tidak tetap namun berubah terkait dengan laju sekresi sebum. Hipersekresi
sebasea terjadi jika kelenjar sebasea menghasilkan begitu banyak sebum, kulit dan
rambut menjadi berminyak, dan kulit kepala tidak mendapatkan oksigenasi yang cukup.
Secara spesifik, dengan meningkatnya sekresi sebum, perubahan tampak terjadi pada
komposisi kelas lipid yaitu lebih banyak wax ester dibandingkan dengan kolesterol ester
dan pada komposisi asam lemak ester lipid. Perubahan kuantitas dan komposisi sebum di
mana terjadi peningkatan wax ester dan kecenderungan dari trigliserida ke rantai asam
lemak lebih pendek merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
ketombe.
c. Peran mikroba
Malassezia (dulu dinamai Pityrosporum) merupakan bagian normal dari flora kulit.
Jamur lipofilik ini dianggap berperan pada terjadinya ketombe. Selama terjadinya
ketombe, level Malassezia meningkat 1,5 2 kali dari level normalnya. Karena
memerlukan lemak untuk tumbuh maka jamur ini ditemukan di bagian-bagian tubuh yang
kaya lemak, khususnya di dada, punggung, wajah, dan kulit kepala. Proliferasi
Malassezia, dan adanya pseudohifa pada pemeriksaan mikroskopik dengan KOH,
mengaitkan Malassezia furfur dan spesies Malassezia lain dengan pitiriasis versikolor.
Sebaliknya, ragi Malassezia pada kerokan kulit dari pasien dengan dandruff atau
dermatitis seboroik hanya dapat terlihat dengan teknik pulasan periodic Acid-Schiff (PAS)
pada jaringan yang difiksasi formalin atau Wright-Giemsa, Nile Blue, atau merah netral
pada apusan baru. Pada skuama ketombe tidak ditemukan pseudohifa (Park HK, et al,
2012). Malassezia terdapat pada kulit kepala normal atau dengan ketombe dan
merupakan mikroorganisme terbanyak pada keduanya. Mikroorganisme umum lain yang
dapat ditemukan dari kulit kepala adalah kokus aerob dan Propionibacterium acnes.
Peran bakteri dalam pembentukan ketombe diperkirakan kecil karena obat antijamur
selektif merupakan terapi yang paling efektif. Namun, pada beberapa pasien yang tidak
berespon terhadap sampo antijamur sering dijumpai kolonisasi bakteri yang berlebihan.
Dalam hal ini, mungkin terjadi peradangan yang dipicu oleh kolonisasi bakteri. Secara
umum, kulit kepala dengan ketombe mengandung lebih banyak sel ragi daripada kulit
kepala tanpa ketombe, namun jumlah dan distribusi sel ragi kurang penting dibandingkan
dengan respon pejamu terhadap keberadaan mereka. Eliminasi sel ragi akan diikuti oleh
berkurangnya skuama dan rekolonisasi diikuti oleh kambuhnya deskuamasi. Dengan
menggunakan berbagai penanda molekuler, maka teridentifikasi paling sedikit 10 spesies
dalam genus Malassezia : M. globosa, M. restricta, M. obtuse, M. slooffiae, M.
sympodialis, M. furfur, M. nana, M.japonica, M. yamatoensis, dan M. pachydermatis.
Masing-masing spesies memiliki karakteristik biokimia dan genetik spesifik. Dengan
teknik-teknik molekuler didapatkan bahwa skuama dari pasien dengan ketombe dan
orang normal memperlihatkan spesies yang sama, namun pasien dengan ketombe
memiliki prevalens yang lebih tinggi untuk setiap spesies. Spesies yang paling prevalen
adalah M. restricta (dahulu P. ovale) dan M. globosa (dahulu P. orbiculare) (Park HK, et
al, 2012). Peran jamur dalam menimbulkan kelainan diduga berhubungan dengan
mekanisme imunologis, tetapi kemungkinan juga efek langsung organisme dalam
menstimulasi respon inflamasi karena ragi tersebut dapat memproduksi sejumlah iritan
antara lain lipase, peroksidase, asam lemak bebas tak jenuh, dan trigliserida tak jenuh.
Malassezia yang bersifat lipofilik menggunakan lipid sebum sebagai sumber nutrisi, dan
produksi sebum dihipotesiskan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan Malassezia.
Menurut teori yang ada, peningkatan dalam produksi sebum dan proliferasi Malassezia
dapat mencetuskan terjadinya ketombe. Malassezia yang dijumpai di permukaan kulit
kepala dan di dalam infundibulum folikel dapat mensekresikan enzim hidrolitik, termasuk
lipase, ke lingkungan ekstraseluler. Enzim lipase ini akan membelah trigliserida sebasea
ke asam lemak bebas dan gliserol. Selanjutnya, Malassezia mengkonsumsi asam lemak
tersaturasi yang diperlukan untuk proliferasinya dan meninggalkan sejumlah asam lemak
bebas tidak tersaturasi yang bersifat iritan. Asam lemak bebas yang tidak tersaturasi ini
berpenetrasi ke epidermis, dan pada individu yang rentan akan menginduksi penerobosan
fungsi barier kulit, menginduksi iritasi dan selanjutnya hiperproliferasi dan pengelupasan
kulit (Turner GA, et al, 2012).
d. Peran kerentanan individu
Meskipun Malassezia globosa dijumpai pada hampir semua manusia namun hanya 0,5
0,75 di antaranya yang menderita ketombe. Perbedaan antara individu yang rentan
dengan ketombe dan tidak rentan masih tidak jelas. Terdapat berbagai kemungkinan di
antaranya, perbedaan bawaan dalam fungsi barier stratum korneum, permeabilitas kulit,
dan respon imun terhadap asam lemak bebas atau protein dan polisakarida dari
Malassezia (Dawson TL, 2007).
e. Peradangan
Malassezia dapat memicu reaksi peradangan melalui pengaktivan tolllike receptor (TLR)
yang menyebabkan pembentukan sitokin melalui sistem imun bawaan. TLR2
diperkirakan berperan dalam reaksi terhadap Malassezia furfur, di mana ekstrak ragi
tanpa lemak menginduksi pembentukan TNF-, IL-6, dan IL-1, sementara ekstrak ragi
total tidak menyebabkan pembentukan sitokin-sitokin pro-inflamasi dalam jumlah
signifikan. Keratinosit manusia yang terinfeksi M. furfur memperlihatkan peningkatan
ekspresi TLR2, myeloid differentiation factor 88 (MyD88), peptida antimikroba defensin 2 dan 3, serta mRNA interleukin-8 (IL-8). Efek ini dapat dihambat oleh antibodi
anti-TLR2. Jenis-jenis sitokin yang terinduksi berbeda sesuai spesies Malassezia yang
diteliti, M. globosa menginduksi IL-5, IL-10, dan IL-13 sementara M. restricta
menginduksi IL-4 (Schwartz JR, et al, 2010). Aktivitas lipase merupakan mekanisme
yang dapat mengaitkan ragi Malassezia dengan pembentukan skuama dan peradangan
pada ketombe dan dermatitis seboroik. Sebum dari pasien dengan ketombe
memperlihatkan kadar asam lemak tak-jenuh yang tinggi; kadarnya pulih ke normal
setelah terapi sampo antimikroba.
f. Faktor non-mikroba lainnya
Paparan berlebihan terhadap sinar matahari diketahui menyebabkan deskuamasi kulit
kepala. Iritasi minimal kulit kepala karena pemakaian sampo berlebihan, penyisiran yang
terlalu sering, penggunaan produk kosmetik rambut tertentu, debu dan kotoran, dapat
menyebabkan ketombe (Park HK, 2012). Penggunaan sampo yang tepat tidak akan
mengeringkan rambut atau kulit kepala dan akan memperlambat produksi dan pelepasan
sel kulit di kulit kepala yang akan berperan untuk terjadinya ketombe. Namun, pada
atas dari leher bagian belakang. Psoriasis scalp tidak menyebabkan hilangnya rambut.
Diagnosis psoriasis scalp ditegakkan bila dijumpai gejala klinis yaitu adanya plak
eritematosa yang ditutupi skuama tebal dan berwarna putih keperakan disertai penemuan
pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz yang positif (Ortigosa JS, et al,
2009).
Tinea kapitis tipe gray patch merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur yang
menyerang rambut dan kulit kepala. Diagnosis berdasarkan penemuan klinis yang
ditandai oleh papul merah di sekitar rambut yang kemudian melebar dan membentuk
bercak bersisik yang berbatas tegas dengan daerah alopesia yang berskuama dan terasa
gatal. Rambut di daerah lesi mudah patah dan terlepas dari akarnya dan warna rambut
berubah menjadi abu-abu dan tidak berkilat. Pemeriksaan dengan lampu Wood dan
pemeriksaan mikroskopik dapat membantu menegakkan diagnosis pasti dari penyakit ini
(Budimulja U,2010).
Pedikulosis kapitis merupakan penyakit pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh parasit/kutu Pedikulus humanus kapitis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dijumpai keluhan gatal dan gejala klinis dijumpai erosi,
ekskoriasi, dan infeksi sekunder berupa pus atau krusta yang disebabkan oleh garukan
disertai penemuan pemeriksaan kutu atau telur kutu, terutama di daerah oksiput dan
temporal (Handoko RP, 2010).
Dermatitis kontak merupakan penyakit peradangan kulit yang disebabkan oleh
bahan/substansi yang menempel pada kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dijumpai keluhan gatal atau nyeri dan memiliki riwayat kontak dengan bahan yang
dicurigai sesuai dengan kelainan kulit yang ditemukan dan penemuan klinis dijumpai
gambaran ruam polimorfik berupa eritema, edema, papul, vesikel, skuama dan
likenifikasi tergantung pada stadium penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis
(Sularsito SA, 2010).
objektif dan persepsi sehat yang bersifat subjektif. Meskipun dimensi objektif penting
dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang, namun persepsi serta harapan penderita
dapat mengartikan pengukuran objektif ke dalam kualitas hidup yang sebenarnya.
Harapan terhadap kesehatan dan kemampuan mengatasi sesuatu dengan keadaan yang
terbatas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi sehat serta kepuasan
hidup.
12.3 Hubungan antara ketombe dengan tingkat kualitas hidup
Rambut memiliki peran signifikan dalam kehidupan seseorang, yang tidak hanya
berdampak pada luaran namun dari dalaman juga. Meskipun rambut bukan hal pokok
untuk kesehatan dan kehidupan manusia, perubahan pada kepadatan pertumbuhan
rambut, pola atau perubahan warna dan teksturnya sering dapat menyebabkan stress.
Selain itu, jenis perubahan ini dapat mengindikasikan penyakit sistemik yang mendasari,
termasuk gangguan endokrin, genetik, metabolik, atau nutrisi dan psikiatrik.
Begitu juga, perubahan di kulit kepala pada beberapa kasus dapat menjadi penanda
dari masalah medis yang lebih besar. Dalam hal ini, maka diagnosis yang tepat adalah
penting. Meskipun gangguan rambut dan kulit kepala umumnya tidak terkait dengan
morbiditas fisik yang signifikan dan tidak mengancam kehidupan, dampak psikologis dari
masalah di kulit kepala yang terlihat mungkin sangat tinggi. Perubahan dalam
penampilan rambut dan kulit kepala mempengaruhi harga diri dan kepercayaan diri dalam
lingkungan sosial.
Ketombe merupakan partikel keratin yang terlepas dari kulit. Dijumpai adanya
pergantian konstan sel epidermis di kulit setiap 27 hari. Sepanjang laju pergantian ini
normal, maka sulit untuk melihat sel-sel yang terlepas. Namun, jika laju pergantian ini
meningkat, maka lebih banyak lagi sel-sel keratin mati yang dihasilkan, yang melekat ke
partikel keratin, dan dapat terlihat dengan mata kasar saat sel-sel tersebut luruh. Ketombe
terkait dengan meningkatnya pembaharuan dan pelepasan dari sel-sel di kulit kepala ini.
Gumpalan dari sel-sel kulit mati ini luruh di kulit kepala atau berakumulasi di rambut
sebagai serpihan berwarna putih dan kulit kepala sendiri dapat terasa gatal atau nyeri.
Ketombe dapat mempengaruhi pria maupun wanita, namun lebih banyak
menimbulkan masalah pada wanita karena rambut yang panjang dan kebutuhan untuk