TINJAUAN TEORI
2.1.1 DEFINISI
Tinea verrsikolor adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan tanduk kulit yang disebabkan
oleh malassezia furfur atau pityrosporum orbiculare. Infeksi ini bersifat menahun, ringan, dan
biasanya tanpa peradangan. Pitiriasis versikolor mengenai muka, leher, badan, lengan atas, dan
ketiak, paha, dan lipatan paha.
2.1.2 ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah malassezia furfur, yang dengan pemeriksaan morfologin dan
imunofloresensi indirek ternyata indentik dengan pityrosporum orbiculare.(Madani A, 2000).
Prevalensi Pityriasis versicolor lebih tinggi (50%) di daerah tropis yang bersuhu hangat dan
lembab. (Radiono, 2001)
Beberapa penelitian pada kulit normal dan kulit yang terdapat lesi khususnya kulit yang
dicurigai malassezia beberapa percobaan ada yang menggunakan mikroskopis dan kultur,
karena teknik sampling yang berbeda-beda maka sangat sedikit sekali yang bisa dibandingkan.
Beberapa peneliti menemukan bahwa M. globosa adalah spesies yang paling sering ditemukan
pada pitiriasis versikolor, tetapi para peneliti lain menemukan bahwa M. furfur dan M.
sympodialis adalah spesies predominan dan M. sympodialis sering ditemukan pada kulit normal
2.1.3 PATOFISIOLOGI
Pityriasis Versikolor disebabkan oleh organisme dimorfik, lipofilik yaitu Malassezia furfur,
yang dibiakkan hanya pada media kaya asam lemak rantai C12-C14.Pityrosporon orbiculare,
pityrosporon ovale, dan Malassezia furfur merupakan sinonim dari M. Furfur. M. Furfur
merupakan flora normal kutaneus manusia., dan ditemukan pada 18% bayi dan 90-100%
dewasa.
Pada pasien dengan stadium klinis jamur tersebut dapat ditemukan dalam bentuk spora dan
dalam bentuk filamen (hifa). Faktor-faktor yang menyebabkan berkembang menjadi parasit
sebagai berikut:
Proses depigmentasi kulit pada pityriasis versikolor bersifat subyektif yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, ras, paparan matahari, inflamasi kulit dan efek langsung Pityrosporum pada
melanocytes. Studi histologi, menunjukkan kehadiran sejumlah melanocytes pada daerah noda
lesi degeneratif dari pitiriasis versikolor.Hal ini memberikan petunjuk terjadinya penurunan
produksi melanin, penghambatan transfer melanin pada keratinocytes, kedua hal tersebut
menimbulkan kekurangan melanin pada kulit. Pendapat lain bahwa lesi hipopigmentasi terjadi
karena mekanisme penyaringan sinar matahari oleh jamur, sehingga lesi kulit menjadi lebih
terang dibanding dengan kulit sekitar lesi yang lebih gelap. Namun pendapat ini kurang tepat
untuk menjelaskan hipopigmentasi pada pityriasis versikolor karena beberapa kasus
hipopigmentasi pada pitiriasis versikolor tanpa terpapar oleh sinar matahari.
2.1.4 MANIFESTASI KLINIK
Kelainan kulit pityriasis versikolor sangat superfisial dan tersering ditemukan di badan. Lesi
kulit berupa bercak putih sampai coklat, merah, dan hitam. Di atas lesi terdapat sisik halus.
Bentuk lesi tidak teratur, dapat berbatas tegas atau difusi. Sering didapatkan lesi bentuk
folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas membentuk plakat. Kadan-kadang
di jumpai bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan pelakat ataupun
folikular, atau numular dan pelakat.
Pada umumnya, pityriasis versikolor tidak memberikan keluhan pada penderita, paparan
sinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-kadang warna lesi sulit di lihat, tetapi
skuamanya dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan pada permukaan lesi dengan kuret atau
kuku jari tangan (coup d’angle dari beisner).
Kelainan kulit Pityriasis versicolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di badan.
Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur,
batas jelas sampai difus.Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood.
Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik
sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. (Budimulja,
2002)
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.
Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur
terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.(Budimulja, 2002).Penderita pada
umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna putih (hipopigmentasi) atau
kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan yang umumnya muncul saat
berkeringat(Radiono, 2001).
Bentuk lesi tidak teratur dapat berbatas tegas atau difus.Sering didapatkan lesi bentuk
folikular atau lebih besar, atau bentuk numular yang meluas membentuk plakat.Kadang-kadang
dijumpai bentuk campuran, yaitu folikular dengan numular, folikular dengan plakat ataupun
folikular, atau numular dan plakat. (Madani A, 2000)
Pada kulit yang terang, lesi berupa makula cokelat muda dengan skuama halus di
permukaan, terutama terdapat di badan dan lengan atas.Kelainan ini biasanya bersifat
asimtomatik, hanya berupa gangguan kosmetik.Pada kulit gelap, penampakan yang khas berupa
bercak-bercak hipopigmentasi.Hilangnya pigmen diduga ada hubungannya dengan produksi
asam azelaik oleh ragi, yang menghambat tironase dan dengan demikian mengganggu produksi
melanin.Inilah sebabnya mengapa lesi berwarna cokelat pada kulit yang pucat tidak
diketahui.Variasi warna yang tergantung pada warna kulit aslinya merupakan sebab mengapa
penyakit tersebut dinamakan ‘Versicolor’. (Graham-Brown, 2005)
Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor terjadi karena aktivasi Malassezia furfur pada
tubuh penderita sendiri (autothocus flora), walaupun dilaporkan pula adanya penularan dari
individu lain. Kondisi patogen terjadi bila terdapat perubahan keseimbangan hubungan antara
hospes dengan ragi sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu Malassezia furfur akan
berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Keadaan yang mempengaruhi
keseimbangan antara hospes dengan ragi tersebut diduga adalah faktor lingkungan atau faktor
individual.Faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya
kelembaban kulit. Sedangkan faktor individual antara lain adanya kecenderungan genetik, atau
adanya penyakit yang mendasari misalnya sindrom Cushing atau malnutrisi. (Radiono, 2001)
2.1.6 PATOGENESIS
Pityriasis versicolor timbul bila Malassezia furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia
karena adanya faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen.(Partogi, 2008)
1. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat,(Budimulja, 2001). Hal ini
merupakan penyebab sehingga Pityriasis versicolor banyak di jumpai di daerah tropis dan pada
musim panas di daerah subtropis. Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau
kosmetik dimana akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2,mikroflora dan pH.
(Partogi, 2008)
2. Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis seboroik,sindrom cushing,
terapi imunosupresan, hiperhidrosis, dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu bisa juga
karena Diabetes Melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan penyakit – penyakit
berat lainnya yang dapat mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor. (Partogi, 2008)
Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari yang masuk ke
dalam lapisan kulit akan mengganggu proses pembentukan melanin, adanya toksin yang
langsung menghambat pembentukan melanin, dan adanya asam azeleat yang dihasilkan oleh
Pityrosporum dari asam lemak dalam serum yang merupakan inhibitor kompetitf dari tirosinase.
(Partogi, 2008).
2.1.7 PENATALAKSANAAN
Berbagai bentuk sampo dapat digosokan ke seluruh tubuh 1-1,5 jam sebelum mandi, selama
10 hari sampai 2 minggu. Berbagai solusio di oleskan 2 kali sehari selama 2 minggu bentuk
salep maupun krim biasanya kurang serasi, oleh karrena pemakaianya meliputi seluruh tubuh
sehingga mahal harganya.
Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari dapat dipertimbangan untuk kasus yang
sulit. Demikian juga intrakonazol 100 mg per hari semala 2 minggu dapat bermanfaat, namun
reaksi obat ini agak terlambat dan penyembuhan justru terjadi 1-2 minggu setelah obat di
hentikan. Yang menjadi masalah adalah kekambuhan dan bercak hipopingmentasi
pascainflementasi. Pityrosforum orbiculare merupakan flora normal kulit sehingga sering
timbul reinfeksi sedangkan bercak hipopigmentasi pascainflamsi terjadi karena asam azeleat
yang dikeluarkan p. Orbiculare menghambat pembentukan melanin.
1. Pengobatan Topikal
2. Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat yang dapat
digunakan ialah :
a. Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada
lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi
b.Salisil spiritus 10%
c. Turunan azol, misalnya : mikozanol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol dalam bentuk
topikal
d.Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%
e. Larutan Natrium Tiosulfas 25%, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu.
(Partogi, 2008)
3. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas atau jika
pemakaian obat topikal tidak berhasil. Obat yang dapat diberikanadalah :
a. Ketoconazole
Dosis: 200 mg per hari selama 10 hari
b. FluconazoleDosis: dosis tunggal 150-300 mg setiap minggu
c. Itraconazole
Dosis: 100 mg per hari selama 2 minggu. (Madani A, 2000)
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan keperawatan (askep) pada klien gangguan integumen, seperti kusta, skabies, tinea
(jamur) umumnya belum ada rencana asuhan keperawatan khusus dan belum banyak ditemukan
pada buku ajar. Beberapa askep integumen yang sudah baku dan dapat kita temukan pada
beberapa literatur antara lain adalah askep luka baker dan askep psoriasis. Sehingga askep kulit
abnormal dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun rencana keperawatan pada klien
yang mengalami gangguan integumen, tentunya disesuaikan dengan data yang ditemukan pada
pengkajian.
3.1 PENGKAJIAN
Riwayat kesehatan dan observasi langsung memberikan infomasi mengenai persepsi klien
terhadap dermatosis, bagaimana kelainan kulit dimulai?, apa pemicu?, apa yang meredakan atau
mengurangi gejala?, termasuk masalah fisik/emosional yang dialami klien?. Pengkajian fisik
harus dilakukan secara lengkap.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
1. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkan
diri sendiri.
Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang
tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap
konsep diri.
2. Identifikasi stadium psikososial terhadap perkembangan.
Rasional: Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi
serta pemahaman klien terhadap kondisi kulitnya.
3. Berikan kesempatan pengungkapan perasaan.
Rasional: klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
4. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien, bantu klien yang cemas
mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.
Rasional: Memberikan kesempatan pada petugas untuk menetralkan kecemasan
yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi, ketakutan merusak
adaptasi klien .
5. Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri , spt merias, merapikan.
Rasional: membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.
6. Mendorong sosialisasi dengan orang lain.
Rasional: membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.
Kriteria Keberhasilan Implementasi
a. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
b. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
c. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
d. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.
e. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.
f. Tampak tidak meprihatinkan kondisi.
g. Menggunakan teknik penyembunyian kekurangan dan menekankan teknik untuk
meningkatkan penampilanKurang pengetahuan tentang program terapi
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Tinea versikolor merupakan suatu infeksi yang agak sering terjadi (terutama pada dewasa
muda), yang disebabkan oleh jamur Pytirosporum orbiculare.
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai kelembabab
tinggi. Pitiriasis versiklor, atau tinea versikolor, atau panu termasuk mikosis superfisialis yang
sering dijumpai.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi
kulit dengan lampu Wood, dan sedian langsung.
Obat ini digunakan jika lesi sulit disembuhkan atau luas. Ketokonazol dapat
dipertibangkan dengan dosis 1 kali 200 mg sehari selama 10 hari.
Obat-obat lain ialah salisil spiritus 10%; derivat-derivat azol, misalnya mikonazol,
krotrimazol, isokonazol, dan ekonazol; sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%; toksiklat;
tolnaftat, dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat pula digunakan; dioleskan sehari
2 kali sehabis mandi selama 2 minggu, tetapi obat ini berbau tidak enak.
4.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya bias lebih baik lagi, atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.