Anda di halaman 1dari 42

CASE REPORT SESSION

AkRODERMATITIS ENTEROPATIKA

Disusun oleh:
dr. Nenggi Nisa Nuraeni
Dokter penanggung jawab pasien :

Dokter pembimbing :

dr. Sumarmi

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Akrodermatitis Enteropatika(AE) merupakan penyakit genetik autosomal


resesif, yang disebabkan oleh kelainan metabolisme pada waktu kelahiran yang
menyebabkan malabsorbsi dan defisiensi zink, ditandai dengan adanya erupsi
kulit di ekstremitas atau disekitar orifisium yang terdapat pada tubuh, kehilangan
rambut (alopesia), diare atau gangguan gastrointestinal lainnya, dan gangguan
pertumbuhan. 1,2,3,4,5

Prevalensi AE adalah 1 hingga 9: 1.000.000, dengan tingkat kejadian


global 1: 500.000 bayi baru lahir. Itu muncul di antara semua kelompok, terlepas
dari etnis atau jenis kelamin. Penyakit ini biasanya bermanifestasi selama masa
bayi, selama bayi disusui, dan sebelumnya pada bayi yang diberi susu
formula. Kekurangan seng yang didapat dapat bermanifestasi pada usia berapa
pun.1
BAB II
TINJAUAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. N
Jenis Kelamin : perempuan
TTL : 19-12-2019 (0 th 5 bulan)
Anak ke : ke 3
Alamat : Dusun Sindangmulya- Pakembangan
Tgl Masuk : 24 Mei 2020
Tgl Pemeriksaan : 25 Mei 2020

2.2 Identitas Orang tua Pasien

Nama : Ny. S
Usia : 32 tahun
Pendidikan terakhir : SD
Alamat :Dusun sindangmulya- pakembangan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

2.3 Anamnesis
2.3.1 Keluhan Utama
Bercak kemerahan disertai lecet dan mengelupas di selruh tubuh, yang
membuat anak menjadi rewel

2.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa orang tuanya ke IGD RSUD 45 Kuningan dengan


Bercak kemerahan disertai lecet dan mengelupas seluruh tubuh yang
membuat anak menjadi rewel, awal keluahan dirasakan sejak 2 bulan
SMRS, 3 hari SMRS keluhan semakin meluas dan disertai demam yang
hilang timbul (+),batuk (-), pilek (-), sesak (-), bersin-bersin pagi hari (-),
mual (-), muntah (-). 1 hari SMRS keluah disertai pula dengan BAB cair
sebanyak 3x berwarna kuning(+) tiap BAB ± ¼ gelas belimbing, ampas
(+), lendir (-), darah (-). Menyusu kuat ASI (+), gerak aktif(+), rewel
(+),riwayat alergi obat/makanan (-).
Sudah pernah berobat ke dokter dan diberikan obat salep serta obat
sirup (kandungan tidak diketahui keluarga),tidak rutin control (+), dan
keluhan belum membaik.
2.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit Serupa : diakui (pada usia 2 bulan)
- Riwayat mondok : disangkal
- Riwayat batuk lama : disangkal
- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
2.3.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit pada keluarga yang diturunkan dan ditularkan
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi makanan & obat dll : disangkal
- Riwayat bersin bersin pagi hari : disangkal

2.3.5 Riwayat Penyakit Kehamilan dan Persalinan


Pasien merupakan anak ke tiga dari Ibu P3A0, lahir di puskesmas
secara spontan, dengan usia kehamilan cukup bulan. Pasien lahir dengan
berat badan lahir 2500 gram. Ketika lahir pasien langsung menangis.
Selama kehamilan ibu pasien cukup sering mekakukan kontrol kehamilan
ke bidan di puskesmas, dan rutin mengonsumsi tablet penambah darah.
Selama hamil ibu pasien tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan
kejang dalam kehamilan.

2.3.6 Riwayat Imunisasi

Jenis Usia Tempat

Di
Hepatitis B 0bulan
puskesmas

BCG 1 bulan Di pusksmas

DPT 2 bulan Dipuskesmas

Polio 0,2 bulan Dipuskesmas

Campak - -

2.3.7 Riwayat Sosioekonomi


Ayah pasien seorang petani dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga.
Pasien merupakan anak dari keluarga dengan tingkat sosio-ekonomi
menengah kebawah
2.3.8 Riwayat Makanan
Usia 0 – sekarang : ASI
Konsumsi makanan ibu: 2-3 x sehari, berisi nasi + sayur+lauk(terlur/

2.4 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 30 Maret 2020)


– Keadaan umum : menangis kuat, gerak aktif
– Kesadaran : Compos mentis
– Tanda Vital (30/03/2020):
- Nadi : 130 kali / menit, reguler, equal, isi cukup
- Respirasi : 34 kali / menit
- Suhu : 37O C
– Antropometri:
BB: 5,1 kg
TB: 57 cm
BB/PB: 0 s/d -1 SD
BB/U: <-3 SD
TB/U: <-3 SD
Kesan: Perawakan sangat pendek, gizi buruk

KEPALA
 Bentuk : normocephalic, simetris
 Rambut : alopecia
 Mata : simetris, pupil bulat isokor, sklera ikterik (-/-),
konjungtiva anemis (-/-), refleks cahaya (+/+), edema palpebral (-/-), secret
(+/+),conjungtiva hiperemi (+/+)

 Hidung : bentuk normal, simetris, mukosa hiperemis (-/-),


deviasi septum (-/-), epistaksis (-/-), sekret (-/-), PCH (-/-)
 Telinga : bentuk dan letak normal, simetris (+), sekret (-/-)

MULUT:
 Bibir : mukosa oral kering, mengelupas (+)
 Gigi : belum tumbuh gigi
 Gusi : hiperemis (-), edema (-), darah (-)
 Faring : hiperemis (-)
 Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
LEHER
JVP : tidak terdapat peningkatan JVP
Kel. Tiroid : tidak terdapat pembesaran kel. tiroid
KGB : tidak terdapat pembesaran KGB
Retraksi suprasternal : tidak ada
Spider naevi : (-)

THORAX ANTERIOR
Paru-paru

- Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris


retraksi intercostal (-)

- Palpasi : pelebaran sela iga (-), pergerakan simetris, tactile


fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor diseluruh lapang paru (+)
- Auskultasi : VBS kanan=kiri, wheezing (-/-), ronchi (-/-),
slem (-/-)

Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V midclavicular line
sinistra, tidak kuat angkat (-), thrill (-)
- Perkusi : tidak terdapat pembesaran jantung
- Auskultasi : S1 dan S2 murni, regular, murmur (-), gallop (-)

THORAX POSTERIOR
- Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dada simetris
- Palpasi : pelebaran sela iga (-), pergerakan simetris, tactile
fremitus kanan = kiri
- Perkusi : sonor diseluruh lapang paru (+)
- Auskultasi : VBS kanan=kiri, wheezing (-/-), ronchi (-/-)
ABDOMEN
- Inspeksi : cembung, retraksi epigastrium (-)
- Auskultasi : bising usus (+)
- Palpasi : lembut, nyeri tekan (-)
- Perkusi : tympani (+)
- Hepar : tidak teraba pembesaran
- Spleen : tidak teraba pembesaran

ANOGENITAL : Tidak ada kelainan

EKSTRIMITAS :
- Tonus : tonus normal
- Trofi : tidak ada atrofi maupun hipertrofi
- Kanan atas : bentuk normal, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT
<2 detik
- Kanan bawah : bentuk normal, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT
<2 detik
- Kiri atas : bentuk normal, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT
<2 detik
- Kiri bawah : bentuk normal, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT
<2 detik
STATUS DERMATOLOGIS:
Neutrofil Segmen 57,0% 25,0-50,0
Limfosit 29,0% L 60,0-66,0
Monosit 11% H 2,0-9,0

2.6 Resume
 An. N, perempuan usia 5 bulan
 Bercak kemerahan disertai lecet dan mengelupas di selruh tubuh, yang
membuat anak menjadi rewel
 Awal keluahan dirasakan sejak 2 bulan SMRS
 3 hari SMRS keluhan semakin meluas dan disertai demam yang hilang
timbul (+), batuk (-), pilek (-), sesak (-), bersin-bersin pagi hari (-),
mual (-), muntah (-).
 1 hari SMRS keluah disertai pula dengan BAB cair sebanyak 3x
berwarna kuning(+) tiap BAB ± ¼ gelas belimbing, ampas (+), lendir
(-), darah (-). Menyusu kuat (+), gerak aktif(+), rewel (+)
 Sudah pernah berobat ke dokter dan diberikan obat salep serta obat
sirup (kandungan tidak diketahui keluarga), tetapi keluhan belum
membaik.
 Riw. Keluhan serupa (+) saat usia 2 bulan, riwayat alergi
makanan/obat/dingin (-), Riwayat penyakit keluarga (-).
 Riwayat Sosioekonomi menengah kebawah, Riwayat makanan pasien
usia 0-sekarang ASI, intake cukup (+), riw makanan ibu intake cukup
(+)
 Pemeriksaan Fisik:
o HR: 130x/menit
o RR: 34x/menit
o Suhu: 37,0C
o BB: 5,1 kg
o Status Gizi:
 PB: 60 cm
 BB/PB: 0 s/d -1 SD
 BB/U: <-3 SD
 TB/U: <-3 SD
 Perawakan sangat pendek, gizi buruk
 Kepala : alopesia
 Status dermatologis :
o Distribusi: generalisata
o Efloresensi : a/r hampir seluruh bagian tubuh terdapat
macula eritem multiple sebagian hiperpigmentasi berbatas
tegas, bersquama, erosi.
 Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai trombosit 647.000
(trombositosis) basophil 2,0% (basofilia), monosit 11% (monositosis),
limfosit 29,0 % (limfositopenia)

2.7 Diagnosis Banding


 Aquered Zink Deficiency
 Dermatitis Atopik

2.8 Diagnosis
Akrodermatitis enteropatika

2.9 Penatalaksanaan
- IUVD KAEN IB20 tpm mikro
- Cefotaxim3x130mg
- Zink 1x1ml
- Paracetamol drop 4x0,6ml
- Kompres Nacl 0,9 %2x/hari (luka erosi)
- Cream gentamicyb 0,1% 2x1
- Cream tropicar plus 2x1 (luka kering)
- Vaselin cream kasa lembab (Nacl) ½ jam pada luka kering yang berkrusta
tebal

2.10 Prognosis
Quo Ad Vitam: ad bonam
Quo Ad Functionam: ad bonam
Quo Ad Sanationam: dubia ad bonam

Follow up
25/05/2020 26/05/2020 27/05/2020 28/05/2020
S: S: S: S:
Kulit merah mengelupas Kulit merah mengelupas Kulit merah mengelupas (+) Kulit merah mengelupas
seluruh tubuh (+), demam (-), (+), diare (+) 1x ampas (+), sedikit membaik, demam sedikit membaik (+), diare
diare (+) 2x ampas (+), lendir lendir darah (-), demam (+), diare (-), ASI (+), (-), demam (-) ASI (+),
darah (-), ASI (+), mual (-), (+)ASI (+),Mata bersekret Mata bersekret (+), mual (-), Mata bersekret (+)
muntah (-), BAK (+) (+), mual (-), muntah (-), muntah (-), BAK (+) berkurang, mual (-), muntah
BAK (+) (-), BAK (+)

O: O: O: O:
KU; menangis kuat gerak aktif KU; menangis kuat gerak KU; menangis kuat gerak KU; menangis kuat gerak
GCS: CM aktif aktif aktif
HR: 130 GCS: CM GCS: CM GCS: CM
RR: 30x HR: 132 HR: 130 HR: 130
S : 36,5 RR: 32x RR: 28x RR: 32x
BB: 5,1 kg S : 37,6 S : 37,8 S : 36,2
BB: 5,1 kg BB: 5,1 kg BB: 5,1 kg
Status deratologis:
Distribusi: geenealisata Status deratologis: Status deratologis: Status deratologis:
Efloresensi : /r hampir Distribusi: geenealisata Distribusi: geenealisata Distribusi: geenealisata
seluruh bagian tubuh Efloresensi : /r hampir Efloresensi : /r hampir Efloresensi : /r hampir
terdapat macula eritem seluruh bagian tubuh seluruh bagian tubuh seluruh bagian tubuh
multiple sebagian terdapat macula eritem terdapat macula eritem terdapat macula eritem
hiperpigmentasi berbatas multiple sebagian multiple sebagian multiple sebagian
tegas, bersquama, erosi hiperpigmentasi berbatas hiperpigmentasi berbatas hiperpigmentasi berbatas
tegas, bersquama, erosi tegas, bersquama, erosi tegas, bersquama, erosi

Status oftalmologis:
Visus ODS: respon
terhadap cahaya +/+
Segmen anterior ODS:
hiperemi konjungtiva +/+
Kornea kesan jernih +/+
A: akrodermatitis enteropatika Akrodermatitis Akrodermatitis enteropatika Akrodermatitis enteropatika
dd aquaired zink deficiency enteropatika dd aquaired dd aquaired zink deficiency dd aquaired zink deficiency
zink deficiency Konjungtivitis Konjungtivitis
Konjungtivitis (susp.
Secunder infection e.c
manifestasi erupsi kulit)
P: - Fixacep drop - Fixacep drop BLPL
- Ivfd kaen 1 B 20 2x0,8ml 2x0,8ml - Fixacep drop
tpmlepas,akses sulit - Zink pro 1x1ml - Zink pro 1x1ml 2x0,8ml
- Cefotaxim tunda - Paracetamol drop - Paracetamol drop - Zink pro 1x1ml
- Fixacep drop 2x0,8ml 4x0,6ml 4x0,6ml - Paracetamol drop
- Zink pro 1x1ml - Kompres Nacl 0,9 - Kompres Nacl 0,9 4x0,6ml
- Paracetamol drop %2x/hari (luka %2x/hari (luka - Kompres Nacl 0,9
4x0,6ml erosi) erosi) %2x/hari (luka
- Kompres Nacl 0,9 - Cream - Cream gentamicyn erosi)
%2x/hari (luka erosi) gentamicyn 0,1% 0,1% 2x1 - Cream gentamicyn
- Cream gentamicyn 2x1 - Cream tropicare 0,1% 2x1
0,1% 2x1 - Cream tropicare plus 2x1 (luka - Cream tropicare
- Cream tropicare plus plus 2x1 (luka kering) plus 2x1 (luka
2x1 (luka kering) kering) - Vaselin cream kasa kering)
- Vaselin cream kasa - Vaselin cream lembab (Nacl) ½ - Vaselin cream kasa
lembab (Nacl) ½ jam kasa lembab jam (luka berkrusta lembab (Nacl) ½
(luka berkrusta tebal) (Nacl) ½ jam tebal) jam (luka berkusta
(luka berkrusta - Floxa 6x1ods tebal)
tebal) - PASI 12x30 ml - Floxa 6x1ods
- Konsul Sp.M - Olivoil coconut - PASI 12x30 ml
Floxa 6x1ods 2x/hari (krusta - Olivoil coconut
- PASI 12x30 ml tebal) 2x/hari (krusta
- Pem. Zink ke tebal)
prodiaakses IV
tidak berhasil
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Zink
a. Fungsi Zink
Seng merupakan elemen esensial yang penting, tidak hanya untuk
manusia, tetapi juga untuk semua organisme. Mineral ini merupakan salah
satu komponen dari 300 enzim dan protein lainnya, yang sangat berperan
dalam mendukung kesehatan tubuh, agar metabolisme protein dan
metabolisme asam nukleat terjadi optimal, seperti dalam pertumbuhan dan
pembelahan sel, seng dibutuhkan dalam jumlah yang cukup.12 Seng
berperan dalam fungsi biologis sebagai struktur pendukung, katalisator, dan
regulator dalam tubuh manusia.4,13 Sebagai struktur pendukung, seng
berfungsi dalam membentuk zinc finger motif yaitu ion seng yang berikatan
dengan residu sistein dan histidin pada peptida membentuk struktur tiga
dimensi seperti jari,17 berperan dalam menstabilkan berbagai macam protein,
lipid, dan asam nukleat.14 Seng juga berperan sebagai katalisator pada
metalloenzyme, yaitu enzim yang mengandung ion logam sebagai kofaktor,
antara lain karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase, alkalin fosfatase, dan
ribonucleic acid (RNA) polimerase. Selain itu, seng sebagai regulator dapat
berikatan dengan zinc dependent protein, dalam mengatur ekspresi gen yang
berespons terhadap keberadaan ion logam dan stres oksidatif.4

b. Metabolisme dan Homeostasis Seng pada Tubuh


Tubuh manusia dewasa mengandung 2-3 gram seng, sekitar 60% berada di
dalam otot, 30% di dalam tulang, 5% di dalam hati dan kulit, serta 2-3%
sisanya berada pada jaringan lain. Kadar seng serum hanya sekitar 0.1% dari
total seng tubuh,9 yaitu sekitar 12-16 µM.14 Dari jumlah tersebut, 80%
diantaranya berikatan secara longgar dengan albumin, dan 20% berikatan kuat
dengan α2macroglobulin. Absorpsi seng di duodenum dan jejunum diatur
secara ketat, sehingga penyerapan dapat meningkat sampai 90% ketika
asupan sangat kurang. Apabila jumlah seng dalam tubuh berlebih, terjadi
peningkatan pembuangan seng melalui gastrointestinal, melalui pengelupasan
sel mukosa dan integumen, serta ekskresi ginjal.(Gambar 1)14

c. Transporter Seng
Transporter seng yaitu agen yang berperan dalam memindahkan seng
melewati membran sel.16 Transporter seng pada sel terdiri dari dua
kelompok,17 yaitu zinc transporter (ZnT) dan ZIP.14,16 ZnT berfungsi
memindahkan seng dan atau logam lainnya dari sitoplasma ke dalam lumen
organel intraseluler atau ke luar sel, sedangkan ZIP berfungsi memindahkan
seng dan atau logam lainnya dari ruangan ekstraseluler atau lumen organel ke
dalam sitoplasma.14 (Gambar 2) Transporter ZIP dapat ditemukan pada
bakteri, jamur, tumbuh-tumbuhan, dan mamalia. Sebagian besar protein ZIP
memiliki delapan struktur predicted transmembran domain yang terdapat pada
membran plasma, dengan struktur N- dan C- termini pada bagian
ekstrasitoplasmik. Selain itu terdapat pula struktur histidin-rich yang diduga
berfungsi dalam pengaturan transpor seng, terletak pada transmembrane
domain 3 dan 4.16 (Gambar 2) ZnT juga dapat ditemukan pada semua
organisme, sebagian besar mempunyai enam predicted transmembran
domain. Pada cytoplasmic loop di antara transmembrane domain 4 dan 5,
terdapat struktur histidine-rich motifs yang berperan mengikat ion logam saat
terjadi proses transportasi.19 (Gambar 2)

Gambar 2. Transportase zink


d. Pengaturan Seng Intraselular
Seng didistribusikan ke dalam sitoplasma sebanyak 50%, ke dalam nukleus
30-40%, dan ke dalam membran sel sebanyak 10%. Homeostasis seng diatur
melalui proses pengambilan, penyebaran, penyimpanan, dan efluks.
Metallothionein (MT), transporter ZnT dan ZIP memegang peranan yang
penting dalam mempertahankan homeostasis seng dalam sel.14
Homeostasis seng pada tingkat selular, diatur melalui beberapa mekanisme,
yaitu sebagai berikut: (Gambar 3)
1. Transportasi seng oleh ZIP dan ZnT melewati membran plasma.
2. Melalui zinc-binding protein seperti MT.
3. Transporter-mediated sequestration ke dalam organel intraseluler, seperti
retikulum endoplasma, Golgi, dan lisosom.12
4. Disimpan dalam zincosome yaitu vesikel tempat penyimpanan seng dalam
sel. Zincosome berfungsi menyimpan seng jika kadarnya berlebih,16 dan
dilepaskan jika ada stimulasi, misalnya oleh growth hormone.12
5. Melalui sistem metallothionein/ thionein.
Ion seng yang bebas di sitoplasma, akan diikat oleh apo-protein thionein
(Tred), membentuk struktur MT. MT akan berikatan dengan metal-response
element-binding transcription factor (MTF)-1 pada inti sel.12 MTF-1,
merupakan satu-satunya zinc-sensing transcription factor. Ketika terjadi
peningkatan kadar seng di dalam sel, maka MTF-1 akan meningkatkan
transkripsi gen-gen yang berperan dalam mengurangi toksisitas seng, seperti
gen MT dan ZnT, dan menurunkan ekspresi gen-gen yang berperan dalam
pengambilan seng seperti gen ZIP.14
Gambar 3. Pengaturan seng intraseluler

e. Sumber dan Angka Kebutuhan Seng


Sumber makanan yang mengandung seng antara lain daging merah,
hati, ginjal, ikan, kerang, daging unggas, lobster, kacang-kacangan,
sayur-sayuran, gandum, dan susu.18,19 Sayur-sayuran dan gandum
mengandung phytate, lignin, dan serat yang menghambat penyerapan
seng di usus.19 Namun, buah-buahan yang dikonsumsi bersamaan
dengan sayuran dan gandum dapat meningkatkan penyerapan seng.18
Air susu ibu diserap lebih baik dibandingkan susu sapi dan susu
kedelai, karena mengandung zinc-binding ligand.1 Kalsium dan kasein
yang tinggi pada susu sapi serta phytate pada susu kedelai dapat
mengganggu penyerapan seng di usus.18 Asupan seng yang
direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) adalah 13
mg/hari untuk bayi usia enam sampai 12 bulan, 23 mg/hari untuk anak
usia satu sampai enam tahun, 28 mg/hari untuk anak usia enam sampai
10 tahun, 32 mg/hari untuk anak perempuan usia 10 sampai 12 tahun,
34 mg/hari untuk anak laki-laki usia 10 sampai 12 tahun, 36 mg/hari
untuk anak perempuan usia 12 sampai 15 tahun, dan 40 mg/hari untuk
anak laki-laki usia 12 sampai 15 tahun.20
2. AKRODERMATITIS ENTEROPATIKA
a. Definisi
Akrodermatitis Enteropatika(AE) merupakan penyakit genetik
autosomal resesif, yang disebabkan oleh kelainan metabolisme pada
waktu kelahiran yang menyebabkan malabsorbsi dan defisiensi zink,
ditandai dengan adanya erupsi kulit di ekstremitas atau
disekitar orifisium yang terdapat pada tubuh, kehilangan rambut
(alopesia), diare atau gangguan gastrointestinal lainnya, dan gangguan
pertumbuhan. 1,2,3,4,5
b. Epidemiologi
Defisiensi zink terjadi diseluruh dunia, dapat terjadi pada
populasi dengan sindrom malabsorbsi intestinal, penyakit liver,
anoreksia nervosa atau food faddism, luka bakar pada kulit yang luas,
dan sindrom nefrotik. Defisiensi zink iatrogenik dapat dihasilkan dari
pemberian makan secara parenteral dan enteral yang lama, yang terdiri
dari level zink yang tidak adekuat.8
Di Amerika angka kejadiannya tidak diketahui secara pasti,
sedangkan di Denmark diperkirakan 1 : 500.000 orang yang terkena.
Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan jenis kelamin. 13 Intake zink
yang tidak adekuat dapat terjadi pada sepertiga populasi di Asia
selatan dan subsahara Afrika. Dinegara-negara berkembang, kelompok
dengan resiko defisiensi zink terdapat pada vegetarian, alkoholik,
malnutrisi, dan bayi prematur.12 Di Makassar sendiri belum ada yang
melaporkan mengenai jumlah angka kejadian AE.
c. Etiologi dan Patogenesis
Akrodermatitis enteropatika disebabkan mutasi gen
SLC39A41,4 pada kromosom 8q24.3,4,22 yang mengode transporter
seng yaitu ZIP4.1,4 Mutasi yang terjadi pada AE dapat berupa
substitusi beberapa asam amino karena point mutation, terminasi
prematur kodon, insersi, dan delesi. Akibat mutasi tersebut
menyebabkan berkurangnya aktivitas transporter ZIP4 atau hilangnya
fungsi transporter tersebut, yang menyebabkan defisiensi seng.23 ZIP4
terdiri dari delapan protein transmembran, yang berperan sebagai
faktor penting dalam menjaga homeostasis seng, yaitu menyalurkan
seng dari lumen saluran pencernaan ke dalam kompartemen
intraseluler.4 ZIP4 terdapat pada jaringan yang berfungsi dalam
penyerapan nutrisi, seperti pada duodenum, jejunum, dan embryonic
visceral yolk sac.23 Berikut ini, diuraikan mengenai patogenesis
timbulnya gejala pada AE:
i. Patogenesis terjadinya kelainan kulit dan alopesia
Kelainan kulit merupakan gejala utama dari defisiensi
seng. Berdasarkan penelitian Wilson dkk., ditemukan bahwa
mekanisme yang mendasari terjadinya kelainan kulit disebabkan
oleh proses apoptosis. Peran proses apoptosis pada kelainan
kulit, sesuai dengan perubahan seluler yang ditemukan pada
zincdeficient epidermis, berupa dense intracellular bodies,
degenerasi nukleus, dan kromatin yang kasar. Keberadaan
sitokeratin yang terfragmentasi, ditemukan pada stadium akhir
proses apoptosis zinc-deficient skin. Sitokeratin sangat
dibutuhkan untuk menjaga integritas struktur keratinosit, dan
seng berperan dalam polimerisasi sitokeratin.
Degenerasi seluler juga dapat dilihat pada zinc-deficient
skin yang disebabkan oleh terganggunya adhesi antar sel.
Defisiensi seng mempengaruhi E-cadherin, yang berfungsi dalam
menyediakan tempat berikatan untuk sitokeratin. Gangguan pada
E-cadherin menyebabkan kerontokan rambut dan hiperplasia
epidermis.24
ii. Patogenesis terjadinya diare
Keluhan pada saluran pencernaan berupa diare sering muncul
pada awal perjalanan defisiensi seng bersamaan dengan awitan
erupsi kulit. Gejala ini disebabkan oleh gangguan absorpsi air
dan elektrolit pada usus besar, regenerasi epitel saluran
pencernaan yang terhambat, berkurangnya enzim-enzim
saluran pencernaan, serta kurangnya imunitas humoral dan
seluler yang menyebabkan rentan terhadap infeksi patogen.25
iii. patogenesis sistem imun yang menurun
Seng sangat berperan penting pada semua sel dengan daya
proliferasi tinggi, terutama sistem imun, yang dapat
memengaruhi imunitas bawaan maupun didapat. Semua jenis
sel imun menunjukkan penurunan fungsi akibat defisiensi seng.
Fungsi monosit, sitotoksisitas sel natural killer (NK), dan
aktivitas fagosit neutrofil menurun, serta fungsi sel T yang
terganggu.26
iv. Patogenesis terjadinya gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan merupakan gejala kardinal dari
defisiensi seng. Seng berperan dalam proliferasi sel dan
memengaruhi berbagai hormon pertumbuhan seperti growth
hormone (GH) dan insulin-like growth factor I (IGF-I).
Defisiensi seng menyebabkan kegagalan sekresi GH dari
pituitari, yang akhirnya terjadi hambatan pada pertumbuhan.
IGF-I yang berfungsi dalam metabolisme glukosa, asam amino
serta regulasi siklus sel, menurun saat terjadi defisiensi seng.
Seng berfungsi dalam transkripsi enzim timidin kinase yang
mengkatalisis fosforilasi deoksitimidin menjadi deoksitimidin
monofosfat pada pyrimidine salvage pathway. Aktivitas
timidin kinase dibutuhkan pada saat fase proliferasi sel yaitu
G1 dan awal fase S dari siklus sel. Defisiensi seng
menyebabkan gangguan fase proliferasi sel tersebut.27
Hambatan pertumbuhan tulang panjang terjadi pada kondisi
defisiensi seng, hal ini dibuktikan pada tikus percobaan yang
diberikan diet rendah seng. Defisiensi seng menyebabkan
penurunan pertumbuhan lempeng epifisis, akibat penurunan
produksi IGF-1 dan perubahan kuantitatif dari struktur
lempeng epifisis.28
v. Patogenesis terjadinya gangguan penyembuhan luka
Defisiensi seng menyebabkan gangguan penyembuhan luka
karena terjadinya penurunan aktivasi nuclear factor (NF)κβ,
sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL1β, tumor necrosis factor
(TNF)-α, dan infiltrasi neutrofil selama proses awal
penyembuhan luka. Selain itu, seng juga berperan sebagai
antioksidan yang melindungi gugus sulfhidril, dalam menjaga
stabilitas struktur protein. Apabila terdapat defisiensi seng,
maka terjadi peningkatan kerusakan jaringan akibat fungsi
antioksidan yang menurun.29
vi. Patogenesis terjadinya gangguan emosi
Pada sistem saraf pusat, seng terkonsentrasi pada celah sinaps
saraf glutaminergik, yang banyak ditemukan pada bagian
forebrain, terhubung dengan korteks serebral dan struktur
limbik. Pada saat timbul sinyal pada sinaps saraf, seng
dilepaskan sebagai neurotransmiter. Defisiensi seng
menyebabkan perubahan pada perilaku, kemampuan belajar,
dan kondisi mental. Berdasarkan penelitian Takeda dkk. pada
tahun 2000 dan Nowak pada tahun 2005, terdapat hubungan
antara depresi dan kadar seng dalam serum yang rendah.13
vii. Patogenesis penurunan nafsu makan
Defisiensi seng menyebabkan disfungsi sel olfaktori dan
gustatory, dengan mekanisme yang belum diketahui secara
pasti. Diduga defisiensi seng, menyebabkan berkurangnya
enzim gluthatione S-transferase (GST) yang berperan dalam
memelihara epitel dari sel olfaktori.30

d. Manifestasi Klinis
Pada bayi yang diberi air susu ibu, gejala AE timbul setelah
penyapihan, sedangkan bayi yang diberikan susu formula, gejala AE
timbul lebih cepat.1,2,4 Penyakit ini ditandai dengan adanya kelainan
pada kulit, saluran pencernaan, dan alopesia.4
Kelainan pada kulit merupakan gejala awal AE berupa patch
eritematosa,9,10 yang berskuama, berbatas tegas, dapat menjadi lesi
vesikobulosa,9,11 pustulosa,11 psoriasiformis,31 dan erosi.9
Distribusi lesi kulit simetris, pada bagian periorifisium dan
intertriginosa, menyebar secara retroaurikular sampai ke
ekstremitas.11 Infeksi sekunder dapat terjadi7,9 yang disebabkan
kandida, bakteri Gram positif dan negatif.7
Kelainan kuku pada AE dapat terjadi berupa paronikia,10
onikodistrofi, dan onikolisis.9 Pada kasus AE ringan didapatkan
rambut kering dan rapuh, serta alopesia menyeluruh pada kasus
berat.10 Lesi pada membran mukosa seperti gingivitis, stomatitis,
glositis,11 angular cheilitis,9 serta phanere yaitu hilangnya seluruh
rambut, alis, dan bulu mata terjadi setelah kelainan kulit.11
Gambar 4. Lesi kulit pada AE
Kelainan lainnya adalah keluhan pada saluran pencernaan
berupa diare tiga sampai enam kali per hari dengan feses yang pucat
dan kadang cokelat, berlemak, dan berbau.4 Diare dapat menyebabkan
terjadinya dehidrasi, kehilangan mineral dan elektrolit esensial.9
Kelainan lain yang dapat ditemukan pada AE yaitu anoreksia,
gangguan pertumbuhan,11 dan iritabilitas.4 Kelainan pada mata yaitu
konjungtivitis dan fotofobia.9
Diagnosis Banding Akrodermatitis enteropatika dapat
didiagnosis banding dengan acrodermatitis enteropathica-like
syndrome, yang terdiri dari acquired zinc deficiency (AZD) dan
acrodermatitis enteropathica-like eruption (AELE) yang tidak
berhubungan dengan defisiensi seng.31
Acquired zinc deficiency dapat disebabkan faktor diet karena
asupan seng yang kurang atau diet tinggi phytate, kadar seng yang
rendah pada air susu ibu, status fisiologis yang membutuhkan asupan
seng yang tinggi pada bayi prematur,dan beberapa kelainan pada
saluran pencernaan karena malabsorpsi serta insufisiensi hepar atau
pankreas.32 Kelainan-kelainan tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Transient neonatal zinc deficiency (TNZD) Transient
neonatal zinc deficiency memiliki gejala klinis menyerupai
AE, tetapi disebabkan kadar seng yang rendah pada air
susu ibu.33 Rendahnya kadar seng pada air susu ibu
disebabkan gangguan uptake seng oleh kelenjar air susu ibu
dari serum,4 terjadi akibat mutasi transporter seng
SLC30A2 (ZnT-2). Pada keadaan ini, kadar seng dalam air
susu ibu rata-rata hanya 25% dari kadar normal,
menyebabkan defisiensi seng yang parah pada bayi yang
disusui secara eksklusif.

e. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Gold standard untuk diagnosis defisiensi zink adalah
terdapatnya level zink yang rendah dalam plasma, oleh karena itu
pemeriksaan level zink plasma sangat dianjurkan. Penggunaan jarum
yang terkontaminasi, kateter, dan tabung sampel dapat menyebabkan
nilai level zink yang meninggi. Kontak dengan tabung dengan penutup
karet sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan nilai yang tinggi
dari zink. Sampel hemolisa juga tidak akurat karena sel darah merah
dapat mengandung level zink yang sangat tinggi dan lisis dari sel dapat
mengeluarkan zink.8 
Level zink dalam plasma normalnya adalah berkisar dari 70 –
250 µg/dl. Konsentrasi zink plasma kurang dari 50 mcg/dl merupakan
nilai yang dicurigai untuk AE, tapi nilai ini tidak bermakna untuk
diagnostik.8 Sebagai tambahan sebaiknya juga dilakukan pengukuran
konsentrasi zink dalam eritrosit dan rambut. Nilai ini akan berguna
untuk menegakkan diagnosis defisiensi zink, akan tetapi nilai cut-
off untuk menentukan batas normalnya belum
distandarisasi. 12 Penderita AE dengan kadar zink serum yang normal
akan tetapi kadar zink yang rendah pada rambut pernah dilaporkan di
Korea pada tahun 2007.21 Hanya sekitar 10% total zink dalam tubuh
terdapat dalam plasma, dan 75% zink terikat pada albumin.
Konsentrasi zink rata-rata dalam plasma adalah 0,85 µg/ml, sedangkan
dalam otot, liver, ginjal adalah sekitar 50 µg/ml, dan sekitar 100 µg/ml
dalam mata, tulang, prostat dan rambut.21
Pemeriksaan enzim alkaline phospatase (AP) juga perlu
dilakukan. Alkaline phospatase merupakan enzim yang tergantung
pada zink. Nilai dari serum AP merupakan indikator lain yang berguna
untuk status dari zink, dimana nilai AP dapat rendah meskipun level
zink masih normal, dimana hal tersebut merupakan indikasi adanya
suatu defisiensi zink. Peningkatan serum AP setelah pemberian
suplemen zink merupakan konfirmasi untuk penegakan diagnosis.8
Pemeriksaan lain adalah dengan mengukur konsentrasi zinc
regulated protein seperti konsentrasi eritrosit metallothionein.
Pemeriksaan serum albumin sebaiknya juga dilakukan, karena level
zink akan menurun pada keadaan hipoalbuminemia mengingat bahwa
zink akan mengikat albumin pada sirkulasi.12
 
2. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan histopatologi rutin yang
dapat dilakukan jika terdapat kasus dimana level zink dalam plasma
meragukan sehingga diagnosis menjadi tidak jelas. Gambaran
histopatologi yang karakteristik dari AE adalah terdapatnya hiperplasia
psoariasiform yang beragam dengan parakeratosis, spongiosis dan
kepucatan pada bagian atas epidermis, diskeratosis fokal dan atropi
epidermal.(Gambar 4) Temuan ini tidak spesifik karena dapat terlihat
dalam defisiensi nutrisi lainnya.8

f. Tatalaksana
Pasien dengan AE membutuhkan penanganan seumur hidup.1,2
Pemberian suplemen seng merupakan penanganan utama pada kasus
AE,1,11 terutama zinc sulfate5,7,11 untuk rute enteral, dan zinc chloride
untuk parenteral.1 Konsensus mengenai dosis pemberian seng belum
terdapat,11 sebagian besar peneliti menganjurkan dosis inisial adalah 5-10
mg/kgbb/hari,7,11 dengan dosis pemeliharaan 1-2 mg/kgbb/hari,5,7,11
kemudian peningkatan dosis pada masa pertumbuhan, kehamilan, dan
menyusui. Dosis seng untuk anak yaitu 0.5-1 mg/kg per hari dibagi dalam
dua dosis.1 Pada kasus AE berat, diberikan zinc chloride dengan dosis 10-
20 mg secara parenteral.4 Suplemen seng diberikan satu sampai dua jam
setelah makan, untuk memaksimalkan absorpsi. Efek samping pengobatan
seng adalah mual, muntah, dan pendarahan lambung.3
Penghentian pemberian suplemen seng akan menyebabkan penurunan
kadar plasma seng, kemudian kelainan kulit akan kambuh kembali.11
Diperlukan monitoring kadar seng1-3 setiap enam bulan, dengan
penyesuaian dosis efektif terendah.3 Respon klinis umumnya cepat
setelah pemberian seng.1,3 Gangguan psikologis membaik paling
cepat,1,3,4 kelainan kulit dan diare membaik setelah 2-3 hari. Nafsu
makan meningkat dalam beberapa hari,3 dan infeksi kulit menunjukkan
perbaikan setelah satu minggu.4 Pertumbuhan rambut kembali normal
setelah dua sampai tiga minggu, dan peningkatan pertumbuhan bayi rata-
rata meningkat dalam dua minggu.3

g. Prognosis
Prognosis AE baik dalam jangka panjang,11 dengan syarat pemberian
dan monitoring seng dilakukan seumur hidup. Perjalanan penyakit ini
lambat dan umumnya dengan manifestasi klinis ringan,4 tetapi jika tidak
ditangani sedini mungkin,11 maka akan menyebabkan komplikasi berupa
gangguan pertumbuhan9, infeksi sekunder, gagal multi organ,11 dan
kematian.10,11

3. Dermatitis Atopik
a. Definisi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas,
bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama
mengenai bayi dan anak-anak dapat pula terjadi pada orang dewasa.
Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan asma pada keluarga
maupun penderita (Kariosentono, 2006).
b. Etiologi
Faktor endogen yang berperan, meliputi disfungsi sawar kulit,
riwayat atopi, dan hipersensitivitas akibat peningkatan kadar IgE total
dan spesifik. Faktor eksogen pada dermatitis atopik, antara lain adalah
bahan iritan, allergen dan hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih
berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen
cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2009).
c. Gejala Klinis
Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang.
Gejala yang paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal
merupakan gejala yang paling penting pada dermatitis atopik.
Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan
iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan
rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu
kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang (Jamal, 2007).
Insiden tertinggi dermatitis atopik ditemukan dalam 2 tahun
pertama kehidupan meskipun penyakit dapat mulai hampir pada usia
berapa pun. Pada balita bagian yang sering terkena adalah batang
tubuh, pipi dan ekstremitas atas. Pasien dermatitis atopic dalam
praktek klinis mengeluhkan menggosok lesi yang gatal terus-menerus,
kulit menjadi menebal dan mengembangkan penampilan kasar.
Karakteristik wajah pasien dermatitis atopik kronis adalah keriput
kecil di bawah kedua mata (Denny Morgan’s fold) dan hilangnya
lapisan ketiga alis luar karena menggosok (Hertoghe’s sign) (Werfel,
2011).

Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu:

1. Dermatitis atopik pada masa bayi (0-2 tahun)


Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat sekitar usia 6-
12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak
kemerahan, bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah
terinfeksi. Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi
sehingga oleh masyarakat sering dianggap akibat terkena air susu
ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal istilah eksim susu
(Dewi, 2004).
2. Dermatitis atopik pada masa anak (2-12 tahun)
Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami
perubahan. Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian
besar merupakan kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi
cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat jarang di
daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian
anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan,
pergelangan kaki, dan kedua tangan (Dewi, 2004).
3. Dermatitis atopik pada dewasa (>12 tahun)
Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopi pada masa
anak juga mengalami gejala pada masa dewasanya, namun
penyakit ini dapat juga pertama kali timbul pada saat telah dewasa.
Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan yang terlihat pada
fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit
di daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher.
Akibat adanya garukan secara berulang dan perjalanan penyakit
yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi,
hiperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris.
Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti dan poplitea, juga
dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas
dan dorsum pedis (Dewi, 2004)

Gambar 5.predileksi dermatitis atopic


Gambar 6. Lesi kulit pada dermatitis atopik
d. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis dibuat dari riwayat adanya penyakit
atopi seperti asma dan rinitis alergi, pada keluarga, khususnya
kedua orang tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien,
kadang perlu melihat beberapa kali untuk dapat memastikan
dermatitis atopik dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain
serta mempelajari keadaan yang menyebabkan iritasi/alergi kulit
(Carson, 2013).
Adapun penggunaan kriteria diagnostik yang baik penting
dalam diagnosis dermatitis atopik, terutama untuk pasien yang
termasuk dalam tipe fenoti dan diagnosis ini dikembangkan oleh
Hanifin dan Rajka yang secara luas diterima (Akdis et al., 2006).
a) Kriteria mayor
1) Rasa gatal
2) Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas
(bayi dan anak di muka dan lengan)
3) Eksim yang menahun dan kambuhan
4) Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)
b) Kriteria minor:
1. Hiperpigmentasi daerah periorbita
2. Tanda Dennie-Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
5. Katarak subkapsuler anterior
6. Cheilitis pada bibir
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis Alba
9. Fissura pre aurikular
10. Dermatitis di lipatan leher anterior
11. Facial pallor
12. Hiperliniar palmaris
13. Keratosis palmaris
14. Papul perifokular hiperkeratosis
15. Xerotic
16. Iktiosis pada kaki
17. Eczema of the nipple
18. Gatal bila berkeringat
19. Awitan dini
20. Peningkatan Ig E serum
21. Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
22. Kemudahan mendapat infeki
23. Stafilokokus dan Herpes Simpleks
24. Intoleransi makanan tertentu
25. Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
26. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan
emosi
27. Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral)
Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan
minimal 3 gejala mayor dan 3 gejala minor (Tada, 2002).

BAB IV
PEMBAHASAN

Akrodermatitis Enteropatika(AE) merupakan penyakit genetik


autosomal resesif, yang disebabkan oleh kelainan metabolisme pada
waktu kelahiran yang menyebabkan malabsorbsi dan defisiensi zink,
ditandai dengan adanya erupsi kulit di ekstremitas atau
disekitar orifisium yang terdapat pada tubuh, kehilangan rambut
(alopesia), diare atau gangguan gastrointestinal lainnya, dan gangguan
pertumbuhan. 1,2,3,4,5
Pada alloanamnesis didapakan keluahn pasien adalah Bercak
kemerahan disertai lecet dan mengelupas seluruh tubuh 2 bulan
SMRS, pasien mengalami demam selama 3 hari SMRS, batuk (-),
pilek (-), bersin (-),sesak (-),mual (-), muntah (-), BAK (+) normal,
BAB cair 3 x (+), ampas (+), lendir (-), darah (-), menyusu kuat(+),
menangis kuat (+),gerak aktif (+), riwayat alergi obat (-), Sudah
pernah berobat ke dokter, tetapi belum membaik.
Dan pada pemeriksaan fisik didapatkan Pemeriksaan
Fisik:Frekuensi nadi: 130x/menit, Frekuensi napas: 34x/menit, Suhu:
37,0C, BB: 5,1 kg, PB: 57 cm Status Gizi: Perawakan pendek sangat
kurus, gizi normal.
Kelainan pada kulit merupakan gejala awal AE berupa patch
eritematosa,9,10 yang berskuama, berbatas tegas, dapat menjadi lesi
vesikobulosa,9,11 pustulosa,11 psoriasiformis,31 dan erosi.9 Distribusi lesi
kulit simetris, pada bagian periorifisium dan intertriginosa, menyebar
secara retroaurikular sampai ke ekstremitas. Pemeriksaan status
dermatologis pada pasien ini adalah Distribusi: geenealisata, Efloresensi :
macula eritem, squama, erosi.

Gold standard untuk diagnosis defisiensi zink adalah terdapatnya


level zink yang rendah dalam plasma, dan dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai trombosit
647.000 (trombositosis) basophil 2,0% (basofilia), monosit 11%
(monositosis), limfosit 29,0 % (limfositopenia), pada pasien ini
dianjurkan untuk dilaukan pemeriksaan level zink plasma, tetapi
dikarenakan akses vena yang sulit akhirnya ditunda, dan dilaukan pada
post rawat inap. Pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan.
Pasien dengan AE membutuhkan penanganan seumur hidup.
Dosis seng untuk anak yaitu 0.5-1 mg/kg per hari dibagi dalam dua
dosis.1 Pada kasus AE berat, diberikan zinc chloride dengan dosis 10-
20 mg secara parenteral.4 Suplemen seng diberikan satu sampai dua
jam setelah makan, untuk memaksimalkan absorpsi. Efek samping
pengobatan seng adalah mual, muntah, dan pendarahan lambung.3
Penghentian pemberian suplemen seng akan menyebabkan penurunan
kadar plasma seng, kemudian kelainan kulit akan kambuh kembali.11
Diperlukan monitoring kadar seng1-3 setiap enam bulan, dengan
penyesuaian dosis efektif terendah.3 Respon klinis umumnya cepat
setelah pemberian seng.1,3 Gangguan psikologis membaik paling
cepat,1,3,4 kelainan kulit dan diare membaik setelah 2-3 hari. Nafsu
makan meningkat dalam beberapa hari,3 dan infeksi kulit
menunjukkan perbaikan setelah satu minggu.4 Pertumbuhan rambut
kembali normal setelah dua sampai tiga minggu, dan peningkatan
pertumbuhan bayi rata-rata meningkat dalam dua minggu.3
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah
- Fixacep drop 2x0,8ml
- Zink pro 1x1ml
- Paracetamol drop 4x0,6ml
- Kompres Nacl 0,9 %2x/hari (luka erosi)
- Cream gentamicyn 0,1% 2x1
- Cream topicare plus 2x1 (luka kering)
- Vaselin cream kasa lembab (Nacl) ½ jam
- floxa 6x1ods
- PASI 12x30 ml
- Olivoil coconut 2x/hari
Pada pasien ini diberikan zink sebagai terapi definitip penyakitnya,
dan antibiotic cefixim golongona cephalosporin generasi tiga sebagai
antibiotic profilaksis. Dan diberikan pula obat simptomayik yakni
paracetamol. Terapi untuk perawatan luka kulit diberikan cream antibiotic
gentamicyn dan cream tropicare sebanyak 2x1 hari, dan kompres Nacl, serta
Vaseline dan oliveoil coconut 2x1 untuk membantu melunakkan squama dan
membantu regenerasi kulit baru, serta pemberian tetes mata floxa (ofloxacin)
6x1 gtt untuk terapi konjuntivitisnya. Pemberian PASI sebanyak 22x 30 ml
untuk menunjang asupan gizi pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ciampo IRLD, Sawamura R, Ciampo LAD, Fernandes
MIM. ENTEROPATHICA ACRODERMATITIS: MANIFESTASI
KLINIS DAN DIAGNOSA PEDIATRIK. Rev Paul Pediatr. 2018 Apr-
Jun; 36 (2): 238-241. [ Artikel gratis PMC ] [ PubMed ]
2. Jen M, Yan AC. The skin in systemic disease. Dalam: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,
penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi
ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. hlm. 1520–3.
3. Ruiz-Maldonado R, Orozco-Covarrubias L. Nutritional disease.
Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, penyunting.
Dermatology. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.
hlm. 670–1.
4. Paller AS, Mancini AJ. Hurwitz clinical pediatric dermatology.
Edisi ke-4. London: Elsevier; 2011. hlm. 548–50.
5. Beigi M, Khan P, Maverakis E. Acrodermatitis enteropathica a
clinician’s guide. Edisi ke-1. Canada: Springer; 2015. hlm. 7-16,
29-34, 39-55, 61-72.
6. Sarkany RPE, Breathnach SM, Morris AAM, Weismann K, Flynn
PD. Metabolic and nutritional disorders. Dalam: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of
dermatology. Edisi ke-8. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2010.
hlm. 59.72-75.
7. Sanchez JE, Barham KL, Sangueza OP. Acquired acrodermatitis
enteropathica : case report of an atypical presentation. J Cutan
Pathol. 2007;34(6):490–3.
8. Kaur S, Sangwan A, Sahu P, Dayal S, Jain VK. Clinical variants
of acrodermatitis enteropathica and its corelation with genetics.
Indian J Paediatr Dermatol. 2016;17:35–7.
9. Azevedo C, Mesquita P, Gavazzoni-dias MFR, Carlos J, Avelleira
R, Lerer C, et al. Case report acrodermatitis enteropathica in a
full-term breast-fed infant : case report and literature review. Int J
Dermatol. 2008;47:1056–7.
10. Jensen SL, McCuaig C, Zembowicz A, Hurt MA. Bullous lesions
in acrodermatitis enteropathica delaying diagnosis of zinc
deficiency : a report of two cases and review of the literature. J
Cutan Pathol. 2008;35(1):1–13.
11. Pai K, Baliga P, Pai S, Sharma S. Acrodermatitis enteropathica in
an adult : a case report. Our Dermatol Online. 2015;6(2):201–3.
12. Kharfi M, Fe N El. Tropical medicine rounds acrodermatitis
enteropathica : a review of 29 tunisian cases. Int J Dermatol
2010;49(9):1038–44.
13. Plum LM, Rink L, Haase H. The essential toxin : impact of zinc
on human health. Int J Environ Res Public Health.
2010;7(4):1342–65.
14. Chasapis CT, Loutsidou AC. Zinc and human health: an update.
Arch Toxicol. 2012;86(4):521–34.
15. Kambe T, Hashimoto A, Fujimoto S. Current understanding of zip
and znt zinc transporters in human health and diseases. Cell Mol
Life Sci. 2014;71(17):3281–95.
16. Metz CH, Schro AK, Overbeck S, Kahmann L, Plümäkers B, et
al. T-helper type 1 cytokine release is enhanced by in vitro zinc
supplementation due to increased natural killer cells. Nutrition.
2007;23(2):157–63.\
17. Eide DJ. Zinc transporters and the cellular trafficking of zinc.
Biochim Biophys Acta. 2006;1763(7):711–22.

Anda mungkin juga menyukai