Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG ANAK 14 TAHUN DENGAN TB INTESTINAL DAN


GIZI BURUK

Disusun Oleh :

Karina Mega Wulansari

Pembimbing :

dr. Hartono, Sp. A

dr. Siti Hanah

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAJEN

PEKALONGAN

2018
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Identitas pasien adalah sebagai berikut:
Nama : An. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 tahun ( 10 Juli 2004)
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Wonorejo 2/1 Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah
Ruang : Flamboyan
No. CM : 106582
Tanggal Masuk RS : 25 Maret 2018
Tanggal Keluar RS : 4 April 2018

1.2 DATA DASAR

Data dasar pasien adalah sebagai berikut:

ANAMNESIS

Alloanamnesis dengan Ibu pasien pada tanggal 26 Maret 2018 di ruang


Flamboyan pada pukul 17.00 WIB dan catatan medik pasien

a. Keluhan Utama
Nyeri perut
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut terasa melilit pada
uluhati dan perut kanan bawah sejak bangun tidur. nyeri terus-menerus
hingga mengganggu aktivitas. Nyeri bertambah dengan aktivitas berat
dan berkurang dengan istirahat. Mual (+), muntah 2 x (+) kehijauan
setiap minum, demam (+) ± 3 hari perut semakin membesar ± 1
minggu. Tidak bisa kentut dan BAB sejak bangun tidur hingga pukul
10.00 WIB. Selama di IGD, pasien bisa kentut dan BAB.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat alergi obat-obatan: disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
 Riwayat thypoid : disangkal
 Riwayat DHF : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal

2
 Riwayat penyakit perut : Hepatitis (+), HBSAG (+)
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat penyakit bawaan : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat sakit serupa : disangkal


 Riwayat TB : disangkal
 Riwayat penyakit hepar : disangkal
 Riwayat DM : disangkal

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang pelajar di Pesantren ± 2 tahun. Sebelum tinggal di
Pesantren, pasien tinggal bersama kedua orangtuanya dan kedua
adiknya. Pembiayaan Rumah Sakit ditanggung BPJS PBI.

Kesan : sosial ekonomi cukup

1.3 DATA KHUSUS


a. Riwayat Perinatal
Prenatal
Periksa kehamilan di bidan, ANC 3x, TT (+) 1x , perdarahan selama
kehamilan (-), sakit selama hamil (-) demam (-) darah tinggi (-) kencing
manis (-) kejang (-) trauma (-). Konsumsi vitamin dan tablet Fe (+), minum
jamu (-), minum obat diluar resep dokter (-).
Natal
Lahir bayi Perempuan dari ibu G1P1A0, aterm. Lahir secara spontan ditolong
oleh bidan, langsung menangis, BBL= lupa dan PBL= lupa.
Post natal
Riwayat kuning (-). Ibu rutin membawa anaknya ke posyandu untuk
imunisasi.

b. Riwayat Makan dan Minum


0 - 3 bulan : ASI
3 - 6 bulan : ASI + bubur tim
6 – 8 bulan : ASI + bubur tim
8 – 12 bulan : ASI + bubur tim
12 bulan – sekarang : makanan keluarga, nasi sayur dan lauk 3x/ hari, serta
snack

3
c. Riwayat Imunisasi

No. Vaksin Berapa Kali Umur


1. B.C.G 1x 0 bulan, skar (+)
2. Difteri 3x 2,3,4 bulan
3. Tetanus 3x 2,3,4 bulan
4. Pertusis 3x 2,3,4 bulan
5. Polio 4x 0,2,3,4 bulan
6. Hepatitis B 4x 0,2,3,4 bulan
7. Campak 1x 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia, booster (-)

d. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


BBL : lupa

PBL : lupa

BB sekarang : 28 kg

TB sekarang : 145 cm

Grafik CDC

- Riwayat Perkembangan:
Tersenyum : usia 2 bulan
Miring : usia 3 bulan
Tengkurap : usia 4 bulan
Duduk : usia 6 bulan
Berdiri : usia 9 bulan
Berjalan : usia 12 bulan
Bicara : usia 12 bulan
Berlari : usia 15 bulan
Sekolah : saat ini anak belajar di Pesantren, dapat membaur dan
bermain dengan teman sebaya

1.4 PEMERIKSAAN FISIK

4
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 26 Maret 2018 di ruang Flamboyan
pada pukul 17.00 WIB.

Keadaan umum : Tampak lemas


Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5=15
Tanda Vital
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Denyut nadi :112x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
 Laju pernafasan: 22x/menit
 Suhu : 38C (aksiler)
 Berat badan : 28 kg
 Tinggi Badan : 145 cm
 Status Gizi : underweight

Kulit : Sawo matang, turgor kulit cukup, pucat (-)

Kepala : Mesosefal, malar rash (-), rambut mudah rontok (-)

Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),


eksoftalmus (-/-),

Hidung : Epistaksis (-/-), discharge (-/-)

Mulut : Bibir pucat (+), bibir sianosis (-), bibir kering (-),
faring hiperemis (-), uvula di tengah (+), tonsil T1-T1
hiperemis (-)

Telinga : Discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-)

Leher : benjolan (-), kulit merah (-), perabaan hangat (-), nyeri
tekan (-) pembesaran limfonodi (-), bising tiroid (-)

Thoraks : Bentuk normal, retraksi (-)

Paru Depan

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : Ekspansi paru kanan = paru kiri

stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

5
Paru Belakang

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : Ekspansi paru kanan = paru kiri

stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Jantung

Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba setinggi spatium intercostalis VI 2 cm


lateral linea mid clavicularis sinistra, diameter 2 cm, thrill
(-), kuat angkat (-), pulsasi parasternal (-), pulsasi
epigastrial (-), sternal lift (-)

Perkusi : Batas atas = spatium intercostalis II linea parasternal


sinistra

Batas kiri = sesuai ictus cordis

Batas kanan = linea parasternal dekstra

Pinggang jantung cekung

Auskultasi : HR= 112 x/menit, bunyi jantung I-II normal, bising (-),
gallop (+)

Abdomen

Inspeksi : Cembung, rash (-), caput medusa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Hipertimpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)

Palpasi : Distensi, nyeri tekan (+) epigastrium dan iliaca dextra,


hepatomegali (+), splenomegali (-).
Ekstremitas
Superior Inferior

6
Mukosa kuku pucat -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Tremor jari -/-
Tangan teraba hangat +/+
Tangan basah -/-

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi 25 Maret 2018 dan 3 April 2018

Pemeriksaan Hasil I Hasil II Satuan Nilai Normal


WBC 19.7 20.1 103/mm 3.5-10.0
RBC 2.92 3.60 106/mm 3.80-5.80
HGB 7.2 8.5 g/dl 11.0-16.5
HCT 21.4 26.3 % 35.0-50.0
PLT 566 105 103/mm 150-390
PCT 339 .074 % .100-.500
MCV 73 73 µm3 80-97
MCH 24.6 23.7 Pg 26.5-33.5
MCHC 33.5 32.4 g/dl 31.5-35.0
RDW 17.7 18.3 % 10.0-15.0
MPV 6.0 7.1 µm3 6.5-11.0
PDW 11.6 17.7 % 10.0-18.0
LYM % 7.9 22.9 % 17.0-48.0
MON % 2.0 4.0 % 4.0-10.0
GRA % 90.1 73.1 % 43.0-76.0
LYM 1.5 4.6 103/mm 1.2-3.2
MON 0.3 0.8 103/mm 0.3-0.8
GRA 17.9 14.7 103/mm 1.2-6.8

Pemeriksaan Lab 26 Maret 2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

SGOT 14 U/I ≤31


SGPT 8 U/I 0-32
HBS AG Negatif Mg/dl

Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi 26 Maret 2018


No Jenis Pemeriksaan Hasil

7
1 ERITROSIT
Anisositosis Ringan (makrositik) normokromik
Poikilositosis Ringan (sferosit, pear shape cell, sel target)
Jarak antar eritrosit agak longgar,
polikromasi (+)
2 TROMBOSIT Estimasi jumlah tinggi
Bentuk besar (+)
3 LEUKOSIT Estimasi jumlah tinggi
Neutrofilia (+), Granula toksik (+),
Shift to the left (+)
4 KESAN Anemia normositik normokromik
Trombositosis dengan trombosit
teraktivasi
Leukositosis, Neutrofilia dengan
Neutrofil bergranula toksik serta
tampak gambaran shift to the left
5 Adakah tanda-tanda 1. Infeksi bakteri ?
2. Inflamasi akut ?
3. Gangguan fungsi hepar / ginjal ?
4. Kerusakan jaringan / perdarahan ?

Pemeriksaan Albumin 3 April 2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Albumin 1,82 g/dl 3.8-5.1

Pemeriksaan urinalisa 30 Maret 2018


Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Hasil
Warna Kuning tua jernih
Makroskopis Mikroskopis
Berat jenis 1,015 Sedimen
Esterase - Epithel sel 4-6 /LPK
Nitrit - Leukosit 2-5 /LPK
PH 6 Eritrosit 0-1 /LPK
Protein ± Silinder Hyalin + 1-2 /LPB
Glukosa - Silinder Granula Halus -/LPB
Keton - Silinder Granula Kasar -/LPB
Urobilin - Kristal -
Bilirubin - Lain-lain -
Blood -
Hb -

Pemeriksaan X Foto-Thorax 26 Maret 2018

8
COR

CTR > 50 %, bentuk dan letak normal

Retrocardiac dan retrosternal space tak menyempit

PULMO

Corakan bronchovaskuler meningkat

Tampak bercak pada paracardial kanan

Tak tampak penebalan hilus kanan kiri

Hemidiafragma kanan setinggi costae 9 posterior

Sinus konstofrenikus kanan kiri lancip

KESAN

Cor tak membesar

Gambaran Bronchopneumonia

Pemeriksaan BNO

9
KESAN :

 Proses Inflamasi di Usus  DD TB intestinal

Pemeriksaan USGAbdomen (12 Februari 2018)

10
Hepar : ukuran membesar, echogenesitas parenkim meningkat, tepi reguler,
parenkim homogen, tak tampak nodul, liver tepi lancip. Tak tampak
pelebaran vena porta dan hepatica.
Duktus intra dan extra hepatal tak melebar.
Gallblader: ukuran tak membesar, dinding menebal, tak tampak batu, tak tampak
sludge.
Pankreas :ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa/lesi
hipo/hiperechoic, kalsifikasi (-).
Ren kakan : ukuran dan echostruktur normal, PCS tak melebar, tak tampak massa
/ batu.
Ren kiri : ukuran dan echostruktur normal, PCS tak melebar, tak tampak massa
/ batu.
Lien : ukuran tak membesar, parenkim homogen, tak tampak nodul, tak
tampak pelebaran vena lienalis.
Aorta : ukuran dan echostruktur normal, tak tampak limfadenopati
VU : dinding tak menebal, reguler, tak tampak batu maupun massa, post
miksi masih tampak sisa urin pada VU.
Uterus : ukuran tak membesar.
Tampak cairan bebas pada paravesica

KESAN :
Mild hepatomegali dengan gambaran Bright Liver, masih mungkin proses
inflamasi
Fungsi pengosongan VU kurang baik
Ascites pada paravesica

11
12
Pemeriksaan USGAbdomen ( 28 Maret 2018)

Hepar : ukuran membesar, echogenesitas parenkim meningkat, tepi reguler,


parenkim homogen, tak tampak nodul, liver tepi lancip. Tak tampak
pelebaran vena porta dan hepatica.
Duktus intra dan extra hepatal tak melebar.
Gallblader: ukuran tak membesar, dinding menebal, tak tampak batu, tak tampak
sludge.
Pankreas :ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa/lesi
hipo/hiperechoic, kalsifikasi (-).
Ren kakan : ukuran dan echostruktur normal, PCS tak melebar, tak tampak massa
/ batu.
Ren kiri : ukuran dan echostruktur normal, PCS tak melebar, tak tampak massa
/ batu.

13
Lien : ukuran tak membesar, parenkim homogen, tak tampak nodul, tak
tampak pelebaran vena lienalis.
Aorta : ukuran dan echostruktur normal, tak tampak limfadenopati
VU : dinding tak menebal, reguler, tak tampak batu maupun massa.
Tampak dilatasi sebagian bowel.
Tak tampak cairan bebas intraabdomen.

Kesan :
Hepatomegali dengan Bright Liver cenderung inflamasi
Dilatasi sebagian bowel pada cavum abdomen dan cavum pelvis.

1.6 DAFTAR MASALAH


1. Nyeri perut
2. Muntah kehijauan
3. Lemas
4. Anemia  hb 7,2 g/dl
5. Trombositosis  566 103/mm
6. Hipoalbumin  1,82 g/dl
7. Gambaran darah tepi  anemia normositik normokromik, tombositosis,
leukositosis, shift to the left
8. BNO  penebalan dinding usus, gambaran proses inflamasi  DD TB usus
9. X-Foto Thorax AP  bronchopneumonia
10. USG Abdomen : hepatomegali, inflamasi hepar

I.1 DIAGNOSIS SEMENTARA


a. TB Intestinal
b. Gizi Buruk

I.2 INITIAL PLANS


Asassement : TB Intestinal, Gizi Buruk
Rencana Awal
Dx : Darah Rutin, Albumin, Urin Rutin, Foto BNO 2 posisi, USG
Abdomen, X-foto Thorax
Rx : 2RHZ/4RH
Isoniazid 200 mg setiap hari selama 6 bulan
Rifampisin 300 mg setiap hari selama 6 bulan
Pirazinamid 600 mg setiap hari 2 bulan pertama
Mx : BNO tampak tanda inflamasi pada usus, abdomen hepatomegali,
leukositosis
Ex :  Menjelaskan bahwa gejala-gejala yang dirasakan oleh
pasien terjadi karena proses infeksi.

14
 Menjelaskan kemungkinan penyebab infeksi pada saluran
cerna akibat proses infeksi sebelumnya.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebab
 Menjelaskan bahwa pasien akan diberikan terapi dalam
jangka waktu lama dan diperlukan kepatuhan minum obat
oleh pasien serta menjelaskan efek samping obat yang
sering timbul (mual, nafsu makan menurun, gangguan
hati, nyeri perut).
 Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien harus kontrol
setiap bulan untuk memantau perkembangan penyakit
pasien
I.3 PROGRESS NOTE

Tanggal Diagnosis Terapi


25/3/2018 S : nyeri perut, demam, belum BAB 1 hari - Infus RL 20 tpm
IGD O : KU lemah - Inf. Cefotaxim 1 gr/
Kesadaran CM 12 jam
TV: HR : 159 x/m - Inj. Eterfix 300 mg/ 8
RR : 22 x /mnt jam
Suhu : 38,10C - Pasien puasa
Pulmo : SDV (+/+), - Pro pasang DC &
Abdomen : hipertimpani, nyeri tekan NGT
seluruh perut - Cek Darah Lengkap
Ekstremitas : pitting edema dan BNO 2 posisi
- -
- -
Keluarga menolak
A : Febris H1 pasang DC dan NGT
Suspek peritonitis
26/3/2018 S : nyeri perut sedikit berkurang, nyeri - Infus D5% 80 cc/ jam
Hingga hilang timbul, demam turun - Inj. Cefotaxim 1 gr/12
28/3/2018 O : KU lemah jam
Kondisi Kesadaran CM - Inj. Ketorolac
pasien TV: Nadi : 120x /mnt, isi & teg cukup 15mg/12 jam
stabil RR : 20 x /mnt - Inj. Eterfix 250 mg/8
Suhu : 36,60C jam
Pulmo : SDV (+/+), - Inj. ODR 2 mg/12 jam

15
Abdomen : hipertimpani, nyeri tekan - Cernevit drop
perut bagian bawah dan epigatrium - Ranivel 5 ml/ 12 jam
Ekstremitas : pitting edema - Transfusi PRC 488 cc
- - - Cek SGOT, SGPT,
- - HBSAG, X foto
thorax, Darah Tepi,
A : Febris H2 USG Abdomen
Suspek TB Intestinal
Hb 7,2
29/3/2018 S : demam (+), perut terasa penuh, setiap - Inf. RL 75 cc / jam
minum muntah kehijauan 2 kali, Tidak - Terapi lanjut
bisa BAK dan BAB - Dulcolac supp 10 mg
O : KU lemah - Toilet training
Kesadaran CM - Edukasi minum
TV: Nadi : 118x /mnt, isi & teg cukup sedikit-sedikit namun
RR : 22 x /mnt sering
Suhu : 37,10C
Pulmo : SDV (+/+),
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian
bawah dan epigatrium
Ekstremitas : pitting edema
- -
- -

A : TB Intestinal
30/3/2018 S : demam (+), mual (+), muntah (+), tidak - Terapi lanjut
mau makan, nyeri perut (+) - Inj. Ranitidin 150mg/
O : KU lemah 12 jam
Kesadaran CM - Motivasi pasang DC
TV: Nadi : 150x /mnt, isi & teg cukup dan NGT
RR : 28 x /mnt
Suhu : 37,20C
Pulmo : RBK (-/+),
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian
bawah dan epigatrium Keluarga menolak
Ekstremitas : pitting edema pemasangan NGT
- -
- -

A : TB Intestinal
31/3/2018 S : komunikasi (-), mual (+), muntah (+), - Terapi lanjut

16
Hingga tidak mau makan, nyeri perut (+)
1/4/2018 O : KU lemah
Kesadaran Apatis
TV: Nadi : 150x /mnt, isi & teg cukup
RR : 28 x /mnt
Suhu : 37,20C
Pulmo : RBK (-/+),
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian
bawah dan epigatrium
Ekstremitas : pitting edema
- -
- -

A : TB Intestinal
2/4/2018 S : komunikasi (-), mual (+), muntah (+), - Inf. RL 75 cc/jam
tidak mau makan, nyeri perut (+) - Liprolac 1 sachet/ 12
O : KU lemah jam
Kesadaran Apatis - Zinc pro drop 1ml /
TV: Nadi : 140x /mnt, isi & teg cukup 12 jam
RR : 24 x /mnt - Terapi lanjut
Suhu : 37,30C - Cek albumin, Darah
Pulmo : RBK (+/+), Rutin
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian
bawah dan epigatrium, ascites (+)
Ekstremitas : pitting edema
+ +
+ +

A : TB Intestinal
3/4/2018 S : komunikasi (-), penurunan kesadaran - O2 3 lpm
O : KU lemah - Inf. D5 % 60 cc/jam
Kesadaran Apatis E3 M6 V3 - Inj. Eterfix 250 mg/8
TV: Nadi : 138x /mnt, isi & teg cukup jam
RR : 20 x /mnt - Inf. Plasbumin 25 %
Suhu : 37,70C 10cc 2 FL
Pulmo : RBK (+/+), - Motivasi pasang OGT
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian - Diet cair 6x 50 cc
bawah dan epigatrium, ascites (+) - Jika masih gelisah inj.
Ekstremitas : pitting edema Pental 60mg/12 jam
+ + - Inj. Lasik 1 mg/kg 
+ + 20 mg IV

17
- Observasi kesadaran
A : TB Intestinal dan TTV

4/4/2018 S : komunikasi (-), penurunan kesadaran - O2 5 lpm


O : KU lemah - Terapi lanjut
Kesadaran Sopor E3 M4 V2 - Inj. Meropenem
TV: Nadi : 175x /mnt, isi & teg cukup 50mm mg/12 jam
RR : 50 x /mnt - Diet cair 6 x 100 cc
Suhu : 37,60C - Inj. ODR stop
Pulmo : RBK (+/+),
hipertimpani, nyeri tekan perut bagian
bawah dan epigatrium, ascites (+)
Ekstremitas : pitting edema Pasien + pukul 18.45
+ + WIB
+ +

A : TB Intestinal

18
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB INTESTINAL

2.1.1 DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

TB ekstrapulmonal ditemui pada 15-20% populasi dengan insiden HIV


rendah dan merupakan salah satu manifestasi TB ekstrapulmonal tersering.
Sementara itu, TB di abdomen didapatkan pada 11% pasien TB
ekstrapulmonal. Laporan kasus menyebutkan bahwa sebanyak 2-3% TB
abdomen ini terjadi di kolon . TB intestinal dapat ditemui pada berbagai usia
namun didominasi oleh rentang usia 20-40 tahun.

2.1.2 ETIOPATOGENESIS DAN TRANSMISI

Infeksi TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang memiliki


bentuk lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora, tidak berkapsul dengan
lebar 0,3-0,6 um dan panjang 1-4 um. Dinding bakteri sangat kompleks,
sehingga bakteri ini secara alamiah tahan asam. Infeksi TB umumnya melalui
inhalasi dan menyebabkan TB paru yang merupakan manifestasi klinis
tersering dibandingkan organ lain. Bakteri pada saluran cerna dapat berasal
dari bakteri yang tertelan, penyebaran dari organ yang berdekatan, maupun
melalui peredaran darah. Usus dan peritoneum dapat terinfeksi melalui empat
mekanisme, yaitu menelan sputum yang terinfeksi, penyebaran lewat darah
dari TB aktif atau TB milier, konsumsi susu atau makanan yang
terkontaminasi dan penyebaran langsung dari organ yang berdekatan.
Reaktivasi setelah penyebaran infeksi melalui darah mungkin terjadi beberapa
tahun setelah infeksi. Sementara invasi langsung dari dinding usus mungkin
terjadi setelah konsumsi susu yang tidak dipasterurisasi atau konsumsi basil
dari kavitas paru.

19
2.1.3 MANIFESTASI KLINIS

Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan nyeri perut, diare dan
penurunan berat badan. Keluhan nyeri abdomen dapat ditemukan pada TB
intestinal dan penyakit Crohn’s. Namun, jika pada anamnesis didapatkan data
pasien dari daerah endemis TB, riwayat imunosupresi dan ada keluarga yang
terdiagnosis TB atau ditemukan TB ditempat lain, maka kecurigaan lebih
mengarah ke TB.

Adanya diare dan hematokezia, penyakit perianal, malabsorpsi dan


rekuren penyakit setelah operasi mengarahkan kecurigaan ke penyakit Crohn.
Pada penyakit Crohn sering ditemukan granuloma di mukosa dengan
keterlibatan kurang dari 4 segmen. Lesi dikelilingi mukosa yang tampak
normal dan tidak tampak ulser aftosa, kecuali pada pasien yang sebelumnya
telah didiagnosis penyakit Crohn. Lesi dapat meliputi lesi anorektal. Ulkus
longitudinal, ulkus aftosa, fistula dan gambaran cobblestone. Ulkus yang
dalam, fisura, longitudinal, khas untuk penyakit Crohn, ulkus longitudinal
yang lebih kecil yang dipisahkan oleh edema atau mukosa yang tidak terlibat
dapat membentuk gambaran cobblestone.

Pada TB saluran cerna granuloma sering ditemukan di submukosa.


Gambaran lesi per endoskopi dapat berupa liner, fisura, ulkus transversal,
sirkumferens atau massa polipoid. Mukosa sekitar lesi dapat tampak
abnormal, eritema, edema, iregular atau nodul. Tidak seperti pada penyakit
Crohn, pada TB saluran cerna umumnya lesi bersifat multifokal.

Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti


demam, anoreksia dan penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi
mukosa seperti diare, hematoskezia dan malabsorpsi; 3) Gejala terkait
keterlibatan transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat
obstruksi lumen, teraba benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan
intestinal; 4) manifestasi ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan
kelenjar limfe; 5) riwayat kontak dengan TBC. Penelitian oleh Mukewar, dkk.
menyebutkan perubahan pola defeksi dapat berupa diare atau diare yang
bergantian dengan konstipasi.

Lesi makroskopik TB saluran cerna dari endoskopik dapat berupa ulserasi,


nodul, polip dan penyempitan lumen. Selain itu, dapat juga ditemui gambaran
multipel fibrous band irregular. Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulkus
kolon berbentuk linear atau transversal, namun Yusuf, dkk. menemukan
bentuk ulkus yang bulat sepanjang kolon. Gambaran ulkus atau kolitis pada

20
TB intestinal pada umumnya segmental, namun pada kondisi yang jarang
dapat ditemui gambaran colitis difus. Keterlibatan 3 atau lebih segmen
intestinal lebih mengarahkan ke diagnosis penyakit Crohn, sedangkan lesi TB
intestinal lebih terlokalisasi.

Chong, dkk.5 membagi lesi TB saluran cerna menjadi 3 kategori, yaitu tipe
ulseratif (60%), hipertrofik (10%) dan lesi seperti massa atau hipertrofik
menyerupai ulkus (30%). Ulserasi dan penyempitan lumen adalah lesi yang
paling sering ditemui. Lesi ulseratif banyak ditemukan pada pasien dengan
defisiensi sistem imun, sedangkan lesi hipertrofik ditemukan pada pasien
dengan sistem imun baik. Lesi hipertrofik menyerupai ulkus paling banyak
ditemukan pada TB ileosaekal dibanding TB pada segmen usus lain.

2.1.4 LOKASI

Lokasi TB saluran cerna yang paling umum ditemui adalah ileum atau
ileosacecal. Hal ini disebabkan karena tingginya kelenjar limfoid dan kontak
yang lama dengan usus kecil. Mikroorganisme berpenetrasi ke mukosa dan
jaringan limfoid di submukosa dan kemudian terjadi reaksi inflamasi yang
diikuti limfangitis, edarteritis, granuloma, nekrosis perkijuan, ulserasi mukosa
dan fibrotik jaringan. Pada kolon, lesi yang tersering adalah sisi kanan (kolon
asenden dan kolon tranversum). Beberapa studi menemukan bahwa lesi
tersering adalah di kolon transversum dengan lesi dominan striktur, namun
penelitian hanya berdasarkan radiologis bukan endoskopis. Chong dan Lim
menampilkan data prevalensi TB saluran cerna dari berbagai literatur dan
frekuensi kasus dari data lokal dalam kurun waktu 1997- 2004 seperti tampak
pada Tabel 2.

21
2.1.5 DIAGNOSIS

Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan granuloma


dan atau basil tahan asam. Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-80%
penyakit. Pemeriksaan diagnostik yang membutuhkan waktu lama seperti
pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur M. tuberculosis,
uji Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.

Diagnosis awal didasarkan pada penilaian klinis, yaitu demam yang tidak
diketahui sebabnya, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru atau
infeksi aktif, kontak TB dan biopsi menunjukkan non caseating granuloma
dan inflamasi kronik. Perbedaan pada hasil pemeriksaan klinis, endoskopik,
radiologis, patologis, kultur dan pemeriksaan molekuler dapat digunakan utuk
membedakan keduanya. Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa
pemeriksaan diagnostik yang direkomendasikan adalah kolonoskopi dan
biopsi.

Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu


diperhatikan. Beberapa kriteria tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau
kelenjar getah bening; 2) istopatologik menunjukkan menunjukkan batang
tahan asam M. tuberculosis di lesi; 3) ditemukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan dari gambaran histologik; 4) gambaran endoskopi dan histologik
sesuai dengan infeksi TB ; dan 5) respon baik dengan terapi OAT

Mukewar, dkk. membagi pasien menjadi dua kelompok, yaitu kolitis TB


terkonfirmasi dan dugaan kolitis TB. Pasien disebut kolitis TB terkonfirmasi
apabila biopsi menunjukkan granuloma perkijuan dan atau basil tahan asam.

22
Sementara itu, dugaan kolitis TB dibuat berdasarkan manifestasi klinik, yaitu
demam tanpa sebab, penurunan berat badan, anemia, riwayat TB paru, TB
paru aktif, kontak TB positif dan biopsi menunjukkan non caseating
granuloma dan inflamasi kronik. Respon terhadap terapi TB juga digunakan
sebagai metode diagnostik.

HISTOLOGI

Gambaran histologis TB intestinal yang khas adalah konfluen, granuloma


caseosa yang mengandung basil tahan asam dan dikelilingi limfoid cuff. Hal
tersebut ditemukan pada semua lapisan dinding usus dan kelenjar getah
bening regional. Granuloma awal kadang hanya ditemukan di jaringan
limfoid, namun dapat juga ditemukan metaplasia pilorik ekstensif, ulkus
fisura superfisial yang melas sampai ke submukosa dan penyembuhan terjadi
melalui fibrosis dan regenerasi epitel yang dimulai dari tepi. Granuloma
penyembuhan dikelilingi jaringan fibrosis di kelenjar limfe namun tidak pada
dinding intestinal.

Biopsi dalam harus diambil di tepi ulkus karena granuloma sering berada
di submukosa, tidak seperti granuloma pada penyakit Crohn yang umum
ditemui pada lapisan mukosa. Namun demikian, pada pasien dengan TB paru
aktif, pemeriksaan hasil biopsi positif pada lesi usus dapat merupakan positif
palsu akibat Mycobacterium tuberculosis yang tertelan dari sputum. Selain
itu, terapi TB sebelumnya dapat mengubah gambaran umum dan mikroskopik
sehingga menyebabkan salah diagnosis.

Penyakit Crohn dan TB intestinal ditandai dengan inflamasi


granulomatosa, namun granuloma caseosa multipel yang berkonfluen luas
dengan inflamasi submukosa, nekrosis caseosa, ulkus linier dan histiosit
epiteloid lebih umum ditemui di TB intestinal. Gambaran penyakit Crohn dari

23
biopsi mukosa berupa granuloma kecil dan jarang (jumlah <5 dan ukuran
<200 um), granuloma tidak terorganisir, diskrit atau terisolasi.

LABORATORIUM PENUNJANG

Analisis PCR dari spesimen biopsi dari endoskopi lebih sensitif


dibandingkan kultur dan basil tahan asam untuk diagnosis TB intestinal. Nilai
sensitifitas metode ini yaitu sebesar 75%-85%, sedangkan spesifisitasnya
85%-95% tergantung tipe spesimen. Kohli, dkk. mengidentifikasi bahwa
imunohistokimia memiliki sensitifitas 95.56% dan nilai duga negatif 96.43%,
namun spesifisitas dan nilai duga positif secara berturut sebesar 35,06% dan
30,56% dibandingkan pewarnaan Ziehl Nielsen.

Selain metode-metode yang telah disebutkan di atas, telah ditemukan juga


metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan anti-saccharomyces cerevisiae
antibody (ASCA). Pemeriksaan ini ditemukan lebih banyak pada pasien
penyakit Crohn dibandingkan TB usus, namun penelitian di India
menunjukkan ASCA tidak bermafaat dalam membedakan Penyakit penyakit
Crohn dan TB usus. Hal ini disebabkan pada kedua kondisi tersebut dapat
ditemukan ASCA positif. ASCA adalah antibodi non spesifik yang dihasilkan
dari transport makromolekular dari antigen makanan (termasuk antigen yang
berasal dari ragi), dihasilkan oleh peningkatan permeabilitas intestinal. Pada
pasien Tuberkulosis intestinal dan penyakit Crohn terjadi inflamasi kronik di
usus halus sehingga pemeriksaan ASCA akan positif. Metode yang paling
dapat diandalkan adalah pemeriksaan basil tahan asam dari hapusan atau
kultur, namun sensitifitasnya rendah.2 Terdapat studi tentang pewarnaan
imunohistokimia untuk diagnosis TB. Pewarnaan tersebut menggunakan
antibodi monoklonal seperti CD 68 terhadap antigen M. tuberculosis. Metode
ini dinilai dapat digunakan sebagai metode membedakan TB intestinal dengan
penyakit Crohn.

ENDOSKOPI

Endoskopi gastrointestinal- ileokolonoskopi, enteroskopi dan


gastroduodenoskopi berperan penting dalam membedakan TB intestinal
dengan penyakit Crohn. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung dan
biopsi lesi. Daerah ileosaekal merupakan lokasi yang paling sering terkena
infeksi dan kolonoskopi dengan intubasi ileum retrograd (ileokolonoskopi)
adalah pemeriksaan pilihan. Ileokolonoskopi ini, pada pasien dengan dugaan
atau terbukti penyakit Crohn, dibandingkan dengan video kapsul enteroskopi
menunjukkan sensitifitas 67% vs 83% dan spesifisitas 100% vs 53%.

24
Ballon assisted dan spiral enteroskopi adalah modalitas pilihan untuk
mengevaluasi usus kecil karena kemampuan biopsi dan terapeutik. Biospi
usus kecil penting karena lesi ulseratif tidak dapat dibedakan hanya dari
gambaran endoskopi. Biopsi dari mukosa kolon atau gastroduodenal mukosa
yang tampak normal mungkin dapat menjadi kunci diagnostik pada pasien
yang diduga menderita penyakit Crohn. Skip lession lebih umum ditemui
pada pasien penyakit Crohn dibanding TB intestinal (66% vs 17%), begitu
juga dengan ulserasi aftosa, ulserasi linier, ulserasi superfisial dan
cobblestone mukosa kolon, yaitu masing-masing 54% vs 13%, 30 % vs 7%,
51% vs 17%) dan 17% vs 0%. Sementara itu, nodularitas kolon lebih banyak
ditemukan pada TB intestinal (24.5% vs 49%).

RADIOLOGI PENUNJANG

Penggunaan fluorescent untuk diagnosis TB usus meningkatkan


sensitifitas namun spesifisitas masih rendah. Pemeriksaan Barium enema
akan menunjukkan ulkus segmental, ketebalan mukosa, stenosis dan
deformitas katup ileosekal. Terminal ileum akan menyempit (fleischner sign).
Pemeriksaan usus kecil dan barium enema menunjukkan hasil high riding
caecum dengan atau tanpa string like lesion dari ileum terminal.

Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin menunjukkan


inflitrasi omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan lapisan
peritoneum dan adanya cairan peritoneum yang berdensitas tinggi. Gambaran
yang paling umum ditemui dari CT scan adalah penebalan dinding
sirkumferensial saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.
Gambaran barium enema dan CT scan TB intestinal dapat dilihat pada
Gambar 3 dan 4.

Pullimod, dkk. membedakan gambaran CT scan untuk membedakan


penyakit Crohn dengan TB intestinal seperti tampak pada Tabel 2.

25
USG abdomen mungkin menunjukkan penebalan usus yang konsentrik
dan regular. Foto polos abdomen tidak memberikan informasi yang bermakna
karena gambaran obstruksi atau perforasi tidak khas. Selain itu, gambaran
klasifikasi nodus mesenterikus juga tidak memastikan diagnosis jika klinis
tidak mendukung.

KULTUR

Waktu yang dibutuhkan untuk kultur M. tuberculosis dengan BACTEC


adalah 2-3 minggu namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan kultur M.
tuberculosis dari biopsi spesimen mahal dan hasilnya dapat bervariasi.
Sebuah studi menunjukkan bahwa dari 62 pasien tidak ada yang menujukkan
kultur positif. Sementara itu, studi lainnya menunjukkan hanya 3 dari 50
pasien yang menunjukkan hasil kultur positif. Oleh karena itu, penelitian oleh
Mukewar, dkk. tidak melakukan pengambilan kultur spesimen.

2.1.6 TERAPI

Terapi untuk TB intestinal meliputi terapi farmakologis OAT dan


bedah. Pilihan pertama untuk terapi TB intestinal adalah OAT. Ketika
pasien diduga TB intestinal, maka OAT dapat diberikan dosis penuh.
Sementara itu, pembedahan adalah pilihan kedua untuk mengatasi TB
intestinal dengan komplikasi.

Park, dkk. menyebutkan bahwa terapi 3 bulan anti TB cukup untuk


melihat respon terapi dan membedakan TB kolon dengan penyakit Crohn.
Mayoritas pasien menunjukkan perbaikan klinis setelah terapi 4-6 minggu
setelah terapi anti TB. Sementara itu, Lee, dkk. menyatakan perbaikan
tampak setelah terapi minimal 2 bulan dan perbaikan kolonoskopi
ditemukan pada 93% yang dilakukan kolonoskopi ulang setelah terapi

26
OAT 3 bulan. Oleh karena itu, panduan di Korea merekomendasikan
kolonoskopi dilakukan ulang setelah 2-3 bulan terapi OAT.

Park, dkk.23 memberikan terapi OAT 4 regimen selama 10 bulan


dengan hasil yang baik. Kombinasi isoniazid, pirazinamid, rifampicin,
etambutol dan streptomicin diberikan selama 9-12 bulan dan tidak
ditemukan relaps selama pengamatan 425±120 hari pada 94%. Tujuh
pasien yang dilakukan kolonoskopi ulang setelah 2-3 bulan terapi
mengelami ulkus sembuh dan perbaikan parameter laboratorium lain.
Terapi 6 bulan untuk TB intestinal direkomendasikan karena tidak
terdapat perbedaan bermakna antara terapi 6 bulan dibandingkan 9 bulan.
Terapi yang lebih lama mungkin dipertimbangkan pada pasien dengan
komplikasi.

Kadang diagnosis TB intestinal sulit ditegakkan dan baru diketahui


setelah pembedahan. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan terapi
empirik OAT walaupun diagnosis pasti belum tegak. Hal ini dilakukan
terutama pada pasien dari daerah endemik. Reaksi paradoksikal dapat
terjadi selama pemberian OAT. Reaksi ini didefinisikan sebagai
perburukan klinis atau radiologis pada pasien dengan lesi TB. Reaksi ini
juga dapat berupa terjadinya lesi baru pada pasien yang awalnya
memberikan respon dengan terapi. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
pembedahan merupakan pilihan kedua untuk mengatasi TB usus dengan
komplikasi. Komplikasi serius yang mungkin terjadi adalah obstruksi
usus (15-60%), fistula (25%) dan perforasi (15%) dengan angka kematian
30-40%. Komplikasi lainnya yaitu dapat berupa perdarahan masif
meskipun jarang terjadi. Pasien dengan keluhan perut walaupun telah
diberikan terapi OAT harus dicurigai onstruksi intestinal subakut. Hal ini
harus dideteksi dini dan dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk
mengurangi komplikasi akibat perforasi. Namun demikian, tidak seperti
TB paru, definisi sembuh untuk TB ekstra paru sulit didefinisikan dan
belum ada kriteria baku untuk mengakhiri terapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Chong VH, Lim KS. Gastrointestinal Tuberculosis. Singapore Med J.


2009;50(6):638.

Lee MJ CF, John L, Davidson RN. Diagnosis and treatment strategies of


tuberculosis intestinal perforations:A case series. Eur J Gastroenterol Hepatol.
2012;24(5):594-9. 7-55.

Mukewar S, Ravi R, Prasad A, Dua K. Colon Tuberculosis: Endoscopic Features


and rospective Endoscopic Follow-Up After AntiTuberculosis Treatment. Clin
Transl Gastroenterol. 2012;3(10):e24.

Murwaningrum A , Abdullah M , Makmun D. Diagnostic Approach and


Treatment of Instestinal Tuberculosis. Jakarta. 2016

Park YS JD, Kim SH, Lee HH, Jo YJ, Song MH etal. Colonoscopy evaluation
after short-term anti-tuberculosis treatment in nonspecific ulcers on the ileocecal
area. World J Gastroenterol. 2008;14(32):5051-8.

Pulimood A, Amarapurkar DN, Ghoshal U, Philip M, Pai CG, Real DN, et al.
Differentiation of Penyakit Crohn’sFrom Intestinal Tuberculosis in India in 2010.
World J Gastroenterol. 2011;17(3):433-43.

Yusuf AI, Syam AF, Simadibrata M, Fauzi A. Multiple Lessions of The Colon and
Ileocaecal Valve in Collitis Tuberculosis Patient with Positive Bacili Examination
in the Stool. The Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2009;10(1):33-7.

28

Anda mungkin juga menyukai