Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot
rangka.1
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian
besar populasi penderita tetanus berat.1
Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus
neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS Hasan
Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan mortalitas
35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-Oktober 2004 di RS Sanglah
didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.2

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui tentang pengertian tetanus neonatorum.
1.2.2 Mengetahui tentang penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, cara
mendiagnosa dan tatalaksana tetanus neonatorum

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang tetanus neonatorum.
1.3.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien saat praktek.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
 Identitas Pasien
Nama pasien : By.Ny F
Umur : 7 Hari/22 Januari 2018
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Madura
Alamat : Desa Nyamburan, Dabung-Geger
No RM : 168375
Tgl MRS : 28 Februari 2018

 Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn A
Umur : 30 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani

Nama Ibu : Ny F
Umur : 26 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

 Keluhan Utama : Kejang


 Riwayat Penyakit Sekarang :

Kejang sejak 1 hari, kejang seluruh tubuh. Saat kejang mata menutup, kaki dan tangan
menjadi kaku, serta mulut mengeluarkan busa. Setelah kejang anak menangis merintih.
Dalam satu hari kejang berkali-kali sekitar 7 kali dengan waktu 1 menit di setiap kejang.
Demam sejak 1 hari, demam menurut orang tua tidak terlalu tinggi dan terjadi terus-
menerus. Setelah kejang anak menjadi tidak mau menetek ASI. 1 hari yang lalu muncul
cairan berwarna putih kehijauan pada daerah pusar bayi, lalu dibersihkan oleh sang nenek.
3

Pasien memiliki riwayat lahir didukun spontan dan tali pusar dipotong menggunakan
bambu.

 Riwayat Penyakit Dahulu : Kejang (-), Demam (-), Batuk (-), Pilek (-), Diare (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
 Riwayat Pengobatan :
Dipuskesmas dipasang O2 nasal, dan infus RL.
 Riwayat Persalinan :

Anak perempuan lahir dari ibu usia 26 tahun G2P2A0 hamil 36 minggu (9 Bulan).
Lahir secara spontan pervaginam dan persalinan ditolong oleh dukun. Saat lahir anak
langsung menangis, kulit kemerahan, berat badan lahir (-), Panjang badan lahir (-),
Lingkar kepala (-), bayi tidak dilakukan antropometri karena lahir didukun.

 Riwayat Kehamilan :

Selama Kehamilan ibu mengaku tidak pernah sakit. Ibu tidak pernah kontrol ke bidan
selama kehamilan 9 bulan. Ibu tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Tetanus Toxoid).
Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat minum obat dan jamu disangkal.

 Riwayat Imunisasi Anak :


Pasien tidak pernah diberi imunisasi sama sekali.
o BCG : (-)
o Hep B : (-)
o Polio : (-)
o DPT : (-)
o Campak : (-)
o Riwayat imunisasi tambahan: (-)

 Riwayat Gizi :
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir, dan didulang dengan degan.

 Riwayat Tumbuh Kembang :


o Pertumbuhan
4

Berat badan saat ini 3.310 gram, Panjang badan saat ini 49 cm, Lingkar kepala saat
ini 35 cm.

o Perkembangan : Menetek ASI (+) dan menangis (+) sebelum sakit.

2.2 Pemeriksaan Fisik


 KU : Lemah/ Tampak Kejang Tonik Klonik seluruh tubuh.
 GCS : 456 (Compos Mentis).
 Vital Sign
o HR : 148x/menit
o RR : 32x/menit
o T : 37,5 °C
o Tensi : (-)
 Kepala
Bentuk Normocephali, Ubun-ubun dalam batas normal.
 Rambut :
Hitam, tidak mudah dicabut.
 Mata :
Mata Cowong (-), Pupil Bulat Isokor (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+), Konjunctiva
Anemis (-), Sklera Ikterik (-)
 Hidung
Bentuk hidung normal, simetris, napas cuping hidung (-), sekret (- / -).

 Telinga
Bentuk telinga normal, discharge (- / -), serumen (- / -)
 Mulut
Bibir kering (-), bibir sianosis (-), Trismus (+), Risus sardonicus (+)
 Tenggorokan
Dalam batas normal
 Leher
Simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-), kaku kuduk (+).
 Thorax
Dinding Dada : Simetris
Jantung :
- Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
5

- Palpasi : Ictus cordis teraba


- Perkusi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-), friction rub
(-)
Paru – paru :
- Inspeksi : Dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
- Palpasi :Tactile fremitus simetris kanan dan kiri.
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+ / +) , wheezing (- /- ), rhonki (- / -).
 Abdomen
- Inspeksi : Dalam Batas Normal
- Auskultasi : Bising usus ( + ) normal
- Perkusi : Timpani (+) pada empat kuadran abdomen
- Palpasi : Defans Muskuler, turgor kembali cepat, hepar dan lien dalam
batas normal
 Punggung
Opistotonus (-)
 Genitalia
Perempuan, dalam batas normal
 Anorektal
Anus (+) Dalam batas normal
 Kulit
Dalam Batas Normal
 Ekstremitas

Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Akral sianosis -/- -/-

Spasme +/+ +/+

CRT <2’’ <2’’

 Pemeriksaan Neurologis
6

o Kaku Kaduk : (+)


o Meningeal Sign : Brudzinsky I & II (-), Kernique (-).

o Reflek Fisiologis N N
N N
o Reflek Patologi Babinsky (+), Chaddock (-), Gordon (-), Hoffman-Tromner
(-).
2.3 Dianosa Banding
 Tetanus Neonatorum
 Tetani
 Meningoencephalitis
 Encephalitis
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Darah Lengkap
Hematologi Lengkap
o Hemoglobin : 16,6 gr (N:15,0-24,6)
o Eritrosit 4,59 Juta/uL (N: 4-6,8)
o Leukosit 9,7 ribu/uL (N: 5-21)
o Trombosit 265 ribu/mm3 (N: 229-553)
o Hematokrit 48,2 % (N: 45-74)
Index Eritrosit
o MCV 105 fL (N: 94-105)
o MCH 36 pg (N:29-45)
o MCHC 34,4 % (N: 24-36)
Hitung Jenis
o Basofil 1,18 % (N: 0-1)
o Neutrofil 46,86 % (N: 25-60)
o Limfosit 34,14 % (N: 25-50)
o Eusinofil 3,09 % (N: 1-5)
o Monosit 14,73 % (N: 4-8)
 GDA : 63 mg/dl
2.5 Diagnosis Kerja
Tetanus Neonatorum
7

2.6 Penatalaksanaan
 O2 nasal kanul 2 lpm
 Inf D10 1/5 NS 18 tpm + Diazepam 3 amp/Flash
 Inj ATS 4500 IU (Biosat 1ml 1500 IU)
 Penicillin Procain 1x150.000 IU
 Valium 6-8 x 2,5 mg IV
 Antrain 0,2 cc bila panas
 Cefotaxime 2x250 mg
2.7 SOAP
Tgl S O A P
28/1/18 Bayi datang dari KU ; Lemah Tetanus  Inf D10 1/5 NS 18 tpm
IGD kirimasn GCS ; 456 Neonatorum + Diazepam 3
PKM Arosbaya. N;148x/menit amp/Flash
Sejak 1 Hari yang RR:32x/menit  Inj ATS 4500 IU
lalu demam, S; 37.50C (Biosat 1ml 1500 IU)
Kejang terus SaO2: 98%  Penicillin Procain
menerus, kejang GDA : 63 1x150.000 IU
spontan (+), a/i/c/d -/-/-/-  Valium 6-8 x 2,5 mg
kejang rangsang Kepala dalam batas IV
(+) tidak mau normal  Antrain 0,2 cc bila
menyusu ASI. Thorax demam
Paru  Cefotaxime 2x250 mg
Inpeksi simetris  Pasang O2 Nasal 2 lpm
Palpasi simtris
 Pasang OGT (Oral
Perkusi sonor
Gastic Tube)
Auskultasi vesikuler
 Timbang Berat Badan,
S1,S2 konstan tunggal
ukur panjang badan
Abdomen Defans
Muskuler
ekstremitas akral
hangat + +
+ +

Kejang Rangsang KU ; Lemah


29/1/18 Tetanus  Inf D10 1/5 NS 18 tpm
(+), Kejang N;128x/menit
RR:60x/menit Neonatorum + Diazepam 4
Spontan (+), amp/Flash
Demam (-), sesak S; 36,70C
SaO2: 96%  Penicillin Procain
(+).
a/i/c/d -/-/-/+ 1x150.000 IU
Kepala dalam batas  Valium 2,5 mg bila
normal kejang
Thorax  Antrain 0,2 cc bila
Paru demam
Auskultasi vesikuler  Cefotaxime 2x250 mg
(+/+)  Ganti O2 Masker 4lpm
S1,S2 konstan tunggal
Abdomen Defans
Muskuler
ekstremitas akral
hangat + +
+ +
8

Kejang Rangsang KU ; Lemah Tetanus


30/1/18 (+), Kejang N;133x/menit Neonatorum  Inf D10 1/5 NS 18 tpm
Spontan (+), RR:50x/menit + Diazepam 4
Demam (-), Sesak S; 37 0C amp/Flash
(+) SaO2: 95%  Penicillin Procain
a/i/c/d -/-/-/+ 1x150.000 IU
Nafas cuping hidung  Valium 2,5 mg bila
(+) kejang
Thorax Retraksi  Antrain 0,2 cc bila
Subcostal (+) demam
Abdomen Defans  Cefotaxime 2x250 mg
Muskuler
Ekstremitas akral
hangat + +
+ +

Kejang Spontan
(+), kejang  Inf D10 1/5 NS 18 tpm
31/1/18 rangsang (+), KU ; Lemah Tetanus + Diazepam 4
Sesak (+) N;156x/menit Neonatorum+S.br amp/Flash
RR:52 x/menit onkopneumonia  Penicillin Procain
S; 36,70C 1x150.000 IU
SaO2: 96%  Valium 2,5 mg bila
a/i/c/d -/-/+/+ kejang
Nafas cuping hidung  Antrain 0,2 cc bila
(+) demam
Thorax Retraksi  Cefotaxime 2x250 mg
Subcostal (+)
Ronkhi basah halus
(+/+)
Abdomen Defans
Muskuler
Ekstremitas akral
dingin + +
+ +

Kejang Rangsang
(+), Kejang  Inf D10 1/5 NS 18 tpm
1/2/18 Spontan (+),Sesak + Diazepam 4
(+) KU ; Lemah Tetanus amp/Flash
N;132x/menit Neonatorum+bron  Penicillin Procain
RR:62x/menit kopneumonia 1x150.000 IU
S; 34,90C  Valium 2,5 mg bila
SaO2: 78 % kejang
a/i/c/d -/-/+/+  Antrain 0,2 cc bila
Nafas cuping hidung demam
(+)  Cefotaxime 2x250 mg
Thorax Ronkhi basah  O2 Masker 10 lpm
halus (+/+)  Lasix 3mg
Abdomen Defans  suction
Muskuler, meteorismus
(+)
Ekstremitas akral
dingin, odem
+ +
Meninggal pukul + +
14.00
9

2/2/18
10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanos yang berarti kencang atau tegang.
Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi spastik otot yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani tanpa gangguan kesadaran.1 Tetanus
Neontorum merupakan bentuk generalized tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28 hari).
Tetanus bermanifestasi klinik dalam 3-12 hari sejak lahir, ditandai dengan kesulitan
menetek/meminum ASI dan kekakuan otot. 3
3.2 Etiologi

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan
yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.4

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian
E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42
kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus . Kasus terjadi kebanyakan ditolong melalui tenaga

persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga


bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %).4

Tabel 3.1 Instrumen yang digunakan untuk memotong tali pusar4


11

3.3 Epidemiologi

Tetanus merupakan suatu masalah kesehatan di berbagai belahan dunia dengan taraf
ekonomi rendah. Jumlah kasus tetanus neonatorum dapat dikatakan berbanding terbalik
dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara. Semakin baik taraf sosial ekonomi suatu begara
semakin sedikit pula jumlah kasus tetanus neonatorum di negara tersebut, demikian juga
sebaliknya.5
Tetanus neonatorum saat ini merupakan suatu penyakit yang dapat dikatakan langka di
banyak negara maju dan berkembang, di mana proses partus yang steril dan pemberian vaksin
tetanus secara umum telah disosialisasikan dan dilaksanakan sebagai suatu prosedur
kesehatan wajib. Amerika Serikat memilki insiden tetanus neonatorum yang sangat rendah
yaitu 0,01/1000 kelahiran sejak tahun 1967.6
Tetanus neonatorum terjadi sama banyaknya baik pada laki-laki maupun wanita (1:1),
usia ibu yang paling sering mengalami tetanus maternal adalah antara usia 20-30 tahun
(berbanding lurus dengan usia melahirkan terbanyak). 90 % kasus tetanus neonatorum dan
tetanus maternal terjadi pada partus yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan (di rumah,
dukun, dsb).7
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana > 50% kasus
tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data UNICEF, setiap 9 menit,
seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO menyatakan bahwa tetanus neonatorum
merupakan poenyebab dari 14 % kematian neonatus di seluruh dunia.8
Tetanus neonatorum dan tetanus maternal merupakan suatu kesatuan dan dengan
dieliminasinya tetanus neonatorum, maka tetanus pada ibu melahirkan secara tidak langsung
juga dieliminasi.7 Pada tahun 1989, WHO mencanangkan suatu program dengan target pada
tahun 1995, penyakit tetanus pada maternal-neonatus dapat dieliminasi dan pada tahun 2005
penyakit ini bukan lagi sebuah masalah kesehatan masyarakat dunia. Eliminasi dianggap
tercapai jika jumlah kasus tetanus neonatorum <1 kasus / 1000 kelahiran. Program ini
meliputi program vaksin toxoid tetanus dan penyediaan fasilitas kesehatan yang memenuhi
standard dan sosialisasi tentang penyakit ini di seluruh dunia.8
Penurunan drastis kematian neonatus akibat tetanus berhasil dicapai sejak
diberlakukannya program WHO tersebut, di mana pada tahun 1980, menurut data WHO
dilaporkan 800.000 neonatus meninggal akibat tetanus, dan kemudian pada tahun 2002
menurun menjadi 180.000 neonatus yang meninggal akibat penyakit ini. Kasus tetanus
12

neonatorum berkurang drastis setiap tahunnya dan pada tahun 2009, jumlah kematian
neonatus akibat tetanus adalah 61.000.8
Hingga saat ini, Maternal-Neonatal Tetanus (MNT) masih belum berhasil dieliminasi
secara menyeluruh, di mana pada tahun 2009, penyakit ini masih merupakan suatu masalah
kesehatan 57 negara di dunia, terutama di Asia dan Afrika, termasuk di antaranya adalah
Indonesia. Sekitar 1 juta kasus tetanus dilaporkan dari seluruh dunia pada tahun 2010, dan
lebih dari 50 % kematian akibat penyakit ini terjadi pada neonatus.8

Gambar 3.1 Perkiraan WHO tentang Eliminasi Tetanus Neonatorum Dunia

3.4 Mikrobiologi

Clostridium tetani merupakan suatu bakteri bersifat obligat anaerob, gram positif, yang
berasal dari genus Clostridium. Bakteri ini sering ditemukan pada tanah dan sebagai parasit di
traktus intestinal mamalia. Bakteri ini memiliki 2 fase hidup, yang pertama adalah dalam
bentuk vegetative dan kemudian memproduksi spora. C. tetani dalam bentuk vegetatif
berbentuk batang, rentan terhadap oksigen dan sangat sensitif terhadap panas.3
13

gambar 3.2 Bentuk vegetative C tetani

Bakteri ini kemudian akan menghasilkan endospora yang kemudian memberikan


karakteristik khas dari bakteri ini. Setelah menghasilkan endospora, C. tetani dapat berbentuk
seperti stik drum dan dapat bertahan terhadap panas, bahkan terhadap antiseptik. Clostridium
tetani dalam bentuk spora dapat bertahan hingga suhu 121oC selama 0-15 menit. Spora ini
juga dapat bertahan terhadap berbagai antiseptik. Bentuk spora ini lah yang umumnya bersifat
infektif. Pada pewarnaan gram, Clostridium tetani memberikan gambaran seperti raket tenis.3

3.5 Patofisiologi

Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal (aktif
potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel neuron akan
bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmitter dan dikeluarkan
menggunakan suatu protein membrane (synaptobrevin) menuju saraf motorik.
Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan
merangsang serat otot untuk bereaksi.3
C.tetani menghasilkan toksin bernama Tetanospasmin merupakan suatu neurotoksin
yang berbentuk rantai polipeptida ganda. Rantai polipeptida ini terdiri atas sebuah rantai
polipeptida berat(100 kDa) dan 1 rantai polipeptida ringan (50 kDa). Ke dua rantai tersebut
dihubungkan oleh suatu jembatan disulfida. Rantai polipeptida ringan (mengandung zinc
metalloprotease) akan berikatan dengan neuromuscular junction sedangkan rantai
14

polipeptida berat (mengandung suatu amino terminus yang berfungsi untuk memberi sinyal
kepada sel) menyebabkan tetanospasmin dapat masuk ke dalam akson. Tetanospasmin
kemudian masuk ke dalam sel hingga mencapai sistem saraf pusat secara intra-aksonal.
Setelah mencapai daerah intrasel, tetanospasmin dapat berdifusi keluar dari sel dan berikatan
dengan reseptor interneuron inhibitorik (pada medulla spinalis). Tetanospasmin akan
diendositosis ke dalam sel intraneuron inhibitorik ini.9

Gambar 3.3 susunan tetanospasmin

Di dalam sel, ikatan disulfida antara rantai polipeptida ringan dan berat akan rusak
akibat suasana asam, rantai polipeptida ringan kemudian akan masuk ke sitoplasma sel
intraneuron. Kandungan zinc metalloprotease yang terdapat pada rantai ringan ini kemudian
akan merusak synaptobrevin (protein membrane) yang dibutuhkan dalam proses transportasi
neurotransmitter dari sel interneuron menuju saraf motorik. Hal ini menyebabkan pelepasan
neurotransmitter inhibitori (terutama Gamma Amino Butric Acid/GABA) tidak dapat
dilakukan. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan refleks antagonis otot skeletal
menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-otot
skeletal.3
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter
(cth: Asetilkolin) untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang merangsang
otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan menghasilkan
neurotransmitter (cth: GABA) untuk membatasi dan memodulasi kontraksi yang terjadi, di
mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang
relaksasi (antagonis refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal
15

mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi yang terjadi tidak diimbangi


dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot agonis maupun antagonis mengalami
kontraksi dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang menjadi gambaran khas pada
tetanus.3
Tetanospasmin selain merusak refleks antagonis pada sistem musculoskeletal, pada
tahap lanjut, juga mengganggu refleks antagonis sistem saraf simpatik, sehingga pada kondisi
tersebut, pelepasan katekolamin storm atau disebhiper-adrenergik.10
Masa inkubasi pada tetanus neonatus lebih cepat dibandingkan dengan tetanus tipe
lain yaitu berkisar antara 3-14 hari, bermanifestasi pada akhir minggu pertama atau awal
minggu ke dua pasca persalinan sehingga seringkali disebut sebagai penyakit hari ke tujuh
(Disease of the seventh day). Hal tersebut membantu membedakan tetanus neonatorum
dengan penyakit lain.11

3.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat ketika bayi
malas minum dan menangis yang terus menerus.3 Bayi kemudian akan kesulitan hingga tidak
sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Hal tersebut menjadi tanda
khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang (trismus) mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan
bayi berkurang dan akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik
kearah lateral, dan alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia
dan kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu oleh rangsangan-
rangsangan sensoris (suara atau sentuhan). Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan
akhirnya terus menerus. Spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi akan
mempengaruhi sistem saraf simpatik sehingga terjadi vasokonstriksi pada saluran napas dan
akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini merupakan penyebab kematian terbesar
pada kasus tetanus neonatorum.10
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan fleksi pada
siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi dan kaki akan
mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung menyebabkan punggung tertarik
menyerupai busur panah (opisthotonos).3
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala berikutnya pada kasus
tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan penting dalam
menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode onset ini, semakin buruk
16

prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak atau
dewasa (lebih ke arah beberapa jam daripada beberapa hari seperti pada dewasa), hal ini
mungkin disebabkan jarak akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai
CNS.3

Gambar 3.4 Opisthotonos dan Risus Sardonicus

3.7 Klasifikasi

Perubahan derajat berat penyakit tetanus dapat terjadi sangat cepat, sehingga seringkali
memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan perjalanan klinis. Kriteria
derajat penyakit tetanus Surabaya lebih mudah digunakan dibanding menggunakan cara
penilaian skor dari Abblet, Phillips, Dakar, atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian
membuktikan ada kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dengan kriteria Abblet. Penilaian
Klinis menitik beratkan pada perbedaan jenis kejang, dapat dilakukan oleh paramedik
sehingga perubahan dosis dapat dilakukakn lebih cepat dan tepat.12

Derajat Penyakit Tetanus Surabaya12

Derajat I (Tetanus Ringan)

 Trismus (Lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm)


 Kekakuan Umum
 Tidak dijumpai kejang
 Tidak dijumpai gangguan respirasi
17

Derajat II (Tetanus Sedang)

 Trismus (Lebar kurang dari 1 cm)


 Kekakuan umum makin jelas
 Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Derajat IIIa. Tetanus Berat

 Trismus Berat (Kedua baris Gigi Rapat)


 Otot Sangat Spastis, timbul kejang spontan
 Takipnea, takikardia
 Apneic Spell (Spasme larynx)

Derajat IIIb. Tetanus dengan gangguan syaraf otonom

 Gangguan otonom berat


 Hipertensi berat dan takikardi
 Atau Hipotensi dan bradikardi
 Hipertensi berat atau hipotensi berat

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, LCS (Liquor cerebrospinal) normal, jumlah
leukosit normal atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk
kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai
arti.13

3.9 Tata Laksana

Pengobatan pada tetanus terdiri dari terapi dasar tetanus, anti konvulsi, perawatan luka,
serta terapi suportif. Terapi dasar tetanus diberikan antibiotik selama 10 hari, bila ada
komplikasi dapat mencapai 14 hari.12

1. Terapi dasar tetanus12


 Antibiotik : Penicilline procaine 50.000 IU/Kg BB/kali i.m tiap 12 jam, atau
Metronidazole loading dose 15 mg/Kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/Kg BB tiap
6 jam.
18

 Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan i.m. Apabila tersedia
Human tetanus Immuno Globulin dapat diberikan dengan dosis 3.000-6.000 IU
i.m.
2. Anti Konvulsi14

Berikan diazepam 10 mg/kgBB/hari secara IV atau dengan bolus IV setiap 3-6 jam
(dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg per kali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari.

3. Perawatan Luka

Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai dilakukan debridement, sebaiknya
dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvulsi.12

4. Terapi Suportif :12


 Bebaskan Jalan Nafas
 Hindakan aspirasi (Suction lendir, dan memindahkan posisi pasien)
 Pemberian O2
 Perawatan dengan stimulasi minimal
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat
 Monitoring Kejang serta tanda Penyulit

3.10 Penyulit12
 Gangguan ventilasi paru
 Aspirasi Pneumonia
 Bronkopneumonia
 Sepsis

3.11 Prognosis

Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, derajat trismus,
frekuensi kejang, 12

3.12 Pencegahan

 Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada
ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 kali suntikan toksoid. (Untuk mencapai
tingkat TT Lifelong-card).
 Pelayanan neonatal esensial terutama dengan memotong tali pusar menggunakan alat
yang steril
19

 Perawatan pasca natal, tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada
tali pusar
 Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, diberikan pengobatan yang tepat dengan antibiotik
lokal dan sistemik (bila diperlukan).14
20

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Dasar Diagnosa

Pada pasien By Ny F, dasar diagnosa dapat ditegakan melalui anamnesa, pemeriksaan


Fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada Anamnesa didapatkan bayi perempuan lahir dari ibu
usia 26 tahun G2P2A0 hamil 36 minggu (9 Bulan). Lahir secara spontan pervaginam dan
persalinan ditolong oleh dukun. Saat lahir anak langsung menangis, kulit kemerahan, berat
badan lahir (-), Panjang badan lahir (-), Lingkar kepala (-), bayi tidak dilakukan antropometri
karena lahir didukun. Pasien mengalami Kejang sejak 1 hari, kejang seluruh tubuh. Saat
kejang mata menutup, kaki dan tangan menjadi kaku, serta mulut mengeluarkan busa. Setelah
kejang anak menangis merintih. Dalam satu hari kejang berkali-kali sekitar 7 kali dengan
waktu 1 menit di setiap kejang. Demam sejak 1 hari, demam menurut orang tua tidak terlalu
tinggi dan terjadi terus-menerus. Setelah kejang anak menjadi tidak mau menetek ASI. 1 hari
yang lalu muncul cairan berwarna putih kehijauan pada daerah pusar bayi, lalu dibersihkan
oleh sang nenek. Pasien memiliki riwayat lahir didukun spontan dan tali pusar dipotong
menggunakan bambu.

Infeksi C. Tetani banyak terjadi melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan
persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak
steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.4

Pada pemeriksaan fisik By.Ny F didapatkan tanda-tanda khas dari penyakit tetanus
seperti Kekakuan rahang (trismus) mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
dan akhirnya berhenti. Mulai terjadi kekakuan pada wajah (bibir tertarik kearah lateral, dan
alis tertarik ke atas) yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia dan kekakuan pada
seluruh tubuh akan menyusul dalam beberapa jam berikutnya.
Pada Pemeriksaan penunjang tidak didapatkan data yang berarti, akan tetapi terdapat
peningkatan jumlah basofil dan monosit pada hitung jenis leukosit.

4.2 Dasar Pemberian Terapi

Pengobatan pada tetanus terdiri dari terapi dasar tetanus, anti konvulsi, perawatan luka,
serta terapi suportif. Terapi dasar tetanus diberikan antibiotik selama 10 hari, bila ada
komplikasi dapat mencapai 14 hari.
21

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Tetanus Neontorum merupakan bentuk generalized tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-
28 hari). Tetanus bermanifestasi klinik dalam 3-12 hari sejak lahir, ditandai dengan kesulitan
menetek/meminum ASI dan kekakuan otot. Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang
masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat
yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat
yang telah terkontaminasi. Pengobatan pada tetanus terdiri dari terapi dasar tetanus, anti
konvulsi, perawatan luka, serta terapi suportif. Terapi dasar tetanus diberikan antibiotik
selama 10 hari, bila ada komplikasi dapat mencapai 14 hari. Pencegahan tetanun neonatorum
dapat dilakukan dengan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada ibu hamil, wanita usia subur,
minimal 5 kali suntikan toksoid (Untuk mencapai tingkat TT Lifelong-card), Pelayanan
neonatal esensial terutama dengan memotong tali pusar menggunakan alat yang steril, serta
perawatan pasca natal, dengan tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada
tali pusar.

5.2 Saran
Bagi Penulis

Mampu mendiagnosa, serta memberikan terapi yang tepat pada kasus tetanus neonatorum.

Bagi Akademisi

Dalam laporan kasus ini dokter diharapkan mampu memberikan edukasi dan informasi
kepada masyarakat mengenai faktor resiko terjadinya tetanus neonatorum.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM,
editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2005.p.1401-4.
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
3. Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1. Jakarta :
EGC.
4. Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H : Tetanus Neonatorum in
babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan, Vol. 25, Paeditrica
Indonesiana, Departement of Child Health, Medical School University of lndonesia,
Sept-Okt 1985, 167 -174.
5. Tetanus in Immunization surveillance, assessment and monitoring.2010.Diambil dari
website WHO:
http://www.who.int/immunization_monitoring/disease/tetanus/en/index.html
6. Bardenheier B, Prevots DR, Khetsuriani N, Wharton M. Tetanus surveillance --
United States, 1995-1997. In: CDC surveillance summaries (July). MMWR
1998;47(no. SS-2):1-13.
7. Tetanus in Immunization surveillance, assessment and monitoring.2010.Diambil dari
website WHO:
http://www.who.int/immunization_monitoring/disease/tetanus/en/index.html
8. Maternal and Neonatal Tetanus. Diambil dari website UNICEF:
http://www.unicefusa.org/work/health/tetanus/
9. Handel MJ, Protheroe RT, Cook MT. Tetanus: a review of the literature.2001. Br J
Anaesth ; 87: 477–87
10. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6
No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.

11. Andréia Patrícia Gomes1, Brunnella Alcantara Chagas de Freitas2, et al. Clostridium
tetani infections in newborn infants: a tetanus neonatorum review. Rev Bras Ter
Intensiva. 2011; 23(4):484-491
23

12. Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit
Umum Dokter Soetomo. Surabaya.
13. Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2002. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis Edisi Kedua. Badan Penerbit IDAI. Jakarta.
14. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NH, Gandaputra EP, Harmionati ED.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.

Anda mungkin juga menyukai