Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN UKP

Distonia Akut ec Efek Samping Obat Metoclopramide

DISUSUN OLEH :
dr. Devina Rossita Hapsari

PENDAMPING:
dr. Aprizal, MARS

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

RSUD CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Dystonia Akut
ec Efek Samping Obat Metroclopramide”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas
dalam Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI).
Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Aprizal selaku dokter pendamping yang telah membantu dalam
proses pembuatan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan
kasus ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan
bagi pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.

Bogor, Mei 2021

dr. Devina Rossita Hapsari

1
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

No RM : 1406**
Nama : An. HF
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 18 April 2021

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis kepada anak dan alloanamnesis kepada ayah pasien pada


tanggal 18 April 2021.

Keluhan Utama
Rahang kaku

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD dengan keluhan rahang kaku tidak dapat ditutup, lidah
cenderung menjulur ke luar sejak pagi ini pukul 7.00 setelah konsumsi obat mual
(metoclopramide 1 tab), pasien menyatakan keluhan sempat membaik saat tidur, dan
kembali kaku setelah minum obat mual kembali jam 12.00 siang ini, nyeri (+) lidah
dan pipi terasa pegal, susah menelan (+), anak cenderung menyengir, kejang (-),
batuk(-), pilek(-), mual(-), muntah(-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Orang tua mengatakan anak sempat demam (+) 7 hari yll disertai nyeri
tenggorokkan (+), nyeri telinga (+) riwayat mengorek telinga tetapi tidak berdarah,
keluar cairan dari liang telinga (-), sakit gigi (-). Pasien menyangkal habis makan
daging keras / es batu, riwayat digigit hewan peliharaan (-), riwayat tertusuk / luka (-)

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, tidak ada riwayat
kejang demam atau kejang tanpa demam sebelumnya pada pasien, riwayat Diabetes
Mellitus (-), riwayat operasi (-), riwayat trauma kepala (-), riwayat alergi obat (-),
riwayat tetanus (-).

Riwayat Kehamilan

Pasien merupakan kehamilan anak pertama. Selama masa kehamilan, selalu


rutin kontrol ke RS. Tidak ada riwayat mengonsumsi obat-obatan selama hamil, tidak
pernah ada riwayat demam tinggi, infeksi saluran kencing, infeksi TORCH selama
kehamilan. Tidak ada riwayat merokok, konsumsi alkohol selama kehamilan.

Riwayat Kelahiran

Bayi lahir cukup bulan, 38 minggu. Kelahiran normal dengan dibantu oleh
bidan tanpa penyulit. Bayi ketika lahir langsung menangis, tidak ada kebiruan. Berat
lahir bayi 3500 gram.

Riwayat Nutrisi

Anak menjalani ASI eksklusif sejak lahir selama 6 bulan. Riwayat jajanan
pinggir jalan (+), riwayat alergi makanan (-).

Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi lengkap sesuai usia menurut keterangan ibu, sejak lahir
hingga SD. Riwayat vaksinasi tetanus (+).

Riwayat Pertumbuhan

Berdasarkan keterangan keluarga, pasien tumbuh baik dan sesuai usia, saat ini BB : 54
kg dengan TB 150 cm.

Riwayat Perkembangan

Pasien selalu naik kelas dan tidak mengalami masalah dalam belajar dan pergaulan
dengan teman sebayanya.

3
Riwayat Keluarga

Ayah pasien sebagai kepala keluarga dan bekerja. Penghasilan mencukupi untuk
kehidupan sehari-hari. Di rumah, anak memiliki komunikasi yang baik dengan ayah
dan ibu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Tanda-tanda Vital
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : E4V5M6 compos mentis
 Tanda Vital
o TD : 124/98 mmHg
o Nadi : 98 x/menit
o Respirasi : 30 x/menit
o Suhu : 36,8 °C

 Status Gizi
BB : 54 kg
PB : 150 cm
BMI : 24kg/m2
Kesan : overweight

Skala Triase : ATS 4

Status Generalis

 Kepala : Normocephal, ubun-ubun cekung, rambut hitam, tidak mudah dicabut


 Mata: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),
mata cowong (-)
 Mulut : Tonsil TI – TI tenang, Faring hiperemis
(-), trismus (+) 2-3cm, risus sardonicus (-)
 Telinga : discharge (-), hiperemis (-), nyeri tekan
tragus (-), nyeri auricula (-)
 Leher : KGB tidak teraba membesar,
ruam (-), kaku kuduk (-)

4
 Thorak : Bentuk dan Gerak simetris
 Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba tidak kuat angkat
Perkusi :-
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)

 Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus vokal pada hemithoraks kanan dan kiri simetris
Perkusi :-
Auskultasi : SDV (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

 Abdomen
Inspeksi : Datar, gerakan peristaltik (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran
Palpasi : Supel (+), hepar/lien tidak teraba, turgor kembali cepat
 Ekstremitas
Atas : Tremor (-), kaku (-), luka (-) , CRT <2”, akral hangat
Bawah : Tremor (-), kaku (-), luka (-), CRT <2”, akral hangat
 Pemeriksaan neurologis
o Gerak : Bebas
o Kekuatan
Ekstremitas atas : 555/555
Ekstremitas bawah : 555/555
o Tonus : Normal
o Trofi : Eutrofi
o Reflex fisiologis :Normal (biceps/ triceps/ patella/ achilles 
+2/+2/+2/+2)
o Reflex patologis : Negatif
o Chvostek sign : Negatif
o Rangsang meningeal : Negatif

5
o Sensibilitas : Normal
o Nn craniales : Paresis tidak ditemukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Keluarga menolak pemeriksaan penunjang radiologis dan laboratorium, serta menolak
rawat inap.

V. DIAGNOSIS KERJA
Observasi trismus ec susp efek samping obat metoclopramide dd tetanus grd I

VI. PENATALAKSANAAN

Terapi IGD:

 IVFD RL 500 cc/12 jam


 NK O2 2 lpm  SpO2 99%
 Inj diazepam bolus 10 mg iv
 CTM 4mg PO

VII. FOLLOW UP

6
Jam Perjalanan Penyakit Assesment Terapi dan Plan

7
18/4/2021 S: Post bolus diazepam  trismus (-), Trismus ec susp IVFD RL 20 tpm
19.00 nyeri (-), demam (-), kejang (-) tetanus grd I dd efek
samping obat
Bolus iv diazepam
O: 10 mg
TD: 118/98
HR: 95x/ menit
S: 36,8C
RR 20x/menit
SpO2: 98% dg O2 2lpm

KU: Tampak sakit sedang


GCS E4V5M6
Kepala mesocephal,
conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), mata cekung (-/-) Mulut: mukosa
kering (+), trismus (+)
Leher: KGB tidak membesar
Thorax: retraksi (-)
Cor: BJ1-2 reg, bising (-)
Pulmo: SDV (+/+), rhonki (-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen: BU (+) supel
Ekstremitas: akral hangat CRT <2”

18/4/2021 S: trismus muncul kembali, nyeri pada Trismus ec susp CTM 4mg PO
20.00 lidah tergigit, lidah menjulur keluar, efek samping obat
demam (-), kejang (-) metoclopramide

TD: 120/89
HR: 90x/ menit
S: 36,8C
RR 20x/menit
SpO2: 98% dg O2 2lpm

KU: Tampak sakit sedang


GCS E4V5M6
Kepala mesocephal,
conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), mata cekung (-/-) Mulut: mukosa
kering (+), trismus (+)
Leher: KGB tidak membesar
Thorax: retraksi (-)
Cor: BJ1-2 reg, bising (-)
Pulmo: SDV (+/+), rhonki (-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen: BU (+) supel
Ekstremitas: akral hangat CRT <2”
18/4/2021 S: trismus (-), nyeri (-), demam (-), Trismus ec susp Pro rawat jalan
20.30 kejang (-) efek samping obat
metoclopramide
Obat pulang :
O: Tab CTM 3 x 4mg
TD: 120/89

8
HR: 90x/ menit Tab Paracetamol 3
S: 36,8C
RR 20x/menit
x 500 mg bila
SpO2: 98% on RA nyeri

KU: Tampak sakit sedang


GCS E4V5M6 Edukasi :
Kepala mesocephal,
conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik Hentikan
(-/-), mata cekung (-/-) Mulut: mukosa penggunaan
kering (+), trismus (-)
Leher: KGB tidak membesar metoclopramide
Thorax: retraksi (-)
Cor: BJ1-2 reg, bising (-)
Pulmo: SDV (+/+), rhonki (-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen: BU (+) supel
Ekstremitas: akral hangat CRT <2”

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Metoclopramide
9
Metoclopramide (nama kimia: 4-amino-5-chloro-N-2-dietylaminoethyl-2-
methoxybenzamide hydrochloride monohydrate) bersifat antiemetik dan pro kinetik
lambung. Metoclopramide berkerja memblokir reseptor dopamin (D2), dan
mempengaruhi reseptor 5HT-3 sebagai antagonis dan reseptor 5HT-4 sebagai agonis,
metoklopramid menghambat pusat muntah otak, mempercepat pengosongan lambung
dan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah saat relaksasi.
Metoclopramid yang diberikan secara intravena menunjukkan efeknya setelah 1-3
menit. Efeknya terjadi 10-15 menit setelah pemberian intramuskular, dan 15-20 menit
setelah pemberian dosis oral. Metabolisme terjadi di hepar, dan sekitar 80% obat
dikeluarkan melalui urin dalam 24 jam pertama setelah dikonsumsi. Waktu paruh
bervariasi dari 2,5 hingga 6 jam. Dosis metoclopramide pada anak jika harus
diberikan tidak melebihi 0,1-0,3 mg / kgbb / 8 jam (IV / IM /oral) atau 0,2 – 0,4 mg /
kgbb / 8 jam per rektal.

Gambar 2. Sediaan tablet metoclopramide 10 mg.

Penggunaan metoclopramide pada anak-anak saat ini dibatasi karena efek


samping neurologis yang serius dan umum, terutama gangguan ekstrapiramidal
(distonia akut, rigiditas, hipokinesia / akinesia, akathisia, tremor dan parestesia,
sindrom neurloleptik maligna). Gangguan ekstrapiramidal bisa terjadi bahkan pada
tingkat dosis minimal, biasanya dalam 24-72 jam setelah minum obat ini. Formulasi
oral metoclopramide sering terjadi pemberian dosis berlebih, dan tidak dianjurkan
pada anak-anak dan remaja.
Pemberian secara intravena harus bolus lambat selama minimal 3 menit.
Metoclopramide hanya boleh diresepkan untuk penggunaan jangka pendek (sampai 5

10
hari) dan dosis maksimum dalam 24 jam adalah 0,5 mg/kgbb. Metoclopramide tidak
boleh digunakan dalam kehamilan jika tidak jelas diperlukan, dan tidak dianjurkan
selama tiga bulan pertama kehamilan kecuali ada alasan kuat untuk melakukannya.
Metoclopramide diekskresikan dalam ASI dan penggunaannya tidak dianjurkan pada
ibu menyusui kecuali manfaat yang diharapkan melebihi potensi risikonya.
Penggunaan metoclopramide secara ketat dikontraindikasikan pada pasien
dengan peningkatan motilitas gastrointestinal, pada pasien phaeochromocytoma,
hipersensitivitas terhadap metoclopramide, prokain, prokainamid, pasien dengan
porfiria atau epilepsi.

B. Etiopatogenesis

Ganglia basal adalah kumpulan inti subkortikal yangmana di dalamnya


menjadi tempat informasi dari korteks dimodulasi dan dikembalikan ke korteks untuk
melakukan gerakan terkoordinasi. Asetilkolin memiliki efek inhibisi pada gerakan,
dan dopamin memiliki efek eksitasi pada gerakan. Obat-obatan tertentu bekerja untuk
memblokir reseptor dopamin, yang mengganggu proses gerak. Reaksi distonik akut
merupakan bentuk akibat dari ketidakseimbangan dopaminergik-kolinergik di jalur
ini. Metoclopramide hydrochloride adalah antagonis reseptor dopamin selektif yang
digunakan dalam pengelolaan gangguan gastrointestinal dan neurologis seperti mual,
muntah, gastroparsesis, penyakit gastroesophageal reflux, dispepsia, kandung kemih
neurogenik dan sakit kepala migrain karena aktivitas antagonisnya terhadap reseptor
dopamin sentral dan perifer. Metoclopramide memiliki efek antagonis terhadap
reseptor dopamin di basal ganglia yang menganggu keseimbangan dopaminergik-
kolinergik sehingga menurunkan transmisi dopamin sentral yang memungkinkan
pelepasan asetilkolin berlebihan. Reseptor asetilkolin terletak di otot perut,
metoclopramide meningkatkan gerakan peristaltik dan menginduksi relaksasi pilorus,
menghasilkan efek antiemetik langsung. Maka, metoclopramide mampu memperbaiki
mual dan muntah dengan dua mekanisme, yaitu dengan mempercepat pengosongan
lambung melalui aksi perifer dan mengurangi mual-muntah karena inhibisi pusat
muntah melalui efek sentralnya. Namun, efek antagonis metoclopramide pada ganglia
basalis juga berkaitan erat dengan efek samping ekstrapiramidal, termasuk distonia
akut, tardive dyskinesia, akathisia, dan parkinsonisme yang diinduksi obat.

C. Epidemiologi
11
Insidensi efek samping ekstrapiramidal yang diinduksi metoclopramide adalah
1 dari 500 pasien dan sekitar 70% di antaranya adalah wanita. Pada anak-anak,
kejadian reaksi distonik akut yang diinduksi metoclopramide telah dilaporkan setinggi
25%. Dewasa muda, wanita, anak-anak, pasien dengan riwayat keluarga gangguan
neurologis, pasien yang menerima neuroleptik dan pasien yang memiliki anggota
keluarga dengan reaksi distonik akut akibat metoclopramide berada pada risiko tinggi
untuk mengalami reaksi distonik akut yang diinduksi metoclopramide. Reaksi
dystonia akut seperti itu lebih jarang terlihat pada orang tua karena hilangnya reseptor
dopamin. Reaksi distonik akut yang diinduksi metoclopramide juga dapat terjadi pada
pasien yang membawa polimorfisme genetik CYP2D6.

D. Manifestasi Klinis
Reaksi distonik akut, efek samping ekstrapiramidal yang paling umum dari
metoclopramide ditandai dengan kontraksi kelompok otot yang tidak disengaja,
lambat dan berkelanjutan atau spasmodik yang dapat mengakibatkan gerakan
memutar, berulang, dan postur abnormal. Dalam kasus yang jarang terjadi, reaksi
distonik akut dapat mengancam jiwa jika terjadi spasme laring yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas. Berikut adalah presentasi klinis dari reaksi
distonik akut, yaitu :
 Buccolingual crisis : trismus, risus sardonicus, disartria, disfagia, meringis,
protrusi lidah.
 Oculogyric crisis : kejang otot ekstra okuler, paling sering deviasi ke atas.
 Torticolic crisis : posisi kepala atau leher asimetris yang abnormal.
 Tortipelvic crisis : kontraksi abnormal pada dinding perut, pinggul, dan otot
panggul.
 Opisthotonic crisis : karakteristik postur fleksi dengan punggung melengkung
 Distonia Laring : disfonia, stridor
 Pseudomacroglossia : pasien menggambarkan sensasi lidah bengkak dan
menonjol/ protrusi.

12
Gambar 3a. Torticollis dan oculogyric crisis pada leher;
3b. Torticollis dan protrusi lidah.

E. Manajemen Awal
Evaluasi pasien dengan reaksi distonik akut harus dilakukan dengan langkah
dasar yang sama seperti presentasi akut lainnya termasuk penilaian jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation). Tanda dan gejala seperti
disfonia atau keluhan ketidaknyamanan pada tenggorokan setelah pemberian agen
penyebab potensial harus meningkatkan kecurigaan distonia laring. Manajemen jalan
nafas yang pasti dengan intubasi harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang
tampaknya mengalami kesulitan melindungi jalan nafas mereka atau gagal untuk
ventilasi atau oksigenasi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan, mencari
tanda-tanda kondisi akut lainnya termasuk stroke dan kejang. Perhatian khusus harus
diberikan pada obat yang baru-baru ini diberikan, dan obat tersebut harus ditinjau
untuk potensi efek penghambat dopamin. Pada kasus reaksi distonik akut, status
mental dan tanda vital harus tetap normal.

F. Tatalaksana
Penatalaksanaan reaksi distonik akut yang disebabkan oleh metoklopramid
meliputi penghentian obat metoklopramid segera, pemberian oksigen atau ventilasi
sesuai indikasi, dan pemberian cepat antikolinergik atau antihistamin intravena atau
intramuskular, (benztropin, biperiden atau diphenhydramine). Rute intravena lebih
dianjuran karena tanda dan gejala dapat membaik dalam 10 menit, sedangkan rute
intramuskular menjadi alternatif jika tidak ada akses intravena. Jika tidak ada respons,
pemberian dosis kedua atau ketiga setiap 30 menit mungkin diperlukan.

13
Benzodiazepin seperti diazepam langsung memicu relaksasi otot dan dapat digunakan
dalam kombinasi dengan antikolinergik.
Diphenhydramine digunakan untuk efek antikolinergik dan penetrasi sistem
saraf pusat (SSP). Dosis umum untuk diphenhydramine adalah 50 mg intravena (IV)
pada orang dewasa dan 1 mg / kg hingga 50 mg IV pada pasien anak. Setelah reaksi
distonik akut diobati dan gejala membaik, diphenhydramine harus diberikan melalui
rute oral setiap 6 jam selama 1 sampai 2 hari untuk mencegah kambuhnya gejala.
Benztropine adalah obat antikolinergik lain dengan penetrasi SSP yang
signifikan. Rute IV dan intramuskular (IM) memiliki waktu yang sama untuk
timbulnya efek. Dosis umum benztropin adalah dosis tunggal 1 sampai 2 mg IV
diikuti dengan 1 sampai 2 mg per oral dua kali sehari hingga 7 hari untuk mencegah
kekambuhan. Penggunaan benztropin pada pasien anak-anak untuk distonia akut
dianggap di luar label.
Terapi lini kedua dengan benzodiazepin IV dapat dipertimbangkan untuk
pasien yang gagal merespon sepenuhnya terhadap terapi antikolinergik. IV atau IM
lorazepam pada 0,05 sampai 0,10 mg / kg atau diazepam IV pada 0,1 mg / kg dapat
dipertimbangkan.
Pasien yang mengalami gejala pernapasan atau membutuhkan oksigen
pendukung harus diobservasi selama 12 hingga 24 jam setelah gejala menghilang
untuk memantau kekambuhan. Untuk pasien yang mengalami reaksi distonik akut
pada pengobatan antipsikotik, tindak lanjut dengan psikiatri harus diberikan. Jika
kelanjutan agen penyebab diperlukan, pasien harus dilanjutkan dengan obat
antikolinergik sampai agen dengan potensi yang lebih kecil untuk reaksi distonik
dapat dimulai.

I. Diferensial Diagnosis

Kondisi yang mungkin menyerupai reaksi distonik akut meliputi, gangguan


konversi, tetanus, kejang fokal, keracunan strychnine, hipokalsemia, toksisitas
antikolinergik, meningitis, sindrom maligna neuroleptik, stroke, dislokasi sendi
temporomandibular, fraktur mandibula, fraktur orbital, dan klonus.

14
ANALISA KASUS

Pasien, anak laki-laki berusia 15 tahun, datang dengan keluhan utama rahang
kaku tidak dapat ditutup, lidah cenderung menjulur ke luar sejak pagi ini pukul 7.00
setelah konsumsi obat mual (metoclopramide 1 tab), pasien menyatakan keluhan sempat
membaik saat tidur, dan kembali kaku setelah minum obat mual kembali jam 12.00 siang
ini, nyeri (+) lidah dan pipi terasa pegal, susah menelan (+), anak cenderung menyengir,
kejang (-). Melalui anamnesis awal tersebut, pemeriksa memiliki tiga diferensial
diagnosis, yaitu efek samping obat, tetanus grade I, dan dislokasi sendi
temporomandibular, sehingga pemeriksa mengeksplor kembali riwayat perjalanan
penyakit pasien. Orang tua mengatakan anak sempat demam (+) 7 hari yll disertai nyeri
tenggorokkan (+), nyeri telinga (+) riwayat mengorek telinga tetapi tidak berdarah,
keluar cairan dari liang telinga(-), sakit gigi (-). Pasien menyangkal habis makan daging
keras / es batu, riwayat digigit hewan peliharaan (-), riw tertusuk / luka (-). Pemeriksa
kemudian mengarah pada diagnosis paling kuat pada kecurigaan tetanus karena adanya
riwayat demam dan perlukaan pada telinga yang menjadi suspek port d’entry infeksi
Clostridium tetanii. Namun tidak menutup kemungkinan pada efek samping obat
metoklopramid dan dislokasi sendi temporomandibular.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien dalam keadaan kesadaran


penuh, dan tanda vital tergolong normal, hanya saja napas pasien agak cepat, dicurigai
hal ini disebabkan karena pasien panik, lidah tidak dapat dimasukkan dan mulut tidak
dapat ditutup, sehingga sulit untuk makan dan minum. Pada keseluruhan pemeriksaan
fisik, hanya didapatkan trismus / kekakuan pada rahang dengan protrusi lidah.

Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena keluarga menolak


dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan rawat inap. Maka
hanya dilakukan observasi pada pasien dan pemberian obat-obatan. Pada pasien
diberikan infus RL untuk menggantikan cairan, karena pasien tidak makan dan minum
sejak pagi karena sulit makan dan minum sebab tidak dapat mengunyah dan menelan.
Lalu diberikan diazepam 1 ampul (10 mg) bolus, untuk membantu menghentikan
kekakuan pada pasien. Setelah administrasi diazepam pasien tertidur dan mulut dapat
menutup, setelah pasien terbangun, pasien merasa gejala menghilang dan keluarga
meminta pulang, namun tidak lama kemudian, gejala kembali kambuh. Kemudian pasien

15
diberikan CTM per oral 4 mg dan diobservasi lanjut, setelah 30 menit, keluhan
berangsur-angsur berkurang. Sehingga kemudian diagnosis kerja pada pasien berubah
menjadi trismus ec susp efek samping obat metoclopramide karena dengan pemberian
antihistamin dan menghentikan konsumsi obat mual keluhan pasien membaik .

Berdasarkan kasus tersebut, gejala yang dialami pasien termasuk dalam reaksi
dystonia akut akibat efek samping obat metoclopramide yang digambarkan dengan
manifestasi klinis buccolingual crisis. Reaksi distonia akut merupakan tantangan bagi
dokter di ruang gawat darurat karena kemungkinan kesalahan diagnosis yang tinggi. Bila
ada reaksi distonik, kemungkinan tetanus, kejang parsial, keracunan strychnine,
hipokalsemia atau kelainan elektrolit lainnya, labirinitis, ensefalitis, meningitis, reaksi
alergi dengan lidah bengkak atau sindrom hiperventilasi harus dimasukkan dalam
diagnosis banding. Menanyakan riwayat penggunaan obat-obatan yang sedang
dikonsumsi dalam anamnesis sangat penting untuk menegakkan dan mengoreksi
diagnosis, meskipun pasien mungkin tidak dapat berbicara atau membuat hubungan
antara gejala dan asupan obat. Oleh karena itu, jika diagnosis meragukan, dokter dapat
memperlakukan pasien seperti kasus di atas sebagai reaksi distonik akut yang diinduksi
oleh obat dan kemudian menyelidiki lebih lanjut jika tidak ada respon terhadap
pengobatan. Terapi lanjutan juga perlu diberikan untuk mencegah kekambuhan yaitu
dengan diphenhydramine 1-2mg/kgbb per oral setiap 6 jam selama 1 sampai 2 hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

Elek, M., 2016. Extrapyramidal Side Effects of Metoclopramide in a Child-A Case


Report. Academic Journal of Pediatrics & Neonatology, 1(4).

Işıkay, S., Yılmaz, K. and Almacıoğlu, M., 2013. Evaluation of Patients with
Metoclopramide-Induced Acute Dystonic Reaction. THE JOURNAL OF ACADEMIC
EMERGENCY MEDICINE, [online] 12, pp.80-84. Available at:
<http://cms.galenos.com.tr/Uploads/Article_22048/EAJEM-12-80-En.pdf> [Accessed
14 May 2021].

Lewis K, O'Day CS. Dystonic Reactions. [Updated 2020 Nov 19]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531466/

Zikidou, P., Meziridou, R., Alexiadou, S. and Mantadakis, E., 2021. Acute Dystonic Reaction
in a 14-Year-Old Boy after Accidental Overuse of Nasal Metoclopramide. Case
Reports in Acute Medicine, 4(1), pp.1-6.

17

Anda mungkin juga menyukai